Re-edited
Copyright
© 2000 Aswaldi
Anwar
Makalah Falsafah Sains
(PPs 702)
Program Pasca Sarjana
Institut Pertanian Bogor
Dosen: Prof Dr Ir
Rudy C Tarumingkeng
dan rekayasa genetik
Oleh
:
Aswaldi
Anwar
(P 03600002/AGR)
Dua dasawarsa terakhir ini di Indonesia kemajuan di
bidang pertanian dan kehutanan di tandai
dengan bermunculannya produk tanaman hasil kultur jaringan dan dimulainya
penelitian-penelitian mengenai rekayasa genetik. Produk kultur jaringan sudah sampai ditingkat
petani seperti bibit pisang, kentang, jati super, dan anggrek, sementara rekayasa genetik masih
dalam skala penelitian dan masih terus diperdebatkan dalam berbagai forum.
Sementara itu di beberapa negara maju,
industri benih hasil kemajuan bioteknologi tersebut sudah memberikan sumbangan
yang sangat berarti dalam mendorong peningkatan produksi mereka. Industri benih tersebut sudah dikelola dengan
profesional dalam skala yang luas, seperti industri benih kedelai transgenik
oleh Monsanto di Amerika Serikat.
Pada umumnya di negara maju sudah
menerapkan Internal Quality Control untuk setiap produknya, termasuk industri
benih. Sebelum benih-benih tersebut dilepas
ke pasar terlebih dahulu sudah dilakukan sertifikasi sehingga kepentingan
petani cukup telindungi. Di Indonesia, proses sertifikasi benih tersebut
ditangani oleh Balai Pengawasan dan Sertifikasi Benih (BPSB). Sejauh ini metode sertifikasi yang tersedia
di BPSB berlaku untuk benih-benih yang diperbanyak secara konvensional, belum
lagi untuk benih-benih hasil kultur jaringan dan apalagi untuk hasil rekayasa
genetik.
Metode Sertifikasi benih bukan hanya
semata langkah-langkah pekerjaan untuk menyatakan suatu benih dapat diberi
sertfikat atau tidak, namun juga harus mengandung nuansa
perlindungan/garansi terhadap kedua
belah pihak, produsen dan konsumen.
Dalam kaitannya dengan Falsafah Sains dapat ditelaah melalui empat
pendekatan, Ontologi (apa yang dikaji, yaitu Sertifikasi Benih),
Epistemologi (mencari cara-cara untuk mempelajarinya dalam suatu kerangka
berpikir yang logik dan rasional), Aksiologi (bagaimana manfaat dari
sertifikasi tersebut agar memberikan nilai bagi pihak terkait, produsen dan konsumen
benih) dan Teleologi (mencoba merinci metode sertifikasi tersebut dalam
proposal yang terkait dalam hipotesis yang diajukan untuk permasalahan yang
ditemukan dan tindakan lanjutan yang jelas dalam implementasinya).
Perbanyakan tanaman pertanian dan kehutanan
ke depan tampaknya sangat dipengaruhi kemajuan bioteknologi dalam berbagai
bentuk. Metode perbanyakan melalui
kultur jaringan dan pemuliaan melalui rekayasa genetik akan sangat memegang
peranan. Benih-benih baru dari berbagai
spesies akan bermunculan dan siap dilepas.
Akankah benih-benih tersebut dibiarkan lepas begitu saja sampai ke
tangan petani tanpa melalui suatu proses sertifikasi yang jelas dan tegas
? Sudah siapkah kita dengan metode
sertifikasi benih yang efisien dan akurat ?
Untuk itu, dalam tulisan ini diajukan
hipotesis sebagai berikut:
H0 : Tidak
perlu dipersiapkan metode sertifikasi benih untuk tanaman-tanaman yang
diperbanyak secara kultur jaringan dan hasil rekayasa genetik.
H1 :
Perlu dipersiapkan metode sertifikasi benih khusus bagi tanaman yang
diperbanyak secara kultur jaringan dan hasil rekayasa genetik.
2.1.
Benih
Dalam Undang-undang
tentang sistem Budidaya Tanaman tahun 1992, yang dimaksud dengan benih
adalah tanaman atau bagiannya yang
digunakan untuk memperbanyak dan/atau mengembangbiakkan tanaman..
2.2.
Sertifikasi Benih
Dalam ketentuan umum, pasal 1 Keputusan
Presiden RI Nomor 72 tahun 1971, yang dimaksud dengan Sertifikasi benih adalah suatu cara pemberian sertifikat atas
cara perbanyakan, produksi dan penyaluran benih yang sesuai dengan peraturan
yang ditetapkan oleh Departemen Pertanian.
Batasan ini diperbaharui melalui Undang-undang tentang sistem Budidaya
Tanaman tahun1992 Pasal 1 ayat 6 yaitu: Sertifikasi adalah proses pemberian
sertifikat benih tanaman setelah melalui pemeriksaan, pengujian, dan pengawasan
serta memenuhi semua persyaratan untuk diedarkan.
2.3.
Benih Hasil Kultur Jaringan
Kultur jaringan merupakan komponen yang sangat esensial
dalam bioteknologi tumbuhan yang menawarkan pendekatan-pendekatan baru dan
menjanjikan dalam produksi, propagasi dan preservasi tumbuhan (Bhojwani, 1990).
Wattimena, Gunawan, Mattjik, Sjamsudin, Wiendi, dan Ernawati (1991) menyatakan
bahwa teknik kultur jaringan adalah teknik bagaimana mengisolasi bagian-bagian
tanaman, ditumbuhkan secara tersendiri, dipacu untuk memperbanyak diri,
akhirnya diregenerasikan kembali menjadi tanaman lengkap dalam suatu lingkungan
yang aseptik dan terkendali. Benih-benih tanaman yang dihasilkan melalui proses
tersebut disebut sebagai benih kultur jaringan, untuk membedakannya dengan
benih hasil perbanyakan secara konvensional
2.4.
Benih Hasil Rekayasa Genetik
Rekayasa genetik meliputi pengambilan gen dari lokasi
normalnya pada suatu organisme dan memindahkannya kemana saja yang diinginkan
(organisme sejenis atau tidak), ataupun menempatkannya kembali ke organisme semula dengan kombinasi
yang berbeda. Rekayasa genetik menjadi
sangat berarti dalam pemuliaan tanaman karena memungkinkan terjadinya
penyisipan gen antar spesies yang tidak sekerabat sekalipun (unrelated
spesies). Benih hasil rekayasa genetik
adalah benih yang berasal dari spesies yang dimuliakan secara rekayasa genetik,
jadi tidak termasuk benih yang dimuliakan secara konvensional. Salah satu hasil rekayasa genetik kedelai
dalam tahap percobaan laboratorium ditampilkan pada Gambar 1.
Lihat:
FDA, http://www.fda.gov/. 2000. Foods
Derived from New Plant Varieties Derived through Recombinant DNA Technology.Final Consultations under FDA's 1992
Policy
(dikunjungi: Des 2000 oleh penulis)
Gambar 1. Embrio somatik kedelai
hasil rekayasa genetik (atas izin peneliti rekayasa genetik kedelai, Gustian,
2000)
Pedoman pelaksanaan sertifikasi benih
yang telah diterbitkan Departemen Pertanian
RI ditujukan untuk benih yang dihasilkan secara konvensional. Salah satu pedoman yang dapat digunakan
adalah yang diterbitkan Dirjen Tanaman Pangan, Direktorat Bina Produksi pada tahun 1985. Penanggung jawab dan pelaksana sertifikasi
adalah Balai Pengawasan dan Sertifikasi Benih (BPSB) yang tersebar sampai di tingkat
Kabupaten. Sampai
sejauh ini belum diterapkan Internal Quality Control dalam produksi benih di
Indonesia.
Dalam pedoman Sertifiksi Benih
dijelaskan secara rinci semenjak evaluasi sumber benih sampai dengan pengujian
di laboratorium. Sumber benih harus
jelas sehingga dengan demikian kepastian mutu genetik benih dapat dijamin. Pemeriksaan lapangan produksi benih dilakukan
dengan aturan yang jelas, disesuaikan dengan fase-fase pertumbuhan dan
perkembangan tanaman. Selama masa panen
dan pascapanen juga dilakukan pengawasan sedemikian rupa sehingga benih yang
dihasilkan tidak tercampur dengan varietas lainnya. Pemeriksaan gudang penyimpanan benih juga
dilakukan. Pengujian laboratorium
merupakan kegiatan yang mutlak harus dilakukan.
Sejauh ini bentuk-bentuk pengujian yang dilakukan di laboratorium benih
adalah: pengujian kadar air, pengujian kemurnian benih, dan pengujian
viabilitas dan vigor benih.
Sementara itu, di negara-negara yang
sudah lebih maju, selain pengujian-pengujian tersebut di atas, pengujian
kesehatan benih mutlak harus dilakukan (Douglas, 1980), begitu juga dengan
India (Agrawal, 1982). Pengujian
kesehatan sangat erat kaitannya dengan penyebaran penyakit melalui benih
(seed-borne diseases) ( Langerak, van denBulk, dan Franken, 1996).
Metode sertifikasi untuk setiap tahapan
pengujian tersebut sudah dikembangkan sedemikian rupa, seperti roguing untuk
pemeriksaan lapangan, metode Oven untuk pengujian kadar air, uji kecambah baku
(standard germination test) untuk daya kecambah dan uji hitung pertama (first
count test) untuk daya tumbuh benih.
Langkah-langkah pelaksanaan sertifikasi benih yang umum dilakukan di Indonesia
dapat disederhanakan seperti pada Gambar 2.
Permohonan untuk sertifikasi
Pemeriksaan lapang
*) Uji kesehatan benih masih jarang
dilaksanakan di Indonesia.
Gambar 2. Langkah-langkah sertifikasi benih tanaman di
Indonesia
Metode sertifikasi tersebut sudah cukup
baik, terutama untuk benih-benih berupa biji yang diperbanyak secara konvensional.
Sementara dengan terus berkembangnya teknik perbanyakan tanaman melalui kultur
jaringan, dan kemajuan pemuliaan tanaman melalui rekayasa genetik, metode
sertifikasi tersebut akan menghadapi hambatan dalam pelaksanaannya.
Perkembangan dalam metode analisis keturunan melalui marka molekuler sangat
mungkin dikembangkan terutama dalam uji kemurnian varietas dan kesehatan benih.
Jika suatu saat benih yang diperjual belikan dalam bentuk artifisial seeds atau
bahkan sel, hendaknya metode sertifikasinya juga sudah dipersiapkan dari
sekarang.
Beberapa tahun belakangan ini
negara-negara maju, terutama Amerika Serikat dan Kanada telah menetapkan
berbagai aturan dalam produksi dan distribusi dari tanaman hasil rekayasa
genetik. Sementara di Benua Eropa masih terjadi pro dan kontra
dalam pemanfaatan tanaman hasil rekayasa genetik tersebut.
Beberapa negara seperti Belanda dan Perancis sudah mempersiapkan
berbagai aturan, termasuk distribusi benih serta sertifikasinya
(Commandeur, Joly, Levidow,
Tappeser dan Terragni. 1996).
Menurut Agrawal (1982) tujuan dari sertifikasi
benih adalah untuk menjamin kemurnian (genuineness) dan kualitas (quality) benih yang akan dibeli
konsumen. Apabila tujuan ini tercapai, manfaatnya akan sangat terasa bagi konsumen,
dalam hal ini petani. Kemurnian varietas
merupakan syarat yang sangat penting dalam pertanian modern. Aplikasi teknologi
produksi menghendaki varietas yang
jelas, karena penerapan teknologi menjadi lebih spesifik.
Tidak
dapat dipungkiri bahwa dari benih yang baik akan dihasilkan tanaman yang lebih
baik dan berproduksi tinggi. Dengan
jaminan kualitas yang diberikan hasil sertifikasi, petani dapat memperhitungkan
jumlah benih yang dibutuhkan untuk luasan tertentu dengan melihat persentase
daya kecambahnya. Benih dengan vigor
yang tinggi mampu menghadapi deraan lapang yang beragam sehingga keberhasilan
produksi terjamin. Benih yang lulus uji kesehatan benih tidak akan mewariskan
penyakit pada generasi berikutnya dan tidak akan menyebarkan penyakit pada
tanaman sekitarnya.
Apabila
metode sertifikasi yang ada sekarang tidak disempurnakan, siapa yang dapat
menjamin kebenaran informasi dari produsen benih hasil kultur jaringan ? Belum lagi jika yang akan disertifikasi benih
hasil rekayasa genetik. Dengan
mengembangkan metode sertifikasi benih yang baru diharapkan dapat menjawab
tantangan yang telah dan segera muncul
di depan mata.
Sebagai
perbandingan, di Amerika Serikat organisasi yang mengelola perbenihan adalah
AOSCA (Association of Offcial Seed Certifying Agencies). Dengan adanya
organisasi ini telah memberikan manfaat yang nyata bagi perkembangan industri
benih di negara tersebut (Douglas, 1980).
Sementara itu beberapa tahun belakangan ini
produk rekayasa genetik di Amerika Serikat telah terdaftar secara resmi di FDA
(Food and Drug Administration) khususnya di Center for Food Safety and Applied
Nutrition. Sebagai gambaran, pada tahun
1994 terdaftar 4 varietas tomat transgenik, 1 varieatas kentang, 1 varietas
kedelai, 1 varietas kapas dan 1 varietas labu (squash). Tahun 1996 merupakan
tahun diluncurkannya 6 varietas jagung transgenik dengan berbagai keunggulan.
Sedangkan padi transgenik baru terdaftar pada tahun 2000 ini (FDA; http://www.fda.gov/). Benih-benih transgenik tersebut
sudah dilengkapi dengan sertifikat hasil sertifikasi, sehingga petani yang akan
menggunakannya mendapatkan informasi yang akurat, sementara konsumen dari produk tanaman tersebut juga mendapatkan
informasi yang jelas. Dengan demikian
mereka dapat dengan objektif, apakah akan menerima atau menolak produk
tersbut. Manfaat tersebut tidak akan
diperoleh jika proses sertifikasi tidak dilakukan.
V.
Implementasi sertifikasi benih hasil kultur jaringan dan
rekayasa genetik
Menyadari pentingnya dilakukan sertifikasi untuk benih-benih hasil kultur jaringan dan
rekayasa genetik, maka dirasakan perlunya ditetapkan metode yang efisien dan
akurat untuk itu. Beberapa metode yang
kemungkinan dapat digunakan antara lain adalah:
marka molekuler untuk mengetahui kemurnian varietas (Mayes, James,
Horner, Jack, dan Corley, 1996),
kesegaran sel (Dixon dan Gonzales, 1992)
atau gabungan antara metode sertifikasi konvensional yang meliputi
pemeriksaaan lapang, uji laboratorium, viabilias, dan vigor dengan metode
pelacakan secara molekuler.
Metode penetapan sampel dan jumlah
sampel dari setiap lot benih yang akan diuji juga perlu untuk dipikirkan, apalagi penerapan uji laboratorium yang jelas
membutuhkan dana jauh lebih besar dari uji benih secara konvensional. Harus
juga dipikirkan bahwa penambahan biaya produksi benih dengan metode pengujian
yang dikembangkan ini jangan sampai memberatkan petani yang terpaksa membeli
benih dengan harga yang lebih mahal,
padahal harga jual hasil panen mereka belum tentu menguntungkan.
Satu hal yang juga perlu mendapat
perhatian adalah bagaimana mengurangi beban pemerintah dalam sertifikasi. Hal ini bisa diwujudkan dengan membangun
sistem Internal Quality Control yang berkualitas pada setiap industri benih
atau mengembangkan sistem pengawasan independen dan bertanggung jawab. Dengan
demikian peran pemerintah hanya ditujukan pada penetapan kebijaksanaan dan
pengawasan.
VI.
Kesimpulan
Mengingat semakin berkembangnya teknik perbanyakan
tanaman secara kultur jaringan maka sangat mendesak untuk menetapkan metode
sertifikasi yang efisien dan akurat untuk benih-benih hasil teknologi
tersebut. Sementara untuk benih-benih
hasil rekayasa genetik walaupun belum ada yang dilepas secara resmi oleh
Pemerintah, perlu segera dipersiapkan metode sertifikasinya sehingga begitu ada
lampu hijau untuk pelepasan varietas baru transgenik, termasuk yang
diimpor, perangkat sertifikasinya sudah
dapat pula diterapkan sehingga petani dan konsumen lainnya terlindungi.
Daftar Pustaka
Agrawal,
R.L. 1982. Seed
Technology.
Badan Benih Nasional,
1977. Himpunan Surat Keputusan dan Peraturan tentang Perbenihan. Jakarta.
Bhojwani, S.S. 1990. Plant Tissue
Culture: Applications and Limitations. Elseveir.
Commandeur, P., Joly,P.B., Levidow, L., Tappeser B. dan Terragni, F.
1996. Public Debate and
Regulation of Biotechnology in
Departemen Pertanian, 1992. Undang-undang Republik
Douglas,
J. E. 1980. Successful Seed Programs : A Planning and Management Guide. Westview Press.
FDA, http://www.fda.gov/. 2000. Foods
Derived from New Plant Varieties Derived through Recombinant DNA Technology.Final Consultations under FDA's 1992
Policy
Langerak, C.J., R.W. van den Bulk, dan A.A.J.M.
Franken. 1996. Indexing Seeds for Pathogens.
Advances in Botanical Research Vol. 23: 171-215.
Mayes,. S, C.M. James, S.F. Horner, P.L. Jack, dan R.H.V. Corley. 1996.
The application of restriction fragment length polymorphism for the
genetic fingerprinting of oil palm (E. guineensis
Jacq.). Dalam : Molecular Breeding. Vol. 2, No.2 :175 – 180.
Wattimena G.A, L.W.
Gunawan, N.A, Mattjik,
E. Sjamsudin, N. M. A Wiendi,
dan A. Ernawati . 1991. Bioteknologi Tanaman. Pusat Antar Universitas, Institut Pertanian