PERAN SIG DALAM PERENCANAAN REGIONAL LANSKAP KAWASAN WISATA PESISIR

© 2001  Viv Djanat Prasita                                                      Posted   2 June 2001  (rudyct)

Makalah Falsafah Sains (PPs 702)   

Program Pasca Sarjana / S3

Institut Pertanian Bogor

Juni 2001

 

Dosen:

Prof Dr Ir Rudy C Tarumingkeng (Penanggung Jawab)

Prof Dr Ir Zahrial Coto

 

 

METODE SIG DALAM PERENCANAAN REGIONAL LANSKAP KAWASAN WISATA PESISIR

(Suatu Tinjauan Filsafat Sains)

 

Oleh :

Viv Djanat Prasita / P31600027

E-mail: prasita@n2science.com

 

 

Pendahuluan

Menurut Burrough (1986), sistem informasi geografi (SIG) didefinisikan sebagai “an organised collection of computer hardware, software, geographic data, and personnel designed to efficiently capture, store, update, manipulate, analyse, and display all forms of geographically referenced information”.

Telah diakui bahwa sistem informasi geografi (SIG) mempunyai kemampuan analisis keruangan (spatial analysis) maupun waktu (temporal analysis). Dengan kemampuan tersebut SIG dapat dimanfaatkan dalam perencanaan apapun karena pada dasarnya semua perencanaan akan terkait dengan dimensi ruang dan waktu. Dengan demikian setiap perubahan, baik sumberdaya, kondisi maupun jasa-jasa yang ada di wilayah perencanaan akan terpantau dan terkontrol secara baik.

            Gunn (1994) menyatakan bahwa penerapan SIG mempunyai kemampuan luas dalam proses pemetaan dan analisis sehingga teknologi tersebut sering dipakai dalam proses perencanaan lanskap. Selain itu, ia menyatakan bahwa pemanfaatan SIG dapat meningkatkan efisiensi waktu dan ketelitian (akurasi) .

            Perencanaan regional lanskap kawasan pesisir merupakan suatu perencanaan yang bersifat strategis untuk menjembatani perencanaan propinsi atau pusat dengan perencanaan lokal. Perencanaan regional dimaksudkan untuk mencari obyek-obyek wisata yang baru maupun mengembangkan obyek-obyek ataupun lanskap kawasan wisata yang ada agar sesuai dengan peruntukan dan daya dukung yang ada.

            Daya dukung kawasan wisata pesisir berbeda dengan kawasan wisata yang lainnya karena kawasan pesisir sangat rentan terhadap perubahan, terutama yang terkait dengan daya dukung ekologi (lingkungan). Ekosistem pesisir sangat berkaitan satu dengan lainnya. Misalnya pembangunan / pengembangan lanskap kawasan wisata pesisir (daratan) dapat mempengaruhi, baik secara langsung maupun tidak langsung sumberdaya pesisir yang ada di lautan. Pencemaran lingkungan dari kegiatan pembangunan maupun wisata itu sendiri dapat mengubah kehidupan (ekosistem) di daerah pesisir. Oleh karena itu dalam perencanaan regional lanskap kawasan wisata pesisir harus memperhitungkan kemampuan daya dukung tersebut.

            SIG dapat digunakan untuk analisis perencanaan regional lanskap kawasan wisata pesisir. Tulisan ini dimaksudkan untuk membahas metode SIG yang dipakai untuk mendukung proses perencanaan regional tersebut, baik secara spasial maupun temporal. Pertama akan dibahas aspek ontologinya, yaitu apa lanskap kawasan wisata pesisir itu, kemudian dilanjutkan dengan konsep perencanaan regional serta aspek aksiologinya, yaitu kegunaan perencanaan regional, sekaligus aspek teleoginya, yaitu tujuan akhir dari perencanaan regional lanskap kawasan wisata. Pada akhirnya akan dijelaskan aspek epistemologinya, yaitu bagaimana metode perencanaannya dengan memanfaatkan teknologi SIG.

 

LANSKAP KAWASAN WISATA PESISIR

Kawasan pesisir merupakan kawasan yang unik karena kawasan tersebut terdiri dari komponen daratan dan lautan. Komponen daratannya berubah-ubah tergantung dari pasang surut demikian juga komponen lautannya. Pada saat ini kita membatasi pada komponen daratannya (landscape) yang unik bukan komponen lautannya (seascape). Namun demikian, pembahasan lanskap kawasan wisata pesisir tidak berarti mengabaikan kondisi (ekosistem) lautannya karena keterkaitan ekosistem yang ada di pesisir. Menurut Rachman (1984) lanskap (landscape) adalah wajah dan karakter lahan atau tapak bagian dari muka bumi ini dengan segala kehidupan dan apa saja yang ada di dalamnya, baik bersifat alami ataupun buatan manusia beserta makhluk hidup lainnya, sejauh mata memandang, sejauh indera dapat menangkap dan sejauh imajinasi dapat membayangkan. Wajah, karakter lahan serta kehidupan pesisir sangat unik. Oleh karena keunikan tersebut, lanskap kawasan pesisir sangat cocok dikembangkan untuk obyek wisata.

Dalam perencanaan landskap kawasan wisata pesisir, seorang perencana selain harus memahami keinginan atau naluri manusia (keharmonisan dalam memanfaatkan pesisir) serta alam pesisirnya namun juga memahami karakter lanskap. Karakter lanskap merupakan wujud dari keharmonisan atau kesatuan yang muncul diantara elemen-elemen alam pesisir tersebut. Tipe karakter lanskap kawasan pesisir meliputi hutan bakau, tambak, estuaria, dan gumuk pasir. Alam pesisir tersebut memiliki sifat, bentuk dan kekuatan yang berbeda-beda. Sifat alam pesisir meliputi penguapan, suhu musiman dan salinitas estuarinya. Bentuk lanskap kawasan pesisir antara lain dataran pesisir, danau, gumuk pasir, tambak dan topografi yang dominan lainnya. Sedangkan kekuatan alam pesisir meliputi angin, pasut, ombak, arus laut, erosi, radiasi matahari, serta sinar bulan. Keindahan lanskap pesisir bervariasi mulai dari yang halus, seperti hembusan angin laut. hingga yang dinamis dan keras seperti ombak.

Pengembangan lanskap wisata pesisir dapat ditinjau dari sifat-sifat, bentuk-bentuk maupun kekuatan-kekuatan alam pesisir tersebut. Misalnya ditinjau dari kekuatan pesisir, telah dikembangkan kegiatan pesisir dari pola pasang surut (Tidal Flat) di Korea, yaitu Desain Program Ekowisata Tingkat Pasang Surut Laut (Tidal Flat) Kanghwa, Korea. Masing-masing sifat, bentuk, dan kekuatan pesisir tersebut sebenarnya memiliki keunikan.

Menurut Simmonds(1994), ada empat cara untuk mengembangkan lanskap  alami apapun, yaitu : (1) pertahankan bentuk alam (preservation); (2) pengrusakan bentuk alam (destruction); (3) modifikasi bentuk alam (alteration); (4) penonjolan bentuk alam (accentuation). Namun demikian pengembangan lanskap kawasan pesisir harus lebih hati-hati karena kawasan pesisir rentan terhadap perubahan, terutama yang terkait dengan ekosistemnya. Pengembangan kawasan pesisir harus mengikuti pola keberlanjutan dan keterpaduan agar pemanfaatan kawasan pesisir tersebut tidak merugikan satu sama lainnya. Keberlanjutan mengandung makna integritas lingkungan, perbaikan kualitas hidup, serta keadilan antar generasi. Sedangkan keterpaduan yang dimaksud di sini adalah keterpaduan perencanaan antara nasional, propinsi, regional, dan lokal maupun keterpaduan perencanaan antar sektor pada tiap-tiap tingkat pemerintahan, seperti keterpaduan antara sektor pariwisata dan sektor perikanan di tingkat regional.

 

KONSEP PERENCANAAN REGIONAL

Peran kunci perencanaan regional adalah menerjemahkan sasaran internasional maupun nasional dan memberikan arahan-arahan atau tujuan-tujuan ke hasil lokal serta mengumpulkan kebutuhan dan isu lokal untuk merumuskan prioritas dan program nasional maupun internasional (Kay and Alder, 1999, p.257).

Pada tingkat regional memungkinkan untuk menyelesaikan masalah yang dihadapi oleh keseluruhan ekosistem. Sangat sering isu-isu mengenai yurisdiksi dan hanya dapat secara efektif diselesaikan dalam fokus geografi regional (Jones and Westmacott, 1993 dalam  Kay and Alder, 1999, p.273).

Menurut Kay and Alder(1999), skope perencanaan regional meliputi daerah pesisir dari beberapa pemerintah lokal (kecamatan). Skala 1:100.000 hingga 1:25.000 dan panjang pantai sebesar 100 – 1000 km. Sifat dan isinya mencakup pola tata guna lahan skala besar, desain zona-zona pengembangan, jaringan transport, titik-titik rekreasi dan daerah konservasi utama (taman nasional). Contoh isi perencanaan pesisir regional diperlihatkan pada Kotak 1. Periode peninjauan rencana regional ini adalah 10 tahun.

Menurut Gunn (1994), ada lima langkah kunci dalam proses pengembangan suatu rencana wisata regional. Pertama, penentuan tujuan yang dapat memberikan penyelesaian batasan-batasan / isu-isu, identifikasi zona tujuan dengan potensi terbesar, serta tujuan dan strategi pelaksanaan. Tujuan seharusnya dinyatakan dalam dokumen maupun forum publik.

Kedua,  penelitian yang memanfaatkan data sekunder, misal: laporan, peta-peta dan pustaka yang ada. Team perencana dapat memanfaatkan dari kegiatan workshop di wilayah perencanaan atau semacamnya.

Dua faktor yang dipelajari, yaitu faktor-faktor fisik dan faktor-faktor program. Faktor fisik perlu dipelajari karena (1) penting untuk penentuan zona tujuan potensial, (2) identifikasi konsep, proyek dan penyelesaian isu, (3) penempatan wilayah dalam konteks geografi dan kompetitif yang tepat, (4) pembuatan obyek-obyek wisata yang baru maupun yang diperbaiki, serta (5) penilaian sumberdaya yang mengidentifikasi ancaman yang ada terhadap lingkungan dan petunjuk untuk batasan perluasan mendatang. Sedangkan faktor program dipelajari untuk mendapatkan informasi dasar pada kesenangan/kemauan pasar dan karakteristik lain untuk menentukan persediaan yang dikembangkan saat ini.

Ketiga, sintesis dan Kesimpulan yang bertujuan untuk memberikan arti dari penemuan-penemuan pada tahap penelitian. Kesimpulan dapat ditarik dari data program maupun fisik.

Keempat, konsep merupakan langkah kreativitas dan penemuan ide. Alat utama untuk pengembangan konsep adalah penemuan zona tujuan dengan potensi terbesar. Daerah lokal akan beruntung dari penilaian regional ini karena (1) pemetaan sumberdaya alam maupun budaya, (2) pembobotan dan agregasi peta dengan komputer, (3) interpretasi zona dengan kualitas dan kuantitas faktor sumberdaya.

Text Box: Kotak 1. Contoh isi perencanaan pesisir regional (Kay and Alder, 1999)

Bagian I : Pendahuluan
Menjelaskan : latar belakang sejarah persiapan rencana, justifikasi persiapan rencana, tujuan perencanaan, skope dan sifat serta proses yang digunakan termasuk detail konsultasi masyarakat.

Bagian 2 : Karakteristik Regional 
Menggambarkan lingkungan alam, profil sosial dan profil ekonomi dari wilayah tersebut. Tergantung pada isu-isu utama dan tujuan dari rencana tersebut, pemanfaatan daratan atau sumberdaya yang ada, serta profil infrastruktur atau profil struktur, juga dapat diperkenalkan.

Bagian 3: Kerangka Kebijakan
Menguraikan landasan hukum rencana tersebut, serta bagaimana menkaitnya dengan kebijakan-kebijakan dan prosedur-prosedur. Juga dapat menghubungkan rencana-rencana dan/atau kebijakan-kebijakan pada skala perencanaan lainnya.

Bagian 4: Prinsip-prinsip panduan
Menguraikan prinsip-prinsip panduan kunci yang membentuk landasan untuk menyusun tujuan-tujuan, tindakan-tindakan dan proposal-proposal. Prinsip ini dapat juga dimasukkan dalam bagian kerangka kebijakan, tergantung pada landasan statuta rencana tersebut.

Bagian 5: Tujuan-tujuan
Memberikan suatu gambaran dari tujuan yang bersangkutan untuk merespon terhadap aktivitas atau isu tertentu yang dapat didukung oleh tindakan-tindakan yang diajukan untuk mencapai tujuan-tujuan tersebut (tindakan-tindakan ini ditangani pada Bagian 6). Tujuan-tujuan tersebut umumnya berkaitan dengan nilai-nilai dan isu-isu dari daerah atau aktivitas tertentu, dan dipandu oleh prinsip-prinsip dari rencana tersebut. Tujuan-tujuan umumnya dapat dikelompokkan menjadi kategori-kategori berikut ini:
§	konservasi dan lingkungan rekreasi/alam;
§	pembangunan perkampungan/perkotaan dan infrastruktur;
§	pembangunan pertanian/pedalaman;
§	pembangunan sumberdaya (air, pertambangan, pertanian, perikanan dan kehutanan);
§	pariwisata; dan
§	pembangunan sosial.

Bagian 6: Rencana Pemanfaatan Daratan dan Perairan dan/atau Tindakan-tindakan Pengelolaan
Rencana pemanfaatan daratan dan perairan mengalokasikan kategori pemanfaatan yang luas untuk lokasi-lokasi tertentu. Rencana tersebut dapat terdiri dari suatu peta dan suatu gambaran dari pemanfaatan-pemanfaatan yang dipilih dari klasifikasi pemanfaatan daratan atau perairan. Hal ini mungkin merupakan ketentuan-ketentuan penetapan wilayah spesifik. Tindakan-tindakan manajemen spesifik dapat direkomendasikan, atau digambarkan berdasarkan sektor per sektor pada Bagian 7.
Dilanjutkan .....

Text Box: Bagian 7: Unit-unit Perencanaan
Memberikan deskripsi terperinci dari Rencana Pemanfaatan Daratan dan Perairan melalui daerah-daerah geografis yang dapat didefinisikan menurut suatu kerangka penangkapan di permukaan air atau berdasarkan aspek-aspek spesifik dari rencana tersebut. Dalam setiap kasus, deskripsi terperinci biasanya terdiri dari:
§	definisi dan deskripsi dari daerah tersebut;
§	garis besar dari isu, peluang-peluang dan kendala-kendala;
§	daftar dari pemanfaatan daratan dan perairan yang dipilih; dan
§	deskripsi dari panduan perencanaan dan manajemen.

Bagian 8: Implementasi
Menguraikan tindakan-tindakan yang harus diambil untuk mengimple-mentasikan rencana tersebut, yang tergantung pada Rencana Pemanfaatan Daratan dan Perairan serta strategi-strategi lain yang dijelaskan pada bab-bab terdahulu. Berbagai mekanisme yang tersedia untuk berbagai organisasi dan lembaga yang terlibat dalam implementasi dari rencana-rencana tersebut bergantung pada landasan hukum, alasan untuk pembuatan dan fokusnya.

Bagian 9: Monitoring dan Review
Memberikan panduan untuk memonitor isu-isu dan masalah-masalah, serta cara-cara untuk menangangi masalah-masalah yang sedang berlangsung. Bagian ini juga merekomendasikan kerangka waktu untuk meninjau kembali rencana tersebut.

Kelima, rekomendasi pada skala regional harus digeneralisasi namun tidak harus lemah. Semua aktor dalam semua bagian wilayah akan melihat usaha-usaha yang dapat dibantu untuk keberhasilan semua.

Pengalaman Gunn (1994) menunjukkan bahwa rekomendasi regional dipusatkan utamanya pada kesempatan untuk pengembangan obyek wisata, seperti yang dilakukan dalam pemilihan sembilan zona tujuan (destination zone) di Upper Peninsula. Identifikasi zona didasarkan pada kriteria berikut :

1.      Sekumpulan obyek wisata, termasuk yang telah ada maupun yang baru, semua didasarkan pada aset sumberdaya yang ada.

2.      Paling tidak ada satu pusat servis masyarakat, syukur lebih.

3.      Hubungan  dengan jalan darat, jalan laut, jalan udara diantara dan dengan semua sistem sirkulasi regional.

4.      Suatu kesatuan subregional yang didapatkan dari pengaruh masyarakat, basis sumber daya alam dan manusia, serta suatu kesatuan tema obyek wisata.

Dasar teoritis untuk proses penilaian yang pernah dipakai dalam SYMAP program (Synagraphic Mapping System, didesain di Laboratorium Grafik Komputer dan Analisis Spasial, Universitas Havard) (Gunn, 1994) adalah sebagai berikut :

1.      Pengembangan wisata paling sering dipromosikan karena dampak ekonomi yang diperkirakan, diperoleh melalui bisnis servis dan fasilitas.

2.      Bisnis servis tersebut tergantung pada wisatawan yang mencari sesuatu untuk dilihat dan dikerjakan, obyek-obyek wisata (taman, daerah rekreasi, atraksi wisata (event).

3.      Obyek-obyek wisata merupakan pembangunan lahan secara fisik.

4.      Obyek-obyek wisata dan pengembangan wisata lainnya tergantung pada faktor fisik dan program.

5.      Bila faktor tersebut dipelajari dan dipetakan, suatu pemahaman yang lebih baik tentang potensi wisata dapat ditentukan. Bila dilaksanakan pada skala regional, penilaian yang lebih baik untuk keputusan kebijakan yang selanjutnya dapat dibuat pada skala tujuan (destination) dan tapak (site).

Faktor-faktor fisik meliputi: (1) air, kehidupan air; (2) tutupan vegetasi, margasatwa (wildlife), hama (pest); (3) iklim, atmosfir; (4) topografi, tanah, geologi; (5) sejarah, etnis, legenda, arkeologi; (6) estetika; (7) institusi, industri, obyek-obyek wisata yang ada. Sedangkan faktor-faktor program meliputi : (1) pasar, promosi; (2) informasi, petunjuka arah; (3) karakteristik sosial ekonomi; (4) agen pelaksana.

Dalam perencanaan regional lanskap kawasan wisata pesisir harus selaras dengan tata ruang yang telah dibuat pada tingkat regional kawasan tersebut. Penataan ruang pesisir akan mencakup penetapan peruntukan lahan yang terbagi menjadi tiga (Bappeda NTB dan PKSPL, 2000) , yaitu: (1) zona preservasi; (2) zona konservasi; dan (3) zona pemanfaatan. Zona preservasi bertujuan sebagai penyangga antara zona pemanfaatan yang intensif dengan zona konservasi. Dengan adanya zona preservasi, dampak yang dihasilkan oleh aktivitas di zona pemanfaatan tidak sampai mengganggu keseimbangan ekologis di zona konservasi. Kemudian dilakukan penempatan kegiatan secara tepat dalam zona pemanfaatan dan akhirnya disusun desain / tata letak suatu kegiatan secara berkelanjutan, termasuk di dalamnya perencanaan lanskap kawasan wisata pesisir.

 Umumnya Isu-isu yang terkait dengan perencanaan regional adalah jaringan trasport, pengembangan kota, pengembangan wisata, pengembangan pelabuhan maupun industri, alokasi sumberdaya, dan perencanaan dalam penentuan daerah konservasi.  Penanganan isu perencanaan regional tersebut dapat memanfaatkan kehebatan SIG karena SIG dapat dipakai untuk analisis spasial maupun temporal.

 

 

METODE SIG DALAM PERENCANAAN REGIONAL LANSKAP KAWASAN WISATA PESISIR

Berdasarkan tata ruang pesisir yang telah dibuat pada tingkat perencanaan regional, zonasi kawasan wisata terletak pada zona pemanfaatan. Dalam zona tersebut, lanskap kawasan wisata dianalisis dengan metode SIG secara keruangan maupun temporal.  Secara keruangan, SIG digunakan untuk penentuan atau pencarian lanskap kawasan wisata pesisir yang potensial, penentuan jalur wisata (sirkulasi) yang tepat, manajemen daerah wisata pada tingkat regional sedangkan secara temporal metode SIG dapat dipakai untuk mengamati/memantau perkembangan dari waktu ke waktu lanskap kawasan pesisir, baik kegiatan-kegiatan yang terkait maupun dampak kegiatannya terhadap lingkungan.

 

Penentuan atau pencarian lanskap kawasan wisata pesisir yang potensial

Penentuan atau pencarian kawasan wisata pesisir dapat dilakukan dengan metode tumpang susun (overlay). Dalam metode ini, masing-masing komponen dalam peta (baik peta dasar maupun peta tematik) diberi pembobotan, seperti pada Tabel 1. Pembobotan dimaksudkan untuk proses kuantifikasi sebagai dasar untuk penilaian. Makin besar nilai bobotnya makin sesuai/baik suatu lanskap kawasan wisata. Oleh karena itu, pencarian lanskap wisata pesisir yang potensial pencarian nilai yang terbaik dari hasil overlay peta-peta yang ada.

 

Penentuan jalur wisata (sirkulasi)

Penentuan jalur wisata pesisir serupa dengan metode untuk mencari lanskap kawasan pesisir, cuma bedanya untuk penentuan jalur wisata digunakan/ dicari garis yang tepat untuk keperluan perjalanan wisata sedangkan sebelumnya yang dicari adalah luasan yang tepat. Keduanya sama-sama menggunakan metode overlay. Proses pembobotan juga dilakukan, seperti pada Tabel 2. Selain itu, metode bufferring dapat digunakan untuk penentuan rencana pembangunan jalur wisata (sirkulasi) tersebut.

 

 

Tabel 1. Faktor-faktor yang diberi Bobot untuk Wisata Perjalanan Keliling

 

 

 

 

Skala

 

 

Faktor

Indeks

Sangat lemah

Lemah

Sedang

Kuat

Sangat kuat

Air, kehidupan air

8

0

1 – 2

3 – 4

5 – 6

7 – 8

Topografi, tanah, geologi

10

0 – 1

2 – 3

4 – 6

7 – 8

9 – 10

Tutupan vegetasi, margasatwa, hama

7

0

1 – 2

3 – 4

5 – 6

7

Iklim, atmosfir

3

0

1

1

2

3

Estetika

13

0 – 1

2 – 4

5 – 7

8 – 10

11 – 13

Obyek wisata, industri, institusi yang ada

10

0 – 1

2 – 3

4 – 6

7 – 8

9 – 10

Sejarah, etnis, arkeologi, legenda

9

0 – 1

2 – 3

4 – 5

6 – 7

8 – 9

Pusat layanan

15

0 – 2

3 – 5

6 – 9

10 – 12

13 – 15

Transportasi, akses

25

0 – 4

5 – 9

10 – 15

16 – 20

21 – 25

Total

100

 

 

 

 

 

 

 

Tabel 2. Faktor-faktor yang diberi Bobot untuk Wisata Tujuan (Destination Tourism)

 

 

 

 

Skala

 

 

Faktor

Indeks

Sangat lemah

lemah

Sedang

Kuat

Sangat kuat

Air, kehidupan air

24

0 – 4

5 – 9

10 – 14

15 – 19

20 – 24

Topografi, tanah, geologi

10

0 – 1

2 – 3

4 – 6

7 – 8

9 – 10

Tutupan vegetasi, margasatwa, hama

8

0

1 – 2

3 – 4

5 – 6

7 – 8

Iklim, atmosfir

13

0 – 1

 2 – 4

5 – 7

8 – 10

11 – 13

Estetika

7

0

1 – 2

3 – 4

5 – 6

7

Obyek wisata, industri, institusi yang ada

5

0 – 1

2

3

4

5

Sejarah, etnis, arkeologi, legenda

3

0

1

1

2

3

Pusat layanan

10

0 – 1

2 – 3

4 – 6

7 – 8

9 – 10

Transportasi, akses

20

0 – 3

4 – 7

8 – 12

13 – 16

17 – 20

Total

100

 

 

 

 

 

 

 

Manajemen obyek-obyek wisata (lanskap kawasan wisata pesisir)

Dalam pengelolaan obyek-obyek wisata (lanskap kawasan wisata pesisir), dibutuhkan suatu database yang berorientasi secara spasial, seperti SIG. Pada dasarnya, data dapat dikelompokkan menjadi data spasial, data yang terkait dengan letak/ posisi lokasi lanskap kawasan wisata secara geografi, dan data attribut, yaitu data yang terkait dengan keterangan/informasi dari obyek spasial tersebut. Metode SIG dipakai untuk mengatur dan memproses kedua data tersebut untuk kebutuhan pemakai (user). Seringkali, metode SIG dikembangkan berdasarkan pengguna (GIS user interface desain) seperti yang dilakukan oleh Prasita (1996). Demikian juga untuk manajemen obyek wisata ini akan lebih efektif apabila dikembangkan dengan metode SIG tersebut.

 

Pemantauan perkembangan lanskap kawasan wisata pesisir

Perkembangan lanskap kawasan pesisir dari waktu ke waktu dapat dipantau dengan metode SIG melalui zonasi-zonasi lanskap kawasan wisatanya. Untuk suatu kawasan yang ditentukan misalnya, dari waktu ke waktu akan mengalami perubahan. Perubahan tersebut, baik perubahan alami maupun perubahan akibat dampak kegiatan wisata dapat diamati secara akurat dengan metode SIG. Misalnya: perkembangan fasilitas wisata, perkembangan usaha-usaha/ toko-toko souvenir., bahkan perkembangan tata kota akibat kegiatan wisata tersebut.  Metode SIG yang dipakai adalah metode overlay dengan cara metumpang susunkan (overlay) data dalam selang waktu tertentu, misalnya dari tahun 1980, 1985, 1990, 1995, 2000, terhadap suatu kawasan wisata tertentu. Oleh karena itu, metode SIG ini juga dapat digunakan untuk penentuan kecenderungan (trend) suatu kawasan wisata pesisir.

           

 

KESIMPULAN

Telah dijelaskan metode SIG untuk mendukung proses (analisis) perencanaan regional lanskap kawasan wisata pesisir melalui pendekatan filsafat sains. Pembahasan tersebut mulai dari pengertian dasar lanskap kawasan pesisir (aspek ontologi), kegunaan perencanaan regional (aspek aksiologi), tujuannya (aspek teleologi), hingga metode SIG untuk perencanaan regional lanskap kawasan pesisir (aspek epistemologi).

            Metode SIG yang berdimensi ruang (spasial) dan waktu (temporal) adalah metode yang efektif dan efisien untuk suatu perencanaan regional lanskap kawasan wisata pesisir karena  metode SIG  dapat digunakan untuk (1) penentuan atau pencarian lanskap kawasan pesisir yang potensial; (2) penentuan jalur wisata (sirkulasi); (3) manajemen obyek-obyek wisata tingkat regional; (4) pemantauan perkembangan lanskap kawasan wisata pesisir.

 

 

 

DAFTAR ACUAN

BAPPEDA NTB (Badan Perencanaan Pembangunan Daerah Propinsi Nusa Tenggara Barat) dan PKSPL – IPB (Pusat Kajian Sumberdaya Pesisir dan Lautan – Institut Pertanian Bogor). 2000. Penyusunan Rencana Tata Ruang Wilayah Pesisr dan Lautan Pulau Lombok Propinsi Nusa Tenggara Barat. Laporan Akhir. IPB. Bogor, Indonesia.

 

Burrough, P.A. 1986. Principal pf Geographical Information Systems for Land Resources Assessment.  Oxford University Press. England, UK.

 

Gunn, C. A. 1994. Tourism Planning : Basics, Concepts, Cases, Third Edition, Taylor & Francis Ltd., UK.

 

Kay R. and J. Alder. 1999. Coastal Planning and Management. E & FN Spon. London, UK and Newyork, USA.

 

Prasita, V. Dj. 1996. The GIS User Interface Design and Implementation for Monitoring the Water Quality of the Surabaya’s Rivers.  Masters Thesis. Department of Land Information, RMIT University. Melbourne, Australia.

 

Rachman, Z. 1984. Proses Berfikir Lengkap Merencana dan Melaksana dalam Arsitektur Pertamanan, Makalah diskusi pada Festival Tanaman VI – Himagron. Jurusan Budi Daya Pertanian. Faperta – IPB Bogor.

 

Republik Indonesia. 1993. Undang-Undang No. : 24 Tahun 1992 tentang Penataan Ruang. Sekretariat Negara. Jakarta, Indonesia.