Makalah Falsafah Sains (PPs 702)
Program Pasca Sarjana / S3
Institut Pertanian Bogor
Dosen:
Prof Dr Ir Rudy C Tarumingkeng (Penanggung Jawab)
Prof Dr Ir Zahrial Coto
Oleh :
P31600007 / SPL
E-mail: georgina62@excite.com
Segala puji dan syukur
penulis panjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha Pengasih, atas rahmat dan
karunia-Nya sehingga penulis dapat menyelasaikan penulisan paper ini, yang
merupakan tugas mandiri mata kuliah “Pengantar Ke Falsafah Sains (PPS
702). Paper ini penulis beri judul
:”Kerusakan Terumbu Karang dan Usaha Pencegahannya”. Pada kesempatan ini, penulis menyampaikan
ucapan
terima kasih kepada
Yth : Bapak Prof. Rudy C. Tarumingkeng, PhD, sebagai dosen pengasuh mata kuliah “Pengantar Ke
Falsafah Sains (PPS 702), yang begitu banyak memberikan materi perkuliahan,
khususnya pengertian-pengertian dasar
Falsafah Sains. Jika dalam
penulisan ini, terdapat kekurangan-kekurangan, maka penulis mohon
dimaafkan.
Jakarta , 23 Mei 2001
1.
Latar Belakang
Bangsa Indonesia wajib
bersyukur kepada Tuhan Yang Maha Kuasa bahwa telah diberikan karunia kekayaan
berupa keanekaragaman hayati di lautan dalam jumlah yang sangat besar berupa
ikan, terumbu karang, kerang, algae dan lain-lain. Pemerintah telah menggariskan bahwa
pembangunan sektor kalautan diarahkan pada pendayagunaan sumberdaya laut
tersebut serasi dan seimbang dengan memperhatikan dayadukung kelautan dan
kelestariannya untuk meningkatkan kesejahtraan masyarakat dan memperluas
kesempatan berusaha. Terumbu Karang
merupakan ekosistim perairan pantai yang
dinamis, namun sangat rentan terhadap perubahan lingkungan, dan juga mempunyai produktifitas dan keanekaragaman
hayati yang tinggi, sehingga menjadi
sumber plasma nutfah bagi kehidupan biota laut.
Disamping itu ekositem terumbu karang yang juga merupakan tempat hidup,
tempat mencari makan (feeding ground), daerah asuhan (nursery ground)
dan tempat memijah (spawning) bagi berbagai biota laut.
Selain itu ekosistem
terumbu karang memiliki fungsi sebagai pelindung pantai dari abrasi, yang dapat
mencegah terjadinya erosi pantai yang akan mengakibatkan hilangnya asset yang
telah diinvestasikan di pesisir, seperti bangunan pariwisata, industri
perikanan, pemukiman dan dan tempat-tempat
sakral misalnya Tanah Lot.
Ekosistem Terumbu
karang juga mengandung nilai estetika yang tinggi yang menarik minat para
wisatawan untuk menyelam. Terumbu karang
juga merupakan sebuah laboratorium laut alami, yang sangat indah dan penuh
dengan berbagai bentuk interaksi/hubungan antara berbagai organisme laut, dan
hal-hal lain yang sangat menarik namun belum banyak terungkap. (Ginting, S.P.
1998)
Terdapat banyak biota
laut yang hidup didaerah terumbu karang yang dapat dimanfaatkan untuk memenuhi
kebutuhan manusia, diantaranya yaitu ikan karang. Sumber daya ikan karang dapat digolongkan
menjadi dua yaitu Golongan Ikan Hias (ornamental fish) dan Golongan Ikan
Konsumsi (food fish). Ikan karang
merupakan salah satu komoditas perikanan yang mempunyai prospek cerah di
Indonesia dalam upaya peningkatan ekspor non migas, meningkatnya permintaan
pasar terhadap ikan karang untuk konsumsi dengan harga yang menggiurkan, telah
mendorong masyarakat nelayan untuk mengeksploitasi ikan karang
sebanyak-banyaknya. Tetapi dilain pihak,
penangkapan ikan karang di daerah terumbu karang seringkali dilakukan tanpa
memperhatikan kelestarian lingkungan sekitarnya. Dibeberapa daerah telah menjurus kearah
eksploitasi yang berlebihan. Penggunaan
alat tangkap yang efektif, jika tidak disertai dengan pengetahuan yang memadai akan
sifat-sifat biologis dari fauna dan flora yang ada, dapat mengakibatkan
kelangkaan bahkan kepunahan sumberdaya alam. (Sadarun, 2001).
Pemanfaatan sumberdaya
tersebut dewasa ini semakin berkembang akibat semakin tingginya permintaan akan
komoditi yang dihasilkannya, sehingga usaha pemenuhannya dilakukan sebanyak
mungkin dan seefisien mungkin. Jenis alat yang dipergunakan dalam pemanfaatan
sumberdaya tersebut semakin berkembang,
bahkan cenderung merusak lingkungan; dari yang sederhana (jaring, pancing,
linggis) telah berubah kebahan yang lebih modern (peledak, bahan kimia/beracun,
trawl). Sebagai akibat dari pemanfaatan
sumberdaya laut oleh berbagai kalangan dengan berbagai macam cara dan alat yang
dipergunakan, yang sama-sama beroperasi di lautan, maka cara pemanfaatan yang
lestari dan yang merusak seolah-olah menjadi kabur. Ditambah dengan adanya keterbatasan
masyarakat luas dalam pemahaman tehadap pemenfaatan lestari sumber kelautan,
yang kemudian ditopang pula oleh kecenderungan lebih suka melihat akibat
daripada menganalisis penyebabnya, maka telah menimbulkan opini di masyarakat
luas bahwa kerusakan sumberdaya pesisir
dan lautan, khususnya terumbu karang, seolah-olah diakibatkan oleh
kegiatan perdagangan (eksport) bungan karang.
Oleh karena itu untuk menangani permasalahan yang muncul dalam
pemanfaatan sumberdaya laut khususnya
terumbu karang, perlu dilakukan koordinasi yang lebih mantap, baik instansi
pemerintah atau swasta. (AKKII, 1998).
2.
Perumusan
Masalah
Akibat dari
pemanfaatan sumberdaya laut oleh berbagai kalangan dengan berbagai macam cara
dan alat yang dipergunakan, yang sama-sama beroperasi dilautan, maka cara
pemanfaatan yang lestari dan yang merusak seolah-olah menjadi kabur. sehingga pembangunan sektor kelautan
diarahkan pada pendayagunaan sumberdaya laut
tersebut serasi dan seimbang dengan memperhatikan daya dukung kelautan
dan kelestariannya untuk meningkatkan kesejahtraan masyarakat dan memperluas
kesempatan berusaha.
3.
Tujuan
Penelitian
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui
bagaimana cara untuk mendukung dan mensukseskan kebijakan-kebijakan dalam
rangka pengamanan kelestarian terumbu karang dengan kemampuan yang serba
terbatas dan juga diharapkan peran serta seluruh lapisan masyarakat sangat
diperlukan.
4.
Perumusan Hipotesis.
Sebagai kerangka
pemikiran dasar adalah filsafat ilmu dimana berfungsi untuk mendapatkan
kesimpulan yaitu Ho = 0, dan H1 = 0.
Hipotesisnya adalah
sebagai berikut:
Ho = Tidak terdapat
kebijakan-kebijakan dalam rangka usaha pencegahan kerusakan terumbu karang
H1 = Terdapat
kebijakan-kebijakan dalam rangka usaha pencegahan kerusakan terumbu karang
1. Status Terumbu Karang di
Indonesia
Panjang garis pantai di
Indonesia adalah 80.791 km dengan luas terumbu karang 60.000 km2 (LH. 1992,
Walter. 1994). Sedangkan Tomascik Dkk.
1997 menyebutkan panjang garis pantai 204.000 km dengan luas terumbu karang
85.707 km2. Terumbu karang di Indonesia
dilihat dari struktur geomorfologinya dan proses pembentukannya dapat dibedakan
menjadi empat yaitu :
1. Terumbu karang tepi
(Fringing reef)
2. Karang Penghalang (Barrier
reef)
3. Terumbu karang
cincin (Atoll) dan
4.Terumbu karang takat
(Patch reef atau Platform reef)
Pertumbuhan karang di
Indonesia didominasi oleh karang marga Acropora, Montipora, dan Porites. Pada data yang diambil dari 416 lokasi di
43 daerah yang tersebar diseluruh perairan Indonesia menunjukkan bahwa 6,49 % karang
Indonesia dalam kondisi yang sangat baik, 24,28% dalam kondisi baik, 28,61
dalam kondisi sedang dan 40,62% dalam kondisi buruk. Terumbu karang yang berada di Indonesia
bagian barat kondisinya paling buruk jika dibandingkan dengan Indonesia Tengah
dan Indonesia bagian Timur.
2. Sebaran Terumbu Karang
Sebaran terumbu karang
tidak hanya terbatas secara horizontal akan tetapi juga terbatas secara
vertikal dengan faktor kedalaman serta struktur substrat dasar. Pertumbuhan, penutupan dan kecepatan tumbuh
karang berkurang secara eksponensial dengan kedalaman. Faktor-faktor utama yang mempengaruhi sebaran
vertikal adalah intensitas cahaya, oksigen, suhu dan kecerahan air.
Terumbu karang
tersebar di laut dangkal di daerah tropis hingga suptropis yaitu diantara
lintang 350 lintang utara dan 320 lintang selatan mengelilingi bumi. Garis lintang tersebut merupakan batas
maksimum dimana karang masih dapat tumbuh.
Karang pembentuk terumbu hanya dapat tumbuh dengan baik pada
daerah-daerah tertentu seperti pulau-pulau yang sedikit mangalami proses sedimentasi
atau di sebelah barat dari benua yang umumnya tidak terpengaruh oleh adanya
arus dingin
Sebaran karang di
Indonesia secara garis besar dapat digambarkan sebagai berikut. Sebaran karang di pantai barat Sumatra dan
Jawa Selatan lebih dipengaruhi oleh arus Lutan Hindia. Keanekaragaman jenis karang didaerah ini
relatif rendah dan mirip keanekaragaman yang ada dilautan Hindia (Indian Ocean)
secara keseluruhan. Rendahnya
keanekaragaman jenis karang di pantai selatan Jawa oleh karena adanya upwelling
yang membawa air dingin dari dasar samudra.
Pertumbuhan karang yang ada di sepanjang deretan Pulau Simeulue sampai
Pulau Enggano lebih banyak di pengaruhi oleh substrat dasar yang landai dan
terdiri pasir dan lumpur sehingga karang tidak berkembang dengan baik.
Sebaran terumbu karang
disepanjang pantai timur Sumatra, Kalimantan Barat, Kalimantan Selatan dan Jawa
Utara dipengaruhi oleh adanya sedimentasi yang tinggi yang dibawa oleh aliran
sungai yang banyak berada disana. Pertumbuhan karang umumnya terdapat di
pulau-pulau kecil yang terletak terpisah dari Pulau Utama. Semakin jauh letaknya dari Pulau Utama
semakin baik pertumbuhan karangnya. Riau
kepulauan karang tumbuh hanya pada kedalaman 2-8 meter yang umumnya didominasi
oleh karang masive.
Sebaran karang yang
tumbuh paling baik dan berkembang secara maksimum adalah di Pulau Sulawesi,
Propinsi Maluku, Nusa Tenggara Barat dan Nusa Tenggara Timur. Di daerah ini muara sungai relatif sedikit,
struktur pantai dan substrat dasar berupa substrat yang keras dan pola arus
yang mengalir sepanjang tahun. Oleh
karena adanya arus lintas Indonesia yang berasal dari Samudra Pasifik menuju
Samudra Hindia, Pertumbuhan dan perkembangan karang yang berasal dari Samudra
pasifik menuju Samudra Hindia, Pertumbuhan dan perkembangan karang sangat baik
mulai dari kedalaman 2- 30 m. Keanekaragaman jenis berkembang secara maksimum
bahkan sekitar Sulawesi dianggap sebagai pusat keanekaragaman jenis dan pusat
asal usul karang. Sirkulasi arus yang baik dan rendahnya sedimentasi merupakan
andil yang baik bagi tumbuh dan berkembangnya terumbu karang secara
optimal. Karang yang tumbuh didaerah NTT
dan NTB merupakan terumbu yang lebih banyak dipengaruhi oleh adanya arus pasang
surut yang merupakan pertukaran massa air dari Laut Flores dengan lautan
Hindia. NTB dan NTT hanya merupakan
pulau yang kering dengan garis pantai yang mempunyai lekuk-lekuk yang dalam
sehingga sering ditemukan jenis karang yang bersifat endemik. Daerah NTB dan NTT sering disebut “refuges”
area atau daerah ungsian.
Terumbu karang yang
ada di pulau-pulau atau pantai utara Irian Jaya (Papua) mempunyai ciri dan
struktur terumbu karang “West Pacific” karang tumbuh dengan baik mulai dari
kedalaman 2 – 40 m. Pantai Irian juga
mempunyai lekuk-lekuk yang sangat bervariasi dan kemungkinan besar juga banyak
ditemukan jenis-jenis yang endemik.
Penelitian karang di Utara Irian masih jarang dilakukan. (Suharsono,
1998).
3. Faktor-faktor Yang Potensial Merusak Ekosistem Terumbu
Karang
Walaupun potensi
sumberdaya hayati tersebut sangat kaya namun sebagian besar masyarakat yang
bermukim di sekitar 6.600 desa pantai, masih berada dibawah garis kemiskinan
sebagaimana hasil studi sosial ekonomi proyek MREPP tahun 1996. Dari data tersebut terlihat bahwa rata-rata
penghasilan penduduk pesisir di teluk Kotania
Pulau Seram dan Pulau Ambon sekitar Rp. 475.625.- pertahun, sementara di
desa pantai bagian Barat dan Selatan Pulau Lombok sekitar Rp.336.952.-
pertahun. Hal ini menjadi salah satu
faktor pendorong masyarakat pesisir untuk mengeksploitasi sumberdaya kelautan
melebihi daya dukungnya agar mereka dapat memenuhi kebutuhan hidupnya, atau
bekerja sama dengan pedagang ikan karang.
Masalah yang lebih
rumit adalah ada sekelompok masyarakat yang berpendidikan dan bermodal kuat menggunakan
bahan-bahan cyanida dan bom serta didukung dengan kapal dan peralatan selam
untuk mengeksploitasi sumberdaya ikan karang serta berkompetisi dengan
masyarakat nelayan tradisional. Modal
dan keuntungan mereka digunakan juga untuk menetapkan kolusi dengan penguasa
tertentu, sehingga bila tertangkap sering mengalami kesulitan untuk dihukum.
Ekosistem terumbu
karang mempunya potensi ekonomi yang sangat besar mendorong pengambilan
sumberdaya yang dikandungnya secara berlebihan (over exploitation) serta
kurang mengindahkan kaidah-kaidah konservasi.
Karena adanya asumsi bahwa sumberdaya yang berada di ekosistem terumbu
karang adalah milik bersama (common property), sehingga bila mereka tidak
emanfaatkannya pada saat ini, maka akan dimanfaatkan orang lain (tragedy of common). Untuk mengeksploitasi sumberdaya hayati
tersebut, sebagian besar dari mereka menggunakan racun cyanida, bahan peledak,
muro ami, dan bubu yang semuanya itu merusak ekosistem terumbu karang. Para pengguna racun Cyanida umumnya bermaksud menangkap ikan karang untuk
dipasarkan dalam keadaan hidup di negara tertentu, sehingga mereka membentuk
jaringan penangkap dan pemasaran secara internasional. Sedang ikan-ikan yang dibom biasanya mati dan
mengalami kehancuran sehingga perlu dipasarkan dalam skala propinsi, regional
atau nasional.
Aktivitas wisata
bahari seperti penyelam juga memberikan kontribusi terhadap laju kerusakan
akibat jangkar perahu atau terinjak penyelam pemula. Intensifikasi pertanian di
DAS Hulu, akan meningkatkan laju erosi tanah dan sedimentasi kelaut. Jika tidak ada ekosistem mangrove yang
efektif menyerap sedimen tanah, maka proses sedimentasi ini akan menutupi
permukaan karang sehingga karangnya mati.
Kegiatan pembangunan dipesisir sekitar ekosistem terumbu karang juga menimbulkan dampak negatif yang
mengganggu kelestariannya, seperti kegiatan reklamasi di Teluk Manado dan Teluk
Lampung, serta daerah-daerah lainnya. (Ginting, 1998)
4. Penggambaran
Kondisi Terumbu Karang
Dalam menggambarkan
kondisi terumbu karang biasanya disajikan dalam bentuk suatu struktur komunitas
yang terdiri dari data: persentase tutupan karang mati, jumlah marga, jumlah
jenis, jumlah koloni, kelimpahan, frekwensi kehadiran, bentuk pertumbuhan,
indeks keaneka ragaman jenis. Beberapa
metode telah dikembangkan untuk itu.
Beberapa pakar yang mendalami penelitian masalah komunitas karang yang
antara lain terdiri dari :
1. Metode transek
garis (line transect)
2. Metode transek
kuadrat (quadrat transect)
3. Metode transek
sabuk (belt transect)
4. Metode transek
intersep
5. Metode manta tow
6. Metode transek
bentuk pertumbuhan (lifeform transect).
Metode Transek Garis :
Metode ini telah
berkembang cukup lama dan merupakan metode yang paling konsisten digunakan oleh
para pakar. Prinsip dari pada metode ini
adalah menggunakan suatu garis transek yang diletakkan diatas koloni karang.
Dalam perkembangannya metode transek garis mengalami penyesuaian baik panjang
garis transek itu maupun pemakaian bahan yang digunakan untuk membuat garis
transek tersebut.
Langkah-langkah dari
metode transek garis adalah sebagai berikut :
Alat-alat yang digunakan terdiri dari : scuba, alat tulis bawa air, roll meter, tas nilon, palu geologi, dan pahat. Garis transek dimulai dari kedalaman dimana masih ditemukan terumbu karang batu ( 25 m) sampai didaerah pantai mengikuti kedalaman mengikuti garis kontur. Pembuatan transek dengan roll meter dengan panjang setiap tali transek adalah 10 m dan dibuat sejajar garis pantai. Jarak antara garis transek yang satu dan berikutnya adalah 1m. Koloni karang yang terletak dibawah tali transek diukur mengikuti pola pertumbuhan koloni karang. Pengukuran dilakukan dengan ketelitian mendekati cm. Koloni karang yang telah diketahui jenisnya langsung dicatat sedangkan yang belum diambil contohnya sebagian dan diidentifikasi di laboratorium. Didalam penelitian ini satu koloni dianggap satu individu. Bila satu koloni dari jenis yang sama dipisahkan oleh satu atau beberapa bagian yang mati maka tiap bagian yang hidup dianggap sebagai satu individu tersendiri. Apabila dua koloni atau lebih tumbuh diatas koloni yang lain, maka masing-masing koloni tetap dihitung sebagai koloni yang terpisah. Pencatatan panjang tumpang tindih koloni nantinya akan dipergunakan untuk menganalisis kelimpahan jenis. Yang perlu dicatat juga adalah kondisi dasar dan kehadiran karang lunak, karang mati lepas atau masif dan biota lain. Selain itu dilakukan juga koleksi bebas disekitar daerah transek, untuk mengetahui komposisi dan kekayaan jenis karang batu. Jika terjadi kondisi dimana ombak cukup kuat, maka dianjurkan transek terbuat dari roll meter digantikan dengan rantai yang terbuat dari logam. Ini dimaksudkan agar tidak mudah terombang-ambing sewaktu di hempas ombak dan dapat mengikuti kontur permukaan koloni karang secara mudah.
Penggunaan metode ini
mempunyai kelebihan yaitu akurasi data dapat diperoleh dengan baik dan lebih
banyak seperti: struktur komunitas yakni persentase tutupan karang hidup/mati,
kekayaan jenis, dominasi, frekwensi kehadiran, ukuran koloni dan keaneka
ragaman jenis dapat disajikan secara lebih menyeluruh. Juga struktur kominitas biota yang
berasosiasi dengan terumbu karang juga dapat disajikan secara baik. Namun metode ini menuntut kemampuan individu yang
tinggi yakni selain mempunyai kemampuan untuk mengidentifikasi jenis karang
secara langsung, peneliti juga dituntut sebagai penyelam yang baik. Selain itu waktu yang diperlukan cukup lama
dan biaya yang diperlukan relatif besar.
Metode Transek Bentuk Pertumbuhan
Semakin bertambahnya
penduduk dan semakin tingginya limbah yang masuk keperairan pantai menyebabkan
semakin tingginya tekanan terhadap terumbu karang. Disamping oleh tingkah laku manusia terumbu
karang juga mengalami kerusakan yang cukup besar oleh faktor alami. Dalam memantau tingkat kerusakan tersebut
dibutuhkan suatu metode penilaian kondisi terumbu karang yang cepat, murah, dan
cukup informatif. Sehingga keterbatasan
tenaga peneliti yang mempunyai latar belakang ekologi terumbu karang dan
terbatasnya waktu yang ada serta hasil dari penelitian itu harus dapat
dibandingkan sehingga dikembangkan metode penilaian terumbu karang yang dapat
memenuhi persyaratan cepat, murah, dan bukan harus seorang ahli karang. De Vantier et al. (1985) dalam ASEAN-Australia Project mengembangkan metode
yang cukup sederhana yang dapat dilakukan oleh hampir semua peneliti dan dapat
dilakukan dalam waktu yang relatif singkat.
Metode ini disebut metode “lifeform” yang ditekankan pada bentuk
pertumbuhan karang. Sehingga oleh karena
Acropora hampir ditemukan disemua terumbu karang dan merupakan komponen utama
pembentuk terumbu karang maka pada metode bentuk pertumbuhan ini dikelompokkan
tersendiri yaitu Acroporan dan non Acropora.
Pada metode ini bukan
hanya ditekankan pada karangnya sendiri akan tetapi juga biota yang berasosiasi
dengan karang seperti algae, sponge dan lain lain. Panjang garis yang digunakan adalah 100 m
yang diletakkan sejajar garis pantai pada kedalaman 3 dan 10 m. Letak garis transek pada kedalaman 3 dan 10 m
dianggap mewakili kondisi karang didaerah tersebut, sehingga biasanya tumbuh dengan pada
kedalaman tersebut. Dalam metode ini
dituntut seseorang menghafal 27 kriteria.
Metode ini cukup sederhana dan dapat dilakukan oleh semua orang tanpa
harus mempunyai latar belakang taksonomi karang.
Berdasarkan dari semua
penjelasan diatas, fungsi dan nilai ekosistem terumbu karang sangat penting
bagi masyarakat lokal sebagai penyedia sumber pangan dan sumber pendapatan
mereka. Oleh sebab itu, laju kerusakan
ekosistem terumbu karang perlu segera dikurangi dan upaya pengelolaan
ditingkatkan sehingga kelestariannya dapat terjamin, sehingga perlu
dikembangkan pendekatan pengelolaan efektif dan efisien. Salah satunya adalah dengan mengembangkan
sistem "Community Base anagement” atau Pengelolaan Berbasis Masyarakat (PBM).
Pengelolaan berbasis
masyarakat adalah sistem pengelolaan sumberdaya ekosistem terumbu karang
terpadu yang perumusan dan perencanaannya dilakukan dengan pendekatan dari
bawah (bottom up approach), berdasarkan aspirasi masyarakat dan
dilaksanakan untuk kepentingan masyarakat.
Tujuan dari sistem PBM adalah untuk memberdayakan masyarakat agar dapat
berperan serta secara aktif dan terlibat langsung dalam pengelolaan sumberdaya
alam lokal khususnya terumbu karang dan ekosistem terkait lainnya, untuk
menjamin/menjaga kelestarian dan penggunaan sumberdaya tersebut, dan dengan
demikian menjamin adanya pembangunan yang berkesinambungan di wilayah
bersangkutan. Sedangkan ruang lingkup
pelaksanaan PBM difokuskan pada :
(i)
perencanaan, pelaksanaan, serta pemantauan rencana pengelolaan terumbu
karang (RPTK) lokal
(ii) pemilihan dan pengembangan mata pencaharian
alternatif (MPA)
(iii) penguatan dan pengembangan kapasitas kelembagaan
lokal
(iv) penyadaran masyarakat
(v) peningkatan prasarana dasar
Persepsi masyarakat
dan Pemerintah Daerah terhadap pengelolaan ekosistem terumbu karang telah
bergeser kearah positif. Namun
pergeseran kearah positif ini masih menghadapi kendala yaitu belum adanya
kewenangan daerah secara otonomi untuk mengelola sumberdaya laut termasuk
ekosistem terumbu karang sehingga kegiatan pengelolaan terumbu karang masih
bersifat keproyekan. Selama ada proyek, kegiatan
terus dibina, tetapi setelah dana proyek berakhir maka persepsi pengelolaannya
pun mengalami perubahan yang bermuara pada penurunan aktivitas dan kualitas
pengelolaan lingkungan laut.
Permasalahan yang
dihadapi dalam pengelolaan terumbu karang
antara lain :
1. Rendahnya kesadaran dan pengetahuan masyarakat akan pentingnya terumbu karang
2. Kurangnya sarana dan prasarana
pengelolaan
3. Masalah sosial
ekonomi masyarakat (nelayan) karena kurang tersedianya sumber pendapatan
alternatif
4. Penegakan hukum yang masih
lemah
5. Koordinasi antar instansi yang masih lemah.
Sehingga, penanganan
masalah yang muncul dalam pemanfaatan sumberdaya pesisir dan lautan khususnya
terumbu karang, diperlukan keterpaduan penanganan dengan koordinasi yang lebih baik,
realisasi aktif atas langkah yang telah dicanangkan bersama dan tidak cukup
hanya dengan tulisan-tulisan hasil diskusi, seminar dan lain-lain.
AKKII, 1998. Pemanfaatan Bunga Karang dan Usaha
Pelestariannya. Konperensi Nasional I
Pengelolaan Sumberdaya Pesisir dan Lautan Indonesia. PKSPL. IPB
Bengen, D.G. 1999. Ekosistem dan Sumberdaya Alam Pesisir
(sinopsis). Pusat Kajian Sumberdaya Pesisir dan Lautan IPB. Bogor.
Best. M.B., B.W. Hoeksema, W.Moka, H. Moll, Suharsono and
I.N. Sutarna. 1989. Recent Scleratian
coral species collected during theSnellius_II
Expedition in eastern Indonesia Neth. J. Sea. Res. 23:107-115.
Ginting, S.A. 1998.
Persepsi Pemerintah Daerah Terhadap Pengelolaan Ekosistem Terumbu
Karang. Konperensi Nasional I Pengelolaan Sumberdaya Pesisir dan Lautan
Indonesia. PKSPL. IPB
Miclat, R. and Miclat, 1989. Artificial Reefs : A
Fishiers Management Tool For Ligayen Gulf. ICLARM Conference Proceeding 17.P :
109-117.
Sadarun, 2001. Tugas Mata Ajaran Falsafah Sains Program
Pasca Sarjana Institut Pertanian Bogor.
Suharsono, 1998.
Distribusi, Metodologi dan Status Terumbu Karang di Indonesia.
Konperensi Nasional I Pengelolaan
Sumberdaya Pesisir dan Lautan Indonesia. PKSPL. IPB
Tomascik, T.A.J. Mah, A. Nontji. And M.K. Moosa. The ecology of Indonesian seas. Periplus eds
Part I & II. 1388
Wallace, C.C. (in press). New Species and new
records of recently descibed species of genus Acropora (Scleractinia; Astrocoeoniina; Acroporidae)
from Indonesia.
Walters, J.S. 1994. Properly right and participatory
coastal management in the Philippines and Indonesian Coastal Management in
Tropical Asia. 3: 20-24.