Copyright
© 2001 Program Pasca Sarjana IPB
Re-edited 20 July 2001, Rudy C Tarumingkeng,
PhD
Makalah Kelompok II
Falsafah Sains (PPs 702)
Program Pasca Sarjana
Institut Pertanian Bogor
Maret 2001
Dosen:
Prof Dr Ir Rudy C Tarumingkeng (Penanggung Jawab)
Prof Dr Ir Zahrial Coto
TINJAUAN EKONOMI DAN EKOLOGI PENGELOLAAN SUMBERDAYA ALAM DALAM PERSPEKTIF OTONOMI DAERAH
Yusran (Ketua), Agus Setiawan (Editor), Abdul Haris, Adi Santoso, , Fadjry Djufry, Faizah Hamzah, Hery Winarsi, Hudiana Hernawan, Impron, Laura Siahaineia, Mahfudz, Makhfud Efendy, Marjani Sultan, Nursamran Subandi, Pujiyanto, Rindam Latief, Simon Tubalawony, dan Wardah.
Makalah dengan judul Pengelolaan Sumberdaya Alam Dalam Perspektif Otonomi Daerah: Suatu Tinjauan Ekonomi Dan Ekologi disusun sebagai tugas kelompok dalam Mata Kuliah Pengantar ke Falsafah Sains (PPS-702).
Pengambilan judul tersebut didasarkan pada pertimbangan bahwa:
Aspek pengelolaan sumberdaya alam merupakan hal yang sangat strategis dalam pembangunan suatu area, baik negara, propinsi, maupun kabupaten/kota,
Indonesia sekarang ini berada pada tahap awal pelaksanaan otonomi daerah yang diperkirakan akan menghadapi beberapa persoalan berkaitan dengan pengelolaan sumberdaya alam. Oleh karena itu, selain untuk memenuhi tugas mata kuliah, makalah ini diharapkan dapat menjadi sumbangan pemikiran yang dapat dijadikan masukan oleh pihak yang berkepentingan.
Kepada Prof. Dr. Ir. Rudy C. Tarumingkeng dan Prof. Dr. Ir. Zahrial Coto, sebagai dosen pengasuh mata kuliah, serta kepada Bapak-bapak dan Ibu-ibu yang telah memberikan masukan dan inspirasi kami mengucapkan terima kasih.
Semoga makalah ini bermanfaat.
Bogor, 20 Maret 2000
Sumberdaya alam (SDA)
merupakan unsur lingkungan hidup manusia yang sangat penting.
Manusia hidup dan berkembang dengan memanfaatkan SDA yang ada di
lingkungannya, yang meliputi tanah, air, udara (atmosfer), flora, fauna,
mikroorganisme, mineral, dan energi. Eksistensi
dan martabat manusia atau suatu bangsa sangat tergantung pada kemampuannya
mengelola SDA dan menjadikannya dalam bentuk tersedia, siap dimanfaatkan untuk
memenuhi dan meningkatkan kualitas hidupnya.
Jika suatu bagian dari sumberdaya alam tersebut tidak dapat dipenuhi dari
lingkungannya, mereka akan bergerak mencari lingkungan baru yang mampu mendukung
kehidupannya (Alikodra, 2000) atau mencari dan mengadakan SDA tersebut hingga
tersedia di lingkungannya.
Indonesia merupakan negara yang kaya potensi SDA. Indonesia memiliki
daratan yang luas (terdiri atas 17.508 pulau) dan laut yang luas (3,8 juta km2).
Daratannya ditumbuhi dengan hutan tropis seluas kurang lebih 139 juta ha
(Gumbira 2001) yang ditumbuhi berbagai jenis flora dan sebagai habitat berbagai
jenis fauna. Dengan laut yang luas, panjang garis pantai sekitar 81.000 km, dan
terumbu karang 65.000 km2, Indonesia memiliki potensi
sumberdaya ikan lestari 6,7 juta ton per tahun (Ditjen Perikanan, 2000). Di
samping itu masih terdapat kekayaan yang tersimpan dalam perut bumi seperti
minyak bumi, gas bumi, dan berbagai bahan mineral.
Apabila dikelola dengan baik maka potensi SDA tersebut dapat memenuhi
kebutuhan dan kesejahteraan rakyat Indonesia.
Sebagaimana diamanatkan oleh Undang-undang Dasar Republik Indonesia 1945,
kekayaan berupa SDA tersebut seyogyanya dipergunakan bagi sebesar-besar
kemakmuran rakyat. Akan tetapi,
fakta menunjukkan bahwa pengelolaan SDA yang selama ini dilaksanakan belum
sesuai dengan amanat UUD tersebut.
Menurut Penjelasan UU RI Nomor 28 Tahun 1999, ketidakadilan tersebut
terjadi sebagai akibat adanya pemusatan kekuasaan, wewenang, dan tanggung jawab
pada Presiden (Annonimous 1999). Untuk
mencapai tujuan pemanfaatan SDA yang lebih adil seperti yang diamanatkan UUD RI
1945 pemerintah telah mengundangkan UU RI Nomor 22 Tahun 1999 tentang
Pemerintahan Daerah. Salah satu
bagian konsideran UU RI Nomor 22 tersebut menyatakan bahwa dipandang
perlu untuk menyelenggarakan Otonomi Daerah dengan memberikan kewenangan yang
luas, nyata dan bertanggung jawab kepada daerah secara proporsional yang
diwujudkan dengan pengaturan, pembagian, dan pemanfaatan sumberdaya nasional,
sesuai dengan prinsip-prinsip demokrasi, peran serta masyarakat, pemerataan, dan
keadilan serta potensi, dan keanekaragaman daerah.
Salah satu pertanyaan atau tantangan yang mendasar adalah “bagaimanakah
agar dengan Otonomi Daerah dapat dicapai pemanfaatan SDA yang adil dan
berkelanjutan (equitable dan sustainable)?”. Agar SDA tersebut dapat memenuhi kebutuhan hidup
manusia secara berkelanjutan dan berkeadilan, untuk generasi sekarang dan
generasi yang akan datang, maka diperlukan kearifan dengan berpedoman kepada
karakteristik SDA tersebut dan norma-norma yang berlaku.
Tujuan
penulisan makalah ini adalah mendeskripsikan karakteristik SDA, menganalisis
masalah-masalah pengelolaan SDA yang mungkin timbul sehubungan dengan Otonomi
Daerah dan menguraikan strategi pengelolaan SDA berkelanjutan.
Manfaat penulisan adalah memberikan pemahaman tentang pengelolaan SDA
sebagai bahan masukan dalam rangka penyelenggaraan otonomi daerah.
Pembahasan
perspektif otonomi daerah dalam tulisan ini dibatasi pada kewenangan pengelolaan
SDA.
Analisis
dilakukan melalui diskusi dengan mendasarkan pada pendapat para ahli (yang
tertuang dalam bentuk makalah dan buku), Undang-undang, dan Peraturan Pemerintah.
Sumberdaya alam mencakup pengertian yang sangat luas, merupakan unsur pembentuk lingkungan yang sangat kompleks, dinamis, satu sama lain saling berinteraksi. Owen (1980) mendefinisikan SDA sebagai bagian dari lingkungan alam (tanah, air, padang penggembalaan, hutan, kehidupan liar, mineral atau populasi manusia) yang dapat digunakan manusia untuk meningkatkan kesejahteraan hidupnya. Berdasarkan sifatnya Owen (1980) mengelompokkan SDA yang Inexhaustible dan Exhaustible (Gambar 1).
SDA Inexhaustible adalah sumberdaya alam yang tidak akan habis. Akan tetapi tidak berarti ketersediaannya tidak terbatas, bahkan apabila salah kelola sumberdaya alam tersebut dapat mengalami kerusakan sehingga tidak dapat berfungsi secara optimal. Misalnya, jika terjadi kerusakan daerah tangkapan sungai yang menyebabkan air tidak dapat meresap ke dalam tanah, maka air akan lebih banyak mengalir sebagai aliran permukaan yang akan menimbulkan erosi, sedimentasi, banjir pada musim hujan, dan kekurangan air pada musim kemarau dan banyak lagi dampak terusannya.
SDA exhaustible merupakan sumberdaya yang dapat habis, sekali kita gunakan habis maka sumberdaya tersebut tidak akan ada lagi (Setidaknya diperlukan ratusan bahkan ribuan tahun untuk pembentukannya, misalnya pembentukan tanah memerlukan waktu 500.000 taun) (Alikodra 2000). SDA exhaustible dikelompokan lagi menjadi SDA maintainable dan nonmaintainable.
Pengelompokan karakteristik SDA ini merupakan rambu-rambu bagi kita untuk berfikir bijak dalam mengelolanya agar diperoleh hasil yang optimal.
Karakteristik penting lain dari SDA adalah penyebarannya tidak merata di permukaan atau di dalam perut bumi. Di beberapa tempat terdapat potensi sumberdaya yang beranekaragam dengan jumlah yang banyak. Sementara di daerah lain jenis dan jumlahnya sedikit.
Sumberdaya
alam merupakan modal penting dalam menggerakkan roda pembangunan di suatu daerah,
baik dalam konteks negara, propinsi ataupun kabupaten. Oleh karenanya, aspek
pemanfaatan sumberdaya alam merupakan suatu yang sangat strategis dalam
menentukan jumlah penerimaan atau
tingkat konstribusinya dalam pembentukan modal pembangunan.
Pengelolaan SDA dalam perspektif Otonomi Daerah pada dasarnya adalah power
sharing kewenangan pengelolaan SDA antara Pemerintah dengan Propinsi dan
kabupaten/kota.
Menurut Undang-undang Nomor 22 tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah, kewenangan pendayagunaan sumberdaya alam strategis berada pada Pemerintah Pusat (Pasal 7), walaupun demikian daerah berwenang untuk mengelola sumberdaya nasional (sumberdaya alam, sumberdaya buatan, dan sumberdaya manusia) yang tersedia di wilayahnya (Pasal 10 dan penjelasnnya).
Beberapa masalah yang mungkin timbul sehubungan dengan adanya otonomi ini antara lain adalah:
Timbulnya
daerah miskin dan kaya.
Seperti telah dikemukakan, penyebaran SDA di Indonesia tidak merata
sehingga akan terdapat daerah yang kaya dan miskin potensi SDA.
Secara nasional kemungkinan akan menimbulkan ketimpangan
kesejahteraan.
Konflik
pemanfaatan sumberdaya lintas kabupaten/kota.
Misalnya, pemanfaatan
sungai atau daerah tangkapan hujan di daerah hulu, dapat berdampak negatif
terhadap kabupaten di daerah hilir. Sementara, pemeliharaan sungai atau daerah tangkapan
hujan yang dilakukan oleh kabupaten di daerah hulu belum tentu mendapat
insentif dari kabupaten daerah hilir. SDA
lainnya adalah hutan dan mineral yang terdapat dalam satu hamparan yang
berbatasan antar kabupaten.
Konflik
pemanfaatan sumberdaya open access
(laut), misalnya nelayan yang berasal dari suatu kabupaten tidak boleh
mengambil ikan di wilayah perairan kabupaten lain.
Pengurasan
SDA;
dalam kaidah ekologi, suatu ekosistem yang kuat cenderung mengeksploitasi
ekosistem yang lemah. Sebagai
ekosistem, untuk mengejar ketertinggalannya suatu kabupaten/kota akan
mengeksploitasi sumberdaya secara besar-besaran, mengorbankan kepentingan
jangka panjang untuk kepentingan jangka pendek.
Hal ini dapat timbul masalah lingkungan yang serius.
Potensi
sumberdaya manusia;
kualitas sumberdaya manusia antara lain ditentukan dengan penguasaan ilmu,
teknologi, dan informasi. Kita
harus mengakui realita bahwa masih banyak daerah-daerah yang potensi
sumberdaya manusianya masih rendah. Ini
akan sangat berpengaruh terhadap produktivitas, efektivitas, dan efisiensi
pemanfaatan SDA.
Pembangunan di suatu daerah otonom memperlihatkan kecenderungan untuk meletakkan tekanan utama pada maksimisasi manfaat ekonomi bersih (net economic benefit) sebagai kriteria bagi pengembangan dan pengelolaan sumberdaya alam. Pada sektor kehutanan Suhendang (2000) mengkhawatirkan otonomi daerah akan mendorong terjadinya fragmentasi lahan hutan produksi ke dalam bagian-bagian ekosistem dan kesatuan-kesatuan pengelolaan hutan yang sempit. Hal ini terjadi sebagai akibat tingginya tuntutan pemerintah daerah terhadap hutan guna memenuhi kebutuhan dana yang bersifat segera untuk membiayai pembangunan daerah. Hal ini mungkin juga terjadi pada SDA alam yang lain.
Formulasi
berbagai problem dasar tersebut memerlukan berbagai pemikiran dan diskusi
untuk mencari pemecahannya. Kerja keras yang sistematis dan terus menerus
sangat diperlukan untuk mewujudkan tujuan pelaksanaan otonomi daerah.
Partisipasi aktif dari semua lapisan masyarakat untuk menggalang sumberdaya
sangat diperlukan. Oleh karena itu kesiapan masing-masing daerah dalam menyikapi
pemberlakuan undang-undang tersebut sangat menentukan keberhasilan pelaksanaan
otonomi daerah.
Ditinjau
dari sudut ekonomi, SDA merupakan bahan baku yang dapat dijadikan barang dan
jasa untuk memuaskan kebutuhan hidup. Sedangkan
ditinjau dari sudut ekologi, SDA merupakan komponen ekosistem (biotik dan
abiotik) yang sangat berperanan sebagai life
support system manusia dan
selalu berada dalam keadaan keseimbangan yang dinamis. Sebagai komponen
ekosistem, seluruh jenis SDA saling berinteraksi satu sama lain, perubahan yang
terjadi pada salah satu komponen akan menyebabkan terjadinya perubahan pada
komponen yang lain. Apabila perubahan, yang terjadi melebihi daya lentingnya,
maka keseimbangan ekosistem tersebut akan berubah menuju keseimbangan yang baru.
Karena karakteristik dan kelangsungan ekonomi suatu negara ditentukan oleh
SDA-nya maka perubahan yang terjadi pada ekosistem (lingkungan) akan berdampak
pada perubahan ekonomi. Secara sederhana, hubungan antara kegiatan ekonomi dan
ekosistem (lingkungan) diperlihatkan pada Gambar 2.
Dari
Gambar 2 jelas bahwa SDA merupakan asset yang harus dijaga keberadaannya.
Akan tetapi, sistim ekonomi ternyata menghasilkan limbah yang masuk ke
dalam lingkungan dan dapat menyebabkan keseimbangan lingkungan terganggu.
Pengelolaan
sumberdaya alam berkaitan dengan proses produksi dan konsumsi yang tunduk pada
hukum thermodinamika I dan hukum thermodinamika II.
Sebagai implikasinya jika kita ingin melaksanakan pembangunan
berkelanjutan maka, pengelolaan sumberdaya alam tersebut perlu dilakukan secara
bijaksana, yaitu dengan mempertimbangkan dan mendasarkan pada karakteristik
sumberdaya alam yang bersifat spesifik. Menurut
(Owen 1980) pengelolaan SDA hendaknya didasarkan pada prinsip sebagai berikut:
Tanggung
jawab pribadi;
tanggung jawab seorang warga negara yang demokratis ditandai dengan rasa
tanggung jawab dalam menjalankan kewajiban terhadap pemerintah, sesama
manusia, dan SDA.
Peranan
pemerintah;
pemerintah (government)
sebagai regulator dalam pengelolaan sumberdaya alam mempunyai peranan yang
sangat penting. Oleh karena itu
pemerintah harus mampu menciptakan suatu sistem yang dapat menjamin
pemanfaatan SDA secara tepat.
Penggunaan
ganda suatu sumberdaya;
ketersediaan SDA umumnya terbatas, untuk meningkatkan manfaat SDA dan
menghindari konflik kepentingan, maka sedapat mungkin SDA dipergunakan
secara ganda.
Inventarisasi
dan proyeksi penggunaan sumberdaya;
inventarisasi yang menyeluruh dan proyeksi penggunaan SDA dapat
memperkirakan tingkat kecukupan SDA dan tindakan-tindakan yang perlu
dilakukan untuk menjamin ketersediaannya.
Hubungan
pertautan antar sumberdaya;
antara SDA yang satu dengan SDA alam yang lain terjalin suatu
keterkaitan, perubahan yang terjadi pada suatu SDA akan menyebabkan
perubahan terhadap SDA lainnya.
Untuk
menjamin adanya sumberdaya alam bagi pembangunan yang berkelanjutan, perlu
diambil langkah-langkah strategis sebagai berikut (Suparmoko, 1995):
Meneliti
kondisi serta masalah yang berkaitan dengan sumberdaya alam termasuk tingkat
eksploitasi dan penggunaannya, kemudian memperkirakan kecenderungan dalam
jangka panjang, dan menentukan tingkat jaminan tersedianya sumberdaya alam
itu bagi pembangunan dalam jangka panjang dengan cara menciptakan kembali
maupun meningkatkan ketersediaannya.
Mengubah
teori dan praktek pemberian nilai terhadap setiap barang yang ada. Pemberian
nilai yang tinggi terhadap hasil produksi akhir, dan nilai yang rendah
terhadap bahan mentah, serta tanpa nilai bagi sumberdaya alam, harus segera
diganti dengan cara memberi nilai yang tepat pada sumberdaya alam.
Membuat
studi mengenai neraca sumberdaya alam dan aplikasinya dalam sistem neraca
nasional, sehingga akan memperbaiki sistem neraca nasional yang hanya
mencatat kenaikan produksi tanpa melihat berkurangnya atau bertambahnya
persediaan sumberdaya alam.
Memperjelas
hak pemilikan sumberdaya alam (proferty
right of natural resource) untuk menghindari pemborosan penggunaan
sumberdaya alam dengan mempertimbangkan kondisi masa kini dan masa datang.
Mengadakan
studi mengenai perlindungan sumberdaya alam dan lingkungan dengan cara
memanfaatkan sumberdaya alam secara rasional, sebab rusaknya lingkungan dan
ekologi adalah akibat dari eksploitasi sumberdaya alam yang tidak
bertanggungjawab.
Membuat
studi mengenai bagaimana melindungi, mengembangkan, menyimpan serta
memperbanyak persediaan sumberdaya alam melalui investasi sosial, seperti
pendidikan dan latihan.
Berkaitan dengan permasalahan yang mungkin timbul sehubungan dengan Otonomi Daerah sebagaimana telah dibahas, menurut Riyadi (2000), upaya pemanfaatan SDA perlu antara lain mempertimbangkan hal-hal sebagai berikut:
Perlunya
legal frame work dan law enforcement
berskala nasional maupun regional yang mampu mewadahi pemanfaatan SDA secara
lintas daerah dalam kerangka terpadu secara nasional yang akan mengurangi
konflik antar daerah.
Perlunya
legal frame work dan law
enforcement berskala nasional maupun regional yang mendukung upaya
pemanfaatan SDA secara berkelanjutan dan ramah lingkungan
sehingga mampu mengurangi distorsi pengelolaan ekonomis terhadap
keberlanjutan ekosistem yang sehat dan berimbang.
Perlunya
peningkatan keterlibatan aktif segenap unsur yang mewakili masyarakat dalam
melakukan pengawasan dan pengendalian pemanfaatan SDA.
Perlunya
upaya percepatan pengembangan wilayah yang utuh dan terpadu sesuai dengan
potensi lokal bagi daerah yang tidak memiliki SDA strategis dan
vital.
Hal
lain yang sangat diperlukan adalah peningkatan kualitas sumberdaya manusia.
Peningkatan sumberdaya manusia tidak hanya terbatas pada penguasaan ilmu,
teknologi, dan informasi tetapi yang lebih penting lagi adalah
“moral”. Untuk ini perlu
diciptakan sistim nilai dan institusi (misalnya mengembangkan sistem insentif, reward
dan punishment) yang mendorong self
responsibility yang tinggi pada kalangan aparat dan seluruh lapisan
masyarakat.
Menurut Rasyid (2000) untuk mendukung penyelenggaraan otonomi daerah diperlukan persamaan persepsi dari semua pihak dalam menjabarkan Undang-undang Nomor 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah dan UU Nomor 25 Tahun 1999 tentang Perimbangan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Daerah. Sedangkan untuk menghindari penyalahgunaan kekuasaan sebagai akibat meningkatnya wewenang dan tanggung jawab daerah, perlu diciptakan rambu rambu pelaksanaannya dan meningkatkan peran pengawasan secara efektif.
Untuk mengelola SDA agar secara ekonomi dapat memberikan manfaat secara berkelanjutan diperlukan pemikiran dan tindakan yang arif, yaitu yang didasarkan pada karakteristik SDA dengan memperhatikan kaidah-kaidah ekologi. Dalam kaitannya dengan otonomi daerah, langkah pertama yang harus dilakukan pemerintah daerah adalah mengenali potensi SDA-nya dan memproyeksikan penggunaan SDA tersebut seoptimal mungkin, melalui penggunaan ganda dengan memperhatikan aspek keterkaitan antara SDA yang satu dengan yang lain. Untuk ini diperlukan peran pemerintah dan partisipasi seluruh stakeholder yang didasari dengan tanggung jawab pribadi (self responsibility) yang tinggi.
Selain
itu, untuk menghindari penyalahgunaan kekuasaan sebagai akibat meningkatnya
wewenang dan tanggung jawab pemerintah daerah, perlu diciptakan rambu-rambu
berupa legal framework dan penegakan
hukum berskala nasional maupun regional yang pelaksanaannya perlu disertai peran
pengawasan yang efektif.
Alikodra, H.S. 2000. Pengelolaan Sumberdaya Alam dan Lingkungan. Makalah disampaikan pada Kursus Amdal Dasar (Tipe A) diselenggarakan PPLH IPB dan Bina Lingkungan Daerah Industri Pulau Batam, di Batam 16 November 2000
Annonimous. 1999.
Undang-undang Otonomi Daerah 1999. Sinar Grafika. Jakarta.
Ditjen
Perikanan. 2000.
Evaluasi Kebijakan 32 Tahun
Pembangunan Perikanan. Saresehan Perikanan Nasional. Institut Pertanian
Bogor. Bogor.
Gumbira-Sa’id,
E. 2001.
Pengembangan Agribisnis Berbasis
Pertanian dan Kehutanan untuk Memperkuat Otonomi Daerah Menuju Masyarakat Madani
Indonesia. Makalah pada
Simposium Nasional Forum Mahasiswa Pascasarjana Indonesia,
17 Februari 2001, Bogor.
Owen,
O.S. 1980.Natural Resource
Conservation: An Ecological
Approach. Third Edition. Macmillan Publishing Co., Inc. 866. Third Avenue, New York, New York 10022 883 hal.
Rasyid,
M.R. 2000. Reorientasi
Pendekatan Pemecahan Masalah Pembangunan Wilayah yang Mengarah Kepada Efisiensi
Pengelolaan Sumberdaya yang Berkeadilan dan Berkelanjutan dalam Perspektif
Otonomi Daerah. Makalah disampaikan pada Semiloka Nasional Pembangunan
Wilayah dalam Perspektif Otonomi Daerah dan Wacana Federasi.
Program Pascasarjana IPB di Badan Pusat Statistik – Jakarta, 8-9
November 2000.
Riyadi,
D.M.M. 2000.
Implementasi Otonomi Daerah:
Perspektif Pemanfaatan Sumberdaya Alam dan Pengembangan Wilayah.
Makalah disampaikan pada Semiloka Nasional Pembangunan Wilayah dalam
Perspektif Otonomi Daerah dan Wacana Federasi.
Program Pascasarjana IPB di Badan Pusat Statistik – Jakarta, 8-9
November 2000.
Suhendang, E. 2000. Fragmentasi Lahan Hutan, Sebuah Ancaman? Diskusi Panel Otonomi Daerah dan Pengelolaan Kehutanan dan Perkebunan. Diselenggarakan atas Kerjasama PPLH IPB dengan Komite Reformasi Pembangunan Kehutanan dan Perkebunan di Jakarta tanggal 22 Mei 2000.
Suparmoko, M. 1995. Ekonomi Sumberdaya Alam dan Lingkungan (Suatu Pendekatan Teoritis). Edisi 2. BPFE-Yogyakarta.
Tietenberg,
T.H.
1994. Environmental Economic and Policy.
HarperCollins College
Publisher. New York.
________________________________________