@ 2001. Muhamad Ali Yahya                                                                    Posted:  1 November 2001 [rudyct]

Makalah Falsafah Sains (PP 702)

Program Pascasarjana/S3

Institut Pertanian Bogor

November 2001

 

Dosen:

Prof. Dr Rudy C. Tarumingkeng

 

 

PERIKANAN TANGKAP INDONESIA

(Suatu Pendekatan Filosofis dan Analisis Kebijakan)

 

 

Oleh :

 

Muhamad Ali Yahya

 

Prog. Studi / Nrp. : Teknologi Kelautan / P.26600005

Email : yahya_aliid@yahoo.com

 

1.  PENDAHULUAN

Aspek Ontologi

Potensi perikanan laut Indonesia yang terdiri atas potensi perikanan pelagis dan perikanan demersal tersebar pada hampir semua bagian perairan laut Indonesia yang ada seperti pada perairan laut teritorial, perairan laut nusantara dan perairan laut Zona Ekonomi Eksklusif (ZEE).  Luas perairan laut Indonesia diperkirakan sebesar 5.8 juta km2 dengan garis pantai terpanjang di dunia sebesar 81.000 km dan gugusan pulau-pulau sebanyak 17.508, memiliki potensi ikan yang diperkirakan terdapat sebanyak 6.26 juta ton pertahun yang dapat dikelola secara lestari dengan rincian sebanyak 4.4 juta ton dapat ditangkap di perairan Indonesia dan 1.86 juta ton dapat diperoleh dari perairan ZEEI.  Pemanfaatan potensi perikanan laut Indonesia ini walaupun telah mengalami berbagai peningkatan pada beberapa aspek, namun secara signifikan belum dapat memberi kekuatan dan peran yang lebih kuat terhadap pertumbuhan perekonomian dan peningkatan pendapatan masyarakat nelayan Indonesia.

Terdapat berbagai kesenjangan yang masih mewarnai pembangunan perikanan di Indonesia baik secara nasional maupun secara lokal administratif pengelolaan.  Berbagai prasarana yang dibangun oleh pemerintah, seperti pembangunan pelabuhan perikanan dan tempat-tempat pendaratan ikan yang tersebar di berbagai wilayah belum memberikan hasil yang memuaskan sesuai dengan yang diharapkan, berbagai model pengaturan dan kebijakan yang diambil belum dapat menyentuh secara baik terhadap permasalahan mendasar yang ada.  Hal tersebut diakibatkan pendekatan yang digunakan selama ini masih merupakan pendekatan top-down.  Banyaknya instansi terkait yang terlibat dalam berbagai macam bentuk pelibatan, juga merupakan salah satu wujud kesemrautan pengelolaan perikanan Indonesia.  Paradigma seperti ini belum semuanya dapat tersingkap apalagi tereliminir dengan munculnya kekuatan reformasi yang menggaung sejak tahun 1999 sampai dengan dibentuknya sektor perikanan sebagai salah satu Departemen pada Kabinet Persatuan Nasional yang sebelumnya hanya merupakan salah satu sub-ordinat dari Departemen Pertanian.  Dalam paper ini penulis mencoba menyingkap beberapa hal yang dianggap oleh penulis sebagai dua bagian yang saling berperan baik pada masa lampau maupun pada masa yang akan datang yang mana penulis sebut sebagai paradigma lama dan paradigma baru pembangunan perikanan laut di Indonesia.

Aspek Aksiologi

Upaya memanfaatkan sumberdaya perikanan laut secara optimal dan lestari, merupakan tuntutan yang sangat mendesak bagi sebesar-besar kemakmuran rakyat, terutama untuk meningkatkan kesejahteraan nelayan, pemenuhan kebutuhan gizi masyarakat, memperluas lapangan kerja dan kesempatan berusaha, serta peningkatan ekspor untuk menghasilkan devisa negara.

Sumberdaya ikan merupakan milik bersama (common resources), sehingga dalam pengelolaannya tidak dapat dimiliki secara prorangan, menyebabkan semua lapisan masyarakat berhak untuk memanfaatkan, dan karenanya dapat menimbulkan berbagai macam persaingan antar pelaku, baik antar nelayan dengan nelayan, antar nelayan dan pengusaha, antar pengusaha dengan nelayan, dan antar pengusaha dengan pengusaha yang begitu ketat dan sulit dikendalikan.  Sampai dengan tahun 1999, potensi pemanfaatan sumberdaya ikan yang disebutkan di atas baru dapat dimanfaatkan sebesar 76 % dengan tingkat produksi sebesar 3.82 juta ton (Dahuri, 2001).

 

2.  ANALISIS KEBIJAKAN PEMBANGUNAN PERIKANAN LAUT

Aspek  Epistemologi

 

2.1 Analisis Kebijakan Pembangunan dan Kelembagaan

            Pembangunan perikanan dan kelautan walaupun telah lama dirasakan betapa pentingnya dilakukan, sebagai salah satu wujud pembangunan nasional secara menyeluruh, serta dengan berbagai upaya yang dilakukan akhirnya melalui tiupan angin reformasi dengan berbagai macam tuntutan pemberdayaan masyarakat, termasuk masyarakat yang mendiami wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil, maka pada Kabinet Persatuan Nasional yang dibentuk pada tahun 1999, perikanan dan kelautan tidak lagi merupakan sub-sektor dari sektor pertanian tetapi telah menjadi sektor tersendiri dengan nama Departemen Kelautan dan Perikanan (DKP).  Banyak orang meragukan akan eksistensi lembaga tersebut dengan berbagai macam tuntutan dan harapan.  Sebagian lagi merasa optimis akan kemampuan dan potensi besar kelautan dan perikanan yang dimiliki apabila dapat diselaraskan dengan pembangunan 3 dimensi utama, yaitu : pembangunan dan penyediaan sarana-prasarana yang memadai, penyediaan sumber dan jaringan informasi yang baik serta pembangunan sumberdaya manusia yang handal sebagai pelaku.

Secara formal lembaga yang bertanggung jawab atas pembangunan sektor kelautan dan perikanan adalah Departemen Kelautan dengan seluruh jajarannya sampai ke tingkat pemerintahan terendah.  Namun keberadaannya, juga memerlukann dukungan yang kuat dan baik dari semua lembaga pemerintahan yang terkait, seperti : Departemen Perhubungan, Departemen Keuangan, Departemen Dalam Negeri, Departemen Pertahanan dan Keamanan, Departemen Koperasi dan Pengusaha Kecil serta Departemen-Departemen lain yang terkait.

Selain lembaga formal di pemerintahan, juga terdapat beberapa lembaga informal seperti perkoperasian nelayan, lembaga-lembaga swadaya masyarakat, organisasi-organisasi nelayan dan pengusaha perikanan seperti Himpunan Nelayan Seluruh Indonesia (HHNSI), Masyarakat Perikanan Nusantara (MPN), juga memiliki peranan penting terhadap pembangunan perikanan laut secara menyeluruh.

 

2.2  Analisis Kebijakan Ekonomi, Pemasaran dan Permodalan

            Untuk memanfaatkan sumberdaya perikanan laut secara optimal dan lestari masih terdapat banyak kendala yang dihadapi, terutama menyangkut permodalan dan sistem perbankan yang belum kondusif bagi investasi usaha penangkapan ikan di laut, sistem perizinan yang kurang efisien dan cenderung mempersulit, sistem charter kapal asing yang cenderung merupakan lahan bagi pencurian ikan di laut, penangkapan ikan dengan menggunakan cara yang merusak sumberdaya dan habitatnya, pelayanan di pelabuhan perikanan yang dapat mengakibatkan biaya ekonomi tinggi, tidak terpadunya rencana tata ruang di wilayah laut dan kurang tegasnya penegakan hukum dan peraturan di laut serta penyalahgunaan perizinan dan pengawasan kapal-kapal asing.

            Dalam pembangunan perikanan masa depan, orientasi kerakyatan terutama di masa tuntutan reformasi harus menjadi tumpuan dalam mencapai target sebagaimana juga telah ditetapkan pada PROTEKAN 2003.  Untuk ke arah itu, maka kegiatan perikanan rakyat seharusnya mendapatkan perhatian khusus.  Pemberdayaan perikanan rakyat (nelayan) melalui dukungan kelembagaan dan permodalan merupakan solusi strategis untuk menyelesaikan berbagai permasalahan yang terjadi.

            Mengingat profil masyarakat nelayan pada umumnya masih berada pada tingkat dan posisi yang memprihatinkan, maka dipandang perlu adanya program-program kemitraan yang dapat secara langsung menyentuh pada kebutuhan yang diperlukan oleh nelayan.  Oleh karena koperasi sampai saat ini belum banyak memainkan peran,  termasuk rendahnya kemampuan pemerintah dalam mengalokasikan dana-dana program pemberdayaan, maka sistem kemitraan sangat diperlukan dari berbagai pihak dengan pola saling menguntungkan.  Salah satu pola kemitraan yang dapat dikembangkan adalah dengan sistim pola inti rakyat dimana pengusaha sebagai mitra pembina dan nelayan sebagai mitra binaan.  Program kemitraan seperti ini, dipandang dapat dikembangkan terutama dalam penyediaan sarana dan prasarana, modal kerja nelayan, pembinaan managemen usaha, pemasaran, adopsi teknnologi tepat guna dengan perjanjian kerjasama kemitraan yang memihak pada nelayan tanpa merugikan mitra pembina.  Dalam mengembangkan program kemitraan seperti ini, pemerintah harus dapat menjadi fasilitator dengan memberikan perlindungan dan jaminan keberpihakan kepada kelompok nelayan melalui program kerjasama tersebut sehingga dapat berlangsung langgeng dan berkembang dengan baik.

            Masalah  pemasaran juga merupakan bagian yang sangat penting bagi usaha penangkapan ikan, berkaitan dengan sifat ikan itu sendiri yang mudah mengalami proses pembusukan (perishable food).  Untuk menjaga tingkat kesegaran ikan yang dihasilkan oleh nelayan agar sampai pada tingkat konsumen dengan kualitas mutu yang baik, maka prinsip-prinsip dasar penanganan ikan dengan mata rantai dingin (cold chain) mutlak diperlukan dengan dukungan prasarana yang memadai kepada nelayan.

 

2.3  Analisis Riset dan Pengelolaan Perikanan Laut

            Pembangunan di bidang kelautan dan perikanan saat ini, walaupun telah mendapatkan perhatian besar dari pemerintah dibandingkan dengan masa lampau, yakni dengan terbentuknya Departemen Kelautan dan perikanan yang berawal pada Kabinet Persatuan Nasional tahun 1999. Dengan demikian perikanan dan kelautan tidak lagi menjadi sub-sektor pada sektor pertanian melainkan telah menjadi salah satu sektor yang kedudukannya sama dengan sektor-sektor lainnya.  Hal ini berimplikasi terhadap besarnya peluang, harapan dan tantangan yang diberikan agar dapat memberi kontribusi yang lebih besar terhadap peningkatan dan pencapaian beberapa target yang dibebankan.

            Beberapa lembaga yang terkait dengan kajian-kajian riset eksplorasi, eksploitasi dan konservasi yang ada sebelumnya menjadi salah satu bentuk kerumitan dalam menghimpun, mengakomodir dan memecahkan semua permasalahan yang ada dalam ruang lingkup perikanan dan kelautan.  Dengan mempelajari pengalaman masa lalu, oleh pemerintah melalui Departemen Kelautan dan Perikanan (DKP) membentuk suatu lembaga yang diberi nama Badan Riset Kelautan dan Perikanan.  Hal tersebut dimaksudkan agar semua riset yang akan dan telah dilakukan berada dalam satu atap kebijakan dan pengelolaan sehingga menjadi lebih efisien, efektif dan mudah dalam pemanfaatannya.

Kebijakan dan kewenangan pengelolaan sumberdaya perikanan dan kelautan yang ada juga merupakan suatu permasalahan baru dengan diberlakukannya Undang-undang No. 22 tahun 1999 tentang Otonomi Daerah,  dimana pemerintah daaerah  kabupaten/kota  memiliki kewenangan penuh atas pengelolaan sumberdaya yang ada di dalam wilayah laut  hingga 4 mil, sedangkan pemerintah daaerah propinsi mempunyai kewenangan untuk pengelolaan wilayah laut dan sumberdaya di dalamnya dari 12 mil menjadi hanya 8 mil dari garis batas 4 mil ke arah laut lepas (Saksono, 1998).

Penerapan Undang-Undang Otonomi Daerah ini, juga berimplikasi pada penentuan batas-batas wilayah pengelolaan antara pemerintah kabupaten/kota dan pemerintah kabupaten/kota yang berbatasan serta dengan pemerintah wilayah propinsi.  Sampai saat ini walaupun telah digulirkan sejak beberapa waktu yang lalu, namun perangkat peraturan-peraturan lainnya termasuk pada tingkat pemerintah kabupaten/kota belum seluruhnya tertuang secara detail dalam suatu peraturan daerah.  Dengan demikian dikhawatirkan jika tidak diantisipasi dengan baik akan menimbulkan kerentangan sosial di dalam masyarakat terutama para nelayan yang akan melakukan operasi penangkapan ikan di laut, walaupun di dalam salah satu butir penjelasan UU tersebut dikemukakan bahwa untuk kegiatan penangkapan ikan oleh nelayan tradisional tidak dibatasi dengan batas-batas wilayah pengelolaan (Anonim, 2001).  Pada Gambar 1 di bawah ini, disajikan suatu gambaran beberapa komponen lembaga dan masyarakat yang terlibat dalam kegiatan pengkajian dan pemanfaatan sumberdaya kelautan dan perikanan.

 

 

 

2.4  Analisis Kebijakan Pembangunan SDM Perikanan dan Kelautan

            Semula nelayan dikategorikan sebagai seseorang yang pekerjaannya menangkap ikan dengan menggunakan alat tangkap yang sederhana, mulai dari pancing, jala dan jaring, bagan, bubu sampai dengan perahu atau jukung yang dilengkapi dengan alat tangkap ikan, metode dan taktik penangkapan tertentu.

            Profil nelayan tradisional walaupun pada umumnya cukup terampil menggunakan peralatan yang dimilikinuya dengan sarana penangkapan ikan dan kemampuan yang sangat terbatas dan seringkali sulit untuk ditingkatkan ke arah yang lebih modern.  Posisi ekonomi nelayan yang sangat readah diakibatkan karena modal terbatas, produktivitas yang rendah dengan hasil tangkapan ikan yang tidak menentu sebagai akibat pengaruh musim, juga dengan jaminan pemasaran ikan yang tidak menentu karena masih terdapatnya berbagai kendala dalam penentuan harga jual pada tingkat nelayan.  Hal lain yang juga menarik adalah kondisi psikologis dan sosologis masyarakat nelayan, umumnya berada dalam lingkungan hidup sosial yang cenderung tidak memikirkan hari depannya, dan karenanya kurang kesadaran untuk menyimpan sebagian pendapatan yang diperolehnya terutama pada saat musim ikan.

            Kondisi seperti di atas ternyata merupakan peluang bagi tumbuh suburnya para tengkulak, dengan memanfaatkan berbagai macam kelemahan yang dimiliki para nelayan tradisional.  Tengkulak tersebut merupakan salah satu mata rantai usaha penangkapan ikan yang dilakukan oleh nelayan, terutama dalam hal penyediaan sarana produksi dan permodalan yang diperlukan oleh nelayan.  Pelayanan yang diberikan tengkulak kepada nelayan yang tidak berbelit-belit dan dapat dengan segera memberi layanan yang cepat, menjadikan nelayan semakin menyukai masuk pada lingkaran tersebut, walaupun seringkali terdapat beberapa kerugian yang dialami oleh nelayan, terutama penentuan harga jual ikan hasil tangkapan nelayan yang hanya ditentukan secara sepihak oleh tengkulak sebagai pemberi modal.

            Untuk membangun kemampuan nelayan dalam hal penyediaan sarana dan permodalan dalam usaha penangkapan ikan, maka keterlibatan beberapa lembaga-lembaga keuangan sangat diperlukan  seperti koperasi dan bank-bank pemberi kredit pada saat yang tepat.  Selain itu juga diperlukan adanya suatu lembaga yang dapat ikut serta di dalam peningkatan kualitas SDM nelayan, dengan berbagai macam program diantaranya, pelatihan peningkatan keterampilan menangkap ikan, kemampuan berwirausaha yang baik dan benar serta beberapa kegiatan pemberdayaan masyarakat lainnya (Purwaka, 2000).

2.5  Analisis Usaha dan Industri Perikanan Laut

            Armada penangkapan ikan di Indonesia yang beroperasi di ketiga wilayah perairan laut seperti yang telah dikemukakan sebelumnya (perairan pantai, nusantara dan ZEEI) menurut data tahun 1995, masing-masing : nelayan tradisional (perahu tanpa motor sebesar 229.337 dan perahu motor tempel sebesar 77.779 buah), nelayan semi tradisional (perahu motor < 10 GT sebanyak 45.049), nelayan semi industri dan industri ( kapal motor > 10 GT sebanyak 7.003 buah).

 

 


           

 


Dengan melihat data pada Gambar 2, ternyata  armada penangkapan ikan yang beroperasi di perairan Indonesia, terutama pada perairan pantai masih didominasi (85%) oleh armada penangkapan yang relatif kecil atau tradisional.  Di lain pihak armada yang berukuran lebih be. sar untuk operasi penangkapan di luar perairan pantai (offshore) walaupun telah dilakukan penambahan dalam negeri tetap jumlahnya masih sangat kecil (15%). Karena investasi yang diperlukan termasuk relatif besar, menyebabkan perkembangannya sangat lamban, itupun didominasi oleh pengusaha asing kerjasama dengan pengusaha dalam negeri.  Beberapa informasi dan data juga menyebutkan, bahwa jumlah armada yang beroperasi di perairan Indonesia oleh kapal-kapal asing tanpa diketahui (tanpa surat izin usaha penangkapan) semakin meningkat, akibat lemahnya pengawasan dan penegakan hukum di laut dalam kekuasaan yurisdiksi Indonesia.  Hal demikian disebabkan oleh beberapa faktor, diantaranya: (1) Angkatan Laut Indonesia bersama dengan beberapa lembaga pengawasan yang terkait walaupun telah berusaha, namun karena jumlah armada yang digunakan untuk memantau luas wilayah perairan Indonesia yang demikian besar menyebabkan fungsi pengawasan dan penegakan hukum di laut tidak berjalan dengan baik, (2) Masih terdapat kelemahan dalam pemberian dan pengawasan izin usaha penangkapan ikan terutama kepada kapal-kapal asing, menyebabkan penambahan jumlah armada yang beroperasi oleh pemegang surat izin usaha penangkapan yang sama semakin meningkat tanpa dapat dimonitor dengan baik, dan (3) Hasil tangkapan yang diperoleh tidak menjadi keharusan untuk didaratkan pada salah satu Pangkalan Pendaratan Ikan atau Pelabuhan Perikanan di Indonesia sebelum dilakukan ekspor, bahkan di tengah laut dapat langsung dibawa ke luar negeri  menyebabkan jumlah dan jenis hasil tangkapan tidak dapat dipantau, bahkan menyebabkan kerugian negara yang demikian besar akibat pungutan pajak ekspor tidak didapatkan.

Untuk armada penangkapan ikan dengan kualifikasi besarnya armada > 10 GT (semi industri dan industri penangkapan) dengan jumlah 7.003 unit dapat dibagi menurut wilayah laut penangkapannya seperti disajikan pada Gambar 3.

 


 


Gambar 3 di atas, menunjukkan bahwa  pengadaan kapal-kapal penangkap ikan yang berukuran besar untuk tujuan dan daerah operasi penangkapan lepas pantai juga belum berjalan dengan baik atau belum mendapat perhatian yang serius.  Bahkan sebelumnya terdapat peraturan/kebijakan yang melarang pembelian langsung dari luar kapal-kapal yang berukuran lebih besar, dengan maksud untuk memajukan industri perkapalan dalam negeri.  Namun dalam kenyataannya industri perkapalan kita di Indonesia masih belum memiliki kemampuan yang besar untuk pengadaan tersebut, terutama disebabkan oleh kendala investasi dan permodalan.

Secara sederhana hubungan antara beberapa komponen yang terkait dalam pengembangan usaha perikanan tangkap di Indonesia, diperlihatkan pada Gambar 4.  Untuk melakukan usaha pembinaan dalam peningkatan kegiatan perikanan tangkap, maka minimal terdapat 5 komponen yang harus disinergikan secara bersama-sama untuk menghasilkan suatu proses percepatan pembangunan di bidang perikanan laut, khususnya perikanan tangkap, yaitu: unit pemasaran, unit sarana produksi, unit prasaran penangkapan ikan, unit usaha penangkapannya sendiri dan unit pengolahan.  Pembinaan tersebut, dapat dilakukan secara terpadu yang difasilitasi oleh pemerintah melalui berbagai kebijakan yang menunjang baik untuk program-program jangka pendek, jangka menengah dan jangka panjang secara jelas dan konsisten.

 

 

3. PEMBANGUNAN PERIKANAN TANGKAP KE DEPAN

Aspek Teleologi

Ada satu prinsip yang harus dipegang dalam kebijakan perikanan dan kelautan saat ini dan yang akan datang bahwa " Bagaimanapun juga nelayan Indonesia harus mampu menjadi tuan rumah di lautnya sendiri".  Untuk mencapai hal tersebut, maka harus diupayakan mentransformasi para nelayan tradisonal kita menjadi nelayan modern yang tangguh untuk memanfaatkan semua potensi sumberdaya ikan yang ada, yang sekaligus dapat memainkan peran ganda dalam membantu menjalankan fungsi pengawasan terhadap berbagai praktek ilegal yang dilakukan di laut, terutama oleh nelayan-nelayan kapal asing yang masih berseliwuran menangkap ikan di perairan Indonesia tanpa dapat dihentikan.

Dalam rangka memacu peran sektor perikanan di masa yang akan datang, maka pemerintah melalui Departemen Kelautan telah menetapkan empat misi, yakni : (a) peningkatan kesejahteraan masyarakat pesisir, perikanan dan kelautan khususnya nelayan dan petani ikan kecil, (b) peningkatan peran sektor perikanan dan kelautan sebagai sumber pertumbuhan ekonomi, (c) pemeliharaan dan peningkatan daya dukung serta kualitas lingkungan perairan, dan (d) terciptanya stabilitas persatuan dan kesatuan bangsa.

Untuk hal itu, secara terpadu pembangunan perikanan dan kelautan selanjutnya menetapkan beberapa target riil yang akan diupayakan pencapaiannya, yaitu :  (a) penerimaan devisa kelautan dan perikanan diharapkan dapat mencapai US$ 5 milyar pada tahun 2004, (b) sumbangan terhadap PDB diharapkan mencapai 5 %, (c) penerimaan negara dari bukan pajak (PNDP) penangkapan ikan akan mencapai Rp. 295 milyar serta PNBP penangkapan ikan di perairan ZEEI sebesar US$ 65 juta, (d) sumbangan terhadap pendapatan asli daerah (PAD) sebesar US$ 120 juta dari kegiatan penangkapan ikan.  Selain itu, ditargetkan peningkatan pemenuhan konsumsi ikan sebesar 21.93 kg/kapita/tahun serta penyerapan tenaga kerja sebesar 6.54 juta orang (Dahuri, 2001).  Harapan-harapan tersebut memang tidaklah mudah dicapainya dengan berbagai macam permasalahan mendasar yang masih tersimpan, namun dengan keyakinan dan kekuatan yang digalang dari semua pihak, maka sumberdaya perikanan laut Indonesia dengan keanekaragamann (diversity) yang melimpah dengan jumlah stok yang sangat besar akan tetap memberi harapan dan peluang yang sangat terbuka lebar untuk mewujudkan obsesi kita "Indonesia sebagai negara maritim bahkan dapat disebut sebagai benua maritim raksasa yang bangun dari tidurnya."

 

4.  KESIMPULAN

v     Pembangunan perikanan tangkap menuju ke depan dapat dilakukan dengan melibatkan semua komponen yang memiliki peran dalam ruang lingkup kebijakan pembangunan secara umum antar lembaga.

v     Departemen Kelautan dan Peikanan merupakan institusi yang bertanggung jawab langsung pada kebijakan pengelolaan dan pembangunan perikanan tangkap Indonesia dan dapat memberi kontribusi pada solusi pembangunan ekonomi bidang kelautan dan perikanan nasional di masa datang.

v     Pemanfaatan sumberdaya perikanan laut yang dilakukan melalui kegiatan perikanan tangkap oleh masyarakat perikanan dan kelautan, dapat dilakukan secara lestari dan berkelanjutan (sustainable resource exploitation) apabila didukung dengan kebijakan pengelolaan yang baik pada semua lapisan.

 

DAFTAR RUJUKAN

 

Anonim, 2001.  Undang-Undang Otonomi Daerah 1999 dan Petunjuk Pelaksanaan Undang-Undang Otonomi Daerah 2000.  Penerbit CV. Tamita Utama, Jakarta.

 

Dahuri, R., 2001.  Kebijakan Penertiban Izin Kapal Asing Di Perairan Zona Ekonomi Eksklusif Indonesia (ZEEI). Seminar Nasional 20 Oktober 2001, Diselenggarakan Oleh HIMASEPA IPB.  Jakarta.  9 hal.

 

Mann, K. H, dan  J.R.N. Lazier.,  1991. Dynamics of Marine Ecosystems, Biological-Physical Interactions in the Ocean.  Balckwell Scientific Publications.  Boston.

 

McClary, R.  Philosophy of Scince.  http://mrrc.bio.uci.edu/se10/philosophy.html

 

Nontji, A. 1987.  Laut Nusantara.  Penerbit Djambatan.  Jakarta

 

Purwaka, T.,  2000.  Pembangunan Sumberdaya Manusia Dalam Kaitannya dengan Pelaksanaan Otonomi Pengelolaan Kelautan di Daerah. Seminar Sehari, IPB, Bogor.

 

Saksono, A., 1998.  Kebijaksanaan Perikanan Nasional dan Persiapan Menyongsong Tahun 2003. Sarasehan Perikanan Nasional, IPB, Bogor.