Makalah Kelompok IV                                                                                            Posted  10 October 2001

Falsafah Sains (PPs 702)

Program Pasca Sarjana

Institut Pertanian Bogor

October  2001

 

Dosen:

Prof Dr Ir Rudy C Tarumingkeng (Penanggung Jawab)

 

 

 

 

PENGELOLAAN  WILAYAH  PESISIR  UNTUK  PEMANFAATAN  SUMBERDAYA  ALAM  YANG  BERKELANJUTAN

 

 

Oleh:

 

Budi Nugroho (Ketua), F. Dwi Joko Priyono, John Tetalepta,

Neneng L Nurida ,  Rini Hidayati,  Rustamsjah  dan Wawan.

 

 

DAFTAR ISI

I.                    PENDAHULUAN

II.                 EKOSISTEM WILAYAH PESISIR

A.     Ekosistem Estuaria

B.     Ekosistem Mangrove

C.     Ekosistem Terumbu Karang

D.     Ekosistem Rumput Laut dan Lamun

E.      Ekosistem Rawa Pasang Surut

F.      Iklim

III.               PENGELOLAAN  WILAYAH  PESISIR

A.     Pengelolaan  Mangrove

B.     Pengelolaan Rawa Pasang Surut

C.     Permasalahan  Iklim

D.     Pengelolaan Sumberdaya Laut

E.      Permasalahan Pencemaran

IV.              KESIMPULAN

DAFTAR PUSTAKA

 

 

I.  PENDAHULUAN   

 

            Pada awal kehidupannya manusia menggantungkan diri pada kemurahan alam.  Pada tahap ini hanya memanen yang disediakan alam, tanpa usaha untuk mengusahakannya.  Pengelolaan alam terjadi secara tidak sengaja bersamaan dengan  perkembangan pertanian, dimana ibu-ibu secara tidak sengaja membuang biji-biji tanaman dari sisa makanannya yang selanjutnya tumbung berkembang dan  berbuah, dan kaum laki-laki menangkap hewan liar dan memeliharanya.

            Dengan berkembangnya jumlah manusia yang oleh Malthus  disebutkan sebagai deret ukur sedangkan perkembangan pangan seperti deret hitung, maka mulailah terjadi kendala dalam pemenuhan kebutuhan manusia. Bersamaan perkembangan kehidupan sosial manusia, berkembang pula kebutuhan manusia yang bergeser dari pemenuhan kebutuhan dasar sampai yang paling tinggi kebutuhan untuk mengaktualisasikan diri seperti pendapat yang dikemukakan Maslow.  Dengan perkembangan tersebut berkembang pula tingkat dan bidang kehidupan yang harus dimanipulasi dalam rangka menutup kesenjangan antara kebutuhan dan ketersediaan  kebutuhan  manusia. Perkembangan kemasyarakatan manusia tersebut dimulai dari wilayah pesisir.

Wilayah pesisir didefinisikan sebagai  wilayah peralihan antara laut dan daratan, kearah darat mencakup daerah yang masih terkena pengaruh percikan air laut atau pasang  surut, dan ke arah laut meliputi daerah paparan benua (Beatly et. al., 1994 dalam Dahuri et. al., 1996). Wilayah pesisir ditinjau dari berbagai macam peruntukannya merupakan wilayah yang sangat produktif (Supriharyono, 2000) Wilayah ini merupakan tempat menumpuknya berbagai bahan baik berasal dari hulu atau setempat akibat berbagai macam aktifitas manusia. Wilayah pesisir perlu kiranya untuk dibahan karena beberapa hal:

1.      Wilayah pesisir merupakan wilayah yang mempunyai daya dukung yang sangat tinggi.  Sebagai akibatnya wilayah ini merupakan tempat terkonsentrasinya berbagai kegiatan manusia.  Bukanlah secara kebetulan apabila banyak kota besar terletak di pesisir.

2.      Akibat aktifitas menusia yang tinggi di wilayah ini dan akibat posisi geografisnya, maka wilayah pesisir rentan terhadap kerusakan lingkungan

3.      Kerusakan wilakyah pesisir akan berpengaruh besar bagi wilayah lainnya

4.      Dalam rangka globalisasi  dan zaman informasi seperti saat ini wilayah pesisir merupakan  yang semakin penting, sebagai pintu gerbang informasi, lalu lintas barang dan transportasi masal yang relatif murah

Dengan tingkat kepentingan seperti dikemukkan di atas maka berbagai permasalahan ditemukan di wilayah pesisir ssat ini permasalahan-permasalahan tersebut antara lain adalah  ( Clark, 1996):

1).      Penurunan sumberdaya alamiah: (a) erosi pantai; (b) konversi hutan bakau untuk tata guna lahan lainnya; (c) pengreklamasian wilayah pantai; (d) penangkapan ikan dengan menggunakan dinamit/racun; (e) tangkap lebih dan (e) eksploitasi lebih terhadap hutan bakau.

2).      Polusi: (a) sumber-sumber industri (sampah industri); (b) sumber domestik (sampah rumah tangga dan sampah keras); (c) sumber-sumber dari pertanian (aliran atas bahan-bahan pestisida dan pupuk); dan (d) sumber-sumber lain (penggalian/penambangan).

3).      Konflik penggunanaan lahan: (a) tidak adanya akses kearah pantai sebagai akibat padatnya pemukiman pada daerah tersebut; (b) tidak bisa dipergunakan daerah pantai akibat polusi yang sangat tinggi;  dan (c) konservasi dan preservasi terhadap hutan bakau versus konversi sumberdaya yang sama untuk dijadikan tambak ikan/udang atau reklamasi menjadi daerah pemukiman atau untuk tujuan-tujuan komersial lainnya.

4).      Pengrusakan kehidupan dan kepemilikan sebagai akibat bencana alam: (a) banjir yang diakibatkan oleh badai; (b) gempa bumi; (c) angin topan cyclone, dan (d) tsunami.

Dengan gambaran seperti dikemukakan di atas tulisan ini dimaksudkan untuk melihat kondisi pesisir yang dapat digunakan untuk petunjuk pengelolaan lingkungan di wilayah tersebut.

 

 

II.  EKOSISTEM  WILAYAH PESISIR

 

Wilayah pesisir merupakan wilayah yang unik karena ditemukan berbagai ekosistem mulai dari daerah pasang surut, estuari, hutan bakau terumbu karang, gelombang pasang, pulau penghalang dsb.  Wilayah pesisir merupakan pertemuan anatara darat dan laut yang meliputi wilayah sekitar 8 % permukaan bumi. (Birkeland, 1983; McCormick-Ray, 1994; Clark, 1996).

 

A. Ekosistem Estuaria

 

            Estuaria adalah perairan yang semi tertutup yang berhubungan bebas dengan laut, sehingga air laut dengan salinitas yang tinggi dapat bercampur dengan air tawar. Kombinasi pengaruh air laut dan air tawar tersebut akan menghasilkan suatu komunitas yang khas dengan kondisi lingkungan yang bervariasi.  Kondisi ini secara umum menyebabkan keragaman organisme yang lebih sedikit di wilayah ini tetapi dengan populasi yang tinggi (Supriharyono, 2000)

Kawasan estuaria tersebut terbentuk di ujung sungai-sungai besar yang bermuara ke laut yang berpantai landai.  Bercampurnya air tawar dan air laut menjadikan wilayah ini unik dengan terbentuknya air payau dengan salinitas yang berfluktuasi.   Aliran air tawar dan air laut yang terus menerus membawa mineral, bahan organik, serta sedimen dari hulu sungai ke laut dan sebaliknya dari laut ke muara.  Unsur hara ini mempengaruhi  produktivitas wilayah perairan muara.  Karena itu, produktivitas estuari lebih tinggi (1500 g/m2/th) dari produktivitas ekosistem laut lepas (125 g/m2/th) dan perairan  tawar (400 g/m2/th) (Saptarini et. al, 1995).  

Wilayah estuaria merupakan habitat yang penting bagi sejumlah besar ikan dan udang untuk memijah dan membesarkan anak-anaknya.  Beberapa larva ikan yang dipijahkan di laut lepas juga bermigrasi ke wilayah estuaria pada fase larvanya. Karakteristik lain yang menyebabkan ekosistem ini menjadi penting adalah peranannya sebagai perangkap nutrien (nutrient trap), tetapi apabila aliran dari darat mengandung bahan pencemar maka tidak hanya nutrien yang ditangkap tetapi juga bahan pencemar tersebut  seperti minyak, pestisida, logam berat dan sebagainya (Knox dan Myabara, 1984 dalam Saptarini et. al., 1995)

            Selanjutnya Supriharyono (2000) mengemukakan bahwa  kondisi fisik dan kimia yang mempengaruhi organisme yang hidup di ekosistem estuaria antara lain adalah   salinitas,  suhu dan  sedimen.

 

 

B. Ekosistem Mangrove

 

Hutan mangrove sering juga disebut sebagai hutan bakau, hutan payau atau hutan pasang surut, merupakan suatu ekosistem peralihan antara darat dan laut. Terdapat di daerah tropik atau sub tropik disepanjang pantai yang terlindung dan di muara sungai. Hutan mangrove merupakan ciri khas ekosistem daerah tropis dan sub tropis. Hutan mangrove merupakan komunitas tumbuhan pantai yang didominasi oleh beberapa jenis pohon mangrove yang mampu tumbuh dan berkembang pada daerah pasang surut sesuai dengan toleransinya terhadap salinitas, lama penggenangan, substrat dan morfologi pantainya. Sebagai daerah peralihan antara darat dan laut, ekosistem mangrove mempunyai gradien sifat lingkungan yang berat, sehingga hanya jenis tertentu yang memiliki toleransi terhadap kondisi lingkungan seperti itulah yang dapat bertahan dan berkembang (Anonim, 1997).

            Keberadaan hutan mangrove dapat terjadi pada lingkungan di sepanjang muara sungai atau lebih banyak dipengaruhi oleh faktor aliran sungai (fluvio-marine) dan lingkungan yang lebih didominasi factor laut (marino-fluvial). Untuk kondisi hutan mangrove yang lebih banyak dipengaruhi faktor laut, biasanya suplai air tawar berasal dari curah hujan atau mata air (spring) dan struktur hutannya lebih didominasi oleh tanaman mangrove.

Vegetasi hutan mangrove umumnya terdiri dari jenis-jenis yang selalu hijau (evergreen plant) dari beberapa famili. Menurut Dewanti et. al., (1996) hutan mangrove dapat meliputi beberapa  jenis tanaman  seperti  Avicennia, Rhizophora, Ceriops, Bruguiera, Xylocarpus, Acantus dan dan Hibiscus. Untuk adaptasi terhadap kondisi habitat lingkungan yang ekstrim, jenis-jenis tersebut mempunyai perakaran yang khusus. Sonneratia spp, Avicennia spp dan Xylocarpus spp mempunyai akar horizontal; Bruguiera spp dan Lumnitzera spp berakar tunjang, sedangkan Ceriops spp akarnya terbuka  dan bagian bawah batang mempunyai lenti sel yang besar. Kerapatan kanopi berhubungan erat dengan umur tumbuhan, jenis, dan kerapatan batang pohonnya.  Kerapatan tersebut dapat pula mengindikasikan kondisi baik atau jelek suatu tegakan hutan mangrove.

Hutan mangrove merupakan ekosistem pesisir yang mempunyai produktivitas tinggi.  Menurut Lugo dan Snedaker (1974 dalam Supriharyono, 2000) produktivitas primer hutan mangrove dapat mencapai 5.000 g C/m2/th. Tinggi rendahnya produktivitas tersebut dipengaruhi oleh beberapa faktor yaitu fluktuasi pasang dan kimia air.

            Secara ekologis hutan mangrove telah dikenal mempunyai banyak fungsi dalam kehidupan manusia baik secara langsung maupun tidak langsung.           Ekosistem mangrove bagi sumberdaya ikan dan udang berfungsi sebagai tempat mencari makan, memijah, memelihara juvenil dan berkembang biak. Bagi fungsi ekologi sebagai penghasil sejumlah detritus dan perangkap sedimen. Hutan mangrove merupakan habitat berbagai jenis satwa baik sebagai habitat pokok maupun sebagai habitat sementara. Bagi fungsi ekonomis dapat bermanfaat sebagai sumber penghasil kayu bangunan, bahan baku pulp dan kertas, kayu bakar, bahan arang, alat tangkap ikan  dan sumber bahan lain seperti tannin dan pewarna. Arang dari jenis Rhizophora spp mempunyai nilai panas yang tinggi dan asapnya sedikit. Mangrove juga mempunyai peran penting sebagai pelindung pantai dari hempasan gelombang  air laut.       Indonesia memiliki cadangan hutan mangrove tropis terluas di dunia dengan luas sekitar 3,8 juta ha atau sekitar 30 – 40 % jumlah seluruh hutan mangrove dunia (Lawrence, 1998). Hutan mangrove di Indonesia terpusat di Irian Jaya dan Maluku (71 %), Sumatra (16 %), Kalimantan (9 %) dan Sulawesi ( 2,5 %).

            Menurut  Supriharyono (2000) walaupun tumbuhan mangrove dapat berkembang pada lingkungan yang buruk, tetapi setiap trumbuhan mangrove mempunyai kemampuan yang berbeda dalam mempertahankan diri terhadap kondisi lingkungan fisik dan kimia dilingkungannya.  Empat faktor utama yang mempengaruhi penyebaran tumbuhan mangrove yaitu: (a) frekwensi arus pasang; (b) salinitas tanah; (c) air tanah; dan (d) suhu air.  Keempat faktor tersebut akan menentukan dominan jenis mangrove yang ada di tempat yang bersangkutan.  Luas dan Penyebaran mangrove di Indonesia disajikan pada Tabel   1.

 

C.  Ekosistem Terumbu Karang

 

            Terumbu karang (coral reefs) merupakan masyarakat organisme yang hidup di dasar laut daerah tropis dan dibangun oleh biota laut penghasil kapur khususnya jenis-jenis karang dan alge penghasil kapur (CaCO3) dan merupakan ekosistem yang cukup kuat menahan gaya gelombang laut. (Saptarini et. al, 1995; Dawes 1981 dalam  Supriharyono, 2000) 

Berdasarkan geomorfologinya, ekosistem terumbu karang dapat dibagi menjadi tiga tipe yaitu terumbu karang tepi  (fringing reef), terumbu karang penghalang (barrier reef) dan terumbu karang cincin (atolls)  Ekosistem terumbu karang terdapat di lingkungan perairan yang agak dangkal.  Untuk mencapai pertumbuhan maksimumnya, terumbu karang memerlukan perairan yang jernih, dengan suhu yang hangat, gerakan gelombang yang besar, serta sirkulasi yang lancar dan terhindar dari proses sedimentasi.

 

 

Tabel 1.  Luas Penyebaran Mangrove di Indonesia (Supriharyono, 2000)

 

No.

Wilayah

 

Luas (ha)

1

Aceh

50.000

2

Sumatra Utara

60.000

3

Riau

95.000

4

Sumatra Selatan

195.000

5

Sulawei Selatan

24.000

6

Sulawesi Tenggara

29.000

7

Kalimantan Timur

150.000

8

Kalimantan Selatan

75.000

9.

Kalimantan Tengah

10.000

10.

Kalimantan Barat

40.000

11.

Jawa barat

20.400

12.

Jawa Tengah

14.041

13.

Jawa Timur

6.000

14.

Nusa Tenggara

3.678

15.

Maluku

100.000

16.

Irian Jaya

2.934.000

 

Indonesia

3.806.119

 

 

Terumbu karang merupakan ekosistem laut yang paling produktif dan paling tinggi keaneka ragaman hayatinya.  Berdasarkan data yang dikumpulkan selama Ekspedisi Snelius II (1984), di perairan Indonesia terdapat sekitar 350 spesies karang keras yang termasuk ke dalam 75 genera. Selanjutnya Supriharyono  (2000) mengemukakan bahwa karena  produktivitas yang tinggi tersebut memungkinkan terumbu karang merupakan tempat pemijahan, pengasuhan dan mencari makan dari kebanyakan ikan. Oleh karena itu secara otomatis produksi ikan di daerah terumbu karang sangat tinggi.

Kerangka hewan karang berfungsi sebagai tempat berlindung atau tempat menempelnya biota laut lainnya.  Sejumlah ikan pelagis bergantung pada keberadan terumbu karang pada masa larvanya.  Terumbu karang juga merupakan habitat bagi banyak spesies laut.  Selain itu, terumbu karang dapat berfungsi sebagai pelindung pantai dari erosi. Dari sisi sosial ekonomi, terumbu karang adalah sumber perikanan yang produktif, sehingga dapat meningkatkan pendapatan nelayan, penduduk pesisir, dan devisa negara yang berasal dari perikanan dan pariwisata.

 Pertumbuhan karang dan penyebaran terumbu karang tergantung pada kondisi lingkunganya.  Kondisi ini pada kenyataannya tidak selalu tetap, akan tetapi seringkali berubah karena adanya gangguan baik yang berasal dari alam atau aktivitas manusia.  Faktor faktor kimia dan fisik yang diketahui dapat mempengaruhi kehidupan dan atau laju pertumbuhan karang antara lain  cahaya matahari, suhu, salinitas dan sedimen.  Sedangkan faktor biologis biasanya berupa predator atau pemangsanya (Supriharyono, 2000).

 

 

D. Ekosistem Rumput Laut dan Lamun

 

            Padang lamun (seagrass beds) merupakan salah satu ekosistem yang terletak di daerah pesisir atau perairan laut dangkal.  Masyarakat  lamun merupakan masyarakat tumbuhan berbiji tunggal (monokotil) dari kelas angiospermae.  Keunikan tumbuhan lamun dari tumbuhan laut lainnya adalah adanya perakaran dan sistem rhizoma yang ekstensif.  (Supriharyono, 2000). Wilayah ini terdapat antara batas terendah daerah pasang surut sampai kedalaman tertentu di mana matahari masih dapat mencapai dasar laut. 

Produktivitas primerkomunitas lamun  mencapai 1 kg C/m2/th. Namun demikian menurut Kirman dan Reid (1979 dalam Supriharyono, 2000) dari jumlah tersebut hanya 3 % yang dimanfaatkan oleh herbivora,  37 % tenggelam ke  perairan dan dimanfaatkan oleh benthos dan 12 % mengapung di permukaan dan hilang dari ekosistem.  Padang lamun mendukung kehidupan biota yang cukup beragam dan berhubungan satu sama lain.  Jaringan makanan yang terbentuk antara padang lamun dan biota lain adalah sangat kompleks.

Selanjutnya dikemukakan oleh Supriharyono (2000) bahwa produktivitas tersebut selain dari tumbuhan lamun juga berasal dari algae dan organisme phytoplankton yang menempel di daun lamun.    Sejumlah invertebrata:  moluska (Pinna, Lambis, dan Strombus); Echinodermata (teripang - Holoturia, bulu babi – Diadema sp.), dan bintang laut (Archaster, Linckia); serta Crustacea (udang dan kepiting).

Di Indonesia, padang lamun sering di jumpai berdekatan dengan ekosistem mangrove dan terumbu karang (Tomascik et al., 1997, Wibowo et al., 1996)  sehingga interaksi ketiga ekosistem ini sangat erat.  Struktur komunitas dan sifat fisik ketiga ekosistem ini saling medukung, sehingga bila salah satu ekosistem terganggu, ekosistem yang lain akan terpengaruh.

Fungsi padang lamun antara lain:  memerangkap sedimen, menstabilkan substrat dasar dan menjernihkan air;  produktivitas primer;  sumber makanan langsung kebanyakan hewan; habitat beberapa jenis hewan air; substrat organisme yang menempel dan sebagainya. (Supriharyono, 2000)

 

 

E. Ekosistem Rawa Pasang Surut

 

Lahan pantai merupakan bagian dari dataran pantai (coastal plain) yang berupa daerah peralihan dengan perairan laut, yang biasanya disebut pesisir.  Dalam sistem landform dataran pantai mencakup bagian dari grup aluvial, marin, fluvio marin, gambut dan eolin (Marsudi et al., 1994). Lahan rawa di daerah pesisir berupa lahan rawa pasang surut.  Luas lahan rawa pasang surut di Indonesia diperkirakan 20,192 juta ha (Widjaja Adhi, et al., 1992 dan Nugroho, et al., 1993). Jenis tanah yang ditemukan pada wilayah ini sangat beragam tetapi secara garis besar terdiri dari tanah mineral dan tanah organik. 

Tanah mineral yang ditemukan umumnya berasal dari bahan aluvial  baik sedimen daratan maupoun sedimen marine Asal sedimen tersebut menetukan sifat tanah mineral yang terbentuk.  Sedimen marine atau yeng terpengaruh sedimen marine secara dominan akan membentuk tanah yang mempunyai potensi sulfur yang cukup tinggi.

Tanah organik terbentuk akibat akumulasi bahan organik  rawa belakang tanggul karena proses dekomposisi yang tidak sempurna.  Untuk indonesia bahan dominan dari bahan kayu.

            Sebagian besar lahan pantai mempunyai relief datar.  Lahan pantai berpasir yang tidak mendapat pengaruh air pasang umumnya cembung atau datar agak berombak.  Kemiringan lahan pada lahan pantai yang mendapat pengaruh air pasang dan ketinggian tempat sangat berpengaruh terhadap kesesuaian lahan untuk perikanan air payau (tambak) maupun pengembangan budi daya pertanian lainnya.

Berdasarkan jangkauan pasang air laut, Widjaja Adhi, et al., (1992) membagi empat tipologi lahan pasang surut yaitu:

Tipe A  : Lahan selalu terluapi pasang maksimum maupun minimum.

Tipe B  : Lahan hanya terluapi pasang besar.

Tipe C : Lahan tidak pernah terluapi pasang besar, air tanah kurang dari 50 cm.

Tipe D : Lahan tidak pernah terluapi pasang besar dan air tanah lebih dari 50 cm.

Berdasarkan landform lahan pantai dapat berupa pesisir, fluvio marin, rawa belakang.  Pada ketiga landform ini terdapat tanah Histosols, Inceptisols dan Entisols dari great grup Sulfihemists, Haplohemists, Haplosaprists. Halasaprists dan hydraquents.  Daerah pesisir tanahnya terdiri atas Udipsamments seluas 857 220 ha, dan Endoaquents 571 480 ha.  Pada fluvio marin terdiri dari Endoaquents seluas 1 335 480 ha dan Sulfaquents 890 320 ha.  Sedangkan pada rawa belakang tanahnya terdiri atas endoaquepsts dan Sulfaquents yang masing-masing luasnya 401 620 ha dan 267 990 ha. (Tabel 2).

 

 

Tabel 2.  Luas Tanah dan Penyebarannya Menurut Landform pada Lahan Pantai

 

Landform

Klasifikasi tanah

Luas (ha)

Soil Taxonomy

(Soil Survey Staff, 1998)

Supraptohardjo (1971)

Pesisir

Udipsamments

Regosols

857 220

 

Endoaquents

Aluvial

571 480

Flavio marin

Endoaquents

Aluvial

1 335 480

 

Sulfaquent

Aluvial

890 320

Rawa belakang

Endoaquepts

Aluvial

401 820

 

Sulfaquent

Aluvial

267 880

J u m l a h

 

 

4 324 200

 

Sumber : Puslittanak (2000)

 

 

Lahan pantai yang merupakan tanah mineral mencakup luas 3 654 500 ha didominansi ordo Entisols.  Dalam tingkat great group tanahnya didominansi oleh Endoaquents, Sulfaquent, dan Udipsamment.  Secara rinci penyebaran tanah menurut landform dan propinsi dapat dilihat pada Tabel 3.  Secara ringkas sifat-sifat tanah tersebut tertera pada Tabel 4.

 

 

Tabel 3.  Tanah Lahan Pantai dan Luasannya pada Setiap Propinsi di Indonesia

 

Propinsi

Pesisir

Flavio marin

Udipsamments

Endoaquents

Endoaquents

Sulfaquents

…………………………………(ha)………………………………..

D.I Aceh

87 060

58 040

119 400

79 600

Sumut

134 880

89 920

117 840

78 560

Sumbar

55 920

37 280

 

 

Riau

122 460

81 540

199 680

133 120

Jambi

24 120

16 080

50 760

33 840

Sumsel

108 000

72 000

99 180

66 120

Bengkulu

24 540

16 360

 

 

Lampung

11 040

7 360

7 200

4 800

DKI

2 880

1 920

 

 

Jabar

93 300

62 200

 

 

Jateng

43 080

28 720

 

 

DIY

5 100

3 400

 

 

Jatim

24 540

16 360

 

 

Bali

4 080

2 720

 

 

NTB

1 140

760

 

 

NTT

1 800

1 200

 

 

Kalbar

16 020

10 680

324 660

216 440

Kalteng

35 520

23 680

183 120

122 080

Kaltim

13 440

8 960

146 820

97 880

Kalsel

29 340

8 960

86 820

57 880

Sulteng

5 580

3 720

 

 

Sultra

1 260

840

 

 

Maluku

12 120

8 080

 

 

Jumlah

857 220

571 480

 

 

 

Sumber : Puslittanak (2000)

 

 

            Ditinjau dari sifat-sifat tanah, lahan pantai mempunyai kendala tanah yang perlu mendapat perhatian dalam pengembangannya.  Kendala sifat kimia adalah adanya bahan sulfidik yang dihasilkan dari endapan marin.  Horizon sulfurik mempunyai kadar pirit (FeS2) > 2 %.  Pengaruh buruk dari adanya bahan sulfidik berbeda-beda, sangat tergantung dari persentase bahan tersebut dan letak kedalamannya dari penampang tanah.  Kemasaman tanah di lahan pesisir biasanya belum terlihat bila tanah-tanah tersebut masih dalam keadaan reduktif (tergenang atau jenuh air).  Nitrit dan nitrat merupakan zat yang bersifat racun bagi kehidupan ikan sehingga menjadi faktor pembatas bagi usaha perikanan.

            Tanah-tanah yang mempunyai kendala fisik di lahan pantai terdiri atas tanah yang tidak stabil karena melumpur pada tanah Hydraquents, sehingga sulit untuk konstruksi pematang dan petakan tambak.  Pada tanah yang bertekstur pasir akan mudah kehilangan air karena tanah yang porous atau sarang.  Tingkat kematangan tanah berpengaruh terhadap konstruksi tambak, khususnya dalam pembentukan pematang tambak.  Tanah-tanah yang tergolong belum matang atau mentah akan mempunyai penyusutan yang cukup besar bila dibuat pematang.  Oleh karena itu penentuan tinggi pematang tambak harus memperhitungkan penyusutan tanah yang akan terjadi.  

 

 

Tabel 4.  Tanah-tanah lahan pantai dan sifatnya

 

Great group tanah

Sifat dan karakteristik tanah

 

Tanah dominan di lahan pantai

 

Endoaquents

Mempunyai glei, belum berkembang

Udipsamments

Berpasir di daerah curah hujan cukup

Sulfaquents

 

Mempunyai glei, mempunyai bahan sulfidik

Tanah sebagai inklusi di lahan pantai

 

Hydraquents

Mempunyai glei, berlumpur, belum berkembang

Quartzipsamments

Berpasir kuarsa, belum berkembang

Haplohemists

Gambut dengan kadar serat sedang (17-75 %)

Haplosaprists

Gambut dengan kadar serat sedikit (<17 %)

Sulfihemists

Gambut, kadar serat sedang, mempunyai bahan sulfidik

Endoaquepsts

Mempunyai glei, mempunyai horizon kambik

Halaquents

Mempunyai glei, berkadar garam tinggi

           

 

            Kendala lain yang mungkin dijumpai di lahan pantai adalah terdapatnya unsur-unsur logam berat yang sangat berbahaya bagi kehidupan biota.  Unsur logam berat ini dapat bersumber secara alami dari bahan induk tanah maupun pencemaran dari industri di sekitarnya.  Tanah-tanah yang terbentuk dari bahan induk yang mempunyai kandungan logam berat tinggi seperti batuan ultra basa yang terdapat di daerah hulu, maka daerah pesisir akan tercemar logam berat melalui sungai-sungai yang mengalir ke daerah tersebut.

 

F. Iklim

 

Pada umumnya wilayah pantai di Indonesia berada pada altitude (ketinggian tempat) kurang dari 5 mdpl, dengan permukaan daratan landai. Ciri dominan (terutama di daerah tropis) adalah rata-rata suhu udara relatif tinggi, lebih dari 26 oC. Daratan landai, jarang pohon-pohonan dan bangunan tinggi mengakibatkan tidak ada hambatan bagi gerakan udara yang berarti, sehingga kecepatan angin relatif tinggi. Di sini terdapat pola lokal harian yang khas yaitu angin laut terjadi pada siang hari dan angin darat pada malam hari.

Angin darat (dranage flow) dan angin laut (sea breeze) merupakan angin dominan di permukaan. Di teluk Jakarta angin darat bertiup antara pukul 19.00 hingga 12.00 WIB. Angin ini dapat berfungsi sebagai pengencer polusi udara dari daratan. Sebaliknya antara pukul 12.00 hingga 19.00 WIB bertiup angin laut. Di antara waktu-waktu tersebut terdapat waktu peralihan lebih kurang 3 jam.  Di lapisan atas udara angin monsoon lebih dominan. Angin inilah yang membawa musim hujan dan kemarau di Indonesia.

Oleh pengaruh daya pantul air dan pasir, radiasi langsung dari matahari maupun radiasi pantul besar. Sifat transparansi air menyebabkan radiasi matahari dapat menembus hingga beberapa meter kedalaman air laut. Di pantai dengan air yang jernih, radiasi matahari umumnya dapat menembus hingga dasar air. Air adalah benda di alam yang mempunyai kapasitas menyimpan energi besar jauh lebih besar dari kapasitas panas udara maupun tanah. Hal ini menyebabkan air laut tropis mempunyai suhu yang hangat sepanjang hari (terutama malam hari).

Oleh akibat kecukupan radiasi matahari dan hangatnya suhu, wilayah pantai merupakan wilayah yang kondusif untuk pertumbuhan flora dan fauna pantai seperti mangrove, rumput laut dan terumbu karang.

Wilayah pantai adalah wilayah perbatasan daratan dan lautan. Di sinilah sungai bermuara. Jika air sungai keruh, baik oleh akibat erosi atau membawa limbah lain air laut di pantai akan menjadi keruh. Banyaknya curah hujan di daratan menentukan pengenceran limbah yang terbawa oleh air sungai ke estuaria. Pada musim kemarau curah hujan sangat kurang, sehingga polusi sungai menjadi sangat pekat.

Di wilayah tropik hanya dikenal dua musim, yaitu musim hujan dan musim kemarau. Umumnya musim hujan terjadi antara bulan Oktober hingga April dan musim kemarau terjadi pada bulan April hingga Oktober. Tetapi dilihat dari arah angin dominan beberapa wilayah pantai mempunyai tinggi, sebaran dan periode hujan yang berbeda-beda.

Keterrkaitan antara ekosistem yang ada di wilayah pesisir tersebut secara sederhana dapat diilustrasikan pada Gambar 1.  Setiap kegiatan yang dilakukan di wilayah hulu (hinterland) akan memberikan pengaruh pada ekosistem yang paling hilir dan sebaliknya, teristimewa ekosistem pulau-pulau kecil.

 

 

 

III.  PENGELOLAAN  WILAYAH  PESISIR

 

Potensi sumber daya pembangunan yang terdapat diwilayah pesisir (dan lautan) secara garis besar dibagi kedalam tiga kelompok besar yaitu; (1) kelompok sumber daya yang dapat pulih (renewable resources); (2) kelompok sumber daya yang tidak dapat pulih (non-renewable resources) dan (3)jasa-jasa lingkungan (environmental services). Yang menjadi masalah disini adalah sampai sejauh mana sumber daya ini telah dimanfaatkan guna kebutuhan manusia.

 

 

 

 

Gambar 1.  Hubungan Antara Wilayah Hulu (upper land) dan Ekosistem Wilayah Pesisir (Coastal Ecosystem)

 

Sumber daya perairan pesisir yang termasuk dalam kelompok sumber daya yang dapat pulih kembali adalah: (1) hutan bakau (bakau); (2) terumbu karang; (3) padang lamun dan rumput laut; (4) sumber daya perikanan laut dan (5) bahan-bahan bioaktif yang terkandung dalam tubuh biota perairan laut (Dahuri et al , 1996). Seringkali pengertian sumber daya yang dapat pulih seperti sumberdaya  perikanan laut  misalnya  disalah tafsirkan sehingga terhadap sumber daya ini sering dieksploitasi secara terus menerus tanpa suatu batas tertentu.

Seperti disebutkan bahwa wilayah pesisir merepresentasikan wilayah pertemuan antara darat dan lautan, akan tetapi yang menjadi pusat perhatian disini adalah daerah tempat aktivitas manusia yang berhubungan dengan lingkungan darat dan laut  (Scura et. al., 1992 dalam Cincin-Sain dan Knecht, 1998)  Seperti digambarkan pada Gambar 2.

 

 

 

Gambar 2.  Keterkaitan Antara Wilayah Pesisir dan Sitem Sumberdaya Wilayah Pesisir (Scura et. al., 1992 dalam Cincin-Sain dan  Knecht, 1998)

 

 

            Beberapa karakteristik wilayah pesisir menurut Scura (1992) dalam (Cincin-sain dan Knecht, 1998) adalah sebagai berikut:

Berdasarkan uraian-uraian di atas maka pengelolaan terhadap wilayah pesisir dan sumberdayanya mutlak dilakukan secara baik dan benar (terpadu) guna mencapai pemanfaatan sumberdaya yang berkelanjutan.

Dalam pembangunan jangka panjang bangsa Indonesia telah sepakat dengan konsep  “Pembangunan Berkelanjutan Berwawasan Lingkungan”. Soemarwoto (1991) menjelaskan bahwa konsep pembangunan berkelanjutan yang mengharmoniskan antara pembangunan ekonomi dengan aspek lingkungan merupakan langkah alternatif arah pembangunan dunia saat ini. Pembangunan berkelanjutan didefiniskan sebagai pembangunan untuk memenuhi kebutuhan sekarang tanpa mengurangi kemampuan generasi yang akan datang untuk memenuhi kebutuhan mereka. Menurut Salim (1991), pembangunan yang berkelanjutan akan bertumpu pada tiga faktor: kondisi sumber daya alam, kualitas lingkungan dan faktor kependudukan. Sumberdaya alam yang dapat pulih (renewable resources) seperti mangrove, perlu diolah dalam batas kemampuan pemulihannya atau tidak melebihi kemampuan produktivitasnya, sedangkan faktor kependudukan adalah unsur yang menjadi beban atau sebaliknya menjadi unsur yang menimbulkan dinamika dalam proses pembangunan, perlu diubah dari unsur penambah beban menjadi modal pembangunan.

Dalam pembangunan wilayah pesisir yang dinamis terhadap isu dan konflik kepentingan dalam pemanfaatan sumber daya alam, maka pembangunan pesisir perlu dipikirkan khususnya untuk menyelamatkan potensi sumberdaya pesisirnya. Oleh karena itu segenap stakeholder perlu membuat perencanaan pengelolaan sumberdaya sehingga pemanfaatannya seefisien mungkin dan berkesinambungan secara ekonomi dan sosial.

Untuk mengetahui kondisi sumberdaya mangrove dewasa ini, perlu adanya valuasi lingkungan, ekonomi (manfaat dan sumberdaya mangrove) dan sosial-ekonomi-budaya.  Dalam proses perencanaan wilayah pesisir ada dua hal penting (Lawrence, 1998):

1.      Menentukan keadaan yang diinginkan di masa depan

2.      Memikirkan strategi dan tindakan untuk mencapai tindakan tersebut.

Pengelolaan wilayah pesisir merupakan suatu proses atau upaya untuk mengendalikan kegiatan manusia di wilayah pesisir, sehingga dapat menjamin keuntungan yang sebesar-besarnya bagi masyarakat, sekarang dan di masa mendatang. Perhatian dalam pengelolaan wilayah pesisir tidak lain tertuju pada kegiatan manusia di dalam pemanfaatan sumberdaya alam.

Oleh karena itu untuk menyelidiki cara pengelolalan yang baik, sifat ekosistem pesisir yang “dinamis” dan kondisi lingkungan yang “unik” perlu dipahami terlebih dahulu. Adanya kesamaan perspektif tentang tujuan, pola pemanfaatan dan pengelolaan wilayah pesisir merupakan wahana untuk mencapai keuntungan yang sebesar-besarnya bagi masyarakat, dimasa kini dan akan datang.

Dalam hal tersebut  perencanaan dan pengelolalan wilayah pesisir hendaknya dilakukan pada tiga level yaitu teknis, konsultatif dan koordinatif. Pada level teknis segenap pertimbangan teknis, ekonomis, sosial dan lingkungan hendaknya secara proporsional masuk ke dalam perencanaan dan pelaksanaan pembangunan sumberdaya pesisir. Pada level konsultatif segenap aspirasi dan kebutuhan pihak stakeholder  serta pihak penderita dampak pembangunan sumberdaya tersebut hendaknya diperhatikan. Pada tingkat koordinatif masyarakat perlu bekerjasama dengan semua pihak untuk menuju tujuan bersma yang diinginkan.

Dengan demikian terdapat empat tahap proses perencanaan pengelolaan wilayah pesisir secara terpadu, yang bisa disebut sebagai “strategi pengelolalan pesisir” meliputi:

1.      Tahap merumuskan visi, misi, tujuan dan sasaran, yang dapat diangkat pada level provinsi.

2.      Tahap perencanaan zonasi, yang merupakan rencana alokasi ruang dan pengendalian penggunaan/pemanfaatan ruang wilayah pesisir

3.      Tahap rencana pengelolaan, yang merupakan petunjuk dan arahan pengelolaan yang terpadu pada kawasan prioritas atau pemanfaatan sumberdaya mangrove secara optimal dan berkelanjutan

4.      Tahap rencana tindak yang merupakan rencana pelaksanaan perumusan program kegiatan pada masing-masing wilayah.

Secara lebih jelas, ke empat tahap tersebut dapat digambarkan sebagai  pada Gambar 3 berikut ini.

 

 

 

           

Rencana Strategi Pengelolaan Wilayah Pesisir

(Visi, Misi,  Tujuan Dan Sasaran)

 

Rencana Zonasi

(Alokasi Spasial Dan Pengendalian

Pemanfaatan)

 

Rencana Pengelolaan

(Panduan Daerah Prioritas

Dan Pemanfaatan

Sumberdaya Mangrove)

 

Rencana Tindak

(Pelaksanaan

Kegiatan/

Program)

 

 

 

 

Gambar 3. Keterkaitan Proses Perencanaan Pengelolalan Wilayah Pesisir  (Djunaedi, 1997)

 

 

A. Pengelolaan  Mangrove

 

            Hutan mangrove yang berperan penting bagi semua kehidupan tersebut ternyata dalam pemanfaatannya sering dilaksanakan dengan kurang bijaksana antara lain disebabkan masih rendahnya kesadaran masyarakat terhadap lingkungan.  Perubahan ekosistem mangrove yang tak terkendali menjadi tambak, pemukiman, lahan pertanian dan perkebunan,  industri  atau  pelabuhan, merupakan bukti penyebab penurunan lahan mangrove tersebut.

            Pada tahun 1970 – 1980, luas hutan mangrove berkurang sekitar 700.000 ha untuk penggunaan lahan lainnya (Atmadja dan Soerojo, 1994 dalam Ellison, 1997). Namun demikian penurunan tersebut juga terjadi di negara lain seperti Pilipina (41 % pada tahun 1965 – 1980), Singapura ( 75 % pada 1978), Malaysia ( 20 – 30 % pada tahun 1965 – 1980), Australia ( 1,5 %), Puerto Rico (75 %) dan India yang kehilangan 150.000 ha (Intromarc and Amsat, 1997).

Secara umum hutan bakau dan ekosistemnya cukup tahan terhadap berbagai gangguan dan tekanan, namun demikian bakau tersebut sangat peka terhadap sedimentasi, tinggi rata-rata permukaan air, pencucian serta tumpahnya minyak. Permasalahan utama tekanan terhadap habitat bakau adalah kegiatan manusia dalam mengkonversi hutan bakau untuk berbagai kepentingan seperti untuk perumahan, industri dan pertanian, kayu bakar, pembukaan tambak-tambak budidaya. Tabel 5 memperlihatkan secara ringkas beberapa pedoman pengelolaan hutan bakau.

 

 

 

Tabel 5.         Beberapa Pedoman Ringkas Pengelolaan Hutan Bakau

 

No.

Pedoman Pengelolaan

1.

Hindari prose-proses sedimentasi berlebihan, erosi, pengendapan yang dapat merubah sifat kimiawi (seperti kesuburan).

2.

Pertahankan pola-pola alamiah seperti aktivitas siklus pasut dari perobahan akibat pola pengembangan. termasuk pola-pola temporal dan spasial alami dari salinitas air permukaan dan air tanah.

3.

Peliharalah keseimbangan alamiah antara pertambahan tanah, erosi dan sedimentasi dengan cara mengevaluasinya secara berkala.

4.

Tetapkanlah batas maksimum total hasil panen yang dapat diproduksi sehingga keberlanjutan sumber dayanya dan ekosistemnya dapat dipertahankan

5.

Untuk daerah-daerah yang mungkin terkena tumpahan minyak serta bahan beracun lainnya supaya memiliki rencana penaggulangannya

6.

Hindari semua bentuk kegiatan yang mengakibatkan pengurangan areal bakau seperti misalnya penghentian sirkulasi air permukaan.

                                                           

                                                            Sumber:            Dimodifikasi dari Dahuri et al., 1996

 

B. Pengelolaan Rawa Pasang Surut

 

Masalah atau kendala pengembangan lahan rawa pasang surut untuk pertanian meliputi : biofisik, sosial, ekonomi dan budaya serta kelembagaan.

 

1.      Biofisik

Lahan rawa merupakan lahan marginal yang rapuh dengan keragaman kondisi biofisik yang tinggi.  Masalah biofisik utama dalam pengembangan pertanian di lahan pasang surut meliputi: genangan air, tingginya kemasaman tanah (pH tanah rendah), adanya zat beracun (Al, Fe, asam sulfida, sulfat dan air garam/Na), ketebalan lapisan gambut, intrusi air garam dan rendahnya kesuburan tanah serta tingginya pertumbuhan gulma dan serangan hama dan penyakit.

 

2.      Sosial, ekonomi dan budaya

Masalah sosial ekonomi dan budaya di daerah rawa pasang surut yang umumnya dihuni oleh penduduk lokal atau transmigran meliputi: (1) rendahnya tingkat pendidikan dan kemampuan petani, (2) terbatasnya tenaga dan modal petani, (3) masih kuatnya adat budaya tradisional, menyebabkan sulitnya penerimaan terhadap perubahan dan lambannya adopsi teknologi usaha baru (Abdurachman dan Ananto, 2000).

 

3.      Kelembagaan

Masalah kelembagaan kaitannya dengan penyediaan sarana produksi pertanian khususnya benih, pupuk dan pestisida serta pengelolaan pasca panen dan pemasaran hasil termasuk sistem informasi dan penyuluhan. Hal ini berkaitan dengan terbatasnya akses petani terhadap iptek, sarana produksi, dana, pasar, dan jasa, yang pemecahannya harus mengacu pada partisipasi dan ketangguhan organisasi petani serta manajemen agribisnis.

            Pengembangan lahan rawa pasang surut biasanya disesuaikan dengan kondisi biofisik lokasi yang bersifat spesifik.   Menurut Suhardjo et al (2000) secara umum lahan pantai dapat diarahkan untuk: 1) lahan pemukiman dan pertanian, 2) lahan tambak, 3) lahan penggaraman, 4) lahan konservasi, 5) lahan rekreasi dan 6) lahan pertambangan.

            Lahan pantai yang digunakan untuk pemukiman dan pertanian lahan kering umumnya berupa tanah yang berdrainase baik dan tidak mendapat pengaruh air pasang.  Pada daerah bercurah hujan tinggi dapat dikembangkan tanaman kelapa selain tanaman sela seperti kopi dan coklat terutama pada tanah Udipsamments.  Pola tanaman tersebut merupakan perkebunan rakyat yang banyak terdapat di sepanjang pantai.

            Dalam upaya pengembangan lahan untuk tambak banyak ditemui kendala fisik dan kimia tanah yaitu keadaan tanah berlumpur dan kemasaman tanah yang tinggi.  Daya dukung lahan pantai untuk petambakan ditentukan oleh mutu tanah, sumber air, hidro-oceanografi, topografi dan klimatologi daerah pesisir dan daerah aliran sungai di daerah hulu.

            Lahan yang dapat digunakan untuk lahan penggaraman harus tanah yang padat atau mudah dibuatkan lapisan kedap  sebagai penahan air dan terdapat di daerah bercurah hujan rendah sehingga cukup waktu untuk menguapkan air.  Lahan penggaraman biasanya bekas laguna, teras marin resen, delta laut dengan tanah Endoaquents atau Halaquepts.  Sementara lahan konservasi diarahkan untuk beberapa tujuan yaitu jalur pantai, vegetasi mangrove, terumbu karang dan padang lamun.

Tabel 6 memperlihatkan luas potensi pengembangan lahan pantai di 13 propinsi.  Hasil pemetaan tanah menunjukkan bahwa lahan yang dapat dikembangkan untuk tambak bervariasi antara 10-50 %, berbeda untuk masing-masing propinsi.  Kendala di daerah beriklim basah (Kalbar, sebagian Sulsel dan Sultra) umumnya berupa : kadar bahan organik yang tinggi, tanah masam atau mengandung sulfidik, jangkauan air pasang kurang atau air tanah dangkal dan tanah pasir atau berlumpur.  Di daerah Sumbawa dan Bima kendala yang ada berupa iklim kering dan tekstur tanah kasar.

 

 

 

Tabel 6.  Luas Potensi Pengembangan Lahan Pantai Berdasarkan Tata Ruang Pertanian  di 13 Propinsi (skala 1:250 000)

 

No.

Propinsi dan peruntukan lahan pantai

Luas (ha)

1.

DI Aceh

 

 

·         Perikanan tambak dan sempadan pantai

56 589

 

·         Pemukiman, tambak, dan sempadan pantai

161 647

2.

Sumatra Utara

 

 

·         Perikanan tambak dan sempadan pantai

52 800

 

·         Pemukiman, tambak, dan sempadan pantai

43 500

3

Riau

 

 

·         Sempadan pantai dan tambak

496 570

4.

Sumatra Selatan

 

 

·         Perikanan air payau dan tawar

334 640

5.

Bengkulu

 

 

·         Pertanian lahan basah, sawah lebak dan perikanan

1 097

6.

Lampung

 

 

·         Pertanian lahan basah, sawah lebak dan perikanan

221 939

7.

Jawa Barat

 

 

·         Hutan pasang surut dan tambak

123 760

8.

Jawa Tengah

 

 

·         Perikanan air payau atau tambak dan penggaraman

41 695

9

Jawa Timur

 

 

·         Perikanan air payau atau tambak

14 750

10.

Bali

 

 

·         Perikanan air payau atau tambak

2 715

11.

Kalimantan Barat

 

 

·         Hutan bakau dan tambak

119 210

12.

Sulawesi Selatan

 

 

·         Tambak

91 000

13.

Sulawesi Utara

 

 

·         Perikanan air payau

32 300

 

Sumber : Tim Puslittanak (1996).

 

 

 

Untuk memperoleh pengelolaan pasang surut secara berkelanjutan, maka  diperlukan kegiatan yang meliputi: identifikasi dan karakterisasi lahan, penetapan kesesuaian lahan, pemilihan teknologi dan analisis teknis, sosial ekonomi dan budaya.

Identifikasi dan karakterisasi lahan dimaksudkan untuk mengetahui karakteristik tanah, tipe luapan, kedalaman lapisan pirit, ketebalan gambut dan kondisi sosial ekonomi dan budaya. Dengan mengetahui kondisi biofisik lahan dihubungkan dengan persyaratan tanaman maka dapat ditetapkan kesesuaian lahan untuk pertanian. Lahan yang sesuai selanjutnya dikembangkan untuk pertanian sedangkan yang tidak sesuai dijadikan hutan lindung atau kawasan penyangga (reservoir). Pada tahap pemilihan teknologi harus didasarkan pada pertimbangan analisis teknis, sosial ekonomi dan budaya; komponen pendukung yang meliputi kelembagaan dan pemasaran; dan komponen teknologi. Gambar 4 menyajikan diagram alur pengembangan sistem usahatani berkelanjutan di lahan rawa (Damardjati, et al., 2000)

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 


 

   

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

Gambar 4.   Diagram Alur Pengembangan Sistem Usahatani Berkelanjutan di Lahan Rawa (Damardjati, et al., 2000)

 

 

C. Permasalahan  Iklim

 

Indonesia adalah negara kepulauan dengan jumlah pulau (besar dan kecil) sebanyak 17.508 buah. Garis pantai meliputi panjang 81.000 km. Salah satu permasalahan wilayah pantai dari segi iklim adalah kenaikan air laut. Kenaikan air laut dapat terjadi secara alami oleh kegiatan pasang surut air laut akibat gaya gravitasi bulan dan oleh pengaruh pemanasan global. IPCC (Intergovermental Panel on Climate Change) memprediksi kenaikan muka air laut akibat pemanasan global berdasarkan proyeksi bisnis tahun 1990 – 2100 sebesar 5 – 10 mm/tahun atau rata-rata 6 mm/tahun (Bappedal / KMNLH. 1999). Kenaikan air laut dapat menyebabkan abrasi pantai, intrusi air asin ke dalam estuaria dan akuifer, meningkatkan resiko banjir, hilangnya struktur pantai alami maupun buatan dan terganggunya ekologi pantai. Kerusakan ekologi yang mungkin terjadi adalah kerusakan batukarang, berkurangnya keanekaragaman hayati, rusaknya hutan mangrove, serta perubahan sifat biofisik dan biokimia zona pesisir.

Contoh diambil dari hasil studi kasus yang dilakukan oleh Bappedal / KMNLH 1999 di pantai Utara Semarang Jawa tengah Perkiraan luas lahan yang rentan terhadap intrusi air laut dan kenaikan muka air laut dapat dilihat pada Tabel 7. Penghijauan Mangrove pernah dilakukan pada luasan 88 ha, tetapi hanya 2,2 ha yang dapat bertahan hidup.

Penanggulangan dampak harus dilakukan  dengan dua arah yaitu: (1) mengurangi laju perubahan iklim; (2) menanggulangi dampak kenaikan muka air laut. Mengurangi laju perubahan iklim dapat dilakukan dengan menekan emisi gas rumah kaca (CO2, CH4 dan sebagainya). Usaha ini di Indonesia baru dalam tahap sosialisasi yaitu dengan upaya mengurangi emisi karbon pada berbagai bidang(energi, kehutanan, pertanian dsb), sosialisasi pajak karbon dan   sebaginya.   Pengelolaan daerah pantai memberikan nilai positif dalam mengurangi emisi karbon, karena flora pantai berfungsi untuk menyerap karbon melalui proses fotosintesisnya.  Kenaikan muka air laut oleh gravitasi bulan tak dapat dihindari. Menahan laju perubahan iklim hanya mengurangi penambahan tinggi kenaikan muka air laut.

 

 

Tabel 7. Luas Lahan Yang Rentan Terhadap Intrusi Air Laut dan Kenaikan Muka Air Laut

 

No

Penutupan lahan

Rentan intrusi (ha)

Rentan kenaikan muka air laut (ha)

1

Pemukiman

1.627,0

702,2

2

Perkantoran

1.265,8

301,8

3

Sawah

304,5

1.751,0

4

Tambak

240,6

184,0

 

Total

3.437,9

2.940,8

           

 

Penanggulangan dampak dapat dilakukan dengan berbagai alternatif yaitu: pembuatan dinding laut dan tanggul, pemecah ombak, saluran penampung kenaikan air laut, regenerasi mangrove, relokasi populasi pantai. Pembuatan dinding laut, tanggul, pemecah ombak dan saluran pemampung kenaikan air laut memerlukan biaya cukup banyak sehingga diperlukan pemilihan lokasi yang benar-benar memerlukan. Alternatif yang diperkirakan paling tepat guna adalah dengan regenerasi mangrove.

 

D.  Pengelolaan Sumberdaya Laut

 

Banyak negara yang tidak memiliki kebijakan dalam pengelolaan wilayah pesisir secara terpadu dan masih tetap tergantung pada pendekatan-pendekatan tradisional yang bersifat sektoral.  Pendekatan yang bersifat terpadu bukanlah proses yang sulit atau kompleks tetapi hanya didasarkan pada konsep yang berhubungan dengan pendekatan yang bersifat umum yaitu bahwa semua yang menggunakan wilayah pesisir haruslah berkomunikasi dan mencapai kesepakatan yang menyediakan keuntungan yang bersifat jangka panjang bagi semua yang memakainya.Yang menjadi masalah bukanlah konsepnya sendiri tetapi yang menyangkut penerimaan terhadap konsep ini pada tingkat nasional.

            Pengakuan terhadap nilai-nilai ekonomi lingkungan dan sumberdaya wilayah pesisir mulai banyak diterima akan tetapi hal ini tidak selamanya benar, juga pengakuan ini secara alamiah tidak merata diseluruh negara dan masyarakat. Bentuk pendekatan  tipikal pengekploitasian sumberdaya wilayah pesisir umumnya merendahkan sumberdaya wilayah pesisir dan potensi penggunaannya yang berganda.  Seperti yang dikemukakan oleh Hall dan Cairnes (1994) dalam Dutton dan Hotta (1995) yang menyatakan:  “ pasar terhadap wilayah pesisir jauh dari yang sebenarnya, sehingga harga yang dibayarkan bagi akses atau penggunaannya atau degradasi aset wilayah pesisir tridak mencerminkan nilai yang sebenarnya “.

Disebutkan bahwa ada keterkaitan erat antara ekosistem wilayah pesisir, khususnya daerah tropis, dengan sumber daya perikanan yang ada pada ekosistem tersebut. Dengan demikian pengelolaan sumber daya perikanan wilayah pesisir harus dilakukan secara terpadu dengan ekosistem sumber daya tersebut. Ekosistem yang harus mendapat perhatian serius dalam pengelolaan sumber daya perikanan pesisir adalah ekosistem terumbu karang, hutan bakau, dan padang lamun.

Ekosistem terumbu karang dan biota yang berasosiasi dengannya sangat sensitif terhadap beberapa hal seperti: i) aliran ai tawar yang berlebihan yang dapat menurunkan salinitas; ii) sedimentasi; iii) suhu yang ekstrim; iv) polusi seperti dari aktivitas pertanian; v) kerusakan akibat bencana alam dan vi) beban nutrien yang berlebihan. Untuk itu dalam pengelolaannya perlu memperhatikan hal-hal tersebut. Beberapa pedoman yang perlu diperhatikan dalam pengelolaan terumbu karang guna mencapai pembangunan berkelanjutan seperti yang ditunjukan pada Tabel 8.

 

 

 

Tabel 8.       Beberapa Pedoman Pengelolaan Terhadap Terumbu Karang

 

No.

Pedoman pengelolaan

 

1.

Mencari berbagai sumber alternatif bahan konstruksi dan kalsium karbonat (bahan kapur dan semen). Alternatif yang diusulkan misalnya penambangan terumbu karang mati dengan memperhatikan fungsi fisik terumbu karang sebagai penahan gelombang

2.

Tidak melakukan aktivitas pengerukan atau aktivitas lainnya yang menimbulkan adanya sedimentasi yang menimbulkan kekeruhan pada air

3.

Hindarkan pencemaran dan peningkatan nutrien dengan, misalnya, menempatkan daerah industri dan buangan limbah cair jauh dari daerah terumbu karang kecuali ada unit pengelolaan limbah yang harus terus diawasi

4.

Hentikan penggunaan bahan peledak dan bahan beracun sebagai alat penangkap ikan karang.

5.

Tetapkan batas maksimum pemanfaatan tahunan bahan-bahan karang dan species yang berasosiasi dengannya

6.

Promosikan dan giatkan prinsip ekoturisme pada daerah terumbu karang

7.

Hindari perubahan salinitas,suhu air laut yang melampaui ambang batas untuk kehidupan terumbu karang.

8.

Melakukan pemantauan terhadap terumbu karang secara berkala untuk mengetahui kondisinya

9.

Penyadaran masyarakat akan pentingnya ekosistem terumbu karang baik secara langsung maupun tidak langsung bagi manusia.

10.

Rehabilitasi terhadap daerah terumbu karang yang telah mengalami kerusakan dengan berbagai metoda yang tersedia sesuai kondisi setempat..

                                               

                                                            Sumber:            Dimodifikasi dari Dahuri et al., 1996

 

 

Habitat untuk pertumbuhan lamun yang baik adalah perairan dangkal, memiliki substrat yang lunak dan perairan yang cerah disamping sirkulasi air yang baik yang membawa unsur-unsur hara dan membawa pergi sisa-sisa metabolisme. Permasalahan utama yangmenyebabkan kerusakan padang lamun adalah kegiatan pengerukan dan penimbunan yang terus meluas serta pencemaran akibat pembuangan limbah garam dari kegiatan desalinasi, fasilitas-fasilitas produksi minyak, limbah industri, limbah air panas dari pembangkit tenaga listrik. Tabel 9 memperlihatkan beberapa pedoman umum pengelolaan padang lamun.

            Walaupun dilakukan pengelolaan terhadap ekosistem wilayah pesisir seperti yang disebutkan diatas dapat menjamin keberlanjutan sumber daya perikanan wilayah pesisir, akan tetapi kegiatan ini tanpa diikuti oleh pengelolaan terhadap sumber daya perikanan itu sendiri akan menggangu sumber daya perikanan itu sendiri dan juga ekosistem mendukungnya. Untuk itu diperlukan juga pengelolaan terhadap sumber daya perikanan yang secara garis besar diperlihatkan pada Tabel 10.

 

 

 

Tabel 9.       Beberapa Pedoman Ringkas Pengelolaan Padang Lamun

 

No.

 

Pedoman Pengelolaan

1.

Hindarkan kegiatan pengerukan dan penimbunan di daerah sekira padang lamun; apabila ada kegiatan semacam ini maka hindari terjadinya pengaliran endapan ke daerah lamun tersebut.

2.

Usulan pembangunan yang menggunakan wilayah pesisir yang mengubah pola sirkulasi air harus diusahakan meminimalkan erosi atau penumpukan disekitar padang lamun.

3.

Jika terdapat pembuangan limbah cair disekitar daerah padang lamun, maka harus menuruti ambang batas kualitas lingkungan untuk kehidupan lamun yang baik atau pemilihan lokasi buangan yang lain.

4.

Penangkapan ikan dengan menggunakan trawl dan alat tangkap lainnya yang merusak padang lamun harus dimodifikasi untuk mengurangi dampak negatif terhadap ekosistem ini

5.

Pengalihan aliran air yang dapat merubah tingkat salinitas alamiah harus diminimalkan untuk mengurangi dampak negatif pada ekosistem ini dan biota yang berasosiasi dengannya.

6.

Pencegahan terhadap kemungkinan terjadi tumpahan minyak yang mencemari padang lamun melalui program pemantauan dan evaluasi

7.

Inventarisasi, identifikasi dan pemetaan sumber daya padang lamun sebelum ada kegiatan pada lokasi tersebut yang diduga dapat merobah ekosistem ini serta perbaikan terhadap daerah yang sebelumnya memiliki kamunitas padang lamun.

                                               

                                                            Sumber:            Dimodifikasi dari Dahuri et al , 1996

                      

 

Tabel 10.  Beberapa Pedoman Ringkas Pengelolaan Sumberdaya Perikanan Pesisir

 

No.

Pedoman Pengelolaan

 

1.

Penelitian yang bersifat berkala dan berkelanjutan untuk mengetahui status dan keadaan sumber daya perikanan pesisir dan lautan secara keseluruhan

2.

Penetapan sistim informasi sumber daya perikanan pesisir dan lautan seperti pencatatan data hasil produksi (hasil tangkapan dan budidaya) secara baik, penyediaan data yang memadai dan akurat guna perencanaan dan pengelolaan sumber daya tersebut.

3.

Penetapan ketentuan-ketentuan yang mengatur kegiatan pemanfaatan dan pengelolaan sumber daya tersebut seperti penentuan jumlah hasil tangkapan maksimum yang diperbolehkan, penentuan waktu tangkap, jenis ukuran yang boleh ditangkap, ijin usaha kegiatan perikanan, jenis sumber daya yang dilindungi dan sebagainya.

4.

Pemberlakukan sanksi hukum secara tegas dan benar terhadap setiap pelanggaran yang dilakukan terhadap ketentuan yang berlaku.

5.

Koordinasi yang baik (keterpaduan) antara semua pengguna sumber daya perikanan pesisir, jasa lingkungan dan ekosistem wilayah pesisir dalam memanfaatkan sumber daya serta lingkungannya

 

Sumber:            Dimodifikasi dari Dahuri et al., 1996

 

Gambar 4 memperlihatkan dua bentuk pengelolaan sumberdaya alam secara umum dimana bentuk penglolaan yang tidak berkelanjutan ditunjukkan oleh tipe (A) sedangkan yang berkelanjutan ditunjukkan oleh tipe (B)

 

E. Permasalahan Pencemaran

 

Segala sesuatu aktifitas sehingga menimbulkan suatu perubahan baik itu aktifitas alamiah maupun yang dilakukan oleh manusia serta bersifat kimia, fisika, biologi disebut dampak. Limbah adalah hasil kegiatan yang semula tidak berguna yang berasal dari alami ataupun kegiatan manusia.

Jenis-jenis limbah dari aktifitas manusia di wilayah pesisir antara lain adalah:

1.      Limbah domestik, yaitu limbah cair yang berasal dari masyarakat urban, termasuk didalamnya limbah perkotaan (muncipal) dan aktifitas industri yang sistem pembuangannya masuk ke sistem saluran pembuangan kota. Limbah-limbah tersebut misalnya padatan baik organik maupun anorganik yang mengendap didasar perairan, padatan tersuspensi, mengandung bahan-bahan terapung, deterjen.

2.      Limbah pertanian

      Kegiatan pertanian sehingga menimbulkan limbah adalah pengolahan tanah, pemupukan, dan pemberantasan hama penyakit tanaman. Antara lain adalah pupuk, pestisida.

3.      Limbah industri.

      Limbah yang berasal dari proses suatu industri yang merupakan suatu pencemar yang ada di perairan, termasuk perairan pesisir atau laut. Jenis limbah industri ini dikelompokkan dalam 5 macam, yaitu:

a.       bahan-bahan organik terlarut

b.      bahan-bahan anorganik terlarut

c.       bahan-bahan organik tidak larut

d.      Bahan-bahan anorganik tidak larut

e.       Bahan-bahan radioaktif.

            Lingkungan sangat terkait erat dengan jumlah limbah yang ada. Jika jumlah komponen-komponen penyusun limbah melebihi nilai batas ambang yang ada maka lingkungan tersebut akan tercemar.

            Batas kemampuan lingkungan untuk menyediakan sumber daya dan untuk mengasimilasi zat pencemar serta serta ketegangan sosial disebut daya dukung. Kecenderungan yang terjadi adalah kenaikan kualitas hidup diikuti dengan kenaikan konsumsi sumberdaya dan pencemaran dan naiknya ketegangan sosial.

            Kehidupan manusia akan terganggu atau lebih ekstrim adalah akan ambruk apabila daya dukung lingkungan terlampaui. Sebenarnya kenaikkan kualitas hidup yang kita inginkan tidak diikuti dengan kenaikan konsumsi sumberdaya dan pencemaran serta kenaikkan ketegangan sosial.

            Kualitas lingkungan dapatlah diartikan dengan kualitas hidup, yaitu dalam kualitas lingkungan yang baik terdapat potensi untuk berkembangnya kualitas hidup yang tinggi.

            Kualitas hidup dapat diukur dengan 3 kriteria:

  1. Derajat dipenuhi kebutuhan untuk hidup sebagai mahluk hayati. Kebutuhan ini sangat mendasar dan sangat mutlak, yang terdiri atas udara, air bersih, pangan, kesempatan untuk mendapatkan keturunan serta perlindungan terhadap serangan penyakit dan sesama manusia.
  2. Derajat dipenuhinya kebutuhan untuk hidup manusiawi. Kebutuhan ini sangat relatif dan tergantung pada manusianya sendiri yang meliputi pendidikan, filsafat agama, seni dan kebudayaan.
  3. Derajat kebebasan untuk memilih dan dipilih.

Dengan dapat dicapainya kualitas hidup yang lebih baik sehingga dapat memenuhi kehidupannya dalam bidang sandang, pangan, dan papan, ilmu, filsafat, beragama, berseni dan berbudaya dapat dikatakan merupakan satu penanganan   pencemaran yang didasari dengan kesadaran manusia.

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 


Gambar 2.        Dua Bentuk Pendekatan Terhadap Penggunaan Sumberdaya pada Wilayah Pesisir (Sumber: Dutton dan Hotta, 1995)

 

 

 

IV.  KESIMPULAN

 

            Wilayah pesisir merupakan wilayah yang berpotensi sangat tinggi. Namun demikian pengelolaan wilayah secara terpadu belum dilaksanakan dengan baik, sehingga potensi kerusakan, atau pengaruh buruk akibat pengelolaan pesisir yang salah saat ini ditemukan dan dirasakan.

            Data-data dasar potensi wilayah pesisir, sampai tingkat ketelitian tertentu saat ini  telah tersedia. Namun demikian data dasar tersebut belum dimanfaatkan secara maksimal.

            Karena posisi geomorfologinya wilayah pesisir akan selalu merupakan ujung akhir dari rantai pembuangan limbah. Oleh karena itu kerusakan pesisir tidak melulu akibat pengelolaan pesisir yang salah, tetapi termasuk pengelolaan wilayah hulunya. Dalam kaitan dengan hal tersebut pengelolaan limbah di wilayah hulu juga perlu mendapatkan perhatian sepenuhnya agar kelestarian wilayah pesisir dapat dicapai.

            Berbagai pedoman pengelolaan pesisir telah tersedia. Namun demikian pedoman-pedoman tersebut umumnya saat ini masih dalam tingkat wacana.  Beberapa aturan pemanfaatan sumberdaya pesisir telah mencapai aspek hukum dan perundangan namun demikian penerapan hukum ini masih terasa lemah.

Melihat keunikan dan kompleksnya ekosistem wilayah pesisir dan sumberdaya yang terkandung didalamnya, maka beberapa hal yang perlu diperhatikan dalam pengelolaannya untuk mencapai tujuan pemanfaatan yang berkelanjutan antara lain adalah:

  1. Semua pengguna sumberdaya pesisir harus bersama-sama melakukan perencanaan, pemanfaatan dan pengelolaan serta pengontrolan terhadap sumberdaya serta jasa lingkungan wilayah tersebut secara bersama-sama.

2.      Ekosistem wilayah pesisir dan sumberdayanya  merupakan bagian yang penting bagi kehidupan masyarakat terutama bagi mereka yang tinggal di wilayah tersebut dan memanfaatkan wilayah itu bagi pemenuhan kebutuhan hidup mereka. Untuk itu harus dilibatkan peran serta masyarakat setempat dalam perencanaan dan pengelolaan wilayah ini.

3.       

 

DAFTAR  PUSTAKA

 

Abdurachman, A dan E. E. Ananto, 2000. Konsep pengembangan pertanian berkelanjutan di lahan rawa untuk mendukung ketahanan pangan dan pengembangan agribisnis. Dalam Prosiding Seminar Nasional Penelitian dan Pengembangan Pertanian di Lahan Rawa. Cipayung, 25-27 Juli 2000.

 

Anonim, 1997. Ensiklopedi Kehutanan Indonesia. Badan Penelitian dan Pengembangan Kehutanan. Departemen Kehutanan RI. Jakarta

 

______. 1999. Laporan Akhir Pengkajian Dampak Kenaikan Muka Air Laut di Daerah Jawa dan Bali, Studi Kasus Wilayah Pesisir Semarang. Bappedal / KMNLH. Jakarta.

 

Birkeland, C. 1983.  Influences of Topography of Nearby Land Masses in Combination with Local water Movement Patterns on the nature of Nearshore Marine Communities, Productivity and Processes in Island Marine Ecosystem. UNESCO Report in Marine Science No. 27 Dunedine. p : 16-31

 

Carter,T.R. 1996. Assessing climate change adaptation. The IPCC guidelines In Adapting to Climate Change : Assessment and Issues. Springer . p : 27-43.

 

Cincin-sain, B.  and R. W. Knetch, 1998.  Integrated Coastal and Ocean Management.  Island Press, Washington, D. C.  517 p. 

 

Clark, R. J. 1996. Coastal Zone Management Hand Book.  CRC Lewis Publishers. Boca Raton, Florida.  694 p.

 

Dahuri R, J. Rais, S.P.Ginting dan M.J. Sitepu, 1996. Penngelolaan Sumberdaya Wilayah Pesisir dan Lautan Secara Terpadu. PT Saptodadi. Jakarta.

 

Damardjati, D.S., I.G. Ismail dan T. Alihamsyah, 2000. Pengembangan pertanian berkelanjutan di lahan rawa untuk mendukung ketahanan pangan dan pengembangan agribisnis : konsepsi dan strategi pengembangannya.  Dalam Prosiding Seminar Nasional Penelitian dan Pengembangan Pertanian di Lahan Rawa. Cipayung, 25-27 Juli 2000.

 

Dewanti. R, C. Kusmana, T. Gantini, S. Utaminingsih, Munyati, Ismail, N. Suwargana dan E. Parwati.   1996  Pengembangan Model Aplikasi Penggunaan Data Inderaja Satelit Untuk Inventarisasi dan Kerapatan Hutan Bakau. LAPAN (tidak dipublikasikan).

 

Djunaedi, A. 1997. Usulan Model Perencanaan Pengelolaan Wilayah Pesisir. UPT Pusat Komputer, UGM. Yogyakarta.

 

Hotta, K. and I. M. Dutton.  1995.  Coastal Management in the Asia-Pasific Region : Issues and Approaches. Japan International Marine Science and Technology Federation. Tokyo, Japan. 421 p.

 

Intromarc and Amsat, 1997 . Integrated Coastal Zone Planning and Management Training. Marine Resources Evaluation and Planning Project. Townsville, Australia.  

 

Kaimuddin . 2000. Kajian Dampak Perubahan Iklim dan Tata Guna Lahan Terhadap Keseimbangan Air Wilayah Sulawesi Selatan. Dissertasi program studi AGK-FPS IPB (tidak dipublikasikan).

 

Lawrence, D. 1998. Pengelolaan Wilayah Pesisir Secara Terpadu: Buku Pedoman Teori dan Praktek Untuk Peserta Pelatihan. Great Barrier Reef Marine Park Authority. Australia. Diterjemahkan oleh Mac T. dan MS Anggraeni

 

Marsudi Ds., Widagdo, J. Dai, N. Suharta, Darul SWP., S. Hardjowigeno dan J. Hof.  1994.  Pedoman Klasifikasi Landform.  Laporan Teknis No. 5 Versi 2.0 (Tidak dipublikasikan )

 

Nugroho, K., Alkusuma, Paidi, Wahyu Wahdini, Abdurachman, H. Suhardjo, dan IPG. Widjaja Adhi. 1993. Peta areal potensial untuk pengembangan pertanian lahan rawa lebak, rawa pasang surut, dan pantai. Proyek penelitian sumber daya lahan. Pusat Penelitian Tanah dan Agroklimat. Badan Litbang Pertanian. Departemen Pertanian. Bogor.

 

Pusat penelitian Tanah dan Agroklimat. 2000.  Atlas Sumberdaya Tanah Eksploitasi Indonesia.  Skala 1: 1 000 000.

 

Ray, C. C. and R. G. McCormick.  1994.  Coastal marine protected areas, a moving target. Proceeding from the International Workshop on Coastal Marine Protected Areas and Biosphere Reserves.  ANCA/UNESCO. Canberra-Australia.

 

Salam , B. 2000. Sejarah Filsafat Ilmu dan Teknologi. PT. Rineka Cipta, Jakarta. 341 p.

 

Salim, E. 1991. Pembangunan Berkelanjutan: Strategi Alternatif Dalam Pembangunan Dekade Sembilanpuluhan, Prisma I: 3-13.

 

Semiawan, C. R., I. Putrawan dan T. H. I. Setiawan.  1999.  Dimensi Kreatif dalam Filsafat Ilmu.  P.T. Remaja Rosdakarya. Bandung.  124 p.

 

Soemarwoto, O. 1991. Interaksi Manusia dan Lingkungan: Faktor Kritis dalam Pembangunan Berkelanjutan, Prisma I: 14-22

 

Suhardjo, H., Suratman, T. Prihartini dan S. Ritung. 2000. Lahan Pantai dan pengelolaannya. dalam A. Abdurahman (Eds.). Sumberdaya Lahan Indonesia dan Pengelolaannya.  Pusat Penelitian Tanah dan Agroklimat Bogor. p : 97-126

 

Supriharyono.  2000.  Pelestarian dan Pengelolaan Sumberdaya Alam dii Wilayah Pesisir Tropis.  PT. Gramedia Pustaka Utama. Jakarta.

Supriyadi, I. H. 2000. Pengelolaan Sumberdaya Mangrove di Wilayah Pesisir Kecamatan Seram Barat Kabupaten Maluku Tengah. Thesis Pascasarjana Institut Pertanian Bogor (tidak dipublikasikan).

 

Suratmo,  G.  1998.   Analisis Mengenai Dampak Lingkungan.  Gadjah Mada University Press. Yogyakarta. 318 p.

 

Tim Pusat Penelitian Tanah dan Agroklimat. 1996.  Petunjuk Teknis Evaluasi Lahan.  Pusat Penelitian Tanah dan Agroklimat.  Dokumen Puslittanak, Bogor. (Tidak dipublikasikan).

 

Tomascik, T., A. J. Mah, A. Nontji and M. K. Moosa (1997) The Ecology of the Indonesian Seas- Part One.  Periplus Edotions (HK) Ltd. Singapore.

 

Watloly, A.  2001. Tanggung Jawab Pengetahuan.  Mempertimbangkan Epistemologi Secara Kultural.  Kanisius. Yogyakarta.  234 p.

 

Wibowo, P., C. E. Nirarita, S. Susanti, D. Padmawinata, Kusmarini, M. Syarif, Y. Hendriani, Kusniangsih dan L. B. Sinulingga.  1996.  Buku Panduan untuk Guru dan Praktisi Pendidikan.  Wetlands International Indonesian Programme. Bogor.

 

Widjaja Adhi, I.P.G., K. Nugroho, D.S. Ardi, dan A.S. Karama. 1992. Sumber daya lahan pasang surut, rawa, dan pantai. : Potensi, keterbatasan dan pemanfaatan. Dalam Prosiding “Pertemuan Nasional Pengembangan Lahan Pertanian Pasang Surut dan Rawa. Cisarua, 3-4 Maret 1992.