Copyright
© 2001 Program Pasca Sarjana IPB
Re-edited 20 July 2001, Rudy C
Tarumingkeng, PhD
Makalah Kelompok I
Falsafah Sains (PPs 702)
Program Pasca Sarjana
Institut Pertanian Bogor
Maret 2001
Dosen:
Prof Dr Ir Rudy C Tarumingkeng (Penanggung Jawab)
Prof Dr Ir Zahrial Coto
NJUTAN
Oleh:
DAFTAR
ISI
II. METODE PENELITIAN EKOSISTEM WILAYAH PESISIR
a. Kerangka Pengambilan Contoh
b. Kerangka Dasar Metode Analisis Data
Klasifikasi Metode Analisis Data.
3) Kawasan Ekosistem Padang Lamun (Sea grass bed)
4) Wilayah ekosistem terumbu karang
Sistem Oseanografi fisis dan meteorologis
Penurunan kualitas dan kuantitas sumberdaya
VI.
PRINSIP-PRINSIP
PENGELOLAAN YANG DIUSULKAN
a. Prinsip-prinsip yang berkaitan dengan lingkungan hidup dan pembangunan
b. Prinsip-prinsip yang berkaitan dengan Karakter Khusus Pesisir dan Laut
VII.
PENGELOLAAN WILAYAH
PESISIR YANG BERKELANJUTAN
a. Perlindungan daya dukung pesisir dan laut
Perencanaan ruang/Area Planning
Pesisir adalah wilayah yang unik, karena dalam konteks bentang alam, wilayah pesisir merupakan tempat bertemunya daratan dan lautan (Kay and Alder, 1999) . Lebih jauh, wilayah pesisir merupakan wilayah yang penting ditinjau dari berbagai sudut pandang perencanaan dan pengelolaan. Transisi antara daratan dan lautan di wilayah pesisir telah membentuk ekosistem yang beragam dan sangat produktif serta memberikan nilai ekonomi yang luar biasa terhadap manusia.. Sejalan dengan pertambahan penduduk dan peningkatan kegiatan pembangunan sosial-ekonomi, "nilai" wilayah pesisir terus bertambah. Konsekuensi dari tekanan terhadap pesisir ini adalah masalah pengelolaan yang timbul karena konflik pemanfaatan yang timbul akibat berbagai kepentingan yang ada di wilayah pesisir.
Pembangunan
berkelanjutan merupakan suatu paradigma pemanfaatan sumberdaya alam yang dapat
dijadikan konsep dasar pemanfaatan sumberdaya wilayah pesisir.
Pembangunan berkelanjutan,
didefinisikan sebagai (Costanza,
1991) :
"Pembangunan yang dapat memenuhi kebutuhan generasi sekarang tanpa mengorbankan generasi yang akan datang untuk dapat memenuhi kebutuhannya."
Lebih jauh, dikatakan bahwa pada tingkat yang minimum, pembangunan berkelanjutan tidak boleh membahayakan sistem alam yang mendukung semua kehidupan di muka bumi.
Pengelolaan wilayah pesisir terpadu - PWPT (Integrated Coastal zone Management - ICM) adalah pendekatan yang layak untuk mengelola masalah yang ada di wilayah pesisir. Di mana di wilayah pesisir ini melingkup beragam masalah: dari pencemaran hingga degradasi habitat, hingga masalah yang lebih panjang implikasinya seperti perubahan permukaan air laut ((GESAMP) and _IMO/FAO/UNESCO-IOC/WMO/WHO/IAEA/UN/UNEP, 1996) . Penyebab timbulnya masalah pesisir terdiri dari beragam isu (Delaware, 1999) . Permintaan sosial akan produk wilayah pesisir biasanya melebihi daya dukung wilayah tersebut. Karena produk wilayah pesisir tidak selamanya dapat diukur dalam ukuran moneter, pasar bebas tidak dapat berfungsi sebagai mekanisme alokasi sumberdaya.
PWPT merupakan suatu proses yang berkesinambungan, interaktif, adaptif, partisipatiif, merupakan suatu mekanisme pembangunan konsensus. PWPT terdiri dari rangkaian pekerjaan untuk mencapai tujuannya ((Delaware, 1999) . Dalam konteks pengelolaan, PWPT haruslah dapat adaptif terhadap perubahan waktu dan kondisinya. Perencanaan PWPT dan implementasinya tidak dapat berupa suatu kegiatan yang sifatnya sekali tempuh.
PWPT yang diusulkan di sini mengikuti proses yang diusulkan ((GESAMP) and _IMO/FAO/UNESCO -IOC/WMO/WHO/IAEA/UN/UNEP, 1996) yang dapat dilihat pada diagram berikut:
Gambar 1. Tahap Pengelolaan Wilayah Pesisir Terpadu ((GESAMP) and _IMO/FAO/UNESCO-IOC/WMO/WHO/IAEA/UN/UNEP, 1996)
Pendekatan PWPT yang diusulkan di sini berorientasi pada sistem keruangan wilayah pesisir yang merupakan suatu sistem yang memiliki keseimbangan yang rentan terhadap perubahan (delicate balance). Perubahan terhadap satu komponen sistem atau anggota komponen sistem akan berpengaruh terhadap komponen sistem pesisir yang lain. Pendekatan ini dapat digambarkan dalam diagram 2. berikut.
Sehingga PWPT ini diharapkan dapat menjawab pertanyaan-pertanyaan umum yang berkaitan dengan pengelolaan sumberdaya pesisir. Pertanyaan-pertanyaan tersebut adalah:
Apakah pemanfaatan sumberdaya pesisir saat ini dapat dipertahankan tanpa mengurangi kemampuan sumberdaya tersebut untuk memulihkan diri?
Bagaimana kebutuhan dasar (seperti asupan protein dari ikan) tetap dapat dipenuhi
Nilai-nilai apa yang akan diambil
Bagaimana alokasi sumberdaya dan ruang pesisir
Bagaimana dengan konflik-konflik yang ada dan yang akan terjadi
Dengan berdasarkan pada kendala-kendala teknis dan non-teknis yang ada dan akan berkembang serta prinsip-prinsip pengelolaan yang terpadu.
Untuk dapat menjawab pertanyaan-pertanyaan yang menjadi dasar pemikiran di atas, diperlukan data dan informasi yang tepat untuk pengambilan keputusan yang tepat. Sebelum sampai pada strategi pengambilan contoh, maka pemilihan tujuan yang ingin dicapai perlu ditetapkan terlebih dahulu. Tujuan ini dapat bersifat teoritis (pengertian / pemahaman suatu sistem atau fungsi ekologis) atau praktis (pengelolaan suatu sumberdaya, pulih dan tidak pulih). Mengacu pada tujuan yang ingin dicapai, maka ditetapkan problematika yaitu maslah-masalah apa yang akan timbul, serta jawaban-jawaban seperti apa yang diharapkan. Problematika ini akan menuntun kita kepada pemilihan:
a.
Variabel-variabel biofisik yang akan dipelajari untuk dapat menjawab
permasalahan yang diajukan;
b.
Skala observasi dalam ruang dan waktu;
c.
Metode-metode analisis data yang tepat.
Dalam
pemilihan terhadap ketiga hal tersebut perlu diperhatikan batasan-batasan
berikut:
Batasan-batasan
alami yang berhubungan dengan keragaman skala yang dipilih;
Batasan-batasan
teknik yang terkait dengan kemampuan dan ketepatan alat yang digunakan,
luasnya skala waktu dan ruang yang diperuntukkan dalam pengambilan contoh;
Batasan-batasan
matematik, berkenaan dengan struktur data dan kualitasnya yang jelas sangat
penting dalam merealisasikan analisis yang dicanangkan.
Tujuan
dan batasan di atas saling berhubungan satu sama lain. Suatu problematika
tertentu menuntut suatu analisis data tertentu, yang menuntut pula suatu
perencanaan pengambilan contoh tertentu. Oleh karena itu, strategi perencana,
peneliti atau pengelola adalah mencari suatu kompromi antara suatu tujuan dan
batasan. Hal ini sangat tergantung kepada epistemologi subyek yang diteliti.
Ekosistem
pesisir merupakan suatu himpunan integral dari variabel-variabel abiotik
(fisik-kimia) dan biotik (organisme hidup) yang berhubungan satu sama lain dan
saling berinteraksi membentuk suatu struktur fungsional. Variabel-variabel ini
secara fungsional tidak dapat dipisahkan satu sama lain. Apabila terjadi
perubahan pada salah satu dari variabel-variabel tersebut, maka perubahan
tersebut akan mempengaruhi keseluruhan sistem yang ada, baik dalam kesatuan
struktur fungsional maupun dalam keseimbangan. Karena itu, kesatuan dan
keseimbangan struktur fungsional ini harus diperhatikan dalam setiap perencanaan
dan upaya pengelolaan ekosistem pesisir.
Agar perencanaan dan pengelolaan ekosistem pesisir dapat memenuhi pertimbangan di atas, pemilihan variabel biofisik perlu dilakukan dalam suatu pengumpulan data yang diwujudkan melalui pengambilan contoh. Pemilihan variabel biofisik ini hendaknya didasarkan pada tiga pendekatan berikut:
a. Identifikasi sumber perubahan dan variasinya (diikuti oleh bentuk perubahan);
b. Penilikan kualitas lingkungan pesisir sebagai proses koreksi dalam jangka waktu pendek;
c. Pencirian kualitas lingkungan pesisir sebagai elemen program pemantauan dalam jangka panjang.
Daya dukung dan keseimbangan struktur ekosistem pesisir dikontrol oleh beberapa komponen fisik, proses dinamika pasang, gelombang, angin, dan gaya-gaya lain yang terjadi di laut. Untuk dapat memahami kondisi di atas, maka variabel fisik yang perlu dikaji melalui suatu pengambilan contoh, di antaranya meliputi debit aliran sungai, dominasi arah angin, batimetri, pasang surut, gelombang, arus, suhu, salinitas dan sedimentasi. Di samping komponen fisik, komponen kimia berperan penting di perairan pesisir. Komponen kimia air mempunyai pengaruh terhadap produktivitas biologis melalui interaksi dengan proses-proses fisiologis organisme.
Pada
prinsipnya analisis komponen biologi di wilayah pesisir dan laut merupakan
pengukuran respon biologi terhadap perubahan lingkungan hidup akibat adanya
degradasi kualitas perairan. Respon biologis tersebut dapat dikaji melalui
struktur komunitas organisme komunitas organisme yang dijadikan variabel
dari komponen biolgi penting. Variabel penting yang dianalisis pada
ekosistem pesisir meliputi vegetasi pesisir, mangrove dan padang lamun, rumput
laut, terumbu karang, plankton, benthos dan nekton.
Penentuan
skala observasi dari suatu pengambilan contoh sumberdaya pesisir, harus
mempertimbangkan kesatuan dan keseimbangan struktur fungsional sumberdaya
tersebut. Pertimbangan ini akan mengarahkan pada dua tahapan dasar dalam
penentuan skala observasi yaitu (1) penentuan lokasi pengambilan contoh, dan (2)
frekuensi pengambilan contoh.
Terdapat
beragam teknik pengambilan contoh yang dapat diterapkan dalam suatu pengumpulan
data sumberdaya wilayah pesisir. Namun sebelum pemilihan terhadap suatu teknik
pengambilan contoh tertentu dilakukan, terlebih dahulu perlu dilakukan
pemeriksaan pada beberapa kriteria berikut:
a.
Populasi yang ditarik harus merupakan populasi terhingga;
b.
Jenis dan tipe variabel populasi harus tertentu;
c.
Sebaran unsur dari populasi harus diketahui;
d.
Kerangka dasar pengambilan contoh harus tersedia.
Setelah
pemeriksaan kriteria ini dilakukan, kemudian dapat dipilih teknik pengambilan
contoh yang akan diterapkan, dengan tetap berpegang pada pilihan dan batasan
yang diperlukan dalam suatu pengambilan contoh. Teknik pengambilan contoh yang
umum digunakan dalam pengumpulan data biofisik sumberdaya pesisir yaitu:
a.
Pengambilan contoh acak sederhana;
b.
Pengambilan contoh acak berlapis;
c.
Pengambilan contoh sistematik.
Optimasi
satu hasil penelitian memerlukan beberapa komponen penting, terutama komponen
pengambilan contoh yang seringkali memonopoli keberhasilan tersebut. Secara
klasik, peneliti senantiasa berupaya membuat hubungan yang baik antara rencana
pengambilan contoh dan analisis data agar kesimpulan yang ditarik dapat menjawab
dengan baik masalah-masalah yang ditetapkan sejak awal.
Korespondensi antara pengambilan contoh dan analisis data diarahkan untuk dapat mengadaptasikan dengan baik berbagai kemungkinan pada akhir penelitian, yaitu
mengoptimasi hasil pengambilan contoh, dan
mengoptimasi hasil analisis data dalam rangka menjawab problematika yang diajukan.
Prespektif
ini mengarah pada suatu interaksi antara problematika penelitian, perencanaan
pengambilan contoh, dan analsis data (Gambar 2)
Sebelum
memilih metode analisis data yang
tepat, perlu diketahui tipe dan tingkat ketepatan datanya. Ringkasan metode
analisis yang mungkin untuk variabel biofisik yang bertipe kuantitatif, semi
kuantitatif dan kualitatif disajikan pada Tabel 1.
Variabel
kuantitatif |
Variabel
semi kuantitatif |
Variabel
kualitatif |
Analisis
data univariabel: Perbedaan
antara 2 grup: -
t studen Perbedaan
antara banyak grup: -
Analisis varians (Anova) Analisis
data multivariabel
Perbedaan
antara 2 grup: -
T2 dari Hotelling Perbedaan
antara banyak grup
-
Anova multidimensi (Manova) Pengukuran
asosiasi Q Pengukuran
asosiasi R -
Dispersi -
Korelasi parametrik Keanekaragaman
spesies: -
Pengukuran keanekaragaman -
Model distribusi kelimpahan Pengelompokan Ordinasi Diagram
Dispersi dan Regresi Analisis
Diskriminan Korelasi
Kanonik |
Perbedaan
antara 2 grup -
U dari Mann-Whitney Perbedaan
antara banyak grup: -
H dari Kruskal-Wallis
Perbedaan
antara 2 grup -
…………………….. Perbedaan
antara banyak grup -
……………………..
Pengukuran
asosiasi Q Pengukuran
asosiasi R -
……………………. -
Korelasi pangkat Keanekaragaman
sps. -
Pengukuran keanekaragaman -
Diagram pangkat
Pengelompokan Ordonasi Diagram
Pangkat
……………………… ……………………… |
Perbedaan
antara 2 grup -
X2 Perbedaan
antara banyak grup: -
X2
Perbedaan
antara 2 grup -
X2 multidimenasi Perbedaaan
antara banyak grup -
X2 multidimenasi
Pengukuran
asosiasi Q Pengukuran
asosiasi R -
Teori informasi, X2 -
Kontingensi Keanekaragaman
spesies -
Kekayaan spesies -
Spesies dominan
Pengelompokan Ordonasi Tabel
Kontingensi dan Koresponden Analisis
Diskriminan diskret |
Tabel
1. Beberapa metode analisis data untuk variabel-variabel biofisik dengan tipe
variabel yang berbeda.
Variabel
biofisik yang memiliki tingkat ketepatan yang tinggi, seharusnya dianalisis
dengan metode yang mempunyai tingkat ketepatan yang tinggi pula. Namun dalam
kondisi tertentu variabel dengan tingkat ketepatan yang tinggi dapat dianalisis
dengan metode yang digunakan untuk data dengan tingkat ketepatan yang rendah.
Misalnya, variabel kuantitatif dapat juga dianalisis dengan metode yang
digunakan untuk variabel semikuantitatif atau kualitatif. Metode-metode ini
tentu saja berbeda, tergantung apakah akan menjelaskan keadaan suatu ekosistem
dalam batasan unidimensi atau multidimensi, atau menganalisis
perubahan-perubahan yang terjadi dengan melihat satu seri data secara spasial-temporal.
Dalam
kasus data campuran, kita dapat juga menggunakan metode-metode sebagaimana yang
dikemukakan dalam Tabel 1 di atas, setelah dilakukan adaptasi terhadap data yang
ada dengan memperhatikan tingkat ketepatannya. Misalnya, untuk menganalisis
suatu tabel data yang kadang-kadang kuantitatif dan kadang-kadang kualitatif,
sebaiknya kita menggunakan metode analisis yang cocok untuk data kualitatif,
setelah mengelompokkan nilai-nilai dari variabel kuantitatif ke dalam sejumlah
kecil kelas, dengan membuat pengecualian untuk koefisien-koefisien asosiasi
tertentu yang menerima semua tipe variabel. Metode statistik yang biasanya
digunakan untuk menganalisis ekosistem wilayah pesisir terdiri dari
metode-metode statistk dependen dan independen (Tabel 2 dan 3).
Tabel
2. Metode-metode statistik dependen
|
Variabel
Dependen |
|||
Satu
Variabel |
Lebih
dari satu Variabel |
|||
Metrik |
Nonmetrik |
Metrik |
Nonmetrik |
|
Variabel
Independen |
||||
Satu
Variabel |
||||
Metrik
Non
metrik |
-
Regresi
-
Uji t
|
-
Analisis diskriminan -
Regresi logistik
-
Analisis dikriminan diskrit
|
-
Korelasi kanonik
-
Analisis ragam multivariat (Manova) |
-
Analisis diskriminan grup ganda (MDA) -
MDA diskrit |
Lebih
dari satu variable |
||||
Metrik |
-
Regresi berganda
|
-
Analisis diskriminan -
Regresi logistik
|
-
Korelasi kanonik
|
-
MDA |
Non
metrik |
-
Anova |
-
Analisis diskriminan diskrit -
Manova |
-
Manova |
-
MDA diskrit |
|
|
-
|
|
|
Tabel
3. Metode-metode statistik independen
Jumlah
variabel |
Tipe
Data |
|
Metrik |
Non
metrik |
|
Dua |
-
Korelasi sederhana |
-
Tabel kontingensi 2 arah -
Model log linier |
Lebih
dari dua |
-
Analisis komponen utama (PCA) -
Analisis faktor -
Analisis kelompok (Cluster analysis) |
-
Tabel kontingensi banyak arah -
Model loglinier -
Analisis faktorial koresponden (CA) |
Salah
satu metode untuk menganalisis penggunaan sumberdaya alam untuk kurun waktu
tertentu adalah metode dinamika sistem. Dinamika sistem adalah suatu metode
untuk mempelajari fenomena suatu sistem. Tidak seperti bidang ilmu lainnya, yang
mempelajari segala sesuatu dengan memecah menjadi bagian-bagian kecil., dinamika
sistem melihat segala sesuatu secara utuh. Konsep
utama dinamika sistem adalah bagaimana semua objek dalam suatu sistem saling
berinteraksi satu dengan lainnya. Objek dan orang dalam sistem saling
berinteraksi dalam loop sebab akibat, dimana perubahan satu variabel akan
mempengaruhi terhadap variabel lainnya dalam kurun waktu ke depan, yang pada
akhirnya akan mempengaruhi variabel aslinya. Selanjutnya saling mempengaruhi
antar variabel berlanjut sepanjang kurun waktu yang dipelajari.
Karakter suatu sistem dapat dipandang sebagai suatu urutan interaksi dari individu dari organisme yang paling sederhana hingga kelompok dengan tingkat kerumitan yang tinggi. Misalnya satu individu dari suatu spesies (misalnya tikus) membentuk suatu populasi tikus, dimana populasi tikus ini bersama-sama dengan populasi spesies (flora dan fauna) lain berinteraksi dan memanfaatkan ruang membentuk suatu komunitas. Komunitas ini bersama-sama dengan elemen fisik yang tidak hidup membentuk suatu sistem ekologi atau ekosistem. Definisi-definisi mengenai tingkat-tingkat ini lebih ditentukan secara subjektif. Namun demikian, suatu ekosistem bisaanya terdiri dari komponen-komponen dari unit-unit bentang alam (lansekap) dengan memiliki karakter geografis dan geologis yang berkesinambungan. Secara praktis, dalam batas-batas suatu ekosistem meskipun ditentukan secara subjektif, mencakup struktur dan interaksi yang terjadi dalam ekosistem tersebut. Ekosistem dalam skala yang lebih besar serta memiliki kesinambungan biotik yang tinggi kemudian membentuk biomes. Lebih lanjut, seluruh kehidupan di bumi secara kolektif disebut biosfir. Dalam telaah yang dilakukan di sini, dengan pertimbangan logis dan operasional, hirarki sistem yang diambil adalah pada tingkat ekosistem. Dalam tingkat ekosistem, analisis tentang seluruh interaksi biotik dan abiotik yang membentuk masalah lingkungan relatif lebih mudah untuk didekati. Tentu saja, mengikutsertakan tingkat kerumitan di atas dan di bawah tingkat kerumitan ekosistem diperlukan bagi setiap analisis karena seperti yang dikemukakan Bartholomew (1964) dalam (Hall and John W. Day, 1977) :
Dari setiap tingkat (kerumitan) akan ditemukan penjelasan akan mekanismenya pada tingkat yang lebih rendah, serta penjelasan mengenai derajat kepentingannya pada tingkat yang lebih tinggi. Dapat disimpulkan bahwa sistem memiliki dua karakter yang sangat penting. Kedua karakter ini adalah (Grant et al., 1997) :
Bahwa sistem adalah bagian dari sistem dengan tingkat yang lebih tinggi. Namun demikian, dalam skala apapun dengan tingkat kerincian manapun dapat ditelaah dengan menggunakan prinsip dan teknik dari teori sistem umum (dari von Bertalanffy 1969 dalam (Grant et al., 1997)
Dalam skala dan tingkat kerincian yang sama suatu sistem dapat saling tumpang tindih
Tahapan
yang umum dilakukan dalam pemodelan sistem meliputi :
DEFINISI
MASALAH à
KONSEPTUALISASI SISTEM à
REPRESENTASI MODEL à
PERILAKU MODEL à
EVALUASI MODEL à
IMPLEMENTASI MODEL.
Beberapa
piranti lunak yang dapat digunakan untuk analisis sistem diantaranya STELLA
Ver.4.02TM , POWERSIMTM, MODELMAKERTM, dan
ECOPATHTM.
Seperti halnya wilayah lain dalam permukaan bumi, wilayah pesisir memiliki aspek keruangan (Forman and Godron, 1986) . Wilayah pesisir terjadi karena mekanisme yang bekerja dalam batas bentang alam tertentu, yaitu: proses geomorfologis yang terjadi dalam rentang waktu yang sangat lama, pola kolonisasi organisme, serta perubahan yang sifatnya lokal dalam rentang waktu yang relatif pendek, baik alami maupun gangguan aktivitas manusia. Wilayah pesisir dengan demikian adalah suatu bentang alam yang "distinct", suatu unit terukur yang ditentukan oleh kelompok ekosistem yang saling berinteraksi dimana kelompok ini berulang, baik dalam skala ruang/luas maupun dalam skala temporal, proses geomorfologi yang berulang, serta regim perubahannya (Forman and Godron, 1986) .
Dengan demikian, komponen sistem wilayah pesisir dapat ditelaah dari segi:
Struktur: hubungan keruangan antara ekosistem yang distinct atau elemen-elemen yang ada. Lebih spesifik, struktur keruangan dilihat dari distribusi energi, materi, serta spesies yang berkaitan dengan besar, bentuk, jumlah, jenis, serta konfigurasi dari ekosistem tersebut
Fungsi: interaksi antara elemen spasial yang berkaitan dengan "aliran" energi, material, spesies, serta proses yang dipicu oleh kegiatan manusia dalam elemen ekosistem tersebut
Perubahan: aksi yang menyebabkan perubahan struktur dan fungsi mosaik ekologis sejalan dengan waktu.
Dahuri
et al. (1996) dan Tomascik (1997)
menjelaskan bahwa pesisir dan laut Indonesia terdiri dari rangkaian sistem
ekologi yang terkait satu sama lain. Rangkaian
tersebut terdiri dari: wilayah estuaria, wilayah mangrove, wilayah padang lamun,
dan wilayah terumbu karang.
Kawasan
estuaria merupaka pertemuan antara perairan air tawar dan air laut (Wibowo
et al., 1996) . Kawasan ini
terbentuk di ujung sungai-sungai besar yang bermuara ke laut yang berpantai
landai. Bercampurnya air tawar dan
air laut menjadikan wilayah ini unik dengan terbentuknya air payau dengan
salinitas yang berfluktuasi. Perbedaan
salinitas mengakibatkan terjadinya lidah air tawar dan pergerakan massa air di
muara. Aliran air tawar dan air
laut yang terus menerus membawa mineral, bahan organik, serta sedimen dari hulu
sungai ke laut dan sebaliknya dari l;aut ke muara.
Unsur hara ini mempengaruhi produktivitas
wilayah perairan muara. Karena itu,
produktivitas muara lebih tinggi dari produktivitas ekosistem laut lepas dan
perairan tawar.
Jumlah
spesies flora dan fauna yang berada di perairan muara relatif lebih sedikit
dibandingkan dengan spesies di perairan tawar atau laut, tetapi kerapatan (jumlah
individu) dari setiap spesies relatif lebih besar (Wibowo
et al.., 1996) . Wilayah
estuaria merupakan habitat yang penting bagi sejumlah besar ikan dan udang untuk
memijah dan membesarkan anak-anaknya. Beberapa
larva ikan yang dipijahkan di laut lepas juga bermigrasi ke wilayah estuari pad
fase larvanya.
Karena
bersifat sebagai ecotone (wilayah peralihan
ekosistem) dan karakter lokasinya serta morfologinya yang landai,
estuaria sangat rentan terhadap kerusakan dan perubahan alami atau buatan.
Pembuangan limbah, penggunaan perairan sebagai sarana pengangkutan, serta
berubahnya sistem DAS, merupakan sebagian dari penyebab degradasi kualitas
ekosistem estuaria.
Ekosistem
mangrove terdiri dari hutan atau vegetasi mangrove
yang merupakan komunitas pantai tropis.
Secara umum, karakteristik habitat hutan mangrove tumbuh pada daerah
intertidal yang jenis tanahnya berlumpur, berlempung, dan/atau berpasir (Wibowo
et al., 1996, Bengen, 1999) .
Daerah habitat mangrove tergenang air laut secara berkala, setiap hari,
atau pada saat pasang purnama. Frekuensi
genangan menentukan komposisi vegetasi hutan mangrove.
Hutan mangrove menerima pasokan air tawar yang cukup dari darat serta
terlindung dari gelombang besar dan arus pasang surut yang kuat.
Habitat hutan mangrove memiliki air bersalinitas payau (2-22 bagian per
mil) hingga asin (mencapai 38 bagian permil).
Hutan mangrove banyak ditemukan di pantai-pantai teluk yang dangkal,
estuaria, dan daerah pantai yang terlindung.
Indonesia
memiliki vegetasi hutan mangrove yang keragaman jenis yang tinggi.
Jumlah jenis yang tercatat mencapai 202 jenis yang terdiri dari 89 jenis
pohon, 5 jenis palem, 19 jenis liana, 44 jenis epifit, dan 1 jenis sikas (Bengen,
1999) . Terdapat sekitar 47
jenis vegetasi yang spesifik hutan mangrove.
Dalam hutan mangrove, paling tidak terdapat salah satu jenis tumbuhan
mangrove sejati, yang termasuk ke dalam empat famili: Rhizoporaceae (Rhizophora,
Bruguiera, dan Ceriops), Sonneratiaceae (Sonneratia),
Avicenniaceae (Avicennia), dan
Meliaceae (Xylocarpus).
Pohon mangrove sanggup beradaptasi terhadap kadar oksigen yang rendah,
terhadap salinitas yang tinggi, serta terhadap tanah yang kurang stabil dan
pasang surut. Tumbuhan mangrove
merupakan sumber makanan potensial bagi semua biota yang hidup di ekosistem
mangrove (Bengen 2000, Nirarita et.al.
1996). Komponen dasar rantai
makanan di ekosistem mangrove adalah serasah yang berasal dari daun ranting,
buah, dan batang mangrove. Serasah
ini sebagian besar didekomposisi oleh bakteri dan fungi menjadi nutrien terlarut
yang dapat dimanfaatkan langsung oleh fitoplankton, algae, maupun mangrove itu
sendiri dalam proses fotosintesa. Sebagian
serasah tadi dimanfaatkan oleh udang, ikan, dsb. sebagai makanan (dalam bentuk
partikel –detritus).
Karena
karakter pohon mangrove yang khas, ekosistem mangrove berfungsi sebagai peredam
gelombang dan badai, pelindung abrasi, penahan lumpur, dan perangkap sedimen.
Ekosistem mangrove juga merupakan penghasil detritus dan merupakan daerah
asuhan (nursery ground), daerah untuk
mencari makan (feeding ground), serta
daerah pemijahan (spawning ground)
bagi berbagai jenis ikan, udang, dan biota laut lainnya.
Selain juga sebagai pemasok larva ikan, udang, dan sebagai tempat
pariwisata.
Pertumbuhan
penduduk dan kegiatan pembangunan memberikan kontribusi tinggi bagi tekanan
ekologis terhadap ekosistem pesisir, secara langsung (misalnya penebangan,
konversi lahan) dan tidak langsung (misalnya pencemaran akibat limbah padat dan
cair, serta tumpahan minyak).
Padang
lamun adalah ekosistem yang ditumbuhi lamun sebagai vegetasi yang dominan (Tomascik
et al., 1997, Wibowo et al., 1996) .
Wilayah ini terdapat antara batas terendah daerah pasang surut sampai
kedalaman tertentu di mana matahari masih dapat mencapai dasar laut.
Padang lamun mendukung kehidupan biota yang cukup beragam dan berhubungan
satu sama lain. Jaringan makanan
yang terbentuk antara padang lamun dan biota lain adalah sangat kompleks.
Di samping itu, padang lamun adalah “pengekspor”: bahan organik ke
ekosistem lain seperti ekosistem terumbu karang dan hutan bakau melalui
hewan-hewan herbivora atau melaui proses dekomposisi sebagai serasah.
Keaneka ragaman biota padang lamun adalah cukup tinggi.
Sejumlah invertebrata: moluska
(Pinna, Lambis, dan Strombus); Echinodermata (teripang - Holoturia,
bulu babi – Diadema sp.), dan
bintang laut (Archaster, Linckia);
serta Krustasea (udang dan kepiting).
Di
Indonesia, padang lamun sering di jumpai berdekatan dengan ekosistem mangrove
dan terumbu karang (Tomascik et al.,
1997, Wibowo et al., 1996) . sehingga
interaksi ketiga ekosistem ini sangat erat.
Struktur komunitas dan sifat fisik ketiga ekosistem ini saling medukung,
sehingga bila salah satu ekosistem terganggu, ekosistem yang lain akan
terpengaruh. Seperti terumbu karang,
padang lamun memperlambat gerakan arus dan gelombang.
Karenanya, sedimen yag tersuspensi dalam air akan mengendap dengan lebih
cepat. Sejumlah organisme yang
tumbuh pada daun-daun lamun juga membantu proses sedimentasi ini, yang
selanjutnya dapat menjaga kualitas ekosistem di sekitarnya yang rentan terhadap
sedimentasi.
Ancaman
terberat yang dihadapi ekosistem padang lamun adalah pembuangan limbah dan air
panas industri dan domestik. Eutrofikasi
dan sedimentasi juga menjadi ancaman yang besar bagi padang lamun yang dapat
menyebabkan layunya padang lamun akibat cendawan lumpur (Myxomycetes)
(Giesen dalam Wibowo, 1996 #30].
Gangguan fisik seperti reklamasi, pembangunan tambak memberikan pengaruh
negatif bagi eksistensi ekosistem padang lamun.
Wilayah
ekosistem terumbu karang mencakup dataran terumbu (reef bed), lereng terumbu
(fringing reef), goba (laguna yang terdapat didaerah terumbu karang), serta
gosong karang (Tomascik et al.,
1997) . Ekosistem terumbu
karang terdapat di lingkungan perairan yang agak dangkal.
Untuk mencapai pertumbuhan maksimumnya, terumbu karang memerlukan
perairan yang jernih, dengan suhu yang hangat, gerakan gelombang yang besar,
serta sirkulasi yang lancar dan terhindar dari proses sedimentasi.
Terumbu
karang merupakan ekosistem laut yang paling produktif dan paling tinggi keaneka
ragaman hayatinya. Berdasarkan data
yang dikumpulkan selama Ekspedisi Snelius II (1984), di perairan Indonesia
terdapat sekitar 350 spesies karang keras yang termasuk ke dalam 75 genera.
Kerangka hewan karang berfungsi sebagai tempat berlindung atau tempat
menempelnya biota laut lainnya. Sejumlah
ikan pelagis bergantung pada keberadan terumbu karang pada masa larvanya.
Terumbu karang juga merupakan habitat bagi banyak spesies laut.
Selain itu, terumbu karang dapat berfungsi sebagai pelindung pantai dari
erosi. Dari sisi sosial ekonomi, terumbu karang adalah sumber perikanan yang
produktif, sehingga dapat meningkatkan pendapatan nelayan, penduduk pesisir, dan
devisa negara yang berasal dari perikanan dan pariwisata.
Pembuatan
jetty, pembukaan lahan yang menyebabkan peningkatan sedimentasi, penangkapan
ikan dengan menggunakan bahan peledak dan racun, pariwisata, dan transporatsi
laut yang serampangan merupakan
ancaman terbesar bagi kondisi terumbu karang Indonesia.
Ancaman ini telah menunjukan gejala yang mengkhawatirkan sehingga kondisi
terumbu karang yang masih baik hanya tinggal 7% saja.
Di wilayah pesisir terjadi beragam kegiatan yang merupakan bagian dari sistem keruangan wilayah tersebut. Proses dan fungsi yang terjadi di dalam struktur keruangan wilayah pesisir dapat ditinjau melalui dua karakter utama yaitu: proses alami dan proses antropogenik (Pollnac and Crawford, 2000) . Masing-masing karakter kemudian akan saling mempengaruhi. Kemudian kedua proses ini akan memicu regim perubahan yang kemudian akan mempengaruhi komponen struktur wilayah pesisir (Forman and Godron, 1986) .
Sistem alami terdiri dari:
1) Sistem Biotik, yaitu yang berhubungan dengan sistem biologis dan sistem ekologis di wilayah pesisir.
Sistem kehidupan di wilayah pesisir memiliki jaring proses rantai makanan yang sangat ketat sehingga keseimbangan alaminya sangat menentukan produktivitas keluaran wilayah pesisir tersebut. Clark (1974) menjelaskan bahwa ada sebelas prinsip ekologi yang dapat mendasari fungsi pengelolaan pesisir dan laut. Prinsip-prinsip ekologi tersebut mempengaruhi berjalannya fungsi ekosistem yang optimal. Prinsip-prinsip tersebut adalah:
·
Integritas
ekosistem – tidak ada satu bagian dari ekosistem yang berjalan sendiri
·
Keterkaitan
– Air merupakan penghubung yang penting bagi elemen-elemen daratan dan lautan
dari ekosistem pesisir dan laut
·
Aliran
masuk – volume alami, pola, serta laju aliran air tawar musiman
·
Sirkulasi
cekungan (basin) – pola alami sirkulasi air dalam cekungan
·
Energi
– aliran dan jumlah energi yang ada mengatur proses hidup dalam ekosistem
pesisir
·
Penyimpan
(storage ) – kapasitas penyimpanan energi yang tinggi
·
Nitrogen
– Produktivitas perairan pesisir biasanya diatur oleh jumlah nitrogen yang
tersedia
·
Cahaya
(matahari)
·
Suhu
·
Jumlah
oksigen
·
Salinitas
2) Sistem Abiotik, yaitu sistem yang mempengaruhi bentuk bentang alam (landform) dari wilayah pesisir.
Ada tiga proses yang mempengaruhi bentuk bentang alam di wilayah pesisir (Strahler and Strahler, 1998) , yaitu: sistem geologi, sistem oseanografis dan meteorologis, serta sistem hidrologis di wilayah hulu. Sistem geologis dan oseanografis di sini dipaparkan dengan konteks Indonesia.
Sistem
geologi yang akan diuraikan secara garis besar di sini berpengaruh terhadap
karakteristik sumberdaya pesisir dan lautan.
Sistem geologi tersebut mencakup:
Sistem
gunung berapi.
Indonesia
memiliki lebih dari 500 gunung berapi muda (Neuman van Padang 1951 dalam
Tomascik et al.
1997). Van Bemmelen (1949 dalam
Tomascik 1997), menjelaskan kelompok
gunung berapi aktif di Indonesia serta rangkaiannya dalam kategori
sebagai berikut:
1.
Busur
dalam vulkanik
2. Kelompok
busur dalam vulkanik sistem pegunungan Sunda (Sumatra, Jawa, Sunda Kecil, dan
Banda)
3. zona
Minahasa – Sangihe – Ragay
4. Rangkaian
Halmahera Utara –Ternate –
Bacan
5. Busur
Ruk sepanjang garis pantai utara Papua Nugini
6. Gunung
berapi di bagian timur dari wilayah pegunungan di Papua Nugini
Busur
luar non-vukanik :
Adaman
– Nicobar;
Pulau-pulau
di sebelah barat Sumatra – lipatan bawah laut di selatan pulau Jawa –
Savu – Roti – Timor – busur luar Banda (Tanimbar – Kai – Seram;
Lipatan
Maju;
Bagian
selatan dari Vogelkop di Papua Nugini.
Rangkaian
gunung api ini berpengaruh terhadap jenis sedimentasi, bathymetri, serta deposit
dasar laut Indonesia yang kemudian berpengaruh terhadap karakter habitat hidupan
pesisir dan lautnya.
Tektonik
Indonesia
berada dalam lebih dari satu lempeng tektonik (Tomascik et.al.
1997). Zen (1993 dalam
Tomascik et al.
1997), menjelaskan bahwa kegiatan tektonik di bagian barat Indonesia, sangat
berbeda dengan kegiatan tektonik di wilayah timur Indonesia.
Tumbukan tektonik yang mencirikan sebelah barat Indonesia dengan zona
tumbukan frontal di selatan Jawa dan tumbukan miring di sebelah barat Sumatra.
Tumbukan tektonik antara lempeng Eurasia dan Indo-Australia mendominasi
wilayah tenggara Indonesia (Zen 1993 dalam
Tomascik et.al. 1997).
Karakter tektonik ini berpengaruh pada kondisi biogeografi Indonesia. Selain
berpengaruh pada kedalaman laut, kondisi tektonik ini berperan dalam pembentukan
hamparan terumbu karang, rute migrasi biota terestrial dan penghalang migrasi
biota laut, serta hubungan bentik laut dan populasi ikan.
Pengetahuan
mengenai kondisi geologi Indonesia sangat berpengaruh kepada pengetahuan dan
informasi sumberdaya pesisir dan lautan. Kegiatan
eksplorasi bagi sumberdaya pesisir dan laut yang potensial secara ekonomi sangat
dibutuhkan sehingga teknologi memegang peran yang penting bagi kebutuhan
eksplorasi tersebut.
Kepulauan
Indonesia membentang di katulistiwa dan secara strategis terletak di antara
Samudra Pasifik dan Samudra Hindia. Kepulauan
Indonesia berfungsi sebagai penghalang dan sekaligus penghubung antara ke dua
samudra di atas. Melalui Arus
Lintas Indonesia, aliran arus dari samudra Pasifik ke samudra Hindia pengaruhnya
sangat besar terhadap sirkulasi laut serta iklim global.
Dalam Tomascik (1997), beberapa sumber berpendapat bahwa sifat perairan
Pasifik barat dan bagian timur samudra Hindia sangat dipengaruhi oleh Arus
Lintas Indonesia, di samping itu Arus Lintas tersebut adalah pembawa panas dari
wilayah perairan hangat di wilayah barat Pasifik ke samudra Hindia. Peralihan
panas ini mempengaruhi luas perairan hangat wilayah barat Pasifik yang kemudian
akan berhubungan dengan terjadinya dan besarnya event El Niño/Southern
Oscillation (ENSO) yang sangat berpengaruh terhadap perubahan suhu permukaan
laut. Perubahan kecil saja pada
suhu permukaan laut memiliki efek yang besar dalam klimatologi.
Di
samping pengaruhnya terhadap proses atmosferik, Arus Lintas Indonesia berperan
penting dalam sirkulasi samudra Pasifik dan Hindia melalui alih panas, massa,
dan air tawar/asin. Gelombang
pasang surut di Indonesia dipicu oleh gelombang pasang surut
dari samudra Pasifik dan Hindia. Gelombang
pasang surut terdistorsi oleh kondisi batimetri yang rumit dan bentuk pesisir
kepulauan Indonesia. “Gangguan”
terhadap gelombang pasang surut memiliki dua efek global, yaitu; ada sebagian
besar energi planet yang terdifusikan oleh campuran gelombang pasang surut yang
berlangsung di kepulauan Indonesia yang kemudian berpengaruh kepada perlambatan
rotasi bumi dan memperpanjang waktu siang hari; serta arus pasang surut memiliki
peran penting dalam peralihan dan pencampuran karakter laut Indonesia.
Sistem
hidrologis
Karena
lokasinya yang merupakan peralihan antara daratan dan lautan, kondisi
keseimbangan wilayah pesisir sangat rentan terhadap perubahan di wilayah hulu.
Pencemaran di wilayah pesisir sebagian besar berasal dari aliran sungai
serta sumber pencemaran yang non-point.
Dengan demikian, sistem hidrologis dari daerah aliran sungai (watershed)
memegang peran yang penting dalam menentukan kondisi wilayah pesisir tersebut (Volk,
2000) .
Keunikan wilayah pesisir tidak hanya dari proses alami yang sangat erat kaitan antar elemen sistemnya. Secara umum wilayah pesisir memiliki nilai ekonomi yang sangat tinggi yang dapat mengahasilkan manfaat yang besar (Delaware, 1999) . Dengan mosaik ragam ekosistem dan sumberdayanya, wilayah pesisir dan laut merupakan ruang yang sangat strategis secara ekonomi dan kesejahteraan sosial populasi penduduk yang ada di dalamnya.
Wilayah pesisir dihuni oleh lebih dari setengah penduduk dunia . Namun, wilayah pesisir hanya melingkup 10 persen ruang yang dihuni (Pernetta and Elder, 1993) . Dua-per-tiga kota besar di dunia berlokasi di wilayah pesisir dan populasi wilayah pesisir tumbuh dengan laju yang lebih tinggi dari pada populasi di wilayah daratan (Laporan World Bank 1994 dalam Delaware, 1999) . Menurut laporan World Bank tahun 1994 dalam Delaware, 1999) ini pula menyatakan bahwa akhir abad ke dua puluh, dua-per-tiga penduduk negara berkembang akan tinggal di wilayah pesisir.
Di Indonesia, ikan merupakan sumber protein utama yang terjangkau bagi 60% masyarakat (Fauzi, 1998) . Dari sektor perikanan, sumberdaya kelautan yang termasuk perikanan primer saja menyumbang kepada sektor pertanian dalam Produk Domestik Bruto sebesar 12,5% (BPS 1998 dalam PKSPL-IPB, 1999) . Kegiatan ekonomi di wilayah pesisir dan laut mempekerjakan sekitar 14 juta orang (Effendi, 1999) . Ketergantungan masyarakat Indonesia terhadap nilai ekonomi sumberdaya pesisir dan laut telah membentuk kondisi sosial dan budaya. Ketergantungan ini kemudian memicu perubahan keseimbangan sistem wilayah pesisir dan lautan.
Seperti halnya di sistem bentang alam yang lain, perubahan di wilayah pesisir mengalami perubahan yang disebabkan oleh perubahan-perubahan keseimbangan komponen sistem yang lain (Forman and Godron, 1986, Gunawan, 1994) . Sumberdaya pesisir biasanya dikategorikan menjadi sumberdaya yang pulih dan tidak pulih (Conrad, 1999) dimana masing-masing memiliki karakteristik yang sangat berbeda. Sumberdaya alam yang pulih dan yang tidak pulih memiliki karakter rentang waktu yang berbeda, dengan demikian, pemanfaatannya harus ditangani secara berbeda pula. Dalam sumberdaya alam yang tidak pulih, biaya eksploitasi biasanya dimasukkan ke dalam komponen biaya yang akan dibebankan kepada komsumen. Sedangkan sumberdaya alam yang pulih, siklus pemulihan (recovery) dari cadangan sumberdaya harus menjadi pertimbangan utama dalam pemanfaatan sumberdaya tersebut.
Dilihat dari siklus pembaharuan alami sumberdaya, (Perrings et al., 1997) , sumberdaya alam memiliki fungsi dimana fungsi ini adalah dasar dari kemampuan sumberdaya alam untuk mengatur sendiri (self regulating function) (Gambar 4). Siklus pengaturan sendiri tersebut terdiri dari:
Eksploitasi (exploitation) – yaitu kolonisasi dari suatu daerah yang baru saja mengalami perubah
Konservasi (conservation) – yaitu tahap dimana akumulasi serta penyimpanan energi dan material secara perlahan berlangsung
Pelepasan (release) – yang disebut pula sebagai pengrusakan kreatif (creative destruction), yaitu tahap dimana akumulasi biomas dan nutrien yang tinggi hingga menjadi rentan (overconnected) sampai pada akumulasi tersebut dilepaskan oleh suatu agen seperti kebakaran hutan, badai, hama, dan sebagain
Reorganisasi (reorganization) – yaitu tahap dimana setelah terjadi pelepasan (release) ekosistem melakukan proses minimisasi hilangnya nutrien dan biomas sehingga nutrien dan biomas tersebut siap untuk tahap eksploitasi berikutnya.
Secara
garis besar perubahan keseimbangan ini dapat memiliki karakteristik yang rutin,
yang sifatnya siklus, serta perubahan yang sifatnya sporadik baik dalam besaran
maupun temporal. Seperti telah
dikemukakan, perubahan dapat dipicu oleh proses alami maupun antropogenik.
Perubahan karena proses alam dapat berupa angin puyuh, taifun, naiknya
permukaan air laut, serta erosi dan abrasi.
Perubahan yang sifatnya sporadic dan jangka pendek seringkali disebabkan
oleh kegiatan manusia. Kegiatan
manusia merupakan tekanan terbesar yang merubah struktur dan fungsi wilayah
pesisir. Kemudian, perubahan terhadap wilayah pesisir kemudian berakibat pada
kondisi struktur keruangan wilayah pesisir dan proses yang terjadi di dalamnya.
Dalam menerima
Perubahan keseimbangan yang menurunkan kualitas dan kuantitas sumberdaya pesisir sebagian besar disebabkan oleh tekanan yang ditimbulkan oleh manusia, utamanya oleh pertumbuhan populasi di wilayah pesisir (Delaware, 1999) . Sejalan dengan pertumbuhan penduduk, kebutuhan akan sumberdaya pesisir meningkat. Beberapa contoh adalah pembangunan infrastuktur, transportasi, serta konsumsi hasil sumberdaya pesisir, baik secara ruang, maupun secara material. Di samping kebutuhan konsumsi, limbah produk dan kegiatan juga menimbulkan perubahan keseimbangan di wilayah pesisir. Pencemaran perairan pesisir dapat menurunkan secara drastis produksi perikanan (Chua dalam Delaware, 1999) .
Perubahan keseimbangan ini akan menimbulkan perubahan alokasi sumberdaya bagi seluruh stakeholders yang ada di wilayah pesisir. Dengan demikian, perubahan ini akan mempengaruhi kondisi masalah, tujuan pengelolaan, kapasitas produksi, konstituensi, serta institusi dalam pengelolaan sumberdaya pesisir.
Kegiatan pembangunan wilayah pesisir dapat mempengaruhi ekologi wilayah pesisir serta fungsi dan proses dari pesisir dan laut serta sumberdayanya. Pembangunan industri di wilayah pesisir dapat menurunkan produktivitas lahan basah dengan menambahkan pencemar seperti logam berat, serta mengubah pola sirkulasi air dan suhu. Kegiatan akuakultur seringkali mengalih-fungsikan mangrove menjadi tambak, menyebabkan terganggunya fungsi dan proses yang ada di sistem mangrove, seperti fungsi daerah penyangga bagi badai pesisir dan abrasi, serta sebagai nursery bagi banyak hidupan yang laut yang ekonomis.
Konflik yang sering terjadi di wilayah pesisir dan berkaitan dengan sumberdayanya dapat diklasifikasikan menjadi dua jenis, yaitu:
o Konflik di antara pengguna yang mengenai pemanfaatan daerah pesisir dan laut tertentu.
o Konflik di antara lembaga pemerintah yang melaksanakan program yang berkaitan dengan pesisir dan laut.
Menurut Miles 1991 (dalam Delaware, 1999) , konflik antar pengguna melingkup:
o kompetisi terhadap ruang dan sumberdaya pesisir dan laut
o Dampak negatif dari suatu kegiatan pemanfaatan terhadap kegiatan yang lain
o Dampak negatif terhadap ekosistem
Sementara konflik antar lembaga menurut Miles 1991 dalam (Delaware, 1999) sering kali disebabkan oleh ketidak jelasan mandat hukum dan misi yang berbeda, perbedaan kapasitas, perbedaan pendukung atau konstituensi, serta kurangnya komunikasi dan informasi (Cicin-Sain, 1992) .
Kegiatan manusia di wilayah pesisir telah menimbulkan perubahan yang mengarah pada peningkatan pencemaran. Melalui badan-badan air bahan pencemar mencapai wilayah pesisir dan berakibat pada turunnya produktivitas habitat. Selain itu, pencemaran pesisir juga membahayakan kesehatan penduduk di wilayah pesisir. Sebagai gambaran, pencemaran mercury di Teluk Jakarta telah mencapai tingkat yang mengkhawatirkan (Dutton, 2000) . Pencemaran pesisir juga mengancam industri yang berbasiskan air seperti akuaculture, perikanan, dan pariwisata.
Pemanfaatan sumberdaya pesisir yang berorientasi pada produksi tanpa memperhatikan proses dan siklus perubahan dalam sumberdaya wilayah pesisir dan laut menyebabkan siklus pemulihan yang dimiliki oleh sumberdaya pesisir terganggu. Orientasi pada output produksi juga telah menyebabkan rusaknya habitat dalam ekosistem pesisir. Hal ini kemudian menyebabkan penurunan kualitas dan kuantitas sumberdaya wilayah pesisir. Over-fishing telah menurunkan hasil tangkap dan dengan demikian menurunkan penghasilan dari perikanan. Sekitar 80% terumbu karang di wilayah timur Indonesia telah rusak karena perikanan dengan cara yang merusak. Sebuah penelitian oleh (Pet-Soede et al., 1999) , menunjukan bahwa kerugian ekonomi akibat pemboman ikan setelah 20 tahun dapat mencapai US$ 306,800 per kilometer persegi. Angka ini mencerminkan biaya bagi masyarakat, dimana biaya ini adalah empat kali lebih besar dari manfaat total (total benefit) kegiatan ini.
PWPT adalah suatu proses yang menyatukan pemerintah, masyarakat (komunitas), ilmu pengetahuan dan pengelolaan, kepentingan sektoral dan kepentingan umum (publik) dalam menyiapkan dan melaksanakan suatu pengelolaan yang terpadu untuk perlindungan dan pembangunan ekosistem pesisir dan sumberdayanya ((GESAMP) and _IMO/FAO/UNESCO-IOC/WMO/WHO/IAEA/UN/UNEP, 1996)
Tujuan umum dari PWPT adalah untuk memperbaiki kualitas hidup komunitas manusia yang tergantung pada sumberdaya pesisir dengan memelihara keanekaragaman hayati dan produktivitas sumberdaya dan ekosistem wilayah pesisir ((GESAMP) and _IMO/FAO/UNESCO-IOC/WMO/WHO/IAEA/UN/UNEP, 1996) .
VI. PRINSIP-PRINSIP
PENGELOLAAN YANG DIUSULKAN
PWPT harus berupa proses yang bersifat berkesinambungan (continuous), interaktif, adaptif, dan partisipatif. Dengan demikian, PWPT harus mengedepankan faktor-faktor berikut:
o permintaan (demand) yang bersilangan satu sama lain di wilayah pesisir. Demand ini dapat timbul dari dalam atau pun dari luar wilayah pesisir
o peningkatan populasi penduduk dan permintaan yang berkaitan dengan pembangunan ekonomi di wilayah pesisir
o kejadian/perubahan alam yang sifatnya sporadik dan stokastik (probabilistic), seperti intensitas dan durasi badai; frekuensi, kualitas, dan kuantitas aliran masuk air tawar ke wilayah pesisir, serta fenomena alam yang lain
o Laju dan besar (magnitude) proses alam seperti erosi dan akresi; suksesi ekologis; turun atau naiknya tanah (subsidence atau uplift)
o Kapasitas pengelolaan yang terbatas, karena ragam permintaan terhadap produk dan jasa
o Ketidak-pastian akan variable-variable yang terlingkup dalam PWPT, seperti program dan kebijakan pemerintah, kondisi dan kecenderungan demografis dan ekonomis, perilaku dan cita rasa masyarakat, perubahan teknologi, dan faktor harga
Ketidak-pastian akan variable-variable yang terlingkup dalam PWPT, seperti program dan kebijakan pemerintah, kondisi dan kecenderungan demografis dan ekonomis, perilaku dan cita rasa masyarakat, perubahan teknologi, dan faktor harga
Perubahan kondisi klimat secara global dan pengaruh jangka panjangnya terhadap ekosistem pesisir dan terhadap kegiatan manusia di wilayah pengelolaan PWPT.
Dengan demikian, PWPT harus sejalan dengan:
a. Prinsip-prinsip yang berkaitan dengan lingkungan hidup dan pembangunan (Cicin-Sain and Knecht, 1998) yang secara garis besar dapat dijabarkan sebagai berikut:
Prinsip hubungan timbal-balik dan keterpaduan
Prinsip persamaan dan keadilan dalam dan antar generasi
Prinsip pengakuan hak untuk pembangunan
Prinsip perlindungan lingkungan hidup
Prinsip kehati-hatian
Prinsip bahwa biaya lingkungan akibat kegiatan ekonomi tidak dibebankan pada masyarakat ("polluter pays" principle)
Prinsip transparansi dan prinsip yang berorientasi pada proses
b. Prinsip-prinsip yang berkaitan dengan Karakter Khusus Pesisir dan Laut (Cicin-Sain and Knecht, 1998) . Prinsip-prinsip ini terdiri dapat dikelompokkan menjadi tiga kategori:
o Prinsip yang berkaitan dengan karakter publik dari laut
o Prinsip yang berkaitan dengan karakter biofisik dari wilayah pesisisr
o Prinsip yang berkaitan dengan pemanfaatan sumberdaya serta ruang pesisir dan laut.
VII. PENGELOLAAN
WILAYAH PESISIR YANG BERKELANJUTAN
Sesuai dengan prinsip-prinsip yang berkenaan dengan karakter khusus pesisir dan laut yang telah ditelaah di atas, pengelolaan wilayah pesisir dan laut yang terpadu mencakup:
Prinsip yang berkaitan dengan karakter publik pesisir dan laut menuntut pengambilan keputusan yang bersifat perlindungan terhadap kepentingan seluruh lapisan komunitas pesisir serta perlindungan terhadap kepentingan persamaan dan keadilan antar generasi.
Sehingga prioritas perlindungan sumberdaya mencakup:
perlindungan sumberdaya yang hidup serta habitatnya dari eksploitasi
pemanfaatan non-eksklusif
pemanfaatan eksklusif yang pulih
identifikasi potensi konflik
Perlindungan khusus harus dilakukan terhadap ekosistem yang langka dan rentan serta spesies langka dan hampir punah untuk memastikan bahwa keanekaragaman hayati dari ekosistem wilayah pesisir tetap utuh.
Penelitian dan analisa ilmiah yang terus-menerus diperlukan untuk memonitor serta mengawasi keberadaan dan kualitas sumberdaya pesisir dan laut, sebagaimana dicantumkan dalam Principle 15 Deklarasi Rio (dalam Delaware, 1999) : "Pada saat terjadi ancaman kerusakan yang serius atau tak terpulihkan, kurangnya penelitian ilmiah tidak dapat menjadi alasan untuk menunda penerapan ukuran dan standard dalam pencegahan kerusakan lingkungan".
Kesadaran masyarakat akan pentingnya sumberdaya pesisir dan laut harus dibangkitkan secara terus menerus. Strategi yang digunakan untuk pendidikan dalam rangka perlindungan daya dukung wilayah pesisir dan lautan ini harus dapat mengubah perspektif pemanfaatan dan eksploitasi menjadi perspektif konservasi. Namun demikian, perspektif konservasi harus ditekankan pemahamannya dalam kaitan dengan pemanfaatan. Strategi yang digunakan harus bersifat multi-media, multi-target, dan multi-objektif.
Dengan demikian, strategi pendidikan bagi kesadaran masyarakat berbentuk intervensi sosial yang bertujuan untuk mengubah kesadar-tahuan menjadi etika lingkungan hidup. Perubahan ini diharapkan dapat masuk kedalam sistem nilai dan kepercayaan yang ada dan kemudian dapat menjadi bagian dari gaya hidup dan perilaku (gambar 5).
Strategi pendidikan bagi perlindungan daya dukung wilayah pesisir dan laut harus mencakup jangka panjang melalui pendidikan formal, jangka menengah melalui pelatihan-pelatihan serta jangka pendek melalui kampanye penyadaran lingkungan yang terus menerus. Indikator yang digunakan adalah indikator perbaikan kondisi biologis dan ekologis sumberdaya alam serta peningkatan ekonomi dan kesejahteraan sumberdaya manusia.
Penyediaan dan pencarian data dan informasi menjadi prioritas dalam kaitannya dengan pembangunan konsensus. Dengan demikian, data dan informasi menjadi isu bersama dalam setiap tingkat pengambilan keputusan. Data dan informasi juga menjadi tulang punggung perencanaan ruang. Penyediaan pencarian data dan informasi diusahakan dengan menggunakan teknologi dan pengetahuan yang terkini, (seperti penginderaan jauh, sistem informasi geografis, dan sistem posisi kebumian - GPS, serta perangkat teknologi lingkungan) sehingga keakuratan data dan informasi yang didapat menjadi optimal. Data dan informasi yang akurat diperlukan bagi penataan ruang dan penetapan standar dan kriteria yang diperlukan bagi pengelolaan.
Perencanaan tata ruang wilayah ditujukan untuk kegiatan jangka pendek dan panjang dalam wilayah pesisir. Pembangunan di wilayah pesisir yang bergantung pada ketersediaan air harus diprioritaskan. Wilayah/ruang atau sumberdaya yang dinyatakan sebagai milik adat (ulayah) harus diberi pengakuan serta sedapat mungkin diterapkan tata-cara tradisional yang berkaitan dengan sumberdaya pesisir dan laut. Akses publik kepada wilayah pesisir dan laut juga harus menjadi pertimbangan utama bagi PWPT.
Di wilayah pesisir, air adalah daya yang mempersatukan sistem sumberdaya, karena air memiliki mekanisme sebagai interface daratan dan lautan. Dalam penataan ruangnya, PWPT harus mempertimbangkan interaksi yang terjadi di batas laut dan daratan dan mensyaratkan bahwa sistem di wilayah hulu, wilayah daratan, wilayah pasang surut, wilayah perairan dangkal, serta wilayah perairan laut lepas dikelola sebagai satu kesatuan yang integral.
Bentuk bentang alam yang berhadapan dengan sisi muka perairan seperti mangrove, terumbu karang tepi, serta gunungan pasir (sand dunes) berperan sebagai pelindung erosi dan naiknya muka air laut. Dengan demikian bentuk-bentuk bentang alam ini harus dipertahankan. Dalam kaitan dengan wilayah daratan pesisir seperti rawa asin, lahan basah pesisir, serta habitat pesisir lain, karena kepekaan dan kerentanannya, harus dipertahankan seoptimal mungkin. Konsep perancangan dengan alam (designing with nature) harus sedapat mungkin diterapkan. Sebagai contoh penggunaan vegetasi khusus bagi pencegahan erosi. Dalam kegiatan pembangunan, interupsi terhadap sistem longdrift alami harus dibatasi seminimal mungkin.
Berkaitan dengan penelitian tentang perubahan iklim global, pengaruh negatif di wilayah pesisir seperti peningkatan laju erosi, banjir, serta intrusi air laut harus dipertimbangkan dalam perencanaan.
Dalam pelaksanaan PWPT, kapasitas kelembagaan di tingkat nasional, provinsial, dan lokal harus dikuatkan. Kapasitas kelembagaan tersebut mencakup:
o Kapasitas hukum dan administrasi
o Kapasitas pendanaan
o Kapasitas teknis
o Kapasitas sumberdaya manusia
Sehingga pelaksanaan, pemantauan (monitoring) PWPT, resolusi konflik serta pentaatan hukum dapat berjalan.
Gambar 6 merangkum garis besar pemikiran dan konsep pengelolaan sumberdaya pesisir yang berkelanjutan.
GESAMP and IMO/FAO/UNESCO-IOC/WMO/WHO/IAEA/UN/UNEP (1996). The Contribution of Science to Integrated Coastal Management, FOOD AND AGRICULTURE ORGANIZATION OF THE UNITED NATIONS, Rome.
Bengen, D. G. (1999) Pedoman Teknis Pengenalan & Pengelolaan Ekosistem Mangrove, PKSPL-Institut Pertanian Bogor dan Proyek Pesisir, Bogor.
Cicin-Sain, B. (1992) Research Agenda on Ocean Governance In Ocean Governance:A New Vision(Ed, Cicin-Sain, B.) University of Delaware, Center for the Study of Marine Policy, Newark, Delaware, pp. 9-16.
Cicin-Sain, B. and Knecht, R. W. (1998) Integrated Coastal Zone Management: Concepts and Practices, Island Press, Washington D.C.
Conrad, J. M. (1999) Resource Economics, Cambridge University Press, Cambridge.
Costanza, R. (Ed.) (1991) Ecological Economics: The Science and Management of Sustainability, Columbia University Press, New York.
Delaware (1999) University of Delaware, NOAA's National Ocean Service, Intergovernmental Oceanographic Commission, The World Bank, , pp. 50.
Dutton, I. M. (2000) In Seminar on the Future of Jakarta Bay Bapedal and DKI Jakarta, Jakarta, Hotel Horison, Ancol, pp. 24pp.
Effendi, E. (1999) Penilaian Ekonomi Sumberdaya: Suatu Peralatan Teknis dalam Membantu Penyempurnaan Kebijakan Pengelolaan Kawasan Konservasi, Natural Resources Management Program, Jakarta.
Fauzi, A. (1998) In Department of Economics Simon Fraser University, Canada, .
Forman, R. T. T. and Godron, M. (1986) Landscape Ecology, John Wiley & Sons, New York, USA.
Grant, W. E., Pedersen, E. K. and Marin, S. L. (1997) Ecology and Natural resources Management: System Analysis and Simulation, John Willey & Sons, New York.
Gunawan, I. (1994) A Methodological Approach to Sustainable Resources Utilization in Indonesia: Integrating Geographic Information Systems, Mathematical Modeling, and Expert Systems, Unpublished Dissertation, College Station, TX.
Hall, C. A. S. and John W. Day, J. (Eds.) (1977) Ecosystem Modeling in Theory and Practice: An Introduction with Case Histories, John Wiley & Sons, New York.
Kay, R. and Alder, J. (1999) Coastal Management and Planning, E & FN SPON, New York.
Pernetta, J. C. and Elder, D. L. (1993) World Conservation Union, Gland, Switzerland.
Perrings, C., Maler, K.-G., Folke, C., Holling, C. S. and Jansson, B.-O. (Eds.) (1997) Biodiversity Loss - Economic and Ecological Issues, Cambridge University Press, New York, USA.
Pet-Soede, C., Cesar, H. S. J. and Pet, J. S. (1999) An Economic Analysis of Blast Fishing on Indonesian Coral ReefsEnvironmental Conservation, 26, 83-93.
PKSPL-IPB (1999) Studi Kajian Kebutuhan Investasi Pembangunan Perikanan dalam Lima Tahun Mendatang, Pusat Kajian Sumberdaya Pesisir dan Lautan - IPB, Bogor.
Pollnac, R. B. and Crawford, B. R. (2000) Assessing Behavioral Aspects, Proyek Pesisir, Coastal Resources Center - University of Rhode Island, Narragansett, Rhode Island USA.
Strahler, A. and Strahler, A. (1998) Introducing Physical Geography, John Willey & Sons, New Yerk.
Tomascik, T., Mah, A. J., Nontji, A. and Moosa, M. K. (1997) The Ecology of the Indonesian Seas - Part One, Periplus Editions (HK) Ltd., Singapore.
Volk, R. (2000) As Water Flows, So Goes the Health of Our CoastsInterCoast, Spring 2000, 2-3.
Wibowo, P., Nirarita, C. E., Susanti, S., Padmawinata, D., Kusmarini, Syarif, M., Hendriani, Y., Kusniangsih and Sinulingga, L. b. (1996) Ekosistem Lahan Basah Indonesia: Buku Panduan untuk Guru dan Praktisi Pendidikan, Wetlands International Indonesia Programme, Bogor.