Re-edited
Copyright
© 2000 Fredrik Rieuwpassa
Makalah Falsafah Sains (PPs 702)
Program
Pasca Sarjana
Institut
Pertanian
Dosen: Prof Dr Ir Rudy C Tarumingkeng
KAJIAN FILUSUF TERHADAP KEBENARAN SAINS
Oleh :
FREDRIK RIEUWPASSA
P.216.OOOO1-GMK)
I. PENDAHULUAN
1. Latar Belakang
Filsafat
adalah mater scientiarum atau induk ilmu pengetahuan. Filsafat disebut ilmu pengetahuan karena
memang filsafatlah yang telah melahirkan segala ilmu pengetahuan yang ada. Jauh dari keinginan untuk mendewakan dan
memulia-kan filsafat, kehadirannya yang terus-menerus di sepanjang sejarah
peradaban manusia sejak kelahirannya sekitar 25 abad yang lalu telah memberi
kesaksian yang menyakinkan tentang betapa pentingnya filsafat bagi manusia
(Rapar, 1995).
Menyadari akan adanya keterbatasan manusia dan
hakekat ilmu pengetahuan, sebagai seorang ilmuwan sekaliber Einstein sekalipun
masih menyadari sulitnya menjawab pertanyaan tentang kebenaran sains, padahal
untuk menjawabnya hanya memerlukan satu kata dari dua kata yaitu ; ya atau
tidak. Disini yang disadari oleh ilmuwan
sekaliber Einstein bukan jawaban yang salah satu dari dua kata tersebut, tetapi
alasan atau penjelasannya mengapa kita menjawab salah satu dari dua kata
tersebut. Walaupun pertanyaan tersebut sulit dijawab, namun dalam realitas
kehidupan, kita telah melihat dan merasakan bahwa hampir seluruh keperluan dari
sendi kehidupan kita telah dipermudah dan dipenuhi oleh adanya perkembangan
ilmu pengetahuan.
2. Penetapan Masalah, Tujuan dan Hipotesis.
Alasan pengkajian terhadap kebenaran
sains adalah karena sains merupakan salah satu dari pemikiran manusia dalam
menjawab pertanyaan-pertanyaan. Sains
merupakan salah satu dari pengetahuan manusia. Dan untuk bisa menghargai dan
menjawab pertanyaan-pertanyaan tersebut secara komprehensip, maka
pikiran-pikiran besar yang telah dikemukakan oleh para filusuf perlu dikaji dan
dipahami guna menemukan jawaban yang lebih mendasar apakah sains akan mencapai
suatu kebenaran atau tidak.
Atas dasar itulah, maka tujuan penulisan paper ini adalah untuk mengkaji
dan menganalisis faktor-faktor apa saja yang dapat menjawab kebenaran
sains. Selain itu, papar ini akan
memberikan solusi arternatif dalam menjawab persoalan tersebut, sehingga paling tidak kekurangan dan kelebihan dalam
menjawab pertanyaan tersebut dapat diminimalisasikan.
Hipotesis yang dirumuskan
adalah bahwa kebenaran sains bila ditinjau dari aspek rasionalisme maupun
empirisme mempunyai kelemahan dan kelebihan.
Hipo-tesis lain yang dapat dikemukakan adalah kekurangan dan kelebihan
kebenaran sains merupakan peluang untuk menimbulkan keraguan terhadap
kesimpulan sehingga menyakinkan dikembangkan lagi suatu pengkajian ulang
terhadap kebenaran sains tersebut.
II.
EPISTEMOLOGI SAINS
Epistemologi
adalah kajian tentang validitas dan batas-batas (limit) ilmu pengetahuan. Ilmu merupakan pengetahuan yang didapatkan
melalui proses tertentu yang dinamakan metode keilmuan. Metode inilah yang membedakan ilmu dengan
buah pikiran lainnya, atau dengan perkataan lain, Ilmu adalah pengetahuan yang
diperoleh dengan menerapkan metode keilmuan.
Karena itu ilmu merupakan sebagian dari pengetahuan, yakni pengetahuan
yang memilki sifat-sifat tertentu, maka ilmu juga dapat disebut pengetahuan
keilmuan. Untuk tujuan ini, agar tidak
terjadi kekacauan antara pengertian “Ilmu/Sains” (Science) dan “Pengetahuan”
(Know-ledge), maka kita mempergunakan istilah “Sains/Ilmu” untu ilmu
pengetahuan.
III. HISTORIS DAN PERKEMBANGAN SAINS.
Sejak awal perkembangan ilmu pengetahuan yang
secara jelas dimulai dari bangsa Mesir hingga mengalami pertumbuhan pesat di
Eropa pada abad 16 dan hingga abad 20 saat ini,
secara jelas terlihat adanya tanda-tanda kebenaran, bahwa bangsa-bangsa
yang lebih awal mengembangkan dan menguasai ilmu pengetahuan dan juga teknologi
lebih maju dibandingkan dengan bangsa-bangsa yang baru atau sedang
mengembangkan dan menguasai ilmu pengetahuan dan teknologi.
Kenyataan tersebut diatas
memberikan isyarat bahwa terlepas dari berapa besar persentase kebenaran atau
kesesuaian suatu ilmu pengetahuan untuk memenuhi suatu obyek, dia telah mampu
membentuk peradaban manusia seperti apa yang kita miliki sekarang. Walaupun demikian, disadari pula bahwa untuk
menemukan kebenaran sumber satu-satunya
bukan hanya berasal dari ilmu pengetahuan.
Ditinjau dari segi
perkembangannya, seperti juga semua unsur kebudayaan manusia, ilmu merupakan
gabungan dari cara-cara manusia sebelumnya dalam mencari pengetahuan. Sedangkan ditinjau dari segi cara berpikir
manusia, terdapat dua pola dalam memperoleh pengetahuan, yaitu Pola
pertama berpikir secara Rasional, dikenal sebagai kaum
rasional dan pola kedua berpikir secara empiris,
dikenal sebagai kaum emperialis (antirasionalis).
Pola berpikir kaum
rasionalis, diantaranya seperti Plato dan Rene Descrates bertumpuk dari aksioma
dasar yang diturunkan dari ide tentang kebenaran yang menurut anggapannya
adalah jelas, tegas dan pasti dalam pikran manusia. Pikiran manusia mempunyai kemampuan untuk
mengetahui idea tersebut, namun manusia tidak menciptakannya dan tidak pula
mempelajari lewat pengalaman.
Singkatnya, bahwa bagi kaum rasionalisme idea tentang kebenaran, yang
menjadi dasar bagi pengetahuannya diperoleh lewat berpikir secara rasional atau
dengan kata lain kriteria kebenaran pengetahuan dikaitkan dengan kesesuaian antara pemikiran dengan
kenyataan, terlepas dari pengalaman manusia.
Sistem pengetahuan dibangun secara koheran diatas landasan-landasan
pernyataan yang sudah pasti. Namun
timbul pertanyaan, dari manakah kita mendapat kebenaran yang sudah pasti bila
kebenaran itu tercerai dari pengalaman manusia yang nyata ?. Disinilah kaum rasionalis mulai menemukan
kesulitan untuk mendapatkan konsensus
yang dapat dijadikan landasan bagi kegiatan berpikir bersama. Disini terlihat bahwa tiap orang cenderung
untuk percaya kepada kebenaran yang pasti menurut mereka sendiri. Lalu bagaimana kita bisa sampai pada suatu
konsensus bila hanya berdasarkan apa yang dianggap benar oleh masing-masing
?. Kenyataan yang dihadapi, tidak hanya
oleh para ilmuawan, bahwa betapa sukarnya untuk sampai kepada suatu kesimpulan
yang dapat disetujui bersama bila hanya berdasarkan pada cara tersebut. Cara berpikir seperti ini akan menjerumuskan
kita kedalam Silopsisme, yakni pengetahuan yang benar menurut anggapan kita
masing-masing.
Dalam perkembangannya,
kaum rasionalis dikritik oleh kaum antirasionalis. Kritit tersebut meliputi :
(1). Pengetahuan rasional dibentuk oleh idea yang
tidak dapat dilihat atau diraba.
Eksistensi tentang idea yang sudah pasti maupun yang bersifat bawaan itu
sendiri belum dapat dikuatkan oleh semua manusia dengan kekuatan dan keyakinan
yang sama. Lebih lanjut, terdapat
perbedaan yang nyata diantara kaum rasionalis itu sendiri mengenai kebenaran
dasar yang menjadi landasan dalam menalar.
Plato, St.Augustine dan Descrates
mengembangkan teori-teori rasional secara sendiri-sendiri yang masing-masing
berbeda.
(2). Teori rasional gagal dalam menjalankan
perubahan dan pertambahan pengetahuan manusia selama ini. Banyak dari idea yang sudah pasti pada suatu
waktu kemudian, berubah pada waktu yang lain.
Pada suatu saat dalam sejarah, idea bahwa bumi adalah pusat dari sistem
matahari hampir diterima secara umum sebagai suatu pernyataan yang pasti.
Seiring dengan berbagai
kritik yang dilontarkan kepada kaum rasionalis, muncul suatu pola berpikir
lain, yaitu emperisme yang merupakan cara berpikir yang sama sekali berlawanan
dengan kaum rasionalisme. Kaum empiris,
seperti John Locke (1632 –1704), David Hume (1711 –1776), George Berkeley (1685
– 1753), dan Immanuel Kant (1724 – 1804), yang bosan dengan debat yang tak
berkesudahan, menganjurkan agar kita kembali ke alam untuk mendapatkan
pengetahuan. Alasan mereka adalah bahwa
pengetahuan tidak ada secara apriori terdapat di benak kita, melainkan harus
diperoleh dari pengalaman. Teori
pengetahuannya, terutama yang dikemukakan oleh Lock (bapak kaum empiris
Inggris) didasarkan pada pengalaman yang ditangkap oleh pancaindera kita. Dia memandang pikiran sebagai alat atau
kertas lilin yang licin (tabula rasa)
yang menerima dan menyimpan sensasi pengalaman.
Pengetahuan merupakan hasil dari kegiatan keilmuan (pikiran) yang mengkombinasikan sensasi-sensasi pokok (McCleary,
1998).
Teori empiris sendiri memiliki dua aspek. Pertama
adalah perbedaan antara yang mengetahui (subyek) dan yang diketahui
(obyek). Terdapat di alam nyata yang
terdiri dari fakta atau obyek yang dapat ditangkap oleh seseorang. Kedua adalah kebenaran atau
pengujian kebenaran dari fakta atau obyek didasarkan kepada pengalaman
manusia. Agar berarti bagi kaum empiris,
maka pernyataan tentang ada atau tidak adanya sesuatu haruslah memenuhi
persyaratan pengujian publik. Masalah
yang rumit akan timbul bila persyaratan tentang suatu obyek atau kejadian
ternyata tidak lagi terdapat untuk pengujian secara langsung.
IV.
KAJIAN
FILUSUF TERHADAP KEBENARAN
Dalam
penerapan cara berpikir empiris, sama halnya dengan rasionalis dipertanyakan
oleh beberapa filusuf, apakah pendekatan empiris akan membawa kita lebih dekat
kepada kebenaran ?, mereka menjawab
tidak, sebab menurut mereka gejala yang terdapat dalam pengalaman kita baru
mempunyai arti kalau kita memberikan tafsiran kepada mereka. Fakta yang ada sebagai dirinya sendiri,
tidaklah mampu berkata apa-apa, Para
ilmuwanlah yang memberikan fakta sebuah arti, apakah itu sebuah nama, sebuah
tempat atau apa saja. Disamping itu,
bila kita hanya mengumpulkan pengetahuan mengenai berbagai gejala yang ditemui
dalam pengalaman lalu apakah gunanya semua kumpulan pengetahuan serba aneka
yang tidak berarti, Lebih jauh lagi
mereka mempertanyakan, bagaimanakah cara kita mendapatkan pengetahuan yang
utuh, apakah kita memungut begitu saja seperti mengumpulkan kerang di pantai. Siapakah yang dapat menjamin bahwa
pengetahuan yang dikumpulkan itu benar, seperti apa yang dikatakan oleh Charles
Darwin dalam Suriasumantri, 1999, bahwa tanpa penafsiran yang sungguh-sungguh maka
alam akan mendustai kita bila dia mampu.
Disini terlihat pula bahwa pendekatan empiris tidak mampu memecahkan
masalah pokok dalam menentukan pengetahuan yang benar.
Atas
dasar uraian tersebut, maka para filusuf melontarkan beberapa
kritik terhadap empirisme secara lebih tajam sebagai berikut :
(1). Apakah yang disebut sebagai pengalaman
?. Pengalaman sekali waktu hanya berarti
rangsangan panca indera, lain waktu lagi dia muncul sebagai sebuah sensasi
ditambah dengan penilaian. Sebagai
sebuah konsep, ternyata pengalaman tidak berhubungan langsung dengan kenyataan
obyektif yang sangat ditinggikan oleh kaum empiris. Jika dianalisis secara
kritis, maka pengalaman merupakan pengertian yang terlalu samar untuk dijadikan
dasar bagi sebuah teori pengetahuan yang sistematis.
(2). Sebuah teori yang sangat menitikberatkan pada
presepsi panca indera kiranya melupakan kenyataan bahwa pancaindera manusia
adalah terbatas dan tidak sempurna.
Pancaindera kita sering menyesatkan dimana hal ini disadari pula oleh
kaum empiris. Empirisme tidak mempunyai perlengkapan untuk mem-bedakan antara
khayalan dan kenyataan.
(3). Empirisme tidak memberikan
kita kepastian. Apa yang disebut
pengetahuan yang mungkin, dalam pengertian diatas sebenarnya merupakan
pengetahuan yang seluruhnya diragukan.
Berdasarkan uraian
tersebut, lalu sekarang timbul pertanyaan, pola pikir yang bagaimana yang dapat
menghasilkan Sains mencapai kebenaran. Pertanyaan ini kemudian dijawab oleh kaum
rasionalis dan empiris, setelah telah mengkikis sifat-sifat ekstrim ke
duanya. Jawabannya adalah bahwa mereka
menyadari dengan sepenuhnya bahwa berbagai kelebihan dan kekurangan terdapat
pada masing-masing pola pikir. Diatas
kesadaran ini kemudian timbul gagasan dari keduanya untuk menggabungkan kedua
pendekatan tersebut guna menyusun metode yang lebih dapat diandalkan dalam
menemukan pengetahuan yang benar.
Akhirnya dilahirkan metode ketiga yang dikenal dengan nama METODE
KEILMUAN. Metode ini secara
ringkas merupakan suatu rangkaian prosedur yang tertentu harus diikuti untuk
mendapatkan jawaban yang tertentu dari pengetahuan yang tertentu pula. Kerangka dasar prosedur ini dapat diuraikan
dalam 6 (enam) langkah yaitu :
(1).
Sadar akan adanya masalah dan
perumusan masalah,
(2). Pengamatan
dan pengumpulan data yang relevan,
(3). Penyusunan
atau klasifikasi data,
(4). Perumusan
Hipotesis,
(5). Dedukasi
dan Hipotesis, dan
(6). Tes dan
pengujian kebenaran (verifikasi) dari hipotesis.
Dalam metode keilmuan, rasionalisme
memberikan kerangka pemikiran yang koheran dan logis, sedangkan empirisme
memberikan kerangka pengujian dalam memastikan suatu kebenaran. Metode ini, oleh banyak ilmuan dunia
dipergunakan secara dinamis guna menghasilkan pengetahuan yang konsisten dan
sistematik serta dapat diandalkan, sebab pengetahuan telah teruji secara
empiris. Dalam metode ini, sikap skeptis
merupakan karakteristik seorang ilmuwan, artinya dia tidak pernah menerima
kebenaran suatu pernyataan sebelum penjelasan mengenai isi pernyataan itu dapat
diterima, dan disaksikan secara empiris konsekuensi kebenaran pernyataan
tersebut.
Dalam metode keilmuan,
teori yang telah tersusun pada tahap pendekatan rasional perlu diuji
kebenarannya, dan untuk pengujian ini digunakan pendekatan empiris. Tahap pengujian sangat diperlukan dalam
metode keilmuan didasarkan pada anggapan bahwa bagaimanapun menyakinkannya
suatu penjelasan teoritis yang diberikan, dia hanya bersifat dugaan sementara
mengenai suatu obyek yang sedang
dipermasalahkan. Suatu penjelasan
yang belum teruji secara empiris hanyalah merupakan hipotesis atau dugaan. Hipotesis ini dibangun dari hubungan
konseptual, baik yang baru disusun atau merupakan perluasan dari hipotesis
terdahulu yang telah teruji kebenarannya, yang dipakai menyorot suatu
obyek. Tahap ini merupakan tahap yang
paling sulit dari metodologi keilmuan.
Hipotesis ini yang kemudian kita uji kebenarannya secara empiris. Kalau ternyata pengujian secara empiris tidak
mendukung hipotesis yang diajukan, maka dia dinyatakan benar secara keilmuan,
dan bila secara empiris tidak mendukung, dia dinyatakan tidak benar secara
keilmuan.
Secara singkat dapat
dikatakan bahwa metode keilmuan adalah suatu teori pengetahuan yang dipergunakan
manusia dalam memberikan jawaban tertentu terhadap suatu pertanyaan. Metode ini menitikberatkan kepada suatu urutan prosedur yang seksama, dimana
diperoleh sekumpulan pengetahuan yang diperlukan secara terus menerus dan
bersifat mengoreksi diri sendiri. Metode
keilmuan mendasarkan diri pada anggapan bahwa terdapat keteraturan yang dapat
ditemukan dalam hubungan antara gejala-gejala dan bahwa alat panca indera
manusia (atau alat yang dibuat secara
teliti) pada dasarnya dapat berfungsi secara layak. Lewat pengorganisasian yang sistematis dan
pengujian pengamatan, manusia telah mampu mengumpulkan pengetahuan secara
kumulatif, walaupun yang terus menerus bertumbuh dan mempunyai peluang yang
besar untuk benar. Kendati demikian,
metode keilmuan tidak mengajukan diri sebagai sebuah metode yang
membahayakan manusia kepada sesuatu
kebenaran akhir yang takan pernah berubah.
Kesadaran ini diajukan tentu didasarkan
atas beberapa keterbatasan yang dimiliki oleh metode keilmuan terutama terletak
pada asumsi landasan epistemologi ilmu, yang menyatakan
bahwa kita mampu memperoleh pengetahuan yang bertumpuh pada prespsi,
ingatan dan penalaran.
IV. PENUTUP.
Kajian terhadap kritik
yang telah dilakukan oleh filusuf tentang kebenaran sains tentu merupakan cambuk sekaligus menyadarkan
kita kalangan ilmuawan yang masih muda tentang sulitnya mencapai nilai
kebenaran ilmu, apalagi bila dalam pengembangannya tidak ditopang oleh
cakrawala bidang keilmuan yang luas dan tidak mengikuti kerangka dasar prosedur
keilmuan yang sesuai.
Pengalaman-pengalaman yang
dibangun sebagai dasar kebenaran harus didukung dengan teori-teori yang relevan
dan memiliki sifat objektivitas yang tinggi.
Sebagai seorang ilmuwan,
kita harus mengakui bahwa kebenaran dalam ilmu pengetahuan bukanlah
satu-satunya kebenaran yang ditemui, tetapi masih terdapat kebenaran lain. Dengan demikian kebenaran ilmu pengetahuan
tidak bisa berjalan sendiri-sendiri, tapi harus didampingi dengan
kebenaran-kebenaran seperti, etika, agama dan lain-lain sehingga dapat
menghasilkan suatu nuansa yang baik pada pengetahuan ilmiah.
DAFTAR PUSTAKA
DESCARTE,
R. 1985.
Discource and Method. Translated
by Donald.A. Cress. Hackett Publishing
Company, New York.
HONOR. S.M.
dan T.C. HUNT, 1977. Metode Dalam
Mencari Pengetahuan. Rasionalisme,
Emperisme dan Metode Keilmuan.
Penyunting Suria-sumantri, J.S.
1977. Ilmu dalam Perspektif. Yayasan Obor Indonesia. Jakarta.
KLEMKE, E.D., R. HOLLINGER, and A.D. KLINE. 1988.
Introductory Reading in the Philosiphy of Science. Prometheus Books. New York.
McCLEARY, 1998.
Philosophy of Science.
http://mrrc.bio.uci.edu/se10/philosophy.html Diperoleh dari Internet pada tanggal 30 Nopember 2000.
NASUTION, A.H.
1999. Pengantar ke Filsafat
Sains. Cet. Ke-3. Pustaka Litera Antar Nusa, Bogor.
O’HEAR. A.
1990. Introduction to the Philosophy of
Science. Clarendon Press. Oxford. New York.
RAPAR, J.H.
1996. Pengantar Filsafat. Penerbit Kanisius, Yolyakarta.
SUDARMINTA, J.
1994. Filsalfat Proses. Sebuah Pengantar Sistematik Filsafat Alfred
North Whiteheat. Penerbit Kanisius. Yogyakarta.
SURIASUMANTRI,
J.S. 1999. Filsafat Ilmu: Sebuah Pengantar Populer. Cet. Ke-12. Pustaka Sinar Harapan, Jakarta.