Makalah Falsafah Sains (PPs 702)
Program Pasca Sarjana / S3
Institut Pertanian Bogor
Dosen:
Prof Dr Ir Rudy C Tarumingkeng (Penanggung Jawab)
Prof Dr Ir Zahrial Coto
PENANDA RAPD (Random
Amplified Polymorphic DNA)
DALAM PEMULIAAN TANAMAN
KELAPA
Donata S. Pandin
P.036.00008/Agr
E-mail: donatapandin@yahoo.com
PENDAHULUAN
Tanaman kelapa
merupakan komoditas strategis yang berperan
bukan hanya dalam segi ekonomi tetapi juga sosial dan budaya bagi masyarakat
Indonesia. Tanaman ini diduga berasal dari Asia Tenggara terutama wilayah Indo-Malaya (Rao et.al, 1996; Peisley et.al.,
1992), memiliki empat sistem penyerbukan
yaitu alogami sempurna, autogami langsung, autogami semi langsung, dan autogami
tak langsung (Rognon et.al, 1976)
sehingga dengan demikian tidak
mengherankan bila Indonesia memiliki
keragaman kelapa yang tinggi. Pengetahuan tentang keragaman genetik dan
hubungan kekerabatan antar individu ataupun populasi adalah aspek yang sangat
penting dalam pelestarian dan pemanfaatan plasma nutfah.
Hingga saat ini Balai Penelitian Tanaman
Kelapa dan Palma Lain (Balitka) telah mengkoleksi + 90 populasi kelapa
dari berbagai daerah di Indonesia. Jumlah ini merupakan sebagian kecil dari potensi keragaman yang sesungguhnya,
karena pekerjaan untuk koleksi dan konservasi plasma nutfah kelapa ini
membutuhkan biaya yang besar. Di antara
koleksi plasma nutfah kelapa yang dimiliki Balitka terdapat lima populasi yang
sangat menarik dan telah direkomendasikan sebagai kelapa Dalam lokal unggul
berdasarkan karakter morfologi terutama komponen buah. Populasi kelapa tersebut
adalah Dalam Mapanget, Dalam Tenga, Dalam Bali, Dalam Palu dan Dalam Sawarna
yang berasal dari daerah yang berbeda dan diberi nama sesuai daerah asalnya.
Dalam Mapanget dan Tenga berasal dari
Sulawesi Utara, Dalam Bali dari P. Bali, Dalam Palu dari Sulawesi Tengah, dan
Dalam Sawarna dari Jawa Barat.
Evaluasi keragaman
genetik yang paling mudah dilakukan adalah berdasarkan karakter morfologi karena
mudah terlihat, akan tetapi sulit dipastikan bedanya karena pengaruh faktor
lingkungan yang sulit dihilangkan. Bagi tanaman kelapa cara ini semakin sulit karena umur berbuah kelapa yang lama
sehingga memerlukan waktu yang lama pula untuk melakukan evaluasi terhadap keragaman genetiknya. Untuk mempelajari keragaman genetik yang
lebih baik, diperlukan penanda/karakter yang dapat memberikan polimorfisme yang
tinggi, konsisten, dan tidak dipengaruhi oleh faktor lingkungan maupun tahap perkembangan tanaman yaitu
penanda DNA.
Salah satu penanda DNA yang telah banyak digunakan dalam
mempelajari keragaman genetik tanaman adalah RAPD. Kelebihan RAPD dari penanda
DNA lainnya adalah relatif sederhana,
mudah preparasinya, lebih cepat memberikan hasil, dan tidak memerlukan
informasi tentang latar belakang genom organisme yang akan dipelajari. Untuk Tanaman tahunan,
RAPD ini sangat membantu dalam peningkatan efisiensi pada seleksi awal.
Penanda RAPD telah banyak
digunakan untuk berbagai keperluan
seperti mempelajari keragaman genetik
pada tanaman kelapa (Rohde et. al, 1995; Ashburner et.al, 1997, Lengkong et.al 1998; Hayati et.al, 1999), tanaman padi (Moeljopawiro et.al, 1996), ubi jalar (Sagredo et.al, 1998); identifikasi mutan pada lemon (Deng et.al, 1995); identifikasi introgresi gen pada apel (Durham and
Korban, 1994); ketahanan terhadap penyakit Lethal Yellowing pada kelapa (Rohde et.al, 1995); identifikasi ketahanan terhadap busuk akar nematoda
pada kacang tanah (Burow et.al,
1996); analisis pemetaan gen pada jagung (Beamont et.al, 1996); indentifikasi hibrid F1 pada cabe (Ballester de Vicente et.al, 1998); identifikasi penyerbukan sendiri dan silang pada
alfalfa (Gjuric and Smith, 1996)
Penelitian ini
bertujuan untuk mengetahui keragaman dalam dan antar populasi kelapa Dalam
Mapanget, Tenga, Bali, Palu dan Sawarna, serta mempelajari hubungan kekerabatan
antar populasi tersebut.
METODOLOGI
Penelitian ini
dilaksanakan di Laboratorium Biologi Tumbuhan
Pusat Antar Universitas (PAU) Ilmu Hayat IPB, berlangsung dari Februari sampai dengan Desember 1999.
Bahan tanaman yang
digunakan adalah daun muda dari populasi
kelapa Dalam Mapanget, Tenga, Bali,
Palu, dan Sawarna yang berasal dari
koleksi plasma nutfah kelapa di Kebun Percobaan Mapanget, Balai Penelitian
Tanaman Kelapa dan Palma Lain (Balitka), Manado. Masing-masing populasi
digunakan 10 tanaman sehingga jumlah seluruh tanaman yang digunakan adalah 50 pohon.
Metode
Penelitian
Isolasi DNA dilakukan dengan menggerus daun kelapa dengan pasir
kuarsa menurut Rohde et.al (1995)
yang telah dimodifikasi. DNA yang dihasilkan dari setiap sampel diuji
kuantitas, kualitas dan kemurniannya berdasarkan Sambrook et.al. (1989) dengan menggunakan spektrofotometer UV-Vis Shimadzu
2000 pada panjang gelombang 260 dan 280 nm
DNA hasil isolasi
diamplifikasi menggunakan 10 primer acak
10-mer yang diseleksi dari 40 primer
(Operon Kit A dan B). Volume final reaksi adalah 40 ml
dengan komposisi reaksi 1 x larutan penyangga (50mM KCl, 10 mM Tris-HCl pH 9,
dan 0.1 % triton X-100), 1 unit Taq polimerase, 200 mM
dNTP, 5 pM primer, dan 50 ng DNA genom. Prosedur amplifikasi dilakukan pada
mesin PCR (Gene Amp PCR System 2400 Perkin-Elmer) menurut Lengkong et.al (1998). Hasil Amplifikasi kemudian
dielektroforesis bersama DNA standar 1 kb DNA Ladder (Promega) pada gel
agarose dengan konsentrasi 0.8 %,
voltase 70 volt selama 2.5 jam di dalam larutan penyangga TAE 1 X ( 0.04 M
Tris-acetat, 0.001 M EDTA). Setelah
pewarnaan dengan 0.5 mg/ml etidium bromida selama 25 menit, gel
direndam dalam H2O selama
10-15 menit lalu diamati di bawah sinar
UV. Pemotretan dilakukan dengan film Polaroid 667.
Hasil pemotretan
berupa pola pita DNA diterjemahkan ke dalam data biner berdasarkan ada atau
tidaknya pita. Untuk menentukan kesamaan pasangan genotipe pada individu
berbeda, menggunakan rumus Nei dan Li (1979). Pengelompokan data matrik (cluster analysis) dan pembuatan
dendrogram dilakukan menggunakan metode UPGMA (Unweighted Pair-Group Method Arithmetic) melalui program NTSYS (Numerical Taxonomy and Multivariate System)
versi 1.80
HASIL
DAN PEMBAHASAN
Pengamatan terhadap profil pita RAPD yang dihasilkan dari 10 primer terhadap kelima populasi kelapa Dalam ditampilkan pada Tabel 1. Kesepuluh primer
ini dapat memisahkan kelima populasi ke dalam kelompoknya masing-masing. Pita
yang didapatkan berukuran 200 - 2000 pb (pasang basa). Hasil amplifikasi
menggunakan 10 primer ini tidak satupun yang memberikan pita yang spesifik
terdapat pada suatu populasi. Jumlah
pita berkisar antara 5 ( OPB-15) dan 14 (OPA-10). Jumlah pita yang
diamplifikasi oleh setiap primer serupa dengan hasil Ashburner et.al (1997), Wadt et.al (1997), dan Lengkong et.al
(1998) yaitu berkisar antara 3 15 pita per primer. Jumlah total pita yang
dihasilkan dari 10 primer yang digunakan adalah 91 pita DNA atau rata-rata 9
pita per primer, dan 95 % di antaranya merupakan pita polimorfis. Persentase
polimorfisme antar populasi lebih dari 90 % ditemukan pula pada Genjah Jombang yakni
92% (Hayati et.al., 1999). Jumlah
pita polimorfis dalam analisis keragaman genetik sangat menentukan tingkat
keragaman suatu populasi. Perbedaan jumlah dan polimorfisme pita DNA yang
dihasilkan dari setiap primer menggambarkan kekompleksan genom tanaman yang
diamati (Grattapaglia et.al, 1992 ).
Hasil ini sejalan dengan tingkat keragaman
yang ditemukan pada setiap populasi yang diteliti (Tabel 2). Kelapa Dalam
Sawarna (DSA) memiliki persentase jumlah
pita polimorfis terkecil (52 %) memiliki rata-rata keragaman genetik dalam
populasinya pun rendah yaitu 13 %, sedangkan Dalam Palu memiliki pita
polimorfis tertinggi yaitu 73 % memiliki
keragaman genetik tertinggi pula yaitu 27 %.
Tabel 1. Jenis primer,
susunan basa, dan jumlah pita DNA kelapa hasil amplifikasi
Primer |
Susunan basa (5 3) |
Jumlah pita polimorfis |
Total pita |
|||||
DMT DTA DBI DPU DSA Total |
||||||||
OA-02 |
TGCCGAGCTC |
7 |
9 |
5 |
4 |
3 |
9 |
10 |
OA-08 |
GACCGCTTGT |
4 |
0 |
4 |
6 |
3 |
11 |
11 |
OA-10 |
CAAACGTCGG |
5 |
6 |
3 |
5 |
3 |
14 |
14 |
OA-13 |
CAGCACCCAC |
3 |
6 |
5 |
2 |
0 |
7 |
8 |
OA-20 |
GTTGCGATCC |
1 |
4 |
3 |
6 |
2 |
11 |
11 |
OB-08 |
GTCCACACGG |
1 |
1 |
2 |
0 |
2 |
9 |
9 |
OB-11 |
CTAGACCCGT |
8 |
6 |
5 |
7 |
6 |
10 |
10 |
OB-12 |
CCTTGACGCA |
0 |
1 |
0 |
2 |
1 |
6 |
6 |
OB-15 |
GGAGGGTGTT |
0 |
2 |
0 |
0 |
2 |
4 |
5 |
OB-20 |
GGACCCTTAC |
0 |
2 |
1 |
3 |
3 |
6 |
7 |
Total |
29 |
37 |
26 |
35 |
25 |
87 |
91 |
|
Persentase (%) |
58 |
68 |
62 |
73 |
52 |
95 |
|
|
Rata-rata pita |
3 |
4 |
3 |
4 |
3 |
|
|
Tabel 2. Keragaman Genetik di dalam dan antar populasi Kelapa
DMT, DTA, DBI,
DPU, dan
DSA
Populasi |
Keragaman
genetik (%) |
|||
Tertinggi |
Terendah |
Rata-rata |
||
Dalam
Populasi |
||||
DMT |
21(DMT1 DMT4) |
5 (DMT7 DMT9) |
15 |
|
DTA |
32 (DTA1 DTA8) |
5 (DTA8 DTA10) |
17 |
|
DBI |
31 (DBI2 DBI3) |
2 (DBI7 DBI10) |
22 |
|
DPU |
34 (DPU1 DPU7) |
7 (DPU3 DPU7) |
27 |
|
DSA |
16 (DSA3 DSA4) |
1 (DSA2 DSA5; DSA2 DSA10) |
13 |
|
Antar
Populasi |
77
(DPU3 DBI7) |
2
(DSA8 DSA10) |
41 |
|
Pada Tabel 2 terlihat bahwa tingkat keragaman
dalam populasi pada kelapa DMT dan DTA tergolong sedang yaitu 15% dan 17%. Rendahnya
keragaman dalam populasi DMT dan DTA diduga karena kedua populasi tersebut
telah mengalami seleksi massa positip yang cukup lama, sehingga populasi yang
diperbanyak kemudian adalah individu-individu yang telah memiliki kesamaan
genetik cukup besar. Kelapa DBI dan DPU
menunjukkan tingkat keragaman genetik yang cukup tinggi yaitu 22 % dan 27 %.
Tingginya keragaman genetik pada kedua populasi ini kemungkinan disebabkan oleh
masih kurangnya campur tangan manusia dalam
seleksi, selain sifat penyerbukan kelapa tipe Dalam yang pada umumnya
menyerbuk terbuka. Tingkat keragaman genetik DBI lebih rendah dari pada DPU
diduga disebabkan karena populasi DBI
ini dikumpulkan oleh PT. Perkebunan XVIII dan ditanam di Beji, Jateng melalui
seleksi massa positip, kemudian Balitka melakukan seleksi massa positip lagi
terhadap pertanaman kelapa di Beji sehingga dengan demikian paling sedikit
telah dilakukan dua kali seleksi, sedangkan untuk kelapa DPU pengumpulan
benih hasil penyerbukan terbuka
dilakukan langsung pada pertanaman asalnya di Palu (Sulteng). Keragaman genetik
di dalam populasi DSA cukup rendah yaitu 13%, sesuai dengan hasil yang
ditemukan oleh Tenda et.al (1992)
pada evaluasi berdasarkan karakter morfologi. Rendahnya keragaman genetik
kelapa DSA, kemungkinan disebabkan oleh karena terjadinya penyerbukan sendiri
di antara individu tanaman yang menurut Tenda et.al (1992 ) sumber benih untuk koleksi kelapa DSA memiliki
keragaman genetik rendah, yang paling sedikit telah mengalami seleksi sebanyak
tiga generasi.
Keragaman genetika antar populasi DMT, DTA,
DBI, DPU, dan DSA berdasarkan jarak kesamaan genetik menunjukkan bahwa rata-rata keragaman genetik tanaman kelapa antar
populasi tersebut adalah 41%. Analisis pengelompokan menunjukkan bahwa individu kelapa mengelompok
dalam populasinya. Fenomena ini membuktikan bahwa RAPD dapat digunakan untuk
membedakan spesies, galur, atau hasil tangkar dalam (inbreeding) dari suatu
populasi tanaman (Tingey et.al,
1992). Kesamaan genetik antar populasi
DMT, DTA, DBI, DPU, dan DSA ditampilkan pada Tabel 3 dan pengelompokannya pada
Gambar 1.
Tabel 3. Kesamaan Genetik Populasi Kelapa DMT, DTA, DBI, DPU,
dan DSA
Antar
populasi |
Kesamaan
genetik (%) |
Antar
populasi |
Kesamaan
genetik (%) |
DMT
DTA |
48 |
DTA -
DBI |
45 |
DMT
DPU |
60 |
DTA -
DSA |
54 |
DMT
DBI |
42 |
DPU DBI |
38 |
DMT
DSA |
50 |
DPU DSA |
48 |
DTA
- DPU |
39 |
DBI
DSA |
46 |
Gambar 3. Dendrogram Kesamaan Genetik Populasi Kelapa
DMT, DTA, DBI, DPU, dan DSA
Tabel 3 menunjukkan bahwa jarak genetik kelima
populasi DMT, DTA, DBI, DPU, dan DSA cukup jauh yaitu berkisar antara 40% -
62%. Jarak genetik terjauh adalah antara DBI DPU (62%), sedangkan jarak
genetik terdekat adalah antara DMT- DPU (40%). Kesamaan genetik kelapa DMT dan
DTA yang jarak geografisnya lebih dekat
memiliki jarak genetik yang lebih jauh dari pada DPU, diduga karena telah
terjadi seleksi yang berulang-ulang pada masing-masing populasi tersebut
sehingga jarak keduanya semakin jauh. Kelapa DBI pada umumnya memiliki kesamaan
genetik yang rendah terhadap keempat populasi lainnya (38% - 46%). Hasil ini
sejalan dengan yang diperoleh Novarianto et.al
(1994) pada pengelompokan berdasarkan karakter komponen buah. Kesamaan genetik
populasi kelapa DBI terhadap keempat populasi lainnya mengikuti jarak dari asal
populasi masing-masing. Hal ini menunjukkan populasi yang jaraknya lebih jauh
memiliki tingkat kesamaan yang lebih kecil. Kelapa DSA memiliki tingkat
kesamaan genetik yang lebih tinggi
terhadap DMT, DTA, dan DPU bila
dibandingkan dengan DBI yaitu antara 46% - 54% belum dapat dijelaskan.
Bedasarkan uraian di atas maka untuk populasi
kelapa DMT, DTA, dan DSA yang memiliki keragaman sedang, perbaikan sifat
melalui seleksi sudah tidak banyak memberikan harapan. Sebaliknya untuk kelapa
DBI dan DPU yang memiliki keragaman genetik cukup tinggi maka perbaikan sifat
masih dapat dilakukan melalui seleksi.
Untuk mendapatkan populasi kelapa dalam berproduksi tinggi dengan penampilan
yang lebih seragam dapat menggunakan
populasi kelapa DMT, DTA, dan DSA dengan
penyerbukan sendiri. Untuk program hibridisasi kelapa, ketiga populasi ini
dapat digunakan sebagai tetua jantan untuk menghasilkan kelapa hibrida yang
lebih seragam (homogen). Melihat hubungan kekerabatan antar populasi kelapa
DMT, DTA, DBI, DPU, dan DSA yang jauh
maka persilangan antar populasi sangat memberikan harapan untuk perbaikan
karakter, karena peluang seleksi untuk mendapatkan individu-individu yang
diharapkan sangat besar.
KESIMPULAN
Sepuluh primer
yang digunakan dapat memisahkan kelapa DMT,
DTA, DBI, DPU, dan DSA ke dalam
kelompoknya masing-masing. Tidak satupun primer tersebut yang dapat
menghasilkan pita yang spesifik untuk suatu populasi.
Keragaman genetik
dalam-populasi kelapa DMT, DTA, dan DSA tergolong sedang sehingga perbaikan
sifat/karakter melalui seleksi tidak banyak memberi harapan, sedangkan DBI dan
DPU yang memiliki keragaman genetik dalam populasi termasuk cukup tinggi
perbaikan sifat masih dapat dilakukan melalui seleksi. Hubungan kekerabatan
antara kelima populasi kelapa dalam yang diuji cukup jauh (38% - 60%) sehingga
peluang untuk mendapat perbaikan sifat sangat besar bila digunakan dalam
program hibridisasi kelapa.
DAFTAR PUSTAKA
Ashburner,
G.R., W.K. Thompson, and G. M.
Halloran. 1997. RAPD
analysis of South Pacific coconut palm population. Crop Science 39 : 992
997.
Ballester,
J., and M. Carmen de Vicente. 1998.
Determination of F1 hybrid seed purity in pepper using PCR-based markers.
Euphytica Vol. 103 (2) : 223 226.
Beamont,
VH, J. Mantet and T.R. Rochfood. 1996. Comparison of RAPD and RFLP markers for
mapping F2 generation in maize (Zea maize.L). Theory Application Genetic. 93 :
606-612.
Burow, M.D.,
Charles E.S, Andrew H.P, and James L.S. 1996. Identification of peanut (Arachis hypogea L) RAPD markers
diagnostic of root-knot nematode (Meloidogyne
arenaria (Neal) Chotwood) resistance. J. Molecular Breeding 2 : 369 379.
Deng, Z. N.,
A. Gentile, E.
Nicolosi, F. Domina,
A. Vardi, and T. Tribulato.
1995. Identification of in vivo
and in vitro lemon mutants by RAPD markers. Journal of Horticulture Science 70
: 117 125.
Durhan, R. E.,
and S. S. Korban.
1994. Evidence of gene introgression
in apple using RAPD markers. Euphytica 79 : 109 114.
Foale, M.A. 1992.
Coconut Genetic Diversity :
Present Knowledge and future research
needs. Pp. 46 55 in Coconut Genetic Resources IPBGR, Rome.
Gjuric, R
and S.R. Smith. 1996. Identification of
cross-pollinated and self-pollinated progeny in alfalfa through
RAPD nulliplex loci analysis. Crop Science 36 : 389 393.
Grattapaglia,
D., J. Chaparro, P. Wilcox, S. McCord, D. Werner, H. Amerson, S. McKeand, F.
Bridgewater, R. Whetten, D. OMalley, and R. Sederoff. 1992. Mapping in the
woody plants with RAPD markers : Application to breeding in forestry and
horticulture. P. 37-40. Joint Plant Breeding Simposia Series. Minneapolis,
Minnesota. 1 Nov. 1992. CSSA. Am. Soc.Hort.Sci and Am. Genet. Assoc.
Hanson,
C.H., H.F. Robinson, and R.E. Comstock. 1956. Biometrical studies of yield in
segregating population of Korean Lespedeza, Agr. J. 48: 268 272.
Hayati,
PK., A. Hartana, dan Suharsono. 1999. Penanda Molekular RAPD (Random Amplified
Polymorphic DNA) pada kelapa Genjah Jombang. Dalam Prosiding Seminar Sehari
Hasil-Hasil peneltian Bidang Ilmu Hayat. 3 September 1998. PAU Ilmu Hayat IPB.
Bogor.
Lengkong,
E.F., A. Hartana, dan Suharsono. 1998. Keragaman genetik beberapa kultivar
kelapa berdasarkan penanda RAPD (Random Amplified Polymorphic DNA). p. 1-12.
Dalam Prosiding Seminar Sehari Hasil-Hasil peneltian Bidang Ilmu Hayat. 3
September 1998. PAU Ilmu Hayat IPB. Bogor.
Moeljopawiro,
S., M. Yunus, and
E. M. Septiningsih. 1995.
Detection of genetic variation with RAPD markers among
rice (Oryza sativa L). Makalah pada
Second Conference on Agriculture Biotechnology. Jakarta
Nei,
M and
W.M. Li. 1979. Mathematical model
for studying genetic variation in terms of restriction endonuclease. Proc.
Natl. Acad. Science. 76 : 5269 5273.
Novarianto,
H.,dan A. Hartana. 1995.
Analisis kemiripan genetik
kelapa koleksi plasma nutfah di
Kebun Percobaan Mapanget, Sulawesi Utara. Jurnal Biosains Hayati 2 (1) : 12
16. Bogor.
Peisley,
G.J. 1992. Replanting the tree of life: Toward an international agenda for
coconut palm research. Redwood Press Ltd. Melksham
Rao,
VR., K.W. Riley, J.M.M. Engels, F. Engelman and M. Dixckman. 1996. Towards of
coconut conservation strategy. P. 4-20. In Proceedings of the COGENT regional
genebank planning workshop. V.R. Rao and P. Batugal.
Rognon,
F. 1976. Floral biology of coconut duration and sequence of male and female
phase in various types of coconut. Oleagineux 31 : 13 17.
Rohde,
W. 1993. Improvement of coconut
by biotechnology : application of molecular techniques to
breeding and crop protection. In La Recherche Europeene au Service du
cocotier-actes du Seminaire. 8 10 Septembre 1993. Montpellier CIRAD.
Montpellier.
Rohde, W., A.
Kullaya, J. Rodriguez, and E.
Ritter. 1995. Genome analysis of
Cocos nucifera L by PCR Amplification of spacer sequences separating a
subset of copia-like EcoRI repetitive elements. J. genetics and Breeding 49 :
170 186.
Sagredo,
B., P. Hinrichsen, H. Lopez, A. Cubillos, C. Munoz. 1998. Genetic variation of
sweet potatoes (Ipomea batatas L)
cultivated in Chile determined by RAPD. Euphytica Vol. 101 (2) 193 206.
Sambrook,
J., Fritsch E.F, Maniatis T. 1989. Molecular cloning : A laboratory Manual. 2nd
ed. Cold Spring Harbor Laboratory. Cold Spring Harbor, NY.
Tingey,
SV., J.A. Rafalski, and J.G.K. Williams. 1992. Genetic analysis with RAPD
markers p. 3-8. In Application of RAPD technology to plant breeding. Joint
Plant Breeding Simposia Series. Minneapolis, Minnesota. 1 Nov. 1992. CSSA. Am.
Soc.Hort.Sci and Am. Genet. Assoc.
Tenda,
E.T., T. Rompas, dan H. Tampake.
1992. Keragaan kelapa
Dalam Sawarna di PTP XI Jawa Barat. Buletin Balitka No 18 : 28 31.
Wadt,
H.O., N.S. Sakiyama, M.G. Pereire, E.A. Tupinamba, F.E. Rebeiro and W.M. Arago.
1997. RAPD markers in the genetic diversity study of coconut (Cocos nucifera
L). International Symposium on coconut biotechnology. CICY, Merida, Yuc,
Mexico, 1-5 Dec. (Abstract)