© 2001 Sus Derthi Widhyari Posted 10 June
2001 (rudyct)
Makalah
Falsafah Sains (PPs 702)
Program
Pasca Sarjana / S3
Institut
Pertanian Bogor
Juni 2001
Dosen:
Prof Dr Ir
Rudy C Tarumingkeng (Penanggung Jawab)
Prof Dr Ir
Zahrial Coto
KAJIAN FILOSOFI PENGAMANAN PANGAN ASAL
TERNAK
Oleh :
Sus Derthi Widhyari (SVT : 995178)
E-mail: Sus_Derthi@hotmail.com
I.
PENDAHULUAN
Kualitas hidup manusia sangat dipengaruhi oleh
kondisi pangan dan gizi. Oleh karena itu
peningkatan sub sektor peternakan khususnya perlu dibina secara terus menerus
dan berkelanjutan. Pengembangan sub
sektor peternakan sebelum terjadi krisis moneter pada akhir 1997 telah mencapai
tingkat yang cukup menggembirakan.
Krisis moneter secara nyata ikut mempengaruhi penyediaan protein hewani
di Indonesia. Untuk mengatasi keadaan
ini Departemen Pertanian mencanangkan program Proteina 2001 dan dipandang
merupakan cara strategis mengatasi keterpurukan di bidang peternakan.
Usaha peternakan tidak hanya dititik beratkan pada
budidaya ternak, tetapi usaha peternakan merupakan suatu industri biologis yang
dikendalikan oleh manusia. Beberapa
komponen penting turut terlibat dalam mendukung keberhasilan usaha peternakan. Komponen tersebut meliputi (a) peternak
sebagai pelaku harus memperoleh penghasilan yang layak, (b) ternak sebagai
obyek harus ditingkatkan produksinya, (c) lahan sebagai basis ekologi pakan dan
lingkungan budidaya harus diamankan pemanfaatannya ,dan (d) teknologi sebagai
alat untuk mengoptimasikan penggunaan sumber daya pembangunan (Soehadji, 1994).
Manusia
diberi akal dan budi untuk mensejahterakan antar sesama. Kita ada dimana dan mau kemana kita
melangkah, apa yang kita wariskan kepada anak cucu kita, tergantung pada
tingkat kesadaran dan kemampuan kita untuk mengolah dan memanfaatkannya sumber
alam yang ada. Setiap manusia harus berprilaku dan bertindak yang sehat dan
sadar sehingga semua usaha yang dilakukan tidak merusak lingkungan dan selalu
mementingkan keselamatan umat manusia . Untuk itu pemahaman ilmu pengetahuan
dan teknologi harus didampingi dengan usaha memahami ajaran agama. Kebalikannya para pemuka agama harus
mempunyai penguasaan tentang perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi yang
menyangkut kesejahteraan umat manusia
(Nasoetion,1999). Ilmu tanpa
agama adalah ambar, demikian juga sebaliknya.
Karena apa yang kita perbuat ditujukan untuk kepentingan dan
kesejahteraan manusia.
Kemajuan ilmu dan teknologi (IPTEK) yang begitu pesat
akhir-akhir ini menyebabkan dilema, di satu sisi kita merasa bersyukur dan
bergembira dengan ditemukannya teknologi baru, tetapi disisi lain ada
kekawatiran akan efek negatif yang dapat ditimbulkan terhadap perkembangan dan
kehidupan manusia. Kemajuan bioteknologi dalam usaha peningkatan produksi tanpa
memperhatikan efek yang diakibatkan terhadap produk yang dihasilkan akan sangat
berbahaya. Oleh karena itu pengamanan produk pangan asal ternak mulai proses
produksi sampai pasca produksi perlu mendapat perhatian.
Penggunaan obat-obatan hewan yang kurang terkendali
merupakan ancaman tersendiri terhadap konsumen dan produk asal ternak untuk
ekspor. Sedang peningkatan kualitas
produk asal ternak semakin dituntut untuk bisa bersaing dengan produk dari luar. Selain itu persyaratan negara-negara
pengimport produk asal ternak juga semakin ketat, seperti misalnya bebas dari
berbagai penyakit, persyaratan standar residu antibiotik serta pengawasan
adanya residu atau cemaran yang cukup ketat. Hal tersebut menjadi tanggung
jawab kita bersama dalam penyediaan bahan pakan yang berkualitas dan bermutu
baik, aman dikonsumsi dan harus sesuai
dengan kaidah agama dan kesehatan
Adanya kebutuhan hidup mendorong manusia untuk
melakukan berbagai tindakan dalam rangka pemenuhan kebutuhan hidup. Manusia berbeda dengan binatang dalam jumlah
memenuhi dan cara memenuhi kebutuhan tersebut. Maslow mengidentifikasikan lima
kelompok kebutuhan manusia yaitu kebutuhan fisiologi, rasa aman, afiliasi,
harga diri dan pengembangan potensi.
Sedangkan binatang kebutuhannya meliputi kebutuhan fisiologis dan rasa
aman serta memenuhi kebutuhan itu secara instinktif (Suriasumantri, 1985). Adanya kebutuhan dan keinginan untuk
mengembangkan potensi yang ada , dituntut agar kita sebagai manusia mampu
memanfaatan dan mengembangkan ilmu pengetahuan yang dimiliki untuk kemaslahatan
kemanusiaan.
Peningkatan produksi dan pengamanan pangan asal ternak
merupakan salah satu tantangan yang dihadap dalam pengembangan teknologi veteriner. Dalam kaitan dengan falsafat ilmu maka dalam
tulisan ini, coba untuk dilihat melalui tiga pendekatan filsafat ilmu yaitu
ontologi, epistemiologi, dan aksiologi
(Suriasumantri, 1985).. Ontologi adalah membahas arti, definisi
mengenai pangan asal ternak. Epistemiologi adalah menelaah masalah
pangan asal ternak dan bagaimana proses pengamanannya dan Aksiologi adalah manfaat atau kegunaan pengamanan pangan asal
ternak untuk kepentingan manusia sebagai konsumen.
II.
KAJIAN ONTOLOGI PENGAMANAN PANGAN ASAL TERNAK
a.
Arti, definisi Pangan Asal Ternak
Pangan asal ternak adalah produk yang dihasilkan baik
secara langsung maupun tidak langsung tentang bahan pangan yang dihasilkan oleh
ternak, atau terkait dengan ternak. Pangan asal ternak ini dibutuhkan oleh
manusia sebagai sumber pakan untuk memenuhi kebutuhan hidupnya.
Pengamanan pangan asal ternak adalah suatu sistem untuk
melindungi konsumen akibat mengkonsumsi pangan asal ternak dari ancaman
penyakit, cemaran dan residu (hayati, kimiawi, obat-obatan, hormon, logam berat
dsb) yang terbawa atau terkandung di dalam produk-produk peternakan. Sasarannya adalah menciptakan kondisi agar
produk-produk peternakan yang akan dikonsumsi masyarakat atau diekspor aman (safe), sehat (sound) dan murni (wholesome).
Dalam
rangka ternak sebagai industri biologis maka diperlukan kondisi yang cukup
memadai agar ternak mampu menghasilkan produksi yang optimal dan aman bagi
konsumen. Produksi yang dihasilkan oleh
ternak sangat dipengaruhi oleh peran manusia yang terlibat didalamnya. Kondisi yang ideal berupa ternak sehat,
lingkungan budidaya yang bebas dari penyakit berbahaya, produk peternakan yang
sehat dan aman untuk konsumsi manusia. Gossklaus (1993) mengatakan bahwa "Healthy animals, safefood, healthy
man".
Keamanan
bahan pangan merupakan hal yang kompleks dan merupakan interaksi antara
toksisitas mikrobiologik, kimiawi, status gizi dan ketentraman batin. Keempatnya saling berkaitan dan saling
mempengaruhi, sehingga faktor keamanan pangan dapat dikatakan muncul sebagai
suatu masalah yang dinamis seiring dengan berkembangnya peradaban manusia dan
kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi (IPTEK).
Untuk lebih meningkatkan pengamanan bahan pangan asal
ternak, maka dilakukan pengawasan sejak pra produksi, proses produksi dan pasca
produksi yang meliputi penanganan, pengolahan, pengemasan, pemasaran sampai
dihidangkan pada konsumen.
Untuk itu ada tiga unsur utama yang terlibat dalam pengamanan pangan
asal ternak yaitu (1) sistem/proses
produksi,(2) infrastruktur, (3) tenaga dan kelembagaan (Soehadji,1995).
b. Pengamanan Pangan dari Penyakit Ternak
Penyakit pada ternak merupakan salah satu kendala
menyebabkan penurunan produksi baik daging maupun susu. Penyakit pada ternak dapat bersifat infeksius
(menular) dan non infeksius (tidak menular). Penyakit infeksius adalah penyakit
menular yang disebabkan oleh agen penyakit seperti bakteri, virus, parasit,
jamur dll. Di dunia ditemukan 226 jenis
penyakit hewan menular dan 87 jenis penyakit terdapat di Indonesia ( Soehadji,
1994). Penyakit non infeksius merupakan
penyakit yang bersifat individual dan sering dikaitkan dengan adanya gangguan
metabolisme atau penyakit organ.
Terjadinya penyakit merupakan interaksi antara host
(induk semang), agen (penyebab) dan faktor lingkungan. Ketiga faktor ini saling terkait dan
berhubungan satu sama lain dalam menimbulkan penyakit (gambar 1).
Gambar
1. Interaksi kejadian penyakit antara host, lingkungan dan agent
Penurunan produksi akibat penyakit baik secara
langsung maupun tidak langsung cukup tinggi.
Misalnya pada kasus mastitis yaitu penyakit pada ambing dapat
menyebabkan penurunan produksi susu sekitar 40% (Sudarwanto, 1999). Sedangkan pada kasus lainnya seperti
brucellosis, adanya penyakit menyebabkan penurunan populasi ternak dan disertai
penurunan produksi (Siregar, 2000).
Selain menurunkan produksi, penyakit yang ada pada
hewan dapat ditularkan kepada manusia yang dikenal sebagai penyakit zoonosis.
Penyakit-penyakit zoonosis seperti salmonellosis, anthrax, toxoplasmosis,
leptospirosis,dll dapat menular dari hewan kepada manusia melalui produk ternak
yang tercemar. Adanya kandungan kuman
patogen, produk ternak menjadi tidak aman untuk dikonsumsi, sehingga tidak
layak untuk dipasarkan. (Anonimus, 1981; Bahri, 1995; Titball, 1991).
Penyakit
lain seperti Penyakit Mulut dan Kuku (PMK) yang termasuk penyakit menular akan
tetapi tidak bersifat zoonosis. Perlunya
pengetahuan tentang pengenalan penyakit pada ternak dan penanganan produk asal
ternak mutlak diperlukan untuk melindungi konsumen. Tindakan yang harus diambil
jika terjadi penyakit menular dan terhadap produk daging maupun susu asal
ternak penderita penyakit secara jelas diatur dalam dalam UU N0 6 tahun 1967
tentang Ketentuan Pokok Peternakan dan Kesehatan Hewan (Anonimus,1981).
Dalam percaturan ekonomi global, pencegahan terhadap
penyakit terutama penyakit menular
harus selalu diwaspadai karena adanya peningkatan lalulintas hewan hidup dalam
negeri dan antar negara. Sebagai contoh,
sewaktu penyakit Anthraks mewabah di Australia pada tahun 1996, Indonesia
mengambil sikap keras menolak sapi-sapi dan daging yang berasal dari
Australia. Demikian juga pada awal tahun
1999 timbulnya polemik kontroversial tentang rencana impor daging kerbau dari
India. Sampai saat ini juga masih ada polemik tentang boleh tidaknya import
daging maupun bahan pakan yang berasal dari negara yang diduga terjangkit PMK.
Mentri Pertanian melarang mengimpor bahan baku dari Argentina karena di negara
tersebut masih terjangkit PMK
b.
Pengamanan Pangan Asal Ternak Akibat Cemaran atau Residu
Penurunan mutu suatu produk selain disebabkan oleh
penyakit, juga dapat terjadi akibat
cemaran atau residu. Pencemaran dapat
terjadi pada peternakan karena hewan sakit atau maupun pada proses pemotongan
hewan atau penyiapan produk ternak. Penyiapan atau penanganan produk merupakan
tindakan yang harus diambil dalam melakukan pengamanan terhadap pangan asal
ternak dimulai proses produksi sampai penanganan pasca produksi. Proses produksi untuk
menghasilkan pangan tersebut dimulai ketika ternak masuk ke dalam kandang,
periode pemeliharaan ternak, hingga saat panen seperti saat pemerahan susu dan
pemotongan ternak. Sedangkan pasca
produksi dimulai saat panen, pengolahan, pengemasan dan distribusi sehingga pangan
siap dikonsumsi (Murdiati, dkk, 1995).
Bahan pangan umumnya bersifat mudah rusak, baik akibat
perubahan yang terjadi dalam bahan itu sendiri (faktor internal) maupun akibat
adanya kerusakan dari luar (faktor eksternal). Baham pangan akan mengalami
berbagai penanganan dan pengolahan yang pada akhirnya diharapkan menghasilkan
makanan yang sehat, dan diterima oleh konsumen dalam keadaan aman, bebas dari
penyakit atau cemaran / residu.
Munculnya
residu pada bahan pangan asal ternak akibat adanya senyawa kimia yang masuk
kedalam tubuh hewan secara sengaja maupun tidak sengaja. Secara sengaja karena dipergunakan dalam
pengobatan untuk penangulangan penyakit atau ditambahkan dalam pakan
ternak. Sedangkan secara tidak sengaja
akibat pencemaran pada lingkungan selama produksi misalnya pencemaran dalam
pakan, air, kandang, ruangan ,petugas serta alat yang dipergunakan pada
pengolahan pasca panen (Debackere, 1990, Murdiati, 1995).
Selain penggunaan antibiotika atau obat, pemakaian
pemacu pertumbuhan untuk meningkatkan produksi hasil peternakan serta
diharapkan mampu mengurangi biaya produksi juga sering menyebabkan timbulnya
residu pada bahan pangan asal ternak.
Diduga beberapa pabrik makanan ternak telah menambahkan antibiotika
dalam produknya tetapi tidak mencantumkan janis dan jumlah yang ditambahkan. Hal ini akan berbahaya jika akumulasi yang
terjadi walaupun kecil tertapi terus menerus tanpa diketahui oleh konsumen,
akan menyebabkan penurunan kesehatan bagi yang mengkonsumsi produk tersebut.
Pentingnya perlindungan terhadap konsumen yang mengkonsumsi
bahan pangan asal ternak dari bahaya residu dan cemaran diatur dalam peraturan
pemerintah No. 22 tahun 1983 mengenai Kesehatan Masyarakat Veteriner. Kemudian diperjelas lagi dengan SK Mentri
Pertanian No. 10 tahun 1993 tentang penunjukan laboratorium pengujian cemaran
mikroba dan residu di dalam bahan pangan asal ternak.
III.
KAJIAN EPISTEMIOLOGI PENGAMANAN PANGAN ASAL TERNAK
Dalam rangka meningkatkan permintaan akan komoditi
peternakan, menyebabkan dilakukannya intensifikasi usaha peternakan. Cara pemeliharaan ini menyebabkan mudahnya
penularan penyakit infeksi secara cepat dari ternak yang satu ke ternak lain,
juga antar kelompok. Dengan demikian
pemakaian antibiotika untuk mengatasi penyakit infeksi akan meningkat
digunakan. Tindakan tersebut akan memperbesar peluang terdapatnya residu
antibiotika pada produk asal ternak. Disamping itu penggunaan obat-obatan yang
mempunyai resiko tinggi terhadap kesehatan konsumen. Munculnya residu pada bahan pangan akibat
dosis penggunaan obat-obatan tidak
sesuai, waktu henti obat yang belum terlampaui dan sulitnya melaksanakan
pengawasan penggunaan obat di lapangan (Sudarwanto,1999).
a.
Masalah yang muncul akibat adanya Pencemaran pada Bahan Pangan Asal
Ternak
Dengan meningkatnya konsumsi pangan asal ternak yang
tidak sehat, akan berakibat peningkatan masalah kesehatan bagi manusia yang
mengkonsumsi. Secara tidak langsung
biaya kesehatan masyarakat akan meningkat
(Murdiati, 1995).
Masyarakat pernah dihebohkan akan penggunaan bahan pangan yang tidak
dipersyaratkan baik oleh agama maupun
kesehatan. Beberapa kasus atau
permasalahan pada bahan pangan asal ternak seperti:
a Adanya residu pada bahan pangan asal ternak
seperti residu obat antibiotika,
residu logam
berat, residu pestisida, residu mikotoksin dll
b. Kasus penggunaan hormon di ethyl stilbestrol
(DES)
c Kasus bangkai ayam potong (ayam duren)
d Isu bahan pakan asal daging tikus
e Kasus penggunaan borax pada makanan bakso
dan formalin pada tahu
f Penggunaan ajinomoto yang diduga mengandung lemak babi sebagai bahan
pembantu
pada industri pengolahan makanan
Dari beberapa kasus diatas, masalah yang paling sering
adalah adanya residu pada bahan pangan.
Jenis residu yang sering muncul selama produksi maupun pasca produksi
antara lain pestisida, mikotoksin, logam berat, dan obat-obatan termasuk
antibiotika. Residu ini muncul akibat kurangnya pengetahuan peternak, misalnya
mengenai waktu henti obat atau withdrawal
time yaitu waktu yang dibutahkan dari saat pemberian obat yang terakhir
hingga ternak boleh dipotong.
Masalah yang muncul akibat adanya residu obat-obatan
dalam susu maupun daging terutama antibiotika dapat menyebabkan reaksi alergi,
gangguan fungsi hati, ginjal dan gangguan metabolisme (Sudarwanto, 1999).
Dampak lain yang ditimbulkan akibat adanya residu dalam produk bahan pangan
tidak secara langsung menimbulkan gejala klinis. Karena efek residu biasanya dalam konsentrasi
rendah, sehingga gejala yang ditimbulkan tidak nyata. Akan tetapi konsumsi yang terus-menerus dalam
dosis kecil akan membahayakan kesehatan manusia. Residu obat seperti antibiotika dapat
menyebabkan reaksi alergi, resistensi dan kemungkinan keracunan. Efek lain berupa karsinogenik dan mutagenik
akibat mengkonsumsi bahan pangan yang mengandung residu logam berat, residu
pestisida ataupun residu cemaran kimia lainnya (Schlatter, 1990).
Untuk
mengantisipasi agar tidak terjadi residu pada bahan pangan asal ternak,
diusulkan kerangka pemecahan masalah antara lain:
1. Selama proses produksi harus dikontrol sebaik-baiknya
2. Pemberian obat dengan dosis yang tepat dan memperhatikan waktu henti
obat
3. Dibentuk tim residu atau pencemaran yang berperan dalam membantu
pemikiran dan kebijaksanaan pemerintah dalam pengamanan produk mulai proses
produksi sampai di konsumen.
4. Perlu dilakukan pengamanan produk secara terpadu, termasuk
monitoring terhadap kandungan residu dan cemaran
5. Perlu penyuluhan terhadap peternak,
dan masyarakat yang terlibat
dalam penyediaan bahan pangan asal ternak, sehingga dihasilkan produk yang aman
bagi konsumen.
6.
Perlu dilakukan pengawasan yang ketat dengan cara pengamatan (surveillance),
pemantauan (monitoring) dan pemeriksaan (inpection) mulai dari tempat produksi,
selama penanganan produk (proses) sampai pada konsumen.
Metodologi diagnosis dan teknologi penanggulangan
penyakit hewan yang tepat guna untuk menghasilkan bahan asal ternak bebas
penyakit dan residu akan sangat penting dan diperlukan untuk mencari alternatif
pemecahan masalah yang saling berhubungan
b. Peran Lembaga dan Organisasi yang terlibat
dalam pengawasan Pangan Asal
Ternak
Secara hukum konsumen seharusnya mendapat perlindungan
dalam mengkonsumsi bahan makanan yang aman, sehat dan berkualitas baik. Dengan demikian, mengkonsumsi bahan pangan
asal ternak baik susu maupun daging seharusnya berasal dari ternak yang sehat,
bebas penyakit, bebas bahan -bahan yang berbahaya dan pencemaran lainnya
Masalah pencemaran dan penyakit dapat dikurangi,
demikian juga pengamanan terhadap pangan asal ternak dapat
ditingkatkan melalui struktur kelembagaan yang jelas serta tugas dan wewenang
masing-masing dalam memberi perlindungan terhadap konsumen. Pihak yang
bertanggung jawab dan berkewajiban melindungi kepentingan konsumen adalah
pemerintah dan produsen atau pengusaha.
Produsen harus menjamin bahwa produk yang dihasilkan tidak dalam kondisi
yang bisa merugikan atau membahayakan konsumen.
Sebab produsenlah yang secara persis mengetahui keadaan produk yang
dihasilkannya. Pada dasarnya konsumen adalah pihak yang semestinya paling
ringan kewajibannya dalam melindungi kepentingannya. Seperti pepatah "konsumen adalah
raja" walaupun kenyataannya sangat
berbeda (Yani, 1995).
Kurang
efektifnya pengawasan terhadap pengamanan bahan pangan asal ternak akibat
lemahnya pengawasan yang dilakukan dan lemahnya sangsi yang diberikan terhadap
pelanggaran yang terjadi. Konsumen yang
bersikap apatis, nrimo dan ketidak pedulian disebabkan karena rendahnya ilmu
pengetahuan yang dimiliki, rendahnya kesadaran, juga karena keadaan dan
struktur masyarakat dewasa ini yang kurang menunjang terjadinya penyelesaian
kasus-kasus yang dilakukan oleh masyarakat.
Pengawasan
dapat dilakukan oleh perorangan ataupun terorganisir melalui gerakan organisasi
konsumen seperti YLKI atau organisasi lain seperti organisasi wanita, buruh,
pemuda dsb. Melalui gerakan yang
terorganisir, masyarakat secara lebih luas dapat melakukan pengawasan mutu
terhadap bahan pangan yang diproduksi dan diedarkan di pasar.
Lemahnya
pengawasan tidak menguntungkan semua pihak. Oleh karena itu peranan semua pihak
yang berkepentingan yaitu pemerintah, pengusaha dan konsumen dapat bekerja sama
melakukan pengawasan pengamanan bahan pangan asal ternak. Proses pengawasan dimulai dari proses
produksi, penanganan, pengolahan, distribusi, dipasarkan sampai pada
konsumen. Jika pengawasan yang dilakukan
sudah berperan semestinya, sangsi secara tegas dapat dilakukan, disamping
perlunya segera disusun peraturan perundangan.
Adanya tugas dan wewenang serta tanggung jawab yang
jelas antara pemerintah, produsen dan konsumen penting dalam menjamin mutu
produk yang dihasilkan dari ternak. Pemerintah bertugas dalam melakukan
pembinaan terhadap kesehatan ternak, produsen sebagai penghasil mampu
meningkatkan produksi dan menjamin mutu yang dihasilkan, dan konsumen juga
mempunyai kewajiban untuk pintar memilih produk yang disediakan (Yani, 1995).
Agar dapat dipercaya masyarakat maka dalam pengamanan
pangan asal ternak diperlukan lembaga yang benar-benar mau bertanggung jawab
dan bersih dari kepentingan kelompok dan mengutamakan kepentingan umum. Seperti pemberian sertifikat halal dari MUI
pada produk yang benar-benar halal. Masyarakat atau konsumen yang merasa
dirugikan dapat bekerja sama atau minta bantuan kepada Yayasan Lembaga Konsumen
Indonesia (YLKI) untuk mendapat perlindungan konsumen.
IV.
KAJIAN AKSIOLOGI PENGAMANAN PANGAN ASAL TERNAK
Upaya untuk memperoleh pangan asal ternak yang memenuhi
kesehatan ternak dan kehalalan adalah dengan cara menentukan tata cara
penanganan bahan pangan sedemikian rupa sehingga diperoleh produk pangan yang
aman (safe), sehat (sound) dan utuh murni serta halal. Masalah kehalalan telah diamanahkan dalam
kitab suci Al-quran surat Al'Baqarah ayat 173.
Dengan dikeluarkannya Inpres No. 2 tahun 1991 bertujuan agar masyarakat
mendapat perlindungan mengenai produksi
dan peredaran makanan olahan yang tidak memenuhi syarat terutama dari segi
mutu, kesehatan dan keyakinan agama.
Untuk menunjang hal tsb. diperlukan infrastruktur baik
perangkat lunak (peraturan perundangan) maupun perangkat kerasnya antara lain rumah potong hewan (RPH). Dalam pembinaan RPH yang dapat menghasilkan
produk bermutu, sehat, aman, dan halal diperlukan suatu rancang bangun RPH
secara khusus. RPH tersebut dirancang
dan diproduksi dalam negeri dengan mempertimbangkan 3 aspek yaitu aspek teknis
(persyaratan kesehatan dan konstruksi), aspek ekonomi (sumber pendapatan dan
kegiatan ekonomi), aspek sosial (memberikan pelayanan dan ketentraman batin
masyarakat).
Masyarakat yang mengkonsumsi pangan asal ternak memiliki
nilai gizi yang tinggi, halal sehingga
konsumen merasa tenang.
Ketenangan diperlukan agar tercipta ketentraman . Adanya ketenangan dan
ketentraman lingkungan secara langsung maupun tidak berpengaruh terhadap
kinerja produktifitas. Peningkatan produktifitas mudah-mudahan diikuti
pendapatan yang meningkat pula. Tujuan akhir yang diharapkan adalah terwujudnya
kesejahteraan bagi manusia dan masyarakat secara umum. Negara akan maju jika didukung oleh sumber daya manusia yang
handal. Kualitas sumber daya tidak bisa lepas dari faktor gizi dan faktor
lingkungan.
Dalam penyediaan
pangan selain perlu adanya peraturan
perundangan dan pengawasan yang ketat , semua ini akan sia-sia jika tidak ditunjang oleh keimanan yang
tinggi pada orang yang terlibat dalam penyediaan pangan tersebut. Manusia diberi ilmu, etik dan moral untuk
mementingkan dan mengutamakan kesejahterakan umat manusia.
V.
PENUTUP
Pengamanan pangan asal ternak dimulai saat produksi
sampai pasca produksi Oleh karena itu penanganan penting artinya dalam menjamin
tidak terjadi pencemaran dan bebas terhadap penyakit. Untuk memperoleh bahan
pangan asal ternak yang aman dan halal perlu pengawasan yang ketat mulai
penanganan, pengolahan, distribusi sampai pada konsumen.
Pengamana pangan asal ternak tidak lepas dari tanggung jawab kita bersama, dan tergantung
pada pihak yang terkait pada penyediaan pangan tersebut. Sekali lagi berpulang pada etikat dan kemauan
baik dari produsen untuk tidak membohongi konsumen, dengan mencantumkan pada
adanya pada label atau sesuai kenyataan yang ada.
Daftar Pustaka
Anonimus. 1981.
Penyakit Keloron Menular (Brucellosis).
Pedoman Pengendalian Penyakit Menular.
Bina Direktorat Kesehatan Hewan.
Dirjen Peternakan. Jakarta.
Anonimus. 1984. Peraturan Perundangan Kesehatan
Hewan. Direktorat Kesehatan Hewan ,
Direktorat Jendral Peternakan Departemen Pertanian.
Crwford,
R.P., J.D. Huber dan B.S. Adams.
1990. Epidemiology and
Surveilance. In K. Nielsen and J.R.
Duncan, eds. Animal Brucellosis. CRC
Press, Boca Raton, Ann Arbor, Boston.
Debackere.M. 1990.
Veterinary medicine products : Their pharmacokinetics in relation to the
residue problem. Euroresidue,
Noordwijkerhout, The Netherlands: 26-395.
Grossklaus,
D. 1993.
Food Hygiene and Consumer Protection.
A Word-wide Future Chalenge. The
11 th International Dymposium of the Word Association of Veterinary Hygienist,
Bangkok Thailand.
Murdiati,
T.B. dan Sjamsul Bahri. 1995. Residu dan Cemaran Dalam Bahan Pangan Asal
Hewan. Prosiding Seminar Nasional Teknologi Veteriner. Balai penelitian Veteriner, Badan Penelitian
dab Pengembangan Pertanian, Departemen Pertanian.
Nasoetion, A.H. 1999.
Pengantar ke Filsafat Sains.
Litera Antar Nusa.
Poeloengan,M.
dan M. Sudarwanto. 1995. Mastitis di dalam Petunjuk Teknis Penyakit
Hewan. Balai Penelitian Veteriner. Badan
Penelitian dan Pengembangan Pertanian, Departemen Pertanian.
.
Schlatter,
C. 1990.
Toxicological assessment of xenobiotics in food of animal origin. Euroresidue, Noordwijkerhout, The
Netherlands: 65-75
Siregar,E.A. 2000. Pendekatan
Epidemiologik Pengendalian Brucellosis Untuk Meningkatkan Populasi Sapi Di
Indonesia (Orasi Ilmiah). Fakultas
Kedokteran Hewan Institut Pertanian Bogor.
Soehadji,
1995. Pembinaan Kesehatan Hewan Dan
Pengamanan Bahan Pangan Asal Ternak.
Prosiding Seminar Nasional Teknologi Veteriner. Balai Penelitian Veteriner Badan Penelitian
Dan Pengembangan Pertanian Departemen Pertanian. Bogor.
Sudardjat,
S. 1991.
Epidemiologi Penyakit Hewan.
Direktorat Bina Kesehatan Hewan, Direktorat Jendral Peternakan,
Departemen Pertanian.