© 2001 Nevy Diana Hanafi
Posted: 10 May 2001
[rudyct]
Makalah
Falsafah Sains (PPs 702)
Program
Pasca Sarjana / S3
Institut
Pertanian Bogor
Juni
2001
Dosen:
Prof
Dr Ir Rudy C Tarumingkeng (Penanggung Jawab)
Prof
Dr Ir Zahrial Coto
ENZIM SEBAGAI
ALTERNATIF BARU DALAM PENINGKATAN KUALITAS PAKAN UNTUK TERNAK
Oleh :
Meningkatnya laju penduduk dan pengetahuan tentang gizi menjadikan kebutuhan protein yang berasal dari hewani menjadi meningkat dari tahun ketahun. Peningkatan kebutuhan tersebut membawa implikasi terhadap peningkatan teknologi dalam ilmu peternakan baik dari segi bibit, manajemen maupun dari segi pakan.
Peningkatan teknologi dari segi pakan merupakan salah satu cara yang harus ditempuh karena dalam usaha peternakan komponen biaya pakan merupakan komponen terbesar yang harus dikeluarkan oleh peternak. Pendekatan dari segi bioteknologi sekarang ini mendapat perhatian yang besar dan salah satunya adalah pemanfaatan enzim untuk meningkatkan kualitas bahan makanan yang akan digunakan oleh ternak.
Tipe bentuk pemberian pakan terutama yang diberikan pada ternak monogastrik sampai tahun 90-an menunjukkan bahwa ransum yang disusun untuk ternak berbasis jagung dan bungkil kedelai. Padahal tidak ada hukum yang menjelaskan bahwa ayam “wajib” mengkonsumsi jagung atau bungkil kedelai. Jangankan wajib, hukum sunahpun tidak ada dalil yang megatakannnya.
Terjadinya krisis ekonomi secara berkepanjangan di Indonesia membuat sadar pada kita bahwa selama ini kita terlalu banyak berkiblat kepada luar, dan mempunyai ketergantungan yang besar terhadap komponen bahan makanan impor dari luar negri. Pada saat itu banyak peternak yang mengalami kebangkrutan karena tidak mampu membeli ransum, sampai ada istilah ayam mengkonsumsi “mobil” untuk mempertahankan hidupnya, karena terlalu mahalnya ransum mengakibatkan peternak menjual barang modal seperti mobil untuk mempertahankan usaha ternaknya.
Pelajaran berharga tersebut menjadikan kita harus mencari alternatif bahan makanan yang bersifat non konvensional yang tidak bersaing dengan kebutuhan manusia, harganya murah, bersifat lokal, tetapi mempunyai kandungan nutrisi yang cukup untuk ternak.
Beberapa bahan makanan yang bersifat non konvensional di Indonesia mempunyai potensi untuk dikembangkan ditinjau dari segi ketersediaannya, tetapi kadang-kadang ditemukan faktor pembatas dalam penggunaannya. Sebagai contoh Pluske (1997) menjelaskan bahwa kandungan karbohidrat bukan pati ( Non Starch Polysacharides = NSP) dalam pakan mempunyai pengaruh negatif terhadap kecernaan pada ternak monogastrik
Intervensi bioteknologi untuk mengatasi masalah tersebut sangat dibutuhkan antara lain penggunaan enzim untuk mengatasi faktor pembatas tersebut, sehingga kita dapat memaksimumkan penggunaan bahan pakan yang tadinya sangat terbatas. Beberapa peluang penggunaan enzim untuk memaksimumkan produktivitas ternak mempunya beberapa keuntungan antara lain dapat memaksimumkan efisiensi penggunaan pakan yang bersifat konvensional seperti bungkil kedelai, memaksimumkan penggunaan limbah dan bahan makanan yang bersifat non konvensional, dan dapat menurunkan polusi lingkungan.
Tulisan ini mencoba menggambarkan bagaimana produk bioteknologi dalam hal ini enzim merubah cara pandang kita dalah penyusunan ransum untuk ternak ditinjau dari segi filsafat ilmu pengetahuan. Ada beberapa tinjauan yang akan dibahas yaitu dari segi ontologi akan membahas keberadaan enzim, kemudian segi epistemologi akan membahas metode atau proses yang digunakan dalam pemanfaatan enzim untuk meningkatkan kualitas pakan untuk ternak, dan yang terakhir dari segi aksiologi yang akan membahas manfaat penggunaan produk bioteknologi (dalam hal ini enzim) bagi kesejahteraan manusia.
Istilah ontologi dapat diartikan sebagai ilmu yang mengkaji tentang keberadaan suatu objek. Objek yang dimaksud dalam makalah ini adalah enzim, suatu produk bioteknologi yang akan digunakan untuk meningkatkan kualitas pakan untuk ternak.
Enzim dapat diartikan sebagai suatu protein yang mempunyai kemampuan mengkatalisasi reaksi dimana substrat dirubah menjadi produk melalui pembentukan komplek enzim-substrat sebagai produk antara (Coombs, 1995). Selanjutnya Mc Donald et al. (1995 ) menjelaskan bahwa enzim merupakan katalis yang dihasilkan oleh organisme hidup. Katalis dapat diartikan sebagai substansi yang dapat meningkatkan kecepatan reaksi kimia.
Konsep meningkatkan performans ternak dengan menggunakan enzim sebetulnya bukan hal yang baru, hal ini sudah dimulai sekitar tahun 1950-an. Sebagai contoh penggunaan enzim amilase pada pakan ternak unggas yang menggunakan barley yang bertujuan meningkatkan ketersediaan pati untuk unggas, akan tetapi pendekatan tersebut kurang berhasil karena ketidaksesuaian target substrat. Pada tahun 1970-an dengan perkembangan teknologi mikroba yang lebih maju telah ditemukan enzim b-glukanase untuk pakan yang menggunakan barley, atau pentosanase untuk pakan yang menggunakan rye atau gandum (Choct, 1997).
Keberhasilan penggunaan enzim yang diterangkan di atas dapat dikatakan sebagai generasi pertama penggunaan enzim untuk pakan ternak. Perkembangan generasi selanjutnya sekarang ini untuk penggunaan enzim ditujukan pada beberapa sasaran. Lyons (1997) menjelaskan beberapa sasaran yang harus dipecahkan untuk mengatasi keterbatasan penggunaan bahan makanan dengan perlakuan enzim dimasa depan. Pertama, ditujukan untuk mengurangi biaya protein yang digunakan pada kacang kedelai. Sasaran yang ingin dicapai yaitu penggunaan enzim a-galaktosidase, yaitu enzim yang mendegradasi oligosakarida dari kedelai dan menghasilkan sekitar 15% energi yang lebih tinggi dibanding tanpa penggunaan enzim. Selain itu sasaran yang ingin dicapai yaitu penggunaan enzim endopeptidase yang bertujuan memperbaiki kecernaan asam amino untuk ternak unggas. Enzim tersebut dikenal dengan istilah vegpro. Kedua, ditujukan untuk memperbaiki penggunaan lemak. Enzim lipase yang digunakan ternyata dapat meningkatkan kandungan energi metabolis dari dedak padi. Penggunaan enzim ini dapat meningkatkan penggunaan dedak padi sampai 30%, yang dapat menurunkan biaya pakan secara keseluruhan. Ketiga, penggunaan pitase untuk mengurangi pencemaran posfat. Dasar pemikiran penggunaan enzim ini adalah pada sebagian besar biji-bijian yang digunakan sebagai pakan untuk ternak mengandung posfor dalam bentuk fitat. Ternak non ruminansia mempunyai keterbatasan untuk menghasilkan enzim fitase, dan banyak menambahkan posfor anorganik dalam pakan. Umumnya fitat berada dalam bentuk kopleks dengan protein, pektin dan polisakarida bukan pati, sehingga untuk mengatasinya dapat digunakan multi enzim. Salah satu produk enzim yang telah dikembangkan adalah Allzyme phytase yang ternyata dapat meningkatkan efesiensi pakan, litter yang lebih kering, dan pertumbuhan yang lebih baik. Selain itu dengan penggunaan fitase dalam ransum dapat menurunkan penggunaan fosfor dalam ransum sampai tingkat 40% tanpa menimbulkan efek terhadap produksi dan kualitas telur yang dihasilkan ayam petelur. Keempat, Penggunaan enzim yang mampu mencerna serat dan stabil dari degradasi rumen pada ternak ruminansia. Manfaat penggunaan enzim ini adalah dapat mempertahankan aktivitasnya karena sudah diproteksi dan berisi multienzim untuk mencerna selulosa kompleks.
Beberapa sasaran diatas menunjukkan bahwa penggunaan enzim sangat terkait dengan target substrat yang ada dalam bahan makanan, hal ini berkaitan dengan segi spesifitas dari kerja enzim. Enzim akan bekerja secara efektif bila substrat yang menjadi target kerja enzim itu sesuai dengan jenis enzimnya. Faktor lainnya yang berpengaruh terhadap keberhasilan penggunaan enzim yaitu target jenis ternak yang akan digunakan. Sebagai contoh, saluran pencernaan unggas mempunyai keterbatasan untuk mendegradasi karbohidrat bukan pati (NSP). Kandungan NSP yang tinggi dalam bahan makanan juga akan menurunkan kecernaan nutrien lainnya seperti protein, kalau kita memberikan bahan makanan yang mengandung NSP yang tinggi seperti bungkil kedelai atau bungkil biji bunga matahari berarti kita memerlukan teknologi baru untuk mengatasi keterbatasannya, yaitu menggunakan enzim. Hasil yang diharapkan dengan perlakuan enzim adalah kecernaan NSP yang meningkat dan juga meningkatnya kecernaan terhadap protein dan lemak (De Jong and Schute, 1996).
Sasaran penting yang menunjang keberhasilan dalam pemanfaatan teknologi enzim untuk meningkatkan kualitas bahan makanan ternak dapat kita rumuskan kedalam dua hal, yaitu dari segi ternaknya dan dari faktor anti nutrisi atau faktor pembatas yang dikandung oleh bahan makanan tersebut. Informasi mengenai keterbatasan bahan makanan baik yang bersifat konvensional, dan terutama yang bersifat non konvensional berupa limbah pertanian dan limbah industri sangat kita perlukan untuk menunjang keberhasilan penggunaan teknologi enzim.
Epistemologi sebagai cabang ilmu filsafat membahas apa sarana dan bagaimana tatacara untuk mencapai pengetahuan, dan bagaimana ukuran bagi apa yang disebut kebenaran atau kenyataan ilmiah. Unsur yang terkandung dalam epistemologi adalah filsafat bahasa, logika matematika, dan metodologi (Siswomihardjo, 1999).
Tinjauan epistemologi penggunaan enzim untuk meningkatkan kualitas pakan untuk ternak akan menjelaskan mengenai prinsip kerja enzim sebagai dasar penggunaannya pada bahan makanan untuk ternak, serta proses yang terjadi pada bahan makanan akibat perlakuan enzim.
Hampir semua reaksi biologis dipercepat atau dibantu oleh suatu senyawa makromolekul yang dikenal dengan istilah enzim. Hampir semua enzim menunjukkan daya katalitiknya yang luar biasa, biasanya dapat mempercepat reaksi sampai beberapa juta kali. Kekhususan aktivitas enzim adalah dalam hal peranannya sebagai katalis hanya terhadap satu reaksi atau beberapa reaksi yang sejenis saja. Dari sini dikenal beberapa derajat spesifitas yaitu: spesifitas stereokimia, yaitu menunjukan kesukaan untuk mengkatalisis bentuk isomer tertentu; spesifitas kelompok, yaitu bekerja terhadap pemutusan dan pemasangan suatu ikatan yang mengikat gugus fungsional tertentu; spesifitas yang rendah, yaitu tidak membedakan jenis substrat tetapi hanya spesifik pada ikatan yang dipecah; dan spesifitas absolut, yaitu hanya menyerang satu jenis substrat tunggal, dan sebagian besar enzim termasuk dalam katagori ini (Winarno, 1995).
Mekanisme kerja enzim meliputi pembentukan kompleks antara enzim dengan substrat kemudian terjadi perombakan menghasilkan produk dan enzim yang tidak berubah. Gambaran berikut menjelaskan kerja enzim (Mc Donald et al., 1995) :
Tidak keseluruhan permukaan enzim aktif, bagian yang aktif adalah bagian yang dapat mengikat substrat dan gugusan prostetik bila ada. Sebagai gambaran dapat dilihat diagram gembok dan kunci seperti terlihat pada Gambar 1. Gambar tersebut menjelaskan model gembok dan kunci, dimana bentuk gembok sesuai dengan kunci. Beberapa ahli kemudian menemukan bahwa lokasi aktif dari beberapa enzim ternyata mempunyai konfigurasi yang tidak kaku, cara ini disebut dengan Induce Fit Model. Model ini menjelaskan bahwa enzim berubah bentuk menyesuaikan diri dengan bentuk substrat setelah terjadi pengikatan (Winarno, 1995).
Prinsip kerja enzim yang diterangkan pada ulasan terdahulu merupakan konsep dasar yang diterapkan pada bahan makanan ternak. Kebanyakan para ahli setuju bahwa pemanfaatan enzim bertujuan unuk mengurangi biaya formulkasi ransum dan mengambil keuntungan dengan jalan cara meningkatkan kandungan energi bahan makanan dan meningkatkan efisiensinya. Target awal telah digunakan enzim betaglukanase dan pentosanase untuk mengurangi faktor antinutrisi pada barley dan gandum.
Penggunaan enzim selain ditujukan pada bahan makanan yang bersifat non konvensional juga pada bahan pakan konvensional dengan tujuan mengeluarkan seluruh potensi yang dimiliki bahan tersebut, sebagai contoh untuk bungkil kedelai. Lyons (1996) menggambarkan target kerja dan harapan dari penggunaan enzim pada bungkil kedelai dan dijelaskan pada gambar berikut :
Gambar 3. Metode Kerja Enzim pada Kacang Kedelai serta Target yang Dituju
Gambar 2 menunjukkan sasaran substrat yang akan dirombak oleh enzim, sedangkan Gambar 3 menunjukkan enzim yang bekerja setra tujuan yang akan dicapai. Pemanfaatan multi enzim pada Gambar 3 bertujuan meningkatkan kecernaan asam amino dan meningkatkan ketersediaan energi yang dikandung oleh kacang kedelai sehingga pemanfaatannya pada ternak monogastrik menjadi optimal, karena enzim yang dihasilkan ternak terbatas. Selanjutnya Lyons (1997) menambahkan bahwa dengan penggunaan enzim ini kandungan energi akan meningkat sebesar 9 - 15%, dan kecernaan protein atau asam amino menjadi meningkat. Meningkatnya kecernaan asam amino dapat dilihat dari meningkatnya berat badan sebanyak 4 % dibandingkan dengan kontrol.
Contoh lain penggunaan enzim pada bahan makanan ternak yaitu penggunaan enzim lipase pada dedak padi. Pluske (1997) mengungkapkan bahwa dedak padi merupakan bahan makanan potensial di wilayah asia pasifik ditinjau dari ketersediaannya yang tinggi dan persaingannya dengan konsumsi manusia yang rendah. Umumnya penggunaan dedak padi lebih dari 20 % dari total ransum akan menghambat pertumbuhan. Salah satu zat makanan yang potensial yang dikandung oleh dedak padi adalah lemak. Dengan penambahan enzim lipase pada dedak padi diharapkan dapat meningkatkan kecernaan lemak dan kandungan energi metabolisnya. Hasil penelitian menunjukkan bahwa respons lipase lebih baik pada penggunaan dedak sebanyak 40 % dari total ransum.
Penggunaan enzim pada bahan makanan membawa pemahaman baru dalam penyusunan ransum untuk ternak. Sebagai contoh, literatur terdahulu menyebutkan penggunaan dedak pada pada ransum untuk ternak unggas tidak boleh lebih dari 20%, dengan penambahan enzim cara pandang tersebut menjadi berubah, karena dedak padi dalam ransum ternyata dapat dimaksimalkan penggunaannya dalam ransum.
Segi epistemologi juga menjelaskan mengenai bagaimana ukuran bagi apa yang disebut kebenaran atau kenyataan ilmiah. Suriasumantri (1999) menjelaskan bahwa Ilmu, dalam upaya menemukan kebenaran mendasarkan dirinya kepada beberapa kriretia kebenaran. Kriteria tersebut adalah koherensi, korespondensi, dan pragmatisme. Proses kegiatan keilmuan pada hakikatnya adalah serangkaian argumentasi yang membuahkan kesimpulan yang sahih, atau lebih tepatnya pengetahuan ilmiah disebut benar sekiranya argumentasi yang dikemukakannya sahih ditinjau dari kriteria koherensi, korespondensi, dan pragmatisme. Langkah-langkah yang ditempuh untuk mencapai kebenaran ilmiah tersebut diperoleh dengan cara metode ilmiah.
Lebih lanjut Suriasumantri (1999) menjelaskan bahwa metode ilmiah adalah langkah-langkah dalam proses pengetahuan ilmiah dengan menggabungkan cara cara berfikir rasional dan empiris dengan jalan membangun jembatan penghubung berupa hipotesis. Hipotesis merupakan kesimpulan yang ditarik secara rasional dalam sebuah kerangka berfikir yang bersifat koheren dengan pengetahuan ilmiah sebelumnya, dan hipotesis tersebut berfungsi sebagai jawaban sementara terhadap permasalahan yang ditelaah dalam kegiatan ilmiah. Langkah selanjutnya dalam metode ilmiah adalah pengujian hipotesis dan penarikan kesimpulan untuk menilai apakah kenyataan empiris sesuai atau tidak dengan hipotesis yang diajukan. Jika data yang dikumpulkan ternyata mendukung hipotesis, maka pernyataan yang dikandung dalam hipotesis tersebut dianggap benar, sebaliknya jika data yang dikumpulkan tidak mendukung hipotesis yang diajukan, maka hipotesis ditolak.
Beberapa penelitian tentang pengaruh penggunaan enzim dalam peningkatan kualitas pakan untuk ternak menggunakan pendekatan metode ilmiah dengan langkah seperti yang telah dijelaskan di atas. Salah satu sarana yang digunakan untuk memperoleh penarikan kesimpulan yang bersifat sahih dan membuahkan pengetahuan yang akurat dan dapat diandalkan adalah ilmu statistika. Suriasumantri (1999) menjelaskan bahwa sarana kegiatan ilmiah yang penting untuk melakukan kegiatan ilmiah adalah bahasa, logika, matematika, dan statistika.
Aksiologi sebagai salah satu cabang filsafat membahas nilai (value) sebagai imperatif dalam penerapan ilmu pengetahuan secara praktis. Pendekatan yang dilakukan untuk membahas tinjauan aksiologi teknologi enzim untuk peningkatan kualitas pakan ternak adalah dari segi etik, heuristik, dan maknanya bagi kehidupan manusia. Beberapa pertanyaan yang muncul yaitu apakah teknologi enzim yang diterapkan pada pakan ternak bertujuan untuk sesuatu yang bersifat produktif atau sebaliknya bersifat destruktif ; kemudian manfaat apa yang dicapai dari penerapan teknologi enzim berkaitan dengan penyusunan ransum untuk ternak dan keuntungan lain untuk kehidupan manusia.
Sesuai dengan tujuan penggunaan enzim seperti yang telah dijelaskan pada bagian pendahuluan, antara lain dapat memaksimumkan efisiensi penggunaan pakan yang bersifat konvensional seperti bungkil kedelai, memaksimumkan penggunaan limbah dan bahan makanan yang bersifat non konvensional, dan dapat menurunkan polusi lingkungan.
Penjelasan tujuan penggunaan enzim pada pakan ternak serta manfaat yang dapat diambil dapat dijelaskan pada contoh kasus yang dijelaskan Lyons (1997). Memaksimumkan efisiensi penggunaan pakan yang bersifat konvensional diterapkan pada bahan makanan kacang kedelai. Sasaran yang dituju yaitu meningkatkan kandungan energi metabolis dan kecernaan protein yang dikandung kacang kedelai. Selanjutnya pada bahan makanan yang berasal dari limbah pertanian seperti dedak padi dengan menggunakan enzim lipase akan meningkatkan kandungan energi metabolismenya. Sedangkan yang berkaitan dengan mengurangi polusi lingkungan berkaitan dengan penggunaan enzim phytase untuk menangani limbah posfat yang dikeluarkan melalui ekskreta ternak unggas, dan hasil yang diperoleh perbaikan dalam efisensi penggunaan ransum dan litter yang lebih kering.
Penggunaan enzim pada bahan makanan ternak bertujuan sesuatu yang produktif dalam hal meningkatkan potensi zat makanan yang dikandung oleh suatu bahan makanan. Manusia sebagai makhluk yang bisa berfikir tidak akan berhenti dan menyerah dengan keterbatasan sesuatu, dalam hal ini keterbatasan yang dikandung oleh suatu bahan makanan yang bersifat antinutritif harus diatasi antara lain dengan penggunaan enzim. Contoh keterbatasan tersebut antara lain kandungan NSP pada kacang kedelai, dengan penambahan enzim untuk merombak NSP, menjadikannya bukan menjadi pembatas, malah menjadi sumber energi untuk ternak.
Akibat yang timbul dari penggunaan enzim yang perlu dikaji lebih lanjut adalah mengenai keamanan penggunaanya. Menurut Winarno (1995) enzim sendiri secara murni merupakan bahan yang tidak beracun, tetapi karena enzim merupakan molekul protein dapat menyebabkan reaksi alergik. Kebanyakan enzim untuk pakan ternak diiolasi dari mikroba, salah satu persyaratan penting yaitu berasal dari mikroba yang tidak memproduksi racun atau bebas mikotoksin.
Tinjauan secara theologis penggunaan enzim untuk ternak sampai sekarang belum menjadi kontroversi yang mengemuka. Berbeda halnya dengan penggunaan enzim pada manusia. Salah satu contoh kasus yang baru-baru ini terjadi diawal tahun 2001 adalah kasus “ajinomoto” yang menggunakan enzim yang berasal dari babi dalam salah satu prosesnya.
Merujuk pada Al-Qur’an (Al-An’am : 145 dan Al-Maidah:3) tentang pengharaman babi, maka wajib bagi pemeluk Islam untuk menghindari makan daging babi dan makanan apapun yang menggunakan komponen babi di dalamnya, sehingga LP-POM MUI mengeluarkan fatwa haram untuk Ajinomoto yang bertujuan melindungi umat Islam untuk tidak mengkonsumsinya (Muladno, 2001).
Penerapan teknologi enzim pada pakan ternak akan membawa cara pandang baru dalam penyusunan ransum untuk ternak. Beberapa peneliti terdahulu mengungkapkan bahwa salah satu faktor yang mempengaruhi penggunaan suatu bahan makanan untuk ternak adalah faktor antinutrisi yang dikandung oleh bahan makanan tersebut. Penerapan teknologi enzim akan merubah cara pandang tersebut karena ketersediaan nutrisi yang akan digunakan oleh ternak baik berupa sumber energi atau proteinnya menjadi berubah.
Berikut ini digambarkan perubahan cara pandang penyusunan ransum untuk ternak ayam broiler seperti yang dijelaskan oleh Bourne (1997) dalam Pluske (1997) pada Tabel 1 dan Tabel 2 berikut ini :
Tabel 1. Penyusunan Ransum untuk Ayam Broiler berbasis Jagung dan Kedelai
Komponen Pakan |
Jumlah (%) |
Jagung |
67,0 |
Bungkil Kedelai |
25,4 |
Tp. Tulang dan Daging |
5,0 |
Limestone |
1,6 |
Premiks |
0,5 |
Sumber : Bourne (1997) dalam Pluske (1997)
Susunan ransum tersebut masih merupakan dasar penyusunan sampai tahun 1996 oleh banyak industri pakan. Penggunaan teknologi enzim dapat diterapkan dengan cara memaksimumkan penggunaan bahan makanan yang bersifat non konvensional dan menggunakan limbah industri, sehingga akan timbul suatu alternatif baru penyusunan ransum yang berbasis nontradisional dan limbah. Tabel 2 menjelaskan alternatif penyusunan ransum tersebut :
Tabel 2. Susunan Ransum Alternatif Berbasis Limbah dan Pakan Nontradisional
Komponen Pakan |
Jumlah (%) |
Bungkil Kacang Tanah |
10.0 |
Ubi Kayu |
30.0 |
Dedak padi |
37.5 |
Bungkil Kanola |
5.2 |
Tp. Tulang dan Daging |
7.5 |
Tp. Bulu |
1.0 |
Lemak |
5.0 |
Bungkil Kelapa |
2.2 |
Limestone |
0.6 |
Premiks |
0.5 |
Asam amino sintetis |
0.3 |
Sumber : Bourne (1997) dalam Pluske (1997)
Tabel 2 di atas menggambarkan bahwa kita dapat memaksimumkan penggunaan bahan makanan yang berasal dari limbah dan bahan makanan non tradisional/non konvensional seperti dedak padi, ubi kayu, tepung bulu dan bahan makanan lainnya. Gambaran baru penyusunan ransum untuk ternak ayam broiler tersebut menjelaskan bahwa sebetulnya ayam tidak wajib mengkonsumsi jagung atau kedelai. Ayam dapat memanfaatkan bahan makanan lain yang tidak bersaing dengan manusia, sehingga efisiensi secara ekonomis dapat dicapai.
PENUTUP
Berdasarkan tinjauan ontologi, epistemologi, dan aksiologi dapat disimpulkan bahwa penerapan teknologi enzim pada makanan ternak bertujuan untuk sesuatu yang produktif untuk kehidupan manusia. Penerapan teknologi enzim akan membawa cara pandang baru dalam hal penggunaan bahan makanan untuk ternak, dari penggunaan pakan yang bersifat tradisional ke arah non tradisional, dan menimbulkan alternatif baru dalam hal penyusunan ransum untuk ternak.
DAFTAR PUSTAKA
Coombs, J. 1995. Dictionary of Biotechnology. Elsevier, New York.
Choct, M. 1997. Feed enzymes; current and future aplication. In 11th annual Asia Pacific Lecture Tour. 73-82.
Lyons, T.P. 1996. Goal 2000: a truly global science –based company that responds rapidly to emerging issues. In Lyons, T.P. and K.A. Jacques. Biotechnology in the feed Industry. Proc. Alltech’s Twelfth Annual Symposium. 1-22.
Lyons, T.P. 1997. A new era in animal production: the arrival of scientifically proven natural alternatives. . In 11th annual Asia Pacific Lecture Tour. 1-18.
Mc Donald, P., R.A. Edwards, J.F.D. Greenhalgh, and C.A. Morgan. 1995. Animal Nutrition. Jhon Wiley and Sons, New York.
Muladno. 2001. Ada apa dibalik pengharaman itu ?. Pelatihan pendeteksian unsur babi dalam makanan melalui uji DNA, Fapet IPB Bogor (tidak dipublikasikan).
Pluske , J.R. 1997. Defining the future role of enzymes within the asia pacific region. . In 11th annual Asia Pacific Lecture Tour. 45-64.
Schute, J.B., and J. de Jong . 1996. Effect of a dietary protease enzyme preparation (vegpro) supplementation on broiler chick performance. In Lyons, T.P. and K.A. Jacques. Biotechnology in the feed Industry. Proc. Alltech’s Twelfth Annual Symposium. 233-240.
Siswomihardjo, K.W. 1999. Filsafat Ilmu, Sejarah Kelahiran serta Perkembangannya. Dalam Thoyibi, M. Filsafat Ilmu dan Perkembangannya. Muhammadiyah University Press, Surakarta.
Winarno, F.G. 1995. Enzim Pangan. Gramedia, Jakarta.
Suriasumantri, J.S. 1999. Hakikat Dasar Keilmuan. Dalam Thoyibi, M. Filsafat Ilmu dan Perkembangannya. Muhammadiyah University Press, Surakarta.