Kata ‘optimum harvest rate’ atau ‘optimum yield’ pada mulanya dihubungkan dengan tujuan untuk mencapai tingkat panen lestari yang paling tinggi (MSY), yang kemudian berkembang dengan pengenalan konsep maximum net benefit (MEY) daan socially optimum yield

Re-edited  20 December, 2000

 

Copyright © 2000 Ekowati Chasanah  

Makalah  Falsafah Sains (PPs 702)

Program Pasca Sarjana

Institut Pertanian Bogor

 

Dosen:  Prof Dr Ir Rudy C Tarumingkeng

 

 

EVOLUSI FILOSOFIS KONSEP MANAJEMEN SUMBERDAYA PERIKANAN:
Refleksi dinamika pemahaman masalah sosial & lingkungan oleh masyarakat

 

 

Oleh:

Ekowati Chasanah 

(IPN P09600003)

 

 

 PENDAHULUAN:

Dalam sebuah artikel elektronik (Anonim, 2000), disebutkan bahwa pengungkapan jawaban terhadap pertanyaan-pertanyaan tak kunjung selesai semisal: siapa saya, apa itu kebenaran, telah mendorong berkembangnya filosofi. Selanjutnya, dikatakan pula bahwa sejarah menunjukkan bahwa pendekatan tersendiri terhadap pertanyaan-pertanyaan semacam ini pada umumnya tidak sama untuk kurun jaman yang berbeda. Perbedaan ini dipengaruhi terutama pada pengetahuan, teknologi, dan etika yang berlaku pada jaman-jaman tersebut. Perlu pula disebutkan di sini bahwa ada gilirannya, perkembangan yang terjadi pada filosofi-filosofi itu akan berdampak balik faktor-faktor penentu dari perkembangan filosofi itu sendiri. Misalnya, perkembangan filosofi dapat bermuara pada berdirinya sebuah bentuk etika atau sistim nilai baru.

Makalah ini dimaksudkan untuk mengungkapkan adanya konsistensi atas fenomena sebagaimana digambarkan pada alenia di atas, pada bidang keilmuan perikanan karena latar belakang penulis selama ini bekerja dalam institusi di bidang perikanan. Dalam hal ini, penulis akan mengungkapkan sebuah tinjauan terhadap perkembangan filosofis yang tertuang dalam konsep ataupun model yang mendasari tindakan masyarakat perikanan. Secara lebih spesifik, konsep atau model dimaksud adalah ‘tingkat penangkapan optimum’, yaitu batasan ilmiah yang menunjukkan besarnya tingkat pemanenan / penangkapan yang seharusnya diterapkan pada kegiatan eksploitasi sumberdaya perikanan.

 

PERKEMBANGAN KONSEP ‘TINGKAT PENANGKAPAN OPTIMUM’

Sejauh ini, perkembangan pengertian atas konsep ‘tingkat penangkapan optimum’ dalam pengelolaan sumberdaya perikanan telah melewati tiga tahapan (Cunningham, 1985; Copes, 1981; Christy, 1973):

1.      Tahap dimana kegiatan penangkapan stok perikanan diarahkan pada pencapaian tingkat produksi lestari tertinggi (maximum sustainable yield, MSY). Pendekatan dalam konsep ini didasarkan sepenuhnya pada variabel dan parameter biologis.

2.      Tahap dimana arah kegiatan penangkapan dititik-beratkan bukan pada pencapaian tingkat produksi tertinggi, melainkan pada tingkat produksi lestari yang memberikan efisiensi tertinggi (maximum economic yield, MEY). Dengan demikian, selain mempertimbangkan variabel dan parameter biologi, konsep ini juga memasukkan variabel dan parameter ekonomi.

3.      Tahap dimana kegiatan penangkapan diarahkan pada pencapaian produksi lestari yang memberikan nilai sosial tertinggi (socially optimum yield, OSY). Konsep ini didasarkan pada pendapat kritikus terhadap konsep MEY (mis. Charles, 1994), bahwa pertimbangan dalam penentuan tingkat penangkapan optimal seharusnya tidak terbatas pada variabel ekonomis dan biologis saja, melainkan harus mencakup segenap aspek yang terkait. Di antara aspek-aspek terkait tersebut adalah aspek sosial (Healey, 1984), politik (Beddington and Rettig, 1983), budaya (Charles, 1994). Sebagian sosiolog (mis. Christy, 1973) bahkan memasukkan aspek yang tampak tidak ada hubungannya dengan perikanan semisal nasionalisme.

 

Optimum biologi

Konsep biologi merupakan yang pertama memberikan interpretasi terhadap istilah tangkap optimum (Schaefer, 1954). Menurut konsep ini, penentuan nilai optimum dilakukan berdasar model pertumbuhan populasi alami (natural population growth model). Model ini didasarkan atas teori yang menyatakan keterkaitan antara tingkat kepadatan dengan tingkat pertumbuhan populasi ikan. Implikasi lanjut dari teori tersebut adalah bahwa aktivitas penangkapan konstan sebesar laju pertumbuhan tertentu akan menyebabkan bertahannya populasi pada tingkat kepadatan tertentu pula.

Keterbatasan ketersediaan makanan dan ruang menyebabkan pertumbuhan populasi akan menurun sejalan dengan kenaikan kepadatan populasi. Oleh karena itu, hubungan antara tingkat pertumbuhan dan tingkat kepadatan pupulasi biasanya digambarkan dengan kurva berbentuk genta. Puncak dari kurva itu menunjukkan pertumbuhan maksimum dari populasi ikan, dan nilai itulah tingkat pemanenan tertinggi yang diperbolehkan atas stok ikan yang bersangkutan (MSY). Tampak di sini bahwa sasaran optimalisasi menurut konsep MSY adalah tujuan biologis, yaitu pencapaian produksi tertinggi berdasarkan kapasitas sumberdayanya.

 

Optimum ekonomi

Konsep optimum berikutnya dikembangkan kemudian oleh para ekonom, dengan mengedepankan paradigma baru, yaitu efisiensi. Dalam hal ini, model pertumbuhan populasi alami diperbaiki dengan pencantuman variabel dan parameter ekonomi, sehingga besarnya laba bersih dari setiap tingkat penangkapan tertentu dapat ditentukan. Parameter biaya perlu dicantumkan dengan pertimbangan bahwa realisasi potensi produksi dari suatu populasi tidak terlepas dari penyertaan input sampai tingkat tertentu.. Dari model ini, dapat ditentukan tingkat panen yang memberikan laba bersih tertinggi, yang disebut sebagai maximum economic yield (MEY). Pada masa itu, para ekonom meyakini bahwa MEY itulah konsep optimum yang sesungguhnya (Healey, 1984).

 

Optimum sosial

Perkembangan kompleksitas masalah dalam manajemen perikanan mendorong pemikiran baru untuk merumuskan konsep panen optimum yang lebih baik. Konsep lama, yang terbukti cukup mampu untuk menjawab persoalan yang terkait dengan pemanfaatan sumberdaya perikanan selama bertahun-tahun, dirasa tidak mampu lagi menjawab persoalan baru yang muncull beberapa waktu kemudian. Bahkan, terbukti bahwa asumsi-asumsi yang dipergunakan pada konsep yang lama lama sangat berpotensi untuk menghancurkan kelangsungan sumberdaya perikanan. Sebagaimana dikemukanan oleh para ahli ilmu sosial, e.g., Crutchfield (1975), Roedel (1975), dan Healey (1984), konsep MEY terbukti tidak cukup fleksibel untuk menghadapi perkembangan kompleksitas masalah tersebut. Kelemahan konsep MEY pun diakui oleh beberapa pendukungnya, misalnya Christy  (1977).

Secara lebih spesifik, Healey (1984) mengatakan bahwa optimum yield seharusnya tidak hanya memasukkan variabel-variabel ekonomi yang terkait langsung dengan produksi (biaya ekploitasi, nilai penjualan, dan tingkat suku bunga), melainkan harus pula merangkum variabel-variabel tak langsung seperti misalnya nilai konservasi, nilai sosial, dsb. Sebetulnya, sepanjang tersedia teknik yang dapat digunakan untuk mengukur nilai ekonomis dari variabel-variabel tak langsung tersebut, konsep MEY telah cukup memadai (Copes, 1981). Masalahnya, penentuan nilai ekonomis dari variabel-variabel yang sebenarnya relevan dengan manajemen suatu sumberdaya perikanan sering tidak mudah. Sebagai contoh, Pollnac & Littlefield (in Healey, 1984) menunjuk suatu variabel berupa manfaat psikis yang diperoleh dari kegiatan menangkap ikan.

Contoh lain dari variabel penting yang sulit untuk dikuantifikasikan adalah ‘etika’, sebagaimana didiskusikan dalam Sears (1965). Diskusi tentang etika secara umum menyimpulkan bahwa harus ada keseimbangan dalam menyikapi keberadaan sumberdaya alam. Rees (1990), misalnya, mengatakan bahwa pemanfaatan sumberdaya oleh manusia tidak boleh mengorbankan tatanan alam; misalnya., pembangunan yang ditujukan untuk manfaat-manfaat yang bersifat ekonomis harus menghindari penurunan keindahan alam. Di sisi lain, literature lain (e.g., WECD, 1987 and Brown, 1995) mengingatkan pentingnya eksistensi manusia dalam mengusahakan pelestarian alam. Sebuah pesan penting yang harus kita perhatikan adalah bahwa tidak pada tempatnya untuk memaksa sekelompok masyarakat miskin meninggalkan kegiatan pemanenan suatu sumberdaya atas nama sebuah manfaat tertentu, semisal eksistensi sumberdaya tersebut, yang hanya bisa dinikmati oleh sekelompok orangkaya dari kota. Kontroversi tentang ‘keseimbangan’ bisa berlangsung selamanya karena sebagaimana dikatakan oleh Cunningham (1985) nilai optimum sebenarnya bergantung pada siapa yang sedang mencoba mengoptimalkan.

Untuk mengakomodasikan aspek-aspek / variabel yang tidak tercakup dalam konsep  MEY, Healey (1984) memperkenalkan sebuah pendekatan yang dinamakan analisis multiatribut. Pendekatan ini dikembangkan dengan memandang manfaat maksimum suatu sumberdaya dengan kepuasan tertinggi yang didapat oleh para penggunanya. Kepuasan tersebut digambarkan sebagai akumulasi dari berbagai komponen manfaat (atau disebut sebagai atribut) yang dirasa oleh pengguna dari eksploitasi sumberdaya, misalnya manfaat eknonomi, manfaat sosial, dsb. Tegasnya, konsep ini menyerahkan penilaian subjektif atas komponen-komponen manfaat tersebut kepada pengguna. Kepada pengguna, diberikan keleluasaan untuk memilih suatu tingkat eksploitasi yang terbaik menurut pandangan mereka dengan catatan bahwa pilihan tersebut tidak boleh melebihi kapasitas yang dimiliki oleh sumberdaya tersebut. Tingkat eksploitasi terpilih tersebut kemudian dinamakan OSY (Socially Optimum Yield).

 

DISKUSI

Adanya perkembangan yang terjadi pada konsep atau model sebagaimana diilustrasikan di atas sebenarnya hanya merupakan satu penegasan bahwa filosofi yang berhubungan dengan gejala alam maupun sosial  tidaklah statis. Hal ini konsisten dengan apa yang dapat kita temui dalam literatur. Dalam Anonim (2000), misalnya, disebutkan bahwa suatu konsep atau model pada dasarnya merupakan konstruksi antar waktu yang dinamis, yang terbentuk  sebagai hasil akhir dari suatu proses coba-coba (trial-and-error) yang dilakukan oleh individu-individu ataupun masyarakat. Masih dari sumber yang sama, disebutkan pula bahwa model yang tidak menghasilkan prediksi yang baik akan tersingkir. Dalam kaitannya dengan konsep-konsep panen optimum di atas, proses coba-coba itu tergambar jelas dengan diterapkannya pendekatan biologi pada tahap awal, pendekatan ekonomi pada periode berikutnya, dan pendekatan sosial komprehensif pada masa sekarang. Perkembangan tersebut juga menunjukkan bahwa pada saatnya, model yang tidak dapat memenuhi tuntutan pada jamannya akan tersingkir atau tidak lagi dipakai.

Kalau kita telaah lebih lanjut, kita akan temukan bahwa perkembangan perubahan yang terjadi pada konsep panen optimum tersebut juga tidak lepas dari batasan alamiah yang berlaku dan mempengaruhi pengembangan konsep ilmiah pada umumnya. Di bawah ini adalah beberapa contoh dimana batasan ilmiah telah berperan membentuk bangun dan proses perubahan dari konsep tersebut.

Pada ketiga konsep yang telah berhasil dikembangkan sejauh ini, tingkat pemanenan atau penangkapan ikan selalu didasari asumsi keterbatasan kapasitas alamiah dari sumberdaya yang dikelola. Penjelasan terhadap hal ini adalah bahwa pengembangan suatu konsep atau model pada suatu masa tidak terlepas dari pemahaman ilmiah manusia pada masa itu (Anonim, 2000). Hingga saat ini, faham Malthusian (lihat Rees, 1990), dimana sumberdaya alam diyakini memiliki batas tertentu, masih menjadi acuan utama dalam manajemen sumberdaya alam.  Karenanya masyarakat perikanan pun mau tidak mau harus mengembangkan ketiga konsep di atas dengan dibatasi oleh kaidah yang mereka yakini kebenarannya tersebut.

Selanjutnya, kita lihat dari deskripsi tentang ketiga konsep di atas, para penggagas memasukkan pertimbangan-pertimbangan baru kedalam konsep yang mereka kembangkan di masa kemudian. Faktor sosial, yang diabaikan pada konsep sebelumnya dan yang berpotensi pada bencana, dimasukkan sebagai komponen penting dalam konsep yang mereka kembangkan kemudian. Hal ini tidak lain merupakan manifestasi dari prinsip kehati-hatian, sebagaimana banyak dianjurkan di dalam literatur. Campbell (1978), misalnya, menekankan bahwa pengembangan konsep baru sedapat mungkin harus membertimbangkan wisdom yang dapat dipelajari dari penerapan konsep yang didasari atas situasi di masa lalu. Dikatakannya lebih lanjut, suatu model yang menggantungkan teknik ekstrapolasi secara ceroboh dari masa lalu ke masa sekarang memang lebih sering mengakibatkan bencana daripada manfaat.

Pada bagian lain, kita lihat bahwa penilaian subjektif dari para pengguna sumberdaya (resource stakeholders) dimasukkan kedalam konsep yang dikembangkan akhir-akhir ini. Hal ini merupakan cerminan dari apa yang diingatkan oleh Heylighen (1991) dan Turchin (1991). Heylighen mengatakan bahwa batasan alamiah cenderung membesar dari waktu ke waktu sehingga konsep-konsep yang menyangkut pemanfaatan sumberdaya alam akan mengarah pada diberlakukannya tingkat kontrol yang lebih besar, mengikuti membesarnya derajat batasan alamiah. Di lain pihak, (Turchin, 1991) menunjukkan bahwa pada saatnya batasan-batasan alamiah semakin besar dan pada saat itu barangkali manusia akan mendapatkan kebebasan untuk menentukan pilihan kontrol terbaik, mengikuti penilaian manusiawi mereka. Pemasukan penilaian subjektif adalah contoh operasional dari kebebasan dimaksud.

 

KESIMPULAN

Pesan apa yang dapat kita petik dari diskusi di atas? Bagi penulis, gejala yang terjadi pada perubahan konsep ilmiah sebagaimana diilustrasikan di atas hanyalah sebuah refleksi dari kaidah-kaidah yang memang tidak dapat dipungkiri dalam pengembangan pandangan, konsep, ataupun aspek keilmiahan lain pada umumnya. Namun begitu, penulis melihat paling tidak ada satu pesan penting dari diskusi di atas: Pemahaman tentang dinamika makna kebenaran ilmiah sebagaimana dicontohkan di atas seharusnya dapat memotivasi ilmuwan untuk selalu terbuka terhadap masuknya unsur-unsur baru yang mengarah pada pencapaian kebenaran ilmiah yang hakiki.

 

PUSTAKA

Anonim, 2000. http://mccc.bio.uci.edu/se10

Brown, B. 1995. In Timber Country: Working People’s Stories of Environmental Conflict and Urban Flight. Temple University Press, Philadelphia.

Campbell, D.T. 1979. Comments on the sociology of ethics and moralizing. Behavioral Science, New York.

Charles, A. T. 1994. Toward sustainability: the fishery experience. Ecological Economics no. 11: 201-211.

Christy, F. 1977. The Fishery Conservation and management act of 1976: management activities and the distribution of benefits and costs. Washington Law Review, no. 52: 657-680.

Christy, F. 1973. Alternative arrangements for marine fisheries: An overview. Resources for the Future, Inc. Washington.

Copes, P. 1981. Rational resource management and institutional constraints: the case of the fishery. In J. A. Butlin (ed). Economics and Resource Policy. Longman, London.

Crutchfield, J.A. 1975. An economic view of optimum sustainable yield. In P.M. Roedel (ed.), Optimum sustainable yield as a concept in fisheries management. American Fisheries Society Special Publication, no. 9:13-19.

Cunningham, S., M.R. Dunn, and D.W. Whitmarsh. 1985. Fisheries Economics: An Introduction. Mansel Publications, London and St. Martin Press, New York.

Eisgruber, L. M. 1993. Sustainable development, ethics, and the endangered species Act. Choices, 3rd quarter: 11-16.

Healey, M.C. 1984. Multiattribute analysis and the concept of optimal yield. Canadian Journal of Fisheries and Aquatic Sciences  41: 1393-1406.

Heylighen, F. 1991. Evolutionary fondations for metaphysics, epistemology, and ethics. In F. Heylighen (ed.). Principia Cybernetica, Brussels, New York.

Pollnac, R.B., and S.J. Littlefield. 1983. Sociocultural aspects of fisheries management. Ocean Development  and International Law Journal  no. 12: 209-246

Rees, W. 1990. Natural resources: Allocation, Economics and Policy. Routledge, London

Roedel, P.M. 1975. A summary and critique of the symposium on optimum yield. In P.M. Roedel (ed.), Optimum Sustainable Yield as a Concept in Fisheries Management, 79-89. American Fisheries Society Publications. 9. Allen Press Inc., Lawrence, Texas.

Schaefer, M.B. 1954. Some aspects of the dynamics of populations important to the management of the commercial marine fisheries. Inter-America Tuna commission. La Jola, California.

Sears, P.B. 1965. Aesthetic, ethics, and resource conservation. In I. Burton and W Kates (eds.). Readings in resource management and conservation. The U. of Chicago Press. Chicago and London.

Turchin, V. 1991. Cybernetic and Philosophy. In F. Geyer (ed.).  Proc. Of Cybernetics and Systems. Intersystems, Salinas, CA.

WCED. 1987. Our Common Future. World Commission on Environmental and Development