I

 

 

Re-edited  20 December, 2000

Copyright © 2000 Kamir R. Brata    

Makalah  Falsafah Sains (PPs 702)

Program Pasca Sarjana - S3

Institut Pertanian Bogor

 

Dosen:  Prof Dr Ir Rudy C Tarumingkeng

 

FALSAFAH SAINS UNTUK PENYEMPURNAAN TEKNIK BUDI DAYA LORONG

(ALLEY CROPPING) PADA LAHAN PERTANIAN BERLERENG

 

 

 

 

 

Oleh:

 

KAMIR R. BRATA

Nrp.:P02600003

 

 

 

 

 

 

 

I. PENDAHULUAN

Budidaya lorong (alley cropping) merupakan salah satu teknik konservasi tanah dan air yang telah lama diperkenalkan untuk pengembangan sistem pertanian berkelanjutan pada lahan kering, namun belum diterapkan secara  meluas oleh petani.  Beberapa kendala penerapan budidaya lorong oleh petani secara meluas antara lain:  (1) lambatnya pertumbuhan barisan tanaman pagar (hedgerows) pada lahan marginal, (2) kurang efektifnya fungsi barisan tanaman pagar untuk menghambat aliran permukaan dan erosi, (3) sulitnya pemeliharaan dan penanganan hasil pangkasan tanaman pagar, dan (4) terjadinya persaingan penyerapan air dan unsur hara antara tanaman budidaya yang ditanam di lorong (alley) dengan tanaman pagar.

Falsafah sains dapat mendorong ilmuwan secara jujur mengevaluasi kelebihan dan kekurangan dari ilmu pengetahuan (sains) dan teknologi yang telah dikembangkan (Suriasumantri, 1988).  Dengan kemampuan daya nalarnya, secara teleologi ilmuwan berusaha mencari keterangan yang dapat menerangkan mengapa kendala-kendala tersebut terjadi (Nasoetion, 1988).  Dengan demikian ilmuwan terdorong untuk berfalsafah memikirkan kembali usaha penyempurnaan-nya, dengan modifikasi teknik yang dapat mengatasi kendala tersebut.

Makalah ini membahas apa dan mengapa teknik budidaya lorong perlu disempurnakan (landasan ontologis), bagaimana usaha penyempurnaannya dapat dilakukan (landasan epistemologis), serta manfaat usaha penyempurnaan (landasan aksiologis).

 

 

 

 

 

 


 

II. TEKNIK BUDIDAYA LORONG

 

Teknik budidaya lorong telah lama dikembangkan dan diperkenalkan sebagai salah satu teknik konservasi tanah dan air untuk pengembangan sistem pertanian berkelanjutan pada lahan kering di daerah tropika basah, namun belum diterapkan secara meluas oleh petani (Juo, Caldwell, dan Kang, 1994). Pada budidaya lorong konvensional, tanaman pertanian ditanam pada lorong-lorong di antara barisan tanaman pagar yang ditanam menurut kontur.  Barisan tanaman pagar yang rapat diharapkan dapat menahan aliran permukaan serta erosi yang terjadi pada areal tanaman budidaya, sedangkan akarnya yang dalam dapat menyerap unsur hara dari lapisan tanah yang lebih dalam untuk kemudian dikembalikan ke permukaan melalui pengembalian sisa tanaman hasil pangkasan tanaman pagar.

Efektivitas budidaya lorong pada lahan pertanian berlereng miring dalam pengendalian aliran permukaan dan erosi ditentukan oleh perkembangan tanaman pagar serta jarak antar barisan tanaman pagar.  Pada awal penerapan budidaya lorong aliran permukaan dan erosi dapat menerobos tanaman pagar yang belum tumbuh merapat, meskipun ditanam lebih dari satu baris tanaman.  Pada kondisi demikian, tanaman pagar kurang  efektif dalam menghambat aliran permukaan dan menjaring sedimen yang terangkut, sehingga dapat menghanyutkan pupuk dan bahan organik.  Setelah tanaman pagar berkembang, persaingan penyerapan air, unsur hara dan sinar matahari antara tanaman pagar dengan tanaman budidaya dapat mengurangi produksi tanaman yang dibudidayakan. 

 Hasil penelitian Rachman, Abdurachman, dan Haryono (1995) tentang sistem budidaya lorong pada tanah Eutropepts Ungaran berlereng 10 - 15 %, menunjukkan bahwa setelah tahun ke-4 tanaman pagar Kaliandra, Vetiver (Vetiveria zizanioides), dan Flemingia (Flemingia congesta) masih menghasilkan jumlah aliran permukaan masing-masing sebesar 2039, 1007, dan 470 m3/ha/tahun; meskipun tanaman pagar tersebut ditanam dalam strip 2 baris tanaman.  Mereka melaporkan bahwa pertumbuhan tanaman pagar Teprosia (Tephrosia vogelii) sangat buruk sehingga diganti dengan Vetiver.  Ai Dariah, Suganda, Sujitno, Tala’ohu, dan Sutrisno (1995) menggunakan sistem budidaya lorong untuk merehabilitasi lahan semi kritis bervegetasi Alang-alang (Imperata cylindrica) di Desa Jatiwangi, Garut.  Budidaya lorong dengan tanaman pagar Flemingia, Vetiver, dan Lamtoro (Leucaena leucocephala) masing-masing masih menim-bulkan aliran pemukaan sebesar 15.8, 69.1, dan 24.1 m3/ha dalam bulan Februari 1994 (tahun ke-4) dan menghasilkan erosi kumulatif masing-masing sebesar 4.1, 11.2, dan 1.9 ton/ha selama 6 bulan.

Persaingan sinar matahari oleh tajuk tanaman pagar dapat diatasi dengan memangkas tajuk tanaman pagar secara teratur selama musim pertanaman komoditas tanaman yang dibudidayakan di lorongnya, tetapi persaingan penyerapan air dan unsur hara oleh akar tanaman pagar sulit dihindari karena  terus berkembang menyebar di dalam tanah pada areal tanaman budidaya. Sisa tanaman hasil pangkasan tanaman pagar disarankan untuk dikembalikan sebagai mulsa disebarkan di antara barisan tanaman budidya, sering dianggap sulit untuk dilakukan karena pangkasan cabang/ranting tanaman pagar relatif lebih sulit mengatur penyebarannya.

Kelemahan-kelemahan yang mengakibatkan kesulitan teknis dalam penerapan dan pemeliharaannya merupakan kendala bagi keberlanjutan dan penyebarluasan adopsi teknologi budidaya lorong oleh petani.  Seringkali kegiatan pembinaan dalam penerapan teknologi konservasi tanah dan air memerlukan  biaya mahal diluar kemampuan finansial petani sehingga bantuan pembiayaan yang dikeluarkan pada saat penerapan teknologi tersebut akan menjadi sia-sia karena tidak dilanjutkan oleh usaha pemeliharaan yang berkesinambungan.  Meskipun penerapan teknik budidaya lorong telah banyak dilaporkan dapat mengurangi tingkat kerusakan lahan pertanian oleh erosi, etika ilmuwan dapat memotivasi kemampuan menalarnya berfalsafah memikirkan pengembangan sains bagi penyempurnaan teknologi yang dapat memudahkan pemakai teknologi memperoleh keuntungan maksimal akibat mengadopsi teknologi tersebut.


III. USAHA PENYEMPURNAAN TEKNIK BUDIDAYA LORONG

 

Menurut Siswomartono dan Wirodidjojo (1990), kendala utama dalam memotivasi petani untuk menerapkan paket teknologi konservasi yang diperkenalkan meliputi: keterbatasan kemampuan finansial petani untuk menerapkan dan memelihara tindakan konservasi, serta tingkat pengetahuan dan keterampilan petani yang rendah.  Untuk mengatasi kendala tersebut, mereka menyarankan perlu dikembangkannya paket teknologi konservasi yang lebih tepat guna, yaitu secara teknik lebih sederhana, lebih ekonomis, dapat diterima masyarakat, tetapi lebih efektif dapat mengendalikan aliran permukaan dan erosi.


Menurut El-Swaify (1991), pengendalian aliran permukaan dan erosi harus diusahakan melalui peningkatan laju peresapan air ke dalam tanah, pemanfaatan sisa tanaman yang optimal untuk melindungi tanah dan memperbaiki kondisi fisik, kimia dan biologis tanah.  Pemanfaatan sisa tanaman sebagai mulsa vertikal telah lama dikembangkan oleh Spain dan McCune (1956) di Amerika Serikat.  Beberapa hasil penelitian yang dilakukan pada berbagai jenis tanah menunjukkan bahwa berbagai macam sisa tanaman dapat dimanfaatkan sebagai mulsa vertikal untuk memperbaiki sifat fisik, meningkatkan laju infiltrasi dan produktivitas lahan (Parr,1959 ; Kingsley dan Shubeck, 1964 ; Fairbourn dan Gardner, 1974 ; Rama Mohan Rao, Ranga Rao, Ramachandram dan Agnihotri, 1978). 

Untuk mempermudah penerapan mulsa vertikal, Brata (1993) berusaha memodifikasi teknik mulsa vertikal dengan memanfaatkan saluran teras gulud untuk mengumpulkan sisa tanaman sebagai mulsa vertikal (Gambar 1).  Hasil penelitian Brata (1995a, 1995b) menunjukkan bahwa modifikasi teknik mulsa vertikal tersebut mampu dengan nyata menurunkan jumlah aliran permukaan dan erosi, serta kehilangan hara yang ditimbulkannya; dibandingkan dengan teras gulud dan mulsa konvensional.  Modifikasi teknik mulsa tersebut telah berhasil diterapkan untuk rehabilitasi lahan pada proyek Kaji Tindak Usaha Pertanian Lahan Kering di Desa Sejuah, Kecamatan Kembayan, Kabupaten Sanggau - Kalimantan Barat (Tim Lembaga Penelitian IPB, 1995) dan Proyek Rehabilitasi Lahan dan Konservasi Tanah di Unit Pemukiman Transmigrasi Bekambit SP 2, Kabupaten Kota Baru - Kalimantan Selatan (Fakultas Pertanian IPB, 1996). 

 

 

 

 

 

 

 


 

Gambar 1.  Modifikasi Teras Gulud Dengan Mulsa Vertikal

 

Berdasarkan beberapa hasil penelitian dan pengamatan pada kaji tindak (action research) tersebut, pada beberapa kesempatan presentasi teknik mulsa vertikal, Brata (1995c) menyarankan perlu digunakannya teknik mulsa vertikal untuk penyempurnaan budidaya lorong (Gambar 2).

 


 

a                                     

 

 

b

 

 

Gambar 2.  Budidaya lorong konvensional (a) dan dengan mulsa vertikal (b)

 

Barisan tanaman pagar berperakaran dalam yang ditanam pada guludan diharapkan dapat memperkuat guludan untuk menahan aliran permukaan dan menyerap unsur hara dari subsoil untuk pendaur-ulangan unsur hara yang lebih efisien. Penanaman tanaman pagar pada guludan juga dapat berfungsi ganda, antara lain: (1) untuk memperkuat guludan, (2) menyerap kelebihan air dan unsur hara yang terkumpul di saluran untuk menghasilkan bahan organik, serta (3) mengurangi volume perakaran tanaman pagar yang dapat menjangkau dan bersaing dalam pengambilan air dan unsur hara dengan tanaman budidaya. 

 Sedangkan saluran bermulsa sangat penting untuk menampung dan meresapkan air aliran permukaan, sekaligus dapat membatasi persaingan air dan unsur hara oleh perkembangan akar tanaman pagar ke bidang pertanaman budidaya.  Saluran juga berfungsi untuk mengumpulkan sisa tanaman dan hasil pangkasan tanaman pagar.  Saluran teras gulud lebih didayagunakan untuk tempat pengomposan, sekaligus dapat menambah permukaan resapan yang berfungsi ganda yaitu untuk memperlancar drainase dari bidang pertanaman di bagian hulu/atas dan untuk mengairi bidang pertanaman di bagian hilir/bawah. 

Pemanfaatan sisa tanaman sebagai mulsa vertikal untuk mengisi saluran teras gulud dapat mempunyai manfaat ganda, antara lain:  (1) sebelum mengalami pelapukan sisa tanaman dapat mencegah longsornya dinding saluran serta melindungi permukaan resapan dari tumbukan air hujan dan penyumbatan pori oleh sedimen halus, (2) aktivitas organisme yang membantu proses pelapukan sisa tanaman bahkan dapat memperbaiki kondisi fisik tanah sekitar saluran dan meningkatkan daya resap saluran, (3) unsur hara yang dilepaskan selama proses pengomposan akan diserap oleh tanaman pagar yang kemudian dapat dikembalikan dalam bentuk sisa tanaman, (4) campuran kompos dan sedimen  yang tertampung dalam saluran cukup gembur sehingga mudah diangkat dari saluran untuk dikembalikan ke bidang pertanaman setelah panen, dan (5) saluran yang sudah dikosongkan dapat digunakan untuk mengumpulkan sisa tanaman, sehingga dapat memudahkan persiapan lahan untuk musim tanam berikutnya (Brata, 1999).

 

 

 

IV. MANFAAT PENYEMPURNAAN TEKNIK BUDIDAYA LORONG

Tindakan penyempurnaan budidaya lorong yang direncanakan lebih bersifat memaksimalkan fungsi saluran dan guludan untuk mempermudah pengomposan sisa tanaman, meningkatkan peresapan air, mengurangi persaingan air dan unsur hara, serta mempermudah pemeliharaan saluran dan guludan.  Beberapa tambahan keuntungan tersebut diharapkan dapat mempermudah dan meningkatkan efisiensi pemanfaatan sisa tanaman serta upaya konservasi air dan unsur hara untuk mencegah erosi, banjir dan pencemaran perairan.

Untuk mengevaluasi manfaat penyempurnaan teknik budidaya lorong tersebut diperlukan penelitian jangka panjang dalam petak permanen untuk mempelajari dan memantau dampak teknik budidaya lorong yang disempurnakan terhadap besarnya aliran permukaan dan erosi, pertumbuhan dan produksi tanaman, serta peubah sifat-sifat fisik, kimia dan biologi; dibandingkan dengan teknik budidaya lorong konvensional.  Untuk menjamin terpeliharanya petak permanen tersebut maka penelitian ini direncanakan akan dilakukan di Kebun Percobaan Fakultas Pertanian IPB di Cikabayan yang telah dilengkapi dengan stasiun pengamatan iklim yang memadai.  Dari lokasi yang strategis di dekat Kampus Institut Pertanian Bogor dan tidak jauh dari Ibu Kota Negara, penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat tambahan yang sangat penting yaitu menyediakan sarana peragaan bagi pendidikan, pelatihan dan obyek kunjungan bagi kontak tani dan transmigran teladan. 

 

 

 

V. DAFTAR PUSTAKA

Ai Dariah, H. Suganda, E. Suyitno, S.H. Tala’ohu, dan N. Sutrisno.  1995.  Rehabilitasi lahan Alang-alang dengan sistem budidaya lorong di Pakenjeng, Kabupaten Garut. Prosiding Pertemuan Teknis Penelitian Tanah dan Agroklimat.  Bidang Konservasi Tanah dan Air, dan Agroklimat.  pp. 31-41.

 

Brata, K.R.  1993.  Teknik Konservasi Tanah dan Air Tepat Guna Untuk Rehabilitasi Lahan.  Bahan Kuliah Pembekalan KKN Mahasiswa Fakultas Pertanian IPB.  Jurusan Tanah, Fakultas Pertanian IPB, Bogor.

 

Brata, K.R.  1995a.  Efektivitas mulsa vertikal sebagai tindakan konservasi tanah dan air pada pertanian lahan kering di Latosol Darmaga.  J. Il. Pert. Indon 5(1):13-19.

Brata, K.R.  1995b.  Peningkatan efektivitas mulsa vertikal sebagai tindakan konservasi tanah dan air pada pertanian lahan kering dengan pemanfaatan bantuan cacing tanah. J. Il. Pert. Indon 5(2):69-75.

 

Brata, K.R.  1995c. Teknik mulsa vertikal sebagai salah satu alternatif dalam membantu penyiapan lahan tanpa bakar di daerah transmigrasi.  Makalah disampaikan pada Diskusi Teknis Staf Direktorat Pendayagunaan Lingkungan, di Dept. Trans. dan PPH, Jakarta.

 

Brata, K.R.  1999.  The utilization of plant residues as vertical mulch to control runoff, erosion, and nutrient losses from sloping upland agriculture.  Proc. Seminar Toward Sustainable Agriculture in Humid Tropics Facing 21st Century.  Bandar Lampung, September 27-28, 1999.  pp. 409-414.

 

El-Swaify, S.A.  1991.  Effective resource conservation on hillslopes.  In W.C. Moldenhauer, N.W. Hudson, T.C. Sheng and S.W. Lee (Eds.).  Development of Conservation Farming on Hillslopes.  SWCS. Ankeny. pp.93-100.

 

Fairbourn, M.L. and H.R. Gardner.  1974.  Field use of microwatersheds with vertical mulch. Agron J. 66:740-744.

 

Juo, A.S.R., J.O. Caldwell, and B.T. Kang.  1994. Place for alley cropping in sustainable agriculture in the humid tropics. Trans. 15th World Congr. Soil Sci., Mexico 7a:98-109.

 

 

Kingsley, Q.S. and F.E. Shubeck.  1964.  The effects of organic trenching on runoff.  J. Soil and Water Conserv. 19:19-22

 

Nasoetion, A.H.  1988.  Pengantar ke Filsafat Sains.  Litera Antar Nusa. Bogor.

 

Parr, J.F.  1959.  Effects of vertical mulching and subsoiling on soil physical properties. Agron J. 51:412-414.

 

Rachman, A., A. Abdurachman, dan Haryono.  1995.  Erosi dan perubahan sifat tanah dalam sistem pertanaman lorong pada tanah Eutropepts, Ungaran. Prosiding Pertemuan Teknis Penelitian Tanah dan Agroklimat. Bidang Konservasi Tanah dan Air, dan Agroklimat.  pp. 17-30.

 

Rama Mohan Rao, M.S., Ranga Rao, V., Ramachandram, M. and R.C. Agnihotri.  1978.  Effects of vertical mulch on moisture conservation and yield of sorghum in Vertisols.  Agric. Water Management. 1:333-342.

 

Siswomartono, D. and S. Wirodidjojo.  1990.  Overview of soil conservation in Indonesia.  Contour 2.1:13-16.

 

Spain, J. M. and D. L. McCune.  1956.  Something new in subsoiling.  Agron. J. 48:192-193.

 

Suriasumantri, J.S.  1988.  Filsafat Ilmu. Sebuah Pengantar Populer.  Pustaka Sinar Harapan.  Jakarta.


 

Tim Lembaga Penelitian IPB.  1995.  Laporan Akhir Kaji Tindak (Action Research) Usaha Pertanian Lahan Kering Terpadu di Desa Sejuah, Kecamatan Kembayan, Kabupaten Sanggau, Propinsi DT I Kalimantan Barat.  Lembaga Penelitian IPB, Bogor.