© 2001. Novian
Jamil Posted
23 June 2001 (rudyct)
Makalah
Falsafah Sains (PPs 702)
Program
Pasca Sarjana / S3
Institut
Pertanian Bogor
Juni 2001
Dosen:
Prof Dr Ir Rudy
C Tarumingkeng (Penanggung Jawab)
Prof Dr Ir
Zahrial Coto
DefInisi Zona Pesisir dipandang dari
logika FALSAFAH SAIN
Oleh
Novian Jamil
E-mail: novianj2001@yahoo.com
Pendahuluan
Falsafah
sain merupakan landasan keilmuan penting untuk mempelajari berbagai bidang ilmu.
Pemahaman falsafah sain dalam koridor ontologi, epistemologi maupun
aksiologi dapat mengantarkan kita pada wawasan berpikir yang lebih luas, dan
kritis serta membentuk pribadi yang dapat menghargai pendapat orang lain
(Suriasumantri, 1998).
Makalah ini , memilih defenisi daerah
pesisir sebagai topik bahasan , karena
pesisir merupakan Perbatasan antara daratan dan lautan umumnya merupakan suatu
garis yang tidak didefinisikan secara jelas pada sebuah peta, namun hal
tersebut terjadi sebagai suatu wilayah transisi bertahap. Sebutan yang
diberikan untuk wilayah transisi tersebut biasanya adalah ‘zona pesisir’ atau
‘daerah pesisir’.
Makalah
ini, memilih defenisi Zona pesisir sebagai
topik bahasan, karena kawasan pesisir
sampai saat ini masih sering diartikan suatu kawasan yang sempit
dan sangat terbatas. Pesisir
dinyatakan sebagai unik karena di situlah daratan dan lautan bertemu dan tampak
nyata, dan bagaimanapun hal tersebut
memang merupakan suatu kenyataan yang penting. Perbedaan antara daratan dan
lautan dapat bersifat daramtis apabila gelombang besar lautan menabrak tebing
batu, atau lebih bertahap apabila air pasang dan surut serta mengalir ke
rawa-rawa. Interaksi antara lingkungan kelautan dan lingkungan terestial inilah
yang membuat pesisir menjadi unik. .Seiring dengan diperkenalkannya
konsep ilmu Integrated Coastal Zone and Ocean Management (ICZM). Konsep ini pertama kali telah dipersiapkan
oleh negara-negara maju yang tergabung dalam OECD pada tahun 1987, dan kemudian
ditindaklanjuti lagi pada konperensi United Nation Conference on Environment
and Development – UNCED – di Brazil pada Juni 1992. (informasi lebih jauh
tentang ICZM dapat di lihat pada Cicin-Sain and Knecht, (1998).
Salah satu aspek penting dari ICZM adalah
pengelolaan potensi zona pesisir
(seperti hutan mangrove, estuaria, dan terumbu karang ). Berkaitan dengan tulisan ini, Defenisi Pesisir
diperlukan suatu kesepakan, berkaitan dengan pengelolaan kawasan pesisir
sebagai suatu kawasan yang saling berkaitan antara aktifitas di darat maupun di
laut. Tulisan ini akan membahas tentang
defenisi zona pesisir dalam koridor
logika falsafah sain.
Falsifikasi Zona Pesisir
Manusia mulai menyadari
adanya batas-batas untuk wilayah pesisir sebagai tempat tinggal, tempat bekerja dan bermain,
serta sebagai sumber dari sumberdaya yang berharga. Kesadaran ini datang
bersamaan dengan semakin ramai dan semakin padatnya pembangunan di beberapa
daerah, dan kerusakan pada sumberdaya yang berharga karena adanya kesalahan
dalam pemanfaatan dari lingkungan pesisir tesebut.
Jika kita telusuri lebih jauh tentang
zona pesisir ini, terdapat dua hal yang mendorong
kita memikirkan tentang kawasan pesisir Pertama, bagaimana kawasan ini dapat menjadi suatu
kawasan yang bisa menghasilkan devisa. Kedua,
bagaimana ekosistem kawasan tersebut bisa sustainable dengan adanya
aktifitas pembangunan yang ada di daratan.
Dengan
berkonsentrasi pada faktor-faktor ekonomi, sangat sedikitlah perhatian yang
diberikan pada ekologi (termasuk habitat), permintaan sosial atau persepsi
publik (O’Riordan dan Vellinga, 1993). Tujuan yang mendasarinya adalah untuk
memaksimalkan keuntungan, yang biasanya diterjemahkan ke dalam peningkatan
produksi. Kelemahan dari pendekatan ini adalah asumsi bahwa sumberdaya mudah
untuk dinilai, bertujuan tunggal dan statis dalam hal nilai selama berjalannya
waktu, yang kini kita tahu bahwa hal tersebut tidaklah berlaku demikian,
No. |
Kegiatan |
Nilai Ekonomi (milyar rupiah) |
|
1. |
Minyak gas |
11.777 |
|
2. |
Industri |
7.588 |
|
3. |
Transportasi dan komunikasi |
5.528 |
|
4. |
Pelayaran dan pelabuhan |
4.905 |
|
5. |
Pertanian |
3.674 |
|
6. |
Perikanan tangkap |
1.589 |
|
7. |
Pariwisata |
694 |
|
8. |
Kehutanan |
295 |
|
9. |
Perikanan Budidaya |
274 |
|
10. |
Kegiatan masyarakat pesisir |
128 |
|
11. |
Pertambangan |
116 |
|
|
Total |
36.568 |
|
Sumber :
Cida/Bappenas (1988)
Melihat keuntungan yang demikiaan besar,
dari ekploitasi sumberdaya yang ada di kawasan pesisir, dan dampak yang
dihasilkan dari aktifitas ekploitasi tersebut secara nyata tidak begitu besar,
yang berarti masih dibawah ambang batas (carrieng capacity) . dan oleh karena
itu ekplotasi masih layak dilakukan . pada hal kebijakan tersebut belum tentu
benar mengingat luas wilayah yang dapat diekploitasi berada dikawasan tersebut
berada. Seperti Kota Jakarta dan Jawa aktifitas pesisir harus menitik beratkan
pada kegiatan pelestarian
Banyak negara sedang berkembang
menganggap pariwisata sebagai sumber pendapatan devisa yang potensial, namun
keahlian untuk merencanakan suatu industri yang berkelanjutan dan dikelola
dengan baik masih kurang. Banyak yang telah merangkul pariwisata, terutama
pariwisata pesisir, yang mampu memenuhi permintaan Belahan Dunia Bagian Utara
akan tujuan-tujuan tropis yang dekat dengan pesisir. Industri pariwisata di
wilayah Laut Merah, misalnya, telah berkembang dengan pesat, karena para
wisatawan Eropa mencari suatu tujuan alternatif ke Mediterania .
Pariwisata dapat menjadi suatu industri
yang sesuai dengan lingkungan apabila dikelola dengan baik. Terdapat banyak
contoh di mana pariwisata belum dikelola dengan baik; dan bukan hanya sumber
alam dari daerah itu yang berkurang, namun masyarakat dan perekonomian setempat
pun juga menderita
Sebagian besar dari isu yang
diasosiasikan dengan pembangunan pariwisata dimasukkan ke dalam dua kategori:
lingkungan dan sosial. Isu-isu lingkungan mencakup dampak-dampak dari
pembangunan fasilitas wisata seperti peristirahatan, taman caravan, lapangan
golf, bangunan-bangunan di marina dan lepas pesisir. Fasilitas wisata mengubah
lanskap alam, mengganggu daerah alami dan, apabila tidak dikelola dengan baik
akan menjadi sumber polusi. Di dunia yang sedang berkembang, peristirahatan di
pesisir seringkali dibangun hanya dengan sedikit pertimbangan mengenai isu-isu
lingkungan, seperti pembuangan kotoran. Di daerah-daerah tertentu, terdapat
beberapa peristirahatan yang tidak dirawat dengan baik, dan sistem pembuangan
kotorannya pun tidak baik, sehingga dapat menjadi membahayakan kesehatan
publik.
Fenomena
Defenisi Zona Pesisir
Pesisir
adalah tempat di mana daratan dan lautan bertemu. Bila garis pertemuan ini
tidak bergerak/pindah, mendefinisikan pesisir menjadi hal yang mudah – hanya
akan berarti suatu garis pada peta – namun proses alami yang membentuk pesisir
sangatlah dinamis, bervariasi baik dalam hal ruang maupun waktu. Jadi, garis
yang menyatukan daratan dan lautan bergerak/pindah secara konstan, dengan
pasang surut ombak, dan lewatnya badai, menciptakan suatu wilayah interaksi
antara daratan dan lautan.
Terdapat
bagian-bagain dari lingkungan pesisir yang jelas-jelas memiliki interaksi yang
kuat antara daratan dan lautan, termasuk pesisir, rawa-rawa, bakau dan
batu-batu karang; bagian-bagian lain mungkin lebih jauh dari pesisir (pedalaman
atau laut bebas), namun begitu bagian-bagian tersebut memainkan peranan yang
penting dalam membentuk pesisir. Salah satu yang terpenting diantaranya adalah
sungai-sungai yang merupakan air tawar dan endapan untuk lingkungan pesisir.
Dalam hal ini, batas pedalaman dengan pesisir merupakan batas-batas penangkapan
yang mungkin jaraknya beribu-ribu kilometer ke arah pedalaman pada bagian depan
dari daerah penangkapan.
Karenanya,
pesisir mungkin dianggap sebagai daerah yang memperlihatkan suatu hubungan
antara daratan dan lautan, dan suatu daerah pesisir didefinisikan (Ketchum,
1972) sebagai Tanda dari daratan kering dan ruang
lautan yang bebatasan dengannya (perairan dan daratan yang sebagian tenggelam),
di mana proses-proses teres-terial dan penggunaan-penggunaan daratan secara
langsung mempengaruhi proses-proses dan pemanfaatan-pemanfaatan kelautan, dan
sebaliknya. Faktor kunci dari definisi Ketchum adalah interaksi
antara tujuan-tujuan dan pemanfaatan-pemanfaatan kelautan dan teresterial:
daerah pesisir terdiri dari daratan yang berinteraksi dengan lautan, dan ruang
lautan yang berinteraksi dengan daratan. Jadi daerah pesisir:
terdiri dari komponen daratan dan
komponen lautan;
memiliki batas-batas daratan dan lautan yang
ditentukan oleh tingkat pengaruh dari daratan terhadap lautan dan lautan
terhadap daratan; dan
tidak seragam dalam hal kelebaran,
kedalaman, atau ketinggian.
Tiga
faktor yang memperlihatkan, untuk pesisir berpasir, kekuatan dari interaksi
antara proses-proses dan pemanfaatan-peman-faatan pesisir dan laut, yang di
sini disebut ‘tingkat kepesisiran’, terhadap jarak dari pesisir. dapat juga
diterapkan pada lingkungan-lingkungan pesisir lainnya, seperti pesisir delta,
sistem pesisir/rintangan dan pesisir muara, di mana berbagai proses fisik dan
biologi dari lingkungan tersebut akan menentukan ‘tingkat kepesisiran’nya.
Misalnya, pada pesisir delta, faktor-faktor penentu yang penting akan merupakan
tingkat penetrasi air asin ke permukaan air tawar - dan sistem air tanah, serta
jarak ke arah laut menuju endapan
teresterial.
Pada transisi antara daratan dan lautan
seringkali bertahap, yang bergantung pada kondisi-kondisi biofisika lokal. Isu-isu
di sini bukanlah merupakan sifat dari transisi aktual, namun mengenai
implikasi-implikasi apa yang digunakan untuk mendefinisikan daerah pesisir.
Memilih titik awal yang mendefinisikan batas ke arah daratan dan batas ke arah
laut dari suatu daerah pesisir bergantung pada mengapa definisi tersebut
diperlukan. Pendekatan terhadap definisi daerah pesisir yang ‘berdasarkan pada
kebutuhan’ dibahas lebih jauh pada bagian berikutnya.
Pada prakteknya, [daerah] zona [pesisir]
dapat mencakup suatu daerah yang ditentukan berdasarkan pada pertemuan
daratan-lautan dengan aturan beberapa ratus meter hingga beberapa kilometer,
atau luas jangkauan pedalaman dari batas
air pesisir hingga batas-batas yurisdiksi nasional di lepas pesisir.
Definisinya akan bergantung pada sejumlah isu dan faktor geografis tertentu
yang relevan dengan masing-masing jangkauan pesisir. (Hildebrand dan Norrena,
1992)
Manajemen zona [daerah] pesisir melibatkan manajemen
kontinyu dari pemanfaatan daratan dan perairan pesisir serta sumberdayanya di
daerah tertentu, batas-batasnya biasanya ditentukan secara politis oleh
peraturan atau perintah eksekutif. (Jones dan Westmacott, 1993)
Pada suatu tingkat kebijakan, batas-batas dari daerah
pesisir didefinisikan dengan empat cara yang mungkin:
definisi jarak tetap;
definisi jarak variabel;
definisi sesuai pemanfaatan; atau
definisi hibrida.
Definisi jarak tetap, seperti yang
diimplikasikan oleh sebutannya, menspesifikasikan suatu jarak tetap yang jauh
dari pesisir yang dianggap sebagai ‘pesisir’. Biasanya jarak ini dihitung dari
beberapa ukuran batas antara daratan dan perairan di pesisir, yang biasanya
merupakan tanda perairan dalam. Jarak tetap untuk komponen lautan dari daerah pesisir
biasanya digunakan untuk batas yuridiksi pemerintah, misalnya batas-batas Laut
Teritorial.
Seperti halnya untuk definisi jarak tetap
dari daerah pesisir, batas-batas dari definisi jarak variabel ditentukan oleh
beberapa ukuran dari pesisir, yang biasanya merupakan tanda perairan dalam.
Bagaimanapun, batas-batasnya tidak tetap, namun bervariasi di sepanjang pesisir
sesuai dengan variasi variabel seperti ciri fisik, ciri biologi dan batas-batas
administratif seperti batas ke arah
daratan dari lautan yang ditentukan oleh pemerintah setempat.
Organisasi-organisasi
internasional dan negara-negara pesisir besar seringkali mendefinisikan
batas-batas dari daerah pesisir sesuai dengan isu manajemen pesisir tertentu
yang sedang ditangani; misalnya, daerah pesisir didefinisikan sesuai dengan
pemanfaatannya, dan bentuk definisi tersebut disebut ‘definisi sesuai
pemanfaatan’. Misalnya, penanganan isu sumber-sumber polusi laut tanpa batas
akan membutuhkan definisi mengenai daerah pesisir, fokus yang mencakup wilayah
penangkapan di pedalaman dan wilayah aliran air tanah. Suatu daerah pesisir
yang didefinisikan untuk tujuan tersebut akan jauh lebih luas daripada yang
didefinisikan untuk mengelola kerusakan kendaraan roda empat di pesisir dan
bukit pasir. Seperti yang diakui oleh Komisi Pesisir New South Wales (1994,
hal. 22):
Sampai
sekarang, definisi dari zona pesisir bergantung pada tujuan-tujuan
pemanfaatannya. Baik dari sudut pandang manajemen maupun ilmiah, luasnya zona pesisir
akan bervariasi sesuai dengan sifat dari isu manajemennya.
Dalam konteks mendefinisikan daerah pesisir sesuai
dengan tujuan pemanfaatannya, Jones dan Westmacott (1993) mencakup suatu daerah
yang ditentukan secara administratif, dalam arti bahwa proses politik atau
administrasi akan menentukan tanggung jawab pengelolaan, suatu daerah ekosistem
,suatu daerah pusat sumberdaya, misalnya kandungan mineral, ladang minyak,
perikanan, habitat, dan sebagainya dan daerah permintaan, daerah luas yang
merupakan lokasi persediaan untuk permintaan-permintaan yang diberikan terhadap
daerah pesisir yang bersangkutan, seperti permintaan untuk tempat rekreasi,
transportasi laut atau pembuangan limbah.
Mendefinisikan suatu daerah pesisir sesuai dengan
pemanfaatannya memiliki keuntungan dalam hal pemusatan perhatian terhadap
isu-isu tertentu saja. Bagaimanapun, kewaspadaan harus tetap dimiliki untuk
menghindari definisi daerah pesisir ganda yang dibuat untuk satu wilayah
tertentu guna menangani berbagai isu manajemen pesisir, yang malah hanya akan
mengarah pada kebingungan.
Mendefinisikan
pesisir dengan hanya satu pemanfaatan saja dapat mengabadikan sistem-sistem
manajerial sektoral dan mengurangi perspektif pengelolaan kawasan tersebut .
Definisi hibrida memadukan satu tipe
definisi pesisir untuk batas ke arah daratan dari daerah pesisir dan tipe yang
lain untuk batas ke arah laut. Hal tersebut merupakan praktek yang relatif umum
dilakukan pemerintah, yang memiliki suatu batas yurisdiksi tetap terhadap
perairan dekat pesisir.
Dimensi vertikal dari setiap definisi
daerah pesisir juga dapat dicakup; yaitu, kedalaman di bawah permukaan dan
ketinggian di atas pesisir dipertimbangkan untuk dicakup dalam suatu kebijakan
pesisir. Biasanya dimensi vertikal merupakan bagian dari kerangka legislatif
pemerintah secara keseluruhan, dan tidak dicakup secara eksplisit untuk
kebijakan-kebijakan khusus-pesisir. Contoh-contohnya mencakup semua hak-hak
mineral di bawah daratan dan perairan pesisir, serta atmosfir di atasnya, yang
umumnya dicakup dalam undang-undang dan peraturan yang mencakup semua bagian
lain dari suatu yurisdiksi pemerintah.
Singkatnya,
suatu definisi generik dari daerah pesisir tidak diajukan disini. Melainkan,
digunakannya suatu pandangan pragmatis untuk mendefinisikan daerah pesisir, di
mana definisi tersebut merefleksikan pemanfaatan atau berbagai pemanfaatan yang
akan diterapkan padanya.
Apabila
tujuannya adalah untuk mengontrol tipe-tipe pembangunan tertentu, maka,
definisi tetap, variabel atau hibrida dapat digunakan.
Apabila
untuk mengurangi polusi perairan laut adalah tujuannya, maka definisi variabel,
termasuk batas-batas penangkapan atau air tanah, mungkin lebih sesuai.
Dengan
berfokus pada isu-isu manajemen pesisir, dan bukan pada masalah-masalah
definisi, definisi-definisi yang sederhana dan dapat diterapkan untuk daerah
pesisir.
Defenisi Zona Pesisir merupakan suatu yang dibuat berdasarkan
pemanfaatan hal ini akan memiliki keuntungan dalam hal pemusatan perhatian
terhadap isu-isu tertentu saja. Bagaimanapun, kewaspadaan harus tetap dimiliki
untuk menghindari definisi daerah pesisir ganda yang dibuat untuk satu wilayah
tertentu guna menangani berbagai kebijakan Zona Pesisir, karena hal ini akan meng akibatkan pada kebingungan.
Zona
pesisir merupakan suatu kawasan yang unik, yang merupakan pertemuan dua kawasan
yang sangat berbeda antara laut dan darat, serta merupakan suatu system yang
mengikat suatu aktifitas laut dan darat, jika defenisi tentang kawasan pesisir
yang berdasarkan pemanfaatan, terjadi konflik , dampak yang ditimbulkan tidak
hanya terletak pada satu sisi saja , tetapi akan menyeluruh kepada segala
bentangan alam, baik di darat dari hulu sampai dilaut pada perairan dalam.
Zona
pesisir merupakan suatu suatu kawasan yang sangat berpotensi serta sangat
sensitive, seperti daerah bakau yang berada di pesisir rusak akibat aktifitas
manusia didarat dengan menebang pohon, akan berdampak pada punahnya hewan laut
yang punya marjinal tinggi, seperti udang, dan ikan karena tempat ini merupakan tempat
berkembangbiaknya ikan-ikan tersebut, dan juga terjadinya erosi di daerah hulu
sungai akan berakibat tertutupnya pori-pori terumbu karang yang merupakan
tempat berlindungnya ikan – ikan.
Hal
lain juga terlihat kurang tertanya kawasan pemukiman, industri di pesisir akan
dapat mempunahkan segala devisa yang terdapat pada Table 1 diatas.
Anderson, L.
G. 1977. The Economics of Fisheries
Management. The Johns Hopkins University
Press.
Bell, F. W.
1978. Food From The Sea West – View
Press.
Cicin-Sain,
B and R.W. Knecht. 1998. Integrated
Coastal and Ocean Management, Concept and Practices. Island Press.
Kay,R dan J
.Alder.1997. Coastal Planning and
Management. University Press.
Hannesson,
R. 1978.
Economics of Fisheries. Universitetsforlaget. Oslo.
Hardin,
G. 1968.
The Tragedy of the Commons.
Science 162(3859): 1243 – 1248.
Nasoetion,
A. H. 1988. Pengantar ke Filsafat Sains. Litera Antar Nusa.
Schaefer,
M.B. 1957. Some Considerations of Population Dynamics
and Economics in Relation to Management of the Commercial Marine
Fisheries. ITTC. California.
Suriasumantri,
J.S. 1988. Filsafat Ilmu Sebuah Pengantar Populer. Sinar Harapan.
--------------------, 1992.
Ilmu dalam Persfektif. Yayasan
Obor Indonesia