© 2001  Neneng Laela Nurida                                                                                                                            Posted  29 Desember 2001

Makalah Falsafah Sains (PPs 702)   

Program Pasca Sarjana / S3

Institut Pertanian Bogor

Desember 2001

 

Dosen:

Prof Dr Ir Rudy C Tarumingkeng (Penanggung Jawab)

 

 

PEMBUKAAN LAHAN SECARA TEBAS BAKAR HUBUNGANNYA DENGAN

TINGKAT POPULASI DAN AKTIVITAS ORGANISME TANAH

 

 

 

 

Oleh:

 

Neneng Laela Nurida

 Nrp P 026 00006

E-mail: nenurida@yahoo.com

 

 

 

 

 

Abstrak

 

            Sistem tebas-bakar (slash and burn) merupakan metode pembukaan lahan yang banyak dilakukan oleh petani di daerah tropis. Secara agronomis, dalam jangka pendek sistem tebas-bakar memberikan keuntungan namun efeknya dalam jangka panjang sangat mengkhawatirkan terutama dengan adanya peningkatan intnnsitas tanam dan pendeknya pepiode bera..  Pembakaran biomasa hutan akan menciptakan lingkungan mikro tanah yang baru. dimana sifat fisik, kimia dan biologi tanah akan berubah.  Perubahan ini akan sangat berpengaruh terhadap kehidupan organisme tanah sehingga dapat menggangu fungsinya dalam ekologi tanah. Organisme tanah (bakteri, fungi, actinomysetes, algae, cacing tanah, collembola dll.) memperoleh energi dan hara dari tanah untuk kelangsungan hidupnya.  Perubahan sifat fisik tanah yang nyata adalah terjadinya pemadatan yaitu terlihat dengan meningkatnya berat isi tanah dan menurunnya porositas makro .pada kedalaman 0-10 cm.   Penurunan kadar air terjadi segera setelah pembukaan lahan terutama pada kedalaman 0-15 cm.   Pembakaran menyebabkan peningkatan pH, basa-basa dapat ditukar, KTK efektif dan ketersediaan P di permukaan tanah.  Pengkayaan oleh abu hasil pembakaran dipengaruhi oleh lamanya tanah yang diusahakan, pencucian dan pengangkutan waktu panen.  Bahan organik  tanah mengalami penurunan  sehingga suplai makanan organisme berkurang.  Pola distribusi dan perkembangan populasi mikroorgasinme setelah pembakaran cukup bervariasi dan sebagian besar terjadi pada kedalaman 0-15 cm..  Variasi ini sangat tergantung seberapa besar perubahan lingkungan mikro yang terjadi.  Bakteri dan actinomycetes lebih tanah terhadap suhu panas dibandingkan fungi.  Fungi membutuhkan waktu 30 hari untuk pulih kembali, sedangkan bakteri dan actinomycetes hanya perlu 20 hari. Azotobacter memerlukan waktu 14 hari untuk pulih kembali.  Pengaruh pasca pembakaran lebih penting terhadap invertrebrata dibandingkan efek langsung pembakaran.  Cacing tanah masih cukup toleran terhadap intensitas pemanasan  rendah sehingga bisa mempertahankan populasi dan aktivitasnya.  Resistensi collembola terhadap pengaruh pembakaran tergantung speciesnya, beberapa species collembola dapat berasosiasi  pada suhu tinggi, sehingga pengaruhnya relatif kecil.

 

Kata kunci : tebas-bakar, lingkungan mikro tanah, populasi, organisme

 


 

PENDAHULUAN

 

            Sistem tebas–bakar (slash and burn) merupakan metode pembubaan lahan yang banyak dilakukan oleh petani di daerah tropis.   Sampai saat ini dalam perladangan berpindah di Sumatera, metode ini masih digunakan dalam berbagai penggunaan lahan baik penduduk asli, petani transmigran maupun perkebunan besar (ASB-Indonesia, 1998).  Metode ini dilakukan dengan cara menebang dan membakar sebagian hutan kemudian menanam tanaman pangan dan tanaman tahunan tanpa ada penambahan input.  Oleh karena itu produktivitas tanah dan tanaman dalam sistem ini sangat tergantung pada kesuburan tanahnya.   Dilihat dari perspektif petani cara ini memang cara yang paling mudah dan murah, dan memberikan beberapa manfaat seperti adanya suplai pupuk dari abu, mengurangi timbulnya hama penyakit, pemberantasan gulma, dan meningkatkan reproduksi benih (Wells et al., 1979 dalam Eivazi  dan Bayan, 1996).

            Secara agronomis sistem tebas-bakar dalam jangka pendek menguntungkan, namun efeknya dalam jangka panjang sangat mengkhawatirkan terutama disebabkan peningkatan intensitas tanam dan semakin pendeknya periode bera (Palm et al., 1996).  Sebanyak 170 juta hektar dari 240 juta hektar hutan tertutup telah dibuka untuk digunakan dalam sistem perladangan berpindah (FAO, 1985 dalam Brady, 1996).  Bila lahan ini digunakan selama 2-3 tahun dan diberakan selama 10-20 tahun, maka regenerasi dan akumulasi abu pembakaran dan bahan organik akan mengisi kembali pool yang sudah terkuras, memperbaiki struktur tanah dan melindungi tanah dari bahaya erosi dan aliran permukaan (Brady, 1996).  Menurut Roder et al. (1997) bila sistem tebas-bakar dilakukan secara tradisional, maka produktivitas tanah yang lestari akan terjamin..

            Konversi lahan hutan alami menjadi lahan pertanian dengan cara tebas bakar membawa konsekuensi antara lain perubahan iklim, peningkatan emisi CO2 dan gas lain karena pembakaran hutan menimbulkan pemanasan global ( Tinker et al., 1996; Fujisaka. et al., 1995), perubahan terhadap siklus C dan N di dalam tanah dan adanya penurunan keanekaragaman hayati (Cheryl et al., 1996).  Pada akhir tahun 1997, asap tebal akibat kebakaran hutan telah menggangu kesehatan dan transportasi udara di bebarapa negara  seperti Indonesia, Malaysia, Brunei, Filipina dan Thailand).

            Ditinjau dari sudut ekologi, vegetasi hutan merupakan tempat hidup biota yang paling baik, tapi akan lain kemungkinannya pada hutan yang telah terdegradasi oleh kegiatan manusia.  Lahan hutan yang dibuka dengan sistem tebas-bakar akan terkena langsung terpaan air hujan dan sinar matahari sehingga sejumlah bahan di atas dan beberapa sentimeter di bawah permukaan tanah akan menguap dan terbakar serta sejumlah bahan berupa abu terbentuk di permukaan tanah setelah pembakaran.  Pembakaran biomasa hutan akan menciptakan lingkungan mikro tanah yang baru, dimana sifat fisik, kimia dan biologi tanah akan berubah.  Perubahan lingkungan mikro tanah akan sangat berpengaruh terhadap kehidupan organisme tanah.  Terganggunya organisme tanah berarti mengganggu fungsi ekologis sistem tanah yaitu mata rantai makanan, aliran energi, siklus hara dan pola keanekaragaman.

            Mengingat pentingnya peranan organisme tanah dalam proses-proses biologi sistem tanah maka perlu mengetahui dampak dari pembukaan lahan melalui tebas-bakar terhadap organisme tanah. Tulisan ini akan membahas pengaruh pembukaan lahan dengan sistem tebas bakar terhadap perubahan lingkungan mikro tanah (sifat fisik dan kimia tanah) dalam hubungannya dengan dampaknya terhadap organisme tanah, baik populasi maupun aktivitasnya.

 

 

ORGANISME TANAH DAN BEBERAPA FAKTOR LINGKUNGAN

YANG MEMPENGARUHINYA

 

Organisme tanah

 

            Menurut Killham (1994) organisme tanah diklasifikasikan berdasarkan ukurannya menjadi mikrobiota (bakteri, fungi, actinomycetes dan algae), mikrofauna (protozoa), mesobiota (misalnya collembola) dan makrobiota (misalnya cacing tanah, nematoda dan anthopoda).  Di dalam tanah jumlah organisme dan biomasanya sangat bervariasi.  Bakteri dan fungi merupakan organisme yang dominan di dalam tanah karena ukurannya yang sangat kecil dan paling banyak biomasanya serta penting peranannya dalam dekomposisi bahan organik (Metting, 1992).  Cacing tanah, rayap dan semut  merupakan organisme tanah yang berfungsi sebagai ecosystem engineer, peranannya sangat penting di dalam proses-proses yang terjadi di dalam tanah ( Fragoso et al., 1997).  Cacing tanah maupun rayap sangat mempengaruhi siklus unsur hara, ketersediaan air, dekomposisi dan proses –proses pedologi (Black dan Okwakol, 1997).

            Ketergantungan organisme tanah terhadap lingkungan tanah sangat berbeda-beda terutama dalam perolehan energi dan hara (Killham, 1994).  Mikroorganisme heterotrof memperoleh sumber energinya dari senyawa anorganik, sementara mikroorganisme autrotrof mendapatkan sumber energinya dari sinar matahari.  Keduanya memperoleh sumber karbon secara langsung dari atmosfir berupa karbondioksida.  Selain itu, sejumlah mikroorganisme tertentu (seperti azotobacter) dan asosiasi mikroba (bintil akar) mampu menambat nitrogen bebas yang terdapat di atmosfer.  Sedangkan mikroorganisme lain memperoleh energi dan hara secara langsung dari tanah, baik dari mineral, bahan organik atau komponen lain dari biomassa tanah.

 

 

Tabel 1.  Perkiraan jumlah biomassa, mikrobiota dan mikrofauna pada Mollisols

Organisma

Jumlah

Biomass

 

Per m2

Per gram

Wet kg/ha

 

Bakteri

Actinomycetes

Fungi

Mikroalga

Protozoa

Nematoda

Cacing tanah

Mikrofauna lainnya

 

1013-1014

1012-1013

1010-1011

109-1010

109-1010

106-107

30-300

103-105

 

108-109

107-108

105-106

103-106

103-105

101-102

 

300-3000

300-3000

500-5000

10-1500

5-200

1-100

10-1000

1-200

Sumber : After Alexander(1977), Brady (1974) dan Lynch (1988) dalam Metting (1992)

 

Faktor-faktor lingkungan yang mempengaruhi organisme tanah

            Ketersediaan bahan makanan (sumber C)  baik dalam bentuk organik maupun anorganik sangat menetukan tingkat populasi, keragaman dan aktivitas mikroorganisme.  Selain itu komposisi dan aktivitas mikroorganisme tanah dipengaruhi oleh lingkungan mikro tanah yaitu lingkungan fisik, kimia dan biologi dimana organisme tersebut berada pada waktu tertentu.  Tanah menyediakan lingkungan yang relatif stabil, karena variabilitas iklim tanah tergolong kecil dibandingkan kondisi diatas tanah.  Mikroorganisme tanah tumbuh paling banyak di permukaan partikel tanah terutama di daerah rizosfer, sangat sedikit mikroorganisme yang berkoloni bebas di larutan tanah. Lingkungan fisik dan kimia tanah dapat berpengaruh langsung terhadap jenis dan jumlah mikroorganisme.

 

Lingkungan fisik

            Sifat-sifat fisik tanah yang dapat mempengaruhi kehidupan mikroorganisme adalah kepadatan tanah (berat isi tanah), ketersediaan air, porositas, struktur tanah dan lain-lain.  Kondisi sifat fisik tanah ini sangat tergantung kepada  jenis mineral dan koloidal tanah, sehingga variasinya cukup besar antara jenis tanah.

            Ketersediaan air tanah lebih penting artinya dari pada air total.  Meskipun tidak semua mikroorganisme tahan terhadap stress air, namun pada umumnya mikroorganisme lebih toleran dibandingkan tanaman.  Tingkat toleransi antar miroorganisme sendiri terhadap stress air cukup bervariasi, actinomycetes lebih tahan terhadap stress air dibandingkan bakteri karena kemampuannya  untuk mensintesis intra selular proline (Killham, 1994).

            Pemadatan tanah akan mengurangi volume pori tanah terutama pori makro sehingga terjadi hambatan mekanikal yang secara langsung akan menghambat pertumbuhan akar.  Porositas tanah, stabilitas agregat  sangat menentukan suplai air, oksigen dan unsur hara yang dibutuhkan mikroorganisme.  Sifat fisik ini sangat penting dalam aktivitas organisme tanah, karena pada umumnya organisma tanah menyukai kelembaban tetapi tetap beraerasi baik (Killham, 1994).  Selanjutnya dinyatakan bahwa tekstur berlempung (antara liat dan pasir) dan struktur agregat yang mantap akan lebih mendukung perkembangan populasi dari cacing tanah dan organisme lainnya.

 

Lingkungan kimia

            Mikroorganisme umumnya tumbuh di permukaan partikel, sebagian tumbuh dan berkembang di dalam larutan tanah.  Senyawa organik dan anorganik yang dilepaskan  sel  akar akan mempengaruhi lingkungan kimia di dalam tanah dan secara tidak langsung akan mempengaruhi kehidupan mikroorganisme.  Akar tanaman secara selektif menyerap dan mentranport ion-ion sehingga merubah komposisi kimia larutan tanah.

Pembakaran mempengaruhi sifat-sifat kimia seperti pH, potensial redoks, konsentrasi hara dan C terlarut, komposisi ion  dan lain-lain.   PH merupakan kriteria penting untuk memprediksi kapabilitas tanah dalam mendukung reaksi mikroorganisme.  Tingkat toleransi mikroorganisme terhadap pH sangat bervariasi.  Umumnya mikroorganisme hidup dan berkembang pada pH normal seperti bakteri dan actinomycetes, sedangkan fungi lebih toleran pada pH rendah (Killham, 1994).  Perubahan pH akan mempengaruhi dominansi dan aktivitas mikroorganisme tanah.  Konsentrasi unsur hara terutama kation basa baik langsung maupun tidak langsung akan mempengaruhi aktivitas mikroorganisme (Bolton et al., 1992).

Faktor lingkungan lainnya yang berpengaruh terhadap mikroorganisme tanah adalah temperatur dan cahaya.  Temperatur bukan hanya berpengaruh terhadap laju reaksi physiologi, tetapi juga berpengaruh terhadap sifat fisik dan kimia dari lingkungan (Miller, 1992).  Menurut Killham (1994) kisaran suhu dimana mikroorganisme dapat hidup sangatlah besar.  Beberapa derajat di atas suhu optimum aktivitas mikrobiologi akan menurun secara drastis dan menyebabkan terjadinya thermal denaturation dari protein dan membram.

Cahaya merupakan faktor penentu primer dari aktivitas biologi tanah.  Penetrasi cahaya ke dalam tanah (bagian bawah permukaan tanah) bervariasi antara tanah satu dengan tanah lainnya dan sangat dipengaruhi oleh penutupan vegetasi.  Cahaya menyediakan sumber energi bagi komponen  fotoautrotrof dan biota tanah.  Sekitar 5 % dari radiasi matahari digunakan untuk reaksi fotosintesis oleh berbagai komponen biota tanah termasuk tanaman, algae dan bakteri fotoautotrof.

 

 

PENGARUH SISTEM TEBAS BAKAR TERHADAP LINGKUNGAN TANAH

            Pembakaran mengubah karakteristik fisik, kimia dan biologi tanah melalui pemanasan, penggantian dan penghilangan substansi, dan pembukaan permukaan tanah.  Sifat dan tingkat perubahan tergantung pada sifat tanah, suhu dan lamanya pembakaran, topografi dan iklim.  Pembakaran mempengaruhi sifat tanah secara langsung melalui dekomposisi mineral liat dan secara tidak langsung melalui perubahan struktur  kompleks menjadi residu anorganik sederhana kemudian bereaksi dengan mineral  dalam tanah.

 

Lingkungan fisik

            Pengaruh nyata  sistem tebang-bakar terlihat dari perubahan permukaan tanah yaitu hilangnya penutupan permukaan tanah sehingga tanah menjadi lebih terbuka dan mendapatkan pengaruh langsung dari curah hujan dan radiasi.  Saat pembukaan lahan terjadi sedikit pemadatan akibat jatuhnya pepohonan dan injakan manusia sehingga meningkatkan bobot isi, walaupun masih lebih rendah dibandingkan pembukaan dengan buldozer (Alegre dan Cassel, 1996).  Hasil penelitian Diaz dan Nortcliff (1985) di Oxisols, Brazillian Amazon mendapatkan bahwa bobot isi pada tanah yang dibakar walaupun lebih rendah dari pemakaian buldoser, tapi lebih tinggi dibandingkan hutan alami terutama pada kedalam 0-10 cm (Tabel 2). Peningkatan bobot isi sejalan dengan terjadinya penurunan porositas makro pada tanah yang dibakar untuk kedalaman 0-10 cm.

Alegre dan Cassel (1996) dalam penelitiannya di Typic Paleudults, Yurimaguas, Peru memdapatkan bahwa sistem tebas-bakar meningkatkan bobot isi terjadi pada  kedalaman tanah 0-150 mm, sedangkan pada kedalaman 150-250 mm relatif stabil. Pengaruh Pemakaian buldozer terlihat sampai kedalaman 250 mm. Pengaruh jangka panjang dari sistem tebas bakar terutama pada kedalaman 0-150 mm terlihat tidak konsisten yaitu menurun setelah 29 minggu, namun meningkat kembali setelah 89 minggu (Tabel 3).

 

 

Tabel 2.  Beberapa sifat fisik tanah pada penelitian pembukaan lahan Oxsisols di

Brazilian Amazon.

 

Kedalaman

Bobot isi kering (g/cm3)

Porositas makro (%)

(cm)

Hutan alami

dibakar

Hutan alami

Dibakar

 

0-5

5-10

10-15

15-20

 

 

0,79

1,04

1,12

1,11

 

0,84

1,06

1,13

1,12

 

20,5

12,3

8,7

8,1

 

17,8

11,0

8,0

8,3

Sumber :  disederhanakan dari Dias dan Nortcliff (1985

 

            Penurunan porositas makro dan meningkatnya bobot isi mengindikasikan bahwa proses pemadatan terjadi sampai kedalaman 10 cm pada tanah yang dibakar.sehingga berimplikasi pada penurunan infiltrasi tanah.  Hasil penelitian di Yurimaguas terjadi penurunan laju infiltrasi dari 22 cm/jam pada hutan alami menjadi 10 cm/jam pada yang dibakar (Sanchez, 1981 dalam Dias dan Nortcliff, 1985).

 

 

Tabel 3.  Perubahan bobot isi (Mg/m3) setelah pembakaran pada penelitian

pengaruh pembukaan lahan.

Sistem pembukaan lahan

Kedalaman (mm)

 

0 – 150

150 – 250

Sebelum pembukaan lahan

Tebas-bakar

  • Setelah 14 minggu
  • Setelah 29 minggu
  • Setelah 98 minggu

Buldoser

  • Setelah 14 minggu
  • Setelah 29 minggu
  • Setelah 98 minggu

1,16

 

1,27

1,17

1,32

 

1,42

1,26

1,42

1,39

 

1,37

1,37

1,38

 

1,49

1,44

1,56

Sumber :  disederhanakan dari Alegre dan Cassel (1996)

 

            Penelitian Alegre dan Cassel (1996) menunjukkan bahwa persentase agregat yang stabil pada 3 bulan setelah pembukaan lahan pada ukuran agregat > 0,25 mm tidak berbeda nyata dengan sebelum dibakar (Gambar 1).  Perbedaan yang nyata terlihat apabila digunakan buldozer.terutama untuk agregat berukuran besar.  Persentase dari agregat berukuran 0,25-0,5 mm tidak berubah dan cenderung stabil dengan pembukaan lahan secara tebas bakar.  Kelas ukuran agregat tersebut sangat berkaitan erat dengan pori terisi udara dan kemampuan memegang air. Dari penelitian tersebut juga  diperoleh informasi terjadinya perubahan kandungan air tanah pada kedalaman 0-15 cm dan 15-25 cm akibar sistem tebas-bakar.  Setelah 8-14 minggu pembukaan lahan,  terjadi penurunan kadar air tanah akibat tebas-bakar..  Penurunan kandungan air pada kedalaman 0-15 cm lebih besar dibandingkan kedalaman 15-25 cm

            Penurunan kualitas sifat-fisik tanah abibat pembukaan lahan dengan cara tebas bakar dan hilangnya vegetasi di atas permukaan tanah akan menyebabkan terjadinya degradasi lahan.  Pengelolaan lahan setelah lahan dibuka akan mempengaruhi besarnya tingkat degradasi lahan yang terjadi.  Hasil penelitian Alegre dan Cassel (1996) dengan menguji 4 perlakuan pengelolaan lahan setelah pembukaan lahan dengan cara tebas bakar terhadap besarnya aliran permukaan dan erosi ditunjukkan pada Tabel 4.   Sistem alley cropping dapat digunakan untuk menanggulangi efek buruk dari sistem tebas bakar, terlihat dari rendahnya aliran permukaan dan erosi yang terjadi.  Tanah yang hilang dari permukaan tanah akan mengangkut bahan organik dan unsur hara yang dibutuhkan oleh tanaman dan organisme tanah.

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 


Gambar 1.   Persentase stabilitas agregat sebelum dan sesudah

       pembukaan lahan (Alegre et al.,1986 dalam Alegre et al., 1996)

 

 

Tabel  4.  Pengaruh pengelolaan lahan terhadap aliran permukaan dan erosi pada areal yang dibuka dengan sistem tebas-bakar

(Desember 1988-Maret 1993)

 

 

Aliran permukaan

Kehilangan tanah

Perlakuan

Total (mm)

Rata-rata (mm/th)

Total (Mg/ha)

Rata-rata

(Mg/ha/th)

 

Tanaman semusim (2x)

Alley cropping

Hutan sekunder

Diberakan

 

 

   1 080 b

      133 c

        16 d

   2 865 a

 

       249 b

         31 c

           4 c

       662 a

 

     228    b

         4    c

         0,8 c

     505    a

 

     53    b

       0,9 c

       0,2 c

  1 17    a

Sumber :  Alegre dan Cassel (1996)

 

Lingkungan kimia

 

            Pembakaran menyebabkan peningkatan yang cepat pH tanah, basa-basa dapat ditukar, KTK efektif dan ketersediaan P di permukaan tanah (Juo dan Manu ,1996; Juo et al., 1995; Roder et al., 1995).  Adanya abu pembakaran menyebabkan peningkatan pH, seperti yang ditemukan Khanna et al. (1994), penambahan 4-20 ton abu/ha yang berasal dari serasah Eucalyptus meningkatkan pH tanah 1-3 unit.  Juo dan Manu (1996) mengemukakan bahwa untuk tanah masam, adanya abu pembakaran akan menetralisir tingkat kelarutan Aldd di dalam tanah.   Perubahan  sifat kimia tanah dipengaruhi oleh komposisi kimia dalam abu dan jenis mineralogi dan muatan tanah.  Hal tersebut sejalan dengan apa yang ditemukan oleh Juo dan Manu (1996) dari hasil rangkuman penelitian yang dilakukan oleh peneliti-peneliti yang lain ( Tabel 4.).

 

Tabel 5.  Perubahan pH (H2O), basa-basa dapar ditukar (meq/100 g) pada permukaan

tanah sebelum dan setelah pembukaan lahan hutan bera.

 

Lokasi

Waktu pengamatan

pH

P

Ca

Mg

K

Nam Phrom, Thailand

 

Kade, Ghana

 

Yurimaguas, Peru

 

Onne, Nigeria

 

Ibadan, Nigeria

 

Sebelum pembakaran

Setelah pembakaran

Sebelum pembakaran

Setelah pembakaran

Sebelum pembakaran

Setelah pembakaran

Sebelum pembakaran

Setelah pembakaran

Sebelum pembakaran

Setelah pembakaran

6,2

7,2

5,2

7,9

4,0

4,7

4,3

5,0

6,0

6,3

2,4

7,7

9,8

30,0

12,0

23,7

-

-

4,7

20,7

17,0

36,3

5,7

17,9

1,0

2,3

1,3

3,0

5,9

7,5

5,6

7,5

1,2

2,7

0,3

0,6

0,3

0,9

1,6

1,9

0,45

1,93

0,41

2,01

0,25

0,39

0,16

0,33

0,33

0,97

Sample tanah pada kedalaman 0-5 cm atau 0-7,5 cm

Pengambilan sample 1 bulan setelah pembakaran

Sumber :  Juo dan Manu (1996)

 

Secara umum basa-basa dapat ditukar meningkat akibat adanya pembakaran, (Lessa et al., 1996; Alegre et al., 1988; Juo et al., 1995), namun terdapat variasi yang cukup besar antara lokasi penelitian (Tabel 5).  Pada tanah masam yang didominasi oleh mineral bermuatan variable (oksida-oksida dan kaolinit) penambahan kation-kation dari abu akan meningkatkan pH dan KTK tanah.  Sementara itu, pencucian dan pengangkutan waktu panen pada tanah yang ditanami tanaman pangan  akan mengangkut basa-basa dan bahan organik tanah.  Pengaruh pengkayaan oleh abu selama musim tanam sangat tergantung pada lamanya tanah diusahakan.   Jou dan Manu (1996) mengemukakan bahwa permebilitas tanah yang cepat dan topografi merupakan penyebab utama hilangnya hara dari tanah di Amazon selama 3 tahaun setelah pembakaran.  Banyaknya unsur yang hilang mengikuti urutan sebagai berikut K>Mg>Ca.   Sebagian besar nitrat hilang melalui pembakaran sedangkan kation-kation lainnya umumnya hilang karena mineralisasi bahan organik dari ekosistem hutan alami. 

                Bahan organik tanah mengalami penurunan dengan adanya pembakaran (Juo and Manu ,1996; Hernandez et al., 1997 dalam Djunaedi, 1999).  Hasil penelitian Juo et al. .(1995) di Ibadan, Nigeria memperlihatkan bahwa terjadi penurunan kandungan C organik dari 17 mg C/kg menjadi 9 mg C/kg setelah 7 tahun pembukaan lahan.(Gambar 4).  Penurunan ini sebagai hasil komulasi dari peningkatan dekomposisi, meningkatnya suhu akibat tidak adanya vegetasi dan rendahnya input bahan organik.  Setelah 7 tahun terdapat penambahan dari vegetasi yang tumbuh sehingga kandungan C organik mulai meningkat.  Peningkatan kandungan C organik ini tergantung dari jenis vegetasi yang ditanam.

 

 

PENGARUH TEBAS BAKAR TERHADAP ORGANISME TANAH

 

            Pada umumnya mikroorganisme tanah tumbuh ekstensif pada lapisan atas tanah, khususnya didaerah rizosfer.  Pembukaan permukaan tanah dan terjadinya perubahan karakteristik fisik, kimia, biologi tanah  akan berpengaruh terhadap populasi dan aktivitas organisme tanah.  Besarnya pengaruh pembakaran terhadap organisme sangat bervariasi tergantung pada intensitas bakar, kedalaman tanah, waktu pasca pembakaran, sifat tanah dan vegetasi setempat (Ahlgren, 1974 dalam Djunaedi, 1999)

 

Populasi mikroorganisme

 

Pembakaran meningkatkan  suhu tanah di permukaan tanah menjadi 5000 C, sedangkan pada kedalaman tanah 0,5 cm dan 1,5 cm masing-masing diatas 2600 C dan 1500 C (Reuleur dan Janssen, 1993).  Pola distribusi dan perkembangan populasi mikroorganisme setelah pembakaran cukup bervariasi tergantung seberapa besar perubahan lingkungan yang terjadi, daya adaptibilitas organisme terhadap lingkungan tersebut.  Hasil penelitian Harris et al. (1994)  selama 3 tahun di Typic Hapludults, Watkinsville menunjukkan tidak adanya pengaruh pembakaran pada kedalaman 0-2 cm terhadap jumlah populasi bakteri dan nitrifier.    Rata-rata jumlah bakteri 3,4x107, 4,4x107 dan 1,9x107 cfu/cm3 pada tahun 1983, 1984 dan 1985.  Selama 3 tahun pengamatan ternyata populasi actinomycetes, fungi dan algae cenderung lebih rendah pada tanah yang dibakar (Tabel 6).  Dari hasil penelitian tersebut terlihat bahwa efek pembakaran terhadap penurunan populasi mikroorganisme hanya terjadi pada awal musim tanam (7 HST).  Penggunanan tanah selanjutnya setelah pembakaran akan menentukan pertumbuhan mikroorganisme di dalam tanah.  Pengaruh pembakaran bersifat temporal karena dengan meningkatnya pertumbuhan tanaman, maka efek pembakaran menjadi tidak nyata.  Sementara itu hasil penelitian Deka dan Mishra (1983) di India memperlihatkan terjadinya penurunan populasi bakteri, actinomycetes dan fungi segera setelah pembakaran.  Meningkatnya suhu sampai 1650 C dan turunnya kandungan air tanah sampai 8,5 % berdampak langsung terhadap berkurangnya populasi.  Setelah mengalami tebas bakar, populasi fungi pulih dalam waktu 30 hari untuk mencapai tingkat populasi sebelum terjadi pembakaran, sedangkan bakteri dan actinomycetes hanya membutuhkan waktu 20 hari.  Tidak ada perbedaan jenis  komposisi  jenis fungi yang ditemukan.  Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa bakteri dan actinomycetes lebih tahan terhadap suhu panas dibandingkan fungi.

 

 

Tabel 6. . Pengaruh pembakaran dan pengolahan tanah terhadap mikroorganisme pada waktu setelah tanam, (HST), Tahun 1983,1984, 1985.

 

Perlakuan

HST, 1983

HST, 1984

HST, 1985

 

7

30

80

7

30

80

7

30

80

 

Actinomycetes ( Log No. cfu)

 

Bakar-tanpa olah

Bakar-diolah

Tanpa bakar-tanpa olah

Tanpa bakar-diolah

 

LSD bakar

7,53

7,52

7,59

7,51

 

NS

6,52

6,54

6,54

6,86

 

NS

6,61

6,71

6,82

6,80

 

NS

5,53

6,09

6,04

6,12

 

0,26

6,48

6,66

6,59

6,45

 

NS

6,10

6,20

6,31

6,23

 

NS

6,50

6,76

6,77

6,58

 

NS

6,67

6,79

6,83

6,89

 

NS

6,67

6,79

6,95

6,94

 

0,18

 

Algae (Log No. cfu)

Bakar-tanpa olah

Bakar-diolah

Tanpa bakar-tanpa olah

Tanpa bakar-diolah

 

LSD bakar

4,43

4,07

5,02

4,04

 

NS

4,92

5,05

5,30

5,13

 

0,21

5,62

5,36

5,26

5,27

 

NS

3,50

3,42

4,44

4,08

 

0,72

4,42

5,12

5,08

4,97

 

NS

5,24

5,38

5,11

5,39

 

NS

4,39

3,89

3,78

3,97

 

NS

5,00

5,11

5,34

4,91

 

NS

4,70

5,17

4,91

4,96

 

NS

 

Fungi (Log No. cfu)

Bakar-tanpa olah

Bakar-diolah

Tanpa bakar-tanpa olah

Tanpa bakar-diolah

 

LSD bakar

4,98

5,01

 

5,13

 

0,11

5,55

5,40

 

5,46

 

NS

5,75

5,67

 

5,60

 

NS

5,17

5,35

5,54

5,27

 

NS

5,45

5,02

 

4,94

 

NS

5,11

5,13

 

 

 

NS

4,95

4,83

 

 

 

0,12

5,08

5,02

 

 

 

NS

5,36

5,27

 

 

 

NS

Sumber : Harris. et. al. (1994)

 

 

Tabel 7.  Korelasi linier antar jumlah mikroorganisme dengan karakteristik lingkungan

Mukroorganisme

PH tanah

Kelembaban

Temperatur tanah

Temperatur udara

Total mikroflora

Bakteri heterotrof

Filamentous fungi

Algae

Dekomposer cellulosa aerobik

Dekomposer cellulosa anaerobik

Starch dekomposer

Pectin dekomposer

-0,33

 0,18

    0,37**

0,09

   0,32**

-0,05

0,01

-0,04

0,05

    0,45**

0,68

0,25

0,37

    -0,20

-0,11

    0,29**

0,04

   -0,34**

 -0,55**

-0,14

 -0,33**

 0,24*

0,09

-0,06

0,06

 -0,32**

 -0,56**

-0,04

   -0,34**

0,16

0,00

-0,08

*   signifikan pada taraf 5 %                                                            ** signifikan pada taraf 1 %

Sumber ; Fonturbel et al.  (1995)

 

Hasil penelitian Fonturbel et al. (1995) menunjukkan bahwa ternyete pengaruh pembakaran terhadap populasi mikroorganisme cukup rendah.  Perlakuan pembakaran mempunyai efek yang kecil terhadap karakteristik kimia tanah dan tekstur yang menyebabkan tidak adanya variasi dalam jumlah dan  populasi mikroorganisme.  Ditinjau dari kelompok taksonomi maupun nutrisi tidak terlihat adanya perbedaan populasi anatar yang dibakar dan tidak dibakar (Gambar 2).  Perbedaan intensitas pembakaran (450 kw/m, 100 kw/m dan 60 kw/m) tidak berpengaruh nyata terhadap karakteristik tanah, sehingga  populasi mikroorganisme tidak terganggu.  Peningkatan pH  (0,2 unit lebih tinggi dari kontrol) juga tidak berpengaruh terhadap populasi bakteri dan fungi.  Respon mikroorganisme terhadap perubahan lingkungan bervariasi, seperti terlihat dari hasil  korelasi antara beberapa karakteristik tanah dengan populasi mikroorganisma (Tabel 7).

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 


Gamber 2.  Populasi mikrobial pada perlakuan pembakaran pada musim yang berbeda (Fonturbel et al., 1995)

 

Djunaedi (1999) mendapatkan perbedaan suhu permukaan tanah mempengaruhi populasi azotobacter pada kedalaman 0-15 cm.  Dalam waktu 7 hari setelah pembakaran 6500 C jumlah azotobacter pada kedalaman 0-5 meningkat, sedangkan pada kedalaman 5-14 hari membutuhkan waktu 14 hari untuk pemulihan.  Pembakaran 6000C mesterilisasi fungi pada kedalaman 0-5 cm dan 5-15 cm, setelah itu jumlah fungi meningkat cepat hingga melampaui jumlah fungi di hutan.  Mulai 56-84 hari setelah pembakaran, total mikroorganisme telah pulih dan mencapai jumlah yang lebih tinggi dari pada di hutan.  Pembakaran dengan suhu yang lebih rendah kurang berpengaruh terhadap ppopulasi mikroorganisma.

 

Aktivitas mikroorganisme

 

            Perubahan iklim mikro tanah akibat pembakaran, khususnya temperatur dan kelembaban tanah berdampak pada aktivitas enzim tanah. karena terganggunya komunitas mikroorganisme dan perkembangan akar yang merupakan produsen utama enzim dalam tanah.  Mikroorganisme memegang peranan penting dalam transportasi unsur hara.  Jumlah biomassa mikrobial dan aktivitasnya merupakan faktor yang sangat penting di dalam siklus hara (Eivazi dan Bayan, 1996).

            Hasil penelitian Baath et al. (1994) di hutan coniferous menunjukkan bahwa total biomassa mikrobial menurun dengan akibat pembakaran, penurunan paling besar terjadi pada biomassa fungi.  Total biomassa yang dihasilkan pada perlakuan pembakaran lebih rendah 27 % (1 395 nmol/g bahan organik) dibandingkan tanpa pembakaran.  Biomassa fungi menurun dari 195 nmol/g bahan organik menjadi tinggal 98 nmol/g bahan organik.  Pietikainen dan Fritze (1994) mengukur karbon mikrobial pada perlakuan pembakaran, hasilnya menunjukan bahwa baik Cmic FE maupun Cmic SIR menurun dengan tajam yaitu dibandingkan kontrol  pada kedalaman 0-72 mm (Tabel  8).   Dumontet et al. (1996) melaporkan pengaruh jangka panjang terlihat pada penurunan biomassa mikrobial di hutan pinus,  setelah 6 tahun dari waktu  pembakaran dan diberakan  biomassa mikrobial hanya tinggal 75-79 mg/kg berat kering.

 

Tabel 8.  Pengaruh pembakaran terhadap biomassa mikrobial di hutan pinus dan  coniferous

 

 

 

Metode Pengukuran

 

Lokasi

Perlakuan

FE

SIR

Sumber

 

 

m g/g berat kering

 

Coniferous,

Finlandia

Kontrol

 

Tebas-bakar (setelah 1 th)

7 281

 

2 398

10 890

 

5 120

Pietikainen dan Fritze (1994)

 

 

Mg C/kg berat kering

 

Pinus,

 

Kontrol

 

Tebas bakar (setelah 6 th)

176

 

75

138

 

79

Dumontet et al. (1996)

 

           

Eivazi dan Bayan (1996) melihat adanya korelasi positif antara biomassa mikrobial dan aktivitas enzym tanah..  Pengaruh pembakaran selain menurunkan biomassa mikrobial juga mengurangi aktivitas enzym tanah.   Perlakuan frekuensi pembakaran membrikan dampak yang berbeda terhadap aktivitas enzym.   Pengaruh pembakaran setiap tahaun lebih parah dari pada pembakaran secara periodik setiap 4 tahun.terhadap penurunan aktivitas enzym.  Semakin rendah produksi biomassa mikrobial maka aktivitas enzym semakin rendah (Tabel 9)

 

 

Tabel. 9.   Biomassa C dan aktivitas enzym pada perlakuan pembakaran

 

Perlakuan

Biomasa C

Acid phosphatase

a-Glucosidase

b-Glucosidase

Sulfatase

Urease

 

mg C/g

mg p-/g /jam*

mg -/g /2jam**

Kontrol

 

Dibakar setiap 4 tahun

Dibakar setiap  tahun

247

 

195

 

168

232

 

92

 

71

4,2

 

1,8

 

1,4

48

 

22

 

19

45

 

21

 

15

69

 

41

 

29

*= p- nitrophenol

**  = ammonium N

Sumber  : Eivazi dan Bayan (1996)

 

 

 

Populasi cacing tanah dan collembola

 

            Pada daerah dimana pembakaran tidak terlalu berat, pengaruh langsung dari panas terhadap invertrebrata tampaknya tidak terlalu penting dibandingkan perubahan lingkungan pasca pembakaran (Chandler et al., 1983 dalam Djunaedi, 1999).  Populasi cacing tanah, kumbang, acarina, collembola dan millipida berkurang oleh pembakaran  setelahnya (Ahlgren, 1974 dalam Collett, 1998).  Penurunan populasi cacing tanah pada kedalaman 0-10 cm dilaporkan oleh  Collett et al. (1993), kepadatan cacing tanah pada tanah yang dibakar lebih rendah dari pada kontrol (Tabel 10).  Suhu yang panas pada lapisan atas tanah memaksa cacing untuk bergerak ke lapisan yang lebih dalam yang lebih lembab.   Populasi cacing tanah akan pulih setara dengan populasi kontrol setelah tiga tahun pembakaran.

            Djunaedi (1999) melaporkan bahwa tebas-bakar di Jambi tidak menimbulkan pengaruh yang berarti terhadap jumlah individu dan kokon cacing tanah (Gambar 3)  Metode tebas-bakar yang dilakukan petani diduga tidak menghasilkan intensitas bakar yang tinggi sehingga cacing tanah tidak terpengaruh.  Pada lahan yang dibakar dengan intensitas sedang dan ringan, maka tidak terjadi penurunan  kelembaban yang drastis, sehingga cacing tanah tetap bertahan di lokasi tersebut.

 

 

Tabel 10.  Kepadatan cacing tanah (no/m2 pada 0-10 cm) pada lahan yang dibakar dan kontrol,

sebelum pembakaran pertama, diantara dua waktu pembakaran dan

setelah pembakaran kedua (Maret 1985-Desember 1990)

 

Waktu pengamatan

Dibakar

Kontrol

Sebelum pembakaran pertama (1985)

Diantara dua pembakaran

 

Setelah pembakaran kedua (1988)

4,9

 

8,9

 

33,2

8,9

 

38,1

 

55,7

Sumber :  Collett et al. (1993)

 

 

 

                                                                                   

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

Gambar 3.  Jumlah individu dan kokon cacing tanah di lokasi bakar, pinggir daerah bakar dan hutan pada kedalaman 0-15 cm (Djunaedi, 1999)

           

Pengaruh pembakaran terhadap collembola terlihat lebih jelas pada penurunan jumlah species tertentu dari pada kepadatan populasi.  Beberapa species collembola kurang toleran pada kondisi tanah yang sangat kering, dan temperatur yang sangat tinggi, dengan kelembaban tanah yang rendah sehingga mati pada kondisi demikian.  Hasil penelitian Lopes dan Gama (1994)  di Portugal selama musim panas menunjukkan terjadinya peningkatan kepadatan populasi setelah pembakaran, namun terdapat penurunan tajam dari jumlah species tertentu.  Species collembola tertentu diduga mampu berasosiasi pada suhu tinggi sementara yang lain tidak.   Brachystomella parvula dan Proisotoma gisini populasinya jauh lebih banyak pada tanah yang dibakar, sedangkan Bilobella aurantica dan Stenaphorura quadrispina hanya ditemukan pada tanah yang tidak dibakar..  Collett (1998) melaporkan bahwa populasi Collembola menurun sedikit setelah pembakaran pertama (Tahun 1987), namun tidak terjadi perubahan diantara pembakaran pertama dan kedua (1997-1992) kemudian sedikit meningkat setelah pembakaran kedua (tahun 1992).

 

 

KESIMPULAN

 

1.      Lingkungan fisik yang mengalami gangguan akibat sistem tebas bakar terjadi pada lapisan 0-10 cm yaitu bobot isi tanah meningkat, porositas makro berkurang dan kelembaban tanah menurun.

2.      Lingkungan kimia yang mengalami perubahan akibat pembakaran yaitu peningkatan pH, basa-basa dapat ditukar, dan P tersedia, namun terjadi penurunan jumlah kandungan c-0rganik.

3.      Perubahan kimia tanah bersifat temporal tergantung pengelolaan lahan selanjutnya setelah pembakaran

4.      Pengaruh  langsung pembakaran pada lapisan dimana pembakaran terjadi penting bagi mikroorganisme, sedangkan bagi makroorganisme dampak pada pasca pembakaran lebih berpengaruh.

5.      Respon mikroorganisme terhadap perubahan lingkungan akibat pembakaran bervariasi dan umunya terjadi pada kedalaman 0-5 cm.  Barkeri dan actinomycetes lebih tahan terhadap suhu panas dibandingkan fungi, sehingga waktu emulihan yang dibutuhkan fungi lebih lama ( 30 hari) dibandingkan bakteri dan actinomycetes (20 hari).

6.      Sistem tebas bakar kurang berpengaruh terhadap populasi  cacing tanah dan collembola, namun berpengaruh nyata terhadap jumlah species collembola.

7.      Pembakarn memberikan dampak negatif produksi biomassa mikrobial  (Cmic) dan aktivitas enzym  terutama dalam jangka panjang, apabila lahan tidak dikelola dengan baik pada pasca pembakaran.

 

DAFTAR PUSTAKA

 

Alegre, J.C., and D.K. Cassel.  1996.  Dynamics of soil physical properties under alternative systems to slash and burn.  Agricultural Ecosystems and Environment 58:39-48.

Alternative to Slash and Burn in Indonesia.  1998.  Summary report and synthesis of phase II ASB-Indonesia report Number 8, Bogor.

Baath, E., A. Frostegard, T. Penanapen, and H. Fritze.  1995.  Microbial community structure and pH response in relation to soil organic matter quality in wood-ash fertilizerd, clear-cut or burned coniferous forest soil.  Soil Biology and Biochemistry 27:229-240.

Balck, H.I.J., and M.J.N. Okwakol.  1997.  Agricultural intensification, soil biodiversity and agroecosystem function in tropics : the role of termite.  Applied Soil Ecology 6:37-53.

Bolton, H.,Jr., J.K. fredricson, and L.F. Ellion.  1992.  Microbial ecology of rhizosphere.  p:27-64.  In.  Metting, F.B.Jr. (eds).  Soil Microbial Ecology: Application.vinAgricultural and Environment Management.  Marcel Dekker, Inc., New York

Brady, N.C.  1996  Alternatives to slash and burnt: a global imperative.  Agricultural Ecosystems and Environment 58:3-11.

Collett, N.G., F.G. Neumann and K.G. Tolhurst.  1993.  Effects of two short rotation prescribed fires in spring on surface-active arhropods and earthworms in dry sclerophyl eucalypt forest of west-central Victoria.  Australian Forest 56(1): 49-60.

Collett, N.G.  1998.  Effect of two short rotation prescribed fires in autumn on surface-active arhropods in dry sclerophyl eucalypt forest of west-central Victoria.   orest Ecology anf Management 107:253-273.

Dias, A.C.C.P., and S. Nortcliff.  1985.  Effect of two land clearing methods on the physical properties of an Oxisol in Brazillian Amazon.  Tropical agric. (Trinidad) Vol 62 No 3:207-212.

Djunaedi.  1999.  Pengaruh  Tebas Bakar terhadap Populasi dan Aktivitas Organisme Tanah.  Thesis Program Pasca Sarjana.  IPB, Bogor.

Deka, H.K., and R.R. Mishra.  1983.  The effect of slash and burn on soil microflora.  Plant and Soil 73:167-175.

Dumontet, S., H. Dinel, A. Scopa, A.  Mazzatura, and A. Saracino.  1996.  Post-fire sol microbial biomass and nutrient content of a pine forest soil from a dunal mediterranean envirnment.  Soil Biology and Biochemistry 28:1467-1475.

Eivazi, F and M.R. bayan.   1996.  Effect of long-term prescribed burning on the activity of select soil enzymes in a oak-hickory forest.  Canadian Journal of Forest Research 26:1799-1804.

Fonturbel, M.T.,  J. A. Vega, S. Bara, and I. Bernardez.  1995.  Influence of prescribed burning of pine stands in NW Spain on soil microorganisms.  Eur. J. Soil Biol. 31(1):13-20.

Fragoso, C., G.G. Brown, J.C. Patron, E. Blanchart, P. Lavelle, B. Pashanasi, B. Senapati, and T. Kumar.  1997.  Agricultural intensification, soil biodiversity and agroecosystem function in tropics : the role of earthworms.   Applied Soil Ecology 6:17-35.

Fujisaka, S., W. Bell, N. Thomas, L. Hurtado, and E. Crawford.  1996.  Slash and burn agriculture, conservation to pasture, and deforestation in two Brazilian Amazon colonies.  Agricultural Ecosystems and Environment 59:115-130.

Harris, P.A., H.H. Schomberg, P.A. Banks, and J. Giddens.  1994.  Burning, tillage and herbicide effects on the soil microflora in wheat-soybean double-crop system.  Soil Biology and Biochemistry 27(2):153-156.

Juo, A.S.R., and A. Manu.  1996.  Chemical dynamics in slash and agriculturae.  Agricultural Ecosystems and Environment 58:49-60..

Jou, A.S.R., K. Franzluebbers, A. Dabiri, and B. Ikhile.  1995.  Change in soil properties during long-term fallow and continuous cultivation after forest clearing in Nigeria.  Agricultural Ecosystems and Environment 56:9-18.

Khanna, P.K., R.J. Raison, R.A. Falkiner, J. Bengtsson.(ed.) and H. Lundkvist.  1994.  Chemical properties af ash derived from Eucalyptus litter and its effects on forest soils.  Forest Ecology anf Management 66:107-125.

Killham, K.  1994.  Soil ecology.  Cambridge University Press.

Lessa, A.S.N., D.W. anderson, J.O. Moir.  1996.  Fine root mineralization, soil organic matter and exchangeable cation dynamics in slash and burn agriculture in the semi arid northeast of Brazil.  Agricultural Ecosystems and Environment 59:191-202.

Lopes, C.M., and M.M. da Gama.  1994.  The efect of fire on collembola populations of Mata da Margaraca (Portugal).  Eur. J. Soil Biol. 30(3):133-141.

Metting, F.B.Jr.  1992.  Structure and Physiological Ecology of soil microbial communities. p:3-26.  In.  Metting, F.B.Jr. (eds).  Soil Microbial Ecology: Application.vinAgricultural and Environment Management.  Marcel Dekker, Inc., New York

Miller, F.C.  1992.  composting as a process based on the control of ecologically selective factors.  p:515-544.  In.  Metting, F.B.Jr. (eds).  Soil Microbial Ecology: Application.vinAgricultural and Environment Management.  Marcel Dekker, Inc., New York

Palm, C.A., M.J. Swift, and P.L. Woomer.  1996  Soil biological dynamics in slash and burn agriculture.  Agricultural Ecosystems and Environment 58:61-74.

Pietikainen, J., and H. Fritze.  1994.  Clear-cutting and prescribed burning in coniferous forest: comparason of two effects on soil fungal and total mikrobial biomass respiration activity and nitrification.  Soil Biology and Biochemistry. 27(1):101-109.

Reuler, H.V., and B.H. Janssen.  1993.  Nutrient fluxes in the shifting cultivation system of south-west Cote d’Ivoire.  Plant and Soil 154:169-177.

Roder, W., S. Phengchanh, S. Maniphone.  1997.  Dynamics of soil and vegetation during crop and fallow period in slash and burn fields of northern Laos.  Geoderma 76:131-144.

Tinker, P.B., J.S.I. Ingram, and S. Struwe.  1996  Effects of slash and burn agriculture and deforestation on climate change.  Agricultural Ecosystems and Environment 58:13-22.