Posted 15 June 2001 [RCT]

 

© 2001  Donata S. Pandin                                                           Posted 15 June 2001  [rudyct]  

Makalah Falsafah Sains (PPs 702)

Program Pasca Sarjana / S3

Institut Pertanian Bogor

 

Dosen:

Prof Dr Ir Rudy C Tarumingkeng (Penanggung Jawab)

Prof Dr Ir Zahrial Coto

 

 

 

PENANDA RAPD (Random Amplified Polymorphic DNA)

 DALAM PEMULIAAN TANAMAN KELAPA

 

 

 

 

Donata S. Pandin

P.036.00008/Agr

E-mail: donatapandin@yahoo.com

 

 

PENDAHULUAN

 

         Tanaman kelapa merupakan komoditas strategis yang berperan  bukan hanya dalam segi ekonomi tetapi juga sosial dan budaya bagi masyarakat Indonesia. Tanaman ini diduga berasal dari Asia Tenggara terutama  wilayah Indo-Malaya (Rao et.al, 1996; Peisley et.al., 1992), memiliki  empat sistem penyerbukan yaitu alogami sempurna, autogami langsung, autogami semi langsung, dan autogami tak langsung (Rognon et.al, 1976) sehingga dengan demikian  tidak mengherankan bila Indonesia memiliki  keragaman kelapa yang tinggi. Pengetahuan tentang keragaman genetik dan hubungan kekerabatan antar individu ataupun populasi adalah aspek yang sangat penting dalam pelestarian dan pemanfaatan plasma nutfah.

Hingga saat ini Balai Penelitian Tanaman Kelapa dan Palma Lain (Balitka) telah mengkoleksi + 90 populasi kelapa dari berbagai daerah di Indonesia. Jumlah ini merupakan sebagian kecil  dari potensi keragaman yang sesungguhnya, karena pekerjaan untuk koleksi dan konservasi plasma nutfah kelapa ini membutuhkan  biaya yang besar. Di antara koleksi plasma nutfah kelapa yang dimiliki Balitka terdapat lima populasi yang sangat menarik dan telah direkomendasikan sebagai kelapa Dalam lokal unggul berdasarkan karakter morfologi terutama komponen buah. Populasi kelapa tersebut adalah Dalam Mapanget, Dalam Tenga, Dalam Bali, Dalam Palu dan Dalam Sawarna yang berasal dari daerah yang berbeda dan diberi nama sesuai daerah asalnya. Dalam Mapanget  dan Tenga berasal dari Sulawesi Utara, Dalam Bali dari P. Bali, Dalam Palu dari Sulawesi Tengah, dan Dalam Sawarna dari Jawa Barat.

         Evaluasi keragaman genetik yang paling mudah dilakukan adalah berdasarkan karakter morfologi karena mudah terlihat, akan tetapi sulit dipastikan bedanya karena pengaruh faktor lingkungan yang sulit dihilangkan. Bagi tanaman kelapa cara ini semakin  sulit karena umur berbuah kelapa yang lama sehingga memerlukan waktu yang lama pula untuk melakukan evaluasi  terhadap keragaman genetiknya.  Untuk mempelajari keragaman genetik yang lebih baik, diperlukan penanda/karakter yang dapat memberikan polimorfisme yang tinggi, konsisten, dan tidak dipengaruhi oleh faktor lingkungan  maupun tahap perkembangan tanaman yaitu penanda DNA.   

         Salah satu penanda DNA yang telah banyak digunakan dalam mempelajari keragaman genetik tanaman adalah RAPD. Kelebihan RAPD dari penanda DNA lainnya adalah  relatif sederhana, mudah preparasinya, lebih cepat memberikan hasil, dan tidak memerlukan informasi tentang latar belakang genom organisme  yang akan dipelajari. Untuk Tanaman tahunan, RAPD ini sangat membantu dalam peningkatan efisiensi pada seleksi awal.

Penanda RAPD telah banyak digunakan  untuk berbagai keperluan seperti mempelajari keragaman  genetik pada tanaman kelapa  (Rohde et. al, 1995; Ashburner et.al, 1997, Lengkong et.al 1998; Hayati et.al, 1999), tanaman padi (Moeljopawiro et.al, 1996), ubi jalar (Sagredo et.al, 1998); identifikasi  mutan pada lemon (Deng et.al, 1995); identifikasi introgresi gen pada apel (Durham and Korban, 1994); ketahanan terhadap penyakit Lethal Yellowing  pada kelapa (Rohde et.al, 1995); identifikasi ketahanan terhadap busuk akar nematoda pada kacang tanah (Burow et.al, 1996); analisis pemetaan gen pada jagung (Beamont et.al, 1996); indentifikasi hibrid F1 pada cabe (Ballester  de Vicente et.al, 1998); identifikasi penyerbukan sendiri dan silang pada alfalfa (Gjuric and Smith, 1996)

         Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui keragaman dalam dan antar populasi kelapa Dalam Mapanget, Tenga, Bali, Palu dan Sawarna, serta mempelajari hubungan kekerabatan antar populasi tersebut.

 

METODOLOGI

 

         Penelitian ini dilaksanakan di Laboratorium Biologi Tumbuhan  Pusat Antar Universitas (PAU) Ilmu Hayat IPB, berlangsung  dari Februari sampai dengan Desember 1999.

         Bahan tanaman yang digunakan adalah daun muda dari  populasi kelapa Dalam  Mapanget, Tenga, Bali, Palu, dan Sawarna  yang berasal dari koleksi plasma nutfah kelapa di Kebun Percobaan Mapanget, Balai Penelitian Tanaman Kelapa dan Palma Lain (Balitka), Manado. Masing-masing populasi digunakan 10 tanaman sehingga jumlah seluruh tanaman yang digunakan  adalah 50 pohon.

 

Metode Penelitian

 

Isolasi DNA dilakukan  dengan menggerus daun kelapa dengan pasir kuarsa menurut Rohde et.al (1995) yang telah dimodifikasi. DNA yang dihasilkan dari setiap sampel diuji kuantitas, kualitas dan kemurniannya berdasarkan Sambrook et.al. (1989) dengan menggunakan spektrofotometer UV-Vis Shimadzu 2000 pada panjang gelombang 260 dan 280 nm

         DNA hasil isolasi diamplifikasi  menggunakan 10 primer acak 10-mer  yang diseleksi dari 40 primer (Operon Kit A dan B). Volume final reaksi adalah 40 ml dengan komposisi reaksi 1 x larutan penyangga (50mM KCl, 10 mM Tris-HCl pH 9, dan 0.1 % triton X-100), 1 unit Taq polimerase, 200 mM dNTP, 5 pM primer, dan 50 ng DNA genom. Prosedur amplifikasi dilakukan pada mesin PCR (Gene Amp PCR System 2400 Perkin-Elmer) menurut Lengkong et.al (1998). Hasil Amplifikasi kemudian dielektroforesis bersama DNA standar 1 kb DNA Ladder (Promega) pada gel agarose  dengan konsentrasi 0.8 %, voltase 70 volt selama 2.5 jam di dalam larutan penyangga TAE 1 X ( 0.04 M Tris-acetat, 0.001 M EDTA).  Setelah pewarnaan dengan 0.5 mg/ml etidium bromida selama 25 menit, gel direndam dalam  H2O selama 10-15 menit  lalu diamati di bawah sinar UV.  Pemotretan  dilakukan dengan film Polaroid 667.

         Hasil pemotretan berupa pola pita DNA diterjemahkan ke dalam data biner berdasarkan ada atau tidaknya pita. Untuk menentukan kesamaan pasangan genotipe pada individu berbeda, menggunakan rumus Nei dan Li (1979). Pengelompokan data matrik (cluster analysis) dan pembuatan dendrogram dilakukan menggunakan metode UPGMA (Unweighted Pair-Group Method Arithmetic) melalui program NTSYS (Numerical Taxonomy and Multivariate System) versi 1.80

 

HASIL DAN PEMBAHASAN

 

Pengamatan terhadap profil pita RAPD  yang dihasilkan dari 10 primer  terhadap kelima populasi kelapa Dalam  ditampilkan pada Tabel 1. Kesepuluh primer ini dapat memisahkan kelima populasi ke dalam kelompoknya masing-masing. Pita yang didapatkan berukuran 200 - 2000 pb (pasang basa). Hasil amplifikasi menggunakan 10 primer ini tidak satupun yang memberikan pita yang spesifik terdapat pada suatu populasi.  Jumlah pita  berkisar antara 5  ( OPB-15) dan 14 (OPA-10). Jumlah pita yang diamplifikasi oleh setiap primer serupa dengan hasil Ashburner et.al (1997), Wadt et.al (1997), dan Lengkong et.al (1998) yaitu berkisar antara 3 – 15 pita per primer. Jumlah total pita yang dihasilkan dari 10 primer yang digunakan adalah 91 pita DNA atau rata-rata 9 pita per primer, dan 95 % di antaranya merupakan pita polimorfis. Persentase polimorfisme antar populasi lebih dari 90 % ditemukan pula pada Genjah Jombang yakni 92% (Hayati et.al., 1999). Jumlah pita polimorfis dalam analisis keragaman genetik sangat menentukan tingkat keragaman suatu populasi. Perbedaan jumlah dan polimorfisme pita DNA yang dihasilkan dari setiap primer menggambarkan kekompleksan genom tanaman yang diamati (Grattapaglia et.al, 1992 ).

Hasil ini sejalan dengan tingkat keragaman yang ditemukan pada setiap populasi yang diteliti (Tabel 2). Kelapa Dalam Sawarna  (DSA) memiliki persentase jumlah pita polimorfis terkecil (52 %) memiliki rata-rata keragaman genetik dalam populasinya pun rendah yaitu 13 %, sedangkan Dalam Palu memiliki pita polimorfis  tertinggi yaitu 73 % memiliki keragaman genetik tertinggi pula yaitu 27 %.

 

Tabel 1.  Jenis primer, susunan basa, dan jumlah pita DNA kelapa hasil amplifikasi

 

Primer

Susunan basa   

       (5’ – 3’)

                       Jumlah pita polimorfis

Total pita

DMT       DTA      DBI        DPU       DSA      Total

OA-02

TGCCGAGCTC

7

9

5

4

3

9

10

OA-08

GACCGCTTGT

4

0

4

6

3

11

11

OA-10

CAAACGTCGG

5

6

3

5

3

14

14

OA-13

CAGCACCCAC

3

6

5

2

0

7

8

OA-20

GTTGCGATCC

1

4

3

6

2

11

11

OB-08

GTCCACACGG

1

1

2

0

2

9

9

OB-11

CTAGACCCGT

8

6

5

7

6

10

10

OB-12

CCTTGACGCA

0

1

0

2

1

6

6

OB-15

GGAGGGTGTT

0

2

0

0

2

4

5

OB-20

GGACCCTTAC

0

2

1

3

3

6

7

Total

29

37

26

35

25

87

91

Persentase (%)

58

68

62

73

52

95

 

Rata-rata pita

3

4

3

4

3

 

 

 

 

Tabel 2. Keragaman Genetik di dalam dan antar populasi Kelapa DMT, DTA, DBI,

DPU, dan   DSA

 

Populasi

Keragaman genetik (%)

Tertinggi

Terendah

Rata-rata

Dalam Populasi

DMT

21(DMT1 – DMT4)

5 (DMT7 – DMT9)

15

DTA

32 (DTA1 – DTA8)

5 (DTA8 – DTA10)

17

DBI

31 (DBI2 – DBI3)

2 (DBI7 – DBI10)

22

DPU

34 (DPU1 – DPU7)

7 (DPU3 – DPU7)

27

DSA

16 (DSA3 – DSA4)

1 (DSA2 – DSA5;

DSA2 – DSA10)

13

Antar Populasi

77 (DPU3 – DBI7)

2 (DSA8 – DSA10)

41

 

Pada Tabel 2 terlihat bahwa tingkat keragaman dalam populasi pada kelapa DMT dan DTA tergolong sedang yaitu 15% dan 17%. Rendahnya keragaman dalam populasi DMT dan DTA diduga karena kedua populasi tersebut telah mengalami seleksi massa positip yang cukup lama, sehingga populasi yang diperbanyak kemudian adalah individu-individu yang telah memiliki kesamaan genetik cukup besar. Kelapa DBI  dan DPU menunjukkan tingkat keragaman genetik yang cukup tinggi yaitu 22 % dan 27 %. Tingginya keragaman genetik pada kedua populasi ini kemungkinan disebabkan oleh masih kurangnya campur tangan manusia dalam  seleksi, selain sifat penyerbukan kelapa tipe Dalam yang pada umumnya menyerbuk terbuka. Tingkat keragaman genetik DBI lebih rendah dari pada DPU diduga  disebabkan karena populasi DBI ini dikumpulkan oleh PT. Perkebunan XVIII dan ditanam di Beji, Jateng melalui seleksi massa positip, kemudian Balitka melakukan seleksi massa positip lagi terhadap pertanaman kelapa di Beji sehingga dengan demikian paling sedikit telah dilakukan dua kali seleksi, sedangkan untuk kelapa DPU pengumpulan benih  hasil penyerbukan terbuka dilakukan langsung pada pertanaman asalnya di Palu (Sulteng). Keragaman genetik di dalam populasi DSA cukup rendah yaitu 13%, sesuai dengan hasil yang ditemukan oleh Tenda et.al (1992) pada evaluasi berdasarkan karakter morfologi. Rendahnya keragaman genetik kelapa DSA, kemungkinan disebabkan oleh karena terjadinya penyerbukan sendiri di antara individu tanaman yang menurut Tenda et.al (1992 ) sumber benih untuk koleksi kelapa DSA memiliki keragaman genetik rendah, yang paling sedikit telah mengalami seleksi sebanyak tiga generasi.  

Keragaman genetika antar populasi DMT, DTA, DBI, DPU, dan DSA berdasarkan jarak kesamaan genetik  menunjukkan bahwa rata-rata  keragaman genetik tanaman kelapa antar populasi tersebut adalah 41%. Analisis pengelompokan  menunjukkan bahwa individu kelapa mengelompok dalam populasinya. Fenomena ini membuktikan bahwa RAPD dapat digunakan untuk membedakan spesies, galur, atau hasil tangkar dalam (inbreeding) dari suatu populasi tanaman (Tingey et.al, 1992).  Kesamaan genetik antar populasi DMT, DTA, DBI, DPU, dan DSA ditampilkan pada Tabel 3 dan pengelompokannya pada Gambar 1.

 

Tabel 3. Kesamaan Genetik Populasi Kelapa DMT, DTA, DBI, DPU, dan DSA

 

Antar populasi

Kesamaan genetik (%)

Antar populasi

Kesamaan genetik (%)

DMT – DTA

48

 DTA -  DBI

45

DMT – DPU

60

  DTA -  DSA

54

DMT – DBI

42

 DPU – DBI

38

DMT – DSA

50

  DPU – DSA

48

DTA -  DPU

39

DBI – DSA

46

 

 


 

Gambar 3. Dendrogram Kesamaan Genetik Populasi Kelapa

DMT, DTA, DBI, DPU, dan DSA

 

Tabel 3 menunjukkan bahwa jarak genetik kelima populasi DMT, DTA, DBI, DPU, dan DSA cukup jauh yaitu berkisar antara 40% - 62%. Jarak genetik terjauh adalah antara DBI – DPU (62%), sedangkan jarak genetik terdekat adalah antara DMT- DPU (40%). Kesamaan genetik kelapa DMT dan DTA  yang jarak geografisnya lebih dekat memiliki jarak genetik yang lebih jauh dari pada DPU, diduga karena telah terjadi seleksi yang berulang-ulang pada masing-masing populasi tersebut sehingga jarak keduanya semakin jauh. Kelapa DBI pada umumnya memiliki kesamaan genetik yang rendah terhadap keempat populasi lainnya (38% - 46%). Hasil ini sejalan dengan yang diperoleh Novarianto et.al (1994) pada pengelompokan berdasarkan karakter komponen buah. Kesamaan genetik populasi kelapa DBI terhadap keempat populasi lainnya mengikuti jarak dari asal populasi masing-masing. Hal ini menunjukkan populasi yang jaraknya lebih jauh memiliki tingkat kesamaan yang lebih kecil. Kelapa DSA memiliki tingkat kesamaan genetik yang lebih tinggi  terhadap DMT, DTA, dan DPU  bila dibandingkan dengan DBI yaitu antara 46% - 54% belum dapat dijelaskan.

Bedasarkan uraian di atas maka untuk populasi kelapa DMT, DTA, dan DSA yang memiliki keragaman sedang, perbaikan sifat melalui seleksi sudah tidak banyak memberikan harapan. Sebaliknya untuk kelapa DBI dan DPU yang memiliki keragaman genetik cukup tinggi maka perbaikan sifat masih dapat  dilakukan melalui seleksi. Untuk mendapatkan populasi kelapa dalam berproduksi tinggi dengan penampilan yang lebih seragam dapat  menggunakan populasi kelapa DMT, DTA, dan DSA  dengan penyerbukan sendiri. Untuk program hibridisasi kelapa, ketiga populasi ini dapat digunakan sebagai tetua jantan untuk menghasilkan kelapa hibrida yang lebih seragam (homogen). Melihat hubungan kekerabatan antar populasi kelapa DMT, DTA, DBI, DPU, dan DSA  yang jauh maka persilangan antar populasi sangat memberikan harapan untuk perbaikan karakter, karena peluang seleksi untuk mendapatkan individu-individu yang diharapkan sangat besar.

                    

 

KESIMPULAN

 

         Sepuluh primer yang digunakan dapat memisahkan kelapa DMT,  DTA, DBI, DPU, dan DSA  ke dalam kelompoknya masing-masing. Tidak satupun primer tersebut yang dapat menghasilkan pita yang spesifik untuk suatu populasi.

         Keragaman genetik dalam-populasi kelapa DMT, DTA, dan DSA tergolong sedang sehingga perbaikan sifat/karakter melalui seleksi tidak banyak memberi harapan, sedangkan DBI dan DPU yang memiliki keragaman genetik dalam populasi termasuk cukup tinggi perbaikan sifat masih dapat dilakukan melalui seleksi. Hubungan kekerabatan antara kelima populasi kelapa dalam yang diuji cukup jauh (38% - 60%) sehingga peluang untuk mendapat perbaikan sifat sangat besar bila digunakan dalam program hibridisasi kelapa.        

 

DAFTAR PUSTAKA

Ashburner, G.R., W.K. Thompson,  and G. M. Halloran.  1997.  RAPD  analysis of South Pacific coconut palm population. Crop Science 39 : 992 – 997.

Ballester, J., and M. Carmen de Vicente. 1998.  Determination of F1 hybrid seed purity in pepper using PCR-based markers. Euphytica Vol. 103 (2) : 223 – 226.

Beamont, VH, J. Mantet and T.R. Rochfood. 1996. Comparison of RAPD and RFLP markers for mapping F2 generation in maize (Zea maize.L). Theory Application Genetic. 93 : 606-612.

Burow,  M.D.,  Charles E.S, Andrew H.P,  and  James L.S. 1996.  Identification of peanut (Arachis hypogea L) RAPD markers diagnostic of root-knot nematode (Meloidogyne arenaria (Neal) Chotwood) resistance. J. Molecular Breeding 2 : 369 – 379.

Deng,  Z. N.,  A.  Gentile,  E.  Nicolosi,  F.  Domina,  A. Vardi,  and  T. Tribulato.  1995.  Identification of in vivo and in vitro lemon mutants by RAPD markers. Journal of Horticulture Science 70 : 117 – 125.

Durhan,  R. E.,  and  S. S.  Korban.  1994.  Evidence of gene introgression in apple using RAPD markers. Euphytica 79 : 109 – 114.

Foale,  M.A. 1992.  Coconut  Genetic Diversity : Present Knowledge and future  research needs. Pp. 46 – 55 in Coconut Genetic Resources IPBGR, Rome.

Gjuric,  R  and  S.R. Smith. 1996.  Identification  of  cross-pollinated  and  self-pollinated progeny in alfalfa through RAPD nulliplex loci analysis. Crop Science 36 : 389 – 393.

Grattapaglia, D., J. Chaparro, P. Wilcox, S. McCord, D. Werner, H. Amerson, S. McKeand, F. Bridgewater, R. Whetten, D. O’Malley, and R. Sederoff. 1992. Mapping in the woody plants with RAPD markers : Application to breeding in forestry and horticulture. P. 37-40. Joint Plant Breeding Simposia Series. Minneapolis, Minnesota. 1 Nov. 1992. CSSA. Am. Soc.Hort.Sci and Am. Genet. Assoc.

Hanson, C.H., H.F. Robinson, and R.E. Comstock. 1956. Biometrical studies of yield in segregating population of Korean Lespedeza, Agr. J. 48: 268 – 272.

Hayati, PK., A. Hartana, dan Suharsono. 1999. Penanda Molekular RAPD (Random Amplified Polymorphic DNA) pada kelapa Genjah Jombang. Dalam Prosiding Seminar Sehari Hasil-Hasil peneltian Bidang Ilmu Hayat. 3 September 1998. PAU Ilmu Hayat IPB. Bogor.

Lengkong, E.F., A. Hartana, dan Suharsono. 1998. Keragaman genetik beberapa kultivar kelapa berdasarkan penanda RAPD (Random Amplified Polymorphic DNA). p. 1-12. Dalam Prosiding Seminar Sehari Hasil-Hasil peneltian Bidang Ilmu Hayat. 3 September 1998. PAU Ilmu Hayat IPB. Bogor.

Moeljopawiro, S.,  M. Yunus,  and   E. M.  Septiningsih.  1995.   Detection   of   genetic variation with RAPD markers among rice (Oryza sativa L). Makalah pada Second Conference on Agriculture Biotechnology. Jakarta

Nei, M  and  W.M. Li.  1979. Mathematical model for studying genetic variation in terms of restriction endonuclease. Proc. Natl. Acad. Science. 76 : 5269 – 5273.

Novarianto, H.,dan  A. Hartana.  1995.  Analisis  kemiripan  genetik  kelapa  koleksi plasma nutfah di Kebun Percobaan Mapanget, Sulawesi Utara. Jurnal Biosains Hayati 2 (1) : 12 – 16. Bogor.

Peisley, G.J. 1992. Replanting the tree of life: Toward an international agenda for coconut palm research. Redwood Press Ltd. Melksham

Rao, VR., K.W. Riley, J.M.M. Engels, F. Engelman and M. Dixckman. 1996. Towards of coconut conservation strategy. P. 4-20. In Proceedings of the COGENT regional genebank planning workshop. V.R. Rao and P. Batugal.

Rognon, F. 1976. Floral biology of coconut duration and sequence of male and female phase in various types of coconut. Oleagineux 31 : 13 – 17.

Rohde, W. 1993. Improvement  of  coconut  by  biotechnology :  application of molecular techniques to breeding and crop protection. In ‘La Recherche Europeene au Service du cocotier-actes du Seminaire. 8 – 10 Septembre 1993. Montpellier’ CIRAD. Montpellier.

Rohde,  W.,  A. Kullaya,  J. Rodriguez,  and  E. Ritter. 1995.  Genome  analysis of Cocos nucifera L by PCR Amplification of spacer sequences separating a subset of copia-like EcoRI repetitive elements. J. genetics and Breeding 49 : 170 – 186.

Sagredo, B., P. Hinrichsen, H. Lopez, A. Cubillos, C. Munoz. 1998. Genetic variation of sweet potatoes (Ipomea batatas L) cultivated in Chile determined by RAPD. Euphytica Vol. 101 (2) 193 – 206.

Sambrook, J., Fritsch E.F, Maniatis T.  1989.  Molecular cloning : A laboratory Manual. 2nd ed. Cold Spring Harbor Laboratory. Cold Spring Harbor, NY.

Tingey, SV., J.A. Rafalski, and J.G.K. Williams. 1992. Genetic analysis with RAPD markers p. 3-8. In Application of RAPD technology to plant breeding. Joint Plant Breeding Simposia Series. Minneapolis, Minnesota. 1 Nov. 1992. CSSA. Am. Soc.Hort.Sci and Am. Genet. Assoc.

 

Tenda, E.T., T. Rompas, dan H. Tampake.  1992.  Keragaan  kelapa   Dalam  Sawarna  di PTP XI Jawa Barat. Buletin Balitka  No 18 : 28 – 31.

 

Wadt, H.O., N.S. Sakiyama, M.G. Pereire, E.A. Tupinamba, F.E. Rebeiro and W.M. Arago. 1997. RAPD markers in the genetic diversity study of coconut (Cocos nucifera L). International Symposium on coconut biotechnology. CICY, Merida, Yuc, Mexico, 1-5 Dec. (Abstract)