© 2001 Wartono Hadie Posted 8 June 2001 [rudyct]
Makalah Falsafah Sains (PPs 702)
Program Pasca Sarjana / S3
Institut Pertanian Bogor
Juni 2001
Dosen:
Prof Dr Ir Rudy C Tarumingkeng (Penanggung Jawab)
Prof Dr Ir Zahrial Coto
KONSERVASI:
STRATEGI ETIK DAN PENDEKATAN
ANALISIS GENETIKA MOLEKULER
KASUS PADA IKAN LELE LOKAL Clarias batrachus DI
PULAU JAWA
Oleh:
Wartono Hadie
AIR P19600005
E-mail: wartono@starplace.com
PENDAHULUAN
Keanekaragaman
hayati (biodiversity) menurut WRI adalah
totalitas gen, species, dan ekosistem di suatu daerah atau di dunia. Sedangkan
konservasi keanekaragaman hayati adalah usaha manusia untuk mengelola interaksi antar gen, species, dan ekosistem
sehingga diperoleh keuntungan keuntungan maksimum untuk generasi sekarang,
sambil memelihara potensinya untuk memenuhi kebutuhan generasi mendatang yang mencakup : melindungi
(save it), mempelajari (study it), dan menggunakannya (use it) dengan
arif.
Hal
yang menarik dari keanekaragaman ikan di Indonesia adalah bahwa dari 24.168 species ikan di dunia, Indonesia
memiliki 8.000 species ikan yang tersebar dari pulau Sumatra hingga Irian Jaya, meliputi 482 famili. Dengan demikian 30% dari species ikan dunia
ada di Indonesia dengan habitat air tawar, payau, dan laut. Dari jumlah tersebut khususnya ikan air tawar berjumlah 9.966
spesies dan baru dieksploitasi sebanyak
1.606 spesies, baik melalui penangkapan di perairan umum maupun dalam usaha budidaya. Menurut Kottelat dan Whitten
(1996) keanekaragaman ikan dunia saat ini mencapai + 24.168 species, 40%
daripadanya merupakan species ikan air tawar dan 3000 diantaranya indigenous
species di perairan umum Indonesia. Beberapa jenis punah bersama rusaknya
habitat, dan beberapa jenis lagi
mengalami penurunan mutu genetik
sebagai akibat dari founder effect, genetic drift, dan inbreeding. Walaupun demikian dengan eksplorasi dan
ekspedisi, banyak jenis baru akan ditemukan. Hal ini sejajar pula dengan Leopold (1949) yang menyatakan bahwa
peradaban manusia menunjukkan biodiversitas tertentu, dan perusakan peradaban
(pembakaran perpustakaan dll) akan memusnahkan biodiversitas, dalam arti informasinya.
Pernyataan Leopold, sebenarnya cukup
menyentuh bagi kita yang berwawasan konservasionis : It is
inconceivable to me that an ethical relation to land can exist without
love, respect, and admiration for land,
and high regard for its value. By value I of course mean something far broader then mere economic value ; I mean value in the philosophical sense.
Sampai saat ini
jumlah spesies yang digunakan untuk kebutuhan manusia di Indonesia diperkirakan + 65 famili dari laut dan
+ 27 famili dari perairan tawar dan yang dibudidayakan + 25 jenis
(Dirjen Perikanan, 1999). Beberapa lembaga perikanan dunia telah peduli dengan
keanekaragaman ikan ini, diantaranya
Pauly dan Froese (1990); Agustin et
al (1993) yang telah mencoba membuat data dasar yang disebut ICLARM-FAO
Fish Base, kemudian REFF-BASE suatu database menyeluruh mengenai terumbu karang
dan sumberdayanya.
Berdasarkan
pengamatan pustaka (studi pustaka) yang dilakukan oleh Roberts (1993) jumlah
spesies ikan di pulau Jawa yang pernah diidentifikasi 1820-1823
jumlahnya mencapai 312 spesies.
Perusakan
habitat yang terjadi pada dekade terakhir ini,
mengakibatkan hilangnya beberapa sumberdaya genetik (species) baik di darat maupun di perairan. Hal
tersebut berpengaruh terhadap keragaman genetik populasi tersisa (extent population) pada masa selanjutnya. Kecilnya populasi tersisa tersebut akan
mengarah kepada founder effect, yakni terjadinya silang dalam yang
berakibat pada rusaknya keragaman genetika. Tidak adanya penambahan maetri gen
baru dari populasi lain yang akhirnya akan mengacu kepada penghanyutan genetik (genetic drift).
Konservasi baik ex-situ maupun in situ
perlu mempertimbangkan keragaman genetik dan juga sejarah distribusinya.
Plasma
nutfah perikanan sangat rentan terhadap kepunahan speciesnya karena merupakan
muara dari seluruh kegiatan manusian di darat.
Kerusakan di darat berakibat langsung pada kondisi perairan sebagai
daerah aliran sungai. Latar belakang yang mendasari fakta tersebut adalah
adanya laju konversi hutan dan tanah
pertanian untuk keperluan lain. Laju
kerusakan hutan mencapai 600.000 – 1,3 juta ha/th, sementara laju konversi
lahan pertanian untuk kebutuhan lain mencapai 70.000 ha/th. Ini semua merupakan ancaman serius pada ekosistem sumberdaya perikanan.
Aktivitas
manusia dalam memanfaatkan lingkungan seringkali berada di luar batas daya dukung lestarinya. Hal ini berakibat pada hilangnya suatu
populasi (spesies) dan secara berantai berakibat kepada jenis lainnya.
Eksploitasi tanpa batas berdampak pada rusaknya habitat dan hilangnya spesies
dasi suatu daerah.
Populasi ikan lele di Indonesia tersebar hampi di seluruh kepulauan, kecuali sebelah timur dari garis Wallacea. Berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan oleh Pouyaud et al (1998), terlihat bahwa penyebaran ikan lele meliputi Sumatra, Kalimantan, dan Jawa (kepulauan besar di sebelah barat Wallacea). Keberadaan ikan lele di sebelah timur Wallacea, adalah melalui introduksi. Di Sumatra terdiri dari dua kelompok berdasar keragamannya yakni Pulau Nias dan Bulit Tinggi (dataran tinggi), dan daerah lain di Sumatra (dataran rendah). Sementara daerah Jawa dan Sumatra dataran rendah, merupakan sebaran populasi yang berasal dari Kalimantan.
Seperti diketahui bahwa sentra budidaya ikan lele berada di pulau Jawa, yang sumber daya alam populasi lelenya sudah sangat jarang. Oleh karena itu pembentukan populasi dasar untuk pengembangan selanjutnya sangat dibutuhkan. Untuk mendukung breeding program yang berkelanjutan pada ikan lele, maka ditempuh program seleksi dengan memanfaatkan potensi dari masing-masing koleksi dalam bentuk populasi sintesa.
Populasi
sintesa dibentuk dengan tujuan untuk meningkatkan variasi aditif dan variasi dominan, terutama untuk trait
yang mempunyai nilai ekonomi tinggi. Pada lele trait yang perlu diseleksi
adalah pertumbuhan dan sintasan, sehingga akan meningkatkan preferensi
masyarakat dalam mebudidayakan ikan tersebut.
Populasi sintesa yang dibentuk berasal dari koleksi Lampung dan Lamongan
(Jawa Timur). Diharapkan bahwa populasi
sintesa yang terbentuk akan memeliki konfigurasi gen yang lengkap dan dapat
saling berinteraksi secara bebas, karena berasal dari unggun gen yang sama,
yakni Kalimantan (Pouyaud, et al. 1998).
Analisis
mt-DNA merupakan suatu metoda untuk mengetahui status keragaman genetic
populasi yang sangat baik. Dengan demikian dari
populasi yang dianalsis dapat
dipilih satu populasi yang mempunyai keragaman
genetic yang tinggi. Keragaman genetic dapat diasumsikan sebagai fitness
(Meffe dan Carroll, 1994), makin tinggi keragamannya, makin tinggi peluang
untuk survive.
TINJAUAN
FILOSOFIS KONSERVASI
Center of origin Lele local adalah Asia dengan model distribusi
Orientalis, maka sampailah ikan tersebut ke Indonesia. Peminadaian dengan
secara molekuler, memperlihatkan peta penyebaran yang dimulai dari India, ke
Asia Tenggara, masuk ke Indonesia melalui melalui Kalimantan dan Sumatra
kemudian menyebar ke Jawa. Tetapi dengan kompetisi yang sangat intensif
dengan species Homo sapiens L dan juga dengan species akuatik lainnya
lele local terdesak (terutama di Jawa).
Di P. Jawa ikan tersebt tergusur akibat rusaknya habitat alami, bahkan
dapat dikategorikan sebagai threatened
species (terutama di jawa) – ontologi. Konservasi
dari organisme yang dalam keadaan endangered dapat dilakukan pada
tingkat genetic, species, dan ekosistem.
Restocking untuk memperbaharui populasi harus berpatokan pada populasi
dengan keragaman genetic yang tinggi –
fitness. Ekosistem akan mendukung
keragaman genetic sehingga pada taraf stabil tanpa tekanan, sustainability
dapat dihasilkan – Epistomologi. Pengembanganbiakan dari lele local yang berasal dari Samarinda
(highest genetic diversity) yang memiliki
keragaman demikian dapat dilakukan untuk ditebar kembali (restocking ) di
perairan (sungai-sunai besar di P. Jawa).
Restocking tersebuit harus
mempertimbangkan kaidah genetic dan
fitness sehingga tidak mengganggu keragaman genetic alami dan menghasilkan
sustainability – aksiologi.
Alam
dengan keanekaragaman hayati yang terpelihara (sustainable) bermanfaat untuk
menjaga konfigurasi gen, species dari kepunahan, dan ekosistem seimbang demi
manfaat bagi sebesar-besarnya kemakmuran manusia. – teleologi.
|
Kondisi populasi ikan lele lokal (Clarias batrachus) di alam dirasakan
cukup rendah, bahkan dapat dikategorikan jarang (rare) terutama di pulau
Jawa. Kondisi tersebut sebagai akibat adanya pertumbuhan penduduk, perusakan
habitat (hilangnya fungsi hutan dan fragmentasi), hilangnya rawa dan sungai
yang makin kecil, dan terakhir yang tidak kalh pentingnya adalah aplikasi pestisida di ahan pertanian.
Selama ini ancamana terhadap organisme karismatik di darat seperti mamalia, burung, anggrek, atau pengrusakan habitat seperti hutan hujan tropis, telah menyita banyak perhatian dan yang tak dapat dikatakan adalah perusakan habitat air tawar yang berada di bawah pengaruh ancaman itu, atau sejumlah besar organisme perairan di dalamnya menuju kepunahan. (Breverton , 1992; Moyle & Leidy, 1992; Wilcove dan Bean, 1994; Abramowitz, 1995; Naiman, et al. 1995 a/b).
Demikian pula halnya terhadap populasi ikan lele lokal di pulau Jawa. Pengumpulan koleksi pada tahun terakhir ini sangat sulit diperoleh, dan kalaupun didapatkan populasinya tidak memenuhi syarat untuk sebuah hatchery dalam mempertahankan keragaman genetiknya (Ne = 100). Hatchery demikian menghasilkan benih yang mutunya kurang baik yang ditandai dengan lambat tumbuh, dan ketahanan penyakit rendah, sehingga sintasannya rendah pula.
Mengingat ikan lele lokal ini mempunyai nilai ekonomi yang cukup tinggi di pulau Jawa , maka pemulihan stok alami (di sungai dan perairan umum lainnya) perlu dilakukan sebagai upaya konservasi in-situ. Hal ini sangat penting mengingat di pulau Jawa populasi alami hanya tinggal di beberapa tempat yang umumnya dikeramatkan dan beberapa di taman nasional atau cagar alam (misalnya di Telaga Ranjing, Bumiayu, Jawa Tengah), sehingga tidak teresedia bagi masyarakat umum.
Pemindaian mt-DNA menghasilkan bukti keragaman genetic berbeda pada populasi ikan lele lokal yang diambil dari Vietnam (Can Tho), Thailand (Sophisat), Sumatra (Tegineneng, Palembang, Jambi, Bukit tinggi, Nias, Teluk Kuantan, Muara Tebo), Kalimantan (Samarinda), Jawa (sungai Brantas, Bengawan Solo, Sukamandi), memperlihatkan pola yang cenderung tersebar seara geografi (Tabel 1.).
Tabel 1.
Haplotipe mt-DNA untuk Clarias
batrachus yang menunjukkan keragaman genetik (Pouyaud et al, 1998). Memperlihatkan
keragaman genetic populasi yang ditandai
dengan jumlah haplotipe dari
masing-masing populasi, makin banyak, keragaman makin tinggi.
LOKASI |
HinfI |
Hin6I |
MvaI |
MspI |
HaeIII |
BamHI |
Nde2 |
DraI |
|
|
|
|
|
|
|
|
|
Tegineneng |
A |
B |
C |
A |
C |
B |
C |
B |
Jambi |
B |
A |
C |
A |
C |
A |
A |
B |
Sophisat (Thailan) |
C |
A |
A |
A |
A |
A |
A |
A |
Bukit tinggi |
D |
B |
B |
A |
B |
A |
A |
B |
Nias |
D |
B |
B |
A |
B |
A |
B |
B |
Teluk kuantan |
E |
A |
C |
A |
C |
A |
A |
B |
Palembang 1 |
B |
A |
C |
A |
C |
A |
A |
B |
Palembang 2 |
F |
A |
C |
A |
C |
A |
A |
B |
Samarinda 1 |
B |
A |
D |
A |
D |
A |
A |
C |
Samarinda 2 |
B |
A |
D |
A |
D |
A |
A |
B |
Samarinda 3 |
E |
A |
D |
A |
D |
A |
A |
C |
Samarinda 4 |
E |
B |
D |
A |
D |
B |
A |
B |
Can Tho (Vietnam) |
G |
A |
A |
A |
A |
A |
A |
B |
Jawa |
E |
A |
C |
A |
C |
A |
A |
B |
Muara tebo |
E |
A |
C |
A |
C |
A |
A |
B |
Jika dilihat dari haplotipe yang
diperoleh dan diinterpretasikan ke dalam distribusi geografi, maka diperoleh
dua kelompok nene moyang populasi yang datang dari Thailand masuk ke daerah Kalimantan,
yang kemudian berpindah ke Jawa dan Sumatra dataran rendah. Kelompok kedua
diperkirakan datang dari India melalui pantai barat Asia melalui Malaysia ke
Sumatra yang kemudian yang survive hanya populasi di dataran tinggi dan
pulau Nias. Dalam waktu yang lama populasi dataran tinggi dan Nias ini tidak
terjadialiran gen (gen flow) dengan populasi yang datang belakangan dari
Kalimantan (Pouyaud, et al, 1998).
Dari
analisa kromosom diperoleh adanya perbedaan jumlah kromosom antara kedua populasi nenek moyangnya
(tetua). Tetua dari India mempunyai jumlah kromosom 2n = 54, sedangkan tetua
dari Thailand (menjadi populasi Vietnam, Kalimantan, Jawa, Sumatra dataran
rendah) mempunyai jumlah kromosom 2n = 98-100 (Garcia-Franco, 1993). Hal ini sekali lagi menegukuhkan adanya
kemungkinan dua kali kolonisasi ikan lele ke Indonesia yang satu dengan
lainnya tidak berasal dari tetua yang sama (polifiletik).
1.
Tanggung
jawab Etik
Antroposentrisme
Dalam kepercayaan agama dari filosofi tradisi Barat, hanya manusia yang berguna dalam pertimbangan etik, semua jenis lain diabaikan. Sesuangguhnya antroposentris telah dirancang tetapi belum dengan pola yang jelas, seperti yang tertulis dalam permulaan Bible. Manusia sendiri diciptakan dalam imajinasi (gambar) Tuhan, diberikan kekuasaan atas bumi dan semua ciptaan dan akhirnya diperintahkan untuk menaklukkan semuanya. (White 1967) percaya bahwa karena Yahudi dan Kekristenan dipercaya untuk beberapa abad, bahkan bukan hanya hukum Tuhan saja, tetapi juga tugas agama yang positif, untuk menguasai semua bentuk kehidupan lain, ilmu pengetahuan, pengrusakan lingkungan yang progresif dengan peralatan yang maju. Seperti apa yang dilihat oleh Norton (1991), etika konservasi dapat dibangun pada tradisi dasar antroposentrisme barat. Ekologi telah melahirkan dunia yang jauh lebih sistematis daripada apa yang telah dijelaskan Bible. Namun Bible yang ditulis sejak zaman Musa (1513 SM) dan merupakan petunjuk praktis kehidupan sehari-hari bagi bangsa Israel, pasti ditulis berdasarkan tingkat pengetahuan umat manusia pada saat itu. Tetapi tetap ilmiah, misalnya keaneka ragaman hayati telah tercatat sejak awal penciptaan, dan bumi yang bulat telah dinyatakan oleh Ayub jauh sebelum diketahui oleh ilmuwan modern, sanitasi dan higienis sejak zaman Musa di padang gurun.
Etika
konservasi “Judeo-christian stewardship conservation ethics”.
Etika konservasi yang berpatokan kepada suatu Penciptaan dari energi dinamis – menjadi materi jagad raya dan semua makhluk hidup yang ada di dalamnya (Genesis 1 :20-22). Seperti yang Ehrenfeld (1988) lihat bahwa Judeo-christian stewardship conservation ethic membuat manusia secara langsung bertanggung jawab kepada Tuhan untuk melestarikan keanekaragaman hayati. Oleh akrena itu keanekaragaman hayati adalah milik Tuhan dan kita yang menunjang interaksinya antara tanaman dan penghuni bumi, tidak dibenarkan untuk merusaknya.
Biosentrisme
Tylor
berpendapat bahwa semua makhluk hidup mempunyai nilai intrinsic yang
sama, tetapi rupanya hal ini tidak relevan dengan biologi konservasi. Rolston
(1988) memodifikasi biosentrisme
ditujukan untuk para
konservasionis dan karenanya mewakili
etika konservasi yang berlaku. Rolston
setuju dengan Tylor bahwa semua makhluk
hidup mempunyai nilai intrinsic
yang inheren, tetapi tidak sejajar, misalnya nilai intrinsic tanaman
lebih rendah dari hewan, nilai animal sentient (peri kebinatangan) lebih rendah disbanding dengan nilai perikemanusiaan pada manusia – manusia lebih
berharga dari rusa, rusa lebih berharga daripada tanaman kelapa.
dan sesuatu adalah salah jika berarti lain”. Selanjutnya sebagai batasan dikeluarkan FIVE COMMANDMENTS :
1. Thou shalt not extirpate or render species extinct.
2. Thou shalt exercise great caution introducing exotic and domestic species into local ecosystem.
3. Thou shalt exercise great caution in extracting energy from the soil and releasing it into the biota.
4. Thou shalt exercise great caution in damming and polluting water courses.
5. Thou shalt be especially solicitous of predatory bird and mammals.
1.
Strategi
konservasi
Jika setiap manusia di Indonesia dan (dunia) memeiliki etik sehubungan dengan konservasi keragaman hayati atau seperti apa yang telah dipikirkan oleh beberapa orang yang arif di atas, maka upaya konservasi di bumi ini akan berhasil dengan baik. Konservasi dengan konsep Bioregional (Haeruman, 1997) adalah konsep konservasi yang menembus batas administrasi dari suatu lanskap. Dalam konsep tersebut tercakup kekuatan birokrasi, kekuatan ekonomi daerah, kekuatan sosial politik, dan kekuatan budaya dan tata nilai.
Strategi yang akan ditempuh adalah
melalui konsep genetika dengan memperhatikan
effective population size
(Ne). Jumlah Ne terbatas akan terjadi erosi genetic
pada populasi kecil karena kehilangan alel secara acak selama segregasi
dalam meiosis. Oleh karena itu disarankan
untuk menggunakan teknik
reproduksi tingkat tinggi untuk memproduksi lebih dari satu sel telur per
meiosis (Santiago dan Caballero, 2000). Tekanan
inbreeding, Kebanyakan pengaruh dari tekanan inbreeding pada survival
rate larva yang rendah sebagaia akibat menghasilkan dampak negatif
berjenjang dan karenanya genetic, demografik, pengaruh lingkungan tidak dapat dipisahkan dari kepunahan species local. (Nieminen et
al, 2001). Management unit (MU), Mendisain program seleksi, dengan
tujuan untuk mengurangi resiko inbreeding, dengan jalan meningkatkan jumlah induk
atau peningkatan interval generasi (Villanueva et al, 2000).
Tujuan dari konservasi adalah
membiarkan proses evolusi pada tingkat species tidak terganggu pada
habitat alaminya sebagai evolutionary
significant unit (ESU) dengan mempertimbangkan konsep kekerabatan
yakni phylogenetic species concept (Walsh, 2000). Oleh karena itu pengelolaan individu dari populasi spesifik
dan secara menyelurh perlu dilakukan pada unit konservasi yang
terprogram dan management unit
(MU). Dengan demikian maka konsep
konservasi ditujukan pada kenservasi gen.
Mengapa konservasi gen? Tidak lain adalah karena pertama, gen merupakan teori
fundamental dari seleksi alam, kedua,
kesepakatan pakar bahwa heterozigoositas
atau variasi gen berhubungan
langsung dengan fitness, ketiga adalah bahwa gene pools merupakan
informasi menyeluruh dari proses
biologi, dan keempat bahwa
variasi genetik diukur pada
individu dan diasumsikan ke dalam
populasi.
Konservasi in-situ
mencakup pengelolaan DAS, konservasi
daerah mengrove, terumbu karang, rasionaslisasi penangkapan dan restorasi
daerah reservat. Sementara konservasi ex-situ
adalah mencakup memelihara populasi jenis yang terancam (threatened)
atau yang masuk ke dalam red data book
menurut keputusan IUCN. Kegiatan ini mencakup domestikasi, pengelolaan gen yang
memperhatikan ukuran populasi, inbreeding
rate, dan genetic drift.
Suatu kenyataan bahwa perairan tawar
suatu ekosistem yang sangat rentan terhadap pengaruh aktivitas manusia di
darat, karena sumanya bermuara ke dalam ekosistem perairan (sungai, danau,
dsb). Sebagai contoh di eropa tengah polusi, kegiatan perikanan, perekayasaan
sungai (river engineering)
ataupun danau adalah merupakan faktor penting utama yang menurunkan
populasi ikan di alam (Balon et al, 1986). Sementara itu di Eropa
selatan, kekeringan pada sungai, danau, dan introduksi species baru dari
luar (exotic species) adalah
penyebab utama menurunnya populasi ikan (Rincon et al, 1990,
Granado-Lorencio, 1991).
Dengan
demikian diperlukan suatu ukuran manajemen (management measures) untuk tujuan
pemilihan populasi (recovery) ataupun
konservasi (Perdices et al,
1996). Tingkat variasi genetik yang tinggi dan perbedaan diantara populasi ikan
lele lokal yang diteliti memperlihatkan
bahwa program pemulihan populasi harus dilakukan dengan populasi alami secara
in-situ untuk mencegah kehilangan
variasi genetik paa populasi lokal (Leberg, et al, 1994). Jika populasi
masih tersedia (Vrijenhoek, 1994), maka pelepasan populasi lain tidak
dianjurkan dalam program restorasi, karena populasi asli sudah mengembangkan
adaptasi lokal tehadap lingkungan setempat yang lebih baik.
Dalam
program pemulihan ataupun konservasi ikan lele lokal di pulau Jawa, sebagai
tujuan akhirnya adalah melimpahnya kembali populasi di alam,
maka diperlukan suatu wadah yang disebut
operation conservation unit (OCU) seperti yang dikembangkan oleh
Doadrio et al, 1996. Dalam hal ini, diperlukan suatu unit pembenihan
sebagai upaya untuk restocking yang tentu saja harus memerhitungkan faktor
genetik dan pengetahuan tentang ikan lele lokal (Clarias batrachus). Ini berarti bahwa induk-induk yang digunakan
harus memenuhi syarat ukuran populasi
efektif effective population size (Ne) untuk mencegah founder effect.
Pengaruh dari penggunaan induk yang
kecil (Ne <10) akan mengakibatkan erosi genetik (genetic drift) yang
terlihat dalam heterosigositas yang
rendah sebagai konsekuensi populasi
sedikit (Leberg, et al, 1992).
Di
pihak lain OCU harus pula didampingi oleh aksi promosi pemulihan (restorasi)
habitat otomatis harus kolaborasi tata ruang lanskap, karena jika habitat alami
rusak, maka program ini tidak dapat berjalan. Demikian pula pelepasan ikan dari
unit pembenihan harus dikontrol untuk menghindari akibat yang tidak diinginkan,
seperti hilangnya populasi yang mempunyai gen adaptasi lokal (Perdices, et
al, 1996). Walaupun demikian aktivitas manusia termasuk kegiatan budidaya
ikan secara keseluruhan, mempunyai pengaruh negatif terhadap keanekaragaman
akuatik. Tidak seriusnya perhatian
tentang hal ini, berpengaruh terhadap level genetik, dan tidak kalah
pentingnya dengan kompleksitas secara umum
dari keanekaragaman hayati (Beardmore et al, 1997).
Dua pilihan utama yang harus ditetapkan
sewaktu akan melakukan restorasi atau
konservasi, adalah populasi lokal atau populasi lain dari metapopulasi. Hal ini sesuai dengan prinsip yang dilakukan
oleh Savolainen (1994) bahwa variasi genetik
adalah suatu informasi yang dimunculkan
dalam struktur populasi dan sejarah yang merupakan komponen penting dalam konservasi keragaman genetik, karena berhubungan
langsung dengan adaptasi.
Pilihan pertama adalah populasi lokal
karena menyangkut gen-gen adaptasi lokal yang telah bekembang, sedangkan
pilihan kedua adalah mendatangkan metapopulasi lain dengan pertimbangan keragaman genetik yang lebih baik. Berdasarkan hasil penelitian (Hadie et al,
1998) populasi ikan lele lokal di Jawa mempunyai heterosigositas yang rendah
debandingkan dengan populasi
Sumatra. Hal ini dapat kita saari
mengingat populasi di Jawa telah lama berinteraksi dengan aktivitas budidaya. Kegiatan budidaya ikan
lele lokal baru berkurang pada dekade
terakhir ini karena alasan penurunan mutu benih
yang berakibat pada lambat tumbuh dan tidak tahan terhadap serangan penyakit. Alasan ini masuk akal dan benar karena unit pembenihan yang ada tidak pernah memperhatikan keragaman genetik.
Para produsen benih umumnya menggunakan
induk yang sangat sedikit (<10 pasang) atau tidak memperhatikan asal induk, sehingga
inbreeding tidak dapat dicegah. Individu
yang mempunyai heterozigositas rendah
ini lepas ke perairan umum dan persilangannya dengan populasi alami berakibat
menurunnya keragaman. Dengan demikian
populasi ikan lele lokal telah mempunyai
keragaman genetik yang rendah, jika ini digunakan dalam program pemulihan, maka populasi di
masa mendatang secara progresif
heterosigositasnya cenderung menurun yang akan diikuti pula dengan rendahnya
daya tahan (fitness).
Pilihan kedua adalah recovery populasi ikan lele lokal dengan menggunakan metapopulasi lain. Hasil penelitian (Pouyaud, et al, 1998, Hadie et al, 2000, inpress) memperlihatkan bahwa populasi di Jawa adalah hasil kolonisasi dari Kalimantan, dan populasi Kalimantan mempunyai heterosigositas yang lebih tinggi. Dan untuk keberlanjutan usaha budiaya populasi Kalimantan akan akan lebih baik (Hadie et al, 1998). Oleh karean itu berdasarkan pertimbangan sejarah (kolonisasi) dan atas dasar kenyataan (heterosigositas tinggi) maka populasi Kalimantan (Samarinda) adalah pilihan yang paling realistis untuk tujuan pemulihan populasi ikan lele lokal di Jawa.
Implementasi
dari konsep demikian harus direalisir dalam dalam suatu rancang tindak dengan
menyediakan dan mengaktifkan OCU. Aktivitas harus ditujukan pada ekosistem
(sungai yang besar, dan relatif stabilmisalnya sungai Brantas, Bengawan Solo,
sungai serayu, sungai Citanduy, dsb.
KESIMPULAN.
1. Populasi ikan lele lokal (Clarias batrachus) di
pulau Jawa mendekati criteria threatened, dan mempunyai
heterosigositas rendah, karena pengaruh
kegiatan budidaya, penggunaan induk sedikit, dan tekanan inbreeding.
2. pendekatan biologi molekuler – dapat memindai keragaman
genetic populasi, sehingga dapat memilih populasi dengan keragaman tertinggi
untuk dipakai sebagai sumber stock enrichment. Sehingga pemulihan
populasi ikan lele local di Jawa,
memberikan sumbangan kesejahteraan
penduduk Jawa
3. Recovery (konservasi) populasi dapat dilakukan dengan
pembuatan OCU, dengan menggunakan populasi ikan lele lokal Samarinda
(Kalimantan Timur) yang mempunyai heterosigositas tinggi sebagai sumber (founder
population of Clarias batrachustion).
4. Strategi konservasi
dapat dilakukan sebagai tanggung jaab etik dan dengan menggunakan hasil
pemindaian mt-DNA yakni memilih populasi
yang memiliki heterosigositas tinggi sebagai founder population.
Abramovitz, J.N. 1995. Freshwater failures: the crises on five continents
World Watch 8(5):26-35.
Agustin,
L.Q., R. Froese.,A.E. Eknath. And R.S.V.
Pullin. 1993. Documentation of genetics resources for aquaculture-the role of
Fishbase. In. D. Penman, N. Roongratri. And R. McAndrew (Eds), International
Workshop on Genetics in aquaculture and
Fisheries Management, Bangkok, Thailand: 63-68p.
Balon, E.K., S.S. Crawford. and
A. Lelek. 1986. Fish community of the upper Danube River (Germany, Austria)
prior to the new Rhein-Main-Donau
connection. Environmental Biology of Fishes 15: 243-271.
Beardmore, J.A., G.C. Mair, and R.I. Lewis. 1997. Biodiversity in aquatic systems in relation
to aquaculture. Aquaculture Research
28:829-839.
Beverton, R.J.H. 1992. Fish resourcess: Threats and protection. Neth.
J. Zool. 42: 139-175.
Dirjen Perikanan. 1999. Statistik Perikanan Indonesia, Direktorat
Jendral Perikanan, Departemen Perikanan, Jakarta.
Doadrio, I., A. Perdices. and A.
Machordom. 1996. Allozymic variation of the endangered Killifish Aphanius
iberus and its application to conservation. Environmental biology of
Fishes. 45:259-271.
Ehrenfeld, D.W. 1988. Why put a value on biodiversity? In E.O.Wilson
and F.M. Peter (Eds), Biodiversity, pp. 212-216. National Academy Press,
Washington DC.
Garcia-Franco, M. 1993. Intra and inter-specific relationship of the
Clariids catfish Clarias batrachus. Theses submited to Tokyo University
of Fisheries 78pp.
Granado-Lorencio, C. 1991.
The effect of man on the fish fauna of
the river Guadalquifir, Spain. Fisheries Research. 12 : 91-100.
Hadie, W. L. Pouyaud, and L.E. Hadie. 2001. Biogeography of Clarias batrachus in South East Asia. J. Penel. Sains dan Teknologi. Edisi Khusus. FMIPA, UNILA.
Hadie, W., L. Pouyaud, and L.E. Hadie. 1998. Implementasi genetika
molekuler pada ikan lele Clarias batrachus untuk keberlanjutan usaha budidayanya. J.
Penel. Sains dan Teknologi. Edisi Khusus. FMIPA, UNILA. 350-355.
Hadie, W., L. Pouyaud, and Sudarto. 2000. Genetic diversity of the Asia
walking catfish Clarias batrachus (Linn.1758). Submited in the Biodiversity
and aquaculture of South-East Asian Catfishes, Final meeting of the Catfish
Asia Project, Bogor.
Haeruman, H. 1997. Pengelolaan kawasan konservasi di Indonesia tanpa
batas administrative. Pros. Diskusi Panel. Istiadi, Y., W.Hadie, dan S.
Purwantomo (Eds). Manajemen Bioregional TNG. Gede-Pangrango, TNG Haimun,
dan G. Salak. Universitas Indonesia, Jakarta.
Kottellat, M. and T. Whitten. 1996. Freshwater bidiversity in Asia with
special refference to fish.World Bank
Technical paper No. 343. Washington DC. 59 pp.
Leberg, P.L., P.W. Stangel, H.O. Hillestad, R.L. Marchinton, and M.H. Smith. 1994. Genetics structure of reintroduced wild Turkey and white tailed deer populations. The Journal of Wildlife
Management 58: 698-711.
Leopold, A. 1949. A Sand County Almanac and Sketches Here and There.
Oxford University Press , New York (1,2,8). In Priciples of Conservation
Biology , Meffe, G.K., and C.R. Carroll (Eds). Sinauer Associates, Inc.
Sunderland.
Leopold, A. 1949. Internet encyclopedia of Phylosophy.
Meffe, G.K. and C.R. Carroll.
1994. Priciples of Conservation Biology , Meffe, G.K., and C.R. Carroll (Eds).
Sinauer Associates, Inc. Sunderland.
Moyle, P.B. and R.A. Leidy. 1992.
Loss of biodiversity in aquatic
ecosystems : evidence from fish fauna s. In Fielder P.L. and S.K. Jain (eds). Conservation Biology.
Chapman and Hall, New York. pp.127-169.
Naiman, R.J. et al. 1995a. Freshwater ecosystem and their management: a national initiative.
Science, 270:584-586.
Naiman. R.J. 1995b. The freshwater imperative: a research agenda.
Island press, Washington DC.
Nieminen, M., M.C. Singer, W. Fortelius, K. Schops, and I. Hanks. 2001.
Experimental confirmation that
inbreeding depression increases extinction risk in butterfly populations.
American Naturalist 157)237-244. nieminen@helsinki.fi.
Norton, D.A. 1991. Trilepidea adamsii: An obituary for a species.
Conserv. Biol. 5:52-57.
Perdices, A., A. Machordom, and I.Doadrio. 1996. Allozymic variation and
relationships of the endangered Cyprinidontid genus Valencia and its
implication for conservation. J. of Fish Biology 49:1112-1127.
Pouyaud, L., W. Hadie, and Sudarto. 1998. Mitochondrial DNA
differentiation of populations Clarias batrachus from South East Asia.
Proc Midterm meeting of ORSTOM-Catfish Asia Project, Cantho University,
Vietnam. 5pp.
Rincon, P.A., J.C. Velasco, N. Gonzales-Sanchez, and C. Pollo. 1990.
Fish assemblages in small streams in
western Spain: the influence of an
introduce predator. Archiv fur Hydrobiologie 118:81-91.
Roberts, T.R. 1993.
Artisanal fisheries and fish ecology
below the great waterfalls of the Mekong river in Southern Laos and Northeasthern Laos. Nat. Hist. Bull.
Siam.Soc. 41: 31-62, 22 fig.
Rolston, H. 1988. Environmental ethics : Duties to and value in
the natural world. Temple University Press, Philadelphia.
Santiago, E. and A. Caballero. 2000. Application of reproduction
technology to the conservation of
genetic resources. Conservation Biology 14(5):1831-1836. Armando@uvigo.es .
Savolainen, O. 1994. Genetic variations and fitness: Conservation
lessons for pines. Conservation genetics. Loeschcke, V., J. Tomiuk, and S.K.
Jain. (Eds). Basel, Boston, Berlin.27-36p.
Villanueva, B., P. Bijma, and J.A. Woolliams. 2000. Optimal mass
selection policy for shemes with ovrlaping generations and restricted
inbreeding. Genetics Selection and
Evolution. 32:339-355. b.Villanueva@ed.sac.ac.uk.
Vrijenhoek, R.C. 1994. Genetics diversity and fitness in small
populations. Conservation genetics. Loeschcke, V., J. Tomiuk, and S.K. Jain.
(Eds). Basel, Boston, Berlin.37-54p.
Walsh, P.D. 2000. Sample size for
diagnosis of conservation unit. Conservation Biology. 14(5): 1533-1537. walshpd@aol.com.
White, L.W. 1967. The
historical root of our ecologic crisis. Science 155:1203-1207 in Priciples of
Conservation Biology , Meffe, G.K., and C.R. Carroll (Eds). Sinauer Associates,
Inc. Sunderland.
Wilcove, D.S. and M.J. Bean. 1994. The big kill : Declining
biodiversity in American’s lakes and
rivers. Environmental Defense Fund.
Washington D.C.
World Resources Institute. Biodiversity Glossary Terms. http://www.Igc.org/wri/biodiv/gbs-glos.htm