MATUALISME ANTARA CENDAWAN

Re-edited 20 December, 2000

 

Copyright ©  2000  Abdurrani Muin

Makalah  Falsafah Sains (PPs 702)

Program Pasca Sarjana

Institut Pertanian Bogor

 

Dosen:  Prof Dr Ir Rudy C Tarumingkeng

 

 

PENGGUNAAN MIKORIZA UNTUK MENUNJANG

PEMBANGUNAN HUTAN PADA LAHAN KRITIS ATAU MARGINAL

 

 

Oleh : Abdurrani Muin

(Program Studi Ilmu Pengetahuan Kehutanan)

 

PENDAHULUAN

 

Hutan merupakan salah satu sumberdaya alam yang banyak manfaatnya bagi kehidupan manusia, tidak saja sebagai penghasil devisa untuk pembangunan, namun juga berfungsi sebagai paru-paru dunia, pengendalian banjir dan erosi serta sebagai tempat yang indah dan nyaman  bagi setiap insan yang melakukan rekreasi di hutan. Disamping itu hutan sebagai sarana untuk menggali ilmu pengetahun yang tidak pernah selesai, karena sudah sangat banyak pengetahuan yang didapatkan dari hutan, namun permasalahan yang ingin terus diteliti selalu saja tersedia.  Selama ini orang sudah sangat percaya bahwa hutan merupakan sumbedaya alam yang bersifat renewable. Perkataan renewable ini akan tepat jika hutan  dikelola secara lestari, dengan manfaat yang diberikan oleh hutan semakin meningkat. Namun apabila salah dalam pengelolaan hutannya, maka sifat renewable ini masih perlu dipertanyakan.

Fakta yang selama kita ketahui bahwa hutan tidak lagi lestari dimana luas areal hutan alam primer yang terdapat di Indonesia sudah mulai berkurang, sebagai akibat (1) pengelolaan hutan alam yang tidak mengikuti aturan yang telah ditentukan, (2) konversi hutan untuk penggunaan yang lain (seperti perkebunan, pemukiman dan pertambangan), dan (3) aktivitas perladangan serta (4) bencana alam seperti kebakaran.  Usaha penanaman kembali pada areal hutan alam yang ditebang belum dilaksanakan sepenuhnya atau sungguh-sungguh, terutama bagi pengusaha yang hanya mencari keuntungan semata-mata. Sementara itu pembangunan hutan tanaman industri (HTI) masih tersendat-sendat, karena belum memiliki misi yang jelas untuk apa HTI itu dibangun. Selama ini sebagian besar HTI yang dibangun hanya mengharapkan akan mendapatkan pimjaman Dana Raboisasi (DR), dan uang yang telah diterima ternyata tidak dipergunakan sesuai dengan peruntukannya.  Tidak adanya keseimbangan antara kayu yang dipanen dengan luas hutan yang ditanam kembali menyebabkan luas hutan di Indonesia ini setiap tahunnya semakin berkurang.

Untuk menjaga agar luas hutan tidak berkurang, maka luas yang harus ditanam minimal sama dengan yang dipanen.  Oleh karena itu penanaman hutan tidak saja harus dilakukan pada areal bekas tebangan hutan alam, akan tetapi perlu juga menghutankan kembali lahan-lahan yang kritis atau marginal seperti kawasan padang alang-alang dan semak belukar, areal bekas pertambangan serta  kebakaran hutan. 

Penanaman hutan pada lahan non produktif selain harus memiliki tujuan yang jelas, juga berusaha agar tanaman bisa tumbuh baik dan cepat. Tanaman akan tumbuh subur apabila kondisi lingkungan makro dan mikro yang diinginkan sesuai dengan yang dibutuhkan. Pada tanah yang subur, pertumbuhan tanaman tidak banyak hambatan atau dengan kata lain tidak memiliki limiting factor.  Namun pada tanah kritis seperti bekas perladangan (padang alang-alang), bekas pertambangan dan kebakaran yang sudah lama, kondisi lahannya sudah tidak bisa lagi mendukung pertumbuhan optimal.  Oleh karena itu, untuk mempercepat pertumbuhan tanaman perlu melakukan rekayasa unsur hara tanah agar tanaman dapat memanen hara sesuai dengan kebutuhannya. 

Untuk membangun hutan pada lahan kritis ada dua alternatif perkayaan hara yang dapat dilakukan agar tanaman dapat menyerap unsur hara secara maksimal yakni (1) dengan pemberian pupuk buatan atau alam, dan (2) inokulasi mikoriza yang memiliki efektifitas yang tinggi.  Alternatif pertama bagi kehutanan sangat berat, karena selain memerlukan biaya yang sangat banyak jumlahnya, juga dampak pemberian pupuk itu sendiri terhadap lingkungan di sekitarnya.  Alternatif kedua mengikuti cara yang sudah dilakukan oleh tumbuhan agar dapat hidup pada lahan-lahan yang kurang subur.   Namun untuk mempercepat proses terjadinya asosiasi ini, maka perlu melakukan inokulasi cendawan yang bersifat endo maupun ekto  pada tanaman sewaktu masih berada di persemaian. 

 

  

APA  DAN  BAGAIMANA  SIMBIOSIS MATUALISME  MIKORIZA

 

Adanya hubungan saling menguntungkan atau dikenal dengan istilah matualisme antara cendawan dengan mahluk lainnya pertama kali ditemukan oleh Frank  dalam tahun 1877 pada lichen (semacam tumbuhan lumut). Sejak itu para ilmuan selalu mencari dan mengembangkan berbagai macam penelitian  yang ingin membuktikan temuan Frank tersebut untuk mencari kebenaran yang terjadi serta faktor-faktor penyebab terjadinya hubungan itu.  Orang yang pertama kali yakin dengan hasil temuan Frank  dan sekaligus telah menemukan terjadinya hubungan yang saling menguntungkan antara tanaman dengan fungi  adalah de Bary (1887).  Sampai sekarang ini penelitian mengenai matualisme antara cendawan dengan tumbuhan tingkat tinggi terus berlangsung, baik dalam bentuk eksplorasi maupun percobaan-percobaan.  Meskipun demikian teka-teki hubungan ini masih belum dapat terjawab secara tuntas, karena masih banyak faktor-faktor yang tidak diketahui secara pasti yang mendukung matualisme  bisa berlangsung secara normal..

Hubungan yang saling menguntungkan antara cendawan dengan tumbuhan tinggi disebut dengan mikoriza.  Istilah mikoriza berasal dari miches yang berarti cendawan dan rhizae yang berarti akar, karena hubungan kedua mahluk ini hanya terjadi pada akar tanaman khususnya pada akar yang halus dan masih muda, dan tidak pernah terjadi pada bagian yang lain,.  Mengapa hubungan ini hanya terjadi pada akar lateral yang muda, masih belum ada jawaban yang pasti.  Mungkin kemampuan infeksi hifa cendawan hanya pada sel korteks atau dinding sel yang masih lembut, atau ada enzim-enzim tertentu yang dimiliki oleh hifa cendawan yang hanya mampu menembus dinding sel tumbuhan pada batas umur tertentu.

  Dalam literatur mikoriza, istilah mikoriza sering dipergunakan untuk menjelaskan hubungan saling ketergantungan dimana tanaman inang menerima hara mineral sedangkan cendawan memperoleh senyawa karbon dari hasil fotosintesis tanaman inangnya.  Tipe asosiasi tersebut adalah :

v     Vesicular-arbuscular mycorrhizas (VAM) – dimana cendawan zygomecete menghasilkan arbuscule, hifa, dan vesicule dalam sel-sel korteks akar.

v     Ectomycorrizas (ECM) – dimana basidiomycetes dan cendawan lainnya membentuk mantel di sekitar perakaran dan jaringan hartig di antara sel-sel akar.

v     Orchid mycorrhizaesdimana cendawan menghasilkan hiphae coils (hifa yang membelit) di dalam akar tanaman orchidaceous dan Ericoid mycorrhizastermasuk hiphae coil di bagian luar akar rambut yang kecil pada tanaman orde Ericales.

v     Ectendo, asosiasi arbotoid dan monotropoid yang sama dengan asosiasi ektomikoriza, namun memiliki anatomis yang khusus.

 Selama ini perhatian lebih banyak ditujukan pada VAM dan ECM dibandingkan dengan yang lainnya baik sektor pertanian, perkebunan maunpun kehutanan. Hal ini mungkin disebabkan manfaat yang diberikan oleh kedua tipe asosiasi mikoriza ini dalam meningkatkan produksi atau pertumbuhan ketiga sektor tersebut, dimana secara tidak langsung akan meningkatkan kesejahteraan umat manusia, sehingga keduanya  selalu menjadi perhatian.  Meskipun demikian di bidang perternakan, mikoriza ini juga sudah  mulai dilirik, karena dapat meningkatkan mutu rumput pakan ternak.  Dengan alasan tersebut, maka penelitian-penelitian lebih banyak diarahkan kepada kedua bentuk asosiasi ini yakni VAM dan ECM. Sementara itu Kilronomors dan Kondrick (1993) dalam Brundrett et al. (1994) mengatakan bahwawe may know less than we thing about mycorrizhas, since we have consistenly based broad hyphotesis and coclusion on studies of small number of taxa’. 

 

FUNGSI, MEKANISME DAN MANFAAT MIKORIZA

 

 Sudah banyak peneliti yang membuktikan bahwa mikoriza memberikan manfaat bagi tanaman dalam hal (1) meningkatkan serapan hara terutama fosfor, (2) melindungi tanaman dari serangan patogren akar, (3) Mencegah tanaman terhindar dari kekeringan (4)  mencegah tanaman terhindar dari keracunan logam berat. Berdasarkan fungsi yang diberikannya kepada tanaman, maka inokulasi mikoriza pada tanaman pada waktu di persemaian sangat membantu tanaman tersebut  jika sudah tumbuh di lapangan.  Secara ringkas sifat simbiosis matualisme yang berkaitan dengan fungsi, mekanisme, dan teknik inokulasi serta manfaat bagi tanaman dikemukakan pada bagan berikut ini.

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 


MANFAAT ASOSIASI  MIKORIZA UNTUK

PEMBANGUNAN HUTAN

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

Pemanfatan mikoriza dalam pembangunan hutan pada lahan-lahan kritis akan berhasil jika asosiasi yang terjadi diantara keduanya berlangsung secara normal, dalam hal ini kedua mahluk yang berasosiasi saling mendapatkan keuntungan.  Sebelumnya telah dikemukakan bahwa tanaman memperoleh beberapa manfaat yang diciptakan oleh cendawan agar dapat tumbuh baik, terutama pada lahan-lahan marginal.  Peranan mikoriza dalam membantu pertumbuhan pohon pada lahan kritis atau marginal dapat dijelaskan sebagai berikut :

v     Mikoriza sebagai biofertelizer bagi tanaman kehutanan

Harley, 1968 dan Gianinazzi_Pearson (1981) dalam  Leyval dan Berhelin (1986) mengatakan bahwa kebanyakan  akar tanaman yang berasosiasi dengan cendawan yang membentuk mikoriza dan sebagai simbiosis diketahui meningkatkan hara fosfat tanaman.  Finley dan Read (1986) telah membuktikan dengan suatu penelitian bahwa miselia cendawan mikoriza dapat menfasilitasi masuknya fosfor dari tanah ke akar tanaman.  Selanjutnya Smith et al. (1986) mencoba mengamati serapan hara fosfor dan N pada akar yang bermikoriza dan membandingkannya dengan yang tidak bermikoriza.  Hasil penelitiannya membuktikan bahwa serapan fosfor dan nitrogen ke dalam akar lebih banyak dibandingkan dengan yang tidak bermikoriza.  Jacobsen (1992) mengemukakan bahwa masuknya P ke akar melalui tiga tahap yakni penyarapan oleh hifa, translokasi dalam hifa dan transfer kedalam akar yang bersimbiotik.  Selanjutnya dikatakan pula bahwa fosfor yang dikirim oleh hifa tersebut dalam bentuk polyphosphate dan laju translokasi dipengaruhi oleh tingkat konsentrasi dan aliran cytoplasmic.

 

v     Mikoriza sebagai biokontrol tanaman terhadap kekeringan

Beberapa penelitian telah membuktikan bahwa mikoriza bisa menjadi penting bagi tanaman yang tumbuh di bawah kondisi tanah yang kering, meskipun demikian mekanisme mikoriza bisa meningkatkan ketahanan terhadap kekeringan masih belum bisa dijelaskan (Sanchez-Diaz, 1994).  Auge dan Stodola (1990) dalam Guehl, Garbaye dan Wartinger (1992) membuktikan bahwa asosiasi  cendawan arbuskula-vesikula mikoriza (VAM) dapat memodulasi (mengatur) ketahanan tanaman inangnya terhadap kekeringan melalui mekanisme seperti penyerapan air yang meningkat, penyesusain berbagai osmotik, elastisitas dinding sel yang berubah-ubah atau kandungan air yang symplastis.  Selain itu telah pula dibuktikan bahwa VAM mampu memanen air di bawah titik layu permanen, dimana air sangat terbatas dan tidak tersedia bagi tanaman non mikoriza.  Kemampuan hifa memasuki pori-pori tanah yang paling kecil dimana akar sudah tidak bisa menembus dan menjangkau air tersebut menyebabkan tanaman bermikoriza selalu mendapatkan air meskipun dalam suasana kekeringan.

v     Mikoriza sebagai biokontrol tanaman  terhadap keracunan logam berat

Menurut Leyval dan Weissenhorn (1994) logam berat telah dilaporkan menurunkan kelimpahan dan kolonisasi VAM dan menghambat perkecambahan spora.  Meskipun demikian populasi VAM indegenous potensial yang terdapat dalam tanah terpolusi memperlihatkan kemampuannya beradaptasi.  Selain itu telah pula dibuktikan bahwa Glomus mosseae yang diisolasi dari tanah yang terkontaminasi logam berat lebih toleran terhadap Cd dan Zn daripada yang diisolasi dari tanah yang tidak terkontaminasi.  Selanjutnya dikemukakan pula bahwa toksisitas logam berat dalam tanah tergantung pada jenis logam dan ketersediaannya  serta besarnya  keragaman antara satu tanah dengan yang lainnya.

Sejumlah penelitian menunjukkan bahwa VAM dapat meningkatkan serapan logam, seperti Zn dan Cu dari tanah yang mengalami defisiensi logam  (Gildon dan Tinker, 1983; El-kherbawy et al., 1989 dalam Vidal et al., 1994).  Namun jika logam yang terdapat dalam tanah pada tingkat yang tinggi, bisa terjadi penurunan serapan metal tersebut (Gildon dan Tinker, 1983; Pliego-Alfaro, 1988 dalam Vidal et al., 1994). Meskipun demikian, infeksi dengan mikoriza bisa juga meningkatkan serapan logam seperti Cd  ketika berada pada tingkat yang beracun (toxic) sebagaimana yang terjadi pada  tapak-tapak yang terpolusi (Pliego-Alfaro, 1988 dalam Vidal et al., 1994)

Dengan demikian, sebagai biokontrol penyerapan logam berat, VAM dapat membantu tanaman terhindar dari keracunan logam tersebut.  Logam-logam yang diserap oleh VAM disimpan dalam hifanya dan tidak diteruskan ke akar, namun belum diketahui fungsi logam tersebut bagi cendawan. Selain itu belum juga diketahui dimana logam tersebut disimpan dalam hifanya.

 

v      Mikoriza sebagai biokontrol tanaman terhadap patogen

Menurut Read (1986) mikoriza bisa meningkatkan resistensi terhadap penyakit dengan memperbaiki vigor tanaman inangnya yakni dengan mendominasi lingkungan fisik sekitar perakaran tanaman inang tersebut untuk mencegah masuknya patogen,  serta dengan memperoduksi anti biotik atau dengan persaingan untuk sumberdaya.  Percobaan yang dilakukan oleh Norman,  Hooker dan Atkinson (1994) terhadap tanaman strawberi untuk mengurangi penyakit yang disebabkan  Phytophtora fragriae dengan menginokulasikan VAM Glomus spp dan G. etunicatum.  Hasil percobaanya menunjukkan bahwa tanaman yang diinokulasi dengan G. etunicatum dan Glomus spp lebih sedikit terserang Phytophtora fragriae dibandingkan dengan  yang tidak diinokulasi mikoriza.  Selanjutnya Tang Ming dan Chen Hui (1994a) meneliti hubungan antara kolonisasi mikoriza dan indeks penyakit kanker pohon poplar di bawah kondisi alam, ternyata inokulasi dengan cendawan endomikoriza bisa menurunkan serangan penyakit kanker. Menurutnya pula bahwa formasi asosiasi endomikoriza mempengaruhi aspek fisiologis dan biokimikal poplar yang meliputi penyerapan air, kandungan fosfor, aktivitas enzim, dan kandungan zat yang menghambat formasi kanker (Tang Ming dan Chen Hui 1994b). Terhambatnya formasi kanker ini, dikarenakan asosiasi endmikoriza dapat meningkatkan aktivitas peroxidase dan polyphenoloxidase dalam kulit poplar, yang mengakibatkan berkurangnya indeks penyakit kanker.      

Memperhatikan fungsi mikoriza dalam membantu pertumbuhan tanaman inangnya tersebut, maka mikoriza memiliki peranan penting dalam menunjang pembangunan hutan  pada lahan kritis atau marginal.  Inokulasi mikoriza pada tanaman yang akan ditanam pada lahan marginal harus dilakukan, karena umumnya lahan yang sudah mengalami kerusakan sudah sangat jarang diketemukan cendawan yang bermikoriza.  Hal ini dibuktikan dari hasil penelitian Brundett et al (1994) yang membandingkan diversitas dan distribusi cendawan glomalean (endomikoriza) pada lahan yang sudah rusak dan yang belum rusak (savana, bukit, hutan hujan tropis dan tapak-tapak yang lembab).  Dari hasil penelitiannya menunjukkan bahwa diversitas dan distribusi glomalean ternyata sangat jarang diketemukan pada lahan yang sudah rusak. Lahan bekas perladangan diduga tidak lagi mengandung cendawan mikoriza akibat pembakaran di atas permukaan tanah yang dilakukan oleh peladang.  Sedangkan pada areal bekas pertambangan, musnahnya cendawan mikoriza karena penggalian tanah oleh penambang yang mengakibatkan tanah bagian bawah naik ke atas memusnahkan vegetasi yang ada di atasnya.

 

TEKNIK PENGGUNAAN MIKORIZA

Berdasarkan uraian tersebut di atas, ternyata pembangunan hutan pada lahan kritis atau marginal memerlukan rekayasa biologi agar tanaman hutan dapat tumbuh secara normal.  Cendawan pembentuk mikoriza baik yang bersifat ekto maupun endo telah membutikan kemampuannya berasosiasi untuk meningkatkan pertumbuhan tanaman inangnya.  Meskipun demikian proses asosiasi ini akan berjalan dengan normal jika pertumbuhan dan perkembangan cendawan itu sendiri berlangsung secara normal.  Dengan kata lain, agar dapat hidup secara normal, cendawan membutuhkan kondisi lingkungan yang sesuai dan suplai karbohidrat yang cukup dari tanaman inangnya. Dari sekian banyak spesies cendawan pembentuk mikoriza, ternyata masih sedikit sekali yang sudah diketahui persyaratan ekologis dan hara yang dibutuhkan untuk hidup normal.  Kondisi semacam ini yang menyebabkan inokulasi mikoriza selalu mengalami hambatan.    Dari sejumlah penelitian yang sudah dilakukan pada kultur buatan, ternyata setiap spesies cendawan mikoriza membutuhkan suhu, pH, gula dan nitrogen yang berbeda-beda.

Dengan terjadinya variasi kondisi lingkungan yang dibutuhkan oleh cendawan, maka inokulasi tidak hanya memperhatikan kecocokan dengan tanaman inangnya, namun juga harus mencocokannya lagi dengan kondisi lingkungan tapak yang akan ditanam.  Oleh karena  itu tiga tahap uji harus dilakukan jika menggunakan mikoriza sebagai pupuk hayati untuk kegiatan pembangunan hutan pada lahan kritis atau marginal yakni:

Tahap I, pengujian kecocokan spesies cendawan dengan tanaman inangnya, dimana pengujian ini dapat dilakukan sewaktu bibit masih berada di persemaian.  Sebagai langkah awal sebelum melakukan inokulasi adalah indentifikasi cendawan untuk menentukan secara pasti spesies atau genus cendawan yang diinokulasikan.

Tahap II, pengujian kecocokan spesies cendawan dengan kondisi lingkungan tapak yang akan ditanam, dan ini dapat dilakukan dalam bantuk uji spesies cendawan mikoriza. Pada tahap ini spesies atau genus cendawan yang dapat berasosiasi dengan tanaman inangnya dan bersama tanamannya di tanam di lapangan.

Tahap III, perbanyakan spora (bank spora) untuk penyediaan inokulasi secara besar-besaran dalam rangka pembangunan hutan.  Genus atau spesies cendawan yang mampu beradaptasi dengan kondisi ekologis tapak yang akan ditanam dan dinyatakan efektif bagi tanaman inangnya perlu diperbanyak untuk mendapatkan isolat dalam jumlah cukup pada setiap saat diperlukan.

Penggunaan mikoriza untuk membangunan hutan pada lahan kritis atau marginal akan berhasil dengan baik jika tiga tahap seperti tersebut dilaksanakan secara lengkap. Pada saat sekarang ini yang sudah mulai dilakukan adalah tahap I dan III, sedangkan tahap II sering dilewatkan, sehingga penggunaan inokulum yang sudah dikatakan memiliki efektifitas yang tinggi, namun selalu kurang baik setelah dipindahkan ke lapangan.

 

KESIMPULAN

Kelestarian hutan akan tetap terjaga, jika antara jumlah hutan yang dipanen dan yang ditanam tetap seimbang.

Hutan yang ditanam pada lahan kritis atau marginal tidak dapat tumbuh baik, apabila tidak ada rekayasa peningkatan penyerapan unsur hara.

Penggunaan pupuk hayati dari cendawan mikoriza (biofertelizer) merupakan alternatif terbaik untuk meningkatkan serapan hara tanaman hutan pada lahan kritis atau marginal.

Penggunaan mikoriza untuk pembangunan hutan di lahan kritis akan berhasil, jika dilakukan melalui tiga tahap pengujian yakni (1) kecocokan cendawan dengan tanaman inangnya, (2) kecocokan cendawan dengan lingkungan tapak yang akan ditanam dan (3) perbanyakan inokulum cendawan yang sudah cocok dengan tanaman inang dan lingkungan tersebut. 

 


DAFTAR PUSTAKA

 

Brundrett, M., Abbott, L.K. Jasper, D.A., and Aswath, N., 1994. Mycorrhizal Association in Disturbed and Natural Habitats in Tropical Australia.  Mycorrhizas for Plantation Forestry in Asia.  Proceeding of international sysposium and workshop, Kaping, Guandong Province, P.R. China 7-11 November 1994.  Editors M, Brundett, B. Dell, N. Malajczuk and Gong Mingqin. P. 34-40.  

Brundrett, M., Bougher, N., Dell, B., Grove, T., and Malanjczuk, N., 1994.  Working With Mycorrhizas in Forestry and Agriculture.  International Mycorrhizal Workshop, Kaiping China, 1994. 371p.

Finley, R.D and Read., D.J., 1986.  The Uptake and Distribution of Phosphorus by Ectomycorrhizal Mycelium. Physiological and Genetical Aspects of Mycorrhizae.  Proceeding of 1st European Symposium on Mycorrhizae, Dijon, 1-5 July 1985. Editors by V. Gianinazzi-Pearson and S. Gianinazzi. INRA.  P. 351-356.

Leyval & Bethrelen, J., 1986.   Comparison between the Utilization of Phosphorus from Insoluble Mineral Phosphate  by Ectomycorrhizal Fungi Rhizobacteria.  Physiological and Genetical Aspects of Mycorrhizae.  Proceeding of 1st European Symposium on Mycorrhizae, Dijon, 1-5 July 1985. Editors by V. Gianinazzi-Pearson and S. Gianinazzi. INRA.  P. 345-350.

Leyval, C., and Weissenborn, I., 1994.  Tolerance to Metals of Arbuscular Mycorrhizal Fungi from Heavy Metal Polluted Soils: a summary of Results. Mycorrhizas in integrated system from gene to plant development. European Comission Report. EUR 16728 EN. P. 452-454.

Norman, J.R., Hooker, J.E. and Atkinson, D., 1994.  Arbuscular Mycorrhizae and a Reuction in Disease Caused by the Root Pathogen Phytoptora fragariae in Micropropagated Strawbery Plants. Mycorrhizas in integrated system from gene to plant development. European Comission Report. EUR 16728 EN.  P. 459-460.

Read., D.J., 1986.  Non-nutrional Effects of Mycorrhizal Infection. Physiological and Genetical Aspects of Mycorrhizae.  Proceeding of 1st European Symposium on Mycorrhizae, Dijon, 1-5 July 1985. Editors by V. Gianinazzi-Pearson and S. Gianinazzi. INRA.  P. 169-176.

Sanchez-Diaz, M., 1994.  Survival of Arbuscular Mycorrhizal Plants in Drying Soil.  Mycorrhizas in integrated system from gene to plant development. European Comission Report. EUR 16728 EN. P. 407-412.

Smith, A.,  Smith, S.E., ST. John, B.J.  and Nicholas, D.J.D., 1986.  Inflow of N and P into Roots  of Mycorrhizal and Non-Mycorrhizal Onions. Physiological and Genetical Aspects of Mycorrhizae.  Proceeding of 1st European Symposium on Mycorrhizae, Dijon, 1-5 July 1985. Editors by V. Gianinazzi-Pearson and S. Gianinazzi. INRA.  P. 371-376.

Tang Ming and Chen Hui, 1994a.  Relation between the poplar mycorrhizae and canker.  Acta Pedologica Sinica, 31 (supplement), 218-223.

Tang Ming and Chen Hui, 1994b.  Effects of Vesicular-Arbuscular Mycorrhizas on the Resistance of poplar  to a Canker Fungus (Dothiorella gregaria). Mycorrhizas for Plantation Forestry in Asia.  Proceeding of international sysposium and workshop, Kaping, Guandong Province, P.R. China 7-11 November 1994.  Editors M, Brundett, B. Dell, N. Malajczuk and Gong Mingqin. P. 67-71.

Vidal, M.T., Azcon-Aguiler and Barea J.M., 1994.  Effects of Heavy Metals (Zn, Cd, and Cu) on Arbuscular Mycorrhiza Formation. Mycorrhizas in integrated system from gene to plant development. European Comission Report. EUR 16728 EN. P. 487-490.