Posted 19 June 2001 [RCT]

© 2001  Tubagus Rismunandar                                                                              Posted 19 June 2001  [rudyct]

Makalah Falsafah Sains (PPs 702)

Program Pasca Sarjana / S3

Institut Pertanian Bogor

Juni 2001

 

Dosen:

Prof Dr Ir Rudy C Tarumingkeng (Penanggung Jawab)

Prof Dr Ir Zahrial Coto

 

 

PEMANFAATAN LAHAN GAMBUT UNTUK MENCIPTAKAN PEMBANGUNAN

BERWAWASAN LINGKUNGAN

 

Oleh:

 

Tubagus Rismunandar

P31600015 / SPL

E-mail: tubagus_r@hotmail.com

 

PENDAHULUAN

 

     Perkembangan jumlah penduduk di Indonesia yang cukup tinggi menyebabkan kebutuhan konsumsi penduduk yang berupa pangan semakin meningkat, sehingga dibutuhkan lahan untuk produksi pangan. Dalam keadaan demikian mendorong pemerintah untuk melakukan intensifikasi maupun ekstensifikasi usaha pertanian, disamping usaha melakukan pemindahan penduduk dari daerah padat ke daerah penerima transmigrasi. Dalam pemilihan areal, yang pertama dilakukan adalah diarahkan ke lahan kering, tetapi dengan semakin banyaknya cadangan lahan kering yang digunakan untuk berbagai proyek lain atau dikonversikan untuk penggunaan yang lain, maka lahan marginal seperti tanah Gambut dan tanah Sulfat Masam Potensial merupakan alternatif dalam usaha perluasan usaha pertanian.

     Tanah gambut tergolong tanah rawa dan terbentuk dari bahan organik sisa tanaman yang mati di atasnya, dan disebabkan oleh keadaan lingkungan yang selalu jenuh atau terendam air yang tidak memungkinkan berlangsungnya proses pelapukan, sehingga mengalami pengawetan. Akumulasi bahan organik ini dapat mencapai ketebalan 0.5 sampai 16 meter.

     Jumlah areal gambut di dunia diperkirakan 420 juta hektar atau mungkin lebih dari 500 juta hektar. Sedangkan di Indonesia penyebarannya cukup luas, diperkirakan mempunyai cadangan gambut seluas 17 juta hektar. Jumlah tersebut menjadikan Indonesia sebagai negara yang mempunyai cadangan gambut terbesar keempat di dunia setelah

(1) Kanada                        : 170 juta hektar;

(2) Rusia                : 150 juta hektar;

(3) Amerika Serikat           : 40 juta hektar.

Perincian penyebaran gambut di Indonesia adalah :

(1) Pantai Timur Sumatera :  9,7 juta hektar;

(2) Kalimantan                   :  6,3 juta hektar;

(3) Lain-lain                                   :  1,3 juta ha. (Soepraptohardjo & Drieesen, 1976).

Usaha yang dilakukan oleh pemerintah untuk mengatasi masalah pangan atau dengan istilah swasembada beras, salah satunya adalah dengan dicanangkannya proyek besar pembukuan lahan gambut satu juta hektar di Kalimantan Tengah yang kegiatannya telah dimulai semenjak tahun 1995 sesuai dengan Instruksi Presiden tanggal 5 Juni 1995 dan Keputusan Presiden Nomor 82 tahun 1995.

Untuk menentukan pemanfaatan yang tepat dari suatu sumberdaya alam, harus dilakukan kajian terlebih dahulu tentang potensi dan dampak pemanfaatan sumberdaya tersebut terhadap lingkungan. Hal ini mengacu pada GBHN 1989-1992, dimana disebutkan bahwa gambut termasuk dalam bidang energi yang pemanfaatannya sebagai sumberdaya alam yang terbarukan (renewable resources) dan dalam Pelita V pendekatan yang dilakukan adalah kelestarian sumber daya alam. Berarti setiap pengelolaan sumberdaya, termasuk di dalamnya gambut, harus dimulai dengan Analisis Dampak Lingkungan (ANDAL).

Dalam resolusi PBB No.33/148 tanggal 20 Desember 1978 dinyatakan bahwa gambut adalah salah satu sumber energi “yang baru dan terbarukan (new and renewable sources of energy). Selanjutnya resolusi PBB tersebut, menyatakan bahwa “GAMBUT” adalah bahan bakar yang sumbernya tidak dapat diperbaharui dan terjadi dari “proses pembentukan yang sangat lambat (20-80 cm/100 tahun)” pada daerah-daerah pembentukan yang sangat lambat maupun pada tanah-tanah lumpur.

 

TUJUAN DAN SASARAN

     Tujuan dari penulisan ini adalah untuk mengetahui potensi lahan gambut di Indonesia, dan mengetahui pengelolaan lahan gambut yang ada agar dapat menciptakan lingkungan yang lestari, serta mengetahui sampai sejauh mana pelaksanaan program lahan gambut di Indonesia dalam usaha memanfaatkan potensi lahan gambut yang ada.

     Adapun sasaran yang diinginkan dari penulisan ini adalah agar dapat menciptakan pembangunan yang lestari dan berwawasan lingkungan dalam usaha pemanfaatan lahan gambut, dan dapat meningkatkan taraf hidup bagi petani khususnya dan masyarakat umumnya yang berada di kawasan lahan gambut tanpa mengabaikan aspek-aspek mengenai dampak lingkungannya.

 

KAJIAN TEORI

Gambut Secara Umum

     Pada umumnya tanah tersusun atas 2 golongan bahan, yaitu : bahan organik dan bahan mineral. Bahan organik merupakan hasil pelapukan vegetasi yang dikenal dengan tanah organik atau tanah gambut, sedangkan bahan mineral merupakan hasil pelapukan bahan batuan yang dikenal dengan tanah mineral.

     Tanah gambut merupakan tanah yang tersusun dari bahan organik, baik dengan ketebalan > 45 cm maupun terdapat secara berlapis bersama tanah mineral pada ketebalan penampang 80 cm serta mempunyai tebal lapisan bahan organik > 50 cm. Dalam analisis laboratorium bahan organik dinyatakan dalam kadar karbon 12-18% atau lebih. Makin tinggi kadar beton, bahan organik dapat dikatakan masih segar, sedangkan makin kecil kadar karbon maka bahan organik makin lanjut pelapukannya dan disebut dengan humus.

     Pembentukan tanah gambut dimulai dengan adanya cekungan lahan berdrainase jelek, dan genangan air, sehingga memungkinkan terjadinya penumpukan bahan organik yang sukar melapuk. Vegetasi tua yang roboh akan diganti oleh vegetasi baru yang pertumbuhannya makin dipengaruhi ketebalan bahan organik. Penumpukan bahan organik dapat berjalan terus karena sifat permeabilitas ke bawah yang rendah dari tanah-tanah jelek dan air tetap tergenang.

     Kualitas tanah gambut sangat tergantung pada vegetasi yang menghasilkan bahan organik pembentuk tanah gambut, bahan mineral yang berada di bawahnya, faktor lingkungan tempat terbentuknya tanah gambut dan proses pembentukan tanahnya. Di daerah tinggi atau dingin bahan organik yang terbentuk lebih halus atau mudah melapuk daripada di dataran rendah atau pantai.

     Kriteria untuk penetapan kualitas gambut biasanya pada kadar seratnya. Bahan organik berkadar serat tinggi (>66%) disebut fibrik; kadar serat sedang (33-66%) disebut hemik; dan kadar serat halus (<33%) disebut saprik (Soil Taxonomy, 1975). Makin halus kadar serat bahan organik berarti yang terombak makin tinggi, sehingga pada umumnya kualitas gambut makin baik.

     Berdasarkan lingkungan tumbuh dan pengendapannya gambut di Indonesia dapat dibagi menjadi 2 jenis, yaitu :

1.    Gambut ombrogeneus, dimana kandungan airnya hanya berasal dari air hujan. Gambut jenis ini dibentuk dalam lingkungan pengendapan dimana tumbuhan pembentuk yang semasa hidupnya hanya tumbuh dari air hujan, sehingga kadar abunya adalah asli (inherent) dari tumbuhnya itu sendiri.

2.    Gambut topogeneus, dimana kandungan airnya hanya berasal dari air permukaan. Jenis gambut ini diendapkan dari sisa tumbuhan yang semasa hidupnya tumbuh dari pengaruh air permukaan tanah, sehingga kadar abunya dipengaruhi oleh elemen yang terbawa oleh air permukaan tersebut.

Daerah gambut topogeneus lebih bermafaat untuk lahan pertanian dibanding dengan daerah gambut ombrogeneus, karena gambut topogeneus mengandung relatif lebih banyak unsur hara (Sukandarrumidi, 1995). Pada umumnya, sebagian besar lahan gambut di Indonesia merupakan gambut ombrogen (Radjagukguk, 1989).

Klasifikasi gambut yang diarahkan pada kepentingan tanah pertanian berdasarkan tingkat kesuburan tanah, terbagi atas 3 bagian yaitu :

1.    Eutropik (subur)

2.    Mesotropik (sedang); dan

3.    Oligotropik (miskin) (Fisher cit. Soepraptohardjo & Drieesen, 1976).

Tanah-tanah gambut yang telah berhasil untuk pengembangan pertanian umumnya mempunyai sifat spesifik lokasi. Dalam survei tanah-tanah gambut untuk pertanian, khususnya untuk pemukiman transmigrasil, dipilahkan menjadi 3 bagian tanah gambut yaitu :

(1) Gambut tipis (ketebalan gambut 0 sampai 100, 130 atau 150 cm);

(2) Gambut sedang (ketebalan gambut 100, 130, 150 cm);

(3) Gambut tebal (Ketebalan gambut > 200 cm).

Pemilihan ini didasari pemikiran bahwa gambut tipis dapat dimanfaatkan untuk budidaya tanaman, khususnya tanaman pangan semusin (Radjaguguk, 1990).

 

Potensi Gambut

     Penyebaran gambut regional di Indonesia seluas kurang lebih 17 juta hektar, merupakan potensi terpendam untuk perluasan area pertanian dan tanaman budidaya, pengembangan industri dan pengolahan bahan ebergi dan kimia. Sebagai lahan pertanian gambut dapat dilestarikan (renewble), sedangkan sebagai bahan industri gambut termasuk non renewable.

     Diperkirakan kurang lebih 10 juta hektar dari luas total lahan gambut di Indonesia mempunyai potensi untuk dimanfaatkan sebagai budidaya tanaman semusin dan tanaman tahunan. Akan tetapi hingga saat ini potensi untuk perluasan area pertanian sebagian besar belum dapat dimanfaatkan, mengingat tanah gambut mempunyai ciri-ciri yang khas yang berbeda dengan tanah-tanah mineral. Untuk itu perlu dilakukan perbaikan dan pengelolaan yang khusus terhadap kualitas gambut dengan tujuan untuk memperbaiki sifat tanah yang kurang atau tidak mendukung pertumbuhan tanaman, hingga akhirnya dapat meningkatkan produktifitas gambut. Dengan demikian kegagalan budidaya akibat faktor tanah akan dapat dikurangi dan produksi yang berkelanjutan dapat terjamin.

Ada 3 (tiga) kategori kondisi lahan gambut di Indonesia, yaitu :

1.    Hutan gambut alami (ramin, mereanti, terentang, suntai dan lain-lain).

2.    Lahan gambut rawa (sisa tebangan hutan, misalnya HPH) dengan kadar air sangat tinggi 90%.

3.    Lahan gambut hasil drainase / pengeringan, selama 5-7 tahun, telah dibuka di beberapa propinsi seluas 383.020 hektar untuk dimanfaatkan sebagai lahan pertanian dan pemukiman transmigrasi, sekitar 20.244 hektar tidak dapat dimanfaatkan karena ketebalan gambut melebihi 1 (satu) meter.

Lahan gambut rawa dan lahan gambut hasil pengeringan / drainase tersebut di atas, dapat diproduksi menjadi serbuk gambut dan batang gambut setelah kandungan air pada lahan gambut mencapai ± 55%. Hasil produksi tersebut dapat digunakan adalah :

¨    Bahan bakar (energi)

-       Serbuk dan batang gambut dapat diproses / diolah menjadi briket gambut, briket arang gambut melalui suatu sistem peralatan, sehingga dapat digunakan sebagai bahan bakar industri kecil, kokas, pengering hasil pertanian dan perkebunan;

-       Sebagai komoditi ekspor.

¨    Bahan baku industri

¨    Bahan baku konstruksi

Sebelum melangkah lebih lanjut dalam membangun pusat-pusat pertumbuhan kawasan gambut, maka yang harus dilakukan adalah berusaha menguasai teknologi tentang gambut baik untuk pemanfaatan pertanian, kehutanan, perkebunan, energi industri dan konstruksi, misalnya melalui kerjasama antara pusat-pusat riset, instansi terkait, Pemda setempat, dan Perguruan Tinggi.

 

Masalah Gambut.

     Masalah penting dan utama dalam pemanfaatan gambut adalah usaha meningkatkan kesuburan lahan gambut yang ditentukan oleh :

1)   Ketebalan gambut dan tingkat kematangan lapisan-lapisannya;

2)   Keadaan tanah mineral di bawah gambut; dan

3)   Kualitas air sungai atau air pasang yang mempengaruhi proses pembentukan maupun proses pemanganannya. Makin tebal gambut makin miskin lapisan atasnya karena akar pohon semakin sedikit mencapai lapisan mineral di bawahnya. Gambut yang bertumpu di atas tanah kuarsa lebih miskin dibandingkan gambut yang berada di atas tanah mineral.

Masalah lain di lahan gambut adalah imbangan antara bahan organik, mineral, larutan tanah dan udara tanah yang tidak selaras. Kompisisi yang seimbang menurut Tan (1986) yaitu bahan organik (1-6%), bahan mineral (44-49%), larutan tanah (15-35%) dan udara tanah (15-35%). Sedangkan di lahan gambut, komposisi itu jelas tidak seimbang karena bahan organik di atas 50%, kadar abu gambut juga sangat rendah yang menunjukkan mineral yang sedikit. Imbangan antara mineral dan bahan organik secara bersamaan akan berpengaruh pada cadangan ion dalam larutan tanah, yang selanjutnya akan menentukan jumlah yang dapat diambil oleh tanaman.

Pemanfaatan lahan gambut di Indonesia mulai menonjol sejalan dengan program transmigrasi dan ekstensifikasi pertanian melalui reklamasi rawa pantai atau pasang surut. Akan tetapi dalam pemanfaatan lahan gambut untuk usaha pertanian, masih terdapat beberapa masalah yang harus dihadapi, antara lain :

¨    Keadaan lingkungan tanah gambut;

¨    Ketebalan gambut; keadaan morfologi;

¨    Sifat fisik dan kimiawi;

¨    Perkembangan tanah akibat reklamasi dan pemilihan teknologi yang tepat.

Keadaan drainase yang terhambat merupakan masalah pertama yang harus merupakan masalah pertama yang harus diperbaiki agar lahan gambut dapat digunakan untuk usaha pertanian.

Pembuatan saluran pengatusan merupakan prasyarat di dalam pemanfaatan lahan gambut.

     Di lahan yang bergambut tipis masalah yang paling ringan adalah penurunan kesuburan tanah. Di dalam lahan semacam ini pemanfaatannya untuk budidaya tanaman pangan biasanya cukup berhasil pada tahun-tahun pertama. Untuk mempertahankan tingkat produktivitasnya usaha yang dilakukan antara lain: pemberian pupuk, pemberian abu hasil pembakaran seresah dan rumput, pemanfaatan tamah mineral yang subur di bawah lapisan gembut. Cara lain yang sering ditempuh yaitu merubah tataguna lahan menjadi lahan usaha tanaman keras.

     Di lahan yang bergambut tebal keadaannya lebih jelas daripada yang bergambut tipis. Tingkat dekomposisinya belum berlangsung lanjut, sehingga sifat fisiknya lebih jelek dan kesuburannya lebih rendah. Sebagai akibat usaha hidroreklamasi permukaan air tanahnya turun, sehingga terjadi amblesan atau turunnya permukaan tanah (subsidence), keadaan yang irreversible, kemasaman tanah meningkat dan pelindihan unsur hara lebih cepat.

     Subsidensi gambut yang cepat juga akan menimbulkan masalah dalam hal pengendalian air. Menurunnya permukaan tanah menyebabkan semakin terhambatnya drainase terutama di lahan–lahan pasang surut.

     Dari beberapa hasil penelitian tentang lahan gambut yang pernah dilaksanakan, menunjukkan bahwa salah satu sifat gambut yang penting untuk diketahui adalah sifat mengering tidak balik (irreversible drying). Sifat ini berakibat mengurangi kemampuan retensi air dan sangat peka terhadap  erosi (Soepraptohardjo dan Driessen, 1976 dalam Karama dan Suriadikarta, 1997).

     Dalam keadaan kering, gambut mudah terbakar dan mengalami penurunan (Subsidence) bahkan lapisan gambut secara perlahan hilang karena hanyu. Jika hal ini terjadi, lapisan tanah di bawah gambut yang sering bersifat sulfat masam dapat meracuni tanaman. Oleh sebab itu, kunci yang harus dipegang dalam rangka pembudidayaan gambut adalah menjaga agar gambut tidak mengalami kekeringan.

 

Pemanfaatan Lahan Gambut

     Berbagai program pemanfaatan gambut dan lahan gambut Indonesia telah dilakukan sejak jaman Belanda. Pemerintah Indonesia mulai memberikan perhatian besar serta memanfaatkan lahan gambut secara intensif sejak awal Pelita I (1969), misalnya dengan program sawah pasang surut di berbagai wilayah gambut Sumatera dan Kalimantan.

     Dalam pemanfaatan lahan gambut ini, tidak sedikit keberhasilan yang telah dicapai namun terdapat pula yang kurang berhasil misalnya dalam pembudidayaan untuk pertanian lahan basah. Belajar dari berbagai masalah yang timbul dari program pemanfaatan gambut dapat disimpulkan bahwa adalah mustahil dapat membudidayakan gambut secara berhasil gemilang tanpa memahami terlebih dahulu mengenai sifat-sifat, karakter, maupun tingkah laku gambut secara teliti, tepat dan cermat.

     Oleh sebab itu hingga saat ini pemanfaatan lahan gambut di Indonesia masih sangat terbatas, sebagian besar penggunaan lahan ini sebagai kehutanan, baik sebagai hutan produksi atau hutan tanaman industri (HTI), perkebunan, pertanian, dan pemukiman transmigrasi. Keterbatasan pengembangan dan pemanfaatan lahan gambut di Indonesia, disebabkan menghadapi beberapa kendala antara lain berupa kelangkaan informasi, kelangkaan teknologi dan pemasaran, serta kelangkaan peraturan.

     Dalam pemanfaatan lahan gambut, harus melihat tujuan dari penggunaan lahan tersebut, sehingga fungsi alamiah lahan gambut tetap harus diperhatikan, yaitu sebagai pengatur sistem hidrologi kawasan dan pendukung bagi kehidupan sumberdaya alam hayati dan ekosistemnya.

     Berdasarkan Keppres 32 tahun 1990 tentang Kawasan Bergambut dinyatakan bahwa “kriteria kawasan bergambut adalah tanah bergambut dengan ketebalan 3 meter atau lebih yang terdapat di bagian hulu sungai dan rawa”. Dengan kondisi demikian, maka kawasan seperti itu berfungsi untuk menambat atau menyimpan air serta dapat mencegah terjadinya banjir, sehingga gambut yang tebal harus dipertahankan dengan kata lain harus dijadikan kawasan lindung.

     Berikut ini terdapat bagan alir pemilihan kriteria pengembangan lahan gambut yang sangat penting untuk diperhatikan dalam usaha pemanfaatan dan pengembangan lahan gambut yang lestari dan berwawasan lingkungan.

 

Pemanfaatan Gambut Untuk Energi

     Di masa depan teknologi gambut akan memiliki peranan yang sangat penting dalam strategi pembangunan daerah dan nasional pada umumnya. Tidak hanya sebagai lahan untuk pertanian, gambut sebagai bagan dapat menjadi pilihan sumber energi yang penting di Indonesia bagi kepentingan industri dan pembangkitan daya.

     Berdasarkan hal tersebut, sejak tahun 1994 T.U. PAGER memformulasikan kegiatan pengkajian pemanfaatan gambut untuk energi pada 3 (tiga) kelompok kegiatan, yaitu :

1.    Desa Energi dan Industri Gambut;

2.    Tim Gambut Energi untuk Studi Teknologi dan Ekonomi;

3.    Tim Informatika dan Pemasyarakatan Energi Industri Gambut.

Pengkajian teknologi pemanfaatan gambut untuk energi yang dilaksanakan secara mandiri oleh T.U. PAGER,  hingga kini telah terhimpun 6 (enam) jenis produk bahan bakar, 2 (dua) jenis produk tungku, 5 (lima) jenis rancang bangun peralatan produksi, dan 15 (lima belas) laporan kegiatan di bidang energi.

Selain itu telah terlaksana 2 (dua) studi kelayakan untuk energi listrik dan beberapa pengkajian proses/sistem melalui kerjasama penelitian. Dalam pelaksanaan pemanfaatan gambut untuk energi yang dikembangkan oleh T.U. PAGER telah melibatkan banyak perguruan tinggi, pusat industri, bengkel mesin / konstruksi, instansi pemerintah, swasta dalam dan luar negeri, serta masyarakat khususnya yang hidup di daerah bergambut.

 

Pengembangan Lahan Gambut Satu Juta Hektar (PLG)

     Proyek PLG merupakan salah satu usaha pemerintah dalam mempertahankan swasembada pangan nasional, mulai dilaksanakan pada awal tahun 1996 berdasarkan Keppres No. 82 Tahun 1995. Areal proyek PLG terletak di Kalimantan Tengah yang meliputi hamparan seluas kira-kira 1,7 hektar, dengan batas-batas sebagai berikut :

¨    Bagian selatan : berbatasan dengan Laut Jawa;

¨    Bagian Barat : berbatasan dengan Sungai Sengabau sampai Palangkaraya;

¨    Bagian Timur : berbatasan dengan Sungai Kapuas, Murung, Kahayan, dan Barito;

¨    Bagian Utara : berbatasan dengan rencana jalan Palangkaraya-Buntok;

Alasan pemerintah memilih Kalimantan Tengah sebagai Proyek Pengembangan Lahan Gambut sejuta hektar penyebaran gambut di Kalimantan hampir menyebar rata di seluruh propinsi tetapi luasan yang terbanyak ditemukan di Propinsi Kalimantan Tengah (Abdullah, 1997).

Dalam proyek PLG akan mengkonversi hutan tropis menjadi persawahan seluas 638.000 hektar dan sisanya ± 362.000 hektar menjadi lahan pertanian, perumahan dan daerah konservasi. Dan rencananya akan dilaksanakan selama 5 tahun dengan anggaran diperkirakan akan menelan biaya sebesar 2-3 miliar dollar AS termasuk dana reboisasi sebesar 527 miliar rupiah. Areal proyek PLG dibagi menjadi 4 wilayah kerja, yaitu :

¨    Daerah A : terletak di antara S. Kapuas dan S. Barito seluas 303.195 hektar;

¨    Daerah B : terletak di antara S. Kahayan dan S. Kapuas seluas 161.460 hektar;

¨    Daerah C : terletak di antara S. Sebangau dan S. Kahayan seluas 568.635 hektar;

¨    Daerah D : terletak di antara S. Kahayan dan S. Kapuas seluas 162.278 hektar.

Sehingga luas keseluruhan wilayah proyek PLG adalah 1.358.261 hektar.

     Terdapat tiga komponen utama kegiatan yang akan dilakukan di proyek PLG ini, yaitu :

1.    Pembangunan saluran pengairan, yang meliputi Saluran Primer Sekunder (SPI), Saluran Primer Utama (SPU), Saluran Sekunder dan Saluran Tersier.

2.    Kegiatan pertanian meliputi pencetakan sawah, ladang, dan perkebunan.

3.    Penempatan transmigran, yang meliputi penyiapan pemukiman dan sarana pendukungnya, mendatangkan petani baik dari Kalimantan maupun dari luar Kalimantan.

Dampak dari kegiatan pengembangan lahan gambut di Kalimantan Tengah terhadap lingkungan dapat terjadi pada tiga jenis kegiatan :

1)   Pembangunan saluran pengairan,

2)   Pencetakan sawah, ladang dan perkebunan

3)   Pembangunan pemukiman transmigrasi.

Setiap kegiatan tersebut akan menimbulkan dampak, baik pada tahap prakonstruksi, konstruksi maupun operasional terhadap komponen lingkungan fisik, kimia, biologi, sosial ekonomi, sosial budaya, kesehatan masyarakat dan tata ruang.

     Secara teknis, proyek PLG dimulai dengan membangun kanal-kanal (saluran) raksasa sebagai pengendali tata air. Hingga saat ini kanalisasi telah hampir dilakukan dengan membangun saluran primer induk (SPI) sepanjang 110 km, saluran primer utama (SPU) sepanjang 1.129 km, saluran sekunder (SS) sepanjang 964 km, saluran tersier (ST) sepanjang 900 km, dan saluran kuarter (SK) sepanjang 1.515 km, sehingga total panjang kanal yang telah dibangun adalah 4.618 km dengan menghabiskan dana sebesar 898.8 milyar rupiah.

     Dalam proyek ini terdapat kesalahan yang cukup berarti yaitu dalam pembuatan tata saluran tanpa didasari oleh data Amdal, seperti tanah, topografi, hidrologi, hidrolika dan Amdal Regional. Pengumpulan data-data tersebut baru dikerjakan setelah pembuatan SPI dan SPU berjalan jauh. Akibatnya, letak dan jalur SPI dan SPU banyak yang keliru, padahal SPU dan SPI menjadi rujukan pembuatan saluran kategori bawah yang diharapkan dapat berfungsi sebagai kendali tata air.

     Hingga saat ini produksi beras dari proyek PLG ternyata hanya mampu menghasilkan kurang dari 20.000 ton gabah, sementara target berdasarkan luasan sawah yang dicetak sebesar 728.000 ton.

     Sejak dimulai pada tahun 1995 sampai saat ini, proyek PLG sudah menelan biaya sebesar 1,3 triliyun rupaih. Kawasan PLG yang sudah dibuka, sekitar 70.000 hektar dan sebanyak 142.000 KK transmigran sudah berada di lokasi. Dari usaha pemanfaatan lahan gambut, maka luas lahan yang cocok untuk sawah dan palawija di seluruh kawasan itu mencapai sekitar 330.000 hektar. Sedangkan lahan untuk perkebunan dan tanaman keras 300.000 hektar, dan lahan untuk saluran sekitar 155.000 hektar. Sisanya sekitar 215.000 hektar untuk konservasi (Kompas, 7 Mei 2000).

 

Pusat Riset Gambut Tropika ( PURIGATRO )

     Pusat Riset Gambut Tropika (PURIGATRO) dibentuk dan dikembangkan oleh BPPT dengan tujuan sebagai pusat isu nasional tentang pengembangan pemanfaatan gambut tropika. Awal terbentuknya pusat riset ini adalah untuk membangun sarana penelitian tentang gambut tropika secara benar dan cepat dengan memadukan antara ilmu pengetahuan dan teknologi. Berdasarkan hal tersebut maka pada tahun 1991/1992, BPPT dengan Bappeda Tingkat I Propinsi Kalimantan Barat merintis pembangunan suatu Pusat Riset Gambut Tropika (PURIGATRO) di Pontianak, Kalimantan Barat. Bersamaan itu pula maka mulai dilakukan berbagai riset terapan tentang gambut.

     Pusat riset ini disiapkan untuk melayani kepentingan baik untuk pemerintah, swasta maupun perguruan tinggi dalam melaksanakan kegiatan riset gambut untuk kepentingan pembangunan ekonomi nasional maupun untuk kepentingan lingkungan. Selain itu, melalui PURIGATRO akan membentuk berbagai konsorsium sesuai dengan kepentingan pengembangan gambut, misalnya konsorsium untuk pertanian dan holtikultura, konsorsium untuk energi dan konsorsium untuk lingkungan hidup. Masing-masing konsorsium ini akan memproduksi atau memanfaatkan gambut untuk kemudian dipasarkan di masyarakat.

     Model pengembangan PURIGATRO merupakan pusat kegiatan PURIGATRO yang bekerjasama dengan Perguruan Tinggi dan Departemen-departemen, seperti Transmigrasi, Pertanian, Kehutanan, Pertambangan, dan Lingkungan Hidup.

Beberapa kegiatan yang dilaksanakan PURIGATRO, antara lain :

¨    Penerapan teknologi penyubur lahan gambut PUGAS (diterapkan di kawasan transmigrasi Silaut Sumatera Barat, Proyek PLG sejuta hektar Kalimantan Tengah dan di kawasan transmigrasi Rasai Jaya Kalimantan Barat); dengan penambangan bahan baku pugas dari abu vulkan Gunung Merapi di aliran sungai Krasak.

¨    Pengembangan pemanfaatan gambut sebagai media tumbuh dan kompos gambut;

¨    Sistem instalasi pengolah air gambut; merupakan unit pengolah air bersih dengan menggunakan bahan baku dari air gambut. Sistem ini masih diterakan pada lokasi atau kantor PURIGATRO di Kalimantan.

Dalam rangka untuk mendukung kegiatan penyediaan bahan baku PUGAS, juga telah dilakukan survei eksplorasi deposit bahan baku abu vulkan Gunung Kelud di Jawa Timur. Studi-studi yang sifatnya pengembangan potensi untuk kawasan budidaya, konservasi dan non budidaya juga telah dilaksanakan, seperti : Studi pengembangan potensi gambut di Aceh, Studi Pengembangan Laboratorium Alam Hutan Gambut Tropika di Palangkaraya, dan Studi indeks kesuburan lahan gambut di Pontianak. Sedangkan studi yang baru tahap dikembangkan yaitu studi pemanfaatan gambut sebagai biofilter untuk pengendalian gas pencemar lingkungan.

Dari beberapa kegiatan yang dilaksanakan oleh PURIGATRO, sampai tahun anggaran 1998/1999 hasil yang dicapai belum seperti yang diharapkan, karena mengalami beberapa kendala dan hambatan. Kegiatan tersebut antara lain :

¨    Penerapan Pugas di Kalimantan Barat dilakukan pada berbagai tanaman holtikultura dan tanaman pangan. Pada pertengahan tahun 1997 kondisi iklim tidak menunjang untuk pertumbuhan tanaman dengan baik, sehingga perlu dibantu dengan pengairan pompa.

¨    Penerapan Pugas di kawasan PLG sejuta hektar tidak dapat dilaksanakan seperti waktu yang telah direncanakan, hal ini disebabkan karena terganggu musim kemarau panjang dan kabut asap.

¨    Pelaksanaan kegiatan studi gambut untuk biofilter baru pada tahap studi literatur dan perbandingan. Pelaksanaan kegiatan di lapang juga baru pada tahap orientasi sifat fisik gambut sebagai bahan filter. Dan kegiatan yang pada mulanya untuk sampling dan analisis sifat kimia-fisika di laboratorium belum dapat dilaksanakan.

 

ANALISIS DAN PEMBAHASAN

     Pemanfaatan lahan gambut sering menyebabkan ketidakjelasan pengambilan keputusan dalam menetapkan penggunaan tanah gambut. Secara yuridis, lahan gambur disebutkan dalam Undang-undang Nomor 24 Tahun 1992 sebagai kawasan bergambut, dimana kawasan bergambut ini termasuk kawasan lindung, sehingga semua kegiatan yang dilakukan di dalam kawasan lindung harus dihindari. Tetapi pada kenyataannya, berbagai kegiatan telah dilakukan di dalam kawasan bergambut ini.

     Lahan gambut diklasifikasikan sebagai kawasan lindung, karena pada dasarnya fungsi lahan gambut lebih mengarah kepada konsevasi tanah dan air. Hal ini tercantum dalam Undang-Undang No. 24 Tahun 1992 tentang Penataan Ruang, yang menyebutkan bahwa : “termasuk kawasan lindung adalah kawasan hutan lindung, kawasan bergambut, kawasan resapan air, sempadan pantai, kawasan sekitar danau,….” (Pasal 7). Peraturan lain Keputusan Presiden No. 32 Tahun 1990 tentang Pengelolaan Kawasan Lindung, yang menyebutkan bahwa : “kawasan bergambut adalah kawasan yang unsur pembentuk tanahnya sebagian besar berupa sisa-sisa bahan organik yang tertimbun dalam waktu yang lama”.

Terdapat beberapa perundangan yang pada dasarnya juga menganggap bahwa lahan bergambut merupakan suatu ekosistem yang perlu dilindungi dan dijaga kelestariannya, yaitu : menjadi lahan pertanian dilakukan dengan penebangan hutan yang diikuti dengan pembuatan saluran-saluran drainase untuk menghilangkan air yang menggenang pada rawa-rawa tersebut. Perubahan dari ekosistem rawa menjadi ekosistem pertanian yang relatif lebih kering dengan berbagai jenis tanaman pertanian yang berbeda habitatnya dengan tanaman hutan, tentu saja akan mengakibatkan berbagai macam dampak.

     Usaha untuk mencegah terjadinya dampak yang kurang baik perlu dilakukan agar penggunaan lahan secara lestari dapat dilakukan. Untuk dapat melakukan hal tersebut, yang perlu diusahakan adalah membuat perencanaan tata ruang yang baik berdasarkan atas potensi tanahnya.

     Dari hasil berbagai penelitian yang pernah dilakukan, menunjukkkan bahwa tidak semua tanah gambut cocok untuk pengembangan pertanian. Oleh sebab itu penelitian awal terhadap potensi tanah melalui survei dan pemetaan tanah sangat penting dilakukan, jika akan mengembangkan lahan gambut menjadi lahan pertanian. Karena dari survei ini dapat diketahui daerah mana saja yang cocok untuk tanaman padi, palawija, holtikultura, perkebunan, dan lain-lain. Serta dapat diketahui daerah mana saja yang tidak cocok untuk pertanian sehingga harus tetap dibiarkan sebagai kawasan hutan.

     Apabila daerah yang seharusnya cocok untuk hutan tetapi tetap dipaksakan menjadi daerah pertanian, maka akan dapat menimbulkan berbagai masalah misalnya produksi yang tidak berhasil atau akan muncul berbagai dampak negatif terhadap lingkungan.

     Penggunaan gambut sebagai bahan baku energi, pada dasarnya kurang sesuai dengan asas penggunaan lahan secara lestari. Seperti diketahui, pembentukan gambut berjalan sangat lambat. Gambut yang ada di Indonesia sekarang ini terbentuk dalam waktu lebih dari 5000 tahun, sehingga jika tebal gambut di Indonesia sekitar 2-5 m, maka kecepatan pembentukan gambut di Indonesia adalah 0.4-1 mm per tahun (Hardjowigeno, 1997).

     Apalagi akan digunakan untuk energi, gambut yang ada akan di panen dan akan habis dalam beberapa tahun saja, dan tidak mungkin kembali ke gambut dalam wakti yang dekat (non renewable). Sehingga untuk mengatasinya sebaiknya gambut yang tebalnya lebih dari 3 meter harus tetap dipertahankan dalam keadaan alami sebagai hutan lindung.

     Salah satu contoh pemanfaatan lahan gambut yang tidak mempertimbangkan aspek-aspek lingkungan adalah Proyek Pengembangan Lahan Gambut 1 Juta hektar di Kalimantan Tengah. Dalam pembuatan tata saluran yang merupakan kegiatan utama pada Proyek PLG, tidak didasari oleh data AMDAL seperti tanah, topografi, hidrologi, hidrolika, dan AMDAL Regional. Pengumpulan data tersebut baru dikerjakan setelah pembuatan SPI dan SPU (sebagai kendali tata air) berjalan jauh, akibatnya letak dan jalur SPI dan SPU banyak yang keliru. Dengan demikian, tata air yang bernilai ratusan miliar tersebut tidak berfungsi dan sia-sia.

     Jika sistem tata air makro dan mikro belum berfungsi secara maksimal, maka proses pencucian keasaman tanah gambut belum sempurna. Artinya meskipun sawah yang satu tercuci, tetapi pada sawah yang lain keasamannya menumpuk.

     Berdasarkan hal itu, status PLG sejuta hektar untuk mempertahankan swasembada beras sebaiknya di ubah dan lebih baik diarahkan untuk meningkatkan produktivitas sumberdaya lahan dan air yang berkelanjutan, serta pengembangan wilayah yang berbasis :

¨    Undang-Undang No. 5 Tahun 1967 tentang Ketentuan-Ketentuan Pokok Kehutanan ;

¨    Undang-Undang No. 4 Tahun 1982 tentang Ketentuan-Ketentuan Pokok Lingkungan Hidup;

¨    Undang-Undang No. 5 Tahun 1990 tentang Konservasi Sumberdaya Alam Hayati dan Ekosistemnya.

¨    Surat Keputusan Menteri Pertanian No. 837/Kpb/Um/II/1980 tentang Kriteria dan Tata Cara Penetapan Hutan Lindung.

 

Peraturan yang menyebutkan bahwa gambut sebagai bahan galian adalah :

¨    SK Menteri Pertambangan dan Energi No. 200/K/20/M.PE/1986 tentang Gambut;

¨    SK Menteri Pertambangan dan Energi No. 507/K/20/M.PE/1989 tentang Penggolongan Gambut sebagai Bahan Galian.

Dengan adanya peraturan-peraturan tersebut, pada dasarnya pemanfaatan lahan gambut harus memperhatikan aspek-aspek yang dapat mempengaruhi terhadap lingkungan disekitarnya. Karena semua tindakan yang dilakukan dalam pemanfaatan lahan gambut bertujuan untuk menciptakan pembangunan yang berwawasan lingkungan.

Pembangunan yang berwawasan lingkungan merupakan pembangunan yang senantiasa mempertimbangkan aspek-aspek lingkungan, sehingga pembangunan yang dilaksanakan tidak hanya mengutamakan keuntungan pada saat kini, akan tetapi juga mempertimbangkan keberlanjutannya pada masa yang akan datang. Pembangunan yang dilaksanakan tanpa memperhatikan aspek lingkungan merupakan sesuatu yang tidak bijaksana, seringkali aspek lingkungan dan masyarakat menjadi pihak yang dirugikan pada kegiatan-kegiatan  yang tidak memperhatikan kelestarian lingkungan.

     Dalam kebijaksanaan pengelolaan lingkungan hidup harus didasarkan pada pemikiran bahwa pendayagunaan sumber daya alam harus disertai dengan upaya untuk melestarikan lingkungan hidup yang seimbang guna menunjang pembangunan yang berkelanjutan.

Penggunaan lahan gambut akan lestari produktifitasnya bila ekosistem alami tersebut dapat dipertahankan. Untuk penggunaan lahan terbaik adalah mempertahankan hutan gambut sebagaimana adanya. Namun demikian karena kebutuhan akan lahan untuk memenuhi kebutuhan manusia semakin meningkat maka suka ataupun tidak suka perubahan ekosistem lahan gambut tampaknya tidak dapat dihindari. Perubahan ekosistem tersebut terjadi akibat penebangan kayu di hutan gambut, penambangan gambut sebagai sumber energi, konversi hutan gambut menjadi lahan pertanian, dan sebagainya.

Penebangan kayu di hutan gambut tentu saja akan mengurangi atau bahkan menghilangkan sumber bahan organic bagi pembentukan tanah gambut. Selain itu dengan penebangan hutan tersebut akan terjadi perubahan iklim mikro dan perubahan habitat bagi kehidupan fauna atau flora yang ada. Usaha meminimalkan dampak yang kurang baik tersebut dapat dilakukan dengan penebangan selektif sesuai dengan ukuran batang yang diperbolehkan dan melakukan penanaman kembali sesuai dengan yang dianjurkan.

Konversi hutan gambut menjadi lahan pertanian juga dapat menimbulkan berbagai masalah bila usaha untuk menjaga kelestariannya tidak dilakukan. Seperti diketahui, konversi hutan gambut pada sasaran utama meningkatkan kesejahteraan masyarakat.

Saat ini telah dicanangkan lagi megaproyek baru yang berkawasan di Kalimantan Tengah yang disebut dengan KAPET DAS KAKAB (Kawasan Pengembangan Ekonomi Terpadu DAS Kahayan, Kapuas dan Barito) dengan lahan seluas 2,7 juta hektar (1,4 juta Ha wilayah Proyek PLG). Proyek ini ditetapkan berdasarkan Keppres No. 170 Tahun 1998 tanggal 28 September 1998.

Konsep dasar proyek ini hampir sama dengan Proyek PLG, hanya beda luas kawasannya saja. Misalnya dari 2,7 juta Ha yang dicadangkan, maka  untuk kawasan konservasi hidrologi 212.700 Ha, untuk pertanian tanaman pangan 630.0000 Ha, hutan tanaman industri 47.000 Ha, perkebunan dan fungsi lain 780,7 Ha. Tetapi sebaiknya sebelum megaproyek ini dimulai, permasalahan yang dihadapi dari Proyek PLG tetap menjadi bahan pertimbangan dan masukan yang harus diperhatikan, agar tidak terjadi kesalahan yang kedua kalinya.

 

KESIMPULAN

 

Berdasarkan kajian dan analisis dapat disimpulkan sebagai berikut :

1.    Indonesia mempunyai potensi lahan gambut yang cukup luas yaitu sekitar 17 juta hektar,  tersebar di pantai timur Sumatera, pantai selatan dan barat Kalimantan, dan pantai selatan Irian Jaya;

2.    Agar dapat menciptakan lingkungan yang lestari dan pembangunan berwawasan lingkungan, maka pengelolaan dan pemanfaatan lahan gambut harus mempertimbangkan aspek-aspek lingkungan;

3.    Dalam pengembangan lahan gambut berwawasan lingkungan, syarat utama adalah melakukan penataan ruang yang baik berdasarkan potensi tanah atau kesesuaian lahannya serta dengan teknologi pengelolaan lahan gambut yang handal.

 

DAFTAR PUSTAKA

 

Abdullah, T.S.  1997.  Tanah gambut.  Genesis, Klasifikasi, Karakteristik, Penggunaan, Kendala dan Penyebarannya di Indonesia.  Jurusan Ilmu Tanah Fakultas Pertanian IPB.  Bogor.

Karam, S. dan Suriadikarta, DA.  1997.  Tantangan Pemanfaatan Tanah Gambut untuk Pertanian, Makalah disampaikan dalam Seminar Nasional Gambut dan Kongres III Himpunan Gambut Indonesia, Pontianak 24-25 Maret 1997.

Kompas.  Jum’at, 16 April 1999.  Pupus, Harapan Ladang Gambut Jadi Lumbung Beras.

Kompas.  Jum’at, 7 Mei 1999.  Proyek Lahan Gambut Akan Diubah.

Laporan Proyek Pengkajian Pemanfaatan Sumberdaya Energi.  Tolok Ukur Pusat Riset Gambut Tropika (PURIGATRO). Direktorat Teknologi Pengembangan Sumberdaya Lahan dan Mitigasi Bencana.  BPPT.  1997/1998.

Prosiding Seminar dan Lokakarya Gambut Nasional.  “Optimalisasi Pemanfaatan Gambut Sebagai Bahan dan Lahan”.  Pekanbaru 16 April 1997.  Bappeda Tingkat I Riau.  Direktorat Teknologi Pengembangan Sumberdaya Energi-PKA-BPPT.  1997.

Radjagukguk, A.  1990.  Pertanian Berkelanjutan di Lahan Gambut dalam Alami Pengolahan Gambut Berwawasan Lingkungan Volume 2 Nomor 1 Tahun 1997.

Soepraptohardjo, M.  and P.M.  Driessen.  1976.  The Lowland Peat of Indonesia, a challenge for the future.  In : Peat and Podzolic Soils and their Potensial for Agriculture in Indonesia.  Soil Res.  Institute Bogor.

Sukandarrumidi.  1995.  Batubara dan Gambut.  Fakultas Teknik Universitas Gadjah Mada.  Gadjah Mada Press.  Yogyakarta.

Sugeng Triutomo.  1997.  Upaya Penataan Tanah Gambut di Indonesia dalam Alami Pengelolaan Gambut Berwawasan Lingkungan Volume 2 Nomor 1 Tahun 1997.

Tan, Kim H. 1986.  Degredation of  Soil Mineral by Organic Acids dalam Interaction of Soils Mineral with Naturak organics and microbes.  SSSA Spec.  Publ.  17.  Soil Science Society of America.  Madison.

Tim Teknis Pengembangan Lahan Gambut di Propinsi Kalimantan Tengah.  1996.  Amdal Regional Pengembangan Lahan Gambut 1 Juta Hektar di Propinsi Kalimantan Tengah.  Buku IV Rencana Pemantauan Lingkungan.  Dirjen Pengairan Departemen Pekerjaan Umum.  Jakarta, November 1996.

Tim Teknis Pengembangan Lahan Gambut di Propinsi Kalimantan Tengah.  1996.  Amdal Regional Pengembangan Lahan Gambut 1 Juta Hektar di Propinsi Kalimantan Tengah.  Buku III Rencana Pengelolaan Lingkungan.  Dirjen Pengairan Departemen Pekerjaan Umum.  Jakarta, November 1996.