@2001. Eddy Ch. Papilaya                                                                      Posted:  24 October 2001

Makalah Falsafah Sains (PPs 702)

Program Pascasarjana/S3

Institut Pertanian Bogor

Oktober 2001

 

Dosen:

Prof. Dr Rudy C. Tarumingkeng

 

 

 

 

 

PARADIGMA  PEMBERDAYAAN  PENGUNGSI  MALUKU:

Suatu Tinjauan Filsafat Pendidikan

 

 

 

 

Oleh:

 

Eddy Ch. Papilaya

PPN  P016010021

E-mail: eddy.papilaya@plasa.com

 

 

 

 

I. PENDAHULUAN

            Masalah pemberdayaan pengungsi merupakan suatu komoditas yang saat ini mendapat perhatian yang cukup serius dari  berbagai stakeholder pembangunan di Maluku, seperti: pemerintah, pengusaha/swasta, lembaga keagamaan, dan khususnya lembaga swadaya masyarakat (LSM) di Ambon. Hal ini dikarenakan program yang bersifat emergensi, seperti: bantuan pangan (sembilan bahan pokok),  perlengkapan rumahtangga, obat-obatan/kesehatan, air bersih dan lainnya pada saatnya akan dihentikan untuk mencegah terjadinya ketergantungan, terbentuknya pola perilaku baru yang dapat menurunkan etos kerja dan terjadinya kecemburuan sosial.

            Penting dan urgensinya program pemberdayaan pengungsi  dapat dicermati dari berbagai bantuan yang datang dari dalam maupun luar negeri melalui pemerintah, LSM, lembaga keagamaan, maupun pribadi/orang-orang tertentu untuk membantu pengungsi. Menyadari akan peluang eksternal tersebut, maka secara internal para stakeholder pembangunan di Maluku, khususnya yang menangani masalah pengungsi  perlu melakukan evaluasi terhadap program yang telah, sedang dan yang akan dilaksanakan. Ronny Samloy (Suara Maluku, tanggal 31 Maret 2001) mengemukakan bahwa, pada hakekatnya program pemberdayaan pengungsi yang dilaksanakan oleh insan LSM masih rancu karena belum memiliki kerangka konsepsional yang jelas sehingga program tersebut merugikan komunitas pengungsi. Terlepas dari benar-tidaknya penilaian tersebut, maka isu tersebut perlu dikritisi secara komprehensif, mendalam dan mendasar dari perspektif filsafat pendidikan sehingga pada akhirnya ditemukan kerangka konsepsional dan strategi yang dapat digunakan untuk memberdayakan komunitas pengungsi.

            Untuk itu perlu diajukan beberapa pertanyaan yang akan dijawab melalui tulisan ini antara lain, antara lain: apakah pengertian pemberdayaan itu?; mengapa konsep pemberdayaan itu muncul?; kendala/bias-bias apa sajakah yang sering muncul dalam pelaksanaan program pemberdayaan?; dari perspektif mana analisis terhadap konsep pemberdayaan itu dilakukan? dan bagaimanakah strategi pemberdayaan masyarakat pengungsi dikaitkan dengan filsafat pendidikan? Tulisan ini akan ditampilkan dalam bentuk deskriptif-kualitatif.

 

II. PEMBERDAYAAN MASYARAKAT PENGUNGSI

 

2.1. Pengertian Pemberdayaan Masyarakat

 

            Kartasasmita (1996) mengemukakan bahwa memberdayakan masyarakat adalah upaya untuk meningkatkan harkat dan martabat lapisan yang dalam kondisi sekarang tidak mampu untuk melepaskan  diri dari perangkap kemiskinan dan keterbelakangan. Dengan demikian  memberdayakan  masyarakat adalah memampukan dan memandirikan masyarakat. Keberdayaan masyarakat adalah unsur dasar yang memungkinkan  suatu masyarakat untuk bertahan, dan mengembangkan diri untuk mencapai kemajuan. Sumodiningrat (1996)  mengemukakan bahwa keberdayaan masyarakat yang tinggi adalah masyarakat yang sebagian besar anggotanya sehat fisik dan mental, terdidik dan kuat, dan memiliki nilai-nilai intrinsik, seperti: kekeluargaan, kegotongroyongan, dan kebhinekaan.           Pemberdayaan adalah  upaya untuk membangun daya, dengan mendorong, memotivasi, dan membangkitkan kesadaran akan potensi yang dimilikinya serta berupaya untuk mengembangkannya.

            Selaras dengan pendapat tersebut, Jim Ife (1995) mengemukakan bahwa empowerment means providing people with the resources, opportunities, knowledge, and skill to increase their capacity to determine their own future, and to participate in and effect of their community”. Akhirnya Kartasasmita (1996) menyimpulkan bahwa, upaya yang amat pokok dalam rangka pemberdayaan masyarakat  adalah  peningkatan taraf pendidikan, kesehatan, serta akses terhadap sumber-sumber kemajuan ekonomi, seperti: modal, teknologi, informasi dan pasar.

 

2.2. Perkembangan Konsep Pemberdayaan

            Menurut Chambers (1995) pemberdayaan masyarakat adalah sebuah konsep pembangunan ekonomi yang merangkum nilai-nilai sosial. Konsep ini mencerminkan paradigma baru pembangunan, yakni bersifat “people-centered”, participatory, empowering, and sustainable.  Konsep pemberdayaan lebih luas dari hanya semata-mata untuk memenuhi kebutuhan dasar atau mekanisme untuk mencegah proses pemiskinan lebih lanjut (safety net), yang pemikirannya belakangan ini lebih banyak dikembangkan  sebagai upaya mencari alternatif terhadap konsep-konsep pertumbuhan dimasa lalu. Konsep ini berkembang dari upaya para ahli  dan praktisi untuk mencari pembangunan alternatif yang menghendaki inclusive democracy, appropriate growth, gender equity, and intergenerational equity (Friedmen, 1992). Kartasasmita (1996) menambahkan bahwa konsep pemberdayaan tidak mempertentangkan pertumbuhan dengan pemerataan, tetapi konsep ini berpandangan bahwa dengan pemerataan, tercipta landasan yang lebih luas untuk pertumbuhan dan yang akan menjamin pertumbuhan yang berkelanjutan. Konsep ini juga mencoba untuk melepaskan diri dari perangkap zero-sum game dan trade-off”.

 

2.3. Bias-Bias Pemberdayaan

            Program pemberdayaan pengungsi yang dirancang oleh pihak luar mungkin saja kelihatannya menyakinkan tetapi bisa saja menyesatkan, ataupun merugikan komunitas pengungsi itu sendiri. Hal ini disebabkan oleh beberapa kendala/biasan pemberdayaan, seperti dikemukakan oleh Kartasasmita (1996) sebagai berikut:

1.        Bias pertama adalah adanya kecenderungan berpikir bahwa dimensi rasional dari pembangunan lebih penting dari dimensi moralnya. Dimensi material lebih penting daripada dimensi kelembagaannya. Dimensi ekonomi lebih penting dari dimensi sosialnya. Akibat dari anggapan tersebut adalah alokasi dana pembangunan lebih diprioritaskan pada perspektif berpikir demikian.

2.      Bias kedua adalah anggapan bahwa pendekatan pembangunan  yang berasal dari atas lebih sempurna daripada pengalaman dan aspirasi pembangunan dari tingkat bawah (grass-root). Akibatnya  kebijaksanaan-kebijaksanaan pembangunan  menjadi kurang efektif karena kurang mempertimbangkan kondisi nyata dan kehidupan masyarakat.

3.      Bias ketiga adalah pembangunan masyarakat banyak di tingkat bawah lebih memerlukan bantuan material daripada  keterampilan teknis  dan manajerial. Anggapan ini sering mengakibatkan pemborosan sumberdaya dan dana karena kurang mempersiapkan keterampilan teknis dan manajerial dalam pengembangan sumberdaya manusia, dan mengakibatkan semakin tertinggalnya masyarakat di lapisan bawah.

4.      Bias keempat adalah adanya anggapan bahwa  teknologi yang diperkenalkan dari atas selalu jauh lebih ampuh daripada teknologi yang berasal dari masyarakat itu sendiri. Anggapan demikian dapat menyebabkan pendekatan pembangunan yang disatu pihak terlalu memaksa dan menyamaratakan teknologi tertentu untuk seluruh kawasan pembangunan. Dilain pihak, pendekatan pembangunan terlalu mengabaikan potensi teknologi lokal yang jika disempurnakan akan lebih efisien dan efektif untuk dimanfaatkan.

5.      Bias kelima adalah anggapan  bahwa lembaga-lembaga yang telah berkembang dikalangan rakyat cenderung tidak efisien dan kurang efektif bahkan menghambat proses pembangunan. Anggapan ini membuat lembaga masyarakat dilapisan bawah  kurang dimanfaatkan dan kurang ada ikhtiar untuk memperbaharui, memperkuat dan memberdayakannya, bahkan ada kecenderungan untuk memperkenalkan lembaga-lembaga baru yang tidak terlalu sejalan dengan nilai dan norma masyarakat. 

6.      Bias keenam adalah bahwa masyarakat dilapisan bawah  tidak tahu apa yang diperlukannya atau bagaimana memperbaiki nasibnya. Oleh karena itu mereka harus dituntun dan diberi petunjuk dan tidak perlu dilibatkan dalam perencanaan pembangunan meskipun menyangkut diri mereka sendiri. Akibat dari anggapan ini,  banyak proyek pembangunan yang ditujulkan untuk rakyat, tetapi salah alamat, tidak memecahkan masalah  bahkan merugikan rakyat.

7.       Bias ketujuh adalah orang miskin adalah miskin karena bodoh dan malas. Dengan demikian cara menanganinya harus dengan cara paternalistik seperti melakukan orang-orang bodoh dan malas dan bukan dengan  memberikan kepercayaan. Dengan anggapan demikian, masalah kemiskinan dipandang lebih sebagai usaha sosial (charity) dan bukan usaha penguatan ekonomi.

8.      Bias kedelapan adalah  bahwa ukuran efisiensi pembangunan yang salah diterapkan, misalnya ICOR diartikan bahwa  investasi harus selalu diarahkan pada yang segera menghasilkan bagi pertumbuhan. Padahal upaya pemberdayaan masyarakat akan menghasilkan pertumbuhan yang lebih lestari (sustainable) dalam kerangka waktu yang panjang.

9.      Bias kesembilan adalah anggapan bahwa sektor pertanian dan pedesaan adalah sektor tradisional, kurang produktif, dan memiliki masa investasi yang panjang. Bermitra dengan petani  dan usaha kecil disektor pertanian dipandang tidak menguntungkan dan memiliki resiko yang tinggi. Anggapan ini mengakibatkan prasangka dan hambatan upaya membangun pertanian dan usaha kecil dipedesaan.

 

2.4. Perspektif Pemberdayaan

            Menurut Jim Ife (1995)  dalam membicarakan konsep pemberdayaan, tidak dapat dilepas-pisahkan dengan dua konsep sentral, yaitu konsep power (“daya”) dan konsep disadvantaged (“ketimpangan”) Pengertian  pemberdayaan yang terkait dengan konsep power dapat ditelusuri dari  empat sudut pandang/perspektif, yaitu perspektif pluralis, elitis, strukturalis dan post-strukturalis.

  1. Pemberdayaan masyarakat ditinjau dari perspektif pluralis, adalah suatu proses untuk menolong kelompok-kelompok masyarakat dan individu yang kurang beruntung untuk bersaing secara lebih efektif dengan kepentingan-kepentingan lain dengan jalan menolong mereka untuk belajar, dan menggunakan keahlian dalam melobi, menggunakan media yang berhubungan dengan tindakan politik, memahami bagaimana bekerjanya sistem (aturan main), dan sebagainya. Oleh karenanya, diperlukan upaya untuk meningkatkan kapasitas masyarakat untuk bersaing sehingga tidak ada yang menang atau kalah.

            Dengan kata lain, pemberdayaan masyarakat adalah upaya untuk mengajarkan kelompok atau individu bagaimana bersaing di dalam peraturan (how to compete wthin the rules).

  1. Pemberdayaan masyarakat ditinjau dari perspektif elitist adalah suatu upaya untuk bergabung dan mempengaruhi para elitis, membentuk aliansi dengan elitis, melakukan konfrontasi  dan mencari perubahan pada elitis. Masyarakat menjadi tak berdaya karena adanya power dan kontrol yang besar sekali dari para elitis terhadap media, pendidikan, partai politik, kebijakan publik, birokrasi, parlemen, dan  sebagainya.
  2. Pemberdayaan masyarakat ditinjau dari perspektif strukturalis adalah suatu agenda yang lebih menantang  dan dapat dicapai apabila bentuk-bentuk ketimpangan struktural dieliminir. Masyarakat tak berdaya  suatu bentuk struktur dominan yang menindas masyarakat, seperti: masalah kelas, gender, ras atau etnik.

            Dengan kata lain pemberdayaan masyarakat adalah suatu  proses pembebasan, perubahan struktural secara fundamental, menentang penindasan struktural.

  1. Pemberdayaan masyarakat ditinjau dari perspektif post-strukturalis adalah suatu proses yang menantang dan mengubah diskursus. Pemberdayaan lebih ditekankan pertama-tama pada aspek intelektualitas ketimbang aktivitas  aksi; atau pemberdayaan masyarakat adalah upaya pengembangan pengertian terhadap pengembangan pemikiran baru, analitis, dan pendidikan dari pada suatu usaha aksi.

 

            Ketidakberdayaan masyarakat yang disebabkan oleh ketiadaan daya (powerless) perlu ditemu-kenali. Jim Ife (1995) mengidentifikasi beberapa jenis daya yang dimiliki masyarakat yang dapat digunakan untuk memberdayakan mereka, antara lain:

1.        Power terhadap pilihan pribadi, yaitu memberikan kesempatan kepada masyarakat untuk menentukan pilihan pribadi atau kesempatan  untuk hidup lebih baik.

2.      Power terhadap pendefinisian kebutuhan, yaitu mendampingi masyarakat untuk merumuskan  kebutuhannya sendiri.

3.      Power terhadap kebebasan berekspresi, yaitu mengembangkan kapasitas masyarakat untuk bebas berekspresi dalam bentuk budaya publik.

4.      Power terhadap institusi, yaitu meningkatkan aksesibilitas masyarakat terhadap kelembagaan  pendidikan, kesehatan, keluarga, keagamaan, sistem kesejahteraan sosial, struktur pemerintahan, media dan sebagainya.

5.      Power terhadap sumberdaya, yaitu meningkatkan aksesibilitas dan kontrol terhadap aktivitas ekonomi.

6.      Power terhadap kebebasan reproduksi, yaitu memberikan kebebasan kepada masyarakat dalam menentukan proses reproduksi.

            Ketidakberdayaan masyarakat selain disebabkan oleh faktor ketidak-adaan daya (powerless), juga disebabkan oleh faktor ketimpangan, antara lain:

1.        Ketimpangan struktural antar kelompok primer, seperti: perbedaan kelas; antara orang kaya-orang miskin; the haves-the haves not; buruh-majikan; ketidaksetaraan gender; perbedaan ras, atau etnis antara masyarakat lokal-pendatang, antara kaum minoritas –mayoritas, dan sebagainya. 

2.      Ketimpangan kelompok lain, seperti: masalah perbedaan usia, tua-muda, ketidakmampuan fisik, mental, dan intelektual, masalah gay-lesbi, isolasi geografis dan sosial (ketertinggalan dan keterbelakangan).

3.      Ketimpangan personal, seperti: masalah dukacita, kehilangan orang-orang yang dicintai, persoalan pribadi dan keluarga.

            Dengan demikian untuk dapat merancang, melaksanakan dan mengevaluasi program pemberdayaan pengungsi secara efektif, maka perlu memahami terlebih dahulu faktor apa sajakah yang menjadi akar permasalahan pengungsi, apakah terkait dengan faktor daya atau faktor ketimpangan, ataukah kombinasi keduanya.

 

III. TINJAUAN  FILSAFAT  PENDIDIKAN

3.1.  Jenis Filsafat  Pendidikan

Menurut Mudyahardjo (2001) filsafat  pendidikan dalam arti luas dapat dibedakan dalam dua jenis, yaitu: (1) filsafat praktek pendidikan dan  (2) filsafat ilmu pendidikan. Filsafat praktek pendidikan adalah  analisis kritis dan komprehensif  tentang bagaimana seharusnya  pendidikan diselenggarakan dan dilaksanakan dalam kehidupan  manusia. Filsafat praktek pendidikan dapat dibedakan menjadi: filsafat proses pendidikan (biasanya hanya disebut filsafat pendidikan) dan filsafat sosial pendidikan. Filsafat proses pendidikan adalah analisis kritis dan komprehensif tentang  bagaimana seharusnya kegiatan pendidikan dilaksanakan dalam kehidupan manusia.

    Filsafat proses pendidikan biasanya  membahas tiga masalah pokok, yaitu: (1) apakah sebenarnya pendidikan itu, (2) apakah tujuan pendidikan itu  sebenarnya, dan (3) dengan cara apakah tujuan pendidikan itu dapat dicapai (Henderson, 1959). Filsafat sosial pendidikan merupakan analisis kritis  dan komprehensif  tentang bagaimana seharusnya  pendidikan diselengga-rakan dalam mewujudkan tatanan manusia idaman. Filsafat sosial pendidikan, terkait dengan tiga masalah pokok, antara lain: hakekat kesamaan pendidikan dan pendidikan, hakekat kemerdekaan dan pendidikan, dan hakekat demokrasi dan pendidikan.

    Secara konsepsional filsafat ilmu pendidikan didefinisikan sebagai analisis kritis komprehensif tentang pendidikan sebagai  salah satu bentuk teori pendidikan yang dihasilkan melalui riset, baik kualitatif maupun kuantitatif. Objek filsafat ilmu pendidikan dapat dibedakan dalam empat kategori, yaitu:

(1)    Ontologi ilmu pendidikan, membahas tentang hakekat substansi dan pola organisasi ilmu pendidikan.

(2)  Epistemologi ilmu pendidikan, membahas tentang hakekat objek formal dan material ilmu pendidikan.

(3)  Metodologi ilmu pendidikan,  membahas tentang hakekat cara-cara kerja dalam menyusun ilmu pendidikan, dan

(4)  Aksiologi ilmu pendidikan, membahas tentang hakekat nilai kegunaan teoritis dan praktis ilmu pendidikan.

3.2. Aliran Filsafat Pendidikan

       Menurut Mudyahardjo (2001) aliran filsafat pendidikan, yaitu aliran : idealisme, realisme,  scholatisisme, empirisme, pragmatisme, dan neoposivitisme.

 

1.      Aliran Idealisme

a. Konsep Filsafat

q       Metafisika

Secara absolut kenyataan yang sebenarnya adalah spiritual  dan rohaniah, sedangkan secara kritis yaitu adanya kenyataan yang bersifat fisik dan rohaniah, tetapi kenyataan rohaniah yang lebih dapat diambilkan.

q       Humanologi

Jiwa dikarunai kemampuan berpikir. Kemampuan berpikir menyebabkan adanya kemampuan memilih.

q       Epistemologi

Pengetahuan yang benar diperoleh melalui intuisi dan pengingatan kembali melalui berpikir. Kebenaran hanya mungkin dapat dicapai oleh beberapa orang yang mempunyai akal pikiran yang cemerlang; sebagian besar manusia hanya sampai pada tingkat berpendapat.

q       Aksiologi

Kehidupan manusia diatur oleh kewajiban-kewajiban moral yang diturunkan dari pendapat tentang kenyataan atau metafisika.

b. Konsep Pendidikan

q       Tujuan pendidikan

Tujuan pendidikan formal dan informal pertama-tama adalah pembentukan karakter dan kemudian tertuju kepada pengembangan bakat dan kebijakan sosial.

q       Kurikulum Pendidikan

Pengembangan kemampuan berpikir melalui pendidikan liberal atau pendidikan umum. Penyiapan keterampilan bekerja sesuatu mata pencaharian melalui pendidikan praktis.

q       Metode pendidikan

Metode pendidikan yang disusun adalah metode pendidikan dialektis, meskipun demikian setiap metode efektif mendorong belajar dapat diterima (eklektif). Cenderung mengabaikan dasar-dasar fisiologis dalam belajar.

q       Peranan peserta didik dan pendidik

Peserta didik bebas mengembangkan  bakat dan keperibadiannya. Pendidikan bekerjasama dengan alam dengan proses pengembangan kemampuan ilmiah. Sehubungan dengan itu, maka tugas utama pendidik adalah menciptakan lingkungan yang memungkinkan peserta didik dapat belajar dengan efisien dan efektif.

q       Tokoh-tokoh pendukung:

Plato, William T. Harris, Herman Harrel Horne, Friedrick  froebel.

2.    Aliran Realisme

q       Metafisika

Kenyataan yang sebenarnya hanyalah  kenyataan fisik (materialisme); kenyataan material dan imaterial (dualisme), dan kenyataan yang terbentuk dari berbagai  kenyataan (pluralisme).

q       Humanologi

Hakekat manusia  terletak pada apa yang dapat dikerjakan. Jiwa merupakan sebuah organisme yang sangat kompleks yang mempunyai kemampuan berpikir. Manusia mungkin mempunyai kebebasan atau tidak mempunyai kebebasan.

q       Epistemologi

Prinsip ketidakbergantungan, kenyataan hadir dengan sendirinya tidak tergantung pada pengetahuan dan gagasan manusia, dan kenyataan dapat diketahui oleh pikiran. Pengetahuan dapat diperoleh melalui penginderaan. Kebenaran pengetahuan dapat dibuktikan dengan  memeriksa kesesuaiannya dengan fakta.

q       Aksiologi

Tingkah laku manusia diatur oleh hukum-hukum alam yang diperoleh melalui ilmu, dan pada taraf yang lebih rendah diatur oleh kebiasaan-kebiasaan atau adat-istiadat yang telah teruji dalam kehidupan.

 

b. Konsep Pendidikan

q       Tujuan pendidikan

Tujuan pendidikan adalah dapat menyesuaikan diri secara tepat dalam hidup dan dapat melaksanakan tanggung jawab sosial.

q       Kurikulum Pendidikan

Kurikulum komprehensif yang  berisi semua pengetahuan yang berguna dalam penyesuaian diri dalam hidup dan tanggung jawab sosial. Kurikulum berisi unsur-unsur pendidikan liberal/pendidikan umum untuk mengembangkan kemampuan berpikir dan pendidikan praktis untuk kepentingan bekerja.

 

 

q       Metode pendidikan

Semua kegiatan belajar berdasarkan pengalaman baik langsung maupun tidak langsung. Metode mengajar hendaknya bersifat logis, bertahap dan berurutan. Pembiasaan merupakan sebuah metode pokok yang dipergunakan baik oleh penganut realisme maupun behaviorisme.

q       Peranan peserta didik dan pendidik

Dalam hubungannnya dengan pengajaran, peranan peserta didik adalah penguasaan pengetahuan yang dapat berubah-ubah. Dalam hubungannya dengan disiplin,  tatacara yang baik sangat penting dalam belajar. Peserta didik perlu mempunyai disiplin mental dan moral untuk setiap tingkat kebijakan. Peranan pendidik adalah menguasai pengetahuan,  keterampilan teknik-teknik pendidikan dengan kewenangan untuk mencapai hasil pendidikan yang dibebankan kepadanya.

q       Tokoh-tokoh Pendukung

Aristoteles, Johan Amos, Comenus, John Milton, Montaigne.

 

3.    Aliran Scholastisisme

q       Metafisika

Ada dua kenyataan yang sederajat dan saling bergantung bentuk/ potentia/morphe dan mater/actu/hyle (hylemorphe). Kenyataan tersesun secara hierarkhis dari Tuhan sebagai kenyataan tertinggi dan materi sebagai kenyataan yang terendah.

q       Humanologi

Manusia diciptakan oleh Tuhan. Tuhan menciptakan manusia untuk sesuatu tujuan dan tujuan tersebut adalah kebahagiaan. Manusia terdiri atas tubuh dan jiwa, bersatu dalam kesatuan yang hakiki, manusia bukanlah jiwa yang berpikir, tetapi pribadi. Jiwa manusia adalah immaterial, rohaniah yang secara instink atau secara sewajarnya bergantung pada materi. Manusia mempunyai intelek, kemauan bebas, rasional, norma dan hanya dapat dihancurkan oleh Tuhan.

q       Epistemologi

Pengetahuan bertingkat-tingkat dan dapat dibedakan dalam dua jenis, yaitu: pengetahuan tentang alam yang diketahui melalui rasio, dan pengetahuan tentang kebenaran di luar alam yang diperoleh melalui percaya.

 

 

q       Aksiologi

Manusia harus mengetahui kebaikan agar mau berbuat baik. Kebaikan tertinggi/kebajikan adalah kebahagiaan dan cinta kasih Tuhan. Kebajikan terdiri dari kebajikan teologis yang berkenaan dengan keimanan, harapan dan kemurahan hati, dan kebajikan kardinal berkenan dengan kesucian, keberanian, kesederhanaan dan keadilan.  Cara utama dalam mencapai kebahagiaan adalah kesehatan, kemakmuran, dan persaudaraan.

 

b. Konsep Pendidikan

q       Tujuan pendidikan

Pendidikan  tidak semata-mata ditujukan untuk mencapai kebahagiaan hidup di dunia, tetapi terutama untuk mencapai kebahagian hidup akherat. Untuk mencapai tujuan tersebut, pendidikan harus tertuju pada pengembangan seluruh potensi manusia yang yang mencakup intelektual, fisik, kemauan, dan vokasional.

q       Kurikulum Pendidikan

Kurikulum pendidikan harus mencakup agama dan humaniora sebagai bagian pendidikan liberal atau umum.Pendidikan liberal terdiri atas mata pelajaran fundamental yang berhubungan dengan nilai-nilai kemanusiaan, dan mata pelajaran instrumental yang berhubungan dengan pengembangan vokasional.

q       Metode pendidikan

Pengetahuan diperoleh melalui penemuan atau rasio alami sendiri tertuju pada pengetahuan yang tidak diketahui, dan instruksi atau latihan. Menggunakan metode scholastisisme, yaitu: metode dialektik, ceramah, dan debat, diskusi atau tanya jawab.

q       Peranan peserta didik dan pendidik

Pengajaran berpusat pada guru. Guru memberi teladan yang baik. Peserta didik berperan pasif.

q       Tokoh-tokoh Pendukung

Abelard dan  Thomas Aquino.

4.    Aliran Empirisme

q       Metafisika

Filsafat bukan membahas kenyataan, tetapi kemampuan manusia dalam memperoleh pengetahuan, yang diuraikan secara rinci, dapat dipahami  dan dilakukan oleh siapapun manusia pada umumnya melalui akal sehat.

 

q       Humanologi

Anak dilahirkan sebagai tabula sara, kosong tanpa innate idea. Kemampuan dalam diri seseorang dibentuk  melalui pengalaman. Melalui penginderaan batin atau refleksi yang terjadi dalam persepsi terbentuklah gagasan-gagasan kompleks dan dari padanyalah terbentuk kemampuan atau daya dalam manusia.

q       Epistemologi

Semua gagaran bersumber pada penginderaan atau refleksi.  Penginderaan  merupakan proses alat indera memperoleh  kesan tentang peristiwa-peristiwa di luar dirinya. Kesan-kesan tersebut tersimpan dalam diri manusia saling berasosiasi. Peristiwa tersebut disebut persepsi, dan hasil dari persepsi adalah pengetahuan (complex idea). Jiwa adalah kumpulan dari kemampuan-kemampuan yang ada dalam gagasan yang kompleks.

q       Aksiologi

Setiap orang bertindak berdasarkan keinginan mencapai kebahagiaan. Kebahagiaan merupakan dasar dari kemerdekaan. Kesukaan untuk berlawanan dengan kebajikan adalah suatu manisfestasi pertimbangan yang salah.  Karakteristik dari liberalisme adalah keyakinan tentang harmoni antara kepentingan perorangan dan umum.

b. Konsep Pendidikan

q       Tujuan pendidikan

Tujuan pendidikan adalah membentuk manusia yang berwatak atau berkebajikan, yaitu manusia yang dapat mengendalikan segala perasaan kecenderungan dan berbuat semata-mata berdasarkan pikiran sehat. Manusia yang berwatak memiliki ciri-ciri, antara lain: bijaksana dalam mengambil keputusan, cermat dalam berbuat, dan sungguh-sunguh dalam berpikir.

q       Kurikulum Pendidikan

Pembentukan kepribadian atau watak melalui pendidikan jasmani (men sana in corpore sano), pendidikan moral yang tertuju pada pengembangan  pengendalian perasaan oleh akal sehat, dan pendidikan intelektual yang tertuju pada pengembangan kemampuan berpikir sehat.

q       Metode pendidikan

Pendidikan adalah pembiasaan  intelektual, moral dan fisik. Belajar adalah latihan. Latihan intelektual terdiri dari tiga tahap, yaitu: latihan penginderaan, latihan pengingatan, dan latihan berpikir. Belajar atau latihan harus berdasarkan pada minat dan pemberian ganjaran bagi yang berhasil.

q       Peranan peserta didik dan pendidik

Pendidikan berpusat pada pendidik, peserta didik pasif. Pendidik mempunyai kekuasaan yang mahabesar dalam proses belajar mengajar.

q       Tokoh-tokoh Pendukung

John Locke,  Johann Haeinrich Pestalozzi, Johann Frederich Herbart.

5.    Aliran Pragmatisme

q       Metafisika

Kenyataan yang sebenarnya adalah kenyataan fisik. Segala sesuatu dalam alam  dan kehidupan adalah berubah. Hakekat segala sesuatu adalah perubahan itu sendiri.  Hidup adalah suatu proses pembaharuan diri yang terus berlangsung dalam interaksinya dengan lingkungan.

q       Humanologi

Manusia adalah hasil adalah hasil evolusi biologis, psikologis dan sosial. Hal ini mengandung pengertian bahwa setiap manusia tumbuh secara berangsur-angsur mencapai kemampuan-kemampuan biologis, psikologis dan sosial.

q       Epistemologi

Pengetahuan  adalah relatif dan terus berkembang. Pengetahuan yang benar diperoleh melalui pengalaman. Karakteristik pengalaman merupakan suatu peristiwa  aktif-pasif, dan  pengukuran nilai suatu pengalaman terletak pada persepsi hubungan-hubungan atau kontinuitas yang menyebabkan pengalaman tersebut meningkat. Pengetahuan yang benar adalah pengetahuan  yang ternyata berguna bagi kehidupan. Pengetahuan adalah alat atau instrumen untuk berbuat.

q       Aksiologi

Ukuran tingkah laku perseorangan dan sosial ditentukan secara eksperimental dalam pengalaman-pengalaman hidup. Dengan demikian tidak ada nilai absolut.

b. Konsep Pendidikan

q       Tujuan pendidikan

Pendidikan adalah hidup,  pertumbuhan sepanjang hidup, proses rekonstruksi yang berlangsung terus dari pengalaman yang terakumulasi dan sebuah proses sosial. Tujuan pendidikan adalah memperoleh pengalaman  untuk berguna memecahkan masalah-masalah baru dalam kehidupan perorangan dan bermasyarakat. Tujuan pendidikan tidak ditentukan dari luar kegiatan pendidikan, tetapi terdapat dalam setiap proses pendidikan.  Oleh karena itu tidak ada tujuan umum pendidikan atau tujuan akhir pendidikan.

q       Kurikulum Pendidikan

Kurikulum berisi pengalaman-pengalaman yang telah teruji serta minat, dan kebutuhan anak. Pendidikan liberal yang menghasilkan pemisahan antara pendidikan umum dengan pendidikan praktis/vokasional.

q       Metode Pendidikan

Berpikir reflektif atau metode pemecahan masalah merupakan metode utamanya, terdiri atas langkah-langkah sebagai berikut: (a) penyadaran suatu masalah, (b) observasi kondisi-kondisi yang hadir, perumusan dan elaborasi tentang suatu kesimpulan, dan (c) pengetesan melalui eksperimen

q       Peranan peserta didik dan pendidik

Peserta didik adalah sebuah organisme yang rumit, yang mampu tumbuh. Pendidik mengawasi dan membimbing pengalaman belajar tanpa terlalu banyak mencampuri urusan minat kebutuhan peserta didik.

q       Tokoh-tokoh Pendukung

J. Dewey dan Heard Kilpatric.

6.    Aliran Neopositivisme

q       Metafisika

Kenyataan yang sebenarnya adalah kenyataan yang diungkap oleh ilmu-ilmu kealaman. Bentuk kenyataan yang sebenarnya adalah sebuah jaringan hubungan sebab-akibat yang berlangsung dalam waktu dan tempat atau spatio temporal-causal network.

q       Humanologi

Manusia merupakan satu kesatuan  jiwa dan tubuh (monistik). Manusia adalah homo sapiens sehinga merupakan: (a) animal symbolicum, yaitu binatang yang memiliki bahasa yang mempunyai aturan-aturan sintaksis, semantis dan pragmatik, dan, (b) animal rationale, yaitu mempunyai kemampuan berpikir ilmiah atau berpikir tersusun sistematis, dan berpikir reflektif kritis atau memperkirakan dasar pemikiran.

q       Epistemologi

Sumber pengetahuan adalah penginderaan. Penginderaan hanya dapat menangkap peristiwa-peristiwa tinggal dan material. Pengetahuan merupakan hasil pengolahan  dengan menggunakan logika induktif terhadap fakta hasil penginderaan. Logika tersusun dari aturan-aturan sintaksis. Pernyataan tidak semalanya mempunyai makna. Sebuah pernyataan mempunyai makna apabila: (a) dapat dibuktikan kebenarannya secara intersubjektif atau pembuktian mudah dilakukan sekurang-kurangnya dua orang, dan (b) berdasarkan hukum-hukum sintaksis bahasa atau hukum-hukumpenyusunan bentuk kalimat.

q       Aksiologi

Tidak mengakui nilai absolut tetapi menolak pula nilai yang bersifat subjektif seperti yang berlaku dalam nilai estetis. Nilai yang ada adalah nilai yang bersifat bio-psikologis ekonomik historis. Dasar tingkah laku moral adalah pengetahuan ilmiah serta cinta dan simpati manusia. Pertimbangan-pertimbangan moral yang tertanam dalam diri pribadi melalui proses pendidikan dan sosialisasi menjadi dasar kemauan bebas dalam menentukan pilihan norma-norma yang tertanam dalam kebiasaan-kebiasaan berfungsi motivatif bersifat mewajibkan.

b. Konsep Pendidikan

q       Tujuan pendidikan

Tujuan-tujuan  pendidikan bersifat sosial atau tak langsung adalah membentuk sebuah masyarakat yang demokratis dan sebuah pemerintahan dunia yang didasarkan pada prinsip-prinsip moral humanisme ilmiah, moral yang bersifat biopsiko-sosiochonomik sehingga mengacu pada kebutuhan-kebutuhan, kepentingan-kepentingan dan gagasan-gagasan manusia yang tumbuh dalam peradaban manusia. Tujuan-tijuan pendidikan yang bersifat individual  adalah mengembangkan kepribadian yang didalamnya membantu pertumbuhan intelektual dan moral.

Pertumbuhan intelektual tertuju untuk mencapai kematangan berpikir yang mencerminkan kebajikan-kebajikan utama dalam  kemampuan ilmiah yang mempunyai ciri: (a) berpikir jernih, (b) penyimpulan yang mantap dan tepat, (c)  mempunyai kesesuaian faktual dan reabilitas, (d) objektivitas, (e) rasionalitas dalam bertingkah laku, (f) rasionalitas moral, yaitu: setia pada prinsip keadilan, kesamaan dan bebas dari paksaan dan kekerasan.

Perkembangan moral bertujuan agar individu memiliki: sikap ilmiah, sikap humanis, sikap sosial berdasarkan rasa cinta kepada sesama manusia.

q       Kurikulum Pendidikan

Mengutamakan pendidikan intelektual (ilmu-ilmu kealaman, sosial dan pendidikan teknologi, matematika, pendidikan bahasa) dan  pendidikan moral.  Pendidikan moral untuk mengembangkan kebajikan: (a) sikap berusaha mencapai kesempurnaan diri, (b) sikap adil, (c) sikap jujur, tidak memihak, (d) sikap mengakui kesamaan antara sesama manusia.

 

 

q       Metode pendidikan

Pengajaran ilmu dipraktekan sebagai seni. Pengajaran ilmu untk hal-hal pokok diajarkan melalui eksperimen/latihan intelektual. Pendidikan moral diajarkan  melalui pembiasaan moral berdasarkan prinsip otonomi fungsional, dengan cara atau proses, yaitu: (a) seseorang menerima nilai-nilai dari luar melalaui belajar dari ilmu dan/atau yang diperkenalkan orang lain melalui teladan dan/atau perintah. Nilai-nilai ini merupakan  nilai pinjaman yang bersifat instrumental atau dapat dipakai sebagai alat penolong smentara dalam mempertimbangkan  apakah suatu tindakan akan dilakukan atau tidak, dan (b) melalui penggunaan nilai-nilai pinjaman yang  bersifat sementara berangsur-angsur menjadi nilai-nilai yang diakui sebagai milik sendiri yang mantap tertanam menjadi dasar pertimbangan moral sesuatu  tindakan.

q       Peranan peserta didik dan pendidik

Peserta didik kurang  dilengkapi dengan instink, tetapi mempunyai kemampuan terpendam yang memungkinkan dirinya untuk berpikir pada tingkatan yang tertinggi. Peserta didik tidak hanya pasif menerima bantuan, tetapi aktif melakukan   latihan dan peniruan. Para pendidik bertugas: (a) melatih intelektual dan vokasional, (b) menyajikan informasi secara sistematis, (c) membimbing. Dalam pendidikan moral sebagai pembentukan kesadaran moral atau pembentukan superego, pendidik berperan sebagai: (a) memberi ganjaran, dan (b) memberi hukuman.

q       Tokoh-tokoh Pendukung

Herbert Feigl, Kenneth Burke, dan Jonas F. Soltis.

 

IV. STRATEGI PEMBERDAYAAN  PENGUNGSI

 

            Mencermati kondisi Maluku dengan diberlakukannya keadaan darurat sipil hingga saat ini, maka upaya pemberdayaan masyarakat pengungsi lebih efektif jika didasarkan pada perspektif elitist (pendekatan eksternal) dan perspektif post-strukturalis (pendekatan internal) disamping upaya untuk menemu-kenali penyebab ketidak-berdayaan pengungsi yang disebabkan  oleh kombinasi faktor  daya dan ketimpangan, seperti daya untuk menentukan pilihan hidup, daya untuk mendefinisikan kebutuhan hidup, daya untuk berekspresi, daya untuk meningkatkan aksesibilitas terhadap kelembagaan, daya untuk meningkatkan sumberdaya, dan daya untuk meningkatkan aktivitas ekonomi; ketimpangan struktural dan ketimpangan personal.

            Untuk memberdayakan komunitas pengungsi, diperlukan suatu skenario pemecahan masalah  yang didasarkan pada perspektif elitist dan perspektif post-strukturalis. Menurut Jim Ife (1995) upaya pemberdayaan pengungsi ditempuh melalui tiga strategi, yaitu: (1)  upaya pendidikan dan pembangkitan kesadaran, (2) upaya kebijakan dan perencanaan, dan (3)  gerakan aksi sosial-politik.

1.        Pemberdayaan masyarakat pengungsi melalui upaya pendidikan dan pembangkitan kesadaran.

      Menurut pandangan post-strukturalis faktor yang paling esensial dalam upaya pemberdayaan masyarakat adalah faktor pendidikan. Coombs (1973) mengemukakan bahwa ada tiga jenis pendidikan, yaitu pendidikan formal, pendidikan informal dan pendidikan nonformal.

      Pendidikan formal adalah kegiatan yang sistematis, berstruktur, bertingkat, berjenjang mulai dari sekolah dasar sampai dengan perguruan tinggi dan yang setaraf dengannya; termasuk didalamnya  kegiatan studi yang berorientasi akedemis dan umum, program spesialisasi, dan latihan profesional yang dilaksanakan dalam waktu yang terus menerus. Selaras dengan konsep ini, dapat dikatakan bahwa masalah pendidikan anak-anak pengungsi merupakan masalah yang sangat vital dan krusial, karena jika tidak ditangani secara sistematis, berencana dan berkesinambungan akan mengakibatkan masalah yang serius bagi generasi mendatang (lost-generation).    Pemberdayaan pengungsi melalui pendidikan formal mendapat perhatian yang cukup besar dari pemerintah. Salah satunya melalui program layanan  Pendidikan Alternatif Maluku (PAM) yang diselenggarakan oleh pemerintah bekerjasama dengan kurang lebih 90 LSM lokal dari kedua komunitas. Terlepas dari kelebihan dan kekurangannya, tetapi intervensi program ini telah  memberikan nilai tambah tersendiri bagi sekolah, guru, orangtua, LSM dan khususnya siswa sendiri melalui kegiatan PMTAS, proses belajar dan pembelajaran, KIT dan rekreasi untuk mengejar ketertinggalan kualitas pendidikan, serta kegiatan trauma konseling untuk memulihkan kondisi psikologis siswa. Walaupun terlalu dini untuk  menilai perubahan pengetahuan, keterampilan, dan kondisi psikologis, tetapi intervensi program ini secara keseluruhan  telah memberikan pengaruh yang cukup bermakna bagi pengembangan pengetahuan, sikap dan keterampilan siswa. Selain itu, pemerintah diharapkan dapat membuat kebijakan pembebasan semua jenis  pungutan biaya sekolah terhadap semua anak pengungsi. Untuk mengefektifkan pencapaian tujuan pendidikan formal tersebut, maka aliran filsafat pendidikan neoposivitesme dapat digunakan.

      Pendidikan informal adalah proses yang berlangsung sepanjang usia sehingga setiap orang memperoleh nilai, sikap dan keterampilan dan pengetahuan yang bersumber dari pengalaman hidup sehari-hari, pengaruh lingkungan termasuk didalamnya adalah pengaruh kehidupan keluarga, hubungan dengan tetangga, lingkungan pekerjaan dan permainan, pasar, perpustakaan dan media massa. Dalam kaitannya dengan masyarakat pengungsi, peranan lembaga keagamaan dan LSM dapat melaksanakan pendidikan rakyat melalui kegiatan pendampingan usaha, konsultasi, dan bimbingan/konseling dalam memulihkan sikap mental pengungsi yang mengalami hal-hal yang traumatik. Untuk mengefektifkan pencapaian tujuan pendidikan informal tersebut, maka aliran filsafat pendidikan empirisme dapat digunakan.

      Pendidikan nonformal adalah setiap kegiatan terorganisasi dan sistematis diluar sistem persekolahan yang mapan, dilakukan secara mandiri atau merupakan bagian penting dari kegiatan yang lebih luas, yang sengaja dilakukan untuk melayani peserta didik tertentu didalam mencapai tujuan belajarnya. Dalam kaitannya dengan masyarakat pengungsi, maka pemerintah, lembaga keagamaan,  perguruan tinggi, LSM dan stakeholder lain dapat melakukan penyuluhan secara terpadu melalui berbagai metode pendidikan orang dewasa dalam rangka upaya rekonsiliasi dengan masyarakat akar rumput (grass-root) dan penyuluhan pengembangan ekonomi keluarga pengungsi. Disamping itu dapat pula dilakukan pelatihan-pelatihan yang sesuai dengan kebutuhan pengungsi secara berkesinambungan. Materi  kegiatan pelatihan dapat berkaitan dengan masalah HAM, demokrasi, gender, ekonomi rakyat, advokasi, hukum adat, jurnalistik, lingkungan hidup, dan masalah-masalah aktual lainnya. Kegiatan lain seperti: seminar, semiloka, lokakarya, magang dan sebagainya dapat dilakukan dengan LSM “Jakarta” dan LSM International dalam rangka menciptakan efek-pengganda (multiplier effect). Untuk mengefektifkan pencapaian tujuan pendidikan nonformal tersebut, maka aliran filsafat pendidikan idealisme, realisme, empirisme dan pragmatisme dapat digunakan.

      Kegiatan pendidikan tersebut bertujuan untuk membangkitkan kesadaran berpikir kritis dan analitis terhadap struktur yang menindas,  meningkatkan kinerja pengungsi untuk dapat bertindak proaktif sehingga mampu berekspresi dalam membentuk budaya publik dan mampu bernegosiasi dengan  para elitis.  Dengan demikian pemberdayaan pengungsi melalui jalur pendidikan formal, informal dan nonformal dalam rangka pengembangan kapasitas (capacity building) merupakan program yang sangat vital dan strategis untuk memberdayakan pengungsi sehingga pada gilirannya mereka bisa memperjuangkan hak-haknya secara pribadi atau secara kolektif.

 

2.                  Pemberdayaan masyarakat pengungsi melalui kebijakan dan perencanaan

      Mengacu pada perspektif elitis (Penguasa Darurat Sipil Daerah/PDSD) terhadap pemberdayaan, maka para elitis memiliki power yang kuat untuk memberdayakan masyarakat pengungsi melalui  berbagai kebijakan dan perencanaan yang berkaitan dengan faktor power dan disadvantaged, antara lain:

      Kebijakan terhadap pilihan hidup pengungsi, yaitu PDSD dapat memfasilitasi dan memberikan jaminan keamanan bagi pengungsi yang telah memutuskan kehidupannya untuk kembali ke kampung halamannya, seperti pengungsi Desa Poka, Desa Rumahtiga, Desa Waai, Kesui, Desa Iha, dan komunitas pengungsi lainnya.

      Perencanaan proses pemulangan ini diupayakan selekas mungkin sehingga tidak menimbulkan ketimpangan personal yang baru, seperti: kekecewaan, kesediaan, frustasi, stress, depresi, kemabukan, kejahatan,  dan sebagainya; dan muculnya ketimpangan struktural yang baru, seperti: pemiskinan massal, pengangguran, pembodohan, ketertinggalan, terciptanya generasi marginal/kuli yang akhirnya melahirkan  generation lost dan social lost.

      Bagaimanapun proses pemberdayaan pengungsi tidak akan efektif dan cenderung mubazir jika dilakukan di tempat pengungsian, karena rendahnya aksesibilitas dan tidak dimilikinya kontrol terhadap sumberdayanya. Sebaliknya program pemberdayaan akan semakin efektif jika dilakukan pada sumberdaya  yang dimilikinya atau di negeri asalnya. Oleh karenanya, kebijakan dan perencanaan pemulangan pengungsi ke tanah tumpah darahnya  harus mendapat prioritas pertama dari PDSD. Masyarakat pengungsi berhak untuk memilih dan menentukan sikap hidup yang lebih baik (better living). Masyarakat pengungsi berhak meminta PDSD untuk mengembalikan kembali “kedaultannya” yang dirampas oleh kelompok perusuh.

      Kebijakan dan perencanaan yang berkaitan dengan: (1) institusi keamanan, yaitu PDSD seyogianya menempatkan aparat keamanan yang teruji kenetralannya, seperti: pasukan gabungan (YONGAB), “pembebasan desa” yang dihuni oleh para perusuh, pelibatan Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) dan pengorganisasian masyarakat (Community Organizing), pelibatan pengungsi dalam pembuatan barak; (2) pembenahan institusi ekonomi, seperti: menyediakan modal usaha,   pasar, kebijakan harga, peningkatan aksesibilitas pengungsi terhadap lembaga keuangan formal (Bank), dan sebagainya; (3) pembenahan institusi pemerintah pusat, pembenahan sarana dan prasarana persekolahan, kesehatan, kesejahteraan sosial, dan berbagai fasilitas lainnya yang dibutuhkan.

      Sukses tidaknya strategi ini terletak ditangan PDSD. Jika masyarakat telah siap untuk kembali, siap  untuk diberdayakan, maka tidak ada alasan lagi bagi PDSD untuk menunda-nunda atau mengkambing-hitamkan masyarakat bahwa mereka belum siap, keamanan belum kondusif, dan lain sebagainya karena PDSD memiliki “super power” untuk melakukan segalanya.

  1. Pemberdayaan masyarakat pengungsi melalui Aksi sosial dan Politik

      Untuk menghindari bias pemberdayaan, maka program emergensi, rehabilitasi/pemulihan dan pemberdayaan seyogianya dilakukan melalui suatu aksi sosial secara partisipatif, yang dimulai dari tahap perencanaan (identifikasi masalah, penentuan prioritas masalah, dan disain program), pelaksanaan, monitoring dan evaluasi, serta menikmati hasil. Menurut Robert Chambers (1996) salah satu metode yang dianggap cukup efektif untuk mendisain program bersama komunitas pengungsi adalah metode PRA (Participatory Rural Apprasial).

      Falsafah yang terkandung di dalam metode ini adalah agar mereka dapat menolong diri sendiri dan orang lain (Helping people to help themselves and others).  Selain itu masyarakat diberikan power untuk mendefinisikan kebutuhannya secara mandiri dan didampingi oleh pendamping lapangan. Dengan demikian setiap instrumen yang diberikan melalui proyek/program hanya bersifat stimulus atau perangsang. Dengan kata lain instrumen yang diberikan bukan hanya dalam artian  memberikan pancing, tetapi lebih daripada itu mengajarkan mereka cara membuat alat pancing; menunjukkan kepada mereka dimana tempat pemancingan dan bagaimana caranya  mengetahui tempat pemancingan.

      Cara lain yang dapat dilakukan untuk meningkatkan keberdayaan pengungsi, yaitu membentuk aliansi, KSM (Kelompok Swadaya Masyarakat), atau LSM transformatif menjadi suatu kekuatan masyarakat sipil (civil society) untuk mempengaruhi PDSD (kaum elitis), DPRD (kaum politisi), kaum akademisi dengan berbagai agenda/wacana. Disamping itu pengungsi juga dapat berafiliasi dengan dengan sejumlah aktivis LSM reformis/transformis dan kaum akedemisi melalui kiat “permainan bilyard” dengan DPRD sehingga mereka dapat melakukan pressure secara terus-menerus kepada PDSD  dan PDS di pusat untuk mensolusi masalah pemberdayaan pengungsi. Jika DPRD tidak mampu mengakomodir tuntutan pengungsi terhadap PDSD, maka mereka akan kehilangan kredibilitas dan akuntabilitas publik.

 

V. PENUTUP

      Berdasarkan uraian tersebut, dapat dibuat suatu simpulan bahwa pemberdayaan pengungsi merupakan suatu upaya yang sangat manusiawi, urgen, strategis, dan kompleks untuk dilaksanakan secara komprehensif. Hal ini dikarenakan oleh sifat dimensionalnya, seperti keterkaitan dimensi psikologis, sosial, ekonomi, budaya, hukum, keamanan, dan sebagainya. Untuk itu dalam menangani program pemberdayaan pengungsi tidak dapat dilakukan secara parsial, sektoral atau terkotak-kotak, tetapi sebaliknya secara holistik, simultan dan partisipatif. Segala bentuk egoisme sektoral, mencari popularitas semu, mencari keuntungan tertentu, serta segala sikap arogansi birokrasi perlu dikesampingkan.

      Keberhasilan program pemberdayaan masyarakat pengungsi Maluku tergantung pada komitmen semua organisasi akar rumput dan para stakeholder pembangunan  untuk menjadikan program tersebut sebagai suatu gerakan moral.

      Diyakini sungguh bahwa segala sesuatu dimuka bumi ini ada masanya, ada waktunya. Ada waktu untuk mengungsi, ada waktu untuk kembali dari tempat pengungsian. Ada waktu untuk menjadi PDSD, ada waktu untuk tidak menjadi PDSD. Ada waktu untuk menjadi anggota dewan perwakilan rakyat (DPRD), ada pula waktu untuk tidak menjadi anggota DPRD. Ada waktu untuk menjadi akademisi, ada waktu pula untuk tidak menjadi akademisi. Karena segala sesuatu ada waktunya, maka selagi diberi waktu, diberi posisi, diberi jabatan, pergunakanlah semuanya itu untuk memberdayakan pengungsi, untuk membentuk suatu kehidupan masyarakat Maluku yang lebih damai, sejahtera, dan mandiri. Jika tidak demikian, maka waktulah yang akan membawa semua stakeholder pembangunan di Maluku ke pengadilan abadi.

 

 

DAFTAR  PUSTAKA

 

 

Chambers, R., 1995. Poverty and Livelihoods: Whose  Reality Counts? Dalam Kartasasmita, G., 1996. Pembangunan Untuk Rakyat: Memadukan Pertumbuhan dan Pemerataan. Cides. Jakarta.

 

__________, 1996. PRA Participatory Rural Appraisal-Memahami Desa Secara Partisipatif. Kanisius. Yogyakarta.

 

Coombs, 1973. New Path to Learning. New York: International Council  for Educational Development.

 

Friedman, F., 1992. Empowerment: The Politic of Alternative Development. Cambridge:Blackwell.

 

Henderson, Stella  van Petten, 1959. Introduction to Philosophy of Education. The University of Chicago Press. Chicago.

 

Ife, J., 1995. Community Development: Creating Community-Vision, Analysis and Practice. Longman. Australia.

 

Kartasasmita, G., 1996. Pembangunan Untuk Rakyat: Memadukan Pertumbuhan dan Pemerataan. Cides. Jakarta.

 

Mudyahardjo, R., 2001. Filsafat Ilmu Pendidikan. Suatu Pengantar.PT. Remaja Rosdakarya. Bandung.

 

Samloy, R., 2001. Suara Maluku Tanggal  31 Mei

 

Sudjana, D. S., 2000.  Pendidikan Luar Sekolah. Wawasan Sejarah Perkembangan Falsafah Teori Pendukung Asas.Falah Production. Bandung.

 

Sumodiningrat, G. 1996. Memberdayakan Masyarakat. Kumpulan Makalah tentang Inpres Desa Tertinggal. Penakencana Nusadwipa. Jakarta.