PENGELOLAAN BUDIDAYA UDANG WINDU DI TAMBAK

© 2001. Rachmansyah                                                                               Posted 23 May 2001  (rudyct)

Makalah Falsafah Sains (PPs 702)   

Program Pasca Sarjana / S3

Institut Pertanian Bogor

Juni 2001

 

Dosen:

Prof Dr Ir Rudy C Tarumingkeng (Penanggung Jawab)

Prof Dr Ir Zahrial Coto

 

 

 

OPTIMASI PADAT PENEBARAN  PADA BUDIDAYA UDANG WINDU:

EVALUASI MELALUI SIMULASI

 

Oleh:

Rachmansyah

P316.00.004

E-mail: rachman22000@yahoo.com

 

 

 

 

ABSTRACT:

           

A simulation model of simplified shrimp culture is aiming to optimize stocking density on yield of shrimp, profit and  loading nutrient from a hypothetical 1-ha brackishwater pond. The model consists of a shrimp production submodel represent biomass dynamic of shrimp resulting from stocking density, growth rate, and mortality, economical submodel represent shrimp harvesting and the calculation of profit, and loading nutrient submodel represent dynamic released of organic matter, nitrogen and phosphate to the water environment. The simulation suggest that stocking density of 27 pcs m-2 could be given the maximum profit about Rp. 154.472 million per season. The concentration of organic matter, nitrogen, and phosphate were 1.843, 0.122, and 0.063 ton.ha-1 each culture period, respectively.

 

KEYWORDS: shrimp, stocking density, brackishwater pond, evaluation, simulasion

 

 

PENDAHULUAN

 

Perkembangan budidaya udang windu di tambak dalam dua dasawarsa terakhir memperlihatkan peningkatan yang pesat baik dalam luasan maupun intensitas penebaran dan penerapan tingkat teknologi. Namun demikian, produksi udang yang berasal dari budidaya tambak mencapai puncaknya pada tahun 1992 sebesar 130.000 ton, menurun menjadi 100.000 ton pada tahun 1994, 80.000 ton pada tahun 1996 dan 50.000 ton pada tahun 1998 (Rosenberry, 1996; 1998 dalam Harris, 2000). Dari beberapa kajian diketahui penyebab penurunan produksi budidaya udang adalah merosotnya kualitas lingkungan perikanan budidaya yang memicu mewabahnya serangan penyakit (Rukyani, 2000; Haris, 2000). Kemerosotan kualitas lingkungan perikanan budidaya udang banyak dijumpai di sepanjang pantai utara Jawa, baik disebabkan oleh kegiatan sektoral maupun kegiatan budidaya udang itu sendiri. Terlantarnya lahan tambak intensif dan tidak dioperasikannya menjadi suatu indikasi kuat bahwa telah terjadi kemerosotan kualitas lingkungan perikanan budidaya yang menciri pada kegagalan panen. Pertimbangan kritis tentang kerugian lingkungan dan dampak sosial ekonomi dari budidaya udang perlu menjadi perhatian semua pihak, meskipun terdapat beberapa upaya yang objektif dalam mencegah kerusakan lingkungan serta pendugaan status sosioekonomi budidaya udang (Boyd, 2000). Karena itu, praktek budidaya udang yang bertanggung jawab dan berkelanjutan, merupakan jawaban atas permasalahan tersebut.

Salah satu penyebab penurunan kualitas lingkungan perairan tambak adalah buangan limbah air budidaya selama operasional yang mengandung konsentrasi tinggi dari limbah organik dan nutrien sebagai konsekuensi dari masukan akuainput dalam budidaya udang yang menghasilkan sisa pakan dan faeces yang terlarut ke dalam air untuk kemudian dibuang ke perairan sekitarnya (Boyd et al, 1998; Boyd, 1999; Horowitz dan Horowitz, 2000; Montoya dan Velasco, 2000). Faktor penentu masukan akuinput dalam budidaya udang adalah padat penebaran benur yang mengindikasikan penerapan tingkat teknologi budidaya. Padat penebaran benur akan menentukan besaran kebutuhan pakan sebagai sumber utama energi bagi kehidupan udang dan penerapan sistem aerasi bagi peningkatan kelayakan habitat udang. Sementara besaran input pakan menyerap hampir 70% dari total biaya produksi udang (Padda dan Mangampa, 1990), dan merupakan pemasok utama limbah bahan organik dan nutrien ke lingkungan perairan (Barg, 1991; Phillips, et al., 1993; Kibria et al., 1996; Boyd et al, 1998; Boyd, 1999; Siddiqui dan Al-Harbi, 1999) serta menyebabkan pengkayaan nutrien (hypernutrifikasi) dan bahan organik yang diikuti oleh eutrofikasi dan perubahan ekologi fitoplankton, peningkatan sedimentasi, siltasi, hypoxia, perubahan produktivitas, dan struktur komunitas benthos (Barg, 1992). Dalam prakteknya, beberapa pengelola budidaya cenderung menebar benur dalam kepadatan tinggi dengan harapan dapat menghasilkan produksi yang tinggi, tanpa memperhatikan kemampuan daya dukung lahan budidaya dan dampak negatif dari buangan limbah air budidaya terhadap penurunan kualitas perairan. Li (1989) melaporkan bahwa padat penebaran yang tinggi >50 ekor/m3, dapat menyebabkan stres udang, rendahnya efisiensi konversi pakan dan meningkatkan kemungkinan terserangnya penyakit. Soley et al. (1994), menyatakan padat penebaran merupakan variable kontrol potensial utama di dalam  perencanaan produksi. Karena itu, penentuan padat penebaran benur yang optimal menjadi penting untuk dikaji. Salah satu pendekatan yang dapat digunakan untuk menentukan optimasi padat penebaran benur sebagai upaya kegiatan pengelolaan tambak yang bertanggung jawab adalah dengan analisis sistem melalui simulasi. Makalah ini bertujuan untuk mensimulasi tingkat padat penebaran benur (ekor/m2) dan pengaruhnya terhadap produksi udang, tingkat keuntungan yang diperoleh, serta produksi limbah budidaya.  

 

PERUMUSAN MASALAH DAN TUJUAN

 

Pengelolaan budidaya udang intensif yang bertanggung jawab sebagai pijakan kegiatan budidaya yang berkelanjutan sangat ditentukan oleh strategi penentuan padat penebaran benur yang rasional, didasarkan atas informasi perilaku produksi udang, tingkat keuntungan dan produksi limbah  budidaya, sebagai cerminan respons pemanfaatan daya dukung lahan tambak.  Aplikasi padat penebaran membawa konsekuensi terhadap kebutuhan input pakan dan biaya produksi yang berkorelasi positif. Namun tidak demikian terhadap potensi dampak buangan limbah budidaya. Berdasarkan keterkaitan perilaku antar variable tersebut, maka diperlukan suatu analisis sistem melalui simulasi di dalam menentukan strategi tingkat padat penebaran optimal yang mampu menghasilkan tingkat produksi udang dan keuntungan yang maksimal, tanpa memberikan dampak negatif terhadap kemerosotan kualitas lingkungan perairan.

Mengacu pada permasalahan di atas, maka dirumuskan suatu pertanyaan yang ingin dijawab yaitu: bagaimana menentukan tingkat padat penebaran benih udang windu (benur) yang optimal dalam suatu luasan tambak, untuk memperoleh hasil produksi udang dan tingkat keuntungan yang maksimal dan berkelanjutan, tanpa menimbulkan dampak terhadap penurunan kualitas lingkungan perairan.

 

Tujuan Pembuatan Model

 

      Membuat simulasi untuk berbagai strategi tingkat padat penebaran terhadap produksi udang dan  tingkat keuntungan (profit) serta tingkat loading bahan organik ke lingkungan perairan yang tidak memberikan dampak negatif terhadap perubahan kualitas lingkungan perairan bagi keberlanjutan usaha budidaya udang windu.

 

PROSEDUR KERJA

 

Simulasi pengelolaan budidaya udang intensif di tambak dikembangkan dengan alat bantu piranti lunak STELLA® 4.02 (High Performance Systems, Inc., 1994), didasarkan atas informasi dasar dari berbagai literatur dan pengalaman penulis dalam budidaya udang intensif.

 

1.  Dekripsi  Model

 

Model terdiri dari tiga submodel: yaitu Sub-Model Produksi Udang, Sub-Model Ekonomi, dan Sub-Model Lingkungan.

 

a.  Sub Model Produksi Udang menggambarkan perubahan produksi biomassa udang windu dalam setiap siklus produksi yang dipengaruhi oleh faktor: padat penebaran per satuan luas lahan budidaya, jumlah petakan tambak, bobot awal individu, pertumbuhan udang windu, mortalitas, periode pemeliharaan

b. Sub Model Ekonomi menggambarkan perubahan tingkat keuntungan hasil budidaya udang windu dalam setiap siklus produksi yang dipengaruhi oleh faktor: tingkat produksi / hasil panen, harga jual, cost / biaya yang dikeluarkan untuk operasional budidaya udang windu

c. Sub Model Lingkungan, menggambarkan perubahan loading bahan organik, kandungan total phosphat dan total nitrogen sebagai produk samping (limbah) budidaya udang yang dibuang ke lingkungan perairan, dipengaruhi oleh faktor: jumlah pakan yang dikonsumsi (efisiensi pakan), jumlah pakan yang tidak dikonsumsi, jumlah faeces, produksi biomassa udang windu, retensi phosphat dan nitrogen dalam udang windu, kandungan phosphat dan nitrogen dalam pakan, volume air tambak dan persentase pergantian air harian, dan laju pembasuhan.

Berdasarkan deskripsi model di atas, maka parameter tingkat padat penebaran yang diaplikasikan ditentukan sebagai variabel keputusan (Decission variable), sedangkan parameter produksi biomassa udang windu, keuntungan, serta limbah budidaya udang (total bahan organik, total phosphat, dan total nitrogen) ditentukan sebagai variabel indikator (Indicator variable).

Dalam model pengelolaan budidaya udang windu disimulasikan 5 tingkatan padat penebaran (10, 20, 30, 40, 50 ekor/m2) untuk memperoleh tingkatan padat penebaran optimal yang menghasilkan tingkat keuntungan yang maksimal serta buangan limbah bahan organik yang masih berada pada batas ambang yang diprasyaratkan bagi lingkungan perairan budidaya.

 

2.  Informasi Dasar dan Asumsi Model

 

          Lahan tambak yang menjadi cakupan dalam kajian ini seluas 100 ha, masing-masing memiliki luas 1,0 ha, berada pada suatu hamparan yang secara teknis layak untuk budidaya udang windu secara intensif dengan siklus penebaran dua kali dalam setahun. Sistem pengelolaan budidaya berdasarkan sistem hamparan dengan  tingkatan teknologi budidaya intensif, yang dioperasionalkan secara serentak dan seragam dalam setiap aktivitas budidaya mulai dari persiapan lahan, penebaran benur, pengelolaan pakan, pengelolaan kualitas air, panen dan pascapanen. Dengan demikian, penerapan teknologi diasumsikan tidak mempengaruhi pengelolaan strategi padat penebaran benur yang akan disimulasikan.

             Sebagai masukan akuainput adalah pasok benur dan pakan, tidak ada kontribusi peran makanan alami sehingga udang hanya tergantung pada pakan buatan, dan tidak dilakukan aplikasi petisida. Kematian alami diasumsikan hanya dipengaruhi oleh faktor kepadatan yang menciri pada kompetisi ruang gerak dan peluang memperoleh pakan, bukan disebabkan oleh predasi dan tidak terdapat pemangsa non udang. Suhu air, salinitas, dan oksigen terlarut sebagai peubah kualitas perairan utama dimanipulasi sedemikian rupa melalui penerapan teknologi budidaya sehingga tercipta suatu kondisi lingkungan perairan yang terkontrol dan relatif homogen. Pergantian air dilakukan sebanyak 120% (bl 1), 450% (bl 2), 600% (bl 3), 1200% (bl 4), dan 1200% (bl 5) dari volume air tambak, dan kedalaman air tambak dipertahankan satu meter, serta laju pembasuhan buangan limbah 40%. Padat penebaran yang diaplikasikan sebagai kondisi dasar (baseline) adalah 10 ekor/m2.  Unit biaya produksi ditentukan berdasarkan nilai rasio konversi pakan yang menempati proporsi 70% dari biaya operasional dan tidak terdapat sewa lahan. Seluruh hasil produksi diasumsikan mencapai ukuran konsumsi (>25 g/ekor) dan terjual dengan harga Rp. 80.000/kg.

           


3. Penyusunan Skema Model  Diagram

 


 

4. Perumusan Persamaan Matematika

Sub-Model Produksi Udang

 

ØBiomassa(t)=Biomassa(t-dt) + (Stocking – Weight_loss – Harvest)*dt

ØStocking=IF(Stocking_date)THEN(((Wo*2.7182^(growth*t))*(No_of_ponds* Stock_density))/1000000)ELSE(0)

ØWeight_loss = Mortality*Biomassa

ØHarvest = IF(Harvest_date)THEN(Biomassa)ELSE(0)

ØHarvested_shrimp(t) = Harvested_shrimp(t - dt) + (Harvest) * dt

ØHarvest = IF(Harvest_date)THEN(Biomassa)ELSE(0)

ØGrowth = GRAPH(Stock_density)

      (0.00, 0.71), (50000, 0.635), (100000, 0.61), (150000, 0.575), (200000, 0.545), (250000, 0.535), (300000, 0.525), (350000, 0.51), (400000, 0.5), (450000, 0.49), (500000, 0.485)

ØHarvest_date = GRAPH(COUNTER(1,7))

      (0.00, 0.00), (1.00, 0.00), (2.00, 0.00), (3.00, 0.00), (4.00, 0.00), (5.00, 0.00), (6.00, 1.00), (7.00, 0.00), (8.00, 0.00), (9.00, 0.00), (10.0, 0.00), (11.0, 0.00), (12.0, 1.00)

ØMortality = GRAPH(Stock_density)

      (0.00, 0.00), (41667, 0.195), (83333, 0.29), (125000, 0.355), (166667, 0.385),               (208333, 0.405), (250000, 0.42), (291667, 0.435), (333333, 0.455), (375000, 0.48), (416667, 0.52), (458333, 0.57), (500000, 0.64)

ØStocking_date = GRAPH(COUNTER(1,7))

      (0.00, 0.00), (1.00, 1.00), (2.00, 1.00), (3.00, 1.00), (4.00, 1.00), (5.00, 1.00), (6.00, 0.00), (7.00, 1.00), (8.00, 1.00), (9.00, 1.00), (10.0, 1.00), (11.0, 1.00), (12.0, 0.00)

ØStock_density = GRAPH(Season)

      (0.00, 100000), (1.00, 100000), (2.00, 100000), (3.00, 100000), (4.00, 100000), (5.00, 100000), (6.00, 100000), (7.00, 100000), (8.00, 100000), (9.00, 100000), (10.0, 100000), (11.0, 100000), (12.0, 100000)

 

Sub-Model Ekonomi

ØProfit(t) = Profit(t - dt) + (Gross_revenue - Total_cost) * dt

ØGross_revenue = (Unit_Price_of_Harvested_Shrimp*Harvest)/1000000

ØTotal_cost = Food_Supply*1.43*Food_Price

ØMon_Profit = Gross_revenue-Total_cost

ØRC_ratio = IF(Harvest_date)THEN(Gross_revenue/Total_cost)ELSE(0)

ØUnit_Price_of_Harvested_Shrimp = 80000000

 

Sub-Model Limbah Budidaya Udang

ØFood(t) = Food(t - dt) + (Food_Supply) * dt

ØFood_Supply = if (Stock_density <=100000) then (1.1*FCR*Harvest) else if Stock_density<=200000 then (1.5*FCR*Harvest) else if Stock_density<=300000 then (2*FCR*Harvest) else if Stock_density<=400000 then (2.25*FCR*Harvest) else if Stock_density<=500000 then (2.5*FCR*Harvest) else (0)

ØTot_N(t) = Tot_N(t - dt) + (Con_N-Flushing_N) * dt

ØCon_N=((Loading_N*1000/Water_volume+Water_change)

ØFlushing_N = Flushing-rate*Tot_N

ØTot_OM(t) = Tot-OM(t-dt) + (Con-OM – Flushing-OM)*dt

ØCon-OM= (Loading_Organic_matter*1000000)/(Water_volume + Water_change)

ØFlushing_OM = Flushing-rate*Tot_OM

ØTot_P(t) = Tot_P(t - dt) + (Con_P-Flushing_P) * dt

ØCon_P=Loading_P*1000000/(Water_volume+Water_change)

ØFlushing_P = Flushing_rate*Tot_P

ØEaten_food = Food-Uneaten_food

ØFaeces = Percent_Faeces*Eaten_food

ØFCR = 1

ØFlushing_rate = 0.4

ØLoading_N = N_in_Food-N_in_shrimp

ØLoading_Organic_matter = Faeces + Uneaten_food

ØLoading_P = P_in_Food-P_in_Shrimp

ØN_in_Food = Percent_N_Food*Food

ØN_in_shrimp = Percent_N_Shrimp*Harvested_shrimp

ØN_residue = Con_N-Flushing_N

ØOM_residue = Con_OM-Tot_OM

ØPercent_Faeces = 0.15

ØPercent_N_Food = 0.056

ØPercent_N_Shrimp = 0.0275

ØPercent_P_Food = 0.012

ØPercent_P_Shrimp = 0.002

ØPercent_UF = 0.2

ØP_in_Food = Percent_P_Food*Food

ØP_in_Shrimp = Percent_P_Shrimp*Harvested_shrimp

ØP_residue = Con_P-Flushing_P

ØUneaten_food = Percent_UF*Food

ØWater_change = if (t=1) then 1.2*Water_volume else if (t=2) then 4.5*Water_volume else if (t=3) then 6*Water_volume else if (t=4) then 12*Water_volume else if (t=5) then 12*Water_volume else (0)

ØWater_volume = 10000*No_of_ponds

 

 


 

5. Pembuatan Model dengan Piranti Lunak STELLA® 4.02

 


HASIL SIMULASI

 

1. Simulasi Skenario Kegiatan Budidaya Udang pada Kondisi Baseline

          Hasil simulasi pada kondisi dasar (10 ekor/m2) menunjukkan keragaan  produktivitas yang diperoleh mencapai 2,03 t/ha/mt dengan tingkat keuntungan Rp.130,493 juta/ha/mt. Penggunaan pakan untuk setiap musim tebar mencapai 2,03 t/ha/mt. Sementara produksi limbah budidaya berupa bahan organik, limbah N, limbah P masing-masing mencapai 0,715; 0,692; dan 0,227 kg/ha/mt. Pergantian air selama operasional budidaya menghasilkan konsentrasi total N dan P masing-masing 3,05 dan 1,00 ppm. Berdasarkan pada kondisi baseline, maka kegiatan budidaya udang belum berdampak serius terhadap perubahan kualitas lingkungan perairan. Konsentrasi total N dan P, masih dalam batas ambang yang diperkenankan untuk limbah budidaya udang.

          Untuk menggambarkan keragaan budidaya udang pada kondisi baseline,  dilakukan “run” pada periode 60 bulan (Gambar 3, 4, 5, 6).  Penentuan periode ini didasarkan atas usia proyek dan tingkat resiko usaha

 


 

 

Gambar      3. Hasil simulasi 5 tahun yang mempresentasikan (1) biomassa (ton), dan (2) produksi udang (ton) pada kondisi baseline (padat penebaran 10 ekor/m2)

 

 


Gambar       4. Hasil simulasi 5 tahun yang mempresentasikan (1) produksi udang (ton), (2) pakan (ton), (3) Profit / keuntungan (Rp. juta), dan limbah bahan organik (ton) pada kondisi baseline (padat penebaran 10 ekor/m2)


 

Gambar 5. Hasil simulasi 5 tahun yang mempresentasikan (1) total nitrogen (ppm), (2) total Phosphat (ppm) (3) residu  total Nitrogen (ppm, dan (4) residu total Phosphat (ppm), pada kondisi baseline (padat penebaran 10 ekor/m2)

 

          Hasil simulasi selama periode 60 bulan (5 tahun) pada kondisi baseline menunjukkan bahwa konsentrasi total Nitrogen dan Phosphat berfluktuasi sesuai dengan siklus masa pemeliharaan udang, namun cenderung meningkat sampai tahun ke-5. Sementara residu N berfluktuasi dari tidak terdeteksi (min –12,54 ppm) sampai 44 ppm (rataan 0,9431; sd=12,73 ppm) dan residu Phosphat berkisar dari tidak terdeteksi (– 4,12 ppm) sampai 15,04 ppm (rataan 0,4307; sd=4,2862 ppm), sebagai akibat pengaruh pergantian air dan laju pembasuhan yang terjadi selama operasional budidaya (Gambar 4 dan Lampiran 1). Nilai rataan limbah N dan P masih dalam batas ambang yang diperkenankan, sehingga aplikasi padat penebaran 10 ekor/m2 belum berdampak negatif terhadap perubahan kualitas lingkungan perairan akibat buangan limbah hasil budidaya udang. Karena itu, padat penebaran dapat ditingkatkan sampai pada batas tertentu (optimal) yang menghasilkan produksi dan keuntungan yang maksimal tanpa berdampak negatif terhadap lingkungan perairan.

 

3.   Simulasi Skenario Alternatif Padat Penebaran

 

Untuk menguji pengaruh padat penebaran terhadap tingkat produksi udang, keuntungan yang diperoleh, dan limbah budidaya, maka masing-masing dilakukan simulasi terhadap alternaif aplikasi padat penebaran, yaitu dengan meningkatkan padat penebaran dari kondisi baseline  10 ekor/m2 menjadi  20, 30, 40, 50 ekor/m2. Hasil simulasi terhadap alternatif padat penebaran diperoleh dengan melakukan “run” dalam periode 60 bulan (5 tahun), menunjukkan bahwa produksi udang, keuntungan dan produksi limbah cenderung meningkat dengan meningkatnya padat penebaran, kemudian menurun setelah melewati padat penebaran tertentu (Tabel 1).

Padat penebaran yang disimulasikan memberikan respons yang nyata terhadap produksi udang dengan pola kuadratik yang digambarkan dalam bentuk persamaan Y= - 0,0021 x 2 + 0,1356 x + 0,7868 (r = 0,94). Dari persamaan tersebut diperoleh nilai (x) padat penebaran optimal adalah 32,28 ~ dibulatkan menjadi 32 ekor/m2 yang menghasilkan produksi maksimal sebesar 2,976 t/ha (Gambar 5). Pola yang sama ditunjukkan oleh  pengaruh simulasi padat penebaran yang memberikan respons yang nyata terhadap tingkat keuntungan dengan pola kuadratik yang digambarkan dalam bentuk persamaan Y = - 0,0986 x 2 + 5,2582x + 84,369 (r = 0,94). Dari persamaan tersebut, diperoleh padat penebaran optimal adalah 26,66 ~ dibulatkan menjadi 27 ekor/m2 yang menghasilkan tingkat keuntungan maksimal sebesar Rp. 154,472 juta/ha (Gambar 6). Nampaknya padat penebaran optimal untuk menghasilkan produksi maksimal (32 ekor/m2) agak berbeda dengan  keuntungan (27 ekor/m2), berarti produksi maksimal yang diperoleh belum tentu akan menghasilkan tingkat keuntungan yang maksimal, karena terkait dengan biaya produksi. Oleh karena keuntungan (profit) dan efisiensi menjadi tujuan dalam kegiatan budidaya udang, maka padat penebaran optimal  ditentukan berdasarkan tingkat keuntungan yang diperoleh.

          Padat penebaran juga berpengaruh nyata terhadap produksi bahan organik dengan respons berpola kuadratik Y = - 0,0016 x 2 + 0,1251 x – 0,4791 dengan nilai r = 0,97. Mengacu pada persamaan regresi tersebut, maka padat penebaran yang menghasilkan bahan organik maksimal adalah 39,09 ~ 39 ekor/m2. Oleh karena padat penebaran yang diinginkan adalah yang menghasilkan limbah seminimal mungkin, maka penentuan padat penebaran mengacu pada produksi dan keuntungan yang diperoleh. Karena itu, dalam simulasi, keberadaan limbah bahan organik menjadi informasi dasar untuk evaluasi padat penebaran.

 

Tabel       1. Keragaan produksi udang, keuntungan dan limbah budidaya pada berbagai tingkat padat penebaran

 

 

Peubah

Padat penebaran (ekor/m2)

10

20

30

40

50

Produksi (t/ha)

2,030

2,439

3,014

2,975

2,215

Keuntungan

(Rp. juta/ha)

130,493

142,812

154,930

142,284

97,995

Bahan organik (t/ha)

0,715

1,171

1,929

2,142

1,772

Loading N

(t/ha)

0,0692

0,1378

0,2547

0,2931

0,2491

Loading P

 (t/ha)

0,0227

0,0390

0,0663

0,0744

0,0620

Residu BO

(ppm)*)

ttd -373,66

ttd-612,11

ttd – 1.008,56

Ttd – 1.119,99

ttd – 926,25

Residu N

(ppm)*)

ttd - 45,78

ttd  - 91,13

ttd-168,43

ttd-193,80

ttd-164,75

Residu P

(ppm)*)

ttd -15,04

ttd - 25,81

ttd-43,85

ttd-49,19

ttd-41,00

Keterangan *) simulasi 5 tahun

                                                          ttd: tidak terdeteksi (nilai negatif pada hasil simulasi)

 

Konsentrasi residu bahan organik, nitrogen dan phosphor selama 5 tahun simulasi sangat berfluktuasi, masing-masing dari tidak terdeteksi – 1.119,99 ppm (BO), ttd-192,80 (N), dan ttd – 49,19 ppm (P), namun proses penurunan konsentrasi limbah terjadi dalam periode yang singkat (Gambar 8,9,10). Peningkatan padat penebaran membawa konsekuensi pada peningkatan kandungan limbah organik, Nitrogen dan Phosphor, dan konsentrasi tertinggi terjadi pada padat penebaran 40 ekor/m2. Fluktuasi konsentrasi limbah budidaya dipengaruhi oleh proses pergantian air dan laju pembasuhan, hal ini mengindikasikan bahwa keduanya berperan nyata terhadap penurunan kadar limbah. Dengan demikian, berdasarkan simulasi di atas, maka padat penebaran dapat ditingkatkan dari 10 ekor/m2 menjadi 27 ekor/m2 tanpa berdampak negatif terhadap perubahan kualitas lingkungan perairan.

 

 

 


(a)


 


(b)

 

Gambar       6. Hasil simulasi yang mempresentasikan (a)  produksi udang (ton), dan     (b) respons produksi (t/ha) pada berbagai tingkat padat penebaran (ekor/m2)

 

 

 

 


(a)


(b)

 

Gambar 7.        Hasil simulasi yang mempresentasikan

(a)    profit (Rp. juta, dan             

(b)    (b) respons profit (Rp. juta/ha) pada berbagai tingkat padat penebaran (ekor/m2)

 

 

 

 


                                                                                     (a)

(b)

Gambar                    

8.               Hasil simulasi yang mempresentasikan (a)  limbah bahan organik (ton), dan (b) respons limbah bahan organik (t/ha) pada berbagai tingkat padat penebaran (ekor/m2)

 

 

 


(a)


(b)

 

Gambar      9. Hasil simulasi yang mempresentasikan sensitivitas (a) total nitrogen dan (b) residu nitrogen pada berbagai tingkat padat penebaran.

 

 

 

 


(a)

 


(b)

 

Gambar      10. Hasil simulasi yang mempresentasikan sensitivitas (a) total phosphat dan (b) residu phosphat,  pada berbagai tingkat padat penebaran.

 


 

(a)


 

(b)

 

Gambar      10. Hasil simulasi yang mempresentasikan sensitivitas (a) total bahan organik dan (b) residu bahan organik,  pada berbagai tingkat padat penebaran.

 

 

 

3. Implikasi Penggunaan Model

          Model yang dibangun untuk memprediksi perilaku perubahan sistem budidaya udang, cukup memberikan gambaran yang sebenarnya (kondisi lapangan) dan dapat digunakan untuk menentukan padat penebaran dalam rangka pengelolaan tambak yang bertanggung jawab. Optimasi padat penebaran dilakukan terhadap respons produksi dan keuntungan, namun keduanya tidak menghasilkan nilai yang sama. Berdasarkan respons produksi, padat penebaran optimal adalah 32 ekor/m2, sedangkan respons keuntungan memberikan optimasi padat penebaran 27 ekor/m2. Oleh karena sasaran dalam budidaya udang adalah efisiensi biaya produksi dan penggunaan sumberdaya serta keuntungan maksimal tanpa menimbulkan dampak negatif terhadap lingkungan perairan, maka padat penebaran benur yang optimal adalah 27 ekor/m2. Dengan mengaplikasikan padat penebaran 27 ekor/m2, dapat menghemat biaya produksi sebesar Rp. 15.673.900/ha/mt dan menekan produksi limbah bahan organik, nitrogen, dan phosphat masing-masing 0,3508;  0,0284; dan 0,0128 t/ha/mt, dibandingkan bila diaplikasikan padat penebaran 32 ekor/m2.

 

Tabel       2. Perbandingan biaya produksi, keuntungan dan produksi limbah pada padat penebaran 27 dan 32 ekor/m2 per musim tebar.

 

Peubah

Padat penebaran (ekor/m2)

27

32

Produksi

(t/ha)

2.917

2,976

Biaya produksi

(Rp.juta/ha)

82,3558

98,0297

Keuntungan

(Rp.juta/ha)

154,4721

145,7117

Limbah bahan organik

(t/ha)

1,8429

2,1937

Limbah nitrogen

(t/ha)

0,1217

0,1501

Limbah phosphat

(t/ha)

0,0634

0,0762

 

         

Mengacu pada hasil simulasi, maka model yang dibangun dapat digunakan untuk perencanaan pengelolaan budidaya udang dengan luas hamparan 100 ha, khususnya penetapan padat penebaran optimal tanpa memberikan dampak negatif terhadap perubahan kualitas lingkungan perairan sehingga tercipta suatu kondisi lingkungan yang layak secara bio-tekno-sosio-ekonomi bagi keberlanjutan manfaat sumberdaya tambak.

 

KESIMPULAN DAN SARAN

 

Berdasarkan simulasi yang dibangun dengan pokok kajian pengaruh padat penebaran terhadap produksi, keuntungan, dan limbah budidaya, maka dapat disimpulkan bahwa model tersebut dapat digunakan untuk memprediksi optimasi padat penebaran yang secara teknik layak diaplikasikan, ekonomi menguntungkan dan dapat memprediksi perilaku perubahan limbah budidaya sebagai antisipasi dan informasi dasar bagi upaya pengelolaan dan pemanfaatan tambak yang bertanggung jawab. Padat penebaran benur yang optimal adalah 27 ekor/m2, menghasilkan keuntungan Rp. 154,472 juta/ha/mt, dan residu bahan organik, nitrogen dan phosphat masih berada pada batas ambang yang dapat ditolelir oleh lingkungan.

Model ini dapat dikembangkan lebih komprehensif dengan memasukkan komponen-komponen lingkungan yang berpengaruh terhadap keberlanjutan manfaat dan upaya pengelolaan sumberdaya wilayah pesisir yang lebih rasional.

 

PUSTAKA

 

Barg, U.C., 1992. Guidelines for the promotion of environmental management of coastal aquaculture development. FAO Fisheries Technical Paper 328, FAO, Rome. 122p.

 

Boyd, C.E., L. Massaut, and L.J. Weddig, 1998. Towards reducing environmental impacts of pond aquaculture. INFOFISH International 2/98, p:27-33.

 

Boyd, C.E., 1999. Management of shrimp ponds to reduce the euthrophication potential of effluents. The Advocate, December, 1999 p:12-14.

 

Boyd, C.E., 2000. Case studies of world shrimp farming. Global Aquaculture Alliance, The Advocate, Vol. 3, Issue 2, April 2000, p:11-12.

 

Garcia-Ruiz, R. and G.H. Hall, 1996. Phosphorus fraction and mobility in the food and faeces of hatchery reared rainbow trout (Onchorhynchus mykiss). Aquaculture 145(1996):183-193.

 

Grant, W.E., E.K. Pedersen, and S.L. Martin, 1997. Ecology and Natural Resource Management: System Analysis and Simulation, John Wiley & Sons, Inc, New York. 373p.

 

Harris, E., 2000. Shrimp culture health management (SCHM) managemen operasional tambak udang untuk pencapaian target PROTEKAN 2003. Makalah disampaikan pada Sarasehan Akuakultur Nasional 2000, IPB Bogor, 5-6 Oktober 2000. 10hal.

 

Horowitz, A. and  S. Horowitz, 2000. Microorganisms and feed management in aquaculture. Global Aquaculture Alliance, The Advocate, Vol. 3, Issue 2, April 2000, p:33-34.

 

Kibria, G., D. Nugegoda, P.Lam, and R. Fairclough, 1996. Aspects of phosphorus pollution from aquaculture. Naga, The ICLARM Quarterly, July 1996.p:20-24.

 

Meade, J.W., 1989. Aquaculture Management. AnAvi Book, Van Nostrand Reinhold, 175p.

 

Montoya, R. and M. Velasco, 2000. Role of bacteria on nutritional and management strategies in aquaculture systems. Global Aquaculture Alliance, The Advocate, Vol. 3, Issue 2, April 2000, p:35-38.

 

Li, C.K., 1989. Prawn culture in Taiwan, 1989. World Aquaculture Vol. 20 (2):19-20.

 

Phillips, M.J., R. Clarke, and A. Mowat, 1993. Phosphorous leaching from Atlantic Salmon diets, Aquacultural Engineering 12 (1993):47-54

 

Rukyani, A., 2000. Masalah penyakit udang dan harapan solusinya. Makalah disampaikan pada Sarasehan Akuakultur Nasional 2000, IPB Bogor, 5-6 Oktober 2000. 7 hal.

 

Siddiqui, A.Q. and A.H. Al-Harbi, 1999. Nutrient budgets in tanks with different stocking densities of hybrid tilapia. Aquaculture 170(1999):245-252.

 

Soley, N., A. Neiland and D. Nowell, 1994. An economic approach to pollution control in aquaculture. Marine Pollution Bulletin, Vol.28(3):170-177.