© 2001 MAHFUDZ
Posted 2 June
2001 [rudyct]
Makalah Falsafah Sains (PPs
702)
Program Pasca Sarjana / S3
Institut Pertanian Bogor
Dosen:
Prof Dr Ir Rudy C
Tarumingkeng (Penanggung Jawab)
Prof Dr Ir Zahrial Coto
Oleh:
MAHFUDZ
E-mail: mahfudz-m@lycos.com
I, Pendahuluan
Tantangan pembangunan pertanian di
masa mendatang adalah penyediaan pangan bagi penduduk , yang lebih dikenal dengan
istilah ketahanan pangan. Menurut UU Pangan Nomor 7 tahuan 1996 pasal 1 ayat
17, ketahanan pangan didefinisikan sebagai kondisi terpenuhinya pangan bagi
rumah tangga yang tercermin dari tersedianya pangan yang cukup dalam jumlah,
mutu, aman, merata dan terjangkau. Sedangkan menurut World Food Conference on
Human Right 1993 dan World Food Summit 1996 adalah kondisi terpenuhinya
kebutuhan gizi setiap individu dalam jumlah dan mutu agar dapat hidup aktif dan
sehat secara berkesinambungan sesuai dengan budaya setempat
Tantangan penyediaan pangan semakin
hari semakin berat. Degradasi lahan dan lingkungan, baik oleh ulah manusia
maupun gangguan alam, semakin meningkat. Lahan subur untuk pertanian banyak
beralih fungsi menjadi lahan nonpertanian. Sebagai akibatnya kegiatan-kegiatan
budidaya pertanian bergeser ke lahan-lahan kritis yang memerlukan input tinggi
dan mahal untuk menghasilkan produk pangan per satuan luas. Pertanyaannya
adalah begitu pentingkah kita memeras pikiran dan tenaga untuk ketahanan pangan
ini ?.
Data menunjukkan bahwa jumlah
penduduk Indonesia berdasarkan sensus penduduk 1990 sebesar 178,6 juta jiwa dan
pada tahun 2000 meningkat menjadi 203,5 juta jiwa. Laju pertumbuhan penduduk
1990 – 2000 berdasarkan sensus tahun 2000 tercatat sebesar 1,36 %. Jika laju
pertumbuhan penduduk tepat (sebesar 1,36 % per tahun), maka pada tahun 2020
nanti jumlah penduduk Indonesia diperkirakan 266,6 juta jiwa.
Sastrosoedarjo dan Juwita (1996)
memperkirakan bahwa konsumsi kalori per kapita pada tahun 2000 sebesar 2100,53
g kalori/kapita/hari, sedangkan konsumsi pangan setara beras mencapai 120 kg
beras/kapita/tahun. Perkiraan ini jauh lebih tinggi dari rata-rata konsumsi
beras per kapita sesungguhnya yaitu sebesar 200 g/kapita/hari. Dengan konsumsi
per kapita per hari 200 g maka kebutuhan bahan pangan (setara beras) per hari
sebesar 40.700 ton atau sebesar 14,86 juta ton per tahun. Jika asumsi konsumsi
pangan setara beras per tahun tetap, maka pada tahun 2020 nanti kebutuhan
pangan setara beras mencapai 53.320
ton/hari atau sebesar 19,46 juta ton per tahun
Jika
produksi lahan sebesar 2 ton beras/ha, maka kebutuhan pangan setara beras pada
tahun 2020 nanti harus dipenuhi dari luasan panen sekitar 9,73 juta ha.
Sementara menurut data Biro Pusat Statistik tahun 1989 luas lahan sawah kita
hanya 7,3 juta ha. Ketimpangan ini ditambah lagi dengan laporan Lopulisa (1995)
bahwa tahun 1991-1993 luas sawah beralih fungsi ke perumahan, industri dan
perkantoran, serta lainnya mencapai 114 ribu hektar dan 56,2 % diantaranya di
Jawa dan Bali. Degradasi lahan subur di pulau Jawa ini diperkirakan akan terus
bertambah, untuk kepentingan nonpertanian.
Pertanyaan berikutnya mampukah kita
menyediakan kebutuhan pangan pada tahun 2020 nanti hanya dengan mengandalkan lahan subur yang ada ?.
Data menunjukkan bahwa gambaran Indonesia telah berswasembada beras sejak tahun
1985 tinggal menjadi kenangan, karena kenyataannya sejak krisis ekonomi melanda
Indonesia impor beras dari negara tetangga semakin meningkat.
Akibat pengelolaan yang tidak tepat,
lahan kritis di Indonesia meningkat setiap tahun. Pada tahun 1977 luas lahan
kritis di pulau-pulau besar di Indonesia (kecuali Jawa) hanya 15 juta ha, pada
tahun 1987 meningkat menjadi 19 juta hektar (BPS 1988) dan dewasa ini telah
mencapai 20 juta hektar.
Degradasi lahan pertanian yang
sering mengakibatkan penururan kualitas lahan garapan dan lingkungan bukan
hanya tanggung jawab petani, tetapi juga tanggung jawab pemerintah daerah dan
pusat yang mendapat masukan berupa rekomendasi dari para ahli (Bennema and
Meester, 1981). Di banyak negara, terlihat jelas adanya kesenjangan yang besar
antara kepedulian masyarakat dengan pemerintah terhadap masalah erosi dengan
tindakan nyata yang komprehensif untuk mengatasinya (Hauk, 1981)
Berbagai cara untuk menangani lahan kritis telah dilakukan
oleh pemerintah, antara lain melalui program reboisasi dan penghijauan.
Fakultas Pertanian Andalas (1992) melaporkan bahwa keberhasilan fisik reboisasi
selama Pelita IV baru sekitar 68 %, sedangkan penghijauan hanya 21 %. Hal ini
mungkin disebabkan karena kurang tepatnya teknologi yang digunakan, atau
kondisi lahan belum dipelajari dengan cermat, atau karena teknologi tidak
diterapkan sepenuhnya.
Ditinjau dari segi pelestarian
lingkungan dan efisiensi penggunaan dana dalam program ekstensifikasi maka
pemanfaatan lahan kritis dengan perbaikan produktivitas mungkin lebih baik
daripada membuka hutan. Produktivitas beberapa jenis lahan kritis misalnya
lahan alang-alang relatif lebih mudah
diperbaiki untuk budidaya tanaman pangan.
Peningkatan sustainabilitas sistem
produksi perlu memperhatikan hal-hal berikut : (1) peningkatan produksi pangan
yang nyata untuk memenuhi kebutuhan mereka, (2) mencegah terjadinya degradasi
sumberdaya, dan (3) mengurangi pengaruh negatif teknologi produksi terhadap
lingkungan (Manwan, 1993).
Tulisan ini mengkaji peluang
pemanfaatan lahan kritis melalui usahatani konservasi untuk penyediaan pangan.
Ciri utama lahan kritis adalah gundul, berkesan gersang, dan bahkan muncul batu-batuan di permukaan tanah, topografi lahan pada umumnya berbukit atau berlereng curam (Hakim et al., 1991). Tingkat produktivitas rendah yang ditandai oleh tingginya tingkat kemasaman tanah, kekahatan hara P, K, C dan Mg, rendahnya kapasitas tukar kation (KT), kejenuhan basa dan kandungan bahan organik, tingginya kadar Al dan Mn, yang dapat meracuni tanaman dan peka terhadap erosi. Selain itu, pada umumnya lahan kritis ditandai dengan vegetasi alang-alang yang mendominasinya dengan sifat-sifat lahan padang alang-alang memiliki pH tanah relatif rendah sekitar 4,8-6,2, mengalami pencucian tanah tinggi, ditemukan rizoma dalam jumlah banyak yang menjadi hambatan mekanik dalam budidaya tanaman, terdapat reaksi alelopati dari akar rimpang alang-alang yang menyebabkan gangguan pertumbuhan pada lahan tersebut
Pada umumnya, penduduk yang tinggal di daerah tersebut relatif miskin (sedikit kesempatan untuk memperoleh income), yang disebabkan pemberdayaan tanah kritis tersebut berhubungan erat dengan masalah kemiskinan penduduknya, tingginya kepadatan populasi, kecilnya luas lahan, kesempatan kerja terbatas dan lingkungan yang terdegradasi. Oleh karena itu perlu diterapkan sistem pertanian berkelanjutan dengan melibatkan penduduk dan kelembagaan.
Permasalahan Lahan Kritis
Meluasnya lahan kritis disebabkan oleh beberapa hal antara lain
1. Tekanan penduduk
2. Perluasan areal pertanian yang tidak sesuai,
3. Perladangan berpindah
4. Padang penggembalaan yang berlebihan
5. Pengelolaan hutan yang tidak baik
6. Pembakaran yang tidak terkendali
Fujisaka dan Carrity (1989) mengemukakan bahwa masalah utama yang dihadapi di lahan kritis antara lain adalah lahan mudah tererosi, tanah bereaksi masam dan miskin unsur hara.
III. Strategi Pengelolaan Lahan Kritis
Akhir-akhir ini ada pendapat yang menyatakan bahwa strategi swasembada pangan perlu diubah menjadi swadaya pangan. Artinya, yang harus diutamakan bukan meningkatkan produksi tetapi bagaimana menumbuhkan kemampuan membeli bahan pangan. Dalam kondisi yang tidak menguntungkan, impor pangan tertentu merupakan alternatif yang dianggap baik.
Apapun strategi yang dianut, pengelolaan usahatani tanaman pangan tetap perlu dilakasanakan sebaik mungkin dengan tujuan produksi tinggi dan berwawasan lingkungan agar kebutuhan pangan nasional tidak tergantung kepada negara lain. Dalam kaitan itu, penelitian dan pengembangan teknologi usahatani perlu ditingkatkan, termasuk penelusuran perluasan areal baru, baik oleh pengambil kebijakan maupun para ahli dan pihak terkait lainnya.
1. Aplikasi Usahatani Konservasi
Banyak teknologi yang dianjurkan untuk menekan erosi tanah, seperti pembuatan teras dan galengan. Akan tetapi, petani pada umumnya tidak memiliki cukup biaya untuk pembuatan teras. Oleh karena itu, belakangan ini telah dianjurkan pula sistem usahatani konservasi.
Sistem
usahatani konservasi adalah penataan usahatani yang stabil berdasarkan daya
dukung lahan yang didasarkan atas tanggapannya terhadap faktor-faktor fisik,
biologis dan sosial ekonomis serta berlandaskan sasaran dan tujuan rumah tangga
petani dengan mempertimbangkan sumber daya yang tersedia (UACP-FSR 1990).
Penanganan
masalah secara parsial yang telah ditempuh selama ini ternyata tidak mampu
mengatasi masalah yang kompleks dan juga tidak efisien ditinjau dari segi
biaya. Pendekatan parsial untuk mengatasi masalah produktivitas tanaman adalah
ciri suatu penelitian yang berbasis komoditas. CGIAR (Consultative Group on
International Agriculture Research) mengubah strategi penelitian melalui
pendekatan holistik dengan fokus sumberdaya. Dalam skala makro strateginya
disebut ecoregional initiative dan dalam skala mikro dijabarkan dalam
integrated crop management (Kartaatmadja dan Fagi, 1999).
Kunci keberhasilan budidaya tanaman pangan berkelanjutan antara lain 1) mengusahakan agar tanah tertutup tanaman sepanjang tahun guna melindungi tanah dari erosi dan pencucian 2) mengembalikan sisa-sisa tanaman, kompos dan pupuk kandang ke dalam tanah guna memperbaiki/mempertahankan bahan organik tanah (Effendi et al, 1986). Sedangkan kebiasaan petani dalam mengusahakan tanaman pangan sebagian besar limbah pertaniannya diangkut keluar untuk pakan dan kayu bakar, dibakar pada saat persiapan tanah atau terbawa erosi, oleh karena itu makin lama kandungan bahan organik tanah makin menurun dan diikuti oleh peningkatan erosi tanah karena kurangnya tindakan konservasi tanah.
Pengusahaan budidaya tanaman yang dapat menutup permukaan tanah sepanjang tahun merupakan tindakan konservasi vegetatif yang baik. Tindakan tersebut akan lebih baik lagi jika sisa tanaman juga dikembalikan sebagai tambahan bahan organik tanah. Bahan organik yang tinggi tidak hanya akan menambah nutrisi tanah setelah melapuk , tetapi juga dapat berperan sebagai penyanggah dari pupuk yang diberikan, mengikat air lebih baik dan meningkatkan daya infiltrasi tanah dari curah hujan yang jatuh akhirnya dapat mengurangi erosi dan aliran permukaan serta dapat meningkat produksi dan pendapatan petani. Penelitian jangka panjang penggunaan bahan organik pada pola tanam tanaman pangan di lahan kering di laboratorurium lapangan ungaran. Hasil penelitian selama 3 tahun menujukkan bahwa pemberian pupuk kandang cukup satu kali saja pada awal musim hujan, karena tidak ada perbedaan yang berarti antara yang diberikan tiga kali dan satu kali. Hasil pertanaman jagung dan ubi kayu lebih tinggi pada pola tanam yang didahului oleh tanaman kacang tanah dibanding yang didahului oleh padi googo, masing meningkat 29 dan 50 %. (Toha dan Abdurrahman, 1991).
Pupuk hijau tanaman leguminosa dapat meningkatkan kadar C organik, Kadar N total dan KTK tanah (Lukman dan Mursidi, 1987). Dengan demikian mulsa diharapkan dapat mensubsidi unsur hara yang biasa ditambahkan melalui pupuk buatan. Toha et al., (1985) mengemukakan bahwa pemberian mulsa lamtorogung 30 t/ha dengan tanpa pupuk N dapat mengimbangi pemupukan 45 kg N/ha dengan tanpa mulsa.
Berdasarkan kaidah konservasi tanah dan air, lahan yang berkemiringan 15 % tidak dibenarkan untuk usahatani tanaman pangan (semusim). Akan tetapi, karena tidak punya pilihan lain maka petani menggunakan lahan tersebut unutk usahatani tanaman semusim. Sehubungan dengan itu, Hakim et al., (1991) berpendapat bahwa usahatani tanaman pangan pada lahan tersebut dapat dianjurkan, tetapi perlu diikuti dengan upaya konservasi tanah dan air. Dari laporan Hakim et al., (1991) diketahui bahwa tanaman jagung, kedelai dan kacang hijau dapat berproduksi dengan baik pada lahan kritis yang sudah dikonservasi
Upaya dalam mempertahankan atau meningkatkan produktivitas lahan kritis hendaknya didekati dengan menerapkan sistem usahatani konservasi melalui, pengaturan pola tanam, penambahan bahan organik dengan daur ulang sisa panen dan gulma, serta penerapan budidaya lorong (Adiningsih dan Mulyadi, 1992). Penerapan teknologi tersebut akan memberikan pengaruh positif terhadap produktivitas tanah seperti meningkatnya ketersediaan P dan bahan organik tanah serta menurunnya kadar Al.
2. Penggunaan Amelioran
Penggunaan pupuk organik (pupuk kandang atau pupuk hijau ) dan kapur dapat meningkatkan efisiensi pemakaian pupuk anorganik, karena kedua unsur tersebut dapat meningkatkan daya pegang air dan hara di tanah, sementara itu, residu pupuk diharapkan dapat mengurangi jumlah pemakaian pupuk anorganik pada tanam berikutnya. Hasil penelitian Arief dan Irman (1993) disimpulkan bahwa pemberian amelioran berupa kapur, pupuk kandang, daun gamal, jerami padi dan kiserit mampu meningkatkan hasi padi gogo dan kedelai di tanah podzolik merah kuning.
DAS Jratunseluna (1989) mengemukakan bahwa penggunaan mulsa segar maupun limbah tanaman dapat meningkatkan hasil kacang hijau. Rata-rata hasil mencapai 1,22 t/ha. Hasil tertinggi dicapai pada penggunaan mulsa daun kaliandra sebanyak 10 t/ha. Sisa tanaman yang baik digunakan sebagai mulsa pertanaman kacang hijau berturut-turut jerami padi, jerami jagung, jerami kacang tanah dan terakhir jerami kedelai dengan hasil cukup baik mencapai 1,37; 1,35; 1,25 dan 1,22 t/ha. Mulsa segar kalindra dan lamtorogung dapat dikembangkan sebagai tanaman pagar dalam sistem pertanaman lorong.
3. Penerapan Sistem Budidaya Lorong
Salah satu cara untuk meningkatkan produksi dan pendapatan petani tanaman pangan adalah peningkatan intensitas tanam. Intensitas tanam yang tinggi melalui pengaturan pola tanam merupakan tindakan konservasi vegetatif yang sangat dianjurkan. Tetutupnya lahan sepanjang tahun, akan mengurangi erosi (run off berkurang, infiltrasi air hujan meningkat) serta menghasilkan limbah tanaman pangan untuk menambah bahan organik tanah (Effendi, 1987).
Budidaya lorong adalah upaya pemanfaatan lahan dengan tanaman tahunan dan tanaman semusim. Tanaman semusim ditanam di lorong tanaman pagar yang umumnya berupa famili kacang-kacangan (Kang, Wilson dan Lowson, 1984). Tanaman pagar berfungsi sebagai penahan erosi dan penghasil bahan organik yang dapat meningkatkan produktivitas lahan (IPB, 1987)
Hasil penelitian Evenson dan Jost (1986) di Sitiung, Sumatera Barat, menunjukkan bahwa tanaman pagar jenis Albisia menghasilkan biomas dan nitrogen lebih banyak dibanding Kaliandra. Sedangkan Adiningsih et al., (1986) mengemukakan bahwa di Kuamang Kuning, Jambi, Kalindra dan Lamtoro menghasilkan biomas lebih banyak daripada Flemengia congesta. Zaini et al., (1985) melaporkan bahwa biomas yang dihasilkan lamtoro di Sitiung, Sumatera Barat berbisar antara 4,6-6,3 t/ha/tahun, Flemengia congesta sekitar 5 t/ha/tahun, sedangkan Albisia berkisar antara 2,5-3,1 t/ha/tahun.
Hasil penelitian Hakim et al., (1993) menunjukkan bahwa budidaya lorong dengan rumput raja (king grass) sebagai tanaman pagar dan rotasi jagung-kedelai atau jagung-jagung sebagai tanaman lorong, dapat disarankan pada lahan kritis. Rumput raja selain sebagai pupuk hijau juga dapat menekan laju erosi.
Contoh lain pada hasil penelitian usahatani konservasi model B dan C yang menggunakan tanaman pagar berupa glirisida dan rumput gajah sebagai penguat teras ternyata lebih baik menekan aliran permukaan dan erosi tanah dibanding usahatani konservasi petani yang hanya menanam rumput gajah. Selanjutnya Pratomo mengemukakan bahwa kecilnya erosi yang terjadi pada model B dan C karena adanya barisan tanaman jagung dan ubi kayu yang ditanam secara rapat searah kontour pada setiap jarak 3 m pada perlakuan model C dan tanaman jagung pada model B Tabel 1 dan 2)
Tabel 1. Produksi Biomas Berupa Pangkasan Rumput Gajah dan Glirisidia Pada Masing-Masing Pola Tanaman.
Pola Tanam |
Rumput gajah (kg/m) |
Glirisida (kg/5 m) |
UT konservasi petani (padi+jagung+ubi kayu-kroro kratok (Model A) UT Tana.Pagar (padi+jagung+ubi kayu+kacang hijau-kroro kratok (Model B) UT Tana.Pagar (padi+jagung+ubi kayu+tembakau (Model C) |
5 4,5 5 |
- 5 5 |
Sumber : Pratomo et al., 2000
Produksi biomas pada tahun kedua sudah berupa pangkasan rumput gajah dan glirisida. Rumput gajah pada tahun kedua sudah dipangkas 2 kali sedangkan glirisidia baru 1 kali pangkas.
Tabel 2. Besarnya Aliran Permukaan dan Erosi Tanah Pada Masing-Masing Pola Tanaman.
Pola Tanam |
Aliran Permukaan (m3/ha) |
Erosi Tanah (t/ha) |
UT konservasi petani (padi+jagung+ubi kayu-kroro kratok (Model A) UT Tana.Pagar (padi+jagung+ubi kayu+kacang hijau-kroro kratok (Model B) UT Tana.Pagar (padi+jagung+ubi kayu+tembakau (Model C) |
5.788 1.316 1.351 |
20,106 1,820 2,039 |
Sumber : Pratomo et al., 2000
Budidaya lorong adalah upaya pemanfaatan lahan dengan tanaman tahunan dan tanaman semusim. Tanaman semusim ditanam di lorong tanaman pagar yang umumnya berupa famili kacang-kacangan (Kang, Wilson dan Lowson, 1984). Tanaman pagar berfungsi sebagai penahan erosi dan penghasil bahan organik yang dapat meningkatkan produktivitas lahan (IPB, 1987)
Hasil penelitian Evenson dan Jost (1986) di Sitiung, Sumatera Barat, menunjukkan bahwa tanaman pagar jenis Albisia menghasilkan biomas dan nitrogen lebih banyak dibanding Kaliandra. Sedangkan Adiningsih et al., (1986) mengemukakan bahwa di Kuamang Kuning, Jambi, Kalindra dan Lamtoro menghasilkan biomas lebih banyak daripada Flemengia congesta. Zaini et al., (1985) melaporkan bahwa biomas yang dihasilkan lamtoro di Sitiung, Sumatera Barat berbisar antara 4,6-6,3 t/ha/tahun, Flemengia congesta sekitar 5 t/ha/tahun, sedangkan Albisia berkisar antara 2,5-3,1 t/ha/tahun.
4. Seleksi Tanaman Adaptif Pada
Kondisi Cekaman Lingkungan
Masalah mendasar dan tantangan berat yang harus dihadapi pada lahan kritis adalah bagaimana mengubah lahan tersebut menjadi lahan produktif dan bagaimana menghambat agar lahan kritis tidak semakin meluas. Karena itu berbagai teknik rehabilitasi dan sistem budidaya yang tepat telah banyak dicobakan pada lahan kritis tersebut.
Upaya-upaya yang selama ini dilakukan membutuhkan biaya yang cukup besar dan memerlukan dukungan semua pihak serta perlu dukungan ahli ekofisiologi dan pemulia tanaman untuk menghasilkan varietas tanaman pangan yang adaptif pada lahan kritis yang memiliki karakteristik cekaman lingkungan tertentu (kesuburan rendah, ketersediaan air terbatas/berlebih dan lain-lain). Tanaman pangan adaptif yang dimaksud adalah tanaman yang di satu sisi mampu beradaptasi dan di sisi lain mampu berproduksi secara optimal sehingga dapat diharapkan sebagai penyedia pangan di masa mendatang.
Pemuliaan tanaman konvensional akan tetap memegang peranan utama dalam perbaikan varietas. Berbagai kelemahan dan keterbatasan cara ini dapat diatasi dengan bantuan bioteknologi. Secara bertahap, bioteknologi akan dikembangkan untuk mendapatkan atau memindahkan gen tertentu untuk menghasilkan varietas baru dengan sifat-sifat yang diinginkan. Meningkatkan produktivitas melalui rekayasa genetik merupakan suatu keuntungan tambahan dalam perbaikan sifat tanaman sehingga varietas yang dihasilkan diharapkan dapat lebih efisien memanfaatkan hara, tahan terhadap hama dan penyakit serta deraan lingkungan (Manwan, 1993).
Informasi mengenai sifat-sifat yang mudah teramati dapat dijadikan penduga bagi sifat yang dituju dalam seleksi tanaman adaptif. Semakin erat hubungan antara sifat penduga dengan sifat yan dituju, maka akan semakin memudahkan proses seleksi. Sifat-sifat yang berperan menentukan adaptif tidaknya suatu tanaman yang ekspresinya sangat dipengaruhi oleh lingkungan. Oleh sebab itu fenotipe yang ditemui di lapangan akan sangat beragam. Adapun syarat-syarat seleksi tanaman adaptif terhadap lingkungan kritis adalah tahan terhadap pH tanah rendah, toleran terhadap cekaman air, tahan terhadap defisiensi hara terutama N dan P dan lain-lain.
Kesimpulan
1. Lahan kritis dapat ditingkatkan produktivtasnya melalui usahatani koservasi
2. Lahan kritis merupakan pilihan yang lebih bijak dibanding membuka lahan baru (deforestration)
3. Upaya menemukan paket teknologi usahatani konservasi memerlukan dukungan hasil penelitian dari para peneliti
4. Hasil penelitian yang telah ada masih perlu divalidasi pada tingkat onfarm yang bersifat spesifik lokasi agar paket teknologi tersebur dapat diadopsi petani
Daftar Pustaka
Adjid, D.A. 1993. Kebijaksanaan swasembada dan ketahanan pangan. Proseding Simposium Penelitian Tanaman Pangan III. Jakarat/Bogor 23-25 Agustus 1993. p50 – 64.
Adiningsih, S., H. Suhardjo, I.P.G. Widjaja Adhi, H. Suwardjo, S. Sukwana, dan M. Sudjadi. 1986. Hasil rencana penelitian lahan kering di Jambi. Dalam Risalah Lokakarya Pola Usahatani, Bogor 2-3 Sepetember 1986. Buku 2. P.395-427.
Arief, A dan Irman. 1993. Ameliorasi lahan kering masam untuk tanaman pangan. Proseding Simposium Penelitian Tanaman Pangan III. Jakarta, Bogor 23-25 Agustus 1993.
Biro Pusat Statistik, 1989.
----------------------, 1995.
----------------------, 2000.
Dariah A. dan A. Rachman. 1989. Pengaruh mulsa hijauan alley cropping terhadap Pertumbuhan dan hasil jagung serta beberapa sifat fisik tanah. Pembahasan Hasil Penelitian Tanah, Cipayung 22-24 Agustus 1989.
Evensen, C and R. Joss. 1986. Alley cropping experiment 1985/86 growing season. Tropsoil. Field Research Brief CSR Bogor No. 33: 1-7
Effendi, S., G. Ismail dan G Wibawa, 1986. Pola usahatni konservasi pada lahan keirng podsolik merah kuning. Makalah disampaikan pada lokakarya usahatni konservasi di Lahan Alang-alang. Palembang 11 – 13 Pebruari 1986. 21p
FAO and IIRR. 1995. Resource management for upland area in Southeast Asia. Rapa Publication : 1995/12
Hakim, N. 1985. Pemharuh sisa pupuk hijau, kapur, pupuk P dan Mg oada tanah podsolik terhadap produksi jagung. Makalah Seminar Hasil Penelitian Perguruan Tinggi. Bandung, 25-28 Februari 1985. Ditjen Dikti Depdikbud.
Hawkins, R., H.Sembiring, D. Lubis and Suwardjo. 1990. The potensial of alley cropping in up land of east and centrak Java. A review UACP-FSR. AARD Department of Agriculture, Indonesia.
Institut Pertanian Bogor. 1987. Monitoring and improving agriline use in trans II area. Laporan Akhir Tim Studi Kapur (TSK IPB). Kerjasama PSP2DT Pusat dengan IPB.
Kartaatmadja, S. dan A.M. Fagi. 1999. Pengelolaan tanaman terpadu konsep dan penerapan. Simpoasim penelitian tanaman pangan iv. 22-24 Nopember 1999. Bogor. p 75-89.
Kang, B.T., G.F. Wilson and T.L. Lowson. 1984. Alley cropping stable alternative to cultivation. IITA. Ibadan, Nigeria.
Lopulisa. 1995. Penggunaan lahan dalam perspektif pembangunan berkelanjutan di Indonesia. Kongres VI HITI, Serpong, Jakarta 12-15 Desember 1995.
Muljadi, D. 1977. Sumberdaya tanah kering, penyebaran dan potensinya untuk kemungkinan budidaya pertanian. Kongres Agronomi, 27-29 Oktober 1977 di Jakarta. Agr. 04:1-16
Pratomo A.G, H. Sembiring, R Hardiyanto, A. Sugiayatno dan B. Supriyono, 2000. Pengkajian rakitan teknologi usahatani konservasi di lahan marginal perbukitan kapur. Proseding Seminar Hasil Penelitian/Pengkajian BPTP Karangploso
Shaxson, T.F., N.W. Hudson, D.W. Sander, E.Roose and W.C. Modenhauer. 1989. Land hunsbandry, a frame work for soil and water concervation. Soil and Water Conservation Society. Ankeny, Iowa, USA.
Sastrosoedarjo, S. dan N.R Juwita. 1996. Kilas balik semangat kongres PERAGI 1997.
Toha H.M. dan Abdurrahman, A. 1991. Penggunaan bahan organik pada pola tanam lahan kering di tanah vulkanik eutropept laboratotoirum lapangan uangaran, semarang. Proyek Penelitian Penyelamatan Hutan, Tanah dan Air. Badan Penelitian dan Pengembangan Pertatanian . Departemen Pertanian. 1991. gembangan dan
Umi Haryati., A Rachman., Y. Soelaeman dan T. Prasetyp. 1991. Efectivitas penurunan erosi, hasil tanaman pangan dan daya dukung ternak dalam sistem pertanaman lorong. Pembahsan HASil Penelitisn UACP-FSR. Bandung.
Conway, G.R., 1984. Applying ecological concepts to the studi of the intensification of the use Indonesia’s Agroecosystems dalam The Sustainability of Agricultural Intensification in Indonesia. A Report of Two Workshops of Research Group on Agro-Ecosystems. Jakarat. p13-24.
UACP-FSR. 1990. Petunjuk teknis usahatani konservasi daerah aliran sungai. Badan Litbang Pertanian.
Zaini, Z., A. Taher, and A. Jugsujinda. 1985. Soil fertility and plant studies for upland rice in Sitiung acid upland soil af west Sumatera. Sukarami Rsearch Intitute for Crop, Padang, Indonesia.
Manwan, I. 1993. Strategi dan langkah operasional penelitian tanaman pangan berwawasan lingkungan. Proseding Simposium Penelitian Tanaman Pangan III. Jakarta/Bogor 23-25 Agustus 1993. P 65-97.
Bennema, J. and De Meester 1981. The role of erosion and degradation in the process of land evaluation. In. R.P.C. Morgan (ed). Soil Conservation Problems and Prospects.
Hauck, F.W. 1981. The Relevance of soil conservation. In. R.P.C. Morgan (ed). Soil Conservation Problems and Prospects.