KAJIAN FILUSUF TERHADAP KEBENARAN SAINS

Re-edited  20 December, 2000

 

Copyright © 2000 Fredrik Rieuwpassa   

Makalah  Falsafah Sains (PPs 702)

Program Pasca Sarjana

Institut Pertanian Bogor

 

Dosen:  Prof Dr Ir Rudy C Tarumingkeng

 

KAJIAN FILUSUF TERHADAP KEBENARAN SAINS

 

 

Oleh : 

 

FREDRIK  RIEUWPASSA

P.216.OOOO1-GMK)

 

 

I.                  PENDAHULUAN

 

1.  Latar Belakang

 

Filsafat adalah mater scientiarum atau induk ilmu pengetahuan.  Filsafat disebut ilmu pengetahuan karena memang filsafatlah yang telah melahirkan segala ilmu pengetahuan yang ada.  Jauh dari keinginan untuk mendewakan dan memulia-kan filsafat, kehadirannya yang terus-menerus di sepanjang sejarah peradaban manusia sejak kelahirannya sekitar 25 abad yang lalu telah memberi kesaksian yang menyakinkan tentang betapa pentingnya filsafat bagi manusia (Rapar, 1995).

 Menyadari akan adanya keterbatasan manusia dan hakekat ilmu pengetahuan, sebagai seorang ilmuwan sekaliber Einstein sekalipun masih menyadari sulitnya menjawab pertanyaan tentang kebenaran sains, padahal untuk menjawabnya hanya memerlukan satu kata dari dua kata yaitu ; ya atau tidak.  Disini yang disadari oleh ilmuwan sekaliber Einstein bukan jawaban yang salah satu dari dua kata tersebut, tetapi alasan atau penjelasannya mengapa kita menjawab salah satu dari dua kata tersebut. Walaupun pertanyaan tersebut sulit dijawab, namun dalam realitas kehidupan, kita telah melihat dan merasakan bahwa hampir seluruh keperluan dari sendi kehidupan kita telah dipermudah dan dipenuhi oleh adanya perkembangan ilmu pengetahuan.

 

2. Penetapan Masalah, Tujuan dan Hipotesis.

            Alasan pengkajian terhadap kebenaran sains adalah karena sains merupakan salah satu dari pemikiran manusia dalam menjawab pertanyaan-pertanyaan.  Sains merupakan salah satu dari pengetahuan manusia. Dan untuk bisa menghargai dan menjawab pertanyaan-pertanyaan tersebut secara komprehensip, maka pikiran-pikiran besar yang telah dikemukakan oleh para filusuf perlu dikaji dan dipahami guna menemukan jawaban yang lebih mendasar apakah sains akan mencapai suatu kebenaran atau tidak.

            Atas dasar itulah, maka tujuan penulisan paper ini adalah untuk mengkaji dan menganalisis faktor-faktor apa saja yang dapat menjawab kebenaran sains.  Selain itu, papar ini akan memberikan solusi arternatif dalam menjawab persoalan tersebut, sehingga  paling tidak kekurangan dan kelebihan dalam menjawab pertanyaan tersebut dapat diminimalisasikan.

            Hipotesis yang dirumuskan adalah bahwa kebenaran sains bila ditinjau dari aspek rasionalisme maupun empirisme mempunyai kelemahan dan kelebihan.  Hipo-tesis lain yang dapat dikemukakan adalah kekurangan dan kelebihan kebenaran sains merupakan peluang untuk menimbulkan keraguan terhadap kesimpulan sehingga menyakinkan dikembangkan lagi suatu pengkajian ulang terhadap kebenaran sains tersebut.

 

II.               EPISTEMOLOGI  SAINS

Epistemologi adalah kajian tentang validitas dan batas-batas (limit) ilmu pengetahuan.  Ilmu merupakan pengetahuan yang didapatkan melalui proses tertentu yang dinamakan metode keilmuan.  Metode inilah yang membedakan ilmu dengan buah pikiran lainnya, atau dengan perkataan lain, Ilmu adalah pengetahuan yang diperoleh dengan menerapkan metode keilmuan.  Karena itu ilmu merupakan sebagian dari pengetahuan, yakni pengetahuan yang memilki sifat-sifat tertentu, maka ilmu juga dapat disebut pengetahuan keilmuan.  Untuk tujuan ini, agar tidak terjadi kekacauan antara pengertian “Ilmu/Sains” (Science) dan “Pengetahuan” (Know-ledge), maka kita mempergunakan istilah “Sains/Ilmu” untu ilmu pengetahuan.

 

III.  HISTORIS DAN PERKEMBANGAN SAINS.

 Sejak awal perkembangan ilmu pengetahuan yang secara jelas dimulai dari bangsa Mesir hingga mengalami pertumbuhan pesat di Eropa pada abad 16 dan hingga abad 20 saat ini,  secara jelas terlihat adanya tanda-tanda kebenaran, bahwa bangsa-bangsa yang lebih awal mengembangkan dan menguasai ilmu pengetahuan dan juga teknologi lebih maju dibandingkan dengan bangsa-bangsa yang baru atau sedang mengembangkan dan menguasai ilmu pengetahuan dan teknologi.

            Kenyataan tersebut diatas memberikan isyarat bahwa terlepas dari berapa besar persentase kebenaran atau kesesuaian suatu ilmu pengetahuan untuk memenuhi suatu obyek, dia telah mampu membentuk peradaban manusia seperti apa yang kita miliki sekarang.  Walaupun demikian, disadari pula bahwa untuk menemukan kebenaran sumber satu-satunya  bukan hanya berasal dari ilmu pengetahuan.

            Ditinjau dari segi perkembangannya, seperti juga semua unsur kebudayaan manusia, ilmu merupakan gabungan dari cara-cara manusia sebelumnya dalam mencari pengetahuan.  Sedangkan ditinjau dari segi cara berpikir manusia, terdapat dua pola dalam memperoleh pengetahuan, yaitu Pola pertama berpikir secara Rasional, dikenal sebagai kaum rasional dan pola kedua berpikir secara empiris, dikenal sebagai kaum emperialis (antirasionalis).

            Pola berpikir kaum rasionalis, diantaranya seperti Plato dan Rene Descrates bertumpuk dari aksioma dasar yang diturunkan dari ide tentang kebenaran yang menurut anggapannya adalah jelas, tegas dan pasti dalam pikran manusia.   Pikiran manusia mempunyai kemampuan untuk mengetahui idea tersebut, namun manusia tidak menciptakannya dan tidak pula mempelajari lewat pengalaman.  Singkatnya, bahwa bagi kaum rasionalisme idea tentang kebenaran, yang menjadi dasar bagi pengetahuannya diperoleh lewat berpikir secara rasional atau dengan kata lain kriteria kebenaran pengetahuan dikaitkan  dengan kesesuaian antara pemikiran dengan kenyataan, terlepas dari pengalaman manusia.  Sistem pengetahuan dibangun secara koheran diatas landasan-landasan pernyataan yang sudah pasti.  Namun timbul pertanyaan, dari manakah kita mendapat kebenaran yang sudah pasti bila kebenaran itu tercerai dari pengalaman manusia yang nyata ?.  Disinilah kaum rasionalis mulai menemukan kesulitan untuk  mendapatkan konsensus yang dapat dijadikan landasan bagi kegiatan berpikir bersama.  Disini terlihat bahwa tiap orang cenderung untuk percaya kepada kebenaran yang pasti menurut mereka sendiri.  Lalu bagaimana kita bisa sampai pada suatu konsensus bila hanya berdasarkan apa yang dianggap benar oleh masing-masing ?.  Kenyataan yang dihadapi, tidak hanya oleh para ilmuawan, bahwa betapa sukarnya untuk sampai kepada suatu kesimpulan yang dapat disetujui bersama bila hanya berdasarkan pada cara tersebut.  Cara berpikir seperti ini akan menjerumuskan kita kedalam Silopsisme, yakni pengetahuan yang benar menurut anggapan kita masing-masing.

            Dalam perkembangannya, kaum rasionalis dikritik oleh kaum antirasionalis.  Kritit tersebut meliputi :

(1).  Pengetahuan rasional dibentuk oleh idea yang tidak dapat dilihat atau diraba.  Eksistensi tentang idea yang sudah pasti maupun yang bersifat bawaan itu sendiri belum dapat dikuatkan oleh semua manusia dengan kekuatan dan keyakinan yang sama.  Lebih lanjut, terdapat perbedaan yang nyata diantara kaum rasionalis itu sendiri mengenai kebenaran dasar yang menjadi landasan dalam menalar.  Plato,  St.Augustine dan Descrates mengembangkan teori-teori rasional secara sendiri-sendiri yang masing-masing berbeda.

(2).  Teori rasional gagal dalam menjalankan perubahan dan pertambahan pengetahuan manusia selama ini.  Banyak dari idea yang sudah pasti pada suatu waktu kemudian, berubah pada waktu yang lain.  Pada suatu saat dalam sejarah, idea bahwa bumi adalah pusat dari sistem matahari hampir diterima secara umum sebagai suatu pernyataan yang pasti.

            Seiring dengan berbagai kritik yang dilontarkan kepada kaum rasionalis, muncul suatu pola berpikir lain, yaitu emperisme yang merupakan cara berpikir yang sama sekali berlawanan dengan kaum rasionalisme.  Kaum empiris, seperti John Locke (1632 –1704), David Hume (1711 –1776), George Berkeley (1685 – 1753), dan Immanuel Kant (1724 – 1804), yang bosan dengan debat yang tak berkesudahan, menganjurkan agar kita kembali ke alam untuk mendapatkan pengetahuan.  Alasan mereka adalah bahwa pengetahuan tidak ada secara apriori terdapat di benak kita, melainkan harus diperoleh dari pengalaman.  Teori pengetahuannya, terutama yang dikemukakan oleh Lock (bapak kaum empiris Inggris) didasarkan pada pengalaman yang ditangkap oleh pancaindera kita.  Dia memandang pikiran sebagai alat atau kertas lilin yang licin (tabula rasa) yang menerima dan menyimpan sensasi pengalaman.  Pengetahuan merupakan hasil dari kegiatan keilmuan (pikiran) yang mengkombinasikan sensasi-sensasi pokok (McCleary, 1998).

            Teori empiris sendiri memiliki dua aspek. Pertama adalah perbedaan antara yang mengetahui (subyek) dan yang diketahui (obyek).  Terdapat di alam nyata yang terdiri dari fakta atau obyek yang dapat ditangkap oleh seseorang.  Kedua adalah kebenaran atau pengujian kebenaran dari fakta atau obyek didasarkan kepada pengalaman manusia.  Agar berarti bagi kaum empiris, maka pernyataan tentang ada atau tidak adanya sesuatu haruslah memenuhi persyaratan pengujian publik.  Masalah yang rumit akan timbul bila persyaratan tentang suatu obyek atau kejadian ternyata tidak lagi terdapat untuk pengujian secara langsung.

           

IV.            KAJIAN FILUSUF TERHADAP KEBENARAN

Dalam penerapan cara berpikir empiris, sama halnya dengan rasionalis dipertanyakan oleh beberapa filusuf, apakah pendekatan empiris akan membawa kita lebih dekat kepada kebenaran ?,  mereka menjawab tidak, sebab menurut mereka gejala yang terdapat dalam pengalaman kita baru mempunyai arti kalau kita memberikan tafsiran kepada mereka.  Fakta yang ada sebagai dirinya sendiri, tidaklah mampu berkata apa-apa,  Para ilmuwanlah yang memberikan fakta sebuah arti, apakah itu sebuah nama, sebuah tempat atau apa saja.  Disamping itu, bila kita hanya mengumpulkan pengetahuan mengenai berbagai gejala yang ditemui dalam pengalaman lalu apakah gunanya semua kumpulan pengetahuan serba aneka yang tidak berarti,  Lebih jauh lagi mereka mempertanyakan, bagaimanakah cara kita mendapatkan pengetahuan yang utuh, apakah kita memungut begitu saja seperti mengumpulkan kerang di pantai.  Siapakah yang dapat menjamin bahwa pengetahuan yang dikumpulkan itu benar, seperti apa yang dikatakan oleh Charles Darwin dalam Suriasumantri, 1999, bahwa  tanpa penafsiran yang sungguh-sungguh maka alam akan mendustai kita bila dia mampu.  Disini terlihat pula bahwa pendekatan empiris tidak mampu memecahkan masalah pokok dalam menentukan pengetahuan yang benar.

Atas dasar uraian tersebut, maka para filusuf melontarkan beberapa kritik terhadap empirisme secara lebih tajam sebagai berikut :

(1).  Apakah yang disebut sebagai pengalaman ?.  Pengalaman sekali waktu hanya berarti rangsangan panca indera, lain waktu lagi dia muncul sebagai sebuah sensasi ditambah dengan penilaian.  Sebagai sebuah konsep, ternyata pengalaman tidak berhubungan langsung dengan kenyataan obyektif yang sangat ditinggikan oleh kaum empiris. Jika dianalisis secara kritis, maka pengalaman merupakan pengertian yang terlalu samar untuk dijadikan dasar bagi sebuah teori pengetahuan yang sistematis.

(2).  Sebuah teori yang sangat menitikberatkan pada presepsi panca indera kiranya melupakan kenyataan bahwa pancaindera manusia adalah terbatas dan tidak sempurna.  Pancaindera kita sering menyesatkan dimana hal ini disadari pula oleh kaum empiris. Empirisme tidak mempunyai perlengkapan untuk mem-bedakan antara khayalan dan kenyataan.

(3). Empirisme tidak memberikan kita kepastian.  Apa yang disebut pengetahuan yang mungkin, dalam pengertian diatas sebenarnya merupakan pengetahuan yang seluruhnya diragukan.  

            Berdasarkan uraian tersebut, lalu sekarang timbul pertanyaan, pola pikir yang bagaimana yang dapat menghasilkan Sains mencapai kebenaran.  Pertanyaan ini kemudian dijawab oleh kaum rasionalis dan empiris, setelah telah mengkikis sifat-sifat ekstrim ke duanya.  Jawabannya adalah bahwa mereka menyadari dengan sepenuhnya bahwa berbagai kelebihan dan kekurangan terdapat pada masing-masing pola pikir.  Diatas kesadaran ini kemudian timbul gagasan dari keduanya untuk menggabungkan kedua pendekatan tersebut guna menyusun metode yang lebih dapat diandalkan dalam menemukan pengetahuan yang benar.  Akhirnya dilahirkan metode ketiga yang dikenal dengan nama METODE KEILMUAN.  Metode ini secara ringkas merupakan suatu rangkaian prosedur yang tertentu harus diikuti untuk mendapatkan jawaban yang tertentu dari pengetahuan yang tertentu pula.  Kerangka dasar prosedur ini dapat diuraikan dalam 6 (enam) langkah yaitu :

(1).  Sadar akan adanya masalah dan perumusan masalah,

(2).  Pengamatan dan pengumpulan data yang relevan,

(3).  Penyusunan atau klasifikasi data,

(4).  Perumusan Hipotesis,

(5).  Dedukasi dan Hipotesis, dan

(6).  Tes dan pengujian kebenaran (verifikasi) dari hipotesis.

            Dalam metode keilmuan, rasionalisme memberikan kerangka pemikiran yang koheran dan logis, sedangkan empirisme memberikan kerangka pengujian dalam memastikan suatu kebenaran.  Metode ini, oleh banyak ilmuan dunia dipergunakan secara dinamis guna menghasilkan pengetahuan yang konsisten dan sistematik serta dapat diandalkan, sebab pengetahuan telah teruji secara empiris.  Dalam metode ini, sikap skeptis merupakan karakteristik seorang ilmuwan, artinya dia tidak pernah menerima kebenaran suatu pernyataan sebelum penjelasan mengenai isi pernyataan itu dapat diterima, dan disaksikan secara empiris konsekuensi kebenaran pernyataan tersebut.  

            Dalam metode keilmuan, teori yang telah tersusun pada tahap pendekatan rasional perlu diuji kebenarannya, dan untuk pengujian ini digunakan pendekatan empiris.  Tahap pengujian sangat diperlukan dalam metode keilmuan didasarkan pada anggapan bahwa bagaimanapun menyakinkannya suatu penjelasan teoritis yang diberikan, dia hanya bersifat dugaan sementara mengenai suatu obyek yang sedang  dipermasalahkan.  Suatu penjelasan yang belum teruji secara empiris hanyalah merupakan hipotesis atau dugaan.  Hipotesis ini dibangun dari hubungan konseptual, baik yang baru disusun atau merupakan perluasan dari hipotesis terdahulu yang telah teruji kebenarannya, yang dipakai menyorot suatu obyek.  Tahap ini merupakan tahap yang paling sulit dari metodologi keilmuan.  Hipotesis ini yang kemudian kita uji kebenarannya secara empiris.  Kalau ternyata pengujian secara empiris tidak mendukung hipotesis yang diajukan, maka dia dinyatakan benar secara keilmuan, dan bila secara empiris tidak mendukung, dia dinyatakan tidak benar secara keilmuan. 

            Secara singkat dapat dikatakan bahwa metode keilmuan adalah suatu teori pengetahuan yang dipergunakan manusia dalam memberikan jawaban tertentu terhadap suatu pertanyaan.  Metode ini menitikberatkan kepada  suatu urutan prosedur yang seksama, dimana diperoleh sekumpulan pengetahuan yang diperlukan secara terus menerus dan bersifat mengoreksi diri sendiri.  Metode keilmuan mendasarkan diri pada anggapan bahwa terdapat keteraturan yang dapat ditemukan dalam hubungan antara gejala-gejala dan bahwa alat panca indera manusia (atau alat yang dibuat secara teliti) pada dasarnya dapat berfungsi secara layak.  Lewat pengorganisasian yang sistematis dan pengujian pengamatan, manusia telah mampu mengumpulkan pengetahuan secara kumulatif, walaupun yang terus menerus bertumbuh dan mempunyai peluang yang besar untuk benar.  Kendati demikian, metode keilmuan tidak mengajukan diri sebagai sebuah metode yang membahayakan  manusia kepada sesuatu kebenaran akhir yang takan pernah berubah.

Kesadaran ini diajukan tentu didasarkan atas beberapa keterbatasan yang dimiliki oleh metode keilmuan terutama terletak pada asumsi landasan epistemologi ilmu, yang menyatakan bahwa kita mampu memperoleh pengetahuan yang bertumpuh pada prespsi, ingatan  dan penalaran. 

 

IV.  PENUTUP.

            Kajian terhadap kritik yang telah dilakukan oleh filusuf tentang kebenaran sains  tentu merupakan cambuk sekaligus menyadarkan kita kalangan ilmuawan yang masih muda tentang sulitnya mencapai nilai kebenaran ilmu, apalagi bila dalam pengembangannya tidak ditopang oleh cakrawala bidang keilmuan yang luas dan tidak mengikuti kerangka dasar prosedur keilmuan yang sesuai.

            Pengalaman-pengalaman yang dibangun sebagai dasar kebenaran harus didukung dengan teori-teori yang relevan dan memiliki sifat objektivitas yang tinggi.

            Sebagai seorang ilmuwan, kita harus mengakui bahwa kebenaran dalam ilmu pengetahuan bukanlah satu-satunya kebenaran yang ditemui, tetapi masih terdapat kebenaran lain.  Dengan demikian kebenaran ilmu pengetahuan tidak bisa berjalan sendiri-sendiri, tapi harus didampingi dengan kebenaran-kebenaran seperti, etika, agama dan lain-lain sehingga dapat menghasilkan suatu nuansa yang baik pada pengetahuan ilmiah.

 

 

DAFTAR  PUSTAKA

 

DESCARTE, R.  1985.  Discource and Method.  Translated by Donald.A. Cress.  Hackett Publishing Company,  New York.

 

HONOR. S.M. dan T.C. HUNT, 1977.  Metode Dalam Mencari Pengetahuan.  Rasionalisme, Emperisme dan Metode Keilmuan.  Penyunting  Suria-sumantri, J.S. 1977.  Ilmu dalam Perspektif.  Yayasan Obor Indonesia.  Jakarta.

 

KLEMKE, E.D., R. HOLLINGER, and A.D. KLINE.  1988.  Introductory Reading in the Philosiphy of Science.  Prometheus Books.  New York.

 

McCLEARY,  1998.  Philosophy of Science.

                   http://mrrc.bio.uci.edu/se10/philosophy.html Diperoleh dari Internet pada tanggal  30 Nopember 2000.

 

NASUTION, A.H.  1999.  Pengantar ke Filsafat Sains.  Cet. Ke-3.  Pustaka Litera Antar Nusa, Bogor.

 

O’HEAR. A. 1990.  Introduction to the Philosophy of Science.  Clarendon Press. Oxford.  New York.

 

RAPAR, J.H.  1996.  Pengantar Filsafat.  Penerbit Kanisius, Yolyakarta.

 

SUDARMINTA, J.  1994.  Filsalfat Proses.  Sebuah Pengantar Sistematik Filsafat Alfred North Whiteheat.  Penerbit Kanisius.  Yogyakarta.

 

 SURIASUMANTRI, J.S.  1999.  Filsafat Ilmu: Sebuah Pengantar Populer. Cet. Ke-12.  Pustaka Sinar Harapan, Jakarta.