Metode Sertifikasi benih-benih tanaman hasil kultur jaringan dan rekayasa genetik

Re-edited  20 December, 2000

 

Copyright © 2000  Aswaldi Anwar

Makalah  Falsafah Sains (PPs 702)

Program Pasca Sarjana

Institut Pertanian Bogor

 

Dosen:  Prof Dr Ir Rudy C Tarumingkeng 

 

 

Sertifikasi benih-benih tanaman hasil kultur jaringan

dan rekayasa genetik

 

 

Oleh :  

 

Aswaldi Anwar

(P 03600002/AGR)

 

 

 

 

I.         Pendahuluan

Dua dasawarsa terakhir ini di Indonesia kemajuan di bidang pertanian  dan kehutanan di tandai dengan bermunculannya produk tanaman hasil kultur jaringan dan dimulainya penelitian-penelitian mengenai rekayasa genetik.  Produk kultur jaringan sudah sampai ditingkat petani seperti bibit pisang, kentang, jati super, dan  anggrek, sementara rekayasa genetik masih dalam skala penelitian dan masih terus diperdebatkan dalam berbagai forum.

Sementara itu di beberapa negara maju, industri benih hasil kemajuan bioteknologi tersebut sudah memberikan sumbangan yang sangat berarti dalam mendorong peningkatan produksi mereka.  Industri benih tersebut sudah dikelola dengan profesional dalam skala yang luas, seperti industri benih kedelai transgenik oleh Monsanto di Amerika Serikat.

Pada umumnya di negara maju sudah menerapkan Internal Quality Control untuk setiap produknya, termasuk industri benih.  Sebelum benih-benih tersebut dilepas ke pasar terlebih dahulu sudah dilakukan sertifikasi sehingga kepentingan petani cukup telindungi. Di Indonesia, proses sertifikasi benih tersebut ditangani oleh Balai Pengawasan dan Sertifikasi Benih (BPSB).  Sejauh ini metode sertifikasi yang tersedia di BPSB berlaku untuk benih-benih yang diperbanyak secara konvensional, belum lagi untuk benih-benih hasil kultur jaringan dan apalagi untuk hasil rekayasa genetik.

Metode Sertifikasi benih bukan hanya semata langkah-langkah pekerjaan untuk menyatakan suatu benih dapat diberi sertfikat atau tidak, namun juga harus mengandung nuansa perlindungan/garansi  terhadap kedua belah pihak, produsen dan konsumen.  Dalam kaitannya dengan Falsafah Sains dapat ditelaah melalui empat pendekatan, Ontologi (apa yang dikaji, yaitu Sertifikasi Benih), Epistemologi (mencari cara-cara untuk mempelajarinya dalam suatu kerangka berpikir yang logik dan rasional), Aksiologi (bagaimana manfaat dari sertifikasi tersebut agar memberikan nilai bagi pihak terkait, produsen dan konsumen benih) dan Teleologi (mencoba merinci metode sertifikasi tersebut dalam proposal yang terkait dalam hipotesis yang diajukan untuk permasalahan yang ditemukan dan tindakan lanjutan yang jelas dalam implementasinya).

Perbanyakan tanaman pertanian dan kehutanan ke depan tampaknya sangat dipengaruhi kemajuan bioteknologi dalam berbagai bentuk.  Metode perbanyakan melalui kultur jaringan dan pemuliaan melalui rekayasa genetik akan sangat memegang peranan.  Benih-benih baru dari berbagai spesies akan bermunculan dan siap dilepas.  Akankah benih-benih tersebut dibiarkan lepas begitu saja sampai ke tangan petani tanpa melalui suatu proses sertifikasi yang jelas dan tegas ?  Sudah siapkah kita dengan metode sertifikasi benih yang efisien dan akurat ?

Untuk itu, dalam tulisan ini diajukan hipotesis sebagai berikut:

H0         :  Tidak perlu dipersiapkan metode sertifikasi benih untuk tanaman-tanaman yang diperbanyak secara kultur jaringan dan hasil rekayasa genetik.

H1        : Perlu dipersiapkan metode sertifikasi benih khusus bagi tanaman yang diperbanyak secara kultur jaringan dan hasil rekayasa genetik.

 

II.      Batasan Pengertian

2.1.          Benih

Dalam Undang-undang  tentang sistem Budidaya Tanaman tahun 1992, yang dimaksud dengan benih adalah  tanaman atau bagiannya yang digunakan untuk memperbanyak dan/atau mengembangbiakkan tanaman..

2.2.          Sertifikasi Benih

Dalam ketentuan umum, pasal 1 Keputusan Presiden RI Nomor 72 tahun 1971, yang dimaksud dengan Sertifikasi benih  adalah suatu cara pemberian sertifikat atas cara perbanyakan, produksi dan penyaluran benih yang sesuai dengan peraturan yang ditetapkan oleh Departemen Pertanian.  Batasan ini diperbaharui melalui Undang-undang tentang sistem Budidaya Tanaman tahun1992 Pasal 1 ayat 6 yaitu: Sertifikasi adalah proses pemberian sertifikat benih tanaman setelah melalui pemeriksaan, pengujian, dan pengawasan serta memenuhi semua persyaratan untuk diedarkan.

2.3.          Benih Hasil Kultur Jaringan

Kultur jaringan merupakan komponen yang sangat esensial dalam bioteknologi tumbuhan yang menawarkan pendekatan-pendekatan baru dan menjanjikan dalam produksi, propagasi dan preservasi tumbuhan (Bhojwani, 1990). Wattimena, Gunawan, Mattjik, Sjamsudin, Wiendi, dan Ernawati (1991) menyatakan bahwa teknik kultur jaringan adalah teknik bagaimana mengisolasi bagian-bagian tanaman, ditumbuhkan secara tersendiri, dipacu untuk memperbanyak diri, akhirnya diregenerasikan kembali menjadi tanaman lengkap dalam suatu lingkungan yang aseptik dan terkendali. Benih-benih tanaman yang dihasilkan melalui proses tersebut disebut sebagai benih kultur jaringan, untuk membedakannya dengan benih hasil perbanyakan secara konvensional

2.4.          Benih Hasil Rekayasa Genetik

Rekayasa genetik meliputi pengambilan gen dari lokasi normalnya pada suatu organisme dan memindahkannya kemana saja yang diinginkan (organisme sejenis atau tidak), ataupun menempatkannya  kembali ke organisme semula dengan kombinasi yang berbeda.  Rekayasa genetik menjadi sangat berarti dalam pemuliaan tanaman karena memungkinkan terjadinya penyisipan gen antar spesies yang tidak sekerabat sekalipun (unrelated spesies).  Benih hasil rekayasa genetik adalah benih yang berasal dari spesies yang dimuliakan secara rekayasa genetik, jadi tidak termasuk benih yang dimuliakan secara konvensional.  Salah satu hasil rekayasa genetik kedelai dalam tahap percobaan laboratorium ditampilkan pada Gambar 1.

Lihat:

FDA, http://www.fda.gov/. 2000. Foods Derived from New Plant Varieties Derived through Recombinant DNA Technology.Final Consultations under FDA's 1992 Policy

(dikunjungi: Des 2000 oleh penulis)

Gambar 1.  Embrio somatik kedelai hasil rekayasa genetik (atas izin peneliti rekayasa genetik kedelai, Gustian, 2000)

 

1.        1.        III.   Pelaksanaan Sertifikasi benih

Pedoman pelaksanaan sertifikasi benih yang telah diterbitkan Departemen Pertanian  RI ditujukan untuk benih yang dihasilkan secara konvensional.  Salah satu pedoman yang dapat digunakan adalah yang diterbitkan Dirjen Tanaman Pangan, Direktorat Bina Produksi  pada tahun 1985.  Penanggung jawab dan pelaksana sertifikasi adalah Balai Pengawasan dan Sertifikasi Benih (BPSB) yang tersebar sampai di tingkat Kabupaten.  Sampai sejauh ini belum diterapkan Internal Quality Control dalam produksi benih di Indonesia.

Dalam pedoman Sertifiksi Benih dijelaskan secara rinci semenjak evaluasi sumber benih sampai dengan pengujian di laboratorium.  Sumber benih harus jelas sehingga dengan demikian kepastian mutu genetik benih dapat dijamin.  Pemeriksaan lapangan produksi benih dilakukan dengan aturan yang jelas, disesuaikan dengan fase-fase pertumbuhan dan perkembangan tanaman.  Selama masa panen dan pascapanen juga dilakukan pengawasan sedemikian rupa sehingga benih yang dihasilkan tidak tercampur dengan varietas lainnya.  Pemeriksaan gudang penyimpanan benih juga dilakukan.  Pengujian laboratorium merupakan kegiatan yang mutlak harus dilakukan.  Sejauh ini bentuk-bentuk pengujian yang dilakukan di laboratorium benih adalah: pengujian kadar air, pengujian kemurnian benih, dan pengujian viabilitas dan vigor benih.

Sementara itu, di negara-negara yang sudah lebih maju, selain pengujian-pengujian tersebut di atas, pengujian kesehatan benih mutlak harus dilakukan (Douglas, 1980), begitu juga dengan India (Agrawal, 1982).  Pengujian kesehatan sangat erat kaitannya dengan penyebaran penyakit melalui benih (seed-borne diseases) ( Langerak, van denBulk, dan Franken, 1996).

Metode sertifikasi untuk setiap tahapan pengujian tersebut sudah dikembangkan sedemikian rupa, seperti roguing untuk pemeriksaan lapangan, metode Oven untuk pengujian kadar air, uji kecambah baku (standard germination test) untuk daya kecambah dan uji hitung pertama (first count test) untuk daya tumbuh  benih. Langkah-langkah pelaksanaan sertifikasi benih yang umum dilakukan di Indonesia dapat disederhanakan seperti pada Gambar 2.

Permohonan untuk sertifikasi

 
 


 

Pemeriksaan lapang

 
 


 

 

 


 

 

 


 

 


 

 

 

 

 

 

 

 

*) Uji kesehatan benih masih jarang dilaksanakan di Indonesia.

Gambar 2.   Langkah-langkah sertifikasi benih tanaman di Indonesia

Metode sertifikasi tersebut sudah cukup baik, terutama untuk benih-benih berupa biji yang diperbanyak secara konvensional. Sementara dengan terus berkembangnya teknik perbanyakan tanaman melalui kultur jaringan, dan kemajuan pemuliaan tanaman melalui rekayasa genetik, metode sertifikasi tersebut akan menghadapi hambatan dalam pelaksanaannya. Perkembangan dalam metode analisis keturunan melalui marka molekuler sangat mungkin dikembangkan terutama dalam uji kemurnian varietas dan kesehatan benih. Jika suatu saat benih yang diperjual belikan dalam bentuk artifisial seeds atau bahkan sel, hendaknya metode sertifikasinya juga sudah dipersiapkan dari sekarang.

Beberapa tahun belakangan ini negara-negara maju, terutama Amerika Serikat dan Kanada telah menetapkan berbagai aturan dalam produksi dan distribusi dari tanaman hasil rekayasa genetik.    Sementara di  Benua Eropa masih terjadi pro dan kontra dalam pemanfaatan tanaman hasil rekayasa genetik  tersebut.  Beberapa negara seperti Belanda dan Perancis sudah mempersiapkan berbagai aturan, termasuk distribusi benih serta sertifikasinya (Commandeur,  Joly,  Levidow,  Tappeser  dan Terragni.  1996).

 

2.        2.        IV.   Manfaat Sertifikasi Benih

Menurut Agrawal (1982) tujuan dari sertifikasi benih adalah untuk menjamin kemurnian (genuineness) dan kualitas (quality) benih yang akan dibeli konsumen.  Apabila tujuan ini tercapai, manfaatnya akan sangat terasa bagi konsumen, dalam hal ini petani.  Kemurnian varietas merupakan syarat yang sangat penting dalam pertanian modern. Aplikasi teknologi produksi menghendaki  varietas yang jelas, karena penerapan teknologi menjadi lebih spesifik.

Tidak dapat dipungkiri bahwa dari benih yang baik akan dihasilkan tanaman yang lebih baik dan berproduksi tinggi.  Dengan jaminan kualitas yang diberikan hasil sertifikasi, petani dapat memperhitungkan jumlah benih yang dibutuhkan untuk luasan tertentu dengan melihat persentase daya kecambahnya.  Benih dengan vigor yang tinggi mampu menghadapi deraan lapang yang beragam sehingga keberhasilan produksi terjamin. Benih yang lulus uji kesehatan benih tidak akan mewariskan penyakit pada generasi berikutnya dan tidak akan menyebarkan penyakit pada tanaman sekitarnya.

Apabila metode sertifikasi yang ada sekarang tidak disempurnakan, siapa yang dapat menjamin kebenaran informasi dari produsen benih hasil kultur jaringan ?  Belum lagi jika yang akan disertifikasi benih hasil rekayasa genetik.  Dengan mengembangkan metode sertifikasi benih yang baru diharapkan dapat menjawab tantangan yang telah dan   segera muncul di depan mata.

Sebagai perbandingan, di Amerika Serikat organisasi yang mengelola perbenihan adalah AOSCA (Association of Offcial Seed Certifying Agencies). Dengan adanya organisasi ini telah memberikan manfaat yang nyata bagi perkembangan industri benih di negara tersebut (Douglas, 1980).

 Sementara itu beberapa tahun belakangan ini produk rekayasa genetik di Amerika Serikat telah terdaftar secara resmi di FDA (Food and Drug Administration) khususnya di Center for Food Safety and Applied Nutrition.  Sebagai gambaran, pada tahun 1994 terdaftar 4 varietas tomat transgenik, 1 varieatas kentang, 1 varietas kedelai, 1 varietas kapas dan 1 varietas labu (squash). Tahun 1996 merupakan tahun diluncurkannya 6 varietas jagung transgenik dengan berbagai keunggulan. Sedangkan padi transgenik baru terdaftar pada tahun 2000 ini (FDA; http://www.fda.gov/).  Benih-benih transgenik tersebut sudah dilengkapi dengan sertifikat hasil sertifikasi, sehingga petani yang akan menggunakannya mendapatkan informasi yang akurat, sementara konsumen  dari produk tanaman tersebut juga mendapatkan informasi yang jelas.  Dengan demikian mereka dapat dengan objektif, apakah akan menerima atau menolak produk tersbut.  Manfaat tersebut tidak akan diperoleh jika proses sertifikasi tidak dilakukan.

 

V.      Implementasi sertifikasi benih hasil kultur jaringan dan rekayasa genetik

Menyadari pentingnya dilakukan sertifikasi untuk  benih-benih hasil kultur jaringan dan rekayasa genetik, maka dirasakan perlunya ditetapkan metode yang efisien dan akurat untuk itu.  Beberapa metode yang kemungkinan dapat digunakan antara lain adalah:  marka molekuler untuk mengetahui kemurnian varietas (Mayes, James, Horner, Jack, dan Corley, 1996),  kesegaran sel (Dixon dan Gonzales, 1992)  atau gabungan antara metode sertifikasi konvensional yang meliputi pemeriksaaan lapang, uji laboratorium, viabilias, dan vigor dengan metode pelacakan secara molekuler.

Metode penetapan sampel dan jumlah sampel dari setiap lot benih yang akan diuji juga perlu untuk dipikirkan,  apalagi penerapan uji laboratorium yang jelas membutuhkan dana jauh lebih besar dari uji benih secara konvensional. Harus juga dipikirkan bahwa penambahan biaya produksi benih dengan metode pengujian yang dikembangkan ini jangan sampai memberatkan petani yang terpaksa membeli benih dengan harga yang lebih  mahal, padahal harga jual hasil panen mereka belum tentu menguntungkan.

Satu hal yang juga perlu mendapat perhatian adalah bagaimana mengurangi beban pemerintah dalam sertifikasi.  Hal ini bisa diwujudkan dengan membangun sistem Internal Quality Control yang berkualitas pada setiap industri benih atau mengembangkan sistem pengawasan independen dan bertanggung jawab. Dengan demikian peran pemerintah hanya ditujukan pada penetapan kebijaksanaan dan pengawasan.

 

VI.   Kesimpulan

Mengingat semakin berkembangnya teknik perbanyakan tanaman secara kultur jaringan maka sangat mendesak untuk menetapkan metode sertifikasi yang efisien dan akurat untuk benih-benih hasil teknologi tersebut.  Sementara untuk benih-benih hasil rekayasa genetik walaupun belum ada yang dilepas secara resmi oleh Pemerintah, perlu segera dipersiapkan metode sertifikasinya sehingga begitu ada lampu hijau untuk pelepasan varietas baru transgenik, termasuk yang diimpor,  perangkat sertifikasinya sudah dapat pula diterapkan sehingga petani dan konsumen lainnya terlindungi.

Daftar Pustaka

Agrawal, R.L. 1982.  Seed Technology. Oxford and IBH Publishing Co. New Delhi.

Badan Benih Nasional, 1977. Himpunan Surat Keputusan dan Peraturan tentang Perbenihan. Jakarta.

Bhojwani, S.S. 1990.  Plant Tissue Culture: Applications and Limitations. Elseveir.  Amsterdam.

Commandeur, P., Joly,P.B., Levidow, L., Tappeser B. dan Terragni, F.  1996.  Public Debate and Regulation of Biotechnology in Europe.  Biotechnology and Development Monitor, No.26, p.2-9. http://www.pscw.uva.nl/monitor/

Departemen Pertanian, 1992. Undang-undang Republik Indonesia nomor 12 tahun 1992 Tentang Sistem Budidaya Tanaman. Jakarta.

Douglas, J. E. 1980.  Successful Seed Programs : A Planning and Management Guide. Westview Press. Boulder, Colorado.

Dixon, R.A., dan R. A. Gonzales. 1994.  Plant Cell Culture. A Practical Approach.Oxford University Press. New York.

FDA, http://www.fda.gov/. 2000. Foods Derived from New Plant Varieties Derived through Recombinant DNA Technology.Final Consultations under FDA's 1992 Policy

 

Langerak, C.J., R.W. van den Bulk, dan A.A.J.M. Franken.  1996. Indexing Seeds for Pathogens.  Advances in Botanical Research Vol. 23: 171-215.

Mayes,. S, C.M. James, S.F. Horner, P.L. Jack, dan R.H.V. Corley. 1996.  The application of restriction fragment length polymorphism for the genetic fingerprinting of oil palm (E. guineensis Jacq.). Dalam : Molecular Breeding. Vol. 2, No.2  :175 – 180.

Wattimena G.A, L.W.  Gunawan, N.A, Mattjik, E. Sjamsudin, N. M. A Wiendi, dan A. Ernawati . 1991.  Bioteknologi Tanaman.  Pusat Antar Universitas, Institut Pertanian Bogor.