PENGEMBANGAN BUDIDAYA TAMBAK UDANG WINDU BERKELANJUTAN DALAM PERSPEKTIF PERUNDANGAN

            © 2001  MUHAMMAD ALIFUDDIN                     Posted 26 May 2001 [rudyct]

Makalah Falsafah Sains (PPs 702)  

Program Pasca Sarjana / S3

Institut Pertanian Bogor

 

Dosen:

Prof Dr Ir Rudy C Tarumingkeng (Penanggung Jawab)

Prof Dr Ir Zahrial Coto

 

 

 

PENGEMBANGAN BUDIDAYA TAMBAK UDANG WINDU

BERKELANJUTAN DALAM PERSPEKTIF PERUNDANGAN

 

 

 

 

 

 

 

Oleh

MUHAMMAD ALIFUDDIN

Nrp. P 196 00007/AIR

Email: malif@ekilat.com

 

 

 

 

KATA  PENGANTAR

 

 

            Tulisan ini disusun sebagai paper individu PPS 702 Pengantar ke Falsafah Sains, Program Pascasarjana IPB.  Penulisan paper ini untuk lebih memahami falsafah yang melandasi konsepsi telaah suatu masalah.  Paper ini berkaitan dengan pelestarian dan pengembangan budidaya udang windu di tambak; dengan judul PENGEM-BANGAN BUDIDAYA TAMBAK UDANG WINDU BERKELANJUTAN DALAM PERSPEKTIF  PERUNDANGAN.

             Penulis menyampaikan terima kasih kepada Bapak Prof.Dr.Ir. Rudy C. Tarumingkeng, MF dan Prof. Dr. Ir. Zahrial Coto atas informasi, bimbingan dan arahan yang diberikan dalam perkuliahan PPS 702 ini.  Penulis merasakan lebih terbukanya wawasan dan cakrawala dalam menyusun suatu konsep pemikiran yang dituangkan dalam bentuk tulisan mengikuti alur falsafahnya.

            Akhirnya, penulis berharap agar informasi dalam paper ini dapat bermanfaat bagi para pembaca yang membutuhkannya.

 

 

Bogor,    Mei   2001

Penulis,                                                                                              

             

 

I. PENDAHULUAN

            Indonesia merupakan suatu negara kepulauan yang diapit oleh 2 benua (Asia dan Australia) dan 2 samudra (Pasifik dan Indonesia).  Karenanya, Indonesia memiliki garis pantai sepanjang 81.000 km dengan perairan pantainya seluas 5.8 juta km˛.  Peman-faatan sumberdaya hayati perairan tersebut secara optimal diwujudkan melalui berbagai kegia­tan perikanan dalam bentuk usaha budidaya pantai, laut dan kegiatan penang­kapan.

            Sumberdaya hayati perairan tersebut merupakan salah satu modal dasar pembangunan Nasional yang sangat penting.  Kontribusi subsektor perikanan ini telah nyata terhadap penerimaan devisa negara dan di masa datang perlu lebih ditingkatkan.   Sejalan dengan itu, Direktorat Jendral Perikanan telah mencanangkan PROTEKAN (Program Peningkatan Ekspor Perikanan) 2003, dengan nilai US $ 7.6 milyar; dan sebesar US $ 6.78 milyar berasal dari budidaya udang windu.

            Untuk menunjang PROTEKAN 2003, maka pembangunan industri perikanan termasuk pengembangan budidaya harus memperhatikan pendekatan sistem usaha perikanan terpadu dan berwawasan lingkungan.  Hal ini berkaitan dengan era globalisa-si, pasar bebas dimasa datang  dan isu lingkungan yang menyertainya dalam penerimaan produk-produk budidaya pada pasar global.

            Selain itu, secara Nasional pada kondisi reformasi perlu pula memper-timbangkan berbagai produk hukum yang menyangkut tehnis operasional dilapangan terutama berkaitan dengan Otonomi Daerah seperti dituangkan dalam UU No. 22 tahun 1999.  Demikian juga dengan UU No. 25 tahun 1999 juga harus diperhatikan dalam hubungannya dengan penerimaan pendapatan keuangan yang berkaitan dengan pengem-bangan usaha budidaya perikanan.

            Berkaitan dengan isu lingkungan di tingkat Internasional, maka pengembangan budidaya perikanan terutama budidaya tambak udang harus memperhatikan jiwa UU No. 4/1982 tentang Pokok-Pokok Pengelolaan Lingkungan Hidup, UU No. 5 Tahun 1990 mengenai Konservasi Sumberdaya Alam dan Ekosistemnya, UU No. 24 Tahun 1992 Tentang Rencana Umum Tata Ruang dan UU No. 5 Tahun 1994 tentang Ratifikasi Konvensi PBB mengenai Keaneka Ragaman Hayati.   Dengan demikian, produk perikanan termasuk  udang windu yang dihasilkan dari kegiatan budidaya dapat diterima pasar Internasional tanpa diganggu oleh isu kerusakan lingkungan akibat pembangunan tambak-tambak baru di wilayah pantai dalam rangka intensifikasi pengembangan budidaya tambak udang windu.

           

 

 

                               II.  AKTIVITAS BUDIDAYA UDANG WINDU

 

 

 

            Indonesia dengan garis pantainya sepanjang 81.000 km dan perairan pantainya seluas 5.6 juta km2 berpotensi untuk menghasilkan produk perikanan yang dapat mensejahtrakan rakyatnya.  Selain itu wilayah perairan pantai tersebut juga merupakan sumber lapangan kerja bagi penduduk sekitarnya, wisata bahari dan pantai.

            Sejalan dengan perluasan kegiatan budidaya dan permintaan terhadap produk perikanan, udang dan ikan telah dikembangkan kegiatan budidaya pantai di awal tahun 1980-an.  Budidaya pantai yakni pertambakan dilakukan secara lebih intensif dengan komoditas utama udang windu (Penaeus monodon Fab.).  Produk budidaya ini teruta-ma untuk tujuan ekspor mancanegara sebagai penghasil devisa.

            Aktivitas budidaya udang windu tersebut meliputi pembenihan di panti benih dan pembesaran di tambak.  Usaha pembenihan udang windu telah dilakukan mulai dari skala rumah tangga (dikenal sebagai "backyard hatchery") sampai dengan skala industri.  Dan saat ini telah berkembang sentra-sentra produksi benih udang windu di Jawa, Lampung dan Sulawesi Selatan. 

            Demikian juga dengan pembesaran ditambak; telah dilakukan dalam skala kecil oleh petambak tradisionil dan dalam skala industri dengan pola usaha TIR (Tambak inti rakyat).  Kegiatan pertambakan ini juga menumbuhkan sentra-sentra tambak diberbagai wilayah Indonesia, seperti Jawa (terutama pantai Utara dan pantai Timur Jawa), Lampung (misalnya pertambakan milik Dipasena dan Bratasena), Sulawesi Selatan dan Kalimantan Barat.

Aktivitas Pembenihan Udang windu

            Dalam kegiatan budidaya udang windu ditambak, benur merupakan komponen produksi yang sangat penting.  Benur yang berkualitas merupakan salah satu faktor keberhasilan produksi budidaya udang windu yang dicapai saat panen dalam satu siklus produksi.

            Untuk tujuan pembesaran, benur udang windu diperoleh melalui penangkapan di alam dan produksi panti benih.  Ketersediaan benih dialam sangat terbatas, sehingga tidak dapat diandalkan untuk pengembangan budidaya.  Karenanya kebutuhan benur dipenuhi melalui upaya produksi benih di pembenihan.

            Kuantitas dan kualitas benur produk pembenihan ditentukan oleh kualitas induk yang dipergunakan.  Pemilihan induk dan benur yang berkualitas merupakan mata rantai produksi dan menentukan keberhasilan kegiatan budidaya udang windu.

            Dalam kegiatan produksi benur dipembenihan sedikitnya ada 3 komponen yang mempengaruhi produksi yakni induk, media budidaya dan pakan (untuk induk dan benur).  Komponen produksi tersebut saling terkait dan menentukan kuantitas dan kualitas benur yang dihasilkan; pada akhirnya, akan menentukan keberhasilan dan optimasi panen ditambak pembesaran.

            Kegiatan utama pembenihan adalah memproduksi benih yang optimal dan sangat berkualitas.  Penyediaan induk merupakan awal dari kegiatan produksi benih dan salah satu faktor yang menentukan kualitas dan kuantitas produksi ter-sebut.  Dalam sistim pembenihan udang secara umum kegiatan yang dilakukan meliputi pengadaan dan seleksi induk, aklimatisasi induk, pemeliharaan induk, seleksi induk siap mijah, pe-netasan telur dan panen naupli serta pemeliharaan larva sampai siap jual.

            Induk yang akan dipijahkan dapat diperoleh melalui tangkapan di alam dan melalui pemeliharaan ditambak.  Umum­nya di pembenihan digunakan induk yang berasal dari alam, keadaan ini antara lain disebabkan fekunditasnya tinggi dibandingkan dengan induk asal tambak; meskipun demikian, induk asal tambakpun dapat digunakan sebagai induk.

            Indonesia memiliki keragaman sumber hayati udang windu yang dapat dijadikan sebagai sumber induk dan tersebar di wilayah perairannya dari Aceh hingga Irian Jaya, sehingga kita mengenal induk asal Aceh, Kalimantan, Bali, Sulawesi; Cilacap dan Pangandaran di Jawa.

            Penangkapan induk udang windu dilaut dilakukan dengan alat tangkap sederhana yang tidak merusak habitatnya.  Alat tangkap berupa pukat harimau atau trawl telah dilarang dioperasikan melalui SK Menteri Pertanian.  Keadaan ini menun-jukkan upaya pelestarian habitat asli udang windu sebagai suatu hewan akuatik demersal.  Dengan demikian udang windu sebagai suatu plasma nutfah yang terlindungi habitat hidupnya dialam.

            Selain itu, induk udang windu sesuai dengan SK Dirjen Perikanan merupakan biota yang dilarang diekspor.  Hal ini bertujuan untuk melindungi dan melestarikan plasma nutfah sebagai kekayaan keragaman hayati biota akuatik Indonesia.  Jelaslah, bahwa pemerintah telah berupaya untuk melindungi biota dan habitatnya dari eksploitasi yang mengabaikan aspek lestari.

            Upaya ini merupakan pengamanan terhadap keberadaan induk udang windu alam yang sangat diperlukan untuk mencapai volume produk udang tambak yang akan diekspor.  Selain itu perlindungan ini merupakan suatu langkah konservasi plasma nutfah untuk pemanfaatan yang lestari bagi kehidupan masyarakat.

            Tahapan berikutnya dalam proses produksi adalah seleksi induk.  Calon induk yang akan digunakan untuk memproduksi benih harus dipilih dengan cermat dan memenuhi kriteria sebagai induk. 

            Selanjutnya calon induk terpilih diadaptasikan terhadap suhu dan salinitas sebelum dipijahkan.  Kemudian terhadap calon induk ini dapat dilakukan ablasi untuk mempercepat pematangan gonad yang hanya dilakukan terhadap calon induk betina.  Setelah itu ditebarkan dalam bak perkawinan.  Ablasi tersebut harus dilakukan secara aseptik untuk mencegah terjadinya gangguan kesehatan induk yang akan mempenga-ruhi fekunditas dan mutu benur yang dihasilkan yang pada akhirnya berpengaruh terhadap produksi tambak.  

            Selanjutnya, induk‑induk terpilih ditempatkan dalam bak perkawinan dan peneluran.  Setelah menetas, naupli dipelihara dalam bak pendederan untuk selanjutnya dipelihara dalam bak pemeliharaan larva sampai pasca larva siap jual.

Aktivitas Pembesaran Udang Windu Di Tambak

 

            Kegiatan pembesaran udang windu ini diawali dengan persiapan petakan tambak. Persiapan petakan yang dilakukan meliputi perbaikan pematang tambak, pelumpuran, pembalikan dan pengangkatan tanah dasar tambak, pengeringan dan penje-muran tanah dasar tambak, desinfeksi, pengapuran dan pemupukan.

            Status kesehatan benur harus diperiksa sebelum benur ditebar pada petakan tambak.  Pengujian status kesehatan ini dilakukan dengan salah satu uji, uji stress atau uji formalin.  Sebaiknya, benur lolos uji selama 1-2 minggu dipelihara dalam hapa pada petakan tambak yang akan ditanami udang untuk memudahkan monitoring awal pembesaran.  Selanjutnya, benur ditebarkan dalam petak pembesaran dengan padat tebar 20-25 ekor/m2.

            Pemeliharaan udang windu dilakukan mengikuti pola produksi dengan konsep manajemen kesehatan budidaya ("shrimp culture health management") dan memper-hatikan keseimbangan interaksi lingkungan-biota-patogen.   Selama masa pemeliharaan tersebut, monitoring budidaya untuk aspek pencapaian biomass, respon pakan dan respon kesehatan perlu dilakukan sekurangnya 2 minggu sekali, kualitas media seperti DO, suhu, salinitas dan pH juga dipantau harian.

            Dalam perkembangannya, teknologi pembesaran udang windu dilakukan dengan teknologi tradisionil, semi intensif dan intensif.   Kegiatan budidaya udang windu pada ke 3 jenis teknologi ini diawali dengan persiapan tambak.  Aplikasi teknologi tersebut berkaitan dengan masukan input dalam proses produksi udang terutama input pakan.

            Kuantitas pakan yang diberikan disesuaikan dengan stadia udang, tingkat pertumbuhan dan perkembangan udang dengan kualitas pakan yang baik.  Pada budidaya dengan teknologi intensif, pakan diberikan dalam jumlah berlebihan dan dikelola melalui suatu manajemen pakan agar diperoleh pemanfaatan yang efisien dengan hasil penambahan bobot biomass yang tinggi.

 

III.  PENGEMBANGAN BUDIDAYA TAMBAK UDANG WINDU

 

 

 

            Pemerintah telah mencanangkan PROTEKAN 2003 yang harus mencapai penerimaan devisa negara sebesar 10 milyar $ Amerika dan 6.78 milyar $ berasal dari budidaya udang.   Sebagai upaya untuk memenuhi PROTEKAN 2003 itu telah dila-kukan dengan penekanan pada pengembangan budidaya udang windu.  Untuk itu  dilakukan intensifikasi melalui Proyek Intensifikasi Tambak (Proyek INTAM).  Sebagai contoh perkembangan INTAM di Kalimantan Barat sampai Mei 2000 seluas 3.570, 12 ha dengan teknologi intensif, semi intensif dan tradisional (DISKAN Prop. Kalbar 2000).

            Disamping melalui intensifikasi tambak, pengembangan budidaya tambak dilakukan dengan ekstensifikasi lahan yang berkaitan dengan pembukaan areal tambak baru.  Pembangunan hamparan tambak baru tersebut berlangsung dikawasan perairan pantai dan estuarin.  

            Kawasan ini merupakan suatu potensi sumber daya yang sangat potensial untuk menghasilkan produk-produk perikanan.  Disamping itu juga merupakan suatu sumber lapangan kerja bagi penduduk disekitarnya, sumber pangan dan bahkan wisata.   Agar pemanfaatannya lestari, maka pengelolaan kawasan tersebut harus dilakukan secara optimal, terencana dan berwawasan lingkungan.

            Tuhri (2000) menekankan, perlunya pengaturan tata ruang diwilayah pesisir untuk menghondatkan konflik interest.  Dengan demikian wilayah ini dapat diman-faatkan sebaik-baiknya secara damai bagi kepentingan dan kesejahtraan masyarakat.

            Pembangunannya harus mempertimbangkan aspek lestari dari sumberdaya pan-tai tersebut.  Hal ini telah diamanatkan dalam UU No. 4 Tahun 1982 tentang Pokok-Pokok Pengelolaan Lingkungan Hidup, UU No. 5 Tahun 1990 tentang Konservasi Sumberdaya Alam dan Ekosistemnya dan UU No. 24 Tahun 1992 Tentang Rencana Umum Tata Ruang.

            Pemeliharaan keanekaragaman hayati diwilayah pantai sangat penting untuk mendudukung berlangsungnya pembangunan Nasional.  Tekanan terhadap sumberdaya wilayah pantai terjadi sebagai dampak atau akibat perluasan areal tambak terutama berhubungan dengan pembukaan hutan bakau untuk dikonversikan sebagai areal pertambakan udang windu yang terkadang mengabaikan kelestarian hutan bakau dan lingkungan pantai.

            Dalam Ketentuan Umum UU No. 5 Tahun 1990 Bab I Pasal 1, disebutkan, bahwa konservasi sumber daya alam hayati adalah pengelolaan sumberdaya alam hayati yang pemanfaatannya dilakukan secara bijaksana untuk menjamin kesinambungan persediaannya dengan tetap memelihara dan meningkatkan kualitas keanekaragaman dan nilainya.   Sedangkan Pasal 3 UU No. 5 ini mengemukakan tujuan mengusahakan terwujudnya kelestarian sumberdaya alam hayati serta keseimbangan ekosistemnya, sehingga dapat lebih mendukung upaya kesejahteraan masyarakat dan mutu kehidupan manusia.  Hal ini dilakukan dengan pemanfaatan secara lestari, sebagaimana disebutkan dalam Pasal 5 UU No. 5 ini.

            Sumberdaya pantai dengan hutan bakaunya memiliki banyak manfaat bagi kehidupan didaratan, pantai dan lautan.  Karenanya sesuai dengan Ketentuan Umum UU No. 32 Tahun 1990 tentang Pengelolaan Kawasan Lindung, Pasal 1 butir 12 yang menyatakan, bahwa Kawasan Pantai Berhutan Bakau merupakan habitat alami hutan bakau yang berfungsi memberi perlindungan kepada kehidupan pantai dan lautan; selain itu merupakan salah satu kawasan suaka alam dan cagar budaya seperti dimaksudkan BAB III, Pasal 6 mengenai Ruang Lingkup.

            Atas dasar itulah, pengembangan budidaya udang windu melalui ekstensifikasi aeral harus berwawasan lingkungan dalam satu kegiatan bisnis budidaya udang ber-kelanjutan.  Dengan demikian terhindar dari penolakan pasar terhadap produk tambak udang windu sebagai dampak isu internasional berkaitan dengan kerusakan lingkungan pantai dimana terjadi pembukaan areal dan pembentukan tambak baru.  Upaya pengembangan tersebut dapat dilakukan antara lain dengan silvofishery dan pemuliaan.

 

 

Silvofishery

            Kegiatan pertambakan dilakukan pada kawasan pantai yang merupakan kawasan yang dapat dimanfaatkan oleh multi sektor seperti perikanan, kehutanan dan pariwisata secara terpadu.  Pemanfaatannya harus dilakukan dengan memperhatikan keterkaitan kepentingan yang diarahkan bagi kesejahtraan masyarakat luas.

            Dalam pengembangan budidaya tambak didaerah pantai seperti disebutkan diatas yang memiliki hutan bakau, maka disainnya perlu memperhatikan keberadaan dan menjaga kelestarian hutan bakau tersebut.  Hutan bakau merupakan salah satu komponen sumberdaya hayati pantai sebagai komunitas tanaman yang dipengaruhi pasang surut dan sebagai zone perantara ekosistem lautan dan daratan.   Kehidupan bakau sangat tergantung pada air laut dan air tawar yang menyediakan nutrien dan substrat bagi vegetasinya.

            Sebagai suatu ekosistem, hutan bakau sangat bermanfaat bagi kehidupan.  Hal ini didasarkan fungsi fisik, biologik dan ekonomi dari hutan bakau tersebut.  Fungsi-fungsi tersebut harus dimanfaatkan secara bijak dan lestari sebagaimana dimaksudkan UU No. 5 tahun 1990 mengenai Konservasi Sumberdaya Alam dan Ekosistemnya, UU No. 24/1992 Tentang Rencana Umum Tata Ruang dan UU No. 4/1982 tentang Pokok-Pokok Pengelolaan Lingkungan Hidup.  Kerusakan yang terjadi di wilayah ini akan sangat mempengaruhi dan mengancam kelangsungan hidup terutama penduduk pantai.

            Peran fisik hutan bakau berkaitan dengan perlindungan daerah pantai dari hempasan ombak, arus dan angin yang menyebabkan terjadinya abrasi.  Sedangkan fungsi biologik hutan bakau adalah sebagai tempat asuhan biota perairan (nursery ground), sebagai tempat mencari makanan biota perairan, satwa burung dan primata.  Secara ekonomi, hutan bakau dapat dimanfaatkan sebagai sumber kayu bakar, penghasil udang dan ikan dan sebagai tujuan wisata.

            Berkaitan dengan upaya pengembangan tambak di kawasan pantai, maka dalam realisasinya harus memperhatikan UU No. 5 Tahun 1990 BAB I Pasal 5 yakni :

     (a)   perlindungan sistem penyangga kehidupan,

     (b)   pengawetan keanekaragaman jenis tumbuhan dan satwa beserta ekosistemnya,

     (c)   pemanfaatan secara lestari sumberdaya alam hayati  dan ekosistemnya.

Selanjutnya dalam BAB II Pasal 7 UU No 5 tahun 1990 dinyatakan, bahwa per-lindungan sistem penyangga kehidupan ditujukan bagi terpeliharanya proses ekologis yang menunjang kelangsungan kehidupan untuk meningkatkan kesejahteraaan masya-rakat dan mutu kehidupan manusia.  Untuk mewujudkan hal ini, maka ditetapkan wilayah tertentu sebagai wilayah perlindungan sebagaimana disebutkan dalam Pasal 8 UU No. 5 Tahun 1990 tersebut.

            Karenanya, maka dikenal adanya kawasan lindung.  Kawasan Pantai Berhutan Bakau merupakan salah satu kawasan yang termasuk kawasan lindung, seperti disebut-kan pada Pasal 3, Pasal 8 BAB III UU Nomor 32 Tahun 1990.  Adanya ketentuan-ketentuan yang tertera dalam perundang-undangan tersebut harus dipatuhi untuk kepen-tingan bersama dalam mengelola kawasan tersebut secara berkelanjutan.

            Sebagai suatu kawasan konservasi, maka pengelolaan hutan bakau dilakukan dalam bentuk pengamanan, pembinaan, pengembangan potensi dan pengendalian kerusakan habitat yang mengakibatkan penurunan daya dukungnya.  Keadaan ini telah diungkapkan pada Pasal 26, 27 dan 28 BAB VI UU No. 5 tahun 1990.

            Berkaitan dengan PROTEKAN 2003 dan dengan memperhatikan UU No. 24 tahun 1992 mengenai Penataan Ruang, maka dalam perencanaan pengelolaan pantai, kawasan lindung merupakan komponennya.  Maka, dikembangkan silvofishery atau aquaforesty melalui kegiatan rehabilitasi dan konservasi bakau pola silvofishery.

            Pola silvofishery yang merupakan paduan kegiatan budidaya perikanan dan kehutanan ini menerapkan tehnik budidaya sederhana.  Kegiatan ini dapat meningkatkan efisiensi pemanfaatan dan produktivitas lahan yang berimplikasi terhadap peningkatan pendapat dan kondisi sosial-ekonomi masyarakat setempat.

            Keberadaan dan dipertahankannya vegetasi bakau dalam silvofishery ini berpe-ngaruh positif terhadap kegiatan perikanan terutama sebagai tempat asuhan (nursery ground) dan tempat makan (feeding ground) ikan dan udang yang masuk sendiri diwaktu pasang dalam kegiatan perikanan yang bersifat tradisional.  Ikan, udang dan tanaman bakaunya (sebagai penghasil arang, kayu bakar, bahan industri penyamak kulit) dapat dipanen kemudian dan secara ekonomis menguntungkan masyarakat sekitarnya.   

            Kegiatan silvofishery ini telah dilakukan misalnya di Kabupaten Brebes, Pema-lang dan Demak; Kabupaten Sinjai di Sulawesi Selatan dan di Cikeong Kab. Purwa-karta.   Melalui kegiatan ini produksi udang liar yang masuk dalam petakan tambak meningkat sekitar 50 %/ha/tahun (Yuliarsana 2000).  Selanjutnya Yuliarsana (2000), mengemukakan, bahwa di tahun 1995 petani di Cikeong, Purwakarta telah meng-hasilkan 100 kg udang windu dari penanaman 10.000 benur, dari 2000 nener dapat dihasilkan 300 kg dan udang liar sebanyak 150 kg dengan 2 kali panen.

            Beberapa model silvofishery dalam kegiatan budidaya  adalah tambak parit tra-disionil, komplangan, tambak terbuka dan model kao-kao.  Pada kegiatan ini, petambak menebar benih bandeng atau udang windu kedalam petakan; secara umum kegiatan budidaya ini dilakukan dengan tehnologi sederhana.

            Serasah bakau yang jatuh akan terdekomposisi dan dimanfaatkan oleh produsen primer; selanjutnya dimaanfaatkan oleh konsumen primer dan seterusnya dalam satu rantai makanan.  Selain itu beberapa bioaktif dihasilkan oleh tanaman bakau.  Bioaktif tersebut bekerja sebagai desinfektan, antimikrobial alamiah, sehingga dapat mereduksi kejadian penyakit infeksi pada biota udang windu yang dibudidayakan. 

            Beberapa jenis tanaman bakau yang ditanam dalam dalam kegiatan rehabilitasi dan konservasi pantai terkait dengan aktivitas silvofishery diantaranya Avicenia, Bru-guiera, Rhyzophora, dengan jarak tanam 2 X 3 m.  Sedangkan biota budidaya yang utama ditanam atau ditebarkan dalam petakan tambak adalah udang windu sejalan dengan PROTEKAN 2003.

Pemuliaan Dalam Pengembangan Budidaya Tambak

            Sebagaimana halnya dengan kegiatan budidaya lainnya, pengembangan budi-daya udang windu menghadapi beberapa kendala diantaranya masalah penyakit.  Ken-dala lainnya adalah masalah yang berkaitan dengan nutrisi dan kualitas air.

            Penyakit infeksi merupakan penyakit yang sering dikaitkan dengan kegagalan produksi baik dipembenihan maupun ditambak-tambak pembesaran udang windu.  Hingga kini, penyakit virus dan bakteri merupakan penyakit utama yang dihadapi para petambak dan sering menyebabkan kegagalan panen.

            Pengendalian penyakit infeksi diantaranya dilakukan dengan memproduksi be-nih yang rentan terhadap penyakit.  Tindakan ini merupakan tindakan internal terhadap biota yang dilaksanakan dengan cara konvensional dan dengan menggunakan teknologi maju.  Upaya ini merupakan kegiatan pemuliaan udang windu yang diharapkan unggul dari aspek kesehatan terutama untuk memperoleh Specific Pathogen Free (SPF) (Wyban, 1992).  Meskipun demikian aspek nutritif, pertumbuhan dan reproduktif juga harus dipertimbangkan dalam pemuliaan hewan.

Pemuliaan Konvensional

            Secara konvensional, persilangan atau hibridisasi antara induk-induk udang yang berasal dari berbagai tempat yang memiliki keunggulan komparatif dilakukan dengan induk lokal dilokasi pembenihan.  Seperti diketahui, pembenih memakai induk-induk asal daerah tertentu seperti Aceh, Cilacap, Sulawesi Selatan dan Kalimantan dalam produksi benih yang disilangkan dengan induk lokalnya.   Hibridisasi ini diharapkan dapat menghasilkan benih unggalan dan tanpa disadari pembenih juga berpengaruh terhadap keragaman hayati plasma nutfah udang.  Pengaruh hibridisasi konvensional ini diharapkan meningkatkan keragaman plasma nutfah, aman serta menghasilkan pro-duksi/ha yang lebih tinggi; meskipun belum banyak informasi yang tersedia saat ini.

Pemuliaan Dengan Teknologi Transgenik

            Alternatif lain untuk menghadapi kendala dalam budidaya adalah pemuliaan dengan teknologi transgenik.  Devlin et al. (2001) mengungkapkan, bahwa teknologi transgenik dapat memacu pertumbuhan ikan Rainbow trout (Onchorhynchus mykiss) liar.  Hal ini dilakukan dengan konstruksi gen pertumbuhan (OnMTGHI) melalui mikroinjeksi telur.

            Atas dasar itu, teknologi transgenik mungkin dapat diterapkan pada pemuliaan udang windu untuk memperoleh udang  unggulan.           Udang transgenik adalah udang yang telah mengalami perubahan secara buatan pada gennya dengan cara mengubah susunan asli genom aslinya dengan tehnik rekombinan DNA.

            Berbeda halnya dengan hibridisasi konvensional, maka pemuliaan dengan tek-nologi rekombinan yang menghasilkan organisme transgenik harus dilakukan secara hati-hati. Kehati-hatian ini sesuai dengan isi Protokol Cartagena yang mengatur kea-manan hayati yang disebabkan lintas perdagangan pada berbagai tingkat negara, kota dan antar pulau.  Disamping itu penting juga diperhatikan adalah faktor keamanan pangan, dampak negatifnya terhadap plasma nutfah yang ada sebagaimana dimaksudkan pada pasal 15 mengenai penetapan penilaian risiko, pasal 16 tentang pengendalian risiko dari Protokol Cartagena tersebut.  Hal ini juga telah diutarakan dalam SK Mentan No. 856/Kpts/HK.330/9/1997 tentang Ketentuan Keamanan Hayati Produk Bioteknologi Pertanian Hasil Rekayasa Genetik; sebagaimana disebutkan pada bagian ke III Bab III tentang syarat pemanfaatan ikan dan bahan asal ikan transgenik yang menyangkut keamanan terhadap manusia dan biota, misalnya dengan vektor patogen.

            Dalam Protokol Cartagena Tentang Keamanan Hayati Pasal 4 mengenai Ruang lingkup dicantumkan kemungkinan terjadinya dampak yang merugikan terhadap konservasi dan risiko terhadap kesehatan konsumen.  Demikian juga pada Pasal 17 ayat 1 Protokol Cartagena menyinggung tentang keharusan menginformasikan bila diketahui adanya pengaruh merugikan yang signifikan terhadap konservasi dan penggunaan secara lestari keanekaragaman hayati.  Sangsi hukum diberlakukan terhadap pergerakan lintas batas organisme hasil modifikasi (OHM) yang dilakukan bertentangan dengan peraturan dalam negeri yang digunakan untuk mengimplementasikan Protokol Caratega sebagaimana disebutkan pada pasal 25 butir 1 Protokol Cartagena.

            Sehubungan dengan tindak pengamanan, maka penyebarluasan produk organis-me hasil modifikasi harus seizin Pemerintah, merupakan kewenangan Mentan, MenLH dan Menristek.  Hal ini diatur dalam PP No. 27 Tahun 1999.  Disamping itu, juga harus mengikuti pedoman formal yang mengikat, seperti Pedoman yang dikeluarkan Balit-bangtan, Deptan (1998).

            Selain itu Protokol Cartagena Pasal 27 menyinggung PertanggungJawaban dan Upaya Pemulihan atas kerusakan yang timbul atas perdagangan organisme hasil modi-fikasi.  Meskipun tidak diatur secara spesifik, tindak karantina ikan perlu juga dite-rapkan sesuai dengan tujuan UU No. 16 Tahun 1992 tentang Karantina Ikan yaitu menjaga kelestarian sumberdaya perikanan atau plasma nutfah perikanan Nasional (Alifuddin, 1991;  Alifuddin, 2000).

 

 

 

                                                       IV. KESIMPULAN

 

 

            Sebagai suatu negara kepulauan, Indonesia memiliki perairan pantai seluas 5.6 juta km2, yang sangat potensial untuk menghasilkan produk perikanan diantaranya melalui budidaya tambak dikawasan pantai.  Kawasan pantai dengan keunikan eko-sistemnya harus diupayakan secara lestari bagi kesejahtraan masyarakat.

            Pengembangan budidaya tambak harus mengacu pada pengaturan tata ruang dikawasan pantai secara berkelanjutan dengan memperhatikan perundang-undangan yang berlaku.  Silvofishery merupakan salah satu bentuk pemanfaatan ekosistem pantai dengan memperhatikan fungsi hutan bakau dan kelestarian kawasan.

            Adanya kendala penyakit misalnya dalam budidaya tambak, memerlukan upaya pengendalian penyakit diantaranya melalui perbaikan mutu genetis.  Pemuliaan ini pada udang dapat dilakukan secara konvensional melalui persilangan induk dari dan diantara plasma nutfah yang tersebar diperairan dari Aceh hingga Irian Jaya dan secara modern dengan teknologi transgenik.  Pemanfaatan bioteknologi ini harus dilakukan dengan hati-hati, memperhatikan kelestarian dan aman bagi plasma nutfah yang asli, mengikuti protokol dan pedoman penyebarluasannya agar dapat dihindari dampak negatif yang mengancam kelestarian plasma nutfah yang ada.

                                                                      

 

 

IV. DAFTAR BACAAN

 

 

 

Alifuddin, M. 1991.  Anticipating within aquaculture development : Fish Quarantine for prevention od fish disease. Kontribusi Paper. Lab. Kesehatan Ikan. Jurusan BDP-Faperikan. 9 hal.

 

____________. 2000.  Pengendalian  Penyakit  Infeksi  Ikan.    Lab. Kesehatan Ikan. Ju-rusan BDP-FPIK. hal 60-61

 

Balitbangtan-Deptan. 1998.  Pedoman Pelaksanaan Pengujian Keamanan Hayati Produk Bioteknologi Pertanian Hasil Rekayasa Genetik. Seri Ikan. 33 hal.

 

 

Devlin, R.H.; C.A. Biagi; T.Y. Yesaki; D.E. Sainelus dan J.C. Byatt. 2001. Growth of domesticated transgenic fish. Nature. 409 : 781-782

 

DISKAN Propinsi Kalimantan Barat. 2000. Laporan Evaluasi Pelaksanaan Program INTAM, Musim Tanam I (April-September 1999) dan Musim Tanam II (Oktober-September 2000). 50 halaman

 

Menteri Pertanian. 1997. SK Nomor 8565/Kpts/HK.330/9/1997 tentang Ketentuan Keamanan Hayati Produk Bioteknologi Pertanian Hasil Rekayasa Genetik. Jakarta.

 

Poernomo, A. tanpa tahun. Peranan Tataruang, Desain Interior Kawasan Pesisir dan Pengelolaannya Terhadap kelestarian Budidaya Tambak.  Puslitbangkan. Balit-bangtan. 48 halaman

 

Sekretariat Negara. 1982. Undang-Undang No.4 Tahun 1982 tentang Ketentuan Ketentuan Pokok-Pokok Pengelolaan Lingkungan Hidup. Jakarta

 

Sekretariat Negara. 1990. UU No. 5 Tahun 1990 mengenai Konservasi Sumberdaya Alam dan Ekosistemnya. Jakarta

 

__________________. 1990. UU No. 32 Tahun 1990 Tentang Pengelolaan Kawasan Lindung. Jakarta

 

__________________. 1992. UU No. 24 Tahun 1992 Tentang Rencana Umum Tata Ruang. Jakarta.

 

__________________. 1994. UU No. 5 Tahun 1994 tentang Ratifikasi Konvensi PBB mengenai Keaneka Ragaman Hayati. Jakarta.

 

__________________. 1992. UU No. 16 Tahun 1992 tentang Karantina Ikan. Jakarta.

 

Tim Kecil  Protokol  Keamanan Keanekaragaman  Hayati. 2000. Protokol Cartagena Tentang Keamanan Hayati. Pada Konvensi tentang Keanekaragaman Hayati. Ya-yasan Kehati. 27 hal.

 

Tuhri, M. 2000.  Tata ruang kawasan Pesisir, Infrasturktur, Serta Peluang Pendapatan asli daerah. Paper disampaikan Pada Workshop Bisnis Budidaya udang berke-lanjutan. Bogor 27-29 September 2000. 8 halaman

 

Yuliarsana, N. 2000. Peran dan Fungsi Hutan Mangrove Kaitannya dengan Tambak dan Silvofishery.  Paper disampaikan Pada Workshop Bisnis Budidaya udang berke-lanjutan.  Bogor 27-29 September 2000. 8 halaman

    

Wyban, J.A. 1992.  Selective Breeding of Spesific Pathogen Free (SPF) Shrimp for high health and increase growth. In : Fulks, W. and K.L. Main (Eds.). 1992. Diseases of Cultured Penaeid Shrimp in Asia and the United State. The Oceanic Institut. Honolulu. pp 257-267.