yusran.doc

 

© 2001   Yusran                                                                            Posted 8 June 2001  [rudyct]  

Makalah Falsafah Sains (PPs 702)   

Program Pasca Sarjana / S3

Institut Pertanian Bogor

Juni 2001

 

Dosen:

Prof Dr Ir Rudy C Tarumingkeng (Penanggung Jawab)

Prof Dr Ir Zahrial Coto

 

 

 

EKOTURISME DI INDONESIA:

PROSPEK, TANTANGAN DAN STRATEGI PENGEMBANGANNYA

 

Oleh:

 

Yusran

E-mail: yusranforest@yahoo.com

 

 

 

 

PENDAHULUAN

 

Konsep ekoturisme bermula dari para konservasionis sebagai suatu strategi konservasi keanekaragaman hayati dan ekosistemnya. Konsep ini kemudian berkembang begitu cepat keberbagai belahan dunia sejalan dengan semakin meningkatnya kesadaran masyarakat dunia akan pentingnya pelestarian sumberdaya alam dan ekosistemnya. Pola hidup back to nature telah menjadi gaya hidup dan kebanggaan masyarakat modern saat ini. 

Definisi ekoturisme pertama kali diperkenalkan oleh Hector Ceballos dan Lascurain (1987) dan kemudian disempurnakan oleh The Ecotourism Society (1993) dengan mendefinisikan ekoturisme sebagai suatu perjalanan bertanggungjawab ke lingkungan alami yang mendukung konservasi dan meningkatkan kesejateraan penduduk setempat. Ekoturisme sesungguhnya adalah suatu perpaduan dari berbagai minat yang tumbuh dari keprihatinan lingkungan, ekonomi dan sosial.

                Sedangkan di Indonesia pembicaraan mengenai ekoturisme mulai ramai sejak tahun 1990, setelah WALHI mengundang Kreg Lindberg  pakar dari Amerika serikat (Anggota TES) berbicara tentang ”parawisata sebagai upaya pelestarian lingkungan, yang disebut sebagai ekoturisme”. Sejak saat itu LSM – LSM mulai ramai memperbincangkan tentang ekoturisme. Kemudian Pada tahun 1995 Lembaga Studi Pariwisata Indonesia, Conservation International Indonesian Program dan Yayasan Bina Swadaya membentuk sebuah konsorsium jaringan kerja yang disebut “Indonesia Ecotourism Network (INDECON) “ yeng bertujuan memperkenalkan dan mempromosikan ekoturisme melalui berbagai bentuk kegiatan, baik bersifat advokatif, penyebaran informasi, pelatihan dan kegiatan lainnya. Namun demikian perkembangan ekoturisme yang menggembirakan saat ini di Indonesia  masih dalam taraf awal

          Kekayaan sumberdaya alam yang megadiversity merupakan potensi yang sangat menjanjikan, namun demikian masih diperlukan usaha keras dan strategi yang tepat dalam perencanaan sampai ke implementasinya untuk dapat mewujudkannya menjadi tujuan ekoturisme. Diperlukan berbagai kajian, dan penelitian yang multidisiplin serta SDM yang profesional untuk mengembangkannya. Sehubungan dengan hal tersebut, maka tulisan ini mencoba menguraikan secara  menyeluruh mengenai prospek dan permasalahan ekoturisme di Indonesia serta upaya –upaya yang harus dilakukan untuk mewujudkannya.

      

PROSPEK EKOTURISME DI INDONESIA :

 SEBUAH OPTIMISME

 

Potensi Ekoturisme di Indonesia

 

            Karakteristik wilayah Indonesia yang terdiri dari 17.000 pulau yang terbentang dari Sabang sampai Merouke, sangat kaya akan berbagai species  hidupan liar dan berbagai tipe ekosistem  yang  sebagian  diantaranya tidak dijumpai dibelahan bumi manapun. Indonesia memiliki 10 % jenis tumbuhan berbunga yang ada di dunia, 12 % binatang menyusui, 16 % reptilia dan amfibia, 17 % burung, 25 % ikan, dan 15 % serangga, dengan luas daratan hanya 1,32 % dari seluruh  luas daratan yang ada didunia (BAPPENAS, 1993).

 

Tabel 1. Perkiraan jumlah biota utama yang di ketahui.

 

Takson

Indonesia

Dunia

Bakteri, ganggang biru/hijau

   300

  4700

Jamur

12.000

47.000

Rumput laut

  1.800

21.000

Lumut

  1.500

16.000

Paku-pakuan

  1.250

13.000

Tumbuhan berbunga

25.000

       250.000

Serangga

        250.000

       750.000

Moluska

20.000

50.000

Ikan

  8,500

19.000

Amfibi

  1.000

 4.200

Reptil

 2.000

6.300

Burung

 1.500

9.200

Mamalia

   500

4.170

Sumber : BAPPENAS, 1991

 

 

Di dunia hewan Indonesia juga mempunyai kedudukan yang istimewa di dunia, sekitar 500-600 jenis mamalia besar (36 % endemik) 35 jenis primata (25 % endemik), 78 jenis paruh bengkok (40% endemik) dan dari 121 jenis kupu-kupu  (44% endemik) (McNeely et.al.1990, Supriatna 1996). Oleh karena itu, Indonesia dikenal sebagai negara Megadiversity jenis hayati dan Mega Center keanekaragaman hayati dunia. Indonesia mempunyai keanekaragaman hayati sebanding dengan Brazilia yang mempunyai luas daratan lebih dari 5 kali besarnya (Supriatna, 2000).

 

Tabel 2. Jumlah Jenis mamalia, burung dan reptil di 10 negara.

 

Mamalia

Burung

Reptil

Negara

Jumlah

Negara

Jumlah

Negara

Jumlah

Indonesia

515

Kolombia

1.721

Mexico

717

Mexico

449

Peru

1.701

Australia

686

Brazil

428

Brazil

1.622

Indonesia

511

Zaire

409

Indonesia

1.534

India

383

Cina

394

Ekuador

1.447

Kolombia

383

Peru

361

Venezuella

1.275

Ekuador

345

Kolombia

359

Bolivia

1.250

Peru

297

India

350

India

1.200

Malaysia

294

Uganda

311

Malaysia

1.200

Thailand

282

Tanzania

310

Cina

1.195

Papua Nugini

282

 

          Keanekaragaman flora dan fauna tersebut tersebar diberbagai pulau yang ada di Indonesia, dan beberapa diantaranya merupakan jenis endemik di kepulauan tertentu. Tabel 3 berikut ini menunjukkan jumlah jenis flora dan fauna yang ada di kepulauan nusantara.

 

Tabel 3. Jumlah, jenis dan persentase jenis endemik beberapa takson     di Indonesia.

 

Pulau

Mamalia

Burung

Reptil

Tumbuhan

Jumlah jenis

% jenis endemik

Jumlah jenis

% jenis endemik

Jumlah jenis

% jenis endemik

Jumlah jenis

% jenis endemik

Sumatra

194

10

465

2

217

11

820

11

Jawa

133

12

362

7

173

8

630

5

Kalimantan

201

18

420

6

254

24

900

33

Sulawesi

114

60

289

32

117

26

520

7

N.Tenggara

41

12

242

30

77

22

150

3

Maluku

69

17

210

33

98

18

360

6

Irian Jaya

125

58

602

52

223

35

1030

55

 

Sumber : BAPPENAS, 1991.

 

Keanekaragaman flora dan fauna dengan ekosistem yang sangat beragam, tentunya menjadi daya tarik khusus untuk dijadikan tujuan ekoturisme. Namun demikian pemanfaatannya harus hati-hati karena jumlah populasi setiap individu tidak besar dan distribusinya sangat terbatas. Dengan demikian pengembangan sistem pemanfaatannya pun tampaknya harus berbeda. Pengembangan sumberdaya alam yang nonekstraktif dan nonkonsumtif seperti ekoturisme harus menjadi pilihan utama. Kegiatan ekoturisme dapat memberikan konstribusi dan menghasilkan sebuah mekanisme dana untuk kegiatan konservasi.

          Selain itu kawasan hutan untuk konservasi yang memiliki ciri-ciri sebagai wakil dari ecotipe tertentu dapat dimanfaatkan pula untuk pengembangan ekoturisme. Di dalam kawasan konservasi ini biasanya kaya akan antraksi alam seperti air terjun, sungai, telaga, goa yang dapat dikembangkan untuk kegiatan ekoturisme. Luas kawasan konservasi sampai Bulan Pebruari 2000 dapat di lihat pada tabel 4 sebagai berikut.

 

    Tabel 4.  Luas dan jumlah penunjukan kawasan konservasi sampai dengan Pebruari 2000.

 

Jenis Kawasan

Total

Daratan

Perairan

Luas

Unit

Luas

Unit

Luas

Unit

Taman Nasional

14.753.176,18

39

11.070.221,18

33

3.682.955,00

6

Cagar Alam

  2.742.112,53

181

  2.533.332,18

174

   208.780,35

7

Suaka Margasatwa

  3.600.838,12

51

  3.535.618,12

48

     65.220,00

3

Taman Wisata Alam

     884.492,81

89

     286.910,81

76

   597.582,00

13

Taman Hutan Raya

     238.495,50

12

     238.495,50

12

-

-

Taman Buru

     247.392,70

15

     247.392,70

15

-

-

Hutan Lindung

34.015.899,36

692

34.015.899,36

692

-

-

Jumlah

56.482.407,20

1079

51.927.869,85

1050

4.554.537,35

29

 

                Sumber : Direktorat Konservasi Kawasan, 2000.

         

Saat ini diperkirakan terdapat sekitar 2 juta Ha zona intensif di kawasan taman nasional dan taman buru yang dapat dikembangkan untuk tujuan wisata. Diperkirakan kemampuan menampung wisatawan yang tidak menimbulkan  kerusakan sekitarnya adalah 2 juta Ha x 5 wisatawan hari kunjung atau 10 juta wisatawan hari kunjung. Apabila setiap wisatwan dapat ditarik entrance fee minimal US $ 5, maka sektor kehutanan akan memperoleh dana US $ 5 x 2 juta = US $ 10 juta (Chafid Fandeli, 1999).

          Kegiatan ekoturisme juga dapat dikembangkan pada pengelolaan hutan produksi. Kegiatan HPH yang dimulai dari penanaman hingga penebangan dan angkutan merupakan atraksi wisata yang menarik. Wisatawan mancanegara akan memperoleh suguhan atraksi alam dan buatan yang berbeda di negaranya. Apabila setiap HPH mengembangkan ekoturisme dan mampu menarik wisatawan 5 orang perhari  per HPH, maka ada wisatawan sebanyak 450 HPH x 5 orang x 360 hari = 810.000 wisatawan. Apabila  setiap wisatawan belanja per hari diperhitungkan 50 % dari US $ 150, maka sektor kehutanan dapat memperoleh US $ 60,75 juta per hari atau US $ 4.56 million setahun. Hal ini jauh lebih besar dari produksi kayu 30 juta m3 kayu gelondongan per tahunm dari HPH. Bila diperhitungkan penghasilan eksploitasi kayu US $ 200/M3 akan diperoleh dana sebesar US $ 6.000 juta atau US $ 6.00 million. Dari perhitungan ini maka HPH akan memperoleh tambahan penghasilan yang lebih besar dari kegiatan pengelolaan ekoturisme (Chafid Fandeli, 1999).

 

 

Ekoturisme : Konservasi dan pemberdayaan Masyarakat

 

Penekanan ekoturisme pada sumberdaya lokal menjadikan ekoturisme menarik bagi negara-negara berkembang. Ekoturisme dipandang sebagai suatu cara untuk membayar konservasi  alam dan meningkatkan nilai lahan-lahan yang dibiarkan dalam kondisi alami. Para pekerja konservasi ekonomi telah menyadari bahwa tidak mungkin dapat menyelamatkan alam dengan mengorbangkan penduduk lokal.

 

Gambar 1. Skema ekoturisme dengan output yang bukan saja ditujukan untuk

               menghibur manusia, tetapi juga memperhatikan kepentingan alam.

 

 

Bila ecoturism diibaratkan sebuah proses, sebagaimana terlihat pada Gambar 1. Yang menjadi inputnya adalah manusia (wisatawan) dan alam (termasuk kehidupan penduduk setempat). Output dari proses ini adalah output langsung baik bagi manusia maupuin bagi alam dan output tak langsung. Output langsung yang dirasakan manusia adalah unsur hiburan dan penambahan pengetahuan, sedangkan output langsung bagi alam adalah perolehan dana yang dapat difungsikan untuk kegiatan konservasi alam secara swadaya. Sedangkan output tak langsung  yakni berupa tumbuhnya kesadaran dalam diri wisatawan untuk lebih memperhatikan sikap hidupnya dihari-hari esok agar tidak berdampak  buruk pada alam.

Pengembangan ekoturisme akan memberdayakan masyarakat lokal melalui kegiatan ekonomi dan penyerapan tenaga kerja yang ditimbulkan oleh aktivitas ekoturisme. Pola ekoturisme akan secara simultan melestarikan flora, fauna, sosial budaya masyarakat lokal dan secara ekonomi sangat menguntungkan. Dari sisi ekonomi, kekayaan flora dan fauna serta keberadaan kawasan konservasi akan menciptakan kegiatan ekonomi dan lapangan kerja. Perolehan nilai ekonomi yang besar dapat digunakan untuk upaya konservasi sumbedaya alam. Dan keterlibatan masyarakat dalam aktivitas ekoturisme akan menjamin keamanan dan keberadaan sumberdaya alam tersebut.

         

EKOTURISME DI INDONESIA :

TANTANGAN DAN STRATEGI PENGEMBANGANNYA

 

Tantangan Pengembangan Ekoturisme

 

            Potensi sumberdaya alam yang megadiversity merupakan peluang yang sangat prospek untuk pengembangan ekoturisme. Namun kemampuan untuk merubah potensi yang dimiliki tersebut menjadi potensi ekonomi belum dapat dilakukan secara optimal. Tantangan yang dihadapi adalah bagaimana merubah keunggulan komparatif ekologis (dan politis) tersebut diatas menjadi keunggulan kompetitif di era pasar bebas.

          Tantangan lainnya dalam pengembangan ekoturisme adalah lemahnya kemampuan dalam pengelolaan data dan informasi sumberdaya alam hayati dan ekosistemnya. Data dan informasi tentang jumlah, jenis, prilaku serta ekosistem flora dan fauna masih sangat terbatas. Padahal data-data tersebut merupakan dasar untuk merancang dan menyusun program ekoturisme di suatu kawasan. Selain itu sarana dan prasarana yang dapat menunjang kegiatan ekoturisme juga masih terbatas, sementara rendahnya kualitas SDM dari segi pendidikan masih merupakan kenyataan yang masih harus dihadapi

Kondisi sosial ekonomi masyarakat di dalam dan sekitar kawasan masih sangat tertinggal juga merupakan kendala tersendiri dalam pengembangan ekoturisme. Masyarakat di dalam dan sekitar kawasan konservasi umumnya terbelakang dalam pendidikan dan ekonominya, sehingga mereka tidak atau kurang paham terhadap kaidah-kaidah konservasi. Potensi keanekaragaman hayati dan ekosistemnya sebagai center ekoturisme  akan  lestari,  jika dapat mengatasi hal tersebut secara nyata dilapangan.

            Sementara itu peran kelembagaan yang ada sebagai alat manajemen belum efektif. Selain itu penanganannya masih bersifat sentralistik, pada kawasan konservasi yang tiap daerah sangat spesifik. Hal ini menyebabkan manajemen pengelolaan tidak akan berfungsi secara efektif. 

Melihat masih besarnya kendala dalam pelaksanaanya dilapangan, maka peran berbagai stakeholder yaitu operator wisata, pemandu lapangan, pemilik hotel, pengelolah taman, kelompok masyarakat lokal, perencana dari pemerintah, LSM/NGO dan semua pihak yang terkait, harus bekerja secara sinergi untuk menyelesaikan permasalah tersebut diatas. Pembangunan sistem informasi manajemen konservasi sumber daya alam merupakan suatu hal yang sangat diperlukan. Secara makro diperlukan tindakan penyempurnaan kebijakan, dan institusi serta penguatan institusi.

 

Strategi Pengembangan Ekoturisme

 

        Pengembangan suatu kawasan menjadi tujuan ekoturisme memerlukan perencanaan yang matang, waktu yang cukup lama dan upaya kerja keras agar tujuan ekoturisme dapat terpenuhi. Mengembangkan kegiatan ekoturisme memang bukan kegiatan yang mudah, memerlukan keahlian dari berbagai disiplin ilmu dan melibatkan berbagai stakeholder. Hal ini disebabkan karena kegiatan ekoturisme yang tidak terencana dengan baik akan mempunyai resiko yang besar, bukan saja mengakibatkan kegagalan tetapi yang lebih berbahaya adalah dampak negatif yang ditimbulkannya justru lebih besar dari pada dampak positipnya, berupa rusaknya sumberdaya alam tersebut.

 

Carrying Capacity

 

          Untuk mengantisipasi dampak negatif yang ditimbulkan, maka sejak awal mulai proses perencanaan, penerapan, dan pengelolaannya harus mempertimbangkan aspek lingkungan, sosial budaya dan ekonomi. Secara strategik, daya dukung (carrying capacity) harus menjadi ukuran baku dalam mengukur jumlah pengunjung, jenis kegiatan dan waktu kunjungan serta pembangunan fasilitas wisata.

          Carrying Capacity didefinisikan sebagai level kehadiran pengunjung yang membawa dampak terhadap masyarakat lokal, lingkungan, dan ekonomi yang masih dapat ditoleransi oleh pengunjung dan masyarakat dan menjamin kelestarian untuk periode yang akan datang. Disini pentingnya mengatur jumlah kunjungan yang ditentukan oleh beberapa faktor: lamanya tinggal, karakteristik turis, konsentrasi pengunjung secara geografis dan derajat musiman. Gambar dibawah ini menunjukkan skema framework untuk menentukan carrying capacity

 

                Konsep carrying capacity mempertimbangkan aspek fisik, ekologi, psikologi dan sosial, sehingga dalam penerapannya bervariasi menurut tempat dan kondisi yang berbeda pula. Jadi carrying capacity bukan konsep yang tetap, tetapi keputusan manajemen yang bersifat spesifik dan dinamis.

Konsep carrying capacity disamping dapat mencegah kerusakan lingkungan juga dapat mencegah penurunan nilai ekonomi dari lokasi turisme. Dengan konsep carrying capacity, kondisi lingkungan kawasan turisme akan lestari, sehingga keunikan dan keindahan alam sebagai daya tarik turis akan tetap terjaga. Dengan demikian akan menjamin kelestarian untuk periode yang akan datang.

 

Ekoturisme Berbasis Pedesaan

 

      Partisipasi masyarakat lokal didalam perencanaan, implementasi dan pengelolaan proyek ekoturisme adalah kunci dari kesuksesan proyek. Untuk kesuksesan konservasi habitat, maka masyarakat lokal harus menjadi pemain utama dalam proyek pembangunan. Masyarakat harus mendapatkan keuntungan ekonomi secara signifikan   dari proyek sebagai kompensasi dari kehilangan akses terhadap sumberdaya tersebut.

            Mengambil pelajaran dari kegagalan beberapa proyek ekoturisme karena kurangnya kontrol lokal dan menggabungkannya dengan beberapa contoh keberhasilan program ekoturisme seperti pengalaman di Belize, beberapa saran dalam perencanaan ekoturisme berbasis kemasyarakatan di masa akan datang adalah :

·        Level Pedesaan : semua direncanakan dan diterapkan pada level desa, walaupun proyek tersebut mempunyai  cakupan yang lebih luas.

·        Integrasi Lokal :  Ekoturisme yang murni harus mengintegrasikan masyarakat lokal sebagai mitra sejajar dalam disain, pelaksanaan dan setiap aspek kegiatan proyek.

·        Kekuatan lokal yang sah dan berskala luas : Masyarakay harus berpendidikan dan diperkuat dalam hal manajemen dan administrasi pekerjaan. Proyek harus berbasis luas dengan derajat partisipasi yang luas daripada hanya segelintir orang atau lembaga.

·         Penggunaan sumberdaya yang tersedia : Penggunaan tenaga kerja, pemandu dan bahan-bahan lokal yang tersedia.

·         Cakupan atas skala yang memadai : rancangan dan pembangunan harus pada skala yang tepat dengan kondisi kehidupan setempat, struktur sosial, pandangan budaya, pola subsistem dan organisasi kemasyarakatan.

·        Kelestarian / kesinambungan : Bekerja untuk kelestarian jangka panjang dan berkesinambungan usaha-usaha konservasi.

·        Kebutuhan lokal dan konservasi adalah hal utama  : kebutuhan turis harus merupakan prioritas kedua, setelah usaha konservasi sumberdaya termasuk termasuk didalamnya masyarakat lokal.

·        Profesionalisme harus menjadi bagian : Melibatkan para ahli untuk ikut merancang dan diikutsertakan dalam kegiatan praktis yang berhubungan dengan tanggungjawab dan manfaat konservasi.

·        Konservasi adalah strategi pembangunan yang hidup

·        Dukungan pemerintah : Pemerintah dan juga kelompok konservasi nasional harus aktif mendorong masyarakat lokal kedalam ekoturisme.

·        Investor dan operator yang berhati-hati : Investor asing harus didorong untuk menanam modal pada proyek ekoturisme yang berbasis masyarakat sebagai mitra sejajar dengan masyarakat lokal ataupun investor lokal.

 

Penelitian dan Pendidikan

 

Kegiatan penelitian dalam bidang ekoturisme barangkali merupakan kegiatan yang tidak ada habis-habisnya, dan perlu dilaksanakan pada berbagai tahapan, mulai dari perencanaan, pelaksanaan, hingga ke monitoring. Melalui penelitian akan diperoleh informasi yang diinginkan, sehingga dapat dipergunakan sebagai dasar untuk melaksanakan suatu program. Penelitian juga dapat membantu memformulasikan aturan dan kebijakan terhadap kegiatan ekoturisme (Ani Mardiastuti, 2000).

 Salah satu konsep yang ditawarkan dalam pengembangan ekoturisme adalah menggunakan prinsip Participatory Action Research (PAR) yang dikemukakan oleh Ryan dan Robinson (1990), secara umum mempunyai lima prinsip penelitian yaitu :

1.       Penelitian harus melibatkan masyarakat secara penuh dan aktif  mulai dari proses penelitian.

2.     Penelitian harus melibatkan seluruh komponen masyarakat secara penuh: kaum miskin, tertekan dan kelompok yang tereksploitasi.

3.     Proses penelitian dapat membuat sadar masyarakat sebagai pemilik sumberdaya dan menggerakkan untuk membangun kepercayaan diri.

4.     Metode penelitian yang digunakan harus teliti dan menggunakan analisis autentik berdasarkan realitas sosial.

5.     Peneliti adalah orang yang mempunyai komitmen dan belajar dari proses penelitian

Sedangkan kegiatan pendidikan  ekoturisme pada dasarnya dapat dibagi dua yaitu pendidikan untuk para ekoturis dan pendidikan bagi para penyelenggara kegiatan ekoturisme. Aspek pendidikan yang akan diterima oleh para ekoturis sangat bergantung dari kualitas program yang diikutinya. Program yang diikuti para ekoturis merupakan akumulasi pengetahuan para stakeholder, khususnya penyelengga (operator) turisme. Oleh karena itu pendidikan bagi penyelenggara kegiatan ekoturisme merupakan  hal yang sangat penting (Ani Mardiastuti, 2000).

Kegiatan pendidikan umum diperlukan oleh semua stakeholder yang terlibat dalam kegiatan ekoturisme, yaitu pemerintah, masyarakat, LSM, pengusaha, lembaga donor, biro perjalanan, tour operator, tour guide, pelaksana home stay, pembuat dan pedagang cinderamata, serta peneliti. Pendidikan ini diperlukan untuk menyamakan visi dan pemahaman tentang konsep ekoturisme diantara para stakeholders. Sedangkan pendidikan khusus ditujukan kepada stakeholder tertentu untuk meningkatkan kesadaran, pemahaman, atau keterampilan dari stakeholder tersebut   (Ani Mardiastuti, 2000).

 

PENUTUP

 

          Potensi sumberdaya alam yang megadiversity merupakan peluang yang sangat  prospek untuk pengembangan ekoturisme. Ekoturisme dapat memberikan kontribusi dan menghasilkan sebuah mekanisme dana untuk kegiatan konservasi dan secara ekonomi akan memberdayakan masyarakat lokal. Keterlibatan masyarakat dalam aktivitas ekoturisme akan menjamin keamanan dan keberadaan sumberdaya alam tersebut.

                Tantangan yang dihadapi dalam pengembangan ekoturisme  adalah bagaimana merubah keunggulan komparatif ekologis (dan politis) menjadi keunggulan kompetitif di era pasar bebas. Kerjasama yang sinergi antara semua stakeholder merupakan jawaban untuk mengatasi berbagai kendala dalam pengembangan ekoturisme.

Pengembangan ekoturisme memerlukan keahlian yang multidisiplin dan melibatkan berbagai stakeholder. Konsep carrying capacity dan partisipasi masyarakat lokal harus menjadi pertimbangan mulai dari perencanaan sampai pelaksanaan program.

Kegiatan penelitian diperlukan sebagai dasar pelaksanaan program, sedangkan pendidikan diperlukan untuk penyamaan visi, kesadaran, pemahaman, atau keterampilan para stakeholder. Pendidikan dan penelitian sangat menentukan kualitas dan keberhasilan program ekoturisme.

 

           

DAFTAR PUSTAKA

 

BAPPENAS. 1993. Biodiversity Action Plan For Indonesia. Jakarta.

 

Dephutbun. 2000. Teknik Pengelolaan dan Kebijaksanaan Konservasi Sumber Daya Alam Hayati. Proceeding Workshop. Bogor.

 

Dirjen PKA. 2000. Kebijakan dan Pengelolaan Kawasan Konservasi. Makalah diskusi Widiaswara Dephutbun. Bogor.

 

David Western. 1993. Memberi Batasan tentang Ekoturisme. Ekoturisme Petunjuk untuk Perencana dan Pengelola. The Ecotourism Society. North Bennington, Vermonth.

 

Dorfman, Robert and Nancy S. Dorfman, 1977. Economic of The Environment. Secon Edition. WW.Norton and Company.Inc.New York.

 

Fandeli, C., 1999. Pengembangan Ekowisata dengan Paradigma baru Pengelolaan Areal Konservasi. Makalah dalam lokakarnya Paradigma Baru Manajemen Konservasi. Yogyakarta.

 

Kodyat, H. 1998. Sejarah Lahirnya Ekowisata di Indonesia. Makalah Workshop dan Pelatihan Ekowisata. Yayasan Kehati. Bali.

 

Mardiastuti, A., 2000. Penelitian dan Pendidikan untuk Kegiatan Ekoturisme di Taman Nasional. Makalah dalam lokakarya Pengembangan Ekoturisme di Taman Nasional. Cisarua Bogor.

 

INDECOM. 1996. Hasil Simposium Ekoturisme Indonesia. Gadog. Bogor.

 

Supriatna, J. 1995. Ekowisata dan Prospeknya di Indonesia: sudut Pandang dari Biologi Konservasi. Pusat Studi Biodiversitas dan Konservasi Universitas Indonesia dan Conservation International Indonesia Program. Jakarta.