© 2001  Djoko Setiono, SH., MA                                     Posted: 22 December 2001

Program Pasca Sarjana / S3

Institut Pertanian Bogor

December 2001

 

Dosen:

Prof Dr Ir Rudy C Tarumingkeng (Penanggung Jawab)

 

 

 

 

 

 

 

PERCEPATAN PEMBANGUNAN KAWASAN TIMUR INDONESIA:

Harapan dan Kenyataan

 

 

 

                                               

Oleh:

 

Djoko Setiono, SH., MA

Nrp: C-526010184

 

E-mail: djsetiono@yahoo.com

 

 

 

 

ABSTRACT

 

Inequality development and income distribution among Provinces, particularly between Eastern Indonesia (Kawasan Timur Indonesia) and Western Indonesia (Kawasan Barat Indonesia) were growing very fast and becoming worse to date.

Looking the above situation, the Central Government by every means trying to overcome, and putting the acceleration development of Eastern Indonesia through the development of Kawasan Pengembangan Ekonomi Terpadu (KAPET) as one of the national policy. It is hope by accelerating the development of Eastern Indonesia, will at least bring the benefit not only for Eastern Indonesia, but also for Western Indonesia and for the whole nations.

Nevertheless, the most prominent problems facing by the Central Government to date are, lack of financial for development. It is understood that the impact of the global recessions since 1997 has ruin the national economy and the revenue of the Central Government, which are important for capitalize the development to the whole country.

Therefore, the purpose of this paper is trying to give a perspective on how the development of Eastern Indonesia through KAPET and what policies should be taken into account by the Central and Local Government in order to speed up the development of Eastern Indonesia.

 

 

I.           PENDAHULUAN

 

1.1   Latar Belakang

 

     Secara administratif, Kawasan Timur Indonesia (KTI) meliputi 14 wilayah Propinsi yang membentang dari Kalimantan hingga Irian Jaya, kecuali Bali. Dilihat dari aspek geografis luas wilayah KTI mencakup hampir 70% wilayah Nusantara, dan hanya didiami oleh kurang lebih 20% total penduduk Indonesia. Sementara, Jawa, Bali dan Sumatera dengan luas wilayah kurang lebih 30% dari wilayah Nusantara dihuni oleh kurang lebih 80% total penduduk Indonesia.

     Dengan wilayah yang luas sebagai di atas, dan ditambah dengan melimpahnya kekayaan sumberdaya alam, maka sangat ironis sekali apabila KTI harus menghadapi ketertinggalan pembangunan dan rendahnya tingkat kesejahteraan masyarakat bila dibandingkan dengan Kawasan Barat Indonesia. Oleh sebab itu, percepatan pembangunan KTI merupakan agenda penting dalam proses pembangunan bangsa Indonesia. Selain untuk mengatasi persoalan ketimpangan pembangunan yang begitu lebar, upaya tersebut merupakan langkah strategis untuk membangun fondasi yang kokoh bagi pembangunan bangsa Indonesia di masa depan. Pentingnya misi pembangunan tersebut, didasarkan pada kenyataan bahwa beratnya permasalahan pembangunan yang dihadapi KTI, di satu pihak, dan besarnya potensi pembangunan yang ada di kawasan tersebut, di lain pihak.

     Atas dasar itu dan dalam upaya mengejar ketertinggalan pembangunan KTI tersebut, Pemerintah menetapkan Pembentukan Kawasan Pengembangan Ekonomi Terpadu melalui Keputusan Presiden Nomor: 89 Tahun 1996 sebagaimana telah diubah dan ditambah dengan Keputusan Presiden Nomor: 150 Tahun 2000 tentang Kawasan Pengembangan Ekonomi Terpadu (KAPET). Keputusan tersebut di atas merupakan langkah kebijakan Pemerintah untuk mengembangkan kawasan-kawasan andalan di setiap propinsi di KTI. Mengingat keterbatasan dana pembangunan, maka setiap Propinsi harus memilih sebuah kawasan andalan prioritas, yaitu suatu kawasan atau daerah yang dapat dengan cepat berkembang dan dengan sedikit dana investasi pemerintah.

KAPET ini selanjutnya diharapkan menjadi “pusat pertumbuhan” atau “Growth Centre”, yang pada gilirannya akan mampu merangsang pertumbuhan daerah-daerah sekitarnya (hinterlands) melalui apa yang dinamakan efek penetesan ke bawah atau “trickle down effects”. Keberhasilan pembangunan KAPET ini, diharapkan akan mampu menarik investor untuk menanamkan modalnya di KTI dan sekaligus berfungsi sebagai promosi bagi para investor yang belum menanamkan modalnya di KTI serta merangsang tumbuhnya bentuk-bentuk usaha pendukung lainnya.

 

1.2 Tujuan Penulisan

 

    Dengan mendasarkan pada kenyataan bahwa sumberdaya alam yang begitu melimpah di KTI, maka tujuan penulisan ini adalah untuk mengetahui:

 

1.     Apakah kebijakan Pemerintah dengan menetapkan dan melaksanakan pembangunan KAPET sebagai Growth Centre tersebut dapat diandalkan sebagai penggerak (prime mover) dan merangsang pertumbuhan daerah sekitarnya?

 

2.     Kebijakan apa sebaiknya diterapkan oleh Pemerintah dalam rangka percepatan pembangunan KTI dan sekaligus memberikan manfaat atau nilai tambah bagi peningkatan kehidupan masyarakat di KTI, yang pada gilirannya akan berimplikasi positif terhadap pembangunan nasional serta memperkokoh rasa persatuan dan kesatuan bangsa.

 

1.3  Sasaran

     Sasaran yang ingin dicapai dalam tulisan ini adalah ingin menunjukkan bahwa pembangunan KAPET tidak akan berhasil apabila kawasan di sekitar KAPET tidak dibangun secara bersamaan. KAPET mungkin saja akan dapat tumbuh dan berkembang, akan tetapi tidak mempunyai linkage dengan daerah sekitarnya. Pembangunan KAPET tanpa memperhitungkan pembangunan dan pengembangan hinterland-nya, hanya akan menciptakan dan melestarikan KAPET sebagai “economic enclave” di wilayah yang bersangkutan.

 

II.  KONDISI KTI DEWASA INI

 

    Seperti telah diuraikan di atas, KTI dengan luas wilayah sekitar 70% dari seluruh wilayah Indonesia, hanya dihuni oleh kurang lebih 20% total penduduk Indonesia. Namun demikian, tidak seorang-pun yang dapat membantah bahwa sumberdaya alam di KTI begitu besar. Bahkan, karena begitu besarnya, ada anggapan bahwa Indonesia di masa mendatang akan sangat tergantung pada KTI.

     Dengan perkataan lain, KTI merupakan sumber kehidupan dan penghidupan Indonesia di masa datang. Paradigma di atas bukannya tidak beralasan, sebab apabila melihat pada kenyataan yang ada, sumberdaya alam yang disediakan oleh KTI baik di Kalimantan, Sulawesi dan Maluku, Nusa Tenggara Timur sampai Irian Jaya, begitu melimpah ruah. Hanya saja pemanfaatannya belum dilakukan secara optimal, karena keterbatasan kuantitas dan kualitas sumberdaya manusia. serta kurangnya sarana dan prasarana yang tersedia.

     Di samping itu, potensi sumberdaya alam yang besar tersebut, sangat berkaitan erat dengan struktur ekonomi KTI yang memberikan gambaran bahwa selama ini pengelolaan sumberdaya alam di KTI lebih banyak pada proses (eksplorasi dan eksploitasi), sedangkan pengolahannya (baik sekunder ataupun tertier) kebanyakan dilakukan di luar KTI. Sebagai contoh, PT. Freeport Indonesia melakukan eksploitasi pertambangannya di Timika, akan tetapi proses pengolahannya dilakukan di Gresik, Jawa Timur.

     Oleh sebab itu, diperlukan upaya untuk meningkatkan investasi di KTI dan apabila diperlukan proses pengolahan lebih lanjut, maka hal itu harus dilakukan di daerah atau lokasi yang bersangkutan. Dengan demikian, pada gilirannya selain diharapkan dapat meningkatkan pembangunan ekonomi daerah yang bersangkutan, sekaligus dapat mendukung peningkatan ekonomi nasional, yang hingga saat ini dirasakan sangat lambat pertumbuhannya. Lambatnya arus investasi di KTI sehingga menyebabkan pembangunan KTI sangat tertinggal dibanding KBI dapat diindentifikasi beberapa faktor utama penyebabnya, antara lain yaitu: (1) terbatasnya sarana dan prasarana (infrastruktur) seperti transportasi darat, laut dan udara dan telekomunikasi, serta tersedianya tenaga listrik yang sangat berpengaruh terhadap berbagai aspek yang dapat mendorong pertumbuhan misalnya, mengurangi minat investor untuk menginvestasikan modalnya di KTI, meningkatnya biaya produksi, dan menurunkan daya saing produk yang dihasilkan oleh KTI; (2) terbatasnya sarana pendidikan dan tenaga pendidik yang berkualitas, yang berakibat terhadap rendahnya kualitas SDM yang sangat dibutuhkan untuk pembangunan KTI; (3) terbatasnya kewenangan pengambilan keputusan seperti di bidang perbankan, berbagai perijinan dan lain-lain di KTI, sehingga proses pengambilan keputusan memakan waktu lama karena harus diputuskan oleh Pusat. Di samping itu, hal ini menyebabkan tingginya biaya operasional dari para pengguna jasa tersebut; dan (4) kondisi social dan keamanan di beberapa daerah yang belum kondusif, telah menyebabkan keengganan investor untuk menanamkan modalnya di KTI.

     Akibat dari semua faktor sebagai di atas, menyebabkan produktivitas KTI sangat rendah. Dalam kondisi tidak ada hambatan dalam mobilitas, modal cenderung akan mengalir ke daerah yang terbelakang kemajuan perekonomiannya. Proses ini akan berlangsung hingga tercapai keseimbangan produktivitas modal antar daerah. Namun demikian, di negara-negara berkembang, modal bergerak ke arah yang sebaliknya. Pergerakan aliran modal berlangsung secara terus menerus ke daerah yang maju. Untuk mencegah timbulnya ketidakseim-bangan pembangunan yang makin besar, diperlukan re-alokasi investasi (yang besar) ke daerah yang tertinggal.

     Dalam melakukan re-alokasi investasi tersebut, khususnya di KTI tampaknya tidak sederhana, dan untuk itu, harus memenuhi beberapa kondisi; pertama, perlu penyiapan kondisi daerah sasaran untuk dapat menghasilkan produktivitas modal yang optimal, dalam arti efisien secara teknis maupun secara ekonomis. Kedua, peningkatan produktivitas modal tersebut dapat dicapai apabila mampu menstimulasi terjadinya aliran investasi yang berkelanjutan.  Di samping itu, beberapa factor seperti yang telah disebutkan di atas patut pula dipertimbangkan.
     Pertanyaan yang timbul adalah, apakah kedua criteria di atas dapat dipenuhi oleh KTI? Secara singkat, jawabannya adalah belum. Hampir di semua daerah di KTI dapat dikatakan tidak memiliki infrastruktur yang memadai seperti KBI. Padahal, untuk dapat menghasilkan produktivitas modal yang optimal dalam arti efisien secara teknis dan ekonomis, kebutuhan akan infrastruktur, seperti jalan raya, pelabuhan laut dan udara, sarana telekomunikasi dan lain-lain, merupakan kebutuhan yang mutlak. Kondisi di atas masih ditambah lagi dengan “masalah social dan keamanan” yang selalu dipertanyakan oleh setiap investor yang akan menanamkan modalnya ke KTI.
     Oleh sebab itu, tidak mengherankan apabila total Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) seluruh Propinsi di KTI pada tahun 1998 tercatat hanya sebesar 18,84% dari PDRB seluruh Propinsi Indonesia.[1] PDRB yang rendah di atas, merupakan pencerminan akan rendahnya tingkat investasi di KTI baik melalui PMA maupun PMDN.
     Secara kumulatif investasi PMA yang disetujui Pemerintah di KTI selama periode 1996/7 – 1999 tercatat sebesar 7, 68% dari total nilai investasi PMA yang disetujui Pemerintah. Demikian pula halnya dengan PMDN, tercatat hanya sebesar 15,18% selama periode yang sama.[2] Rendahnya produksi dan kebutuhan investasi di atas masih diperburuk lagi dengan rendahnya penyaluran kredit perbankan di KTI. KADIN Sulawesi Selatan melaporkan  bahwa “akses sumber dana melalui Perbankan dan Lembaga-lembaga Keuangan [di KTI] sangat terbatas [dan] dengan persyaratan-persyaratan yang berat”.[3] Lebih lanjut dilaporkan oleh KADIN Sulawesi Selatan bahwa sampai bulan Juni 2001, selisih dana simpanan rupiah dibandingkan dengan posisi kredit pada Bank Pemerintah, Bank Swasta maupun Bank Perkreditan Rakyat di KTI cukup signifikan seperti dapat dilihat dalam Tabel di bawah ini.[4]

 

Posisi Dana Simpanan Rupiah dan Posisi Kredit Rupiah Pada Bank Umum Menurut Daerah Propinsi se-KTI

Posisi Bulan Juni 2001 (dalam Rp. Miliar)

 

Propinsi

Posisi Dana Simpanan

Posisi Kredit

Selisih

KALBAR

        5,515

       1,790

    3,725

KALTENG

        1,974

          706

    1,268

KALSEL

        4,038

       1,734

    2,304

KALTIM

        9,450

       1,630

    7,820

SULUT

        3,194

       1,572

    1,622

SULTENG

        1,724

          733

       911

SULSEL

        8,983

       4,060

    4,923

SULTENGGR

        1,119

          460

       659

NTB

        1,973

       1,003

       970

NTT

        2,349

          703

    1,646

MALUKU

        1,710

          247

    1,463

IRJA

        3,357

          736

    2,621

 

 

    Kondisi seperti di atas, jelas tidak dapat dipertahankan dan dibiarkan berlangsung terus, karena selain akan memperlebar tingkat kesenjangan, juga dapat menyebabkan ketidakpuasan masyarakat di wilayah KTI, yang pada gilirannya dapat menekan rasa persatuan dan kesatuan bangsa. Di samping itu, daerah miskin dan terbelakang akan mengalami (1) banyak kesulitan dalam membangun sector industrinya dan memperluas kesempatan kerja. Akibatnya, pendapatan daerah dan pendapatan perkapita penduduknya berjalan sangat lambat serta masalah pengangguran menjadi bertambah serius; (2) kelambatan perubahan struktur ekonomi (tradisional) di daerah tersebut; (3) kesulitan di dalam mencari pekerjaan di daerahnya, sehingga menyebabkan mengalirnya tenaga kerja (terutama tenaga kerja yang produktif, dinamis dan berpendidikan) ke daerah yang lebih maju perekonomiannya.[5]
     Karenanya, diperlukan langkah-langkah untuk mempercepat pembangunan KTI dengan mengoptimalkan aktivitas ekonominya sehingga selain mampu berdaya saing, diharapkan pula akan mampu mengejar ketertinggalan pembangunan dan meningkatkan kesejahteraan masyarakatnya.

 

III.  PEMBANGUNAN GROWTH CENTRE

 

     Sebagaimana telah dikemukakan di atas bahwa, kondisi KTI sulit berkembang karena berbagai hambatan, sehingga mutlak diperlukan berbagai langkah atau kebijakan Pemerintah untuk mengatasi ketertinggalan pembangunan KTI. Dalam hubungan ini, sejak tahun 1996 yang lalu, Pemerintah Pusat telah mengeluarkan kebijakan untuk membangun Kawasan-kawasan Andalan atau Growth Centre di setiap Propinsi, yang diharapkan akan dapat menjadi ‘prime mover’ pembangunan di daerah yang bersangkutan sekaligus merangsang pertumbuhan daerah sekitarnya (hinterlands-nya).

     Namun demikian, sebelum menguraikan kebijakan yang dilaksanakan oleh Pemerintah dalam mengatasi masalah tersebut, terlebih dahulu akan diuraikan tentang Pusat Pertumbuhan atau Growth Centre, termasuk di dalamnya pendapat yang pro dan kontra terhadap konsep pembangunan ini.

 

a.  Growth Centre: Pro dan Kontra

 

     Untuk memajukan pembangunan daerah-daerah miskin dan terbelakang, telah menyebabkan munculnya kebutuhan untuk mencari jalan yang terbaik guna mempromosikan aktivitas perekonomian dan penciptaan lapangan kerja di daerah-daerah miskin dan terbelakang tersebut, dan sekaligus upaya untuk mengejar ketertinggalan pembangunan dan pengentasan kemiskinan. Salah satu respon atau jawaban Pemerintah Pusat untuk mengatasi permasalahan di atas, adalah melaksanakan strategi yang dinamakan pembangunan pusat-pusat pertumbuhan atau growth centre.[6]

     Meskipun pembangunan growth centre ini bukan lagi merupakan strategi yang baru, akan tetapi hingga saat ini selalu memperoleh perhatian yang sangat besar dari para pengambil kebijakan maupun perencana baik di negara maju ataupun negara-negara berkembang termasuk Indonesia. Bahkan, growth center dipercayai sebagai suatu strategi yang dapat mengatasi kesulitan dalam melaksanakan percepatan pembangunan daerah. Di samping itu, dengan pembangunan growth centre juga dimaksudkan untuk menarik perhatian para migran agar tidak menuju atau pergi ke kota-kota besar atau metropolitan.[7]

     Kebijakan pembangunan pusat-pusat pertumbuhan tersebut tidak saja popular (pada tahun 1970-an), akan tetapi juga sangat dominan dalam setiap kebijakan operational dalam perencanaan regional di negara maju maupun negara berkembang. Upaya yang banyak dilakukan untuk mening-katkan perekonomian daerah miskin dan kurang berkembang adalah dengan cara mengkonsentrasikan investasi terutama di bidang industri pada pusat-pusat pertumbuhan tersebut.

     Dengan cara ini diharapkan tidak saja daerah tersebut akan mampu tumbuh dan berkembang, akan tetapi juga mampu merangsang pertumbuhan daerah atau wilayah sekitarnya sebagaimana dinyatakan oleh pendukung kebijakan pembangunan pusat-pusat pertumbuhan di atas. Boudeville misalnya, menyatakan bahwa: “growth may be promoted in such regions by policies which plan the greatest possible efficiency the development of growth centers through mechanism of their propulsive industries”.[8] Lebih lanjut Boudeville mengatakan bahwa pengaruh dari ‘propulsive industries’ yang dihasilkan oleh pusat-pusat pertumbuhan tersebut terhadap pertumbuhan ekonomi regional yaitu: (1) dapat memberikan atau mampu meningkatkan hubungan atau jalinan ekonomi yang sudah ada di daerah tersebut; (2) dengan meningkatnya kemampuan produksi yang ada di daerah itu, akan mampu menarik lebih banyak lagi industri-industri baru untuk berlokasi di daerah tersebut.[9]

     Seperti telah diuraikan di muka, bahwa terhadap strategi ini banyak silang pendapat atau perdebatan di antara para ahli. Niles Hansen misalnya, mengatakan bahwa strategi di atas---khususnya di negara-negara berkembang---mengalami banyak hambatan atau kegagalan, antara lain disebabkan karena masalah ‘keuangan’ ternyata merupakan kendala yang terbesar bagi berhasilnya pembangunan pusat-pusat pertumbuhan tersebut.[10]

     Demikian pula halnya dengan Harry W. Richardson menyatakan bahwa banyak dari negara-negara berkembang yang meninggalkan konsep pembangunan ini karena ‘spread effects’ yang dihasilkan dan yang diharapkan mampu untuk mengembangkan daerah sekitarnya ternyata tidak pernah terwujud dan hanya menyerap sedikit sekali tenaga kerja.[11] Pendapat ini, didukung pula oleh Budhy Tjahjati S. Soegiyoko yang mendasarkan pengamatannya atas dampak pemba-ngunan industri di Lhok Seumawe, Aceh Utara terhadap lingkungan sekitarnya. Dari pengamatannya, keterkaitan antara industri besar tersebut dengan daerah sekitarnya dapat dikatakan tidak ada, sehingga hanya menjadikan pembangunan Lhok Seumawe sebagai ‘enclave’ dan terisolir dari wilayah sekitarnya. Lebih lanjut dijelaskan oleh Budhy bahwa, keadaan tersebut terjadi karena kehidupan masyarakat di sekitar Lhok Seumawe masih tetap berorientasi kepada ‘traditional agricultural sector’, sedangkan di Lhok Seumawe sendiri terbangun penuh dengan teknologi modern yang mempunyai karakteristik ‘capital intensive’.[12]

     Kondisi seperti yang dialami seperti di Lhok Seumawe di atas, juga dibenarkan oleh William G. Tyler yang menyatakan bahwa strategi ini (growth centre) hanya memperbesar ketimpangan dan perbedaan regional. Karena dalam kenyataannya, banyak industri-industri yang berada di dalam pusat-pusat pertumbuhan tersebut tidak mempunyai kaitan (linkage) dan mengisolir dengan tradisional sector yang ada di wilayah sekitarnya.[13]

     Berbagai permasalahan yang timbul berkenaan dengan pusat-pusat pertumbuhan di atas, telah mengundang pula pendapat beberapa ahli seperti misalnya, D.K Forbes yang mengatakan bahwa apabila tujuan pokoknya untuk mempromosikan kota-kota kecil dan mengembangkan daerah perdesaan, mengapa tidak melakukan investasi langsung di kota-kota kecil dan daerah perdesaan yang berada di sekitarnya.[14] Demikian pula halnya dengan Dennis A. Rondinelli yang mengatakan bahwa: “the development of small towns can play important role and have functions that not only can stimulate the economy of the rural hinterlands but also can function as centers of social transformation”.[15] Selain itu, dengan pembangunan kota-kota kecil tersebut, juga berusaha memperkuat hubungan atau keterkaitan antara urban-rural melalui pembangunan agro-based industries dan meningkatkan hasil-hasil pertanian.

     Harry W. Richardson dalam hal ini juga berpendapat bahwa pembangunan kota-kota kecil tersebut pada dasarnya adalah berusaha untuk memerangi atau mengatasi permasalahan secara langsung pada sumbernya dengan menciptakan kondisi yang menarik, yang pada gilirannya akan mampu mengurangi minat penduduk untuk meninggalkan kampung halamannya.[16] Seirama dengan pendapat tersebut, Sumitro Maskun juga berpendapat bahwa untuk menjembatani ketimpangan pembangunan antar daerah maupun desa-kota, perlu adanya pusat-pusat perencanaan pengembangan desa (rural center planning) yang mampu mendukung pembangunan desa secara terpadu terutama dari segi penetapan kebijakannya.[17]

     Namun demikian, dalam mengembangkan kota-kota kecil tersebut juga tidaklah mudah dan banyak hal-hal yang perlu diperhatikan. Harry W. Richardson misalnya, mengatakan bahwa ada beberapa hal yang sangat penting dan perlu diperhatikan dalam upaya pengembangannya, pertama yaitu economic development potential, kedua, yaitu inter-regional equity, dan yang ketiga, yaitu location and spatial consistency.[18] Sementara itu, Sumitro Maskun dalam hal ini menekankan perlunya untuk mempertimbangkan sumber daya alam yang terdapat di daerah sekitarnya (perdesaan) yang dapat mendukung tidak saja ekonominya, akan tetapi juga pertumbuhan skill yang dimiliki oleh masyarakat perdesaan yang bersangkutan.[19] Ditambahkannya lebih lanjut bahwa, dengan melihat hampir 80% desa-desa di Indonesia masih bersifat agraris (pertanian), hendaknya industri yang akan ditumbuhkan adalah industri yang mudah berkembang dan dapat memenuhi kebutuhan ekonomi masyarakat desa seperti misalnya, jenis industri yang mengolah hasil-hasil pertanian dan bilamana perlu tidak perlu mengolah hinga barang jadi tetapi cukup setengah jadi tergantung tingkat teknologi yang dimilikinya.[20] Barangkali hal ini pula yang menyebabkan Dennis A. Rondinelli mengatakan: “…if these cities are given appropriate concentrations of investment, they will perform more complexs economic and social functions”.[21] Dalam kaitan ini, perlu dicatat bahwa dengan menumbuhkan industri-industri di kota-kota kecil atau perdesaan tersebut, tidak berarti akan mengurangi atau melemahkan industri-industri yang ada diperkotaan (atau di dalam Growth Centre), akan tetapi sebaliknya dapat memperkuat kondisi keduanya karena akan saling melengkapi dan mendukung satu sama lain.

 

b.     Kebijakan Pemerintah

     Lebih dari tiga dasawarsa, Pemerintah melaksanakan program pembangunan nasional, telah banyak kemajuan dan manfaat yang dapat dirasakan oleh masyarakat banyak. Namun demikian, dibalik keberhasilan tersebut, masih banyak pula berbagai kekurangan dan kelemahan yang menyertainya. Salah satu kekurangan dan kelemahan di tengah-tengah pertumbuhan pembangunan yang begitu pesat tersebut, adalah terjadinya pertumbuhan yang tidak seimbang antar sector, kesenjangan ekonomi antar golongan penduduk dan kesenjangan pembangunan antar wilayah.

     Secara regional, kesenjangan pembangunan tersebut terjadi antara Kawasan Timur Indonesia (KTI) dengan Kawasan Barat Indonesia (KBI). Pengurangan kesenjangan pembangunan antar wiliyah atau kawasan sebagai di atas akan sulit dilakukan apabila proses perkembangan dibiarkan tanpa adanya intervensi pemerintah. KTI yang sudah tertinggal akan semakin tertinggal apabila tidak ada upaya yang sungguh-sungguh dari pemerintah untuk mengatasinya. Atas dasar itu, maka pada tahun 1996 Pemerintah mengeluarkan kebijakan pengembangan KTI meliputi: (1) Kawasan Pengembangan Ekonomi Terpadu (KAPET) di KTI; (2) Pemberian Insentif Investasi; dan (3) Pengembangan Komoditas Tertentu.[22]

b.1     Pengembangan KAPET.

     Salah satu kebijakan pengembangan KTI yang diputuskan adalah mengembangkan satu kawasan andalan di setiap propinsi yang disebut Kawasan Pengembangan Ekonomi Terpadu (KAPET).[23] KAPET ini diharapkan dapat menjadi ‘Pusat Pertumbuhan’ yang pada gilirannya mampu merangsang pertumbuhan wilayah sekitarnya (hinterlands) melalui apa yang disebut ‘trickle down effects’. Pada KAPET-KAPET tersebut akan diprioritaskan upaya-upaya pembangunan baik berupa pengembangan infrastruktur, pengembangan sumberdaya alam, pengembangan sumberdaya manusia dan pengembangan kelembagaan.

     Sesuai dengan maksud di atas, pendekatan pengembangan KAPET dilakukan melalui (1) pendekatan yang berorientasi pada sumberdaya (resources based oriented); (2) pendekatan yang berorientasi pada keunggulan ilmu pengetahuan dan teknologi (knowledge based); (3) pendekatan yang meletakkan manusia sebagai pusat pembangunan (people centered approach).[24] Selanjutnya, melalui pendekatan tersebut, maka pengembangan KAPET diarahkan sebagai:

(1)  Kawasan yang mempunyai kegiatan ekonomi yang dapat menggerakkan pertumbuhan (prime mover) daerah;

(2)  Kawasan yang mempunyai keterkaitan kuat dengan daerah lain, meliputi keterkaitan produksi, pemasaran dan transportasi;

(3)  Kawasan yang memiliki infrastruktur yang relatif lebih baik.

 

b.2  Pemberian Insentif Investasi.

     Keberhasilan percepatan pembangunan KTI sangat tergantung pada pemanfaatan sumberdaya alam yang melimpah, mengolah dan memasarkan produk-produk tersebut. Namun demikian, perlu dicatat bahwa kegiatan sebagai di atas memerlukan dana investasi yang besar. Dengan keterbatasan dana yang dapat disediakan oleh Pemerintah, maka perlu diupayakan untuk memberikan rangsangan kepada dunia usaha dan masyarakat. Rangsangan tersebut antara lain berupa pemberian bermacam-macam insentif atau kemudahan-kemudahan kepada dunia usaha maupun masyarakat untuk menanamkan modalnya di KTI.

     Insentif-insentif sebagai di atas, dapat dikelompokkan kedalam (1) Insentif yang berbentuk subsidi; (2) Insentif yang berupa keringanan pajak; (3) Insentif yang berupa kemudahan administrasi; (4) Insentif yang berupa pemberian kredit; dan (5) Insentif untuk menanggulangi mobilitas SDM.

 

b.3  Pengembangan Komoditas Potensial.

     Dari identifikasi sumberdaya alam yang terdapat di KTI, diperoleh data bahwa paling tidak ada 7 (tujuh) sector (ekonomi) andalan yang dapat dikembangkan, antara lain yaitu: sector pertanian tanaman pangan dan hortikultura, perkebunan, perikanan, kehutanan, pariwisata, pertambangan dan industri. Apabila potensi sector ekonomi pada masing-masing KAPET tersebut dijabarkan, maka gambarannya adalah sebagai berikut:

 

KAPET

1

2

3

4

5

6

7

Sanggau

 

X

 

X

X

 

 

Sejuta Lahan

X

 

 

X

 

 

 

Batulicin

 

X

X

X

X

X

X

Sasamba

 

X

X

X

X

X

X

Manado.Bitung

 

 

X

 

 

X

X

Batui

X

X

X

 

 

 

X

Pare-Pare

X

X

X

 

 

 

X

Bukari

X

X

X

 

 

X

 

Seram (MAL)

 

X

X

X

X

X

 

Biak (IRJA)

 

 

X

 

 

X

X

Bima (NTB)

X

X

X

 

 

 

X

Mbay (NTT)

X

 

X

 

 

 

X

Jumlah

7

9

 

 

4

7

7

 

Catatan: Dikutip dari Hermawan Prasetya dan Aunur Rofiq Hadi, ‘Strategi Pengembangan Ekonomi Terpadu (KAPET) Di Kawasan Timur Indonesia’. Table 9.2, dalam Djarwadi, Hermawan Prasetya, dan Sugeng Triutomo, Menoleh Ke Timur: Pemikiran Kebijakan Pengembangan Kawasan Timur Indonesia.Sekteratiat DP-KTI.

Keterangan: 1=Pertanian Tanaman Pangan, 2=Perkebunan, 3=Perikanan, 4=Kehutanan, 5=Pertambangan, 6=Pariwisata, 7=Industri.

 

     Dari uraian di atas, secara singkat dapat disimpulkan bahwa kebijakan pengembangan KTI terutama melalui pengembangan KAPET-KAPET tersebut adalah:

 

a.      Mempercepat pertumbuhan pembangunan KTI dengan memusatkan aktivitas kegiatan perekonomian dengan mengembangkan sector-sektor unggulan pada KAPET, yang diharapkan akan dapat menjadi ‘prime mover’ pembangunan daerah, serta diharapkan akan dapat menggerakkan perekonomian daerah sekitarnya.

 

b.     Merupakan keserasian antara kebijakan yang menekankan pertumbuhan dan pemerataan, termasuk mengembangkan keterkaitan (linkages) dengan daerah sekitarnya dalam upaya pemerataan pembangunan;

 

c.      Pemberian insentif investasi sebagai bagian upaya pemerintah untuk merangsang dunia usaha untuk menanamkan modalnya di KTI.

 

     Namun demikian, apabila melihat perkembangan pembangunan KAPET-KAPET sebagai di atas sejak dicanangkan oleh Pemerintah pada tahun 1996 yang lalu hingga sekarang ini, ternyata antara harapan dan kenyataan yang ingin diwujudkan sangat jauh berbeda. Pembangunan KAPET berjalan dengan sangat lambat, bahkan beberapa diantaranya yang hingga saat ini tidak mampu berkembang atau mengembangkan dirinya untuk menjadi ‘prime mover’ pembangunan daerahnya. Mengapa demikian, dan bagaimana seharusnya, serta langkah-langkah apa yang diperlukan, akan diuraikan dalam paparan berikut ini.

 

 

IV.          PELAKSANAAN PEMBANGUNAN KAPET.

a.  Realita Pembangunan KAPET.

Seperti telah dikemukakan dalam uraian di atas bahwa dalam perjalanannya, pembangunan KAPET-KAPET tersebut ternyata tidak seperti yang diidam-idamkan. KAPET-KAPET yang ada belum atau tidak tumbuh berkembang dengan baik, apalagi hinterlandnya, belum tersentuh sama sekali guna  mendukung pembangunan KAPET-KAPET dimaksud. Ini menunjukkan bahwa ada sesuatu yang tidak benar di dalam pelaksanaannya.

Apabila diperhatikan ternyata banyak sekali faktor-faktor penyebabnya. Namun demikian, dalam hal ini tidak akan diuraikan berbagai faktor yang menjadi penyebabnya, dan  hanya akan diuraikan beberapa faktor yang dianggap dominan, antara lain:

1)     Kurangnya atau tidak adanya ‘keberpihakan’ (affirmative actions) dari Pemerintah Pusat bersama lembaga-lembaga dibawahnya (Departemen/Instansi) dalam mendukung pengembangan KAPET. Seperti telah diuraikan pada bagian terdahulu, salah satu tanggung jawab Pemerintah Pusat adalah membangun sarana dan prasarana (infrastruktur) yang sangat diperlukan bagi pengembangan KAPET. Tanpa tersedianya infrastruktur yang memadai seperti, fasilitas pelabuhan laut maupun udara, telekomunikasi, jalan, dan lain-lain, maka dapat dipastikan selain menghambat pengembangan KAPET, juga akan sangat sulit untuk dapat menarik investor agar menanamkan modalnya, sekalipun Pemerintah Pusat telah mengeluarkan serangkaian kebijakan pemberian insentif fiscal dan non fiskal bagi investor yang akan menanamkan modalnya di KAPET.

2)     Hingga saat ini hampir semua KAPET telah meminta (bahkan ‘merengek-rengek’) kepada Pemerintah Pusat agar dapat dibangunkan pelabuhan laut, jaringan jalan raya dan telekomunikasi, maupun tenaga listrik yang sangat diperlukan bagi pengembangan KAPET, namun hasilnya dapat dikatakan tetap nihil. Sebagai contoh, KAPET MBAY di Nusa Tenggara Timur, telah meminta Pemerintah Pusat agar dapat membantu pembangunan infrastruktur, seperti pembangunan fasilitas pelabuhan laut, jaringan jalan raya, telekomunikasi maupun tenaga listrik, namun demikian, hingga saat ini belum terwujud. Demikian pula dengan KAPET Manado-Bitung, yang pada saat ini telah mengadakan kerja sama pengangkutan barang (kontainer) dengan Singapura, tidak dapat berjalan dengan baik, bahkan pada akhirnya terhenti setelah berjalan tiga kali pengangkutan, karena Perusahaan Jakarta Loyd (BUMN) menyatakan tidak bersedia lagi untuk menyediakan kapal pengangkut, dengan alasan mengalami kerugian, mengingat jumlah kontainer yang diangkut tidak memenuhi requirement seperti yang telah dijanjikan.

3)     Serupa dengan kasus di atas, KAPET Pare-Pare yang saat ini sudah mengadakan perjanjian kerja sama dengan TAWAO (Sabah, Malaysia) untuk pembelian beras sebanyak 600.000 Ton/bulan, Jagung sebanyak 300.000 Ton/bulan, Bawang Merah sebanyak 5.000 Ton/minggu, dan lain-lain, tidak mendapat ‘dukungan sarana kapal pengangkut’ sekalipun telah meminta dukungan Departemen Perhubungan untuk dapat mengusahakan kapal-kapal pengangkutan dari perusahaan-perusahaan pelayaran di bawah koordinasinya. Keadaan KAPET Pare-Pare di atas, diperburuk lagi dengan tidak adanya dukungan dari Departemen Pertanian, khususnya berkenaan dengan ‘bangunan gedung Karantina Hewan’ yang terletak di dalam lokasi pelabuhan yang mengganggu jalan masuk dan keluar Pelabuhan Pare-Pare. Kantor Karantina Hewan di Pare-Pare hanya memberi ijin penggunaan sebagian lahan kepada Pelabuhan Pare-Pare dalam waktu 5 (lima) tahun, sedangkan dari Depertemen Pertanian Pusat hanya memberi ijin selama 2 (dua) tahun. Padahal pihak Pemerintah Kotamadya (Walikota) bersedia untuk mengadakan ruislaag (tukar guling) bangunan tersebut dengan tanah Pemerintah Kotamadya sekaligus pembangunannya dengan biaya Pemerintah Kotamadya.

4)     Demikian pula halnya dengan Pertamina, khususnya mengenai ‘harga’ untuk bahan bakar bagi kapal yang akan berlayar lintas batas. Pertamina tetap mengenakan ‘tarif internasional’ bagi kapal-kapal berbendera Indonesia yang akan berlayar melintasi batas wilayah dan tidak bersedia memberikan harga yang sama dengan harga bagi keperluan pelayaran lokal.

 

Dari gambaran singkat di atas, dapat dilihat bahwa selain tidak adanya ‘keberpihakan’ dari pemerintah pusat, di samping tidak konsistennya kebijakan mengenai pengembangan KAPET. Kondisi tersebut, masih ditambah lagi, dengan tidak adanya koordinasi maupun dukungan dari Departemen/instansi terkait.

Barangkali, hal ini dapat dimengerti, apabila melihat kondisi keuangan Pemerintah Pusat semenjak terjadinya krisis ekonomi yang berkepanjangan. Seperti diketahui bahwa kondisi keuangan Pemerintah Pusat sebagaimana yang telah diajukan dan disetujui oleh Dewan Perwakilan Rakyat (DPR), Pemerintah Pusat akan mengalami defisit kurang lebih sebesar Rp. 43 Triliun atau 2,5% dari Produk Domestik Bruto (PDB). Sementara itu, perkiraan penerimaan negara sebesar Rp. 291,4 Triliun, sedangkan pengeluaran sebesar Rp. 334,4 Triliun.[25] Defisit sebagai di atas, akan ditutup dari pembiayaan dalam dan luar negeri. Dari dalam negeri, akan diusahakan dari hasil privatisasi Badan Usaha Milik Negara dan penjualan aset-aset di bawah pengawasan Badan Penyehatan Perbankan Nasional. Sedangkan dari luar negeri, dana diharapkan akan didapat dari pinjaman baru CGI sekitar Rp. 34,7 Triliun atau di dapat dari fasilitas penundaan pembayaran hutang luar negeri Indonesia melalui Paris Club III, yang jumlahnya diperkirakan akan mencapai sebesar Rp. 17, 6 Triliun.

Sementara itu, total kewajiban hutang yang harus dibayar oleh Pemerintah Indonesia pada tahun anggaran 2002 diperkirakan akan mencapai sebesar Rp. 120 Triliun atau meningkat dibandingkan tahun anggaran 2000 sebesar Rp. 109 Triliun, yang terdiri dari kewajiban hutang luar negeri sebesar Rp. 60 Triliun dan hutang dalam negeri sebesar Rp. 60 Triliun. Kewajiban hutang luar negeri tersebut terdiri dari cicilan pokok sebesar Rp. 40 Triliun dan bunga sebesar Rp. 20 Triliun. Sedangkan kewajiban hutang dalam negeri merupakan kewajiban pembayaran bunga obligasi sebagai akibat penerbitan surat hutang dalam restrukturisasi perbankan oleh pemerintah sebesar Rp. 630 Triliun pada tahun 1999 dan 2000. Persoalan ini tidak akan dibahas lebih lanjut dalam paper ini. Hal ini, semata-mata hanya dimaksudkan untuk menunjukan betapa berat kondisi keuangan dan beban yang harus ditanggung oleh Pemerintah, yang pada gilirannya akan sangat berpengaruh bagi kelanjutan pembangunan nasional terutama pembangunan KTI.

 

b.  Langkah-langkah Yang Diperlukan.

Dengan situasi keuangan Pemerintah Pusat seperti di atas, pada dasarnya menuntut semua pihak baik Pemerintah Pusat, Pemerintah Daerah, Swasta dan masyarakat untuk mengupayakan sumber pembiayaan pembangunan KTI yang berkesinambung. Dengan potensi sumberdaya alam KTI yang begitu besar, sebenarnya memberikan peluang yang besar bagi KTI untuk membiayai pembangunannya sendiri. Peluang tersebut semakin besar dalam era otonomi daerah dewasa ini. Pemberian wewenang otonomi daerah secara luas, nyata dan bertanggung jawab yang diikuti dengan sistem perimbangan keuangan antara pusat dan daerah, pada dasarnya kebutuhan pembangunan daerah di KTI dapat dioptimalkan untuk penyediaan pelayanan publik sesuai dengan kebutuhan.

1.     Untuk mengoptimalkan potensi sumberdaya yang besar tersebut sehingga mampu berperan dalam pengembangan perekonomian di KTI dan sekaligus untuk mengurangi ketimpangan pembangunan, diperlukan langkah-langkah kebijakan yang mampu mengakumulasi dan mengerahkan dana dari semua sumber untuk membiayai kebutuhan pembangunan di kawasan tersebut.

 

2.     Dengan melihat kondisi yang ada di KTI, maka langkah pokok yang perlu dilakukan adalah:

·        upaya yang dapat mengerahkan dan mengalokasikan dana pembangunan bagi penyediaan infrastruktur kebutuhan dasar masyarakat yang sekaligus dapat memperluas kesempatan kerja.

·        perlu dikembangkan dan ditingkatkan peranan lembaga perbankan daerah, dalam hal ini Bank Pembangunan Daerah (BPD), secara proaktif difungsikan sebagai lembaga guarantor untuk pemberian kredit sehingga disparitas hubungan antara tabungan masyarakat dengan kredit yang disalurkan kepada masyarakat tidak terjadi di masa yang akan datang, dengan tetap memperhatikan prinsip-prinsip prudential banking. Akan tetapi yang jelas, upaya-upaya mempermudah akses antara dunia usaha dan perbankan mutlak harus dilakukan.

·        dalam kaitannya dengan keterbatasan modal yang dimiliki oleh BPD, pada dasarnya dapat diatasi dengan memberikan tambahan atau suntikan modal baik dari penyertaan modal perbankan swasta nasional atau dari kredit komersial luar negeri yang diusahakan oleh pemerintah daerah.

·        tidak kurang pentingnya dalam hal ini adalah peningkatan profesionalisme BPD dalam memberikan pelayanan kepada masyarakat yang memerlukan, dalam arti BPD harus mampu mengembangkan pelayanannya hingga ke tingkat desa.

3.     Di samping itu, penyediaan sarana dan prasarana, baik untuk kebutuhan dasar masyarakat maupun peningkatan aktivitas produksi serta pemasaran memerlukan keterlibatan semua komponen, baik pemerintah pusat, pemerintah daerah, swasta maupun masyarakat, sesuai dengan peran dan tanggung jawab masing-masing.

 

·        Pemerintah Daerah,

-         Sebagai pihak yang lebih memahami dan mengetahui kebutuhan pelayanan masyarakat di daerahnya, diharapkan mampu memberdayakan sumber-sumber pembiayaan pembangunan yang dapat memberikan pelayanan publik secara optimal, di samping harus mampu pula dalam meningkatkan nilai tambah kekayaan sumber daya daerah secara berkesinambungan.

-         Ini mengandung arti bahwa dana pembangunan daerah (APBD) tidak hanya diarahkan untuk memenuhi kebutuhan pelayanan bagi penduduk yang ada saat ini, tetapi juga harus dialokasikan guna memperbesar kekayaan daerah yang dibutuhkan oleh generasi pada masa yang akan datang.

-         Untuk tercapainya tujuan tersebut, keuangan daerah harus mampu berfungsi sebagai instrumen kebijakan dan instrumen manajemen pembangunan daerah. Melalui kedua fungsi tersebut diharapkan bahwa dana pembangunan daerah mampu meningkatkan pembangunan daerahnya sendiri dengan memberdayakan secara maksimal peran serta swasta dan masyarakat dalam pembangunan serta memadukan pembangunan daerahnya dengan percepatan pembangunan KTI.

 

·        Pemerintah Pusat,

-         sebagai wujud “keberpihakan (affirmative actions)” dan sesuai dengan kewenangan yang dimilikinya, harus mampu mengalokasikan dana secara tepat sasaran dalam mendorong pembangunan di setiap daerah, dan sekaligus untuk merekat pembangunan antar daerah tersebut menjadi suatu kawasan yang terintegrasi.

-         Efisiensi dan efektivitas pemanfaatan dana yang bersumber dari pemerintah pusat tersebut, selain membutuhkan kerangka kebijakan percepatan pembangunan KTI yang tepat, juga memerlukan adanya koordinasi dan komitmen bersama dari semua jajaran pemerintahan di pusat untuk berupaya mensukseskan tujuan pembangunan tersebut. Oleh sebab itu, adanya keberpihakan dari setiap jajaran pemerintahan pusat untuk mengimplementasikan kebijakan yang secara langsung maupun tidak langsung dapat mempercepat pembangunan KTI, sangatlah penting artinya.

-         Selain itu, peranan penting dari alokasi dana pembangunan pemerintah tersebut juga harus mampu menjadi daya tarik bagi swasta dan masyarakat untuk berperan dalam membiayai percepatan pembangunan KTI. Partisipasi swasta dan masyarakat tersebut dibutuhkan dalam berbagai bentuk yang saling menguntungkan. Dalam hal ini, dana tersebut dikerahkan dan dialokasikan untuk memenuhi kebutuhan sumber modal usaha bagi masyarakat atau pihak-pihak yang memerlukan, dan juga untuk membiayai investasi kegiatan produksi serta penyediaan infrastruktur.

-         Tidak kalah penting artinya dalam hal ini adalah bahwa dalam merealisasikan dan meningkatkan peran serta swasta dan masyarakat dalam percepatan pembangunan KTI, yaitu selain perlunya implementasi kebijakan yang tepat (eksternalitas investasi bagi swasta dan masyarakat), juga harus didukung oleh pelayanan jasa perbankan yang kondusif. Untuk itu, perlu dilakukan kebijakan yang dapat menjadikan perbankan (terutama yang beroperasi di KTI) mampu menjadi “agent” pembangunan dalam percepatan pembangunan KTI. Sesuai dengan semangat otonomi daerah saat ini, pemberdayaan ‘lembaga perbankan daerah’ sebagai agent pembangunan daerah harus ditingkatkan. Sehingga, keberpihakan pemerintah untuk memberdayakan perbankan daerah di KTI merupakan salah satu langkah yang harus dilakukan dalam percepatan pembangunan kawasan tersebut. Bahkan, bilamana mungkin, dana simpanan masyarakat yang tersimpan pada Bank-bank di KTI dapat dialokasikan kembali seluruhnya untuk kepentingan pembangunan KTI dan tidak ditarik ke Pusat.

 

4.     Dalam kaitannya dengan pembangunan KAPET, barangkali benar apabila Pemerintah Pusat seharusnya terlebih dahulu memberikan perhatian bagi pembangunan kawasan di sekitar KAPET. Hal ini bukan berarti pembangunan KAPET harus ditinggalkan. Pembangunan KAPET tetap berjalan sesuai dengan kemampuan keuangan yang dapat disediakan. Dasar pemikirannya adalah, apabila kawasan pendukungnya tidak dibangun, maka pembangunan KAPET akan sama saja tidak ada artinya. Oleh sebab itu, kebutuhan untuk melaksanakan pembangunan atau memperkuat pertumbuhan kawasan di sekitar KAPET, tampaknya mutlak perlu dilakukan, agar tidak mengalami kejadian sebagaimana dialami oleh KAPET Manado-Bitung yang tidak mampu memenuhi requirement produk yang akan dijual ke Singapura. Dengan perkataan lain pembangunan KAPET harus seiring dengan pembangunan perdesaan di sekitar KAPET.

Selama ini, banyak anggapan bahwa desa atau perdesaan adalah lambang kemiskinan, keterbelakangan dan kebodohan, haruslah dihilangkan. Dengan melakukan pembangunan daerah perdesaan di wilayah KAPET diharapkan selain akan dapat memberikan dukungan kepada KAPET juga akan berdampak bagi kemajuan ekonomi masyarakat di daerah perdesaan tersebut. Meskipun banyak pendapat negatif mengenai pembangunan desa, seperti yang dikatakan oleh Richard Rodha bahwa pembangunan desa hanya akan membawa penderitaan dan menambah kesengsaraan masyarakat desa.[26] Pendapat seperti ini, jelas tidak dapat dibenarkan. Sri-Edi Swasono misalnya mengatakan bahwa penderitaan dan kesengsaraan masyarakat desa pada dasarnya terjadi karena pihak yang miskin atau lemah posisi ekonominya, tidak mampu menahan nilai tambah atas produk primer yang dihasilkannya karena tersedot oleh pihak lain yang kuat ekonominya.[27] Di samping itu, keadaan tersebut juga dikarenakan adanya pemusatan dana-dana dari daerah ke pusat dalam jumlah yang besar, sehingga mengurangi kemampuan daerah untuk memupuk kekuatan ekonominya dalam menghadapi penyempitan-penyempitan.[28] Labih lanjut dikatakan oleh yang bersangkutan bahwa “…proses kemiskinan bukan saja dapat terjadi dalam artian si miskin menjadi lebih miskin secara absolut, tetapi juga dalam artian melebarnya kesenjangan dan ketidakadilan dalam pembagian nilai tambah secara mencolok”.[29]

Dalam hubungan ini, tampaknya sangat menarik untuk menggarisbawahi yang dikatakan oleh bekas Presiden Tanzania, Julius Nyerere dalam World Conference On Agrarian Reform and Rural Development, pada tahun 1979, bahwa “…an effective attack on world poverty can only be made by going directly to the rural areas and dealing with the problems…A policy of rural development is a policy of national development”.[30]

Pendapat ini senada dengan pendapat Sumitro Maskun yang mengatakan bahwa pembangunan desa secara langsung akan menyentuh kepentingan masyarakat desa yang paling dasar dan manfaatnya dapat dirasakan oleh setiap anggota masyarakat.[31] Namun demikian, untuk melaksanakan pembangunan perdesaan tersebut diperlukan upaya-upaya antara lain: (1) adanya keinginan (political will) dari pemerintah untuk melihat desa sebagai sasaran utama dan merupakan prioritas dalam pembangunan nasional; (2) adanya perencanaan pembangunan yang mempunyai dampak langsung terhadap pengurangan kemiskinan yang masih dialami oleh sebagian besar masyarakat di perdesaan; (3) pengadaan sarana utilitas dan fasilitas social ekonomi perdesaan seperti listrik, jalan dan lain-lain perlu ditingkatkan; (4) perlu diberikan bantuan teknis bagi mekanisme kehidupan perdesaan, baik yang berupa dana maupun bimbingan, penyuluhan serta pendidikan keterampilan; (5) perlu diberikan perlindungan terhadap hasil-hasil pembangunan pertanian yang telah ada di persedaan yang berupa perlindungan terhadap persaingan, pemasaran, harga dan kualitas produksi, dan lain-lain.[32]

Dengan demikian, apabila kondisi perdesaan (atau kota-kota kecil) di wilayah KAPET dapat terbangun dengan baik maka dukungan terhadap KAPET akan sangat besar sekali. Dengan perkataan lain pembangunan KAPET akan berhasil apabila pembangunannya dilakukan secara serentak dengan pembangunan wilayah sekitarnya.

 

V.     KESIMPULAN DAN SARAN.

 

    Percepatan pembangunan KTI merupakan kebijakan pembangunan nasional yang mempunyai implikasi terhadap penciptaan fondasi pembangunan secara kokoh bagi peningkatan kesejahteraan bangsa Indonesia secara keseluruhan. Salah satu kebijakan yang ditempuh oleh Pemerintah Pusat untuk mempercepat pembangunan KTI adalah dengan melaksanakan pembangunan ‘kawasan andalan’ di setiap Propinsi atau yang dinamakan Kawasan Pengembangan Ekonomi Terpadu (KAPET). Pembangunan KAPET tersebut diharapkan dapat menjadi ‘prime mover’ bagi pembangunan KTI dan mampu memberikan rangsangan kepada wilayah sekitarnya (hinterland) untuk tumbuh dan berkembang melalui apa yang dinamakan ‘trickle down effects’. Untuk mencapai misi pembangunan tersebut merupakan pekerjaan yang besar dan membutuhkan dana yang ‘tidak sedikit’. Dalam kondisi perekonomian Indonesia dewasa ini, maka beban yang harus ditanggung Pemerintah Pusat tampaknya semakin berat. Sehingga, diperlukan pengerahan dan pengalokasian dana dari semua sumber untuk percepatan pembangunan KTI secara efisien dan efektif.

     Dalam memdayagunakan dana dari setiap sumber pembiayaan pembangunan, diperlukan langkah konkrit dari Pemerintah Pusat untuk memfungsikan keuangan pemerintah tersebut sebagai instrumen kebijakan dan instrumen manajemen pembangunan daerah yang terekat dalam pembangunan KTI serta pembangunan nasional secara keseluruhan. Artinya, pembiayaan pembangunan yang bersumber dari pemerintah tersebut harus mampu memberikan pelayanan masyarakat secara maksimal yang mencakup penyediaan pelayanan kebutuhan dasar dan penciptaan kondisi untuk mendorong peranserta swasta dan masyarakat dalam pembangunan.

     Sesuai dengan semangat otonomi daerah, pembiayaan pembangunan yang bersumber dari daerah diharapkan mampu menjadi motor penggerak utama bagi percepatan pembangunan KTI. Pemerintah daerah harus mampu mengelola keuangan daerah yang dapat memaksimalkan pembangunan di daerahnya serta sekaligus mensinkronisasikan pembangunan tersebut untuk percepatan pembangunan KTI.

     Oleh sebab itu, di dalam melaksanakan pembangunan KAPET sangat diperlukan adanya koordinasi yang kuat antara Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah, serta melibatkan peranan Swasta dan masyarakat. Satu hal yang perlu dicermati oleh para pembuat kebijakan yaitu agar dalam membangun KAPET hendaknya sekaligus pula dilakukan pembangunan kawasan di sekitar KAPET. Sebab, apabila kawasan di sekitar KAPET tidak dibangun maka pembangunan KAPET tidak akan ada artinya, karena KAPET akan terbangun tanpa dukungan kawasan di sekitarnya. Dengan perkataan lain, agar supaya KAPET dapat tumbuh dan berkembang, perlu ada ‘linkages’ dengan kawasan di sekitarnya, sehingga tidak menjadikan KAPET sebagai ‘economic enclave’ di daerahnya.

     Di samping itu, untuk keberhasilan pembangunan KAPET diperlukan adanya ‘keberpihakan (affirmative actions) Pemerintah Pusat’ melalui lembaga-lembaga di bawahnya (Departemen/Instansi terkait). Tanpa adanya keberpihakan, percepatan pembangunan KTI hanyalah angan-angan belaka.

 



[1] BPS, 1999, Statistik Indonesia 1999. Tabel 11.15, Hal. 567.

[2] BPS, 1999, Ibid, Tabel 9.2.20 dan Tabel 9.2.22. Hal. 466 dan 468.

[3] Dikutip dari KADIN Sulawesi Selatan, Pokok-pokok Pikiran Pengembangan Ekonomi Kawasan Timur Indonesia, Manado, 01 September 2001, yang diajukan kepada Menko Bidang Perekonomian, Halaman 1.

[4] Kadin Sulawesi Selatan, Ibid.

[5] Lihat Sadono Sukirno, 1982, Beberapa Aspek Dalam Persoalan Pembangunan Daerah. Lembaga Penerbit Fak. Ekonomi, Univ. Indonesia. Hal.16.

[6] Hingga saat ini pengertian mengenai “pusat pertumbuhan (growth centre)” ini masih merupakan perdebatan di antara para ahli.

Menurut Charles Gore, inti dari strategi ini (growth centre) tidak lain adalah untuk mengusahakan pertumbuhan daerah (regional) maupun daerah perdesaan (rural areas) dengan cara membangun dan mempromosikan aktivitas industri di wilayah tersebut. Untuk jelasnya, lihat Charles Gore, 1984, Region In Question: Space, Development Theory and Regional Policy, Methuen, London.

[7] Lihat Niles M. Hansen, 1972, “Criteria for a Growth Centre Policy” dalam Antoni Kuklinski (ed), Growth Poles and Growth Centre in Regional Planning, Mouton, the Hague, Hal. 103.

[8] Dikutip dari Charles Gore, 1984, Op.cit, Hal. 93.

[9] Lihat Niles Hansen, 1972, Op.cit.

[10] Niles Hansen, 1972, Ibid.

[11] Harry W. Richardson, 1978, ‘Growth Centres, Rural Development and National Urban Policy: A Defence’. International Regional Science Review, Vol. 3, No. 2, Hal. 134. Lihat juga dalam Harry W. Richardson and Margaret Richardson, 1975, ‘The Relevance of Growth Centres Strategies to Latin America’. Economic Geography”, Vol. 51, Hal. 163-178.

[12] Untuk mengetahui lebih detail diskusi masalah pembangunan Lhok Seumawe ini, dapat dilihat dalam Budhy Tjahjati S. Soegiyoko, 1982, ‘The Impact of Development of Large Scale Industrial Projects. The Case of Lhok Seumawe Industrial Zone’. Prisma, No. 39, Hal. 61-75. Barangkali juga benar apabila dikatakan bahwa JABOTABEK, GERBANGKERTOSUSILO, dan JABOPUNCUR sebagai growth centre. Diskusi mengenai pro dan kontra terhadap masalah ini banyak dijumpai dalam berbagai tulisan para ahli, terutama mengenai dampak yang ditimbulkannya.

[13] William G. Tyler, dikutip dari Ed. B. Prantilla, 1981, ‘Regional Development Policy in the Context of National Development’ dalam Ed. B. Prantilla (ed), National Development and Regional Policy, Maruzen Asia, Hal. 7; Lihat juga dalam Charles Gore, 1984, Op.cit; John Friedman, 1966, Regional Development Policy. MIT Press, Cambridge Mass, Ch. 1 & 2, Hal. 5-38.

[14] D.K. Forbes, 1984, The Geography of Underdevelopment. Crom Helm. Hal. 116.

[15] Dennis A. Rondinelli, 1980, ‘Balance Urbanization, Regional Integration and Development Planning in Asia’. Ekistics No. 284, Hal. 331-345; Lihat juga dalam Dennis A. Rondinelli, 1983, Secondary Cities in Developing Countries: Policies for Diffusing Urbanization. Sage Publication, Beverly Hills/London/New Delhi.

[16] Harry W. Richardson, 1981, ‘National Urban Development Strategies in Developing Countries’. Urban Studies 18. Hal. 274.

[17] Sumitro Maskun, 1993, Pembangunan Masyarakat Desa. Azas, Kebijaksanaan dan Manajemen. M.W Mandala Yogyakarta. Hal. v-xxiii. Menurut Sumitro Maskun, yang dimaksud dengan Rural Centre Planning dapat berupa kota-kota kecil, kota kecamatan ataupun desa-desa yang memiliki tipe-tipe pelayanan tertentu. Untuk lebih jelasnya, lihat buku yang bersangkutan dengan judul sebagai di atas.

[18] Lihat Harry W. Richardson, 1987, ‘Goals of National Urban Policy: The Case of Indonesia’ dalam Fuchs et.al (ed), Urbanization and Urban Policies in Pasific Asia, Westview Press, Boulder and London. Hal. 283.

[19] Sumitro Maskun, 1993, Op.cit. Hal. 93-96.

[20] Sumitro Maskun, 1993, Ibid. Hal. 103.

[21] Dennis A. Rondinelli, 1983, Op.cit. Hal. 206.

[22] Lihat Hermawan Prasetya dan Djarwadi, 2000, ‘Kebijakan Pengembangan Kawasan Timur Indonesia’ dalam Djarwadi, Hermawan Prasetya, dan Sugeng Triutomo, Menoleh Ke Timur: Pemikiran Kebijakan Pengembangan Kawasan Timur Indonesia.  Sekretariat Dewan Pengembangan Kawasan Timur Indonesia.

[23] Berdasarkan Rencana Tata Ruang Wilayah Nasional (RTRWN) di seluruh Indonesia terdapat 111 kawasan andalan yang diharapkan dapat berperan sebagai growth centre, dan 56 diantaranya terdapat di KTI. Dari 56 kawasan andalan tersebut, selanjutnya di seleksi sehingga menjadi 13 kawasan andalan (prioritas), dimana pada setiap propinsi memiliki satu kawasan andalan. Dewasa ini KAPET yang ada di KTI tinggal 12 KAPET, karena satu Kapet diantaranya yaitu Betano-Natabora-Viqueque, yang berada di Timor Timur, yang saat ini bukan merupakan bagian wilayah Republik Indonesia.

[24] Lihat Hermawan Prasetya dan Djarwadi, 2000, Ibid. Hal. 59.

[25] Dikutip dari Bahan RAKOR Bidang Perekonomian (Unpublished Data), tanggal 24 Oktober 2001.

[26] Richard Rhoda, 1983, ‘Rural Development and Urban Migration: Can We Keep Them On The Farm? International Migration Review, Vol. 17. Hal. 34-64.

[27] Sri-Edi Swasono, 1993, ‘Beberapa Strategi Ganda: Penanggulangan Kemiskinan dan Kesenjangan’. Harian Pelita, 24 September 1993. Hal. 4 dan 9.

[28] Sri-Edi Swasono, 1993, Ibid.

[29] Sri-Edi Swasono, 1993,Ibid.

[30] Dikutip dalam Michael P. Todaro and Jerry Stilkind, 1981, City Bias and Rural Neglect: The Dilemma of Urban Development. The Population Counsil Inc. Hal. 33.

[31] Sumitra Maskun, 1993, Op.cit.  Hal. 25.

[32] Sumitro Maskun, 1993, Ibid. Hal.