© 2001 A. Iskandar
Posted: 20 June 2001 [rudyct]
Makalah
Falsafah Sains (PPs 702)
Program
Pasca Sarjana / S3
Institut
Pertanian Bogor
Juni 2001
Dosen:
Prof Dr Ir
Rudy C Tarumingkeng (Penanggung Jawab)
Prof Dr Ir
Zahrial Coto
PROBLEM
NILAI DAN MORALITAS DALAM MODERNISASI PEMBANGUNAN EKONOMI
Oleh:
A. Iskandar
NRP.P21600005/GMSK
E-mail: abuiskandar@astaga.com)
PENDAHULUAN
Latar Belakang Masalah
Modernisasi yang muncul di Eropa Barat sejak abad ke kini
merupakan gejala yang melanda hampir seluruh bangsa di muka bumi ini. Terkesan
semacam suatu keharusan memaksa setiap bangsa berkembang, untuk berusaha
mencapai tingkat yang sudah diraih oleh apa yang dinamakan
masyarakat-masyarakat yang sudah moderen (Ramos, dalam Beling & Totten
(ed): 1970). Cara pendekatan ini, kemudian lazimnya menggunakan
dikotomi-dikotomi masyarakat metropolis melawan masyarakat satelit, masyarakat
pusat melawan masyarakat pinggiran. Dalam konteks global,dikotomi dan
polarisasi semacam inilah yang menggambarkan tajamnya persoalan
etnosentrisme, yakni Eurocentrism(menurut Bjorn Hettne) dan
Americacentrism yang kental mengiringi modernisasi di Dunia Ketiga. Inilah yang
dikecam oleh Ramos, sebagai "tahayul diologis" yang tak pernah sirna
dari konsep modernisasi.
Gejala ini, dalam pandangan Ramos, di samping telah
mengukuhkan adanya dominasi masyarakat Barat yang telah maju atas masyarakat
Dunia Ketiga, juga telah mendorong bagi kemungkinan bangsa-bangsa berkembang
untuk memoderenkan dirinya dengan seperangkat prosedur, institusi, nilai dan
norma yang secara potensial memang telah dimiliki oleh masing-masing bangsa di
Dunia Ketiga.
Namun sayangnya, kebanyakan bangsa-bangsa di Dunia Ketiga,lebih
menampilkan kekurangpercayaan diri untuk menjadi moderen, tanpa harus menjadi
epigoni dari seluruh langkah kemajuan Barat. Kenyataan ini lebih mudah
dijelaskan oleh sebab bangsa-bangsa Dunia Ketiga,masih banyak yang menyisahkan
pada dirinya mentalitas sebagai orang yang terjajah. Keharusan percaya diri
itu, bukan berarti meneguhkan sikap eksklusif dari segala tuntutan perubahan,
tetapi lebih menegaskan akan pilihan-pilihan prosedur, nilai dan norma dalam
memoderenkan diri bangsa yang sesungguhnya pilihan-pilihan itu ada pada diri
bangsa itu sendiri. Bila ditegaskan secara lebih radix lagi, adalah penegasan
akan jati diri manusia, yang tak terbedakan satu sama lain akan hak-hak
dasariahnya. Sejalan dengan hal itu, baik Theodor W. Adorno maupun Peter L.
Berger memiliki pendekatan yang sama dalam melihat dialektika sejarah umat
manusia, dimana yang lazim dilihat oleh banyak orang bahwa sejarah adalah milik
mereka yang menang dan bukan sejarah mereka yang dikalahkan. Menurut Adorno,
dalam Negative Dialektik, kesejarahan mereka yang terkalahkan ini kemudian
diungkap dan dirumuskan sebagai keadaan yang negatif yang membuat mereka
menderita. Keadaan yang negatif inilah kemudian menjadi titik awal segala
pemikiran dan penilaian manusiawi untuk selanjutnya dirumuskan kedalam suatu
negasi dari keadaan yang negatif itu, dalam rangka mengubah dan mengatasi
situasi penderitaan. Inilah pengalaman yang spontan dari kesadaran manusiawi
yang tidak harus diingkari dalam setiap proses modernisasi. Barangkali pandangan
Adorno ini agak dekat dengan preposisi Karl Marx, bukan kesadaran yang
membentuk keadaan, melainkan keadaanlah yang membentuk kesadaran. Karena itu,
ketika menyinggung biaya-biaya manusiawi yang diderita masyarakat Dunia Ketiga
sebagai akibat pengekorannya pada paradigma Barat, Peter L. Berger mengingatkan
bahwa setiap bangsa, memiliki hak dasariah atas suatu dunia yang bermakna
baginya, serta atas partisipasi kognitifnya dalam mengartikan dan merumuskan
definisi-definisi situasi dalam rangka mengatur dunianya sendiri. Kesadaran
manusiawi tentang suatu dunia dengan situasinya yang beragam dan berbeda-beda
itulah yang sering diabaikan dan direduksi dalam proses modernisasi. Menurut
Berger, apa yang dicanangkan sebagai modernisasi, yang kemudian ditiru oleh kebanyakan
Dunia Ketiga dengan bahasa pembangunan, tak jarang merupakan suatu ideologi dan
mitos yang mengabaikan pertimbangan- pertimbangan manusiawi. Kesimpulan Berger,
sekaligus menjadi peringatannya, bahwa modernisasi menuntut harga yang tinggi
pada tingkat makna. Mereka yang tidak bersedia membayar harga ini harus
dipandang dan diperlakukan dengan hormat, dan tidak boleh diremehkan sebagai
terbelakang atau irasional. Manusia berhak hidup di dalam sebuah dunia yang
mengandung makna, makna yang tumbuh dari partisipasi kognitifnya sendiri.
Menghormati hak ini merupakan suatu keharusan moral bagi kebijaksanaan politik
(Berger: 1982). Dengan demikian, jelas bahwa Berger menawarkan suatu konsep
keragaman wacana dengan mendesakkan suatu imperatif- imperatif etik dalam
melihat dan menilai dunia untuk suatu konstruk masyarakat dan pandangan
dunianya, yang tidak harus menggantungkan pada wacana tunggal paradigma
modernisasi, baik dalam bentuknya sebagai sistem kapitaliseme maupun
sosialisme.
Tujuan Penulisan
Tujuan penulisan paper ini adalah mendeskripsikan
pembangunan sebagai mitos yang terjerat tahayul ideologis, menganalisis
ketegasan arah komitmen moral menyangkut modernisasi pembangunan ekonomi.
Batasan Penulisan
Dalam tulisan ini, pembahasan dibatasi pada masalah nilai
dan moralitas dalam pembangunan ekonomi. Analisis dilakukan melalui pendapat
para ahli dan data lapangan.
PEMBANGUNAN: MITOS YANG TERJERAT TAHAYUL IDEOLOGIS
Pembangunan, mustahil bersifat bebas nilai, didalamnya
memuat implikasi-implikasi nilai yang disyaratkan guna mencapai apa yang
dikehendaki. Sejak lahirnya kapitalisme, pembangunan dimengerti sebagai suatu
yang mengeliminir semua realitas situasi, dan hanya ada satu realitas tunggal,
yakni, realitas yang bersemayam di balik paradigma modernisasi.
Ideologi yang menganjurkan pembangunan itu ditunjuk sebagai
developmentalism atau growthmanship, suatu perangai pembangunan yang
mementingkan pertumbuhan ekonomi. Ideologi pembangunan kapitalis yang diarahkan
pada pertumbuhan ekonomi ini, didasarkan pada mekanisme pasar. Kemanfaatan yang
diperoleh, diasumsikan akan dengan sendirinya meluas ke semua sektor dalam
masyarakat. Dalil ini disebut sebagai pengaruh yang menetes ke bawah
(trickle-down effect). Kesejahteraan masyarakat secara luas akan dengan sendirinya
diperoleh melalui pertumbuhan ekonomi dengan pasar sebagai penuntunnya. Namun,
pendasaran pertumbuhan pada mekanisme pasar ini, dalam pengalaman-pengalaman
yang terjadi di Dunia Ketiga justru mengalami pembelokan dari pertumbuhan
ekonomi yang dituntut oleh mekanisme pasar menjadi pertumbuhan ekonmi yang
dituntun oleh dalil kepentingan politik negara. Batasan-batasan peran antara
negara, yang menjalankan fungsi politik (pelayanan publik) dan pasar, yang
menjalankan fungsi ekonomi, kemudian menjadi semakin kabur.
Menurut penulis, aktor ekonomi yang bertanggung jawab
menjaga pertumbuhan kemakmuran dan yang harus mengefektifkan seluruh insitusi
distribusi pendapatan di negeri-negeri Dunia Ketiga, nyatanya adalah usahawan-
usahawan swasta, mereka itu umumnya adalah produk binaan karbitan yang
dibesarkan oleh pemerintah, tentu saja dengan memperoleh fasilitas-fasilitas
khusus yang diberikan oleh para penguasa penyelenggara negara. Kenyataan inilah
yang kemudian memunculkan apa yang sering disebut sebagai erzats capitalism,
yang melahirkan kapitalis-kapitalis karbitan.
Ideologi pembangunan kapitalis yang dijalankan di
negeri-negeri Dunia Ketiga ini, pada akhirnya sulit meyakinkan cita-citanya,
sering dengan kritik yang diajukan terhadapnya: Siapa sebenarnya yang paling
banyak diuntungkan dengan sejumlah manfaat yang diperoleh, dan Siapa yang
mengambil keputusan ? Pertanyaan itu dapat pula diajukan seperti ini:
Pertumbuhan siapa ? dan Pasar siapa ? (Berger: 1982). Pertanyaan semacam itu
amat releva diajukan, mengingtat ideologi pembangunan kapitalis ini ternyata
hanya menguntungkan mereka yang berada pada posisi "centrum" yang
sedikit jumlahnya, dan merugikan sejumlah mereka yang berada pada posisi
"periphery". Karena itu, ide pertumbuhan dalam ideologi kapitalisme,
dikecam oleh Berger sebagai "mitos" dari langgam modernisasi di
negeri-negeri Dunia Ketiga. Dari gambaran di atas, harus diakui, sebagian besar
para pengambil kebijakan mengenai pembangunan di negara-negara berkembang,
secara nyata menunjukkan keterjeratannya ke dalam tahayul ideologis itu.
Ini diperlihatkan untuk kasus model pembangunan di
Indonesia, baik di bidang ekonomi, sosial, politik dan budaya, upaya mencapai
taraf kemoderenan, tahap-tahap yang harus dilaluinya secara konsisten mengikuti
apa yang digariskan oleh para pencetus dan eksponen-eksponen dari teori evolusi
sosial, kita bisa menunjuk pada paradigma pemikiran sosial klasik maupun
moderen, di antaranya, Karl Marx yang membahas peralihan masyarakat feodalisme
ke kapitalisme, hubungan sosial ala Durkheim, dari "solidaritas
mekanik" ke "solidaritas organik". rasionalisasi dan meluasnya
pengaruh birokrasi dari Max Weber, perubahan sosial Tonnies dari
"gemeinschaft" menuju "gesellschaft", peralihan pola-pola
budaya ala Parson, dari pola "askriptif partikularistik" menuju pola
"prestasi universalistik", dan perubahan sosial ekonomi menurut versi
Lerner, JJ Rostow, dan Riggs, yang menafsirkan perubahan itu, berturut-turut
sebagai perubahan dari masyarakat yang "tradisional", "belum
berkembang", dan "fused", "take-off" dan
"prismatic", sampai pada akhirnya mereka mencapai tahap
"modernitas", "mass consumption", dan
"regraction".
Dengan mencermati pemikiran JJ. Rostow khususnya, yang
kemudian pemikiran ini dijadikan landasan konsep pembangunan di Indonesia,
tahap-tahap pembangunan ekonomi untuk Dunia Ketiga harus dimulai sejak dari
tahap "underdeveloped" ke tahap peralihan berupa
"take-off", untuk kemudian menuju ke tahap moderen yang di cirikan
dengan "mass consumption", tingkat tinggi dan berlimpah ruah.
Tentunya, kita tak akan bicara tingkat konsumsi semacam itu
sebagai ciri modernitas, jika tak bicara pula tentang kapitalisme dan
rasionalisasi. Sebab keduanya, kapitalisme dan rasionalisasi, masing-masing
menurut Karl Marx dan Max Weber, merupakan konsep kunci untuk memahami
modernitas (Poole: 1993). Kapitalisme, sebagaimana di definisikan oleh Louis
Blanc, adalah gejala "pencaplokan modal oleh sekelompok orang dengan
menyisihkan yang lain". Sementara Karl Marx, merumuskan pengertian kapitalisme
sebagai: "rezim ekonomi dan sosial, dalam mana kapital, sebagai sumber
pendapatan, pada umumnya bukan dimiliki oleh kaum buruh/proletar yang
menjadikannya berfungsi, melalui kerja jasmaninya" (Rahardjo: 1993).
Dari pengertian tersebut, kapitalisme menyimpan dua unsur
pokok, yaitu: pemusatan modal dan eksploitasi. Kapitalisme, karenanya tidak
jarang mendorong organisasi ekonomi moderen untuk selalu meningkatkan produksi
demi produksi, dengan bahasa lain pertumbuhan ekonomi demi konsumsi-konsumsi
manusia kapitalis yang nyaris tak pernah terpuaskan. Mengiringi isu
produktivitas dalam kapitalisme ini, rasionalisasi dalam proses produksi
merupakan prasyarat bagi munculnya keunggulan komparatif produk-produk
kapitalis. Kemudian jenis rasionalisasi yang dominan dalam kapitalisme adalah
rasionalitas ilmiah-tehnologis atau yang disebut rasionalitas instrumental. Hal
yang diutamakan adalah efisiensi dan efektifitas dalam mencapai tujuan.
"Bertindak rasional, dalam pengertian kapitalis yang
umum, disamping untuk mengejar tingkat produksi demi produksi, konsumsi ke
konsumsi tanpa batas, adalah juga mengejar kekuasaan untuk kekuasaan itu
sendiri", demikian DR. J. Sudarminta SJ, dalam Moralitas dan Modernitas.
Sehingga nilai yang dominan dalam kapitaliseme, selain konsumsi tingkat tinggi,
adalah kekuasaan, yakni kekuasaan yang termanifestasikan atas sumber-sumber
daya alam yang telah berkembang berduaan secara simbiotis dengan kekuasaan
segelintir manusia atas modal, dan atas manusia-manusia lainnya dalam proses
produksi. Keberadaan buruh kemudian dipandang semata-mata sebagai alat
produksi.
Konsekuensi pandangan ini dalam konteks pembangunan yang
berorientasi pada pertumbuhan ekonomi, acapkali memunculkan suatu fenomena
dimana kelompok buruh atau masyarakat bawah pada umumnya (yang tidak memiliki
aset dan akses apapun dalam gerak pembangunan), sering dijadikan sebagai
kelompok sacrifice. Jargon yang kemudian lazim kita dengar adalah,
"pembangunan itu memerlukan pengorbanan". Tapi idiom pembangunan dan
pengorbanan itu sesungguhnya oleh siapa, dan untuk siapa? Kemudian untuk
mengukuhkan arah dan strategi pembangunan yang berorientasi pertumbuhan ekonomi
ini, dan dalam upayanya menuju tahap "tinggal landas", pemantapan
stabilitas politik menjadi syarat mutlak. Pembangunan kemudian lebih
mencerminkan "kemauan" birokrat penguasa, ketimbang aspirasi rakyat.
Dalam konteks ini, mereka yang merupakan sasaran kebijaksanaan pembangunan
ekonmi politik nasional, sering ditempatkan dan diandaikan pada posisi
"tidak sadar diri", suatu pengandaian yang mengabsahkan program
"konsientisasi" yang bersifat searah dan sepihak. Sementara barisan
teknokrat dan birokrat sebagai subyek pelaksana program konsientisasi
mengandaikan diri mereka sebagai kelompok yang paling "sadar diri",
paling "tahu", dan paling "benar".
Dalam kerangka teoritis-filosofis, cara pandang diatas
secara tepat oleh Berger sebagai "kecongkahan epistemologis" yang
berawal pada kesalahan filosofis, dimana kesalahan tersebut terletak pada apa
yang sering disebut "pandangan hirarkhis" mengenai kesadaran. Menurut
Berger, pandangan ini mengandung nilai yang berbau abad pertengahan, dimana
terdapat ajaran jaman skolastik tentang "mata rantai keberadaan"
dengan Tuhan Yang Maha Tahu, Maha Benar di satu ujung, binatang-binatang yang
tak berakal di ujung yang lain, dan di tengah-tengahnya berada kita umat
manusia, yang dengan teliti disusun menurut tingkat-tingkat berdasarkan
kedekatannya pada salah satu dari kedua kutub tersebut(Berger: 1982). Hal yang
lazim dimengerti kemudian, karena keberadaan raja (penguasa) sering
dipersonifikasi dekat, bahkan menyamai Tuhan, maka kedudukannya secara kognitif
dipandang "istimewa", Raja tak pernah bisa salah, The King can do no
wrong.
Tengara Berger tersebut, kiranya juga tepat untuk melihat
hubungan sosial-politik antara penguasa dengan massa dalam konteks budaya kita.
Menurut Kuntowijoyo, kendati konsep sosial-politik kita telah mengenal dan
menggunakan idiom-idiom pasca budaya lokal, namun setidak-tidaknya dalam
kenyataan, sistem sosial politik kita masih mewarisi pemahaman masa lalu,
dengan mana manusia dibagi-bagi dalam strata sosial yang polaristik, di satu
pihak ada stratum gusti, di lain pihak ada stratum kawula. Stratum yang
pertama, melalui keharusan supernatural yang memang demikian diasumsikan memiliki
kewenangan memanipulasi simbol-simbol dan makna-makna sedemikian rupa sehingga
seolah-olah kekuasaannya adalah sebuah kemutlakan Kuntowijoyo: 1994).
Masih dalam kerangka cara pandang seperti itu, dalam aras
lokal nasional, pembangunan yang dijalankan terlihat merentangkan suatu
katagorisasi "subyek" dan "obyek", sehingga yang nampak,
proses pembangunan lebih bersifat "top down", dimana sang
"subyek" menentukan "citra makna"nya kepada sang
"obyek". Hal ini memantapkan suatu kesan bahwa pembangunan kemudian
menjadi semacam "ideologi" yang represif. Munculnya pemikiran kritis
mengenai konsep dan jalannya pembangunan "diharamkan" dan dianggap
sebagai "gangguan", sehingga secara nyata berakibat mematikan
aspirasi dan partisipasi kognitif masyarakat dalam setiap proses pembangunan.
Idiom pertumbuhan ekonomi berbarengan dengan stabilitas politik, kemudian
menjadi "panglima" pembangunan, yang secara praxis sadar atau tidak,
mengenyampingkan sejumlah pertimbangan "biaya-biaya manusiawi", dan
sekaligus "biaya-biaya natur" yang cukup menambah beban lingkungan
hidup. Jika terdapat perhatian terhadap pertimbangan-pertimbangan itu, porsinya
masih tidak seberapa bila dibandingkan dengan banyaknya "kurban" yang
berjatuhan, sebagai akibat dari terkonsentrasinya sumber-sumber kemakmuran pada
segelintir orang yang memperoleh perlindungan ketat secara politis dari
birokrat penguasa.
MEMPERTEGAS ARAH KOMITMEN MORAL
Kasus pembangunan ekonomi di Indonesia, setidak-tidaknya terlihat
sepuluh tahun terakhir ini, boleh dibilang telah masuk kedalam
"kegilaan" nilai semacam itu. Ini bisa ditunjukkan oleh keprihatinan
para pakar ekonomi kita, salah satunya adalah gejala merebaknya praktik
monopolistik dan oligopolistik, yang dalam praktinya tidak lagi mengindahkan
hukum pasar secara normal dan wajar, yang menjadikan distorsi pasar seolah-olah
absah demi keuntungan segelintir pelaku monopoli dan oligopoli tersebut.
Praktik oligopoli yang juga dikhawatirkan mengarah ke monopoli di sektor
industri, telah mencapai ambang batas ketidakwajaran, yakni 72 masuk
(barrier to entry) kedalam kegiatan ekonomi atau kewirausahaan. Hal demikian
memberikan peluang yang cukup kecil bagi tumbuhnya usaha dan kesempatan kerja
bagi mereka yang berada di luar jaringan pemegang kendali oligopoli dan
monopoli. Ini menjadikan pengusaha-pengusaha kelas "semut" termasuk
koperasi-koperasi yang notabene mewadahi usaha-usaha kecil, akan semakin
terpuruk nasibnya.
Kenaikan harga kertas dan semen beberapa waktu yang lalu,
dan penguasaan pangsa pasar hampir 90 persen oleh produsen mie instan (PT.
Indofood Sukses Makmur) misalnya, dapat dijadikan indikasi adanya praktik
monopoli dan oligopoli tersebut. Penetapan harga barang maupun jasa, tidak lagi
ditentukan melalui hukum pasar secara wajar, melainkan berdasar rasionalisasi
ekonomi yang artifisial, yang diciptakan oleh segelintir pengusaha yang
tergolong masuk dalam jaringan kartel. Mereka kemudian menjadi price makers
yang tangguh berkat proteksi pemerintah. Sehingga diakui atau tidak, yang
dinilai oleh sebagian besar pakar ekonomi sebagai biang ekonomi biaya tinggi
dan membuat ekonomi nasional gampang digoyang inflasi.
Dalam hal ini pula, kita masih bisa menunjuk contoh kasus
pengambilalihan Kanindotex dari GKBI (Gabungan Koperasi Batik Indonesia) oleh
konsorsium yang dipimpin oleh Bambang Trihatmodjo atas nama PT Aspac Century
Corporation. Sebesar 90 persen saham Kanindotex untuk konsorsium itu, dan
sisanya, 10 persen diberikan kepada 100 koperasi primer. Nampaknya, bagi
koperasi yang konon merupakan soko guru perekonomian Indonesia, nyaris terpuruk
dan tak berdaya menghadapi sistem perekonomian yang terkonsentrasi dalam bentuk
oligopolistik dan monopolistik. Dalam kasus Kanindotex itu, Ketua Dekopin Dr.
Sri Edi Swasono berkesimpulan bahwa kasus itu secara transparan menunjukkan
GKBI memang sengaja ditendang dari Kanindotex.
Kesewenang-wenangan pelaku bisnis yang berkolusi dengan
penguasa benar-benar telah menjadi kamus dalam mengejar pertumbuhan ekonomi. tetapi
sekali lagi, untuk siapa pertumbuha itu ? Mustinya, jika kita konsisten dengan
komitmen kita untuk menjadikan koperasi benar-benar menjadi soko guru
perekonomian Indonesia, pemberdayaan koperasi yang nota bene menjadi penyanggah
perekonomian rakyat, seharusnya menjadi perhatian yang serius di tengah-tengah
percaturan global perekonomian dunia.
Dalam upaya memacu tingkat pertumbuhan yang optimum itu,
kesenjangan perlakuan pemerintah terhadap ekonomi rakyat dengan ekonomi
konglomerat sulit ditutup-tutupi. Sebagai misal, alokasi kredit yang diberikan
oleh sindikasi bank pemerintah kepada 34,45 juta usaha kecil sebagai
perekonomian rakyat hanya 56 persen, atau 16,888 trilyun rupiah dari total
kredit yang dikucurkan sebesar 30,158 trilyun rupihah. Selebihnya, yaitu 44
persen atau sekitar 13,27 trilyun diberikan kepada 22 konglomerat. Kita tentu
bisa menghitung berapa perbandingan perolehan kucuran dana untuk masing-masing
sektor usaha ? Beda perlakuan semacam inlah yang kemudian menimbulkan
kesenjangan dibidang usaha, terutama pada akses produksi. Ketimpangan tersebut
pada akhirnya juga mengarah pada timpangnya tingkat konsumsi masyarakat.
Sehingga menurut sebagian pengamat sosial-ekonomi, fenomena semacam itu, secara
luas memunculkan kesan bahwa yang kaya semakin kaya dan yang miskin semakin
terhimpit dengan kemiskinannya.
Sebagai contoh pembenaran hal diatas, masih hangat dalam
ingatan, betapa naluri "menerkam" kemudian "mencabik-cabik"
dari sejumlah kecil pengusaha besar terhadap pengusaha-pengusaha kecil,
didemonstrasikan ketika terjadi akusisi beberapa pengusaha tekstil, yang tidak
selang lama, terjadilah kenaikan bahan baku tekstil yang menyebabkan
tersungkurnya beberapa perusahaan tekstil yang tergolong lemah. Demikian pula,
betapa tataniaga cengkih yang tersentral, telah menunjukkan "arogansi
bisnis"nya dengan melibas sumber kesejahteraan petani cengkih.
Praktik monopoli, oligopoli dan kartel yang memperoleh
"restu" pemerintah ini sesungguhnya menjadi faktor kemacetan
pembangunan terutama di sektor ekonomi. Hal itulah yang menyebabkan terjadinya
distorsi ekonomi. Meskipun perekonomian Indonesia dinilainya relatif bagus,
tetapi tetap menganjurkan dihapuskannya segala jenis tataniaga dan distorsi
ekonomi yang diciptakan oleh praktek monopoli dan oligopoli tersebut.
Dari kasus diatas, sesungguhnya menggambarkan rapuhnya
komitmen etik dan moral yang secara representatif dapat mengajukan pertanyaan
keprihatinan, sejauhmana komitmen kebangsaan dan kerakyatan para konglomerat
dalam memacu pertumbuhan ? dan bagaimana pula political
will pemerintah untuk memacu pertumbuhan perekonomian rakyat, yang selama
ini terkesan dianatirikan ?
Jika melihat fenomena semacam itu, maka sesungguhnya sistem
perekonomian Indonesia sarat dibebani oleh praktek-praktek pemburuan rente
ekonomi (rent seeking) dan inefisiensi birokrasi maupun tata produksi. Dalam
situasi seperti itu, tidak heran jika inflasi lebih disebabkan oleh tekanan
harga-harga (cost push), termasuk didalamnya beban inefisiensi produksi dan
korupsi birokrat.
Dalam perspektif ketergantungan, corak ekonomi kapitalis
yang mengukuhkan sistem monopoli dan oligopoli pada akhirnya justru mempertajam
kesenjangan sosial- ekonomi. Masyarakat-masyarakat, secara ekonmi tertentang
antara yang kuat akses dan asetnya dalam proses produksi, dan mereka yang lemah
yang lebih banyak tereksploitasi oleh kelompok ekonomi kuat, yang justru
memperoleh perlindungan politik birokrasi.
Dengan mencermati prespektif ketergantungan ini pula,
nampaknya pembangunan kota dan desa di Indonesia bisa dikatagorikan dalam
perspektif ini. Dimana kota sebagai pusat (metropolis) menyerap surplus ekonomi
(dan termasuk tenaga kerja yang bermigrasi) dari
desa (satelit/pinggiran). Dan karena itu terdapat ketimpangan antara
pembangunan kota dengan desa. Kesenjangan sosial-ekonomi ditengah-tengah
masyarakat, sesungguhnya bisa ditelusuri, dari senjangnya pembangunan antara
desa dan kota. Hal ini ditunjukkan oleh timpangnya alokasi kredit antar sektor
pembanguan; sektor pedesaan dan perkotaan. Sampai Oktober 1994 sektor pertanian
merupakan sektor terkecil dalam perolehan kredit bank jika dibandingkan
sektor-sektor lainnya. Sektor pertanian memperoleh kredit sebesar 7,63 persen,
turun sebanyak 41 persen dari tahun 1993. Sementara sektor perdagangan, jasa
dan industri jauh lebih tinggi, masing-masing mencapai 23,72 persen, 25,71
persen, dari 31,17 persen.
Yang memprihatinkan adalah pergeseran struktur perekonomian
antar sektor ternyata tidak secara konsisten diikuti oleh pergeseran distribusi
tenaga kerja antar sektor pembangunan. Disatu pihak, prosentase tenaga kerja
Indonesia yang bekerja di sektor industri hanya meningkat dari sekitar 11
persen pada tahun 1971, menjadi sekitar 17 persen pada tahun 1991. Sedangkan
dipihak lain, prosentase tenaga kerja yang bekerja di sektor pertanian hanya
turun dari sekitar 67,5 persen menjadi 55 persen untuk periode yang sama
(Baswir: 1994).
Data terakhir dari Bappenas (1995), menyebutkan : pertanian
pedesaan merupakan sektor terbesar yang mampu menyerap tenaga kerja sampai
65,39 persen. Sementara sektor perdagangan, industri dan jasa masing-masing
menyerap 10,0 persen, 7,9 persen, dan 7,3 persen. Diperkotaan, perdagangan
perkotaan merupakan sektor tertinggi dalam menyerap tenaga kerja (27,80
persen), diikuti oleh sektor industri 17,0 persen dan pertanian 10,91 persen.
Jika dikalkulasi (desa-kota), pertanian merupakan sektor paling dominan
menyerap tenaga kerja, dengan total 50,58 persen.
Sisanya, perdagangan 15,73 persen, jasa 13,46 persen dan
industri 10,48 persen. Jika dilihat perbandingan antara alokasi dana
masing-masing sektor, dengan kemampuan masing-masing sektor untuk menyerap
tenaga kerja, angka-angka diatas secara jelas mengungkapkan terjadinya
pelebaran ketimpangan kesejahteraan angkatan kerja Indonesia.
Menyoroti ketimpangan desa-kota, Sayogyo (1992) mengutarakan
dua sebab ketimpangan yaitu market failure, dan political failure. Yang pertama
terjadi karena
1)
kemampuan
daya beli penduduk di pedesaan sangat rendah bila dibandingkan penduduk kota.
Hal ini disebabkan karena sebagian besar masyarakat desa termasuk dalam
angkatan kerja, hanya memperoleh upah/pendapatan yang sangat kecil yang tidak
dapat mencukupi kebutuhan dasar mereka;
2)
Sempitnya
kesempatan dan peluang berusaha di pedesaan;
3)
infrastuktur
pedesaan yang tidak memadai untuk pengembangan produksi;
4)
pola
penguasaan tanah sebagai alat produksi vital di desa timpang; dan
5)
berbagai
sebab dimana penciptaan output ekonomi pedesaan serta distribusinya mengalami
hambatan pemasaran akibat terdesak oleh produksi industri.
Penyebab kedua, political failure terjadi apabila struktur
dan institusi ekonomi politik yang pada aras supra lokal telah menyebabkan
distorsi dalam mereppresentasikan kepentingan masyarakat desa. Hal ini dapat
dipahami, bahwa proses pembangunan pedesaan tidak akan terlepas kaitannya dari
suatu pengertian yang menyeluruh tentang pembangunan institusi ekonomi politik
nasional. Siapa menguasai apa dan untuk kepentingan siapa institusi dan
struktur ekonomi-politik itu bekerja, merupakan pertanyaan kunci yang dapat
dikembangkan guna memahami dimensi pembangunan yang sangat kompleks. Penekanan
atas penguasaan sumber-sumber pertumbuhan pada segelintir orang, atau yang
terpusat pada sekelompok masyarakat kota misalnya, secara potensial dapat
menyebabkan kemandegan proses pembangunan secara menyeluruh.
Karena itu dalam perspektif teori ketergantungan ini,
pembangunan harus diartikan sebagai "pemberdayaan" bukan dalam
"pemerdayaan" masyarakat yang tersisihkan oleh arus pembangunan
ekonomi. Dalam rangka inilah maka pemerintah, dengan political will-nya harus
menyediakan iklim perekonomian yang kondusif bagi pertumbuhan kelas bawah,
termasuk pemerataan kesempatan kerja usaha di sektor ekonomi sub sisten, yang
sesungguhnya dapat memacu daya beli masyarakat secara luas. Kolusi, monopoli,
dan oligopoli, yang akhir-akhir ini ramai diperbincangkan harus segera
dienyakan untuk menyelapkan distorsi ekonomi yang menyesatkan usaha kelas
bawah. Karena itu munculnya undang-undang anti monopoli menjadi suatu keharusan
bagi sistem perekonomian yang sehat, yang jauh dari praktek-praktek kolusi,
korupsi, monopoli dan oligopoli. Namun demikian, keefektifan aturan hukum bisa
diwujudkan hanya bila didukung oleh komitmen moral para pelaku-pelaku ekonomi
dan birokrat penguasa. Hal yang paling mendesak disamping undang-undang anti
trust tersebut, adalah undang-undang yang jauh lebih hulu dan lebih strategik
sifatnya. Yakni yang menyangkut etika politik, menghindari benturan kepentingan
(conflict of interest) antara penguasa dan atau pejabat birokrasi dengan
pengusaha. Karena itu, menurutnya deregulasi ekonomi harus simultan dengan
deregulasi politik. Sebab sumber kartel ekonomi adalah kartel politik. Kartel
berdalih nasionalisme, tetapi berkiblat pada perelatifitasan moral dengan
mengeruk "rezeki haram" 2-K, kolusi dan korupsi.
Gambaran terkonsentrasinya struktur ekonomi dilapisan atas
tersebut, yang merupakan "wajah" nyata dari sistem kapitalisme,
persis seperti digambarkan oleh Laurence J.Peter dengan "Piramida
Peter"nya. Piramida Peter digambarkan sebagai piramida yang terbalik,
dengan ujung dibawah. Jika pada piramida kuno (piramida Mesir), dimana ujungnya
berada di atas dan landasannya dibawah, digambarkan oleh Peter, bagaimanapun
besar landasannya, pertumbuhan kearah titik puncak pasti ada batasnya. Namun,
dalam semangat kapitalisme yang berlaku adalah piramide Peter ini. Karena
dimulai dari bagian terkecil dibawah, arah perkembangannya (keatas) tidak
dimiliki batas akhir. Piramida ini tidak akan berhenti tumbuh dengan cara
diselesaikan (dipenggal begitu saja). Karena sifatnya yang tidak dapat
membatasi diri itu, maka piramida ini akan tumbuh terus sampai dia terguling
sendiri, remuk, dan hancur sendiri, atau sampai orang-orang yang membangunnya
mengambil tindakan untuk mengendalikannya (Peter: 1986).
Jika distorsi ekonomi nasional yang ditandai oleh semakin
merebaknya praktik monopoli, oligopoli dan kartel, dan dibiarkan terus-menerus
berkembang tanpa batas, dan tanpa ada political will dari penguasa untuk
merubahnya, maka siapakah sesungguhnya yang akan tetap bertahan untuk
memperoleh keuntungan dengan situasi perekonomian seperti itu ? Dan siapa pula
yang akan semakin termarginalisasi dalam meraih keuntungan ? Jika melihat
piramida Peter diatas, kelompok yang berada pada posisi "bawah" dan
yang semakin ke "bawah"lah yang akan memperoleh sedikit dan semakin
sedikit. Barangkali untuk kasus ini, kita bisa mempertanyakan lagi banyak hal
dibalik fenomena ketimpangan yang ada, yang bisa saja kita kaitkan misalnya,
dengan mode of production dari Karl Marx, "Siapa menguasai apa, dan siapa
menguasai siapa?" Jika ini merupakan pilihanmoralitas pembangunan ekonomi
justru secara tidak sadar membenarkan premis-premis ajaran Marxisme, dimana
moralitas suatu masyarakat adalah moralitas kelas yang berkuasa, yang ditentukan
oleh kelas yang mendominasi ekonomi. Memang, tak mudah mencari jawaban yang
akurat untuk menjelaskan kekhawatiran kita, terutama yang terkait dengan
konteks mengejar konsumsi tingkat tinggi,dan kekuasaan demi kekuasaan sebagai
nilai dominan dalam kapitalisme, kecuali ungkapan jitu Thomas Hobbes dalam
Leviathan "Suatu kecenderungan umum seluruh umat manusia, adalah hasrat
akan kekuasaan abadi, yang berhenti hanya dalam kematian.
KESIMPULAN
Dari uraian diatas, dapat disimpulkan bahwa :
1. Pertumbuhan ekonomi dengan
pasar sebagai penuntunnya, dalam pengalaman-pengalaman yang terjadi di Dunia
Ketiga justru mengalami pembelotan yang dituntun oleh dalil kepentingan politik
negara. Batasan-batasan peran antara negara yang menjalankan fungsi politik dan
pasar yang menjalankan fungsi ekonomi, kemudian menjadi semakin kabur. Aktor
ekonomi yang bertanggung jawab menjaga pertumbuhan kemakmuran dan yang harus
mengefektifkan seluruh institusi distribusi pendapatan di negara Dunia Ketiga
nyatanya adalah teknokrat-teknokrat yang telah menjelma menjadi atau
sekurang-kurangnya erat berafiliasi dan berkomitmen pada para politisi
penyelenggara pemerintahan yang berkekuasaan;
2. Pembangunan yang dijalankan terlihat
merentangkan suatu penggolongan subyek dan obyek sehingga yang nampak, proses
pembangunan lebih bersifat top down, yang mana sang subyek menentukan dan
menjejalkan citra maknanya kepada sang obyek;
3. Pembangunan ekonomi, boleh
dibilang telah masuk kedalam kegilaan nilai. Ini bisa dilihat pada gejala
merebaknya praktik monopolistik dan oligopolistik yang dalam praktiknya tidak
lagi mengindahkan hukum pasar secara normal dan wajar, yang menjadikan distorsi
pasar seolah-olah absah demi keuntungan segelintir pelaku monopoli dan
oligopoli.
DAFTAR PUSTAKA
Baswir, Revrisond, Ekonomi
Politik Pertumbuhan dan Ketimpangan, Kajian Kritis Transformasi Perekonomian
Indonesia 1986-1993, makalah seminar HIPIIS "Transformasi Sosial pada
Masyaraktat Semi Industri", Yogyakarta: 13 September 1994.
Berger, Peter L. Pyramids of
Sacrifice, terjemahan A. Rahman Tolleng, Piramida Kurban Manusia, Etika Politik
dan Perubahan Sosial, LP3ES, Jakarta: 1982.
Kuntowijoyo, Demokrasi dan
Budaya Birokrasi, Bentang, Yogyakarta: 1994.
Peter, Laurence J. Piramide
Peter, Mungkinkah Kita Mencapai Puncaknya, Erlangga, Jakarta: 1986.
Poole, Ross, Moralitas dan
Modernitas, Kanisius, Jakarta: 1993.
Rahardjo, Dawam, Pragmatiseme
dan Utopia Corak Nasionalisme Ekonomi Indonesia LP3ES, Jakarta: 1993.
Ramos, Alberto Guerreiro,
"Modernisasi Menuju Suatu Model Kemungkinan", dalam Beling &
Totten (ed), Modernisasi, Masalah Model Pembangunan, Rajawali Pers, Jakarta:
1985.
Sayogyo, Identifikasi Wilayah
Miskin di Indonesia dan Alternatif Penanggulangannya, Pusat Penelitian Sosial
Ekonomi Pertanian, Badan Penelitian dan Pengembangan, 1992.