HUTAN MANGROVE SEBAGAI SUATU

 

Copyright © 2000 Program Pasca Sarjana IPB

Re-edited 20 December 2000

Makalah Kelompok 4

Falsafah Sains (PPs 702)

Program Pasca Sarjana – S3

Institut Pertanian Bogor

 

Dosen:  Prof Dr Ir Rudy C Tarumingkeng 

 

HUTAN MANGROVE SEBAGAI OBYEK SAINS

 

Oleh:

Abdurrani Muin,   Bambang Dwi Hartono,  Cornelis F.T.Mandey, Farah Diba,  Fransine B. Manginsela,  Moh. Rasyid Ridho,  Rine Kaunang,  Sadarun B,  Sudirman,  Suharto,   St. Aisyah Farhum,  Waluyo Subagyo  dan  Yudi Rismayadi                   

                                         

1. PENDAHULUAN

 

Filsafat adalah induk dari segala macam jenis ilmu pengetahuan. Dengan demikian dapat dipahami bahwa pada mulanya ilmu pengetahuan itu hanya satu yaitu filsafat (Suhartono, 1994).  Akan tetapi karena filsafat semakin tidak mampu mejawab persoalan hidup yang semakin konkrit, praktis dan pragmatis maka muncullah berbagai jenis ilmu pengetahuan baik yang teoritis maupun praktis.

Ilmu pengetahuan dan teknologi dikembangkan secara inter disipliner dan diamalkan secara etis, tidak bebas nilai. Upaya pengembangan dan pengamalan ilmu pengetahuan dan teknologi yang demikian itu terarah kepada dua sasaran pokok yaitu untuk mengatasi krisis moral dan untuk menghindari terjadinya krisis lingkungan hidup dan sumberdaya alam, sebagai sumber hidup dan kehidupan. Terhadap perkembangan plularitas ilmu pengetahuan dan teknologi, filsafat ilmu pengetahuan mengigatkan dan menunjukan jalan yang benar untuk mengembangkan dan mengamalkan iptek itu secara etis – manusiawi, ontologi interdisipliner serta epistemologis – fungsional (Suhartono, 1994)

Sistem ekonomi kapitalis dengan orientasi yang materialistis sudah hampir menyelimuti dunia ini, salah satu dampaknya adalah lingkungan hidup kini sedang sakit parah dan sumberdayanya juga dalam keadaan krisis. Kini krisis alam lingkungan sedang menglobal seolah dunia terbagi dua yaitu mereka yang berebut kemewahan dan mereka yang menahan lapar dahaga. Kedua belah pihak kini sedang berperang dan bersama–sama saling berlomba–lomba mengeksploitir sumberdaya alam dan mencemari lingkungan hidup.

Salah satu sumber pertumbuhan ekonomi yang seharusnya dapat bersifat berkelanjutan (sustainable) adalah sumberdaya alam yang dapat diperbaharui (renewable resources).  Diantara begitu banyak sumberdaya alam yang dapat pulih, hutan mangrove merupakan sumberdaya yang sangat potensial untuk menunjang pembangunan, khususnya pembangunan nasional.

                   Pada tulisan ini akan diuraikan tinjauan filsafat ilmu, baik secara ontologi (apa dan bagaimana hutan mangrove), epistemologi (bagaimana metode mempelajarinya) dan aksiologis  (manfaatnya bagi kehidupan manusia), mengenai sumber daya alam hayati (biological natural resources) hutan mangrove.  

 

2.   TINJAUAN ONTOLOGI HUTAN MANGROVE

 

 Istilah ontologi berasal dari bahasa Yunani, yaitu ta onta berarti “yang berada”, dan logi berarti “ilmu pengetahuan atau ajaran”.  Dengan demikian ontologi adalah ilmu pengetahuan atau ajaran tentang yang berada (Sudarsono, 1993).  Secara ontologi, sebuah kajian selalu mempertanyakan “apa dan bagaimana” terhadap suatu obyek.  Demikian pula halnya dengan ekosistem mangrove yang akan dibahas di bawah ini.

 2.1.  Pengertian Hutan Mangrove

          Mangrove merupakan formasi-formasi tumbuhan pantai yang khas di sepanjang pantai tropis dan sub tropis yang terlindung.  Formasi mangrove merupakan perpaduan antara daratan dan lautan.  Mangrove tergantung pada air laut (pasang) dan air tawar sebagai sumber  makanannya serta endapan debu (silt) dari erosi daerah hulu sebagai bahan pendukung substratnya.  Air pasang memberi makanan bagi hutan dan air sungai yang kaya mineral memperkaya sedimen dan rawa tempat mangrove tumbuh.  Dengan demikian bentuk hutan mangrove dan keberadaannya dirawat oleh pengaruh darat dan laut (FAO, 1994).

          Di Indonesia, mangrove telah dikenal sebagai hutan pasang surut dan hutan mangrove, atau hutan bakau.  Akan tetapi, istilah bakau sebenarnya hanya merupakan nama dari istilah satu jenis tumbuhan yang menyusun hutan mangrove, yaitu Rhizophora spp.

 

2.2.  Karakteristik Hutan Mangrove

          Karakteristik hutan mangrove dapat dilihat dari berbagai aspek seperti floristik, iklim, temperatur, salinitas, curah hujan, geomorphologi, hidrologi dan drainase.

          Secara umum, karakteristik habitat hutan mangrove digambarkan sebagai berikut (Bengen, 2000):

·                     Umumnya tumbuh pada daerah intertidal yang jenis tanahnya berlumpur, berlempung atau berpasir.

·                     Daerahnya tergenang air laut secara berkala, baik setiap hari maupun yang hanya tergenang pada saat pasang purnama.  Frekuensi genangan menentukan komposisi vegetasi hutan mangrove.

·                     Menerima pasokan air tawar yang cukup dari darat.

·                     Terlindung dari gelombang besar dan arus pasang surut yang kuat.  Air bersalinitas payau (2-22 permil) hingga asin (hingga 38 permil).

          Menurut Walter (1971), ekosistem mangrove terutama didapatkan di 3 (tiga) wilayah iklim berikut ini: (1)  Zona khatulistiwa antara ±10 LU dan 5-10 LS.;

(2)  Zona kering hujan tropika, zona sebelah utara dan selatan khatulistiwa, sampai  ±25-30 LU dan LS;   (3)  Wilayah yang beriklim sedang (ugahari) yang pada musim dingin tidak terlalu dingin dan hanya tedapat di belahan batas tertimur dari benua pada zona ini.

 

2. 3.  Struktur Vegetasi Hutan Mangrove

          Hutan mangrove meliputi pohon-pohonan dan semak yang terdiri dari 12 genera tumbuhan berbunga (Avicennia, Sonneratia, Rhizophora, Bruguiera, Ceriops, Xylocarpus, Lumnitzera, Laguncularia, Aegiceras, Aegiatilis, Snaeda dan Conocarpus) yang termasuk ke dalam delapan famili (Bengen, 2000).

          Selanjutnya, menurut Bengen (2000) bahwa vegetasi hutan mangrove di Indonesia memiliki keanekaragaman jenis yang tinggi, namun demikian hanya terdapat kurang lebih 47 jenis tumbuhan yang spesifik hutan mangrove.  Paling tidak di dalam hutan mangrove terdapat salah satu jenis tumbuhan sejati penting/dominan yang termasuk ke dalam empat famili: Rhizophoraceae (Rhizophora, Bruguiera dan Ceriops), Sonneratiaceae (Sonneratia), Avicenniaceae (Avicennia) dan Meliaceae (Xylocarpus).

 

2.4.  Fauna Hutan Mangrove

          Fauna yang hidup di ekosistem mangrove, terdiri dari berbagai kelompok, yaitu: mangrove avifauna, mangrove mammalia, mollusca, crustacea, dan fish fauna (Tomascik et al., 1997).

          Komunitas fauna hutan mangrove membentuk percampuran antara  dua kelompok: (1) Kelompok fauna daratan/terestrial yang umumnya menempati bagian atas pohon mangrove, terdiri atas insekta, ular primata dan burung.  Kelompok ini tidak mempunyai sifat adaptasi khusus untuk hidup di dalam hutan mangrove, karena mereka melewatkan sebagian besar hidupnya di luar jangkauan air laut pada bagian pohon yang tinggi, meskipun mereka dapat mengumpulkan makanannya berupa hewan lautan pada saat air surut.  (2) Kelompok fauna perairan/akuatik, yang terdiri atas dua tipe, yaitu:  yang hidup di kolom air, terutama berbagai jenis ikan dan udang ; yang menempati substrat baik keras (akar dan batang pohon mangrove) maupun lunak (lumpur), terutama kepiting, kerang dan berbagai jenis invertebrata lainnya.

 

2.5.    Hubungan Saling Bergantung Antara Berbagai Komponen Ekosistem

        Hutan Mangrove    

          Ekosistem merupakan satu atau serangkaian komunitas beserta lingkungan fisik dan kimianya yang hidup bersama-sama dan saling mempengaruhi (Nybakken, 1988).

          Tumbuhan mangrove mengkonversi cahaya matahari dan zat hara (nutrien) menjadi jaringan tumbuhan (bahan organik) melalui proses fotosintesis.  Tumbuhan mangrove merupakan sumbe makanan potensial, dalam berbagai bentuk, bagi semua biota yang hidup di ekosistem mangrove.  Berbeda dengan ekosistem pesisir lainnya, komponen dasar dari rantai makanan di ekosistem mangrove bukanlah tumbuhan mangrove itu sendiri, tapi serasah yang berasal dari tumbuhan mangrove (daun, ranting, buah, batang dan sebagainya).

          Sebagian serasah mangrove didekomposisi oleh bakteri dan fungi menjadi zat hara (nutrien) terlarut yang dapat dimanfaatkan langsung oleh fitoplankton, algae ataupun tumbuhan mangrove itu sendiri dalam proses fotosintesis; sebagian lagi sebagai partikel serasah (detritus) dimanfaatkan oleh ikan, udang dan kepiting sebagai makanannya.  Proses makan memakan dalam berbagai kategori da tingkatan biota membentuk suatu rantai makanan (Gambar 1).  

 

Gambar 1.  Hubungan  Saling Bergantung antara Berbagai Komponen (Rantai Makanan)
                   dalam Ekosistem Mangrove (Nontji, 1993).

 

    

3.   TINJAUAN EPISTEMOLOGI HUTAN MANGROVE

 

Epistemologi berasal dari kata episteme  yang  berarti “pengetahuan” dan logos yang berarti “teori”.  Dalam rumusan yang lebih rinci, disebutkan bahwa epistemologi merupakan salah satu cabang filsafat yang mengkaji secara mendalam dan radikal tentang asal mula pengetahuan  struktur, metode dan validitas pengetahuan (Sudarsono, 1993).  Dalam tulisan ini akan diuraikan beberapa metode untuk mempelajari karakteristik lingkungan dan struktur komunitas hutan mangrove.

 

3.1.    Karakteristik Tanah Hutan Mangrove

Karakteristik tanah merupakan satu dari berbagai faktor lingkungan penting yang secara langsung mempengaruhi produktivitas dan struktur mangrove.  Metode untuk mempelajari karakteristik tanah dikonsentrasikan pada sifat-sifat fisik dan kimia tanah seperti pH, Eh, salinitas dan ukuran partikel.  Ukuran partikel tanah dapat diketahui melalui metode hydrometer method, yaitu menentukan prosentase pasir, debu dan liat dari tanah mangrove dengan menggunakan perbedaan rata-rata endapan dari partikel tanah dari suspensi di air (English et.al, 1994).

 

3.2.    Struktur Komunitas Hutan Mangrove

Untuk mempelajari struktur komunitas hutan mangrove dilakukan dengan cara pengamatan secara konseptual berdasarkan keterwakilan lokasi kajian.  Dalam kajian ini dilakukan pengambilan data mengenai jenis, jumlah tegakan dan diameter pohon yang dicatat pada Table Form Mangrove, yang kemudian dianalisis lebih lanjut untuk memperoleh  kerapatan jenis, frekuensi jenis, luas area penutupan dan nilai penting jenis (Bengen, 2000).

Analisis biota laut khususnya keberadaannya pada hutan mangrove dapat dilakukan dengan beberapa metode seperti pada Tabel 1.

 

          Tabel 1.  Metode Pengambilan Contoh dan Analisis Biota Laut

 

Kelompok

 

Metode

Pengambilan Contoh

Pengawetan Contoh

Analisis Data

Nekton

- Jaring

- Bubu

- Dengan formalin

- Diberi es dan ditempat-

   kan dalam styrofoam

- Kelimpahan

- Keanekaragaman

- Keseragaman

Benthos

- Ekman Dredge

 

- Diberi alkohol

- Diberi formalin

-Kelimpahan

- Keanekaragan

- Keseragaman

Plankton

- Plankton net

- Diberi Lugol

- Diberi Formalin

- Kelimpahan

- Keanekaragaman

- Keseragaman

 

                      Untuk mengetahui lebih dalam suatu ekosistem mangrove maka beberapa ilmu yang sangat berkait antara lain biologi, ekologi, hidrologi, oceonografi, dan sosiologi perlu dijadikan landasan.

 

 

4.  TINJAUAN AKSIOLOGI HUTAN MANGROVE

 

Aksiologi dalam ilmu mempertanyakan bagaimana nilai suatu obyek yang akan dikaji.  Dalam tulisan ini, akan diuraikan bagaimana manfaat, permasalahan yang timbul dan pengelolaan hutan mangrove secara umum.

 

4.1.  Manfaat Hutan Mangrove

Hutan mangrove adalah vegetasi hutan yang hanya dapat tumbuh dan berkembang baik di daerah tropis, seperti Indonesia.   Mangrove sangat penting artinya dalam pengelolaan sumberdaya di sebagian besar wilayah Indonesia. Fungsi mangrove yang terpenting bagi daerah pantai adalah menjadi penyambung darat dan laut.  Tumbuhan, hewan, benda-benda lainnya dan nutrisi tumbuhan ditransfer ke arah darat atau ke arah laut melalui mangrove.  Hutan mangrove memiliki fungsi ekologis dan ekonomi yang sangat bermanfaat bagi ummat manusia.

Secara ekologis, hutan mangrove berfungsi sebagai daerah pemijahan (spawning grounds) dan daerah pembesaran (nursery grounds) berbagai jenis ikan dan, udang, kerang-kerangan dan spesies lainnya.  Selain itu, serasah mangrove (berupa daun, ranting dan biomassa lainnya) yang jatuh di perairan menjadi sumber pakan biota perairan dan unsur hara yang sangat menentukan produktivitas perikanan perairan laut di depannya.  Lebih jauh, hutan mangrove juga merupakan habitat (rumah) bagi berbagai jenis burung, reptilia, mamalia dan jenis-jenis kehidupan lainnya, sehingga hutan mengrove menyediakan keanekaragaman (biodiversity) dan plasma nutfah (genetic pool) yang tinggi serta berfungsi sebagai sistem penunjang kehidupan.  Dengan sistem perakaran dan canopy yang rapat serta kokoh, hutan mangrove juga berfungsi sebagai pelindung daratan dari gempuran gelombang, tsunami, angin topan, perembesan air laut dan gaya-gaya dari laut lainnya.

Potensi ekonomi mangrove diperoleh dari tiga sumber utama, yaitu hasil hutan, perikanan estuarin dan pantai, serta wisata alam.  Secara ekonomi, hutan mangrove dapat dimanfaatkan kayunya secara lestari untuk bahan bangunan, arang (charcoal) dan bahan baku kertas.  Hutan mangrove juga merupakan pemasok larva ikan, udang dan biota laut lainnya.

 

4.2.   Permasalahan Hutan Mangrove di Indonesia

          Pertambahan penduduk yang demikian cepat terutama di daerah pantai, mengakibatkan adanya perubahan tata guna lahan dan pemanfaatan sumberdaya alam secara berlebihan, hutan mangrove dengan cepat menjadi semakin menipis dan rusak di seluruh daerah tropis.

          Permasalahan utama tentang pengaruh atau tekanan terhadap habitat mangrove bersumber dari keinginan manusia untuk mengkonversi areal hutan mangrove menjadi areal pengembangan perumahan, kegiatan-kegiatan komersial, industri dan pertanian.  Selain itu juga, meningkatnya permintaan terhadap produksi kayu menyebabkan eksploitasi berlebihan terhadap hutan mangrove.  Kegiatan lain adalah pembukaan tambak-tambak untuk budidaya perairan, yang memberikan kontribusi terbesar bagi pengrusakan mangrove.  Dalam situasi seperti ini, habitat dasar dan fungsinya menjadi hilang dan kehilangan ini jauh lebih besar dari nilai penggantinya.

          Barangkali, dari semua ancaman yang serius bagi mangrove adalah persepsi di kalangan masyarakat umum dan sebagian besar pegawai pemerintah yang menganggap mangrove merupakan sumberdaya yang kurang berguna yang hanya cocok untuk tempat pembuangan sampah atau dikonversikan untuk keperluan lain.  Sebagian besar pendapat untuk mengkonversi mangrove berasal dari pemikiran bahwa lahan mangrove jauh lebih berguna bagi individu, perusahaan dan pemerintah daripada hanya sebagai lahan yang berfungsi secara ekologi.  Apabila persepsi keliru tersebut tidak dikoreksi, maka masa depan mangrove Indonesia dan juga di dunia akan menjadi sangat suram.

 

4.3.  Pengelolaan Hutan Mangrove di Indonesia

          Mangrove menggambarkan suatu sumber kekayaan dan keanekaragaman kehidupan.  Pada suatu negara dimana tekanan penduduk dan ekonomi terhadap zona pantai cukup tinggi, seperti halnya Indonesia, hutan mangrove dikenal sebagai pelindung utama lingkungan pantai dan sumber ekonomi nasional yang sangat berharga.

          Pada umumnya ada keterbatasan pemahaman tentang nilai dan fungsi mangrove diantara penentu kebijakan dan masyarakat umumnya, dan akibatnya hutan mangrove seringkali dipandang sebagai areal-areal kritis/rusak serta tidak berharga, yang perlu dipakai untuk kegunaan pemanfatan lain yang produktif.  Meskipun demikian, nilai hakiki ekosistem mangrove sangat besar dan hanya akan disadari ketika investasi besar diperlukan untuk melindungi pantai dan bangunan-bangunan treatment air, sehingga dilakukan upaya untuk merehabilitasi kembali fungsi alami hutan mangrove.

          Pada dasarnya terdapat tiga pilihan untuk pengelolaan dan pengembangan mangrove: (1) Perlindungan ekosistem dalam bentuk aslinya; (2) Pemanfaatan ekosistem untuk menghasilkan berbagai produk dan jasa yang didasarkan pada prinsip kelestarian; (3) Pengubahan (atau perusakan) ekosistem alami, biasanya untuk suatu pemanfaatan tertentu.

          Dalam kenyataannya, pertimbangan ekonomi dan ekologis tidak dapat dipisahkan dalam mengevaluasi berbagai alternatif  pengelolaan mangrove.  Pernyataan ini mencerminkan tumbuhnya apresiasi makna ekonomi ekosistem mangrove. Karenanya, konservasi dan pemanfaatan mangrove tergantung sepenuhnya pada perencanaan yang terintegrasi dengan mempertimbangkan kebutuhan ekosistem mangrove. Usulan pengembangan dan kegiatan insidential yang mempengaruhi ekosistem mangrove hendaknya mencerminkan perencanaan dan pengelolaan sebagai berikut (Dahuri  dkk., 1996):

·                     Peliharalah dasar dan karakter substrat hutan dan saluran-saluran air.

·                      Jaga kelangsungan pola-pola alamiah; skema aktivitas siklus pasang surut serta limpasan air tawar.

·                     Peliharalah pola-pola temporal dan spasial alami dari salinitas air permukaan dan air tanah.

·                     Peliharalah keseimbangan alamiah antara pertambahan tanah, erosi dan sedimentasi.

·                     Tetapkan batas maksimum untuk seluruh hasil panen yang dapat diproduksi.

·                     Pada daerah-daerah yang mungkin terkena tumpahan minyak dan bahan-bahan beracun lainnya, harus memiliki rencana penanggulangan.

·                      Hindarkan semua kegiatan yang mengakibatkan pengurangan (impound) areal mangrove.

 

   

5.  PENUTUP

 

              Mangrove mewakili sumberdaya hayati yang kaya dan beragam.  Bagi Indonesia dengan tekanan penduduk dan ekonomi yang tinggi di kawasan pantai, hutan mangrove terbukti sebagai sumberdaya alam yang mendukung dan menjaga keseimbangan ekologis  dan sumberdaya ekonomi nasional yang berharga.  Berdasarkan kenyataan tersebut, dapat disimpulkan bahwa masalah pengelolaan hutan mangrove secara lestari adalah bagaimana menggabungkan antara kepentingan ekologis (konservasi hutan mangrove) dengan kepentingan sosial ekonomi masyarakat di sekitar hutan mangrove.  Dengan demikian, strategi yang diterapkan harus mampu mengatasi masalah sosial ekonomi masyarakat selain tujuan konservasi hutan mangrove tercapai.

 

DAFTAR PUSTAKA

 

1.                  Bengen, D.G.  2000.  Pengenalan dan Pengelolaan Ekosistem Mangrove.  PKSPL-IPB.  Bogor.

2.                  Dahuri, R., dkk.  1996.  Pengelolaan Sumberdaya Wilayah Pesisir dan Lautan Secara Terpadu.  PT Pradnya Paramita.  Jakarta.

3.                  English, S., C.Wilkinson and V.Baker (editors).  1994.  Survey Manual For Tropical Marine Resources.  Australian Institute of Marine Science.  Townsville.

4.                   FAO.  1994.  Mangrove Forest Management Guidelines.  FAO Forestry Paper 117, Rome.

5.                   Nybakken, J.W.  Biologi Laut: Suatu Tinjauan Ekologis (Terjemahan).  Gramedia.  Jakarta.

6.                   Sudarsono.  1993.  Ilmu Filsafat, Suatu Pengantar.  PT Rineka Cipta.   Jakarta.

7.                   Suhartono, S.  1994.  Filsafat Ilmu Pengetahuan. Program Pasca Sarjana Universitas Hasanuddin. Makassar.  Indonesia.

8.                   Tomascik, T., et al.  1997.  The Ecology of Indonesian Seas.  Volume VIII Part Two.  Periplus Edition.  Canada.

9.                   Walter, H.  1971.  Ecology of Tropical and Subtropical Vegetation.  Van Norstrand-Reinhold.  NewYork.