©
2001 I Wayan Laba Posted: 6 Oct.
2001 [rudyct]
Makalah
Falsafah Sains (PPs 702)
Program
Pasca Sarjana / S3
Institut
Pertanian Bogor
October
2001
Dosen:
Prof
Dr Ir Rudy C Tarumingkeng (Penanggung Jawab)
KEANEKARAGAMAN HAYATI ARTROPODA DAN PERANAN MUSUH ALAMI
HAMA UTAMA PADI PADA EKOSISTEM SAWAH
Oleh:
I Wayan Laba
E-mail: wlbbo@yahoo.com
Berbagai jenis artropoda terdapat dalam ekosistem padi sawah. Pada umumnya artropoda terdiri dari
phytophagous, parasitoid, predator dan patogen. Musuh alami berperan dalam keseimbangan hayati sehingga dapat
mencegah atau mengurangi meningkatnya populasi hama. Hama utama tanaman padi antara lain wereng dan penggerek
batang. Keanekaragaman hayati artropoda
khususnya agensia hayati sebelum pengendalian hama terpadu (PHT), khususnya di
daerah pelaksanaan PHT lebih sederhana
(sedikit) dibandingkan dengan sesudah PHT.
Sebelum pelaksanaan PHT, musuh alami tidak mampu menurunkan populasi hama utama padi, karena populasinya rendah akibat perlakuan
insektisida yang tidak bijaksana. Sebaliknya
setelah pelaksanaan PHT mampu menurunkan populasi musuh alami. Musuh alami
utama wereng antara lain, Lycosa pseudoannulata Boesenberg, Coccinella sp., Paederus
sp., Ophionea sp., Cyrtorhinus lividipennis Reuter., sebagai predatornya sedangkan Oligosita sp., Anagrus sp.,
dan Gonatocerus sp. sebagai parasitoid. Patogen yang efektif terhadap wereng antara lain Hirsutella
citriformis dan Metarrhizium anisopliae. Musuh alami penggerek batang padi antara lain : Trichogramma
japonicum Ashm., Telenomus rowani Gah., dan Tetrastichus
schoenobii Ferr. Potensi musuh alami khususnya parasitoid dan predator cukup besar untuk menurunkan
populasi hama ditinjau dari laju pertumbuhan musuh alami dan kemampuan memangsa
atau memarasit. Untuk meningkatkan dan
mempertahankan musuh alami dapat dilakukan pelestarian musuh alami melalui
inang alternatif, pengelolaan gulma dan sisa tanaman, penggunaan pestisida secara bijaksana dan penyediaan makanan buatan.
Kata kunci : Musuh alami,
keanekaragaman hayati artropoda, ekosistem padi sawah, wereng, penggerek batang
PENDAHULUAN
Ekosistem
pertanian adalah ekosistem yang sederhana dan monokultur jika dilihat dari
komunitas, pemilihan vegetasi, diversitas spesies, serta resiko terjadi ledakan
hama dan penyakit. Musuh
alami berperan dalam menurunkan populasi hama sampai pada tingkat populasi yang
tidak merugikan. Hal ini terbukti dari
setiap pengamatan dilahan pertanian, khususnya padi, beberapa jenis musuh alami
selalu hadir dipertanaman. Ekosistem
persawahan secara teoritis merupakan
ekosistem yang tidak stabil. Kestabilan ekosistem persawahan tidak hanya
ditentukan oleh diversitas struktur komunitas, tetapi juga oleh sifat-sifat
komponen, interaksi antar komponen ekosistem.
Hasil penelitian mengenai kajian habitat menunjukkan bahwa tidak kurang
dari 700 serangga termasuk parasitoid
dan predator ditemukan di ekosistem persawahan dalam kondisi tanaman tidak
ada hama khususnya wereng batang coklat
(WBC). Predator WBC umumnya polifag,
akan memangsa berbagai jenis serangga.
Hasil penelitian tersebut menunjukkan bahwa komunitas persawahan
merupakan komunitas yang beranekaragam (Untung, 1992). Tidak tertutup
kemungkinan bahwa pada ekosistem pertanian dapat dijumpai keadaan yang stabil. Apabila
interaksi antar komponen dapat dikelola secara tepat maka kestabilan ekosistem
pertanian dapat diusahakan. Untuk mempertahankan ekosistem
persawahan yang stabil maka konsep pengendalian hama terpadu (PHT) dapat
diterapkan. PHT mendapatkan efisiensi pengendalian yaitu
mengurangi insektisida dan memanfaatkan metoda non kimia. Di persawahan, musuh alami jelas berfungsi,
sehingga akan terjadi keseimbangan biologis (Baehaki, 1991). Keseimbangan biologis ini kadang-kadang
tercapai, tetapi bisa juga sebaliknya. Hal
ini disebabkan karena faktor lain yang mempengaruhi, yaitu perlakuan agronomis
dan penggunaan insektisida.
Salah satu pendorong meningkatnya
serangga pengganggu adalah tersedianya makanan terus menerus sepanjang waktu
dan disetiap tempat. Budidaya tanaman monokultur dapat
mendorong ekosistem pertanian rentan terhadap organisme pengganggu tanaman
(OPT). Untuk mewujudkan pertanian
berkelanjutan maka tindakan mengurangi serangan OPT melalui pemanfaatan
serangga khususnya musuh alami dan meningkatkan diversitas tanaman seperti
penerapan tanaman tumpang sari, rotasi tanaman dan penanaman lahan-lahan
terbuka dapat dilakukan karena meningkatkan stabilitas ekosistem serta
mengurangi resiko gangguan OPT.
Mekanisme-mekanisme alami seperti predatisme, parasitisme,
patogenisitas, persaingan intraspesies dan interspesies, suksesi,
produktivitas, stabilitas dan keanekaragaman hayati dapat dimanfaatkan untuk
mencapai pertanian berkelanjutan (Untung dan Sudomo, 1997).
Salah
satu komponen PHT adalah pengendalian dengan menggunakan musuh alami. Teori mendasar dalam pengelolaan hama adalah
mempertimbangkan komponen musuh alami dalam strategi pemanfaatan dan
pengembangannya. Taktik pengelolaan
hama melibatkan musuh alami untuk mendapatkan penurunan status hama disebut
pengendalian hayati (Pedigo, 1999).
Pemanfaatan musuh alami tidak menimbulkan pencemaran, dari segi ekologi
tetap lestari dan untuk jangka panjang relatif murah. Pengendalian dengan memanfaatkan musuh alami atau secara biologis
adalah kerja dari faktor biotis seperti parasitoid, predator dan patogen
terhadap mangsa atau inang, sehingga menghasilkan suatu keseimbangan umum yang
lebih rendah daripada keadaan yang ditunjukkan apabila faktor tersebut tidak
ada atau tidak bekerja (De Bach, 1979; Stern et al., 1959). Pengendalian biologi merupakan salah satu
pengendalian yang dinilai cukup aman karena mempunyai beberapa keuntungan yaitu
: 1) selektivitas tinggi dan tidak menimbulkan hama baru, 2) organisme yang
digunakan sudah tersedia dialam, 3) organisme yang digunakan dapat mencari dan
menemukan inangnya, 4) dapat berkembang biak dan menyebar, 5) hama tidak
menjadi resisten atau kalau terjadi sangat lambat, dan 6) pengendalian berjalan
dengan sendirinya (Van Emden, 1976).
Pengendalian biologi dapat dibedakan menjadi dua bagian yaitu : 1)
pengendalian biologi alami yaitu pengendalian hama dengan musuh alami, tanpa
campur tangan manusia, 2) pengendalian biologi terapan yaitu pengendalian
hayati dengan campur tangan manusia (Sosromarsono, 1993).
Telah
diketahui berbagai jenis musuh alami
yang dibagi menjadi 3 kelompok yaitu : parasitoid, predator dan patogen. Terdapat 79 jenis musuh alami WBC
diantaranya 34 parasitoid, 37 predator dan 8 patogen (Chiu, 1979). Musuh alami yang potensial untuk penggerek
batang padi (PBP) adalah parasitoid. Ada 3 jenis parasitoid PBP yaitu : Tetrastichus
schenobii Ferr., Telenomus rowani Gah., dan Trichogramma
japonicum Ashm (Jepson, 1954; Soehardjan, 1976). Sampai saat ini telah diketahui 36 spesies jamur patogen serangga
(JPS) pada tanaman padi (Carruthers and Hural, 1990). Diantara patogen tersebut Hirsutella citriformis, Metarrhizium
anisopliae dan Beauveria bassiana mempunyai potensi untuk
mengendalikan WBC. Keberadaan musuh
alami hama khususnya hama padi sangat penting dalam menentukan populasi hama
tersebut. Parasitoid dan predator mampu
menurunkan padat populasi hama, sedangkan infeksi JPS dapat mematikan dan
mempengaruhi perkembangan hama, menurunkan kemampuan reproduksi, serta
menurunkan ketahanan hama terhadap predator, parasitoid dan patogen lainnya
(Wardojo, 1986).
Musuh
alami hama-hama tanaman padi adalah salah satu komponen dalam PHT. Musuh-musuh alami tersebut terdiri dari
predator, parasitoid dan patogen serangga.
Hama padi yang sering menimbulkan kerusakan adalah WBC, PBP, Tikus dan
Ganjur. Pada kesempatan ini akan diuraikan potensi musuh alami WBC dan PBP.
Parasitoid
WBC yang sering dijumpai di lapang adalah Anagrus sp. (Hymenoptera;
Mymaridae), Gonatocerus sp. (Hymenoptera;
Mymaridae), dan Oligosita sp. (Hymenoptera;
Trichogrammatidae). Anagrus sp.
adalah parasitoid telur WBC dan wereng hijau.
Beberapa jenis Anagrus sp. di Asia adalah Anagrus incarnatus
Holiday, Anagrus japanicus Sahad, Anagrus nigriventris Giraulti,
Anagrus flaveolus Waterhouse, Anagrus frequens Perkins, Anagrus
hirashinae Sahad, Anagrus subfuscus Forster, Anagrus optabilis
Perkins, Anagrus paniciculae Sahad dan Anagrus preforator Perkins
(Sahad and Hirashima, 1984).
Anagrus sp. yang dominan di
Indonesia adalah A. optabilis dan A. flaveolus. Perilaku parasitoid di lapangan sangat
menentukan keefektifannya dalam menurunkan populasi WBC. Kemampuan Anagrus sp. , memparasit
telur WBC mencapai 38% pada tanaman padi dan 36-64% terhadap WBC yang berada
pada rumput-rumputan lainnya. Siklus
hidup Anagrus sp. 11-13 hari.
Oligosita
sp. adalah parasitoid telur wereng batang dan
wereng daun. Ada dua
jenis Oligosita sp. yaitu Oligosita aesopi Girault dan Oligosita
neas Girault. Siklus hidup Oligosita
sp. 11-12 hari. Kemampuan Oligosita
sp. memparasit telur WBC berkisar
antara 10,5-37,2% (Diani et al., 1992).
Gonatocerus sp. juga parasitoid telur wereng batang dan wereng daun. Beberapa spesies dari Gonatocerus sp.
di Asia adalah : G. decvivitatakus, G. lotoralis, G. narayani, G.
fukuokensis, G. sulfuripes, G. ulterdecomes, G. mumarus, G. cicadellae, G.
miurae dan G. cincticipitis (Sahad and Hirashima, 1984). Gonatocerus sp. mampu memparasit
telur WBC berkisar antara 1,16-6,04%, wereng hijau 34,08% dan wereng punggung
putih 7,05% (Atmaja dan Kartohardjono, 1990; Baehaki dan Iman, 1991). Ketiga parasitoid tersebut mampu menurunkan
populasi wereng dan berpotensi untuk dimanfaatkan sebagai musuh alami
wereng. Hal ini dapat dilihat dari
kemampuan memangsa, siklus hidup dan kemampuan berkembang biak. Jika dibandingkan dengan wereng, kemampuan
parasitoid berkembang biak lebih sedikit, tetapi umur (siklus hidup lebih
pendek), sehingga populasi parasitoid dapat mengimbangi wereng dan sekaligus
kemampuan parasitoid memparasit wereng (Tabel 1).
No |
Jenis Wereng |
Siklus hidup (hari) |
Parasitoid |
Siklus hidup (hari) |
Kemampuan memparasit (%) |
||
|
|
|
|
|
WBC |
WH |
WPP |
1 2 3 |
Wereng batang coklat Wereng hijau Wereng punggung putih |
± 30 ± 30 ± 30 |
Anagrus
sp. Oligosita
sp. Gonatocerus sp. |
11-13 11-12 11-17 |
36-64 10,5-37,2 1,16-6,04 |
37,14 - 34,08 |
32,15 - 7,05 |
Sumber :
Diani et al., (1992); Atmadja dan Kartohardjono, (1990); Shepard et
al., (1977)
Predator
adalah binatang yang memakan binatang lain.
Sebagian besar predator bersifat polifag artinya memangsa berbagai jenis
binatang yang berbeda. Disamping itu
sebagian predator bersifat kanibal, artinya memangsa sesamanya. Banyak jenis predator yang memangsa wereng,
tetapi hanya beberapa yang mempunyai porensi menurunkan populasi wereng yaitu Lycosa
pseudoannulata (Araneida; Lycosidae), Paederus sp. (Coleoptera;
Coccinellidae), Ophionea sp. (Coleoptera; Carabidae), Coccinella
sp. (Coleoptera;
Coccinellidae) dan Cyrtorhinus lividipennis (Hemiptera; Miridae).
L.
pseudoannulata mempunyai sifat kanibal bila tidak ada
mangsa. Mencari mangsa pada malam hari
serta berpindah sangat cepat. Siklus hidup L. pseudoannulata
3-4 bulan. L. pseudoannulata
memangsa penggerek batang, wereng. Kemampuan memangsa 4 WBC/hari (Vreden and
Zabidi, 1986; Kartohardjono et al., 1989).
Ophionea
sp. memangsa 2,73 WBC/hari, sedangkan kombinasi dari 2 Paederus sp. + 1
Ophionea sp. mampu memangsa 7 WBC/hari (Kartohardjono, 1988). Pada pertanaman padi di Klaten MP.
1986/1987, Ophionea sp. dijumpai pada minggu kelima setelah tanam dan
populasinya meningkat jika WBC meningkat (Kartohardjono, 1988). Kedua predator tersebut mampu menurunkan
populasi wereng sehingga dapat berperan sebagai musuh alami yang potensial
(Tabel 2).
Tabel
2. Aspek biologi dan potensi L.
pseudoannulata dan Ophionea sp.
terhadap WBC
No |
Jenis predator |
Siklus hidup predator (hari) |
Siklus hidup WBC (hari) |
Kemampuan
memangsa/hari |
1 2 |
L.
pseudoannulata Ophionea
sp. |
90-120 30 |
30 30 |
4 2,72 |
Sumber : Vreden and Zabidi (1986); Kartohardjono et
al., (1989); Kartohardjono (1988).
Paederus fuscifes
Curt mencari mangsa malam hari dan lebih banyak memangsa pada stadia awal,
karena wereng pada stadia awal ukurannya lebih kecil dan belum aktif bergerak
sehingga lebih mudah dimangsa. Kemampuan memangsa rata-rata 4,9 WBC/hari (Laba
dan Kilin, 1994). Siklus hidup P.
fuscifes dari telur sampai menjadi serangga dewasa memerlukan waktu 20,98
hari. Lama hidup serangga dewasa
rata-rata 80,53 hari. Kemampuan
bertelur101-109 butir, sedangkan persentase menjadi serangga dewasa adalah
48,10%. Laju pertumbuhan intrinsik (r)
adalah 0,06. Berdasarkan nilai r dapat
ditentukan populasi pada waktu t dengan rumus : Nt = Noert
menjadi Nt = Noe0.06t dengan keterangan
No= populasi awal; e = bilangan alami (2,72) dan r = 0,06. Persamaan diatas menunjukkan bahwa seekor
serangga betina menghasilkan keturunan 6 pasang selama satu bulan dan 41 pasang
selama 2 bulan. Laju pertumbuhan WBC; WPP dan
WH masing-masing 0,1; 0,04 dan 0,17
(Fachrudin, 1980; Baehaki, 1984a; 1984b).
Lama hidup serangga dewasa WBC; WPP dan WH berkisar
antara 20-30 hari. Kemampuan bertelur berkisar antara
270-902 butir untuk WBC, 200-300 butir untuk WH dan ±600
butir untuk WPP. Persentase
penetasan dan menjadi serangga dewasa ±
50%.
Cyrtorhinus lividipennis Reuter adalah salah satu predator
wereng yang sangat efektif dan tersebar di Asia Tenggara, Australia dan
pulau-pulau di daerah Pasifik (Peter, 1978).
Kepik C. lividipennis bersifat polyphag, karena dapat memangsa
beberapa jenis wereng. Stadium nimfa dan
dewasa dapat memangsa wereng, khususnya stadia telur wereng. Seekor kepik dapat memangsa 4,1 telur/hari
(IRRI, 1978). Siklus hidup
C. lividipennis berkisar antara 21,1-24 hari (Suenaga, 1963). Lama hidup serangga dewasa berkisar antara
21-25 hari. Satu ekor kepik mampu bertelur 146
butir (Manti et al., 1982). Peluang
hidup menjadi serangga dewasa adalah 17%. Laju pertumbuhan intrinsik 0,11
sehingga persamaan pertumbuhan populasi eksponensial menjadi Nt = Noe0,11t
artinya seekor sreangga betina dapat menghasilkan keturunan 25 pasang selama
satu bulan dan 652 pasang selama dua bulan.
Verenia lineata Thumb. adalah
serangga yang banyak dijumpai pada tanaman padi. Serangga
ini bersifat polyphagous dan banyak terdapat disekitar bunga, padi dan jagung,
namun banyak memakan serangga. Mangsa
utama V. lineata adalah wereng batang dan wereng daun. Siklus hidup V. lineata
dari telur sampai menjadi dewasa ialah 29 hari. Lama hidup serangga dewasa berkisar antara 101,4-106,2 hari. Persentase
penetasan telur 91,99%, sedangkan persentase menjadi serangga dewasa 48,75%
(Laba et al., 1993). Kemampuan V.
lineata memangsa adalah 2,83 WBC/hari.
Laju pertumbuhan intrinsik (r) V. lineata adalah 0,06, sehingga
persamaan pertumbuhan populasi eksponensial menjadi Nt = Noe0,06t,
artinya seekor serangga betina dapat menghasilkan keturunan 5,35 pasang selama
satu bulan dan 41 pasang dalam waktu 2 bulan (Laba, 1998).
Predator dapat memangsa lebih dari
satu inang dalam menyelesaikan satu siklus hidupnya dan pada umumnya bersifat
polyphagous, sehingga predator dapat melangsungkan hidupnya tanpa tergantung
satu inang. Berdasarkan kemampuan
memangsa, siklus hidup, laju pertumbuhan, populasi dan umur serangga dewasa, maka ketiga predator
tersebut diatas dapat menurunkan populasi wereng (Tabel 3 ).
Tabel 3. Aspek biologi dan potensi predator P.
fuscifes, C. lividipennis dan V. Lineata
No |
Jenis predator |
Siklus hidup
predator (hari) |
Lama hidup
serangga dewasa (hari) |
Siklus hidup WBC (hari) |
Kemampuan memangsa WBC/hari |
1 2 3 |
P. fuscifes C. lividipennis V. lineata |
20,98 21,1-24 29 |
80,53 21-25 101,4-106,2 |
30 30 30 |
4,9 4,1 telur 2,83 |
Sumber
: Laba dan Kilin, (1994); Suenaga, (1963); Laba et al., (1993)
Nilai r P. fuscifes dan V.
lineata lebih rendah dibandingkan dengan N. virescens dan N.
lugens, tetapi lebih tinggi dibandingkan S. furcifera. Disamping itu lama hidup serangga dewasa
kedua predator lebih lama dibandingkan wereng sehingga diharapkan mampu
mengatasi tingkat serangan wereng.
Kenyataan di lapangan menunjukkan
bahwa musuh alami selalu hadir pada
pertanaman, dilingkungan persawahan walaupun tidak ada tanaman padi. peranan predator memangsa inang
berbeda-beda, stadia serangga yang dimangsa juga berbeda. Sifat ini sangat menguntungkan karena setiap
stadia hama selalu ada musuh alami untuk menurunkan populasi hama.
Patogen serangga adalah mikroorganisme yang dapat
menimbulkan penyakit pada serangga.
Mikroorganisme yang berperan sebagai patogen pada serangga adalah
cendawan virus, bakteri, protozoa dan riketsiae (Santosa, 1993).
Patogen yang menyerang hama utama padi khususnya WBC antara lain dari
golongan cendawan yaitu : Beauveria bassiana, Metarrhizium anisopliae dan
Hirsutella citriformis.
Keberadaan jamur patogen serangga
didalam populasi hama berperan sangat penting dalam menentukan tingkat
populasi hama tersebut. Kematian WBC
sebesar 90% akibat aplikasi suspensi miselia Hirsutella citriformis
dengan konsentrasi 0.02 g miselia/ml (dosis aplikasi 30 ml/aplikasi (Priyatno et
al., 1992). Metarrhizium anisopliae dapat menurunkan populasi wereng
coklat sampai 66% dengan konsentrasi 1010 – 1015 spora/ha
(Baehaki dan Noviyanto, 1993).
Musuh
alami PBP yang paling potensial adalah parasitoid telur. Ada tiga jenis paraistoid telur PBP yaitu Tetrastichus
schoenobii Ferr., Telenomus rowani Gah., dan Trichogramma
japonicum Ashm. Kemampuan ketiga
parasitoid tersebut untuk menurunkan populasi PBP bervariasi, tergantung dari
tempat dan lingkungannya. T. schoenobii mempunyai peranan paling besar
dalam menurunkan populasi PBP, sedang T. rowani dan T. japonicum
peranannya bergantian.
Daur
hidup T. japonicum berkisar antara 7-9 hari. Kemampuan bertelur rata-rata 38,60 butir. Kemampuan T. japonicum
memparasit telur PBP adalah 31,40 telur dengan kepadatan inang 187,6 telur
(59,6%) (Laba et al., 1997).
Daur
hidup T. rowani berkisar antara 10-12 hari. Kemampuan bertelur-rata-rata 64,47 butir. Keperidian T. rowani adalah 49 ekor. Kemampuan memparasit telur PBP adalah 30,4
telur dengan kepadatan inang 181,2 telur (59,5%) (Laba et al., 1997;
Laba, 1998).
Daur hidup T.
schoenobii berkisar antara 11-14 hari.
Keperidian T. schoenobii adalah 65 ekor. Kemampuan memparasit telur PBP adalah 60-98%
(Nurbaeti et al., 1992).
PBP
adalah inang parasitoid tersebut diatas. Ngengat PBP aktif pada malam hari,
tertarik cahaya dan mempunyai daya terbang yang kuat (Pathak, 1968). Seekor
ngengat PBP mampu bertelur 100-600 butir (Soejitno, 1991). Stadium telur 4-5 hari.
Jumlah telur yang berhasil menetas menjadi larva ±
75%. Keberhasilan hidup dari larva
menjadi serangga dewasa berkisar antara 10-58%, dan sangat tergantung keadaan
lingkungan sekitarnya (Grist and Lever, 1969; Kalshoven, 1981; Sato dan
Marimoto, 1962; Nurbaeti et al., 1992).
Stadium larva berkisar antara 22-23 hari (Soejitno,
1979). Stadium pupa berkisar antara
8-14 hari (Kalshoven, 1981). Ketiga
parasitoid tersebut mampu menurunkan populasi PBP, sehingga peluang
pemanfaatannya sebagai agen pengendali PBP cukup besar (Tabel 4).
Tabel 4. Aspek biologi dan potensi T.
schoenobii, T. rowani dan T. japonicum sebagai musuh alami PBP
No |
Jenis parasitoid |
siklus hidup
(hari) |
Lama hidup
serangga dewasa (hari) |
Kemampuan (Tingkat) parasitisasi (%) |
1 2 3 |
T. schoenobii T. rowani T. japonicum |
11-14 10-12 7-9 |
6 4 4 |
60-98 59,5 59,6 |
Sumber : Nurbaeti et al. (1992);
Laba et al. (1997); Laba (1998)
KEANEKARAGAMAN
HAYATI ARTROPODA
PADA
EKOSISTEM PADI SAWAH
Ekosistem tanaman semusim bersifat kurang stabil yang
dicirikan oleh keragaman hayati rendah. Susunan jaring-jaring makanan pada
ekosistem tanaman semusim bersifat sederhana, mengakibatkan populasi hama
berada dalam tidak seimbang, sehingga terjadi ledakan populasi hama
(Andrewartha and Birch, 1984; Southwood and Way, 1980). Kestabilan ekosistem padi sawah atau tanaman semusim dapat dicapai dengan cara
peningkatan dan memantapkan keanekaragaman hayati pada ekosistem melalui pengelolaan
ekosistem antara lain mendayagunakan teknik budidaya dan meningkatkan peranan
musuh alami.
Ekosistem
padi sawah, subur bahan organik dan tidak tercemar oleh pestisida, kaya keanekaragaman hayati. Ekosistem padi sawah mengandung 765 spesies
serangga dan artropoda kerabatnya.
Keanekaragaman hayati tersebut terdiri dari kelompok detrivora dan
pemakan plankton (larva Culicidae dan Chironomidae), herbivora (termasuk
serangga hama), parasitoid dan predator (Settle et al., 1996) (Tabel 5).
Tabel
5. Komposisi spesies dalam
keanekaragaman hayati ekosistem sawah di Indonesia
|
Jumlah spesies |
|||
Detrivora dan pemakan plankton |
Herbivora |
Parasitoid |
Predator |
Total |
145 (19%) |
127 (17%) |
187 (24%) |
306 (40%) |
765 (100%) |
Sumber : Settle et al.
(1996).
Tanaman padi yang
dibudidayakan tanpa pestisida dapat memberikan hasil relatif tinggi (Untung,
1992). Dikemukakan pula bahwa tanpa
pestisida, biodiversitas ekosistem dapat ditingkatkan sehingga musuh alami yang
ada di pertanaman dapat berperan maksimal dalam mengatur populasi hama. Pada umumnya petani mengatasi serangan hama
dilakukan dengan tujuan pengendalian hama saja, tanpa memperhatikan
keanekaragaman hayati pada ekosistem pertaniannya. Oleh karena itu, sejalan dengan kebijakan pemerintah mengenai program
pengendalian hama berwawasan lingkungan dan berkelanjutan dapat dilakukan
melalui konsep PHT. Teknologi PHT dapat
diharapkan stabilitas ekosistem, sehingga pertanian berkelanjutan dan
berwawasan lingkungan dapat terwujud. Dampak
implementasi PHT dapat dilihat secara jelas melalui penggunaan pestisida. Petani
yang sudah SLPHT menggunakan pestisida lebih sedikit dibandingkan petani non
SLPHT (Tabel 6). Untuk daerah tertentu khususnya Sulawesi Selatan, penggunaan
insektisida lebih tinggi pada petani SLPHT, hal ini disebabkan karena serangan
hama penggerek batang di Sulawesi Selatan lebih dominan dibandingkan WBC, oleh
sebab itu penggunaan insektisida
butiran lebih tinggi. Insektisida butiran bersifat
sistemik dan efektif terhadap hama sasaran seperti PBP. Untuk insektisida cairan daerah Jawa Timur
dan Sulawesi Selatan lebih tinggi, hal ini kemungkinan terjadi outbreak hama
selain PBP.
No |
Propinsi |
Insektisida
butiran |
Insektisida
cairan |
||
|
|
SLPHT |
Non SLPHT |
SLPHT |
Non
SLPHT |
1 2 3 4 5 |
Sumatera
Utara Jawa
Barat Jawa Tengah Jawa Timur Sulawesi Selatan |
1,7 4,2 9,1 6,5 4,7 |
2,1 7,3 14,0 9,0 0,6 |
1,2 0,9 1,8 4,3 3,3 |
2,6 1,2 1,5 2,6 1,6 |
Sumber : Dermawan dan Yusdji (1992)
Pengurangan atau tanpa
penggunaan pestisida dapat meningkatkan keanakaragaman hayati serangga dan
peranan musuh alami. Jenis
dan populasi artropoda dipengaruhi oleh pestisida. Pada pertanian yang tidak diaplikasi dengan pestisida, jenis dan
populasi artropoda lebih banyak daripada aplikasi pestisida. Kasus tersebut berlaku pada tanam serempak
atau tanam tidak serempak (Tabel 7).
Tabel 7. Populasi artropoda1) pada tanam
serempak, tidak serempak, tanpa pestisida dan dengan pestisida
No |
Sistem
tanam |
||
|
Perlakuan |
Serempak |
Tidak
serempak |
1 2 |
Pestisida Tanpa
pestisida |
1522 1949 |
1200 1373 |
Sumber : Arifin et al., 1997
)
Parasitoid, predator, hama dan netral
Hasil pengamatan Arifin et al.
(1997) pada ekosistem lahan sawah irigasi berpola tanam padi-padi-padi, tanpa
perlakuan insektisida menunjukkan bahwa jenis musuh alami lebih banyak
dibandingkan hama. Jenis musuh alami berjumlah 29, hama 16 jenis dan 11 jenis
non status pada luas areal 1 ha (Tabel 8.).
Budidaya padi tanpa pestisida dapat menstabilkan populasi artropoda dan
memberikan hasil yang relatif sama dengan pendapatan yang lebih tinggi daripada
budidaya dengan pestisida. Stabilitas
populasi artropoda berkaitan erat dengan indeks diversitas jenis artropoda
dalam ekosistem. Indeks diversitas
jenis artropoda dalam ekosistem padi tanpa pestisida relatif tinggi dengan
jenis yang relatif lebih banyak, ukuran
populasinya relatif rendah. Ekosistem yang memiliki indeks
diversitas yang tinggi mendorong terjadinya populasi yang stabil.
Tabel 8. Jenis-jenis artropoda dan statusnya pada
ekosistem lahan sawah irigasi berpola tanam
padi-padi tanpa pestisida. Pemalang MT. Padi I. 1995/1996 (luas areal 1 ha)
No |
Jenis
Artropoda |
Familia |
Ordo |
Status |
1.
|
Agriocnemis
femina |
Coenagrionidae |
Odonata |
Predator |
2.
|
Aagriocnemis
pygmaea |
Coenagrionidae |
Odonata |
Predator |
3.
|
Amauromorpha
metathoracica |
Ichneumonidae |
Hymenoptera |
Parasitoid |
4.
|
Apanteles
sp. |
Braconidae |
Hymenoptera |
Parasitoid |
5.
|
Araneus
inustus |
Araneidae |
Araneae |
Predator |
6.
|
Argiope
catenulata |
Araneidae |
Araneae |
Predator |
7.
|
Argyrophylax nigrotibialis |
Tachinidae |
Diptera |
Parasitoid |
8.
|
Atherigona
exigua |
Agromyzidae |
Diptera |
Hama |
9.
|
Atypena
formosana |
Linypiidae |
Araneae |
Predator |
10. |
Audinetia
spinideris |
Pentatomidae |
Hemiptera |
- |
11. |
Ceratia
similis |
Galerucidae |
Coleoptera |
- |
12. |
Charops
brachypterum |
Ichneumonidae |
Hymenoptera |
Parasitoid |
13. |
Cnaphalocrosis
medinalis |
Pyralidae |
Lepidoptera |
Hama |
14. |
Cletus
bipunctatus |
Pentatomidae |
Hemiptera |
- |
15. |
Conocephalus
longipennis |
Tettigonidae |
Orthoptera |
Predator |
16. |
Culex
sp. |
Culicidae |
Diptera |
- |
17.
|
Cyrtorhinus lividipennis |
Miridae |
Hemiptera |
Predator |
18. |
Dacus
umbrosus |
Tephritidae |
Diptera |
- |
19. |
Empoasca
sp. |
Jassidae |
Homoptera |
- |
20. |
Gonesta
bicolor |
Acrididae |
Orthoptera |
- |
21. |
Harmonia
octomaculata |
Coccinelidae |
Coleoptera |
Predator |
22. |
Hispa
armigera |
? |
Coleoptera |
Hama |
23. |
Holtica
brevicosta |
Halticidae |
Coleoptera |
- |
24.
|
Hydrellia philippina |
Ephyridae |
Diptera |
Hama |
25. |
Leptocorisa
acuta |
Coreidae |
Hemiptera |
Hama |
26. |
Leptocorisa
oratorius |
Coreidae |
Hemiptera
|
Hama |
27. |
Lycosa
pseudoannulata |
Lycosidae |
Araneae |
Predator |
28. |
Macrocentrus philippinensis |
Braconidae |
Hymenoptera |
Parasitoid |
29.
|
Metioche vittaticollis |
Gryllidae |
Orthoptera |
Predator |
30.
|
Nephotettix nigropictus |
Cicadelidae |
Homoptera |
Hama |
31. |
Nephotettix
virescens |
Cicadellidae |
Homoptera |
Hama |
32. |
Nezara
viridula |
Pentatomidae |
Hemiptera |
Hama |
33. |
Nilaparvata
lugens |
Delphacidae |
Homoptera |
Hama |
34. |
Nycius
sp. |
Jassidae |
Homoptera |
- |
35. |
Ophionea
nigrofasciata |
Carabidae |
Coleoptera |
Predator |
36. |
Oxya chinensis |
Acrididae |
Orthoptera |
Hama |
37. |
Oxya
javanica |
Acrididae |
Orthoptera |
Hama |
38. |
Oxyopes
javanus |
Oxyopidae |
Araneae |
Predator |
39. |
Oxyopes
lineatipes |
Oxyopidae |
Araneae |
Predator |
40. |
Paederus
cruenticollis |
Staphylinidae |
Coleoptera |
Predator |
41. |
Paederus
fuscipes |
Staphylinidae |
Coleoptera |
Predator |
42. |
Paederus rufens |
Staphylinidae |
Coleoptera |
Predator |
43. |
Phidippus
sp. |
Saltidae |
Araneae |
Predator |
44. |
Piezodorus
hybneri |
Pentatomidae |
Hemiptera |
Hama |
45. |
Pipunculus mutillatus |
Pipunculidae |
Diptera |
Parasitoid |
46. |
Sogotella
fucifera |
Delphacidae |
Homoptera |
Hama |
47. |
Scipina
horida |
Reduviidae |
Heteroptera |
- |
48. |
Scirphophaga
incertulas |
Pyralidae |
Lepidoptera |
Hama |
49. |
Scotinophaga
vermiculata |
Pentatomindae |
Hemiptera |
Hama |
50.
|
Stephanitis typicus |
Tingitidae |
Homoptera |
- |
51. |
Telenomus
rowani |
Scelionidae |
Hymenoptera |
Parasitoid |
52. |
Tetragnatha
maxillosa |
Tetragnathidae |
Araneae |
Predator |
53.
|
Tetrastichus schoenobii |
Eulophidae |
Hymenoptera |
Parasitoid |
54. |
Tomosvaryella
subvirescens |
Pipuncullidae |
Diptera |
Parasitoid |
55. |
Verenia
lineata |
Coccinellidae |
Coleoptera |
Predator |
56. |
Xanthopimpla
flavolineata |
Ichneumonidae |
Hymenoptera |
Parasitoid |
Sumber : Arifin et al, (1997)
Keanekaragaman hayati serangga khususnya WBC dan PBP sebelum pelaksanaan PHT relatif
lebih tinggi dibandingkan setelah pelaksanaan PHT. Hal ini karena penggunaan pestisida setelah PHT menurun, sehingga
memberi kesempatan lebih baik bagi parasitoid dan predator untuk berkembang
biak. Tingkat
serangan WBC sejak tahun 1968 s/d 1989 berkisar antara 17.238-713.185 ha,
sedangkan tingkat serangan sejak 1990 s/d 1999 berkisar antara 2.112-84.491
ha. Tingkat serangan PBP sejak tahun
1980 s/d 1989 berkisar antara 54.441-276.460 ha, sedangkan tingkat serangan
sejak 1990 s/d 1999 berkisar antara 21,746-94,744 ha. Persentase penurunan serangan WBC adalah 94,4% dan PBP adalah
31,9% (Tabel 9). Penurunan tingkat serangan WBC dan PBP disebabkan karena
kesadaran petani dalam menerapkan konsep PHT, sehingga penggunaan pestisida
berkurang. Hal ini menyebabkan
keanekaragaman hayati serangga pada ekosistem padi sawah meningkat dan
ekosistem padi sawah lebih stabil.
Tabel 9. Luas serangan wereng coklat dan penggerek
batang padi periode 1968-1999
di Jawa, luar Jawa dan Indonesia.
Tahun |
Luas serangan
wereng batang coklat (ha) |
Luas serangan
penggerek batang padi |
1968/69 |
52.000 |
- |
1972 |
35.000 |
- |
1973 |
25.700 |
- |
1974 |
321,480 |
- |
1975 |
376.680 |
- |
1976 |
454.590 |
- |
1977 |
713.185 |
- |
1978 |
319.087 |
- |
1979 |
294.456 |
- |
1980 |
79.388 |
227.369 |
1981 |
58.279 |
276.460 |
1982 |
61.699 |
149.695 |
1983 |
128.591 |
126.006 |
1984 |
19.917 |
61.521 |
1985 |
44.419 |
- |
1986 |
61.255 |
54.441 |
1987 |
17.238 |
65.087 |
1989 |
23.805 |
69.653 |
1990 |
11.958 |
134.988 |
1991* |
6.201 |
23.366 |
1992** |
10.179 |
33.472 |
1993** |
3.369 |
27.274 |
1994** |
5.201 |
29.987 |
1995** |
6.165 |
33.682 |
1996** |
10.562 |
63.122 |
1997** |
2.112 |
21.746 |
1998 |
6.442 |
38.932 |
1999 |
84.491 |
94.744 |
- Tidak
ada data * = luar Jawa ** = Jawa
Sumber : Biro Pusat Statistik, 1970-1999
PELESTARIAN
PARASITOID DAN PREDATOR
Pelestarian atau konservasi
parasitoid dan predator adalah mencegah berkurangnya populasi dan potensi
parasitoid/predator yang telah ada, dengan mengembangbiakkan parasitoid dan
predator secara alami dan meningkatkan perannya dalam mengendalikan hama. Usaha tersebut dilakukan pada areal
pertanaman komoditas utama dengan memanfaatkan faktor biotik dan abiotik di
sekitar tanaman. Gulma atau
rumput-rumputan dan tanaman mengandung polen
yang dapat dimanfaatkan untuk pelestarian parasitoid dan predator sebagai
sumber makanan, tempat berlindung dan berkembang biak, sebelum inang utama
hadir di pertanaman. Sehubungan dengan
hal tersebut pengelolaan hama dan gulma secara bijaksana sangat diperlukan agar
hasil yang diperoleh maksimal. Beberapa
jenis makanan tambahan, misalnya madu dapat diberikan kepada parasitoid dan predator untuk meningkatkan umur
serangga dewasa, sehingga populasi parasitoid dan predator dapat
ditingkatkan. Berikut dikemukakan
beberapa cara pelestarian parasitoid dan predator.
Inang
Alternatif bagi Parasitoid dan Predator
Parasitoid atau predator yang
mempunyai sifat polifag atau oligofag dapat menggunakan serangga inang
alternatif, jika serangga inang utama
tidak ada. Meskipun efektivitas
parasitoid dan predator yang mempunyai sifat polifag tidak seefisien dan
seefektif parasitoid atau predator monofag, tetapi populasi parasitoid atau predator polifag tidak cepat
menurun, jika populasi inang utama tidak ada, sehingga peranan parasitoid atau
predator yang polifag atau oligofag secara berkelanjutan lebih bermanfaat. Parasitoid penggerek batang padi, Telenomus dignus Gahan
mempunyai inang alternatif yaitu telur horn flies, Tabanus spp. Berdasarkan hasil pengamatan telur Tabanus
spp. yang dikumpulkan dari pertanaman padi, jagung dan kelapa dari 14
propinsi di Filipina, muncul T. dignus dengan urutan tingkat parasitasi
dari tinggi ke rendah yaitu pada tanaman kelapa, jagung dan padi. Telur Tabanus spp. dapat digunakan
sebagai inang perantara T. dignus di lapang pada populasi penggerek
rendah (Barrion dan Litsinger, 1984).
Oleh karena itu pergiliran tanaman setelah padi adalah jagung, akan
membantu mempertahankan populasi
parasitoid hama penggerek batang padi.
Hama ganjur mempunyai inang alternatif yaitu padi liar
(Oryza perennis Moench). Parasitoid
ganjur, Platigaster oryzae (Cameron) dapat mempertahankan hidup maupun
populasinya pada tanaman padi liar yang diserang hama ganjur. Oleh karena itu pada padi liar sangat diperlukan keberdaannya disekitar tanaman
untuk mempertahankan populasi parasitoid ganjur (Jena et al. 1985). Gulma alang-alang mempunyai hama utama yaitu
ganjur alang-alang. Pada ganjur
alang-alang parasitoid ganjur dapat berkembang biak. Parasitoid tersebut adalah Platigaster oryzae Cameron
(Platigasteridae); Neanastatus oryzae Ferrier
(Eupelmidae), dan Propicroscytur miricus Girault (Pteromalidae). Keberadaannya sering dijumpai pada ganjur
alang-alang, sehingga ganjur alang-alang mempunyai potensi inang pengganti
ganjur padi dan dapat mempertahankan parasitoid ganjur (Soenarjo, 1986).
Paederus sp. adalah salah
satu predator hama-hama pada tanaman padi.
Predator tersebut bersifat polifag, dapat memangsa beberapa jenis hama
pada tanaman padi antara lain WBC, wereng punggung putih, wereng zigzag, dan
wereng hijau. Hama-hama tersebut
kehadirannya di lapangan secara bergantian.
Pada awal tanaman biasanya lebih dulu hadir adalah wereng punggung putih
atau wereng zigzag, sehingga Paederus sp. sudah mendapatkan inang. Sejak
umur tanaman 40 hari setelah tanam, umumnya yang muncul adalah WBC,
sedangkan wereng hijau muncul mulai awal pertanaman jika serangan berat. Melihat komposisi hama-hama padi yang
dimangsa oleh Paederus sp., maka
keberadaan dan potensi Paederus sp. dapat membantu menurunkan
populasi beberapa hama padi secara
berkelanjutan. Verenia lineata
Thumb. adalah salah satu predator hama padi antara lain WBC, WPP dan
WH. Disamping itu V. lineata juga predator hama kedelai, jagung dan dapat
mengurangi populasi kutu daun (Aphid sp.). Oleh karena itu pergiliran tanaman dengan kedelai atau jagung
setelah padi dapat membantu untuk mempertahankan populasi predator tersebut
(Kalshoven, 1981). Cyrtorhinus
lividipennis Reuter salah satu predator utama dalam menurunkan populasi
WBC, WPP, dan WH. Nimpa dan imago dapat
memangsa semua stadium wereng (Chiu, 1979).
C.
lividipennis lebih
banyak memangsa telur wereng
dibandingkan stadium nimpa atau dewasa.
Inang utama C. lividipennis ialah WBC. Kelangsungan hidup C.
lividipennis di lapangan sangat
tergantung dari populasi inang utama maupun inang alternatif. Jika inang utama tidak ada di lapangan,
tetapi terdapat inang alternatif (WPP atau WH) maka populasi C. lividipennis
dapat bertahan secara berkelanjutan.
Pengelolaan
Gulma dan Sisa Tanaman
Gulma tumbuh disekitar tanaman utama
umumnya dianggap mengganggu tanaman utama.
Beberapa jenis gulma bermanfaat bagi parasitoid dan predator, karena
gulma dapat digunakan tempat berlindung serangga inang dan tempat bertelur bagi
parasitoid dan predator. Tanaman padi
di sawah yang mengandung tanaman azolla, disenangi oleh predator wereng coklat
yaitu Microvelia douglasi atrolineata Bergroth (Veliidae), Paraplea
sobrina Stal. (Pleidae), dan Lycosa pseudoannulata Boes et str. (Lycosidae). Azolla tempat berlindung
predator tersebut. Beberapa jenis rumput-rumputan antara lain Enchinochloa
crusgalli, Cyperus diffusus, dan Brachiaria mutica, merupakan inang
alternatif wereng, sehingga predator C. lividipennis dapat berkembang
biak pada rumput-rumputan tersebut (Sivapragasam, 1983). Tumpukan jerami di sawah dengan ukuran 10 x
7 m dengan ketebalam 30 cm dapat berfungsi sebagai media konservasi musuh
alami. Hasil pengamatan menunjukkan
bahwa tumpukan jerami tersebut selama 10 hari terdapat berbagai jenis musuh
alami hama-hama padi antara lain Microspis sp., Ophionea sp., Telenomus
sp., semut, Anagrus sp., Oligosita sp., Mimarid,
Bracon, Elasmus, dan Lycosa sp. (Shepard et al. 1989). Tumpukan jerami
dapat berfungsi sebagai tempat berlindung maupun berkembang biak musuh alami
tersebut, karena tumpukan jerami masih mengandung hama sebagai inang musuh
alami. Parasitoid Anagrus sp. dan Gonatocerus sp. dapat
berkembang biak pada rumput Leersia sp. dan dapat mengurangi telur WBC
sampai 50% (Kartohardjono, 1992).
Selain rumput-rumputan tersebut diatas, Anagrus sp. dan Gonatocerus
sp. juga dapat berkembang biak pada Paspalum vaginatum dan Digitaria sp. (Tabel 10).
Tabel 10.
Persentase telur terparasit Anagrus sp. dan Gonatocerus sp. pada
padi dan
rumput-rumputan (Leersia sp., Paspalum
vaginatum, dan Digitaria sp.). Bogor, 1989
Perlakuan |
Telur
terparasit (%) |
|||
|
Anagrus sp.* |
Gonatocerus sp.* |
Anagrus sp.** |
Gonatocerus sp.** |
Wereng coklat Wereng hijau Wereng punggung putih |
34,87 0,48 17,14 |
0,18 24,10 1,04 |
26,09 1,13 9,96 |
1,59 24,63 0,38 |
*Pada
rumput-rumputan; ** pada padi.
Sumber
: Atmadja (1989)
Telur WBC terparasit oleh Anagrus
sp. pada rumput-rumputan lebih tinggi dibandingkan dengan WH atau WPP yaitu
34,87%, sedangkan parasitisasi WCK oleh Anagrus sp. pada padi ialah
26,29%. Paratisasi WH oleh Gonatocerus
sp. pada rumput-rumputan lebih tinggi (24,10%) dibandingkan dengan WBC atau WPP
sedangkan parasitisasi pada padi ialah 24,63%, dan lebih tinggi dibandingkan
dengan WBC atau WPP.
Dari data tersebut menunjukkan bahwa
rumput-rumputan (Leersia sp., Paspalum vaginatum dan Digitaria
sp.) merupakan inang alternatif hama wereng khususnya WBC dan WH sekaligus
tempat berlindung dan berkembang biak bagi parasitoid Anagrus sp. dan Gonatocerus
sp. Gulma jenis kayu apu (Pistia
stratiotes) dan Salvinia molesta merupakan tempat berlindung dan
tempat mencari mangsa bagi Lycosa pseudoannulata (Supriyadi et al.,
1992).
Singgang tanaman padi berfungsi
untuk peletakkan telur penggerek batang padi sekaligus untuk kelangsungan hidup
parasitoid Tetrastichus schoenobii Ferr., Telenomus rowani Gah.,
dan Trichogramma japonicum Ashm.
Dari hasil penelitian menunjukkan bahwa telur terparasit pada singgang
berkisar antara 40-100%, sedangkan di persemaian dan pada tanaman umur 3 bulan
masing-masing 10-83,30 dan 33,30-58% (Laba, 1998).
Penggunaan
Pestisida Secara Terbatas dan Selektif
Penggunaan pestisida khususnya
insektisida untuk pengendalian hama tanaman dilakukan dengan pemilihan dan
pemakaian insektisida yang direkomendasikan.
Pemakaian insektisida dapat
dilakukan jika komponen PHT lainnya belum tersedia atau tidak mampu menurunkan
populasi hama. Salah satu kriteria
adalah insektisida tidak berpengaruh merugikan terhadap parasitoid, predator
dan serangga penyerbuk.
Pengaruh negatif insektisida
terhadap musuh alami WBC dan penggerek batang sudah diketahui, khususnya dari
golongan organofosfat dan karbamat. Musuh alami hama padi yang dimaksud adalah Lycosa
sp., Cyrtorhinus sp., Coccinella sp., Paederus sp., Ophionea sp., Anagrus
sp. dan parasitoid penggerek batang padi (Kilin et al., 1993; Untung et
al., 1988; Marsudiyono, 1989; Rahayu, 1986; Soekarna, 1979).
Penyediaan
Makanan Buatan
Parasitoid atau predator khususnya
serangga dewasa memakan madu atau gula untuk memenuhi kebutuhan hidupnya. Dengan terpenuhinya makanan tersebut diharapkan populasi
parasitoid dan predator akan
meningkat. Cara pemberian dapat
dilakukan secara langsung dengan
menyemprotkan makanan buatan tersebut.
Aplikasi ekstrak WBC di lapang meningkatkan parasitisasi Anagrus
sp., sedangkan aplikasi cairan gula meningkatkan persentase parasitisasi Oligosita
sp. (Kartohardjono dan Atmadja, 1997).
Aplikasi cairan gula dan ekstrak WBC juga dapat meningkatkan populasi Cyrtorhinus
sp., Ophionea sp., Lycosa sp., Coccinella sp. dan Paederus
sp. (Kartohardjono dan Marzuki, 1997).
Penggunaan larutan gula 5% dapat meningkatkan populasi parasitoid
penggerek batang padi (Laba et al., 1995).
MASALAH DAN PROSPEK PEMANFAATAN
MUSUH ALAMI
Belajar
dari pengalaman, dalam menanggulangi masalah serangga hama selama ini perlu
mengembangkan pendekatan, strategi dan teknologi pengelolaan yang berdampak
negatif minimal bagi kesehatan dan lingkungan.
Strategi pengelolaan hama khususnya pada ekosistem padi sawah dapat menerapkan
konsepsi PHT dengan memperhatikan pemahaman agroekosistem, memaksimumkan
keefektifan pengendalian alami dan pengendalian cara bercocok tanam serta
meminimumkan masukan eksternal agroekosistem dalam pengendalian hama. Salah
satu prinsip PHT adalah pemantauan dan evaluasi ekosistem agar keberadaan dan
peranan musuh alami sebagai faktor pengendali alamiah populasi hama dapat
diberdayakan. Untuk itu diperlukan
suatu sistem operasi pemantauan dan evaluasi ekosistem agar diperoleh informasi
untuk mengambil keputusan perlu atau tidaknya tindakan pengendalian. idealnya sistem operasi tersebut
dilaksanakan oleh petani. Jumlah
petani yang sudah mendapat SLPHT adalah
1.000.000 orang atau 5,25% dari jumlah kepala keluarga petani yang diperkirakan
19 juta KK. Angka tersebut diharapkan
dapat meneruskan ke petani lainnya, sehingga pemantauan dan evaluasi ekosistem
dapat dilakukan oleh petani (Kusmayadi, 1999; Oka, 1995). Pengamatan masih dilakukan oleh Pengamat
Hama dan Penyakit (PHP) tanaman pangan dan hortikultura di tiap propinsi. Wilayah kerja PHP seluas wilayah kecamatan,
harus memiliki mobilitas yang tinggi agar tugas dapat diselesaikan dengan
baik. Fasilitas transportasi, kalaupun
ada kurang memenuhi syarat. Oleh karena
itu perlu diteruskan pembinaan sumberdaya petani melalui pelembagaan PHT di
tingkat petani dan di tingkat institusi formal dan non formal. Dengan pelatihan
terhadap petani secara terus menerus diharapkan monitoring dan evaluasi
ekosistem di lahan usahanya dapat dilakukan oleh petani.
Musuh
alami adalah salah satu komponen PHT. Tantangan yang dihadapi adalah usaha
untuk melindungi, mengembangkan serta
meningkatkan efisiensi dan aktivitas musuh alami sehingga peranannya semakin
nyata. Untuk meningkatkan populasi
musuh alami di lapang, bisa diusahakan melalui perbanyakan massal, tetapi baru
bisa diperbanyak beberapa jenis musuh alami.
Masalahnya ialah biaya dan teknik pelepasan agar musuh alami berperan
maksimal. Dalam menerapkan konsep PHT,
musuh alami memegang peranan penting.
Peranan musuh alami akan dapat ditingkatkan jika komponen lain turut
mendukung, terutama varietas tahan.
Selain perbanyakan massal peningkatan populasi musuh alami dapat
dilakukan melalui pelestarian musuh alami, dengan memanfaatkan tanaman
alternatif atau inang alternatif, gulma atau pemanfaatan makanan buatan dan
mengurangi penggunaan pestisida.
Musuh
alami hama adalah teman petani, karena jasad hidup tersebut membantu petani
dalam melindungi tanaman dari serangan hama.
Kenyataan di lapang menunjukkan bahwa musuh alami khususnya parasitoid
dan predator selalu hadir di pertanaman, di lingkungan pesawahan, kebun
walaupun tidak ada tanaman (khususnya untuk tanaman semusim). Selain itu
peranan dan kemampuan musuh alami memangsa, memarasit atau menginfeksi inang
berbeda-beda. Sifat ini sangat
menguntungkan dalam menurunkan populasi hama, karena setiap stadia hama selalu
ada musuh alami yang membantu menurunkan populasinya.
Prospek
pemanfaatan beberapa jenis musuh alami sudah jelas, dapat ditingkatkan
peranannya melalui pelestarian, khususnya parasitoid dan predator. Masalahnya sekarang adalah bagaimana
penerapan oleh petani di lapang. Hal
ini memerlukan penyuluhan atau pelatihan petugas pertanian melalui instansi
terkait yang akhirnya dapat dilakukan oleh petani. Untuk mendukung program PHT secara menyeluruh tetap diperlukan
penelitian dan pengembangan musuh alami sampai tingkat petani. Penelitian akan memperkaya pengetahuan dan
memberikan efek umpan balik positif, karena akan memberikan peluang cara
mempertinggi efisiensi pemanfaatan musuh alami. Ekosistem pertanian adalah
interaksi antara tanah, tanaman dan binatang pada waktu dan ruang yang sama. Komunitas sawah merupakan komunitas
beranekaragam. Apabila interaksi
antar komponen dapat dikelola secara
tepat maka kestabilan ekosistem pertanian dapat diusahakan. Disamping itu peluang yang dapat mendukung
untuk mencapai kestabilan ekosistem adalah keberhasilan PHT dengan ribuan PPL,
PHP dan petani yang sudah terlatih merupakan modal utama untuk mencapai sistem
pertanian yang berkelanjutan.
KESIMPULAN
Berbagai
jenis artropoda terdapat dalam ekosistem padi sawah dan turut berperan dalam keseimbangan hayati untuk mencapai
pengendalian hama yang ramah lingkungan dan menuju pertanian
berkelanjutan. Potensi berbagai jenis
musuh alami khususnya parasitoid dan predator hama wereng coklat dan penggerek
batang padi serta pelestariannya yang dapat dijadikan agen hayati untuk
pengendalian hama utama tanaman padi.
Konsep PHT adalah cara pengendalian yang cocok untuk mewujudkan sistem
pengendalian yang ramah lingkungan. Hal ini terbukti dari keanekaragaman hayati
serangga sesudah PHT lebih komplek dibandingkan sebelum PHT.
DAFTAR PUSTAKA
Andrewartha, H.G. and L.C. Birch.
1984. The ecological. The University of Chicago. 505 pp.
Arifin, M., I.B.G. Suryawan, B.H.
Priyanto dan A. Alwi. 1997. Diversitas
artropoda pada berbagai teknik budidaya padi di Pemalang, Jawa Tengah. Penelitian Pertanian Puslitbangtan 15 (2): 5-12.
Atmadja, W.R. dan A. Kartohardjono. 1990. Parasitasi Anagrus sp., Gonatocerus
sp. terhadap beberapa jenis serangga inang pada pertanaman padi. hlm. 427-431. Dalam Hardjosumadi et al. (red). Prosiding
Hasil Penelitian Tanaman Pangan Bogor, 21-22 Februari 1990. Vol 2.
Atmaja, W.R. 1989. Parasitisme Anagrus sp. dan Gonatocerus
sp. terhadap telur tiga jenis wereng pada pertanaman padi dan rerumputan. hlm.
722-729. Dalam Suprapto et al. (eds.). Prosiding Hasil Penelitian
Tanaman Pangan Bogor. Vol. 3. Bogor, 29 Februari - 2 Maret 1992. Balai
Penelitian Tanaman Pangan, Bogor.
Baehaki, S.E. 1984a. Laju
pertumbuhan intrsinsik wereng coklat di laboratorium. Penelitian Pertanian
4(1): 8-10.
Baehaki, S.E. 1984b. Biologi dan atribut populasi wereng punggung
putih (Sogotella purcifera Horvath). Penelitian Pertanian 4(3): 106-110.
Baehaki, S.E. 1991. Peranan musuh alami mengendalikan wereng
coklat. Prosiding Seminar Sehari
Tingkat Nasional. Fakultas Pertanian Universitas Jenderal Sudirman. hlm. 1-9.
Baehaki, S.E. dan M. Iman.
1991. Status hama wereng pada tanaman
padi dan pengendaliannya. hlm. 681-712. Dalam
Soenarjo et al (red). Padi Buku 3, Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian, Puslitbangtan,
Bogor.
Baehaki, S.E. dan Noviyanti.
1993. Pengaruh umur biakan Metarrhizium
anisopliae Strain lokal Sukamandi terhadap perkembangan wereng coklat. Prosiding Makalah Simposium
Patologi Serangga I. Kerjasama PEI
Cabang Yogyakarta, Fak. Pertanian UGM dan Program Nasional
PHT/BAPPENAS. Yogyakarta 12-13 Oktober 1993. Hal 113-124.
BPS. 1970-1999. Luas
dan intensitas serangan jasad pengganggu padi dan palawija di Indonesia. Jakarta.
Carruthers, R.I. and K. Hural.
1990. Fungi as naturally accuring
entomophatogens. p. 115-138 In R.R. Baker and P.E. Dunn (eds.). New
Directions in Biological Control; Alternative for suppressing agricultural
pests and diseases. Alan R. Liss. Inc.
Chiu,
S.C. 1979. Biological control of the brown
planthopper, Nilaparvata lugens Stal. In brown planthopper Threat to Rice Production
in Asia. IRRI, Los Banos, Laguna, Philippines. 335-356.
Darmawan, D. dan Y. Yusdja. 1992. Efisiensi biaya pestisida pada tanaman padi
dengan program pengendalian hama terpadu, hlm. 1007-1022 Dalam M. Syam et al. (red). Kinerja Penelitian Tanaman
Pangan, Buku 3. Pusat Penelitian dan Pengembangan Tanaman Pangan, Bogor.
De
Bach, Paul. 1979. Biological control by natural
enemies. Cambridge University Press, London. 323 pp.
Diani, D., W.R. Atmadja, D.
Kusdiaman dan Supriyadi. 1992. Komposisi parasitoid pada telur wereng (Nilaparvata lugens
Stal.). Makalah disampaikan pada Kongres Entomologi IV. Yogyakarta, 28-30
Januari 1992. 10 hlm.
Fachrudin.
1980. Bionomi Nephotettix virescens
(Distant) (Homoptera; Ciccadellidae; Euscelidae). Disertasi Pascasarjana IPB.
Grist, D.H. and R.J.A.W. Lever.
1969. Pest of rice. Longmans, Green and Co. London, 420 hlm.
IRRI. 1978. Annual Report for 1977. Los
Banos, Laguna, Philippines.
Jena, B.C., N.C. Patnaik and N.
Panda. 1985. Gall midge activity and parasitization by Platigaster oryzae
in Jaya Stuble and Wild rice at Bhubaneswar, India. IRRN. 10(5): 20.
Jepson, W.F. 1954. A critical review
of the world literature on the Lepidopterous Stalk borers of tropical
gramminaceous crops. Commonws. Int.
Entomol. London, 127 hlm.
Kalshoven, L.G.E. 1981. The pest of crops in Indonesia (Revised and
translated by P.A. Van der Laan). PT. Ichtiar Baru Van Hoeve, Jakarta 1981.
Kartohardjono, A. 1988. Kemampuan beberapa predator (laba-laba, Paederus
sp., Ophionea sp., Cyrtorhinus sp., dan Coccinella
sp.) dalam mengurangi kepadatan wereng coklat (Nilaparvata lugens Stal.)
pada tanaman padi. Penelitian Pertanian
8(1): 25-31.
Kartohardjono, A. 1992. Pengaruh parasit telur Anagrus sp.
dan Gonatocerus sp. terhadap wereng coklat pada dua jenis tanaman
inang. Kumpulan Abstrak Kongres
Entomologi IV. Yogyakarta, 28-30 Januari 1992. hlm. 93.
Kartohardjono, A. dan A.R. Marzuki,
1997. Pelestarian predator dan wereng coklat (Nilaparvata lugens Stal)
dengan menyemprotkan ekstrak inang dan gula.
Kumpulan Abstrak Kongres Entomologi V dan Simposium. Bandung, 23-26 Juni
1997. hlm. 41.
Kartohardjono, A. dan W.R. Atmadja.
1997. Pelestarian parasitoid (Anagrus
sp. dan Oligosita sp.) pada wereng batang coklat (Nilaparvata
lugens Stal.) dengan menyemprotkan ekstrak
inang dan gula. Prosiding III,
Seminar Nasional Biologi XV PBI Cabang Lampung dan Unila.
Kartohardjono, A., T. Teryana, W.R.
Atmadja dan Nursasongko. 1989. Peranan
predator Cyrtorhinus sp. dalam memangsa wereng coklat pada tanaman padi.
Edisi Khusus No. 2. Penelitian Wereng Coklat 1987/1988. Balai Penelitian Tanaman Pangan
Bogor. hlm. 54-63.
Kilin, D., I.W. Laba dan P. Panudju.
1993. Dampak negatif penggunaan
insektisida. Laporan Penelitian
1992/1993 Balittan Bogor.
Kusmayadi,
A. 1999. Program Nasional Pengendalian Hama Terpadu. Makalah disampaikan pada Seminar Nasional Perhimpunan Entomologi
Indonesia Cabang Bogor, 16 Februari 1999: 17 hlm.
Laba,
I.W. 1998. Intrinsic rate of natural increase
of Verenia lineata Thumb, (Coleoptera; Coccinallidae) as a predator of
green leafhopper, Nephotettix virescens Distant (Homoptera;
Ciccadellidae). Makalah
disampaikan pada Kongres Biologi XII dan Seminar XVI pada tanggal 27 Juli 2000.
10 pp.
Laba, I.W. dan D. Kilin. 1994. Biologi Paederus fuscifes Curt. dan
kemampuannya memangsa wereng batang coklat (Nilaparvata lugens Stal.)
(4): 240-245. Dalam Machmud et al. (eds). Risalah Hasil Penelitian
Tanaman Pangan Bogor.
Laba, I.W., A. Kartohardjono dan D.
Kilin. 1997. Potensi Tetrastichus
schoenobii Ferr., Telenomus rowani Gah. dan Trichogramma
japonicum Ashm. sebagai parasitoid telur penggerek batang padi kuning (Scirpophaga
incertulas Walker). Prosiding
Seminar Nasional Tantangan Entomologi pada Abad XXI. Perhimpunan Entomologi
Indonesia Cabang Bogor. hlm. 62-72.
Laba, I.W., D. Kilin dan B.
Nurbaeti. 1995. Metode
perbanyakan parasitoid penggerek batang padi.
Laporan Hasil
Penelitian. Balai Penelitian Tanaman
Pangan Bogor. 15 hlm.
Laba, I.W., Subiyakto dan L.
Hersulianti. 1993. Biologi Verenia lineata Th. (Coleoptera;
Coccinellidae) dan predatismenya terhadap wereng batang padi (Homoptera;
Delphacidae). Buletin
Pertanian, Fakultas Pertanian Universitas Islam Sumatera Utara. 12(1): 15-18.
Manti,
I., S. Sosromarsono, M. Iman dan R.T.M. Sutamihardja. 1982. Biologi predator Cyrtorhinus lividipennis Reuter dan
predatismenya terhadap wereng coklat (Nilaparvata lugens Stal.).
Penelitian Pertanian. 2(2): 56-59.
Marsudiyono. 1989. Pengaruh residu insektisida terhadap Anagrus
sp. parasit telur wereng coklat (Nilaparvata lugens Stal.). Skripsi Fakultas Biologi, Universitas
Nasional, Jakarta 56 hlm.
Nurbaeti, B., E. Soenarjo dan
Waluyo. 1992. Studi peranan musuh alami penggerek batang padi Scirpophaga
incertulas (Walker) (Lepidoptera; Pyralidae). Seminar Tahunan Balai Penelitian Tanaman Pangan. Bogor,
6 hlm.
Pedigo,
L.P. 1999. Entomology
and pest management. Lowa University.
Prentice Hall, Upper Sadlle River. NJ. 07458. Third Edition. P. 307.
Priyatno, T.P., M.K. Kardin dan I W.
Laba, 1992. Kompatibilitas suspensi
miselia Hirsutella citriformis dengan buprofezin dalam mengendalikan
wereng coklat. Progress Report CRIF-CARDIFF. Unpubl. 65 haL.
Oka, I.N. 1995. Pengendalian hama terpadu dan
implementasinya di Indonesia. Gadjah Mada University Press. 255 hlm.
Pathak, M.D. 1968. Ecology of common insect pest of rice. Ann.
Rev. Entomol. 13 pp.
Peter, A.C. Ooi. 1978. Some Common predators associated with the
brown planthopper in Malaysia Inter. Rice. Res. Newsl. (4): 17.
Rahayu, A. 1986. Toksisitas
karbaril, karbofuran, diazinon dan quinalfos terhadap N. lugens dan C.
lividipennis. Seminar Hasil
Penelitian Tanaman Pangan Sukamandi, Puslitbangtan Bogor Vol. 2: 333-338.
Sahad, K.A. and Y. Hirashima.
1984. Toxonomic studies on the genera Gonatocerus
nees and Anagrus holiday of Japan and adjacent regions, with
notes on their biology (Hymenoptera; Mymaridae) Bull. Inst. Trop. Agr. Kyushu
Univ. 7: 1-78.
Santoso,
T. 1993. Dasar-dasar patologi
serangga. Prosiding Makalah Simposium
Patologi Serangga I. Kerjasama PEI
Cabang Yogyakarta, Fak. Pertanian
UGM dan Program Nasional PHT/BAPPENAS Yogyakarta 12-13 Oktober 1993. Hal 1-15.
Sato, K. and N. Marimoto. 1962.
Ecological studies on the larval colony hatched from an egg mass of the rice
stem borer. Japan J. Appl. Entomol. Zool. 6: 95-100.
Settle, W.H., H. Ariawan, E. Tri
Astuti, W. Cahyono, A.L. Hakim, D. Hidayana, A. Sri Lestari and Pajarningsih.
1996. Managing tropical rice pest
through concervation of generalist natural enemies and alternative prey.
Ecology, 77(7): 1975-1988.
Shepard, B.M., A.T. Barrion and J.A.
Litsinger. 1977. Friend of the rice
farmer. Helpful insects, spider and pathogen. IRRI, Los
Banos, Philippines.
Shepard, B.M., H.R. Rapusas and D.B.
Estano, 1989. Using rice straw bundles
to conserve beneficial arthropod communities in rice fields. Int. Rice. Res. Newl.
14(5): 30-31.
Sivapragasam,
A. 1983. Weed host for Cyrtorhinus lividipennis
(Reuter) a brown planthopper predator. IRRN. 8(6): 19.
Soehardjan, M. 1976. Dinamika
populasi penggerek padi kuning, Tryporyza incertulas (Walker)
(Pyralidae; Lepidoptera). Disertasi IPB.
Soejitno, J. 1979. Perilaku
larva penggerek padi Tryporiza incertulas pada tanaman padi Pelita I-1. Kong.
Entomol. Indonesia I. Jakarta, 9 hlm.
Soejitno,
J. 1991. Bionomi dan pengendalian hama
penggerek padi. hlm. 713-735. Dalam Soenarjo et al. (Penyunting).
Padi Buku 3. Badan
Penelitian dan Pengembangan Pertanian. Puslitbangtan Bogor.
Soekarna, D. 1979. Pengaruh pestisida bentuk EC dan WP terhadap
beberapa predator wereng coklat, Nilaparvata lugens. Kongres
Entomologi I. Jakarta, 9-11 Januari 1979. 17 hlm.
Soenarjo,
E. 1986. Keberadaan parasit ganjur padi
Orseolia oryzae (Wordmason) pada ganjur alang-alang Orseolia japanica
Kieffer. Risalah Seminar Hasil Penelitian Tanaman Pangan di Sukamandi, 16-18
Januari 1986. Col. 2: hlm. 352-356.
Sosromarsono,
S. 1993. Membunuh serangga dengan serangga. Cerita tentang pengendalian hayati, hlm.
33-39. dalam Adisoemarto dan Soehardjan
(penyunting). Berita
Entomologi Vol. III (1)
1 Oktober 1993. Perhimpunan Entomologi
Indonesia.
Southwood, T.R.E. and M.J. Way.
1980. Ecological background to pest
management. In Rabb, R.L., and F.E.Guthrie (eds.). Concept of Pest
Management. North Caroline State University. Releight, North Caroline.
Stern, V.M., R.F. Smith, R Van den
Bosch and K.S. Hagen. 1959. The
integration of chemical and biological control of spotted alfalfa aphid. Hilgardia
29 (2); 81-101.
Suenaga,
H. 1963. Analytical
studies on the ecology of two species of planthopper, the whitebacked
planthopper (Sogotella furcifera Horvath) with special refference to
their outbreak, Bull. Kyushu. Agric. Exp. Stu. 8(1): 1-152.
Supriyadi, S. Mangundihardjo dan E.
Mahrub. 1992. Kajian Ekologi laba-laba srigala, Lycosa pseudoannulata
Boes. et. Str. pada lahan padi.
Kumpulan Abstrak Kongres Entomologi IV, Yogyakarta, 28-30 Januari. hlm
91.
Untung,
K. 1992. Konsep dan strategi
pengendalian hama terpadu. Makalah
Simposium Penerapan PHT. PEI
Cabang Bandung. Sukamandi, 3-4 September 1992. 17 hlm.
Untung, K. dan M. Sudomo. 1997.
Pengelolaan serangga secara berkelanjutan.
Makalah disampaikan pada Simposium Entomologi Indonesia, Bandung 24-26
Juni 1997. 13 hlm.
Untung, K., E. Mahrub, S. Sudjono,
K. Ananda, Rosdiman dan A. Trisyono. 1988.
Studi populasi, distribusi dan migrasi wereng coklat (Nilaparvata
lugens Stal) dan musuh alaminya.
Laporan Penelitian, Kerjasama Balai Penelitian Tanaman Pangan Bogor
dengan Fakultas Pertanian Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta.
Van Emden, H.P. 1976. Pest control and its ecology. Edward Arnold.
59 p.
Vreden, G.V. and A.L. Akhmad Zabidi.
1986. Pest of rice and their natural
enemies in Pamisulan Malaysia. Pudoc Wageningen. 230 pp.
Wardojo, S. 1986. Penggunaan serangga mandul, patogen, hormon
dan feromon dalam pengelolaan hama tanaman. Aspek-aspek pestisida di Indonesia.
Bogor. hlm. 252-259.