© 2001 Viv Djanat Prasita Posted 2 June 2001 (rudyct)
Makalah
Falsafah Sains (PPs 702)
Program
Pasca Sarjana / S3
Institut
Pertanian Bogor
Juni 2001
Dosen:
Prof Dr Ir
Rudy C Tarumingkeng (Penanggung Jawab)
Prof Dr Ir
Zahrial Coto
METODE
SIG DALAM PERENCANAAN REGIONAL LANSKAP KAWASAN WISATA PESISIR
(Suatu
Tinjauan Filsafat Sains)
Menurut Burrough (1986), sistem
informasi geografi (SIG) didefinisikan sebagai an organised collection of computer hardware, software, geographic
data, and personnel designed to efficiently capture, store, update, manipulate,
analyse, and display all forms of geographically referenced information.
Telah diakui bahwa
sistem informasi geografi (SIG) mempunyai kemampuan analisis keruangan (spatial
analysis) maupun waktu (temporal analysis). Dengan kemampuan tersebut SIG dapat
dimanfaatkan dalam perencanaan apapun karena pada dasarnya semua perencanaan
akan terkait dengan dimensi ruang dan waktu. Dengan demikian setiap perubahan,
baik sumberdaya, kondisi maupun jasa-jasa yang ada di wilayah perencanaan akan
terpantau dan terkontrol secara baik.
Gunn
(1994) menyatakan bahwa penerapan SIG mempunyai kemampuan luas dalam proses
pemetaan dan analisis sehingga teknologi tersebut sering dipakai dalam proses
perencanaan lanskap. Selain itu, ia menyatakan bahwa pemanfaatan SIG dapat
meningkatkan efisiensi waktu dan ketelitian (akurasi) .
Perencanaan
regional lanskap kawasan pesisir merupakan suatu perencanaan yang bersifat
strategis untuk menjembatani perencanaan propinsi atau pusat dengan perencanaan
lokal. Perencanaan regional dimaksudkan untuk mencari obyek-obyek wisata yang
baru maupun mengembangkan obyek-obyek ataupun lanskap kawasan wisata yang ada
agar sesuai dengan peruntukan dan daya dukung yang ada.
Daya
dukung kawasan wisata pesisir berbeda dengan kawasan wisata yang lainnya karena
kawasan pesisir sangat rentan terhadap perubahan, terutama yang terkait dengan
daya dukung ekologi (lingkungan). Ekosistem pesisir sangat berkaitan satu
dengan lainnya. Misalnya pembangunan / pengembangan lanskap kawasan wisata
pesisir (daratan) dapat mempengaruhi, baik secara langsung maupun tidak
langsung sumberdaya pesisir yang ada di lautan. Pencemaran lingkungan dari
kegiatan pembangunan maupun wisata itu sendiri dapat mengubah kehidupan
(ekosistem) di daerah pesisir. Oleh karena itu dalam perencanaan regional lanskap
kawasan wisata pesisir harus memperhitungkan kemampuan daya dukung tersebut.
SIG dapat digunakan untuk analisis perencanaan regional lanskap kawasan wisata pesisir. Tulisan ini dimaksudkan untuk membahas metode SIG yang dipakai untuk mendukung proses perencanaan regional tersebut, baik secara spasial maupun temporal. Pertama akan dibahas aspek ontologinya, yaitu apa lanskap kawasan wisata pesisir itu, kemudian dilanjutkan dengan konsep perencanaan regional serta aspek aksiologinya, yaitu kegunaan perencanaan regional, sekaligus aspek teleoginya, yaitu tujuan akhir dari perencanaan regional lanskap kawasan wisata. Pada akhirnya akan dijelaskan aspek epistemologinya, yaitu bagaimana metode perencanaannya dengan memanfaatkan teknologi SIG.
LANSKAP KAWASAN WISATA PESISIR
Kawasan pesisir merupakan kawasan yang unik karena kawasan tersebut terdiri dari komponen daratan dan lautan. Komponen daratannya berubah-ubah tergantung dari pasang surut demikian juga komponen lautannya. Pada saat ini kita membatasi pada komponen daratannya (landscape) yang unik bukan komponen lautannya (seascape). Namun demikian, pembahasan lanskap kawasan wisata pesisir tidak berarti mengabaikan kondisi (ekosistem) lautannya karena keterkaitan ekosistem yang ada di pesisir. Menurut Rachman (1984) lanskap (landscape) adalah wajah dan karakter lahan atau tapak bagian dari muka bumi ini dengan segala kehidupan dan apa saja yang ada di dalamnya, baik bersifat alami ataupun buatan manusia beserta makhluk hidup lainnya, sejauh mata memandang, sejauh indera dapat menangkap dan sejauh imajinasi dapat membayangkan. Wajah, karakter lahan serta kehidupan pesisir sangat unik. Oleh karena keunikan tersebut, lanskap kawasan pesisir sangat cocok dikembangkan untuk obyek wisata.
Dalam perencanaan landskap kawasan wisata pesisir, seorang perencana selain harus memahami keinginan atau naluri manusia (keharmonisan dalam memanfaatkan pesisir) serta alam pesisirnya namun juga memahami karakter lanskap. Karakter lanskap merupakan wujud dari keharmonisan atau kesatuan yang muncul diantara elemen-elemen alam pesisir tersebut. Tipe karakter lanskap kawasan pesisir meliputi hutan bakau, tambak, estuaria, dan gumuk pasir. Alam pesisir tersebut memiliki sifat, bentuk dan kekuatan yang berbeda-beda. Sifat alam pesisir meliputi penguapan, suhu musiman dan salinitas estuarinya. Bentuk lanskap kawasan pesisir antara lain dataran pesisir, danau, gumuk pasir, tambak dan topografi yang dominan lainnya. Sedangkan kekuatan alam pesisir meliputi angin, pasut, ombak, arus laut, erosi, radiasi matahari, serta sinar bulan. Keindahan lanskap pesisir bervariasi mulai dari yang halus, seperti hembusan angin laut. hingga yang dinamis dan keras seperti ombak.
Pengembangan lanskap wisata pesisir dapat ditinjau dari sifat-sifat, bentuk-bentuk maupun kekuatan-kekuatan alam pesisir tersebut. Misalnya ditinjau dari kekuatan pesisir, telah dikembangkan kegiatan pesisir dari pola pasang surut (Tidal Flat) di Korea, yaitu Desain Program Ekowisata Tingkat Pasang Surut Laut (Tidal Flat) Kanghwa, Korea. Masing-masing sifat, bentuk, dan kekuatan pesisir tersebut sebenarnya memiliki keunikan.
Menurut Simmonds(1994), ada empat cara untuk mengembangkan lanskap alami apapun, yaitu : (1) pertahankan bentuk alam (preservation); (2) pengrusakan bentuk alam (destruction); (3) modifikasi bentuk alam (alteration); (4) penonjolan bentuk alam (accentuation). Namun demikian pengembangan lanskap kawasan pesisir harus lebih hati-hati karena kawasan pesisir rentan terhadap perubahan, terutama yang terkait dengan ekosistemnya. Pengembangan kawasan pesisir harus mengikuti pola keberlanjutan dan keterpaduan agar pemanfaatan kawasan pesisir tersebut tidak merugikan satu sama lainnya. Keberlanjutan mengandung makna integritas lingkungan, perbaikan kualitas hidup, serta keadilan antar generasi. Sedangkan keterpaduan yang dimaksud di sini adalah keterpaduan perencanaan antara nasional, propinsi, regional, dan lokal maupun keterpaduan perencanaan antar sektor pada tiap-tiap tingkat pemerintahan, seperti keterpaduan antara sektor pariwisata dan sektor perikanan di tingkat regional.
KONSEP PERENCANAAN REGIONAL
Peran kunci perencanaan regional
adalah menerjemahkan sasaran internasional maupun nasional dan memberikan
arahan-arahan atau tujuan-tujuan ke hasil lokal serta mengumpulkan kebutuhan
dan isu lokal untuk merumuskan prioritas dan program nasional maupun
internasional (Kay and Alder, 1999, p.257).
Pada tingkat regional
memungkinkan untuk menyelesaikan masalah yang dihadapi oleh keseluruhan
ekosistem. Sangat sering isu-isu mengenai yurisdiksi dan hanya dapat secara
efektif diselesaikan dalam fokus geografi regional (Jones and Westmacott, 1993 dalam
Kay and Alder, 1999, p.273).
Menurut Kay and Alder(1999), skope perencanaan regional meliputi daerah pesisir dari beberapa pemerintah lokal (kecamatan). Skala 1:100.000 hingga 1:25.000 dan panjang pantai sebesar 100 1000 km. Sifat dan isinya mencakup pola tata guna lahan skala besar, desain zona-zona pengembangan, jaringan transport, titik-titik rekreasi dan daerah konservasi utama (taman nasional). Contoh isi perencanaan pesisir regional diperlihatkan pada Kotak 1. Periode peninjauan rencana regional ini adalah 10 tahun.
Menurut Gunn (1994), ada lima langkah kunci dalam proses pengembangan suatu rencana wisata regional. Pertama, penentuan tujuan yang dapat memberikan penyelesaian batasan-batasan / isu-isu, identifikasi zona tujuan dengan potensi terbesar, serta tujuan dan strategi pelaksanaan. Tujuan seharusnya dinyatakan dalam dokumen maupun forum publik.
Kedua, penelitian yang memanfaatkan data sekunder, misal: laporan, peta-peta dan pustaka yang ada. Team perencana dapat memanfaatkan dari kegiatan workshop di wilayah perencanaan atau semacamnya.
Dua faktor yang dipelajari, yaitu faktor-faktor fisik dan faktor-faktor program. Faktor fisik perlu dipelajari karena (1) penting untuk penentuan zona tujuan potensial, (2) identifikasi konsep, proyek dan penyelesaian isu, (3) penempatan wilayah dalam konteks geografi dan kompetitif yang tepat, (4) pembuatan obyek-obyek wisata yang baru maupun yang diperbaiki, serta (5) penilaian sumberdaya yang mengidentifikasi ancaman yang ada terhadap lingkungan dan petunjuk untuk batasan perluasan mendatang. Sedangkan faktor program dipelajari untuk mendapatkan informasi dasar pada kesenangan/kemauan pasar dan karakteristik lain untuk menentukan persediaan yang dikembangkan saat ini.
Ketiga, sintesis dan Kesimpulan yang bertujuan untuk memberikan arti dari penemuan-penemuan pada tahap penelitian. Kesimpulan dapat ditarik dari data program maupun fisik.
Keempat, konsep merupakan langkah kreativitas dan penemuan ide. Alat utama untuk pengembangan konsep adalah penemuan zona tujuan dengan potensi terbesar. Daerah lokal akan beruntung dari penilaian regional ini karena (1) pemetaan sumberdaya alam maupun budaya, (2) pembobotan dan agregasi peta dengan komputer, (3) interpretasi zona dengan kualitas dan kuantitas faktor sumberdaya.
Kelima, rekomendasi pada skala regional harus digeneralisasi namun tidak harus lemah. Semua aktor dalam semua bagian wilayah akan melihat usaha-usaha yang dapat dibantu untuk keberhasilan semua.
Pengalaman Gunn (1994) menunjukkan bahwa rekomendasi regional dipusatkan utamanya pada kesempatan untuk pengembangan obyek wisata, seperti yang dilakukan dalam pemilihan sembilan zona tujuan (destination zone) di Upper Peninsula. Identifikasi zona didasarkan pada kriteria berikut :
1. Sekumpulan obyek wisata, termasuk yang telah ada maupun yang baru, semua didasarkan pada aset sumberdaya yang ada.
2. Paling tidak ada satu pusat servis masyarakat, syukur lebih.
3. Hubungan dengan jalan darat, jalan laut, jalan udara diantara dan dengan semua sistem sirkulasi regional.
4. Suatu kesatuan subregional yang didapatkan dari pengaruh masyarakat, basis sumber daya alam dan manusia, serta suatu kesatuan tema obyek wisata.
Dasar teoritis untuk proses penilaian yang pernah dipakai dalam SYMAP program (Synagraphic Mapping System, didesain di Laboratorium Grafik Komputer dan Analisis Spasial, Universitas Havard) (Gunn, 1994) adalah sebagai berikut :
1. Pengembangan wisata paling sering dipromosikan karena dampak ekonomi yang diperkirakan, diperoleh melalui bisnis servis dan fasilitas.
2. Bisnis servis tersebut tergantung pada wisatawan yang mencari sesuatu untuk dilihat dan dikerjakan, obyek-obyek wisata (taman, daerah rekreasi, atraksi wisata (event).
3. Obyek-obyek wisata merupakan pembangunan lahan secara fisik.
4. Obyek-obyek wisata dan pengembangan wisata lainnya tergantung pada faktor fisik dan program.
5. Bila faktor tersebut dipelajari dan dipetakan, suatu pemahaman yang lebih baik tentang potensi wisata dapat ditentukan. Bila dilaksanakan pada skala regional, penilaian yang lebih baik untuk keputusan kebijakan yang selanjutnya dapat dibuat pada skala tujuan (destination) dan tapak (site).
Faktor-faktor fisik meliputi: (1) air, kehidupan air; (2) tutupan vegetasi, margasatwa (wildlife), hama (pest); (3) iklim, atmosfir; (4) topografi, tanah, geologi; (5) sejarah, etnis, legenda, arkeologi; (6) estetika; (7) institusi, industri, obyek-obyek wisata yang ada. Sedangkan faktor-faktor program meliputi : (1) pasar, promosi; (2) informasi, petunjuka arah; (3) karakteristik sosial ekonomi; (4) agen pelaksana.
Dalam perencanaan regional lanskap kawasan wisata pesisir harus selaras dengan tata ruang yang telah dibuat pada tingkat regional kawasan tersebut. Penataan ruang pesisir akan mencakup penetapan peruntukan lahan yang terbagi menjadi tiga (Bappeda NTB dan PKSPL, 2000) , yaitu: (1) zona preservasi; (2) zona konservasi; dan (3) zona pemanfaatan. Zona preservasi bertujuan sebagai penyangga antara zona pemanfaatan yang intensif dengan zona konservasi. Dengan adanya zona preservasi, dampak yang dihasilkan oleh aktivitas di zona pemanfaatan tidak sampai mengganggu keseimbangan ekologis di zona konservasi. Kemudian dilakukan penempatan kegiatan secara tepat dalam zona pemanfaatan dan akhirnya disusun desain / tata letak suatu kegiatan secara berkelanjutan, termasuk di dalamnya perencanaan lanskap kawasan wisata pesisir.
Umumnya Isu-isu yang terkait dengan perencanaan regional adalah jaringan trasport, pengembangan kota, pengembangan wisata, pengembangan pelabuhan maupun industri, alokasi sumberdaya, dan perencanaan dalam penentuan daerah konservasi. Penanganan isu perencanaan regional tersebut dapat memanfaatkan kehebatan SIG karena SIG dapat dipakai untuk analisis spasial maupun temporal.
METODE SIG DALAM PERENCANAAN REGIONAL
LANSKAP KAWASAN WISATA PESISIR
Berdasarkan tata ruang pesisir
yang telah dibuat pada tingkat perencanaan regional, zonasi kawasan wisata
terletak pada zona pemanfaatan. Dalam zona tersebut, lanskap kawasan wisata
dianalisis dengan metode SIG secara keruangan maupun temporal. Secara keruangan, SIG digunakan untuk
penentuan atau pencarian lanskap kawasan wisata pesisir yang potensial,
penentuan jalur wisata (sirkulasi) yang tepat, manajemen daerah wisata pada
tingkat regional sedangkan secara temporal metode SIG dapat dipakai untuk
mengamati/memantau perkembangan dari waktu ke waktu lanskap kawasan pesisir,
baik kegiatan-kegiatan yang terkait maupun dampak kegiatannya terhadap
lingkungan.
Penentuan atau pencarian kawasan
wisata pesisir dapat dilakukan dengan metode tumpang susun (overlay). Dalam metode ini,
masing-masing komponen dalam peta (baik peta dasar maupun peta tematik) diberi
pembobotan, seperti pada Tabel 1. Pembobotan dimaksudkan untuk proses
kuantifikasi sebagai dasar untuk penilaian. Makin besar nilai bobotnya makin
sesuai/baik suatu lanskap kawasan wisata. Oleh karena itu, pencarian lanskap
wisata pesisir yang potensial pencarian nilai yang terbaik dari hasil overlay
peta-peta yang ada.
Penentuan jalur wisata pesisir
serupa dengan metode untuk mencari lanskap kawasan pesisir, cuma bedanya untuk
penentuan jalur wisata digunakan/ dicari garis yang tepat untuk keperluan
perjalanan wisata sedangkan sebelumnya yang dicari adalah luasan yang tepat.
Keduanya sama-sama menggunakan metode overlay.
Proses pembobotan juga dilakukan, seperti pada Tabel 2. Selain itu, metode bufferring dapat digunakan untuk
penentuan rencana pembangunan jalur wisata (sirkulasi) tersebut.
Tabel 1. Faktor-faktor yang diberi Bobot untuk Wisata Perjalanan Keliling
|
|
|
|
Skala |
|
|
Faktor |
Indeks |
Sangat lemah |
Lemah |
Sedang |
Kuat |
Sangat kuat |
Air, kehidupan air |
8 |
0 |
1 2 |
3 4 |
5 6 |
7 8 |
Topografi, tanah, geologi |
10 |
0 1 |
2 3 |
4 6 |
7 8 |
9 10 |
Tutupan vegetasi, margasatwa, hama |
7 |
0 |
1 2 |
3 4 |
5 6 |
7 |
Iklim, atmosfir |
3 |
0 |
1 |
1 |
2 |
3 |
Estetika |
13 |
0 1 |
2 4 |
5 7 |
8 10 |
11 13 |
Obyek wisata, industri, institusi yang ada |
10 |
0 1 |
2 3 |
4 6 |
7 8 |
9 10 |
Sejarah, etnis, arkeologi, legenda |
9 |
0 1 |
2 3 |
4 5 |
6 7 |
8 9 |
Pusat layanan |
15 |
0 2 |
3 5 |
6 9 |
10 12 |
13 15 |
Transportasi, akses |
25 |
0 4 |
5 9 |
10 15 |
16 20 |
21 25 |
Total |
100 |
|
|
|
|
|
Tabel 2. Faktor-faktor yang diberi Bobot untuk Wisata Tujuan (Destination Tourism)
|
|
|
|
Skala |
|
|
Faktor |
Indeks |
Sangat lemah |
lemah |
Sedang |
Kuat |
Sangat kuat |
Air, kehidupan air |
24 |
0 4 |
5 9 |
10 14 |
15 19 |
20 24 |
Topografi, tanah, geologi |
10 |
0 1 |
2 3 |
4 6 |
7 8 |
9 10 |
Tutupan vegetasi, margasatwa, hama |
8 |
0 |
1 2 |
3 4 |
5 6 |
7 8 |
Iklim, atmosfir |
13 |
0 1 |
2 4 |
5 7 |
8 10 |
11 13 |
Estetika |
7 |
0 |
1 2 |
3 4 |
5 6 |
7 |
Obyek wisata, industri, institusi yang ada |
5 |
0 1 |
2 |
3 |
4 |
5 |
Sejarah, etnis, arkeologi, legenda |
3 |
0 |
1 |
1 |
2 |
3 |
Pusat layanan |
10 |
0 1 |
2 3 |
4 6 |
7 8 |
9 10 |
Transportasi, akses |
20 |
0 3 |
4 7 |
8 12 |
13 16 |
17 20 |
Total |
100 |
|
|
|
|
|
Dalam pengelolaan obyek-obyek wisata
(lanskap kawasan wisata pesisir), dibutuhkan suatu database yang berorientasi
secara spasial, seperti SIG. Pada dasarnya, data dapat dikelompokkan menjadi
data spasial, data yang terkait dengan letak/ posisi lokasi lanskap kawasan
wisata secara geografi, dan data attribut, yaitu data yang terkait dengan
keterangan/informasi dari obyek spasial tersebut. Metode SIG dipakai untuk
mengatur dan memproses kedua data tersebut untuk kebutuhan pemakai (user).
Seringkali, metode SIG dikembangkan berdasarkan pengguna (GIS user interface desain) seperti yang dilakukan oleh Prasita
(1996). Demikian juga untuk manajemen obyek wisata ini akan lebih efektif
apabila dikembangkan dengan metode SIG tersebut.
Perkembangan lanskap kawasan
pesisir dari waktu ke waktu dapat dipantau dengan metode SIG melalui
zonasi-zonasi lanskap kawasan wisatanya. Untuk suatu kawasan yang ditentukan
misalnya, dari waktu ke waktu akan mengalami perubahan. Perubahan tersebut,
baik perubahan alami maupun perubahan akibat dampak kegiatan wisata dapat
diamati secara akurat dengan metode SIG. Misalnya: perkembangan fasilitas
wisata, perkembangan usaha-usaha/ toko-toko souvenir.,
bahkan perkembangan tata kota akibat kegiatan wisata tersebut. Metode SIG yang dipakai adalah metode overlay dengan cara metumpang susunkan (overlay) data dalam selang waktu
tertentu, misalnya dari tahun 1980, 1985, 1990, 1995, 2000, terhadap suatu kawasan
wisata tertentu. Oleh karena itu, metode SIG ini juga dapat digunakan untuk
penentuan kecenderungan (trend) suatu
kawasan wisata pesisir.
KESIMPULAN
Telah dijelaskan metode SIG untuk mendukung proses (analisis) perencanaan regional lanskap kawasan wisata pesisir melalui pendekatan filsafat sains. Pembahasan tersebut mulai dari pengertian dasar lanskap kawasan pesisir (aspek ontologi), kegunaan perencanaan regional (aspek aksiologi), tujuannya (aspek teleologi), hingga metode SIG untuk perencanaan regional lanskap kawasan pesisir (aspek epistemologi).
Metode SIG yang berdimensi ruang (spasial) dan waktu (temporal) adalah metode yang efektif dan efisien untuk suatu perencanaan regional lanskap kawasan wisata pesisir karena metode SIG dapat digunakan untuk (1) penentuan atau pencarian lanskap kawasan pesisir yang potensial; (2) penentuan jalur wisata (sirkulasi); (3) manajemen obyek-obyek wisata tingkat regional; (4) pemantauan perkembangan lanskap kawasan wisata pesisir.
BAPPEDA NTB (Badan Perencanaan Pembangunan Daerah Propinsi
Nusa Tenggara Barat) dan PKSPL IPB (Pusat Kajian Sumberdaya Pesisir dan
Lautan Institut Pertanian Bogor). 2000. Penyusunan
Rencana Tata Ruang Wilayah Pesisr dan Lautan Pulau Lombok Propinsi Nusa Tenggara
Barat. Laporan Akhir. IPB. Bogor, Indonesia.
Burrough, P.A. 1986. Principal
pf Geographical Information Systems for Land Resources Assessment. Oxford University Press. England, UK.
Gunn, C. A. 1994. Tourism
Planning : Basics, Concepts, Cases, Third Edition, Taylor & Francis
Ltd., UK.
Kay R. and J. Alder. 1999.
Coastal Planning and Management. E & FN Spon. London, UK and Newyork,
USA.
Prasita, V. Dj. 1996. The
GIS User Interface Design and Implementation for Monitoring the Water Quality
of the Surabayas Rivers. Masters
Thesis. Department of Land Information, RMIT University. Melbourne, Australia.
Rachman, Z. 1984. Proses Berfikir Lengkap Merencana dan
Melaksana dalam Arsitektur Pertamanan, Makalah
diskusi pada Festival Tanaman VI Himagron. Jurusan Budi Daya Pertanian.
Faperta IPB Bogor.
Republik Indonesia. 1993. Undang-Undang No. : 24 Tahun 1992 tentang
Penataan Ruang. Sekretariat Negara. Jakarta, Indonesia.