MakalahPPs702 k2 012

 

Copyright ©  2001  Program Pasca Sarjana IPB
Re-edited 20 July 2001, Rudy C Tarumingkeng, PhD

  

Makalah Kelompok II

Falsafah Sains (PPs 702)

Program Pasca Sarjana

Institut Pertanian Bogor

Maret 2001

 

Dosen:

Prof Dr Ir Rudy C Tarumingkeng (Penanggung Jawab)

Prof Dr Ir Zahrial Coto

 

TINJAUAN EKONOMI DAN EKOLOGI PENGELOLAAN SUMBERDAYA ALAM DALAM PERSPEKTIF OTONOMI DAERAH

 

 

Oleh:

Yusran (Ketua), Agus Setiawan (Editor),  Abdul Haris, Adi Santoso, , Fadjry Djufry, Faizah Hamzah, Hery Winarsi, Hudiana Hernawan, Impron, Laura Siahaineia, Mahfudz, Makhfud Efendy, Marjani Sultan, Nursamran Subandi, Pujiyanto, Rindam Latief, Simon Tubalawony, dan Wardah.

 

PENGANTAR

Makalah dengan judul  Pengelolaan Sumberdaya Alam Dalam Perspektif Otonomi Daerah: Suatu Tinjauan Ekonomi Dan Ekologi  disusun sebagai tugas kelompok dalam Mata Kuliah Pengantar ke Falsafah Sains (PPS-702). 

Pengambilan judul tersebut didasarkan pada pertimbangan bahwa:

  1. Aspek pengelolaan sumberdaya alam merupakan hal yang sangat strategis dalam pembangunan suatu area, baik negara, propinsi, maupun kabupaten/kota,

  2. Indonesia sekarang ini berada pada tahap awal pelaksanaan otonomi daerah yang diperkirakan akan menghadapi beberapa persoalan berkaitan dengan pengelolaan sumberdaya alam.  Oleh karena itu, selain untuk memenuhi tugas mata kuliah, makalah ini diharapkan dapat menjadi sumbangan pemikiran yang dapat dijadikan masukan oleh pihak yang berkepentingan.

Kepada Prof. Dr. Ir. Rudy C. Tarumingkeng  dan Prof. Dr. Ir. Zahrial Coto, sebagai dosen pengasuh mata kuliah, serta kepada Bapak-bapak dan Ibu-ibu yang telah memberikan masukan dan inspirasi kami mengucapkan terima kasih.

   Semoga makalah ini bermanfaat.

Bogor,  20 Maret 2000

 

PENGANTAR

PENDAHULUAN 

KARAKTERISTIK SUMBERDAYA ALAM

MASALAH-MASALAH PENGELOLAAN SUMBERDAYA ALAM DALAM
    PERSPEKTIF OTONOMI DAERAH 

STRATEGI PENGELOLAAN SUMBERDAYA ALAM

KESIMPULAN 

DAFTAR PUSTAKA 

 

PENDAHULUAN

Latar Belakang

 Sumberdaya alam (SDA) merupakan unsur lingkungan hidup manusia yang sangat penting.  Manusia hidup dan berkembang dengan memanfaatkan SDA yang ada di lingkungannya, yang meliputi tanah, air, udara (atmosfer), flora, fauna, mikroorganisme, mineral, dan energi.  Eksistensi dan martabat manusia atau suatu bangsa sangat tergantung pada kemampuannya mengelola SDA dan menjadikannya dalam bentuk tersedia, siap dimanfaatkan untuk memenuhi dan meningkatkan kualitas hidupnya.  Jika suatu bagian dari sumberdaya alam tersebut tidak dapat dipenuhi dari lingkungannya, mereka akan bergerak mencari lingkungan baru yang mampu mendukung kehidupannya (Alikodra, 2000) atau mencari dan mengadakan SDA tersebut hingga tersedia di lingkungannya.    

          Indonesia merupakan negara yang kaya potensi SDA. Indonesia memiliki daratan yang luas (terdiri atas 17.508 pulau) dan laut yang luas (3,8 juta km2).  Daratannya ditumbuhi dengan hutan tropis seluas kurang lebih 139 juta ha (Gumbira 2001) yang ditumbuhi berbagai jenis flora dan sebagai habitat berbagai jenis fauna. Dengan laut yang luas, panjang garis pantai sekitar 81.000 km, dan terumbu karang   65.000 km2, Indonesia memiliki potensi sumberdaya ikan lestari 6,7 juta ton per tahun (Ditjen Perikanan, 2000). Di samping itu masih terdapat kekayaan yang tersimpan dalam perut bumi seperti minyak bumi, gas bumi, dan berbagai bahan mineral.  Apabila dikelola dengan baik maka potensi SDA tersebut dapat memenuhi kebutuhan dan kesejahteraan rakyat Indonesia.

          Sebagaimana diamanatkan oleh Undang-undang Dasar Republik Indonesia 1945, kekayaan berupa SDA tersebut seyogyanya dipergunakan bagi sebesar-besar kemakmuran rakyat.  Akan tetapi, fakta menunjukkan bahwa pengelolaan SDA yang selama ini dilaksanakan belum sesuai dengan amanat UUD tersebut.

          Menurut Penjelasan UU RI Nomor 28 Tahun 1999, ketidakadilan tersebut terjadi sebagai akibat adanya pemusatan kekuasaan, wewenang, dan tanggung jawab pada Presiden (Annonimous 1999).  Untuk mencapai tujuan pemanfaatan SDA yang lebih adil seperti yang diamanatkan UUD RI 1945 pemerintah telah mengundangkan UU RI Nomor 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah.  Salah satu bagian konsideran UU RI Nomor 22 tersebut menyatakan bahwa dipandang perlu untuk menyelenggarakan Otonomi Daerah dengan memberikan kewenangan yang luas, nyata dan bertanggung jawab kepada daerah secara proporsional yang diwujudkan dengan pengaturan, pembagian, dan pemanfaatan sumberdaya nasional, sesuai dengan prinsip-prinsip demokrasi, peran serta masyarakat, pemerataan, dan keadilan serta potensi, dan keanekaragaman daerah. 

          Salah satu pertanyaan atau tantangan yang mendasar adalah “bagaimanakah agar dengan Otonomi Daerah dapat dicapai pemanfaatan SDA yang adil dan berkelanjutan (equitable dan sustainable)?”. Agar SDA tersebut dapat memenuhi kebutuhan hidup manusia secara berkelanjutan dan berkeadilan, untuk generasi sekarang dan generasi yang akan datang, maka diperlukan kearifan dengan berpedoman kepada karakteristik SDA tersebut dan norma-norma yang berlaku.

Tujuan dan Manfaat Penulisan

 Tujuan penulisan makalah ini adalah mendeskripsikan karakteristik SDA, menganalisis masalah-masalah pengelolaan SDA yang mungkin timbul sehubungan dengan Otonomi Daerah dan menguraikan strategi pengelolaan SDA berkelanjutan.

  Manfaat penulisan adalah memberikan pemahaman tentang pengelolaan SDA sebagai bahan masukan dalam rangka penyelenggaraan otonomi daerah.

 Batasan dan Metoda Penulisan

 Pembahasan perspektif otonomi daerah dalam tulisan ini dibatasi pada kewenangan pengelolaan SDA. 

Analisis dilakukan melalui diskusi dengan mendasarkan pada pendapat para ahli (yang tertuang dalam bentuk makalah dan buku), Undang-undang, dan Peraturan Pemerintah.

 KARAKTERISTIK SUMBERDAYA ALAM

Sumberdaya alam mencakup pengertian yang sangat luas, merupakan unsur pembentuk lingkungan yang sangat kompleks, dinamis, satu sama lain saling berinteraksi. Owen (1980) mendefinisikan SDA sebagai bagian dari lingkungan alam (tanah, air, padang penggembalaan, hutan, kehidupan liar, mineral atau populasi manusia) yang dapat digunakan manusia untuk meningkatkan kesejahteraan hidupnya.  Berdasarkan sifatnya Owen (1980) mengelompokkan SDA yang Inexhaustible dan Exhaustible (Gambar 1). 

SDA Inexhaustible adalah sumberdaya alam yang tidak akan habis.  Akan tetapi tidak berarti ketersediaannya tidak  terbatas, bahkan apabila salah kelola sumberdaya alam tersebut dapat mengalami kerusakan sehingga tidak dapat berfungsi secara optimal.  Misalnya, jika terjadi kerusakan daerah tangkapan sungai yang menyebabkan air tidak dapat meresap ke dalam tanah, maka air akan lebih banyak mengalir sebagai aliran permukaan yang akan menimbulkan erosi, sedimentasi, banjir pada musim hujan, dan kekurangan air pada musim kemarau dan banyak lagi dampak terusannya.

 SDA exhaustible merupakan sumberdaya yang dapat habis, sekali kita gunakan habis maka sumberdaya tersebut tidak akan ada lagi (Setidaknya diperlukan ratusan bahkan ribuan tahun untuk pembentukannya, misalnya pembentukan tanah memerlukan waktu 500.000 taun) (Alikodra 2000).  SDA exhaustible dikelompokan lagi menjadi SDA maintainable dan nonmaintainable. 

Pengelompokan karakteristik SDA ini merupakan rambu-rambu bagi kita untuk berfikir bijak dalam mengelolanya agar diperoleh hasil yang optimal.


 

Karakteristik penting lain dari SDA adalah penyebarannya tidak merata di permukaan atau di dalam perut bumi.  Di beberapa tempat terdapat potensi sumberdaya yang beranekaragam dengan jumlah yang banyak.  Sementara di daerah lain jenis dan jumlahnya sedikit. 

 MASALAH-MASALAH PENGELOLAAN SUMBERDAYA ALAM
  
DALAM PERSPEKTIF OTONOMI DAERAH

 Sumberdaya alam merupakan modal penting dalam menggerakkan roda pembangunan di suatu daerah, baik dalam konteks negara, propinsi ataupun kabupaten. Oleh karenanya, aspek pemanfaatan sumberdaya alam merupakan suatu yang sangat strategis dalam menentukan jumlah penerimaan  atau tingkat konstribusinya dalam pembentukan modal pembangunan.  Pengelolaan SDA dalam perspektif Otonomi Daerah pada dasarnya adalah power sharing kewenangan pengelolaan SDA antara Pemerintah dengan Propinsi dan kabupaten/kota.

Menurut Undang-undang Nomor 22 tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah, kewenangan pendayagunaan sumberdaya alam strategis berada pada Pemerintah Pusat (Pasal 7), walaupun demikian daerah berwenang untuk mengelola sumberdaya nasional (sumberdaya alam, sumberdaya buatan, dan sumberdaya manusia) yang tersedia di wilayahnya (Pasal 10 dan penjelasnnya). 

Beberapa masalah yang mungkin timbul sehubungan dengan adanya otonomi ini antara lain adalah:

  1. Timbulnya daerah miskin dan kaya.  Seperti telah dikemukakan, penyebaran SDA di Indonesia tidak merata sehingga akan terdapat daerah yang kaya dan miskin potensi SDA.  Secara nasional kemungkinan akan menimbulkan ketimpangan kesejahteraan.

  2. Konflik pemanfaatan sumberdaya lintas kabupaten/kota.  Misalnya,  pemanfaatan sungai atau daerah tangkapan hujan di daerah hulu, dapat berdampak negatif terhadap kabupaten di daerah hilir.   Sementara, pemeliharaan sungai atau daerah tangkapan hujan yang dilakukan oleh kabupaten di daerah hulu belum tentu mendapat insentif dari kabupaten daerah hilir.  SDA lainnya adalah hutan dan mineral yang terdapat dalam satu hamparan yang berbatasan antar kabupaten.

  3. Konflik pemanfaatan sumberdaya open access (laut), misalnya nelayan yang berasal dari suatu kabupaten tidak boleh mengambil ikan di wilayah perairan kabupaten lain.

  4. Pengurasan SDA; dalam kaidah ekologi, suatu ekosistem yang kuat cenderung mengeksploitasi ekosistem yang lemah.  Sebagai ekosistem, untuk mengejar ketertinggalannya suatu kabupaten/kota akan mengeksploitasi sumberdaya secara besar-besaran, mengorbankan kepentingan jangka panjang untuk kepentingan jangka pendek.  Hal ini dapat timbul masalah lingkungan yang serius.

  5. Potensi sumberdaya manusia; kualitas sumberdaya manusia antara lain ditentukan dengan penguasaan ilmu, teknologi, dan informasi.  Kita harus mengakui realita bahwa masih banyak daerah-daerah yang potensi sumberdaya manusianya masih rendah.  Ini akan sangat berpengaruh terhadap produktivitas, efektivitas, dan efisiensi pemanfaatan SDA.

Pembangunan di suatu daerah otonom memperlihatkan kecenderungan untuk meletakkan tekanan utama pada maksimisasi manfaat ekonomi bersih (net economic benefit) sebagai kriteria bagi pengembangan dan pengelolaan sumberdaya alam. Pada sektor kehutanan Suhendang (2000) mengkhawatirkan otonomi daerah akan mendorong terjadinya fragmentasi lahan hutan produksi ke dalam bagian-bagian ekosistem dan kesatuan-kesatuan pengelolaan hutan yang sempit. Hal ini terjadi sebagai akibat tingginya tuntutan pemerintah daerah terhadap hutan guna memenuhi kebutuhan dana yang bersifat segera untuk membiayai pembangunan daerah.  Hal ini mungkin juga terjadi pada SDA alam yang lain.

STRATEGI PENGELOLAAN SUMBERDAYA ALAM

Formulasi berbagai problem dasar tersebut memerlukan berbagai pemikiran dan diskusi  untuk mencari pemecahannya. Kerja keras yang sistematis dan terus menerus sangat diperlukan untuk mewujudkan tujuan pelaksanaan otonomi daerah. Partisipasi aktif dari semua lapisan masyarakat untuk menggalang sumberdaya sangat diperlukan. Oleh karena itu kesiapan masing-masing daerah dalam menyikapi pemberlakuan undang-undang tersebut sangat menentukan keberhasilan pelaksanaan otonomi daerah.

Ditinjau dari sudut ekonomi, SDA merupakan bahan baku yang dapat dijadikan barang dan jasa untuk memuaskan kebutuhan hidup.  Sedangkan ditinjau dari sudut ekologi, SDA merupakan komponen ekosistem (biotik dan abiotik) yang sangat berperanan sebagai life support system  manusia dan selalu berada dalam keadaan keseimbangan yang dinamis. Sebagai komponen ekosistem, seluruh jenis SDA saling berinteraksi satu sama lain, perubahan yang terjadi pada salah satu komponen akan menyebabkan terjadinya perubahan pada komponen yang lain. Apabila perubahan, yang terjadi melebihi daya lentingnya, maka keseimbangan ekosistem tersebut akan berubah menuju keseimbangan yang baru. Karena karakteristik dan kelangsungan ekonomi suatu negara ditentukan oleh SDA-nya maka perubahan yang terjadi pada ekosistem (lingkungan) akan berdampak pada perubahan ekonomi. Secara sederhana, hubungan antara kegiatan ekonomi dan ekosistem (lingkungan) diperlihatkan pada Gambar 2.

Dari Gambar 2 jelas bahwa SDA merupakan asset yang harus dijaga keberadaannya.  Akan tetapi, sistim ekonomi ternyata menghasilkan limbah yang masuk ke dalam lingkungan dan dapat menyebabkan keseimbangan lingkungan terganggu.

 

Pengelolaan sumberdaya alam berkaitan dengan proses produksi dan konsumsi yang tunduk pada hukum thermodinamika I dan hukum thermodinamika II.  Sebagai implikasinya jika kita ingin melaksanakan pembangunan berkelanjutan maka, pengelolaan sumberdaya alam tersebut perlu dilakukan secara bijaksana, yaitu dengan mempertimbangkan dan mendasarkan pada karakteristik sumberdaya alam yang bersifat spesifik.  Menurut (Owen 1980) pengelolaan SDA hendaknya didasarkan pada prinsip sebagai berikut:

  1. Tanggung jawab pribadi; tanggung jawab seorang warga negara yang demokratis ditandai dengan rasa tanggung jawab dalam menjalankan kewajiban terhadap pemerintah, sesama manusia, dan SDA.   

  2. Peranan pemerintah;  pemerintah (government) sebagai regulator dalam pengelolaan sumberdaya alam mempunyai peranan yang sangat penting.  Oleh karena itu pemerintah harus mampu menciptakan suatu sistem yang dapat menjamin pemanfaatan SDA secara tepat.

  3. Penggunaan ganda suatu sumberdaya;  ketersediaan SDA umumnya terbatas, untuk meningkatkan manfaat SDA dan menghindari konflik kepentingan, maka sedapat mungkin SDA dipergunakan secara ganda.

  4. Inventarisasi dan proyeksi penggunaan sumberdaya;  inventarisasi yang menyeluruh dan proyeksi penggunaan SDA dapat memperkirakan tingkat kecukupan SDA dan tindakan-tindakan yang perlu dilakukan untuk menjamin ketersediaannya.

  5. Hubungan pertautan antar sumberdaya;  antara SDA yang satu dengan SDA alam yang lain terjalin suatu keterkaitan, perubahan yang terjadi pada suatu SDA akan menyebabkan perubahan terhadap SDA lainnya.

Untuk menjamin adanya sumberdaya alam bagi pembangunan yang berkelanjutan, perlu diambil langkah-langkah strategis sebagai berikut (Suparmoko, 1995):

  1. Meneliti kondisi serta masalah yang berkaitan dengan sumberdaya alam termasuk tingkat eksploitasi dan penggunaannya, kemudian memperkirakan kecenderungan dalam jangka panjang, dan menentukan tingkat jaminan tersedianya sumberdaya alam itu bagi pembangunan dalam jangka panjang dengan cara menciptakan kembali maupun meningkatkan ketersediaannya.

  2. Mengubah teori dan praktek pemberian nilai terhadap setiap barang yang ada. Pemberian nilai yang tinggi terhadap hasil produksi akhir, dan nilai yang rendah terhadap bahan mentah, serta tanpa nilai bagi sumberdaya alam, harus segera diganti dengan cara memberi nilai yang tepat pada sumberdaya alam.

  3. Membuat studi mengenai neraca sumberdaya alam dan aplikasinya dalam sistem neraca nasional, sehingga akan memperbaiki sistem neraca nasional yang hanya mencatat kenaikan produksi tanpa melihat berkurangnya atau bertambahnya persediaan sumberdaya alam.

  4. Memperjelas hak pemilikan sumberdaya alam (proferty right of natural resource) untuk menghindari pemborosan penggunaan sumberdaya alam dengan mempertimbangkan kondisi masa kini dan masa datang.

  5. Mengadakan studi mengenai perlindungan sumberdaya alam dan lingkungan dengan cara memanfaatkan sumberdaya alam secara rasional, sebab rusaknya lingkungan dan ekologi adalah akibat dari eksploitasi sumberdaya alam yang tidak bertanggungjawab.

  6. Membuat studi mengenai bagaimana melindungi, mengembangkan, menyimpan serta memperbanyak persediaan sumberdaya alam melalui investasi sosial, seperti pendidikan dan latihan.

Berkaitan dengan permasalahan yang mungkin timbul sehubungan dengan Otonomi Daerah sebagaimana telah dibahas, menurut Riyadi (2000), upaya pemanfaatan SDA perlu antara lain mempertimbangkan hal-hal sebagai berikut:

  1. Perlunya legal frame work dan law enforcement berskala nasional maupun regional yang mampu mewadahi pemanfaatan SDA secara lintas daerah dalam kerangka terpadu secara nasional yang akan mengurangi konflik antar daerah.

  2. Perlunya legal frame work dan law enforcement berskala nasional maupun regional yang mendukung upaya pemanfaatan SDA secara berkelanjutan dan ramah lingkungan  sehingga mampu mengurangi distorsi pengelolaan ekonomis terhadap keberlanjutan ekosistem yang sehat dan berimbang.

  3. Perlunya peningkatan keterlibatan aktif segenap unsur yang mewakili masyarakat dalam melakukan pengawasan dan pengendalian pemanfaatan SDA.

  4. Perlunya upaya percepatan pengembangan wilayah yang utuh dan terpadu sesuai dengan  potensi lokal bagi daerah yang tidak memiliki SDA strategis dan vital.

Hal lain yang sangat diperlukan adalah peningkatan kualitas sumberdaya manusia.  Peningkatan sumberdaya manusia tidak hanya terbatas pada penguasaan ilmu, teknologi, dan informasi tetapi yang lebih penting lagi adalah  “moral”.  Untuk ini perlu diciptakan sistim nilai dan institusi (misalnya mengembangkan sistem insentif, reward dan punishment) yang mendorong self responsibility yang tinggi pada kalangan aparat dan seluruh lapisan masyarakat.

Menurut Rasyid (2000) untuk mendukung penyelenggaraan otonomi daerah diperlukan persamaan persepsi dari semua pihak dalam menjabarkan Undang-undang Nomor 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah dan UU Nomor 25 Tahun 1999 tentang Perimbangan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Daerah.  Sedangkan untuk menghindari penyalahgunaan kekuasaan sebagai akibat meningkatnya wewenang dan tanggung jawab daerah, perlu diciptakan rambu rambu pelaksanaannya dan meningkatkan peran pengawasan secara efektif.

 KESIMPULAN

 Untuk mengelola SDA agar secara ekonomi dapat memberikan manfaat secara berkelanjutan diperlukan pemikiran dan tindakan yang arif, yaitu yang didasarkan pada karakteristik SDA dengan memperhatikan kaidah-kaidah ekologi.   Dalam kaitannya dengan otonomi daerah,  langkah pertama yang harus dilakukan pemerintah daerah adalah mengenali potensi SDA-nya dan memproyeksikan penggunaan SDA tersebut seoptimal mungkin, melalui penggunaan ganda dengan memperhatikan aspek keterkaitan antara SDA yang satu dengan yang lain.  Untuk ini diperlukan peran pemerintah dan partisipasi seluruh stakeholder yang didasari dengan tanggung jawab pribadi (self responsibility) yang tinggi.

Selain itu, untuk menghindari penyalahgunaan kekuasaan sebagai akibat meningkatnya wewenang dan tanggung jawab pemerintah daerah, perlu diciptakan rambu-rambu berupa legal framework dan penegakan hukum berskala nasional maupun regional yang pelaksanaannya perlu disertai peran pengawasan yang efektif.

DAFTAR PUSTAKA

Alikodra, H.S.  2000.  Pengelolaan Sumberdaya Alam dan Lingkungan.  Makalah disampaikan pada Kursus Amdal Dasar (Tipe A) diselenggarakan PPLH IPB dan Bina Lingkungan Daerah Industri Pulau Batam, di Batam 16 November 2000

Annonimous.  1999.   Undang-undang Otonomi Daerah 1999.    Sinar Grafika.  Jakarta.

Ditjen Perikanan.  2000.  Evaluasi Kebijakan 32 Tahun Pembangunan Perikanan. Saresehan Perikanan Nasional. Institut Pertanian Bogor.  Bogor.

Gumbira-Sa’id, E.  2001.  Pengembangan Agribisnis Berbasis Pertanian dan Kehutanan untuk Memperkuat Otonomi Daerah Menuju Masyarakat Madani Indonesia.  Makalah pada Simposium Nasional Forum Mahasiswa Pascasarjana Indonesia,  17 Februari 2001, Bogor.

Owen, O.S.  1980.Natural Resource Conservation: An Ecological Approach.  Third Edition.  Macmillan Publishing Co., Inc. 866.  Third Avenue, New York, New York 10022  883 hal.

Rasyid, M.R.  2000.  Reorientasi Pendekatan Pemecahan Masalah Pembangunan Wilayah yang Mengarah Kepada Efisiensi Pengelolaan Sumberdaya yang Berkeadilan dan Berkelanjutan dalam Perspektif Otonomi Daerah. Makalah disampaikan pada Semiloka Nasional Pembangunan Wilayah dalam Perspektif Otonomi Daerah dan Wacana Federasi.  Program Pascasarjana IPB di Badan Pusat Statistik – Jakarta, 8-9 November 2000.

Riyadi, D.M.M.  2000.  Implementasi Otonomi Daerah: Perspektif Pemanfaatan Sumberdaya Alam dan Pengembangan Wilayah.  Makalah disampaikan pada Semiloka Nasional Pembangunan Wilayah dalam Perspektif Otonomi Daerah dan Wacana Federasi.  Program Pascasarjana IPB di Badan Pusat Statistik – Jakarta, 8-9 November 2000.

Suhendang, E.  2000.  Fragmentasi Lahan Hutan, Sebuah Ancaman? Diskusi Panel Otonomi Daerah dan Pengelolaan Kehutanan dan Perkebunan.  Diselenggarakan atas Kerjasama PPLH IPB dengan Komite Reformasi Pembangunan Kehutanan dan Perkebunan di Jakarta tanggal 22 Mei 2000.

Suparmoko, M.  1995. Ekonomi Sumberdaya Alam dan Lingkungan (Suatu Pendekatan Teoritis). Edisi 2.  BPFE-Yogyakarta.

Tietenberg, T.H.  1994.  Environmental Economic and Policy.  HarperCollins College Publisher. New York.  

 ________________________________________