TEKNOLOGI KEMASAN PLASTIK BIODEGRADABLE

© 2001   Rindam Latief                                                                             Posted 25 May 2001  (rudyct)

Makalah Falsafah Sains (PPs 702)   

Program Pasca Sarjana / S3

Institut Pertanian Bogor

Juni 2001

 

Dosen:

Prof Dr Ir Rudy C Tarumingkeng (Penanggung Jawab)

Prof Dr Ir Zahrial Coto

 

 

 

teknologi  KEMASAN PLASTIK BIODEGRADABLE

 

 

Oleh:

Rindam Latief

P.09600001

e-mail : rindamias@yahoo.com

 

 

 

 

 

I. PENDAHULUAN

 

A. Latar Belakang

 

Pengemasan atau pewadahan diperkirakan telah ada sejak beberapa ratus tahun sebelum masehi.  Bahan kemasan  yang berasal dari alam seperti dedaunan, kulit binatang dan tanah liat telah banyak digunakan sebagai wadah penyimpanan atau pengemasan.

 

Seiring dengan perkembangan peradaban manusia, teknologi pengemasan juga berkembang dengan pesat.  Meskipun kemasan alami masih digunakan,, akhir-akhir ini kemasan yang lebih maju (modern) telah banyak digunakan secara meluas.  Sehari-hari, dijumpai berbagai produk terutama produk pangan menggunakan  kemasan yang beragam baik bahan, bentuk, warna maupun fungsi dasarnya.  Kemasan aseptik, modifikasi atmosfir dan “tetra pak” adalah jenis kemasan modern yang dalam proses pembuatannya menggunakan bahan kemasan plastik.  Selain plastik, bahan kemasan yang banyak digunakan untuk produk pangan dan hasil pertanian lainnya diantaranya kertas, aluminium foil, gelas, logam dan kayu.

 

Diantara bahan kemasan tersebut, plastik merupakan bahan kemasan yang paling populer dan sangat luas penggunaannya. Plastik tidak hanya dipakai untuk kemasan pangan (food grade), tetapi juga banyak diaplikasikan sebagai bahan pelindung dan pewadahan produk elekronika, komponen/suku cadang dan zat kimia untuk industri.  Bahan kemasan ini memiliki berbagai keunggulan yakni, fleksibel  (dapat mengikuti bentuk produk), transparan  (tembus pandang), tidak mudah pecah, bentuk laminasi (dapat dikombinasikan dengan bahan kemasan lain), tidak korosif dan harganya relatif murah.   Disamping memiliki berbagai kelebihan yang tidak dimiliki oleh bahan kemasan lainnya, plastik juga mempunyai kelemahan yakni, tidak tahan panas, dapat mencemari produk (migrasi komponen monomer), sehingga mengandung  resiko keamanan dan kesehatan konsumen, dan plastik termasuk bahan yang tidak dapat dihancurkan dengan cepat dan alami (non-biodegradable).

 

Saat ini, bahan kemasan plastik telah menimbulkan permasalahan cukup serius.  Polimer plastik yang tidak mudah terurai secara alami mengakibatkan terjadinya penumpukan limbah dan menjadi penyebab pencemaran dan kerusakan lingkungan hidup. Berbagai laporan menunjukkan, produk berbahan dasar plastik menjadi penyebab kerusakan lingkungan di pantai New Jersey, laut Sargasso dan pulau Scottish (Griffin, 1994).  Selain itu, plastik dalam proses pembuatannya menggunakan minyak bumi, yang ketersediannya semakin berkurang dan sulit untuk diperbaharui (non-renewable).  Kondisi demikian menyebabkan bahan kemasan plastik tidak dapat dipertahankan penggunaannya secara meluas, oleh karena akan menambah persoalan lingkungan dan kesehatan diwaktu mendatang.

 

Berdasarkan fakta dan kajian ilmiah yang ada serta meningkatnya kesadaran masyarakat akan pentingnya kesehatan dan lingkungan lestari, mendorong dilakukannya penelitian dan pengembangan teknologi bahan kemasan yang “biodegradable”. Saat ini penelitian dan pengembangan teknologi bahan kemasan biodegradable terarah pada usaha membuat pengemas yang mempunyai sifat seperti plastik yang berbasiskan bahan alami dan mudah terurai.

 

B. Tujuan

 

Tujuan penulisan paper ini adalah untuk mengkaji menurut tinjauan filsafat sains tentang teknologi kemasan plastik biodegradale.

 

 

 

II.  KEMASAN PLASTIK BIODEGRDABLE

 

A.Pengertian

 

Secara umum kemasan plastik biodegradable diartikan sebagai film kemasan yang dapat didaur ulang dan dapat dihancurkan secara alami. Griffin (1994),, plastik biodegradable adalah suatu bahan dalam kondisi tertentu, waktu tertentu mengalami perubahan dalam struktur kimianya, yang mempengaruhi sifat-sifat yang dimilikinya oleh pengaruh mikroorganisme (bakteri, jamur, algae).  Sedangkan Seal (1994), kemasan plastik biodegradable adalah suatu material polimer yang berubah kedalam senyawa berat molekul rendah dimana paling sedikit satu tahap pada proses degradasinya melalui metabolisme organisme secara alami. 

 

Di beberapa negara maju, mulai diproduksi film kemasan yang dapat didegradasi melalui proses fotokimia atau dengan mikroorganisme penghancur.  Melalui proses  modifikasi gugus fungsional polimer PE dan PS, sehingga film kemasan yang terbentuk dapat terdegradasi oleh fotokimia atau kimiawi. Salah satu contohnya adalah pembutan film kemasan dari polihidroksi butirat (PHB) dan asam polilaktat hasil fermentasi.

B. Jenis Biopolimer

                                                                                                                                                            

Ada tiga kelompok biopolimer yang menjadi bahan dasar dalam pembuatan film kemasan biodegradable, yaitu :

q       Campuran biopolimer dengan polimer sintetis :  film jenis ini dibuat dari campuran granula pati (5 – 20 %) dan polimer sintetis serta bahan tambahan  (prooksidan dan autooksidan). Bahan ini memiliki nilai biodegradabilitas yang rendah dan biofragmentasi sangat terbatas.

q       Polimer mikrobiologi (polyester) : biopolimer ini  dihasilkan secara bioteknologis atau fermentasi dengan mikroba genus Alcaligenes .  Biopolimer jenis ini diantaranya polihidroksi butirat (PHB), polihidroksi valerat (PHV), asam polilaktat (polylactic acid) dan asam poliglikolat (polyglycolic acid).  Bahan ini dapat terdegradasi secara penuh oleh bakteri, jamur dan alga.  Namun oleh karena proses produksi bahan dasarnya yang rumit mengakibatkan harga kemasan biodegradable ini relatif mahal.  

q       Polimer  pertanian : biopolimer ini tidak dicampur dengan bahan sintetis dan diperoleh secara murni dari hasil pertanian. Polimer pertanian ini diantaranya cellulose (bagian dari dinding sel tanaman), cellophan, celluloseacetat, chitin (pada kulit Crustaceae), pullulan (hasil fermentasi pati oleh Pullularia pullulans ).  Polimer hasil pertanian mempunyai sifat termoplastik, sehingga mempunyai potensi untuk dibentuk atau dicetak menjadi film kemasan.  Keunggulan polimer jenis ini adalah tersedia sepanjang tahun (renewable) dan mudah hancur secara alami (biodegradable). Beberapa polimer pertanian yang potensial untuk dikembangkan adalah pati gandum, pati jagung,  kentang, casein, zein, konsentrat whey dan soy protein.

 

III. TEKNOLOGI PEMBUATAN KEMASAN PLASTIK BIODEGRADABLE

 

 

A. Prinsip Pembentukan Film

 

Kemampuan suatu bahan dasar dalam pembentukan film dapat diterangkan melalui fenomena fase transisi gelas.  Pada fase tertentu diantara fase cair dengan padat, massa dapat dicetak atau dibentuk menjadi suatu bentuk tertentu pada suhu dan kondisi lingkungan yang tertentu.   Fase transisi gelas biasanya terjadi pada bahan berupa polimer.  Sedangkan suhu dimana fase transisi gelas terjadi disebut sebagai titik fase gelas (glassy point).  Pada suhu tersebut bahan padat dapat dicetak menjadi suatu bentuk yang dikehendaki, misalnya bentuk lembaran tipis (film) kemasan.

 

Madeka dan Kokini (1996), meneliti suhu transisi pada keadaan antara glassy ke rubbery  dari zein murni dengan kadar air 15 – 35 %.  Hasil penelitian  menunjukkan terjadinya jalinan reaksi transisi pada suhu antara 65 – 160o C untuk tepung zein dengan kadar air di atas 25 %.  Dibawah suhu 65o C zein terlihat seperti cairan polimer yang kusut (engtangled fluid polymer), sedang di atas suhu 160o C ikatan silang agregat zein menjadi lemah.  Kaitan dengan gejala ini, polimer zein dari jagung yang dilarutkan dalam pelarut organik dapa dicetak menjadi film kemasan plastik.

 

Secara kimia kemampuan membentuk film dijelaskan oleh Argos, et al., (1982), sebagai akibat terjadinya interaksi glutamin pada batang-batang (planes) molekul zein yang bertumpuk.  Selanjutnya Gennadios, et. al., (1994), bahwa film terbentuk melalui ikatan hidrofobik, hidrogen dan sedikit ikatan disulfid diantara cabang-cabang molekul zein.

 

 

B. Metode Pembuatan Film

 

Metode pembuatan kemasan plastik biodegradable telah berkembang sangat pesat. Beberapa metode yang dapat diterapkan diantaranya yang dikembangkan oleh Yamada, et. al. (1995),  Frinault, et. al. (1997), Isobe (1999). Namun demikian, pemilihan metode/teknologi produksi didasarkan pada evaluasi terhadap karaktersitik fisik dan mekanik film yang dihasilkan..   Selain karakteristik tersebut, juga didasarkan pada nilai biodegradabilitas film pada berbagai kondisi.

q       Metode pembuatan film yang dikembangkan oleh Isobe (1999), yaitu bahan dasar (zein) dilarutkan dalam aceton dengan air 30 % (v/v) atau etanol dengan air 20 % (v/v).  Kemudian ditambahkan bahan pemlastik (lipida atau gliserin), dipanaskan pada 50o C selama 10 menit.  Selanjutnya dilakukan pencetakan pada casting dengan menuangkan 10 ml campuran ke permukaan plat polyethylene yang licin.  Dibiarkan selama 5 jam pada suhu 30 sampai 45o C dengan RH ruangan terkendali.  Film yang terbentuk dilepas dari permukaan cetakan (casting), dikeringkan dan disimpan pada suhu ruang selama 24 jam.

q       Metode lain yang dikembangkan oleh Frinault, et al., (1997) dengan bahan dasar (casein) menggunakan pencetak ekstruder dengan tahap proses terdiri dari : pencampuran bahan dasar dengan aceton/etanol- air, penambahan plasticiser, pencetakan dengan ekstruder kemudian pengeringan film.

q       Metode yang dikembangkan Yamada, et. al., (1995), bahan dasar (zein) dilarutkan dalam etanol 80 %. Ditambahkan pemlastis, dipanaskan pada suhu 60 sampai 70o C selama 15 menit. Campuran kemudian dicetak pada auto-casting machine.  Selanjutnya dibiarkan selama 3 – 6 jam pada suhu 35o C dengan RH ruangan 50 %.  Film kemudian dikeringkan selama 12 – 18 jam pada suhu 30o C pada RH 50 %.  Dilanjutkan dengan conditioning dalam ruang selama 24 jam pada suhu dan RH ambien.

 

 

C. karakteristik  Kemasan Plastik

 

Keberhasilan suatu proses pembuatan film kemasan plastik biodegradable dapat dilihat dari karakteristik film yang dihasilkan.  Karakteristik film yang dapat diuji adalah karakteristik mekanik, permeabilitas dan nilai biodegradabilitasnya. Adapun pengertian masing-masing karakteristik tersebut adalah :

 

1.Karakteristik mekanik :

 

Karakteristik mekanik suatu film kemasan terdiri dari : kuat tarik (tensile strength), kuat tusuk (puncture strength), persen pemanjangan (elongation to break) dan elastisitas (elastic/young modulus).  Parameter-parameter tersebut dapat menjelaskan bagaimana karakteristik mekanik dari bahan film yang berkaitan dengan struktur kimianya.  Selain itu, juga menunjukkan indikasi integrasi film pada kondisi tekanan (stress) yang terjadi selama proses pembentukan film.  Kuat tarik adalah gaya tarik maksimum yang dapat ditahan oleh film selama pengukuran berlansung.  Kuat tarik dipengaruhi oleh bahan pemlastis yang ditambahkan dalam proses pembuatan film..  Sedangkan kuat tusuk menggambarkan tusukan maksimum yang dapat ditahan oleh film.  Film dengan struktur yang kaku akan menghasilkan  nilai kuat tusuk yang tinggi atau tahan terhadap tusukan.  Adapun persen pemanjangan merupakan perubahan panjang maksimum film sebelum terputus.  Berlawanan dengan itu, adalah elastisitas akan semakin menurun jika seiring dengan meningkatnya jumlah bahan pemlastis dalam film..  Elastisitas merupakan ukuran dari  kekuatan film yang dihasilkan.

 

2. Permeabilitas :

 

Permeabilitas suatu film kemasan adalah kemampuan melewatkan partikel gas dan uap air pada suatu unit luasan bahan pada suatu kondisi tertentu..  Nilai permeabilitas sangat dipengaruhi oleh faktor-faktor sifat kimia polimer,, struktur dasar polimer, sifat komponen permeant. Umumnya nilai permeabilitas film kemasan berguna untuk memperkirakan daya simpan produk yang dikemas.  Komponen kimia alamiah berperan penting dalam permeabilitas.  Polimer dengan polaritas tinggi (polisakarida dan protein) umumnya menghasilkan nilai permeabilitas uap air yang tinggi dan permeabilitas terhadap oksigen rendah. Hal ini disebabkan polimer mempunyai ikatan hidrogen yang besar. Sebaliknya, polimer kimia yang bersifat non polar (lipida) yang banyak mengandung gugus hidroksil mempunyai nilai permeabilitas uap air rendah dan permeabilitas oksigen yang tinggi, sehingga menjadi penahan air yang baik tetapi tidak efektif menahan gas.  Permeabilitas uap air merupakan suatu ukuan kerentanan suatu bahan untuk terjadinya proses penetrasi air.  Permeabilitas uap air dari suatu film kemasan adalah laju kecepatan atau transmisi uap air melalui suatu unit luasan bahan yang permukaannya rata dengan ketebalan tertentu, sebagai akibat dari suatu perbedaan unit tekanan uap antara dua permukaan pada kondisi suhu dan kelembaban tertentu. Sedangkan permeabilitas film kemasan terhadap gas-gas, penting diketahui terutama gas oksigen karena berhubungan dengan sifat  bahan  dikemas yang masih melakukan respirasi.

 

3. Biodegradabilitas  

 

Alasan utama membuat kemasan plastik berbahan dasar bioplimer adalah sifat alamiahnya yang dapat hancur atau terdegradasi dengan mudah..  Umumnya setelah sampah kemasan dibuang ke tanah (landfill), akan mengalami proses penghancuran alami baik melalui proses fotodegradasi (cahaya matahari, katalisa), degradasi kimiawi (air, oksigen), biodegradasi (bakteri, jamur, alga, enzim) atau degradasi mekanik (angin, abrasi).  Proses-proses tersebut dapat berlansung secara tunggal maupun kombinasi.  Beberapa faktor yang mempengaruhi tingkat biodegradabilitas kemasan setelah kontak dengan mikroorganisme, yakni : sifat hidrofobik, bahan aditif, proses produksi, struktur polimer, morfologi dan berat molekul bahan kemasan (Griffin, 1994).  Proses terjadinya biodegradasi film kemasan pada lingkungan alam dimulai dengan tahap degradasi kimia yaitu dengan proses oksidasi molekul, menghasilkan polimer dengan berat molekul yang rendah.  Proses berikutnya (secondary process) adalah  serangan mikroorganisme (bakteri, jamur dan alga) dan aktivitas enzim (intracellular, extracellular). Contoh mikroorganisme diantaranya bakteri phototrop (Rhodospirillium, Rhodopseudomonas, Chromatium, Thiocystis), pembentuk endospora (Bacillus, Clostridium), gram negatif aerob (Pseudomonas, Zoogloa, Azotobacter, Rhizobium), Actynomycetes, Alcaligenes (Griffin, 1994).  Umumnya kecepatan degradasi pada lingkungan limbah cair anaerob lebih besar dari pada limbah cair aerob,  kemudian dalam tanah dan air laut. 

 

 

D. Metode Uji  Biodegradabilitas

 

Faktor-faktor yang harus diperhatikan dalam uji biodegradasi adalah : jenis sampel (blow film, pulverize), sifat (crystallinity), jenis mikroorganisme (jamur, bakteri), kondisi lingkungan ( inokulasi, kelembaban, temperatur, nutrisi, pertumbuhan mikroorganisme, penurunan berat sel) dan sifat hydrofobik.  Adapun cara penentuan degradasi yaitu mengukur perubahan sifat mekanis,, jumlah gas CO2 yang dikeluarkan dan produk-produk yang dihasilkan..  Berbagai metode pengujian biodegradasi  yang diadopsi oleh Organisation for Economic Cooperation and Development (OECD) telah digunakan secara khusus untuk menganalisis, mendeteksi dan mengukur konsumsi oksigen dan atau karbondioksida yang dikeluarkan dari metabolisme substrat.  Ada lima uji  saat ini yang dapat digunakan, yakni : modified AFNOR test (untuk dissolved organic carbon/DOC), modified Sturn test (produksi CO2), modified MITI test (konsumsi O2 dan penguraian substrat), Closed bottle test (konsumsi O2 ) dan modified OECD screening test (dissolved organic carbon/DOC) (Griffin, 1994).  Metode lain yang dikembangkan untuk menguji daya tahan plastik terhadap degradasii mikroorganisme, yakni : Petri dish screen (digunakan di USA/ASTM, Jerman/DIN, Prancis/AFNOR, Swiss/SN dan Standar Internasional/ISO (846), Environmental chamber method (pada kelembaban tinggi - 90 %), Soil burial tests (berdasarkan kontak dengan tanah). 

 

 

 

 

IV. PENGEMBANGAN TEKNOLOGI KEMASAN PLASTIK BIODEGRADABLE KE DEPAN

 

Upaya pengembangan teknologi kemasan plastik biodegrdable dewasa ini berkembang sangat pesat. Berbagai riset telah dilakukan di negara maju (Jerman, Prancis, Jepang, Korea, Amerika Serikat, Inggris dan Swiss) ditujukan untuk menggali berbagai potensi bahan baku  biopolimer. Di Jerman pengembangan untuk mendapatkan polimer biodegradable pada polyhydroxybutiyrat (PHB), Jepang (chitin dari kulit Crustaceae, zein dari jagung, pullulan).   Aktivitas penelitian lain yang dilakukan adalah bagaimana mendapatkan kemasan thermoplastic degradable yang mempunyai masa pakai (lifetimes) yang relatif lebih lama dengan harga yang lebih murah.  Pengembangan lain yang sangat penting adalah perbaikan sifat-sifat fisik  dan penggunaan bahan pemlastis.

 

Penggunaan kemasan plastik biodegradable misalnya sebagai botol sampo,  dari bahan PHBV (produksi Wella AG dan ICI) dengan harga Rp. 75.000/kg (tahun1995), bahan celluloseacetat untuk barang-barang cetakan, harga Rp. 25.000/kg, campuran chitosan dengan cellulosa (di Jepang) sebagai pelindung terhadap oksigen, harga  Rp.15.000/kg dan pullulan (di Jepang) sebagai kemasan pangan beku (mentega, keju) dengan harga Rp.60.000 sampai Rp.70.000,-. Kemasan plastik biodegradable ini penggunaannya masih terbatas pada produk farmasi, kosmetik dan container.

 

Kendala utama yang dihadapi dalam pemasaran kemasan ini adalah harganya yang relatif tinggi dibandingkan film kemasan PE.  Sebagai perbandingan  untuk PHBV sekitar US$ 8 – 10/lb, sedangkan untuk film PE hanya US$ 0.30 – 0.45/lb.  Biaya produksi yang tinggi berasal dari komponen bahan baku (sumber karbon), proses fermentasi (isolasi dan purifikasi polimer) dan investasi modal.   Upaya untuk menekan harga tersebut adalah menggunakan substrat dari methanol, molasses dan hemicellulose hydrolysate (Griffin, 1994). 

 

Di Indonesia penelitian dan pengembangan teknologi kemasan plastik biodegradable masih sangat terbatas. Hal ini terjadi karena selain kemampuan sumber daya manusia dalam  penguasaan ilmu dan teknologi bahan, juga dukungan dana penelitian yang terbatas.  Dipahami bahwa penelitian dalam bidang ilmu dasar memerlukan waktu lama dan dana yang besar.  Sebenarnya prospek pengembangan biopolimer untuk kemasan plastik biodegradable di Indonesia sangat potensial.  Alasan ini didukung oleh  adanya sumber daya alam, khususnya hasil pertanian yang melimpah dan dapat diperoleh sepanjang tahun. Berbagai hasil pertanian yang potensial untuk dikembangkan menjadi biopolimer adalah jagung, sagu, kacang kedele, kentang, tepung tapioka, ubi kayu (nabati) dan chitin dari kulit udang (hewani) dan lain sebagainya.

 

Kekayaan akan sumber bahan dasar seperti tersebut di atas, justru sebaliknya menjadi persoalan potensial yang serius pada negara-negara yang telah maju dan menguasai ilmu dan teknologi kemasan biodegrdable, khususnya di Jerman. Negara tersebut dengan penguasaan IPTEK yang tinggi bidang teknologi kemasan, merasa khawatir kekurangan sumber bahan dasar (raw materials) dan akan menjadi sangat tergantung pada negara yang kaya akan sumber daya alam. 

 

 

 

V. KESIMPULAN

 

Teknologi kemasan plastik biodegradable adalah salah satu upaya yang dilakukan untuk keluar dari permasalahan penggunaan kemasan plastik yang non-biodegradable, berkurangnya cadangan minyak bumi, kesadaran dan kepedulian terhadap lingkungan lestari  serta resiko kesehatan. 

 

Negara-negara maju seperti Jerman, Prancis, Swiss, Jepang, Amerika Serikat dan Inggris telah mengembangkan berbagai jenis kemasan biodegradable untuk kemasan produk farmasi, kosmetik dan pangan. Produk tersebut berkembang oleh dukungan tersedianya dana riset dan penguasaan teknologi proses yang baik.  Namun demikian, pengembangan teknologi kemasan bioegradable masih menghadapi kendala harga yang mahal dan penggunaanya yang terbatas. Berbagai cara telah dilakukan yakni memperbaiki proses produksi, mencari bahan biopolimer lain dan perbaikan sifat-sifat fisik kemasan.

 

Indonesia sebagai negara yang kaya sumber daya alam (hasil pertanian),  potensial menghasilkan berbagai bahan biopolimer, sehingga teknologi kemasan plastik biodegradable mempunyai prospek yang baik. 

 

 

 

 

 

 

 

DAFTAR PUSTAKA

 

Argos, P., Pederson, K., Marks, M.D., and Larkins, B.A. 1982.  A structural model for maize zein proteins. J. Biol. Chem. 257 (17): 9984-9990.

 

Frinault, A., D.J. Gallant, B. Bouchet and J.P. Dumont. 1997.  Preparation of casein film by a modified wet spinning process. J. of Food Science 62 (4): 744-747

 

Gennadios, A., McHugh, T.H., Weller, C.L., and Krochta,. J.M. 1994.  Edible coating and film based on protein. In Edible coating and film to improve food quality; Krochta, J.M., Baldwin, E.A., Nisperros-Carriedo, N., Eds.; Technomic Pub.: Lancaster, PA; pp 201-278.

 

Isobe, S. 1999.  Properties of plasticized-zein film as affected by plasticier treatments. In Formula dan rekayasa proses pembuatan biodegradable film dari zein jagung; Paramawati, R.: PPS – IPB, Bogor.

 

Madeka, H., and Kokini, J.L. 1996.  Effect od glass transition and cross-lingking on rheological properties of zein: Development of preliminary state diagram. Cereal Chem. (73): 433-438.

 

Seal, K.J. 1994.  Test methods and standards for biodegradable plastic. In: . Chemistry and technology of biodegradable polymer: Griffin, G.J.L.  Blackie Academic and Proffesional, Chapman and Hall.

 

Yamada, K., Takahashi, H., and  Noguchi, A. 1995.  Improved water resistance in edible zein films and composites for biodegradable food packaging. Int. J. Food Sci. Tech. 30: 559-608