© 2001  Sobri Effendy                                                                                                                Posted:  18 Nov. 2001   [rudyct] 

Makalah Falsafah Sains (PPs 702)   

Program Pasca Sarjana / S3

Institut Pertanian Bogor

November 2001

 

Dosen:

Prof Dr Ir Rudy C Tarumingkeng (Penanggung Jawab)

 

 

URGENSI  PREDIKSI  CUACA  DAN  IKLIM 

DI BURSA KOMODITAS UNGGULAN PERTANIAN

 

 

 

 

Oleh :

 

Sobri Effendy

G226010011

E-mail: sobrieffendy2001@yahoo.com

 

 

 

 

Ringkasan

 

           Bagi eksekutif muda di bursa perdagangan komoditas unggulan pertanian pengetahuan tentang prediksi cuaca dan iklim menjadi sangat penting.  Mengingat cuaca dan iklimlah yang selama ini sulit diprediksi dan dikontrol kedatangannya namun begitu besar dampaknya pada produksi komoditas pertanian. 

           Indonesia sebagai negara tropis yang mempunyai posisi unik, memiliki pola hujan dengan variasi yang besar dibandingkan unsur cuaca  dan iklim yang lain.  Sehingga fokus kajian makalah ini pada variasi hujan di musim basah dan kering selama periode normal, El Nino atau La Nina. 

           Prediksi yang handal mengenai musim mendatang, normal, El Nino atau La Nina dan dampaknya terhadap produk pertanian menjadi penting bagi ketepatan para pialang yang bergelut di bursa perdagangan untuk mengambil keputusan yang akurat.  Kehandalan dan ketepatan prediksi cuaca dan iklim makin membaik dengan makin mudahnya kita mengakses berbagai web-site yang melayani jasa prediksi.

           Makalah ini disusun berdasarkan bahan pelatihan bagi eksekutif muda di BEJ (Bursa Efek Jakarta) mengenai hal yang sama, ditulis oleh pakar klimatologi Indonesia Dr. Rizaldi Boer, 1999 lalu.  Diperbaharui, ditulis ulang, dan difokuskan pada kasus Indonesia oleh penulis atas persetujuan pakarnya.  Terkesannya penulis pada makalah ini adalah pada saat penulis harus membawakan pada pelatihan di BEJ akhir tahun 1999, dan karena keunikkan tulisan ini yang berbasis pada internet di sebagian besar data kajian, menjadikan makalah ini harus selalu diperbaharui.

 

 

1.      Pendahuluan

Kegagalan, keberhasilan panen dan produksi pertanian seringkali dikaitkan dengan kondisi cuaca dan iklim.  Banyak berita mengeksploitasi kejadian kekeringan yang panjang, banjir, dan badai topan telah menghancurkan produksi pertanian suatu negara.  Kekeringan yang panjang tidak hanya menyebabkan kegagalan panen tetapi juga  memicu terjadinya kebakaran hutan.  Kebakaran hutan telah menimbulkan persoalan  besar tidak hanya bagi negara yang mengalami musibah tetapi juga beberapa negara tetangga ikut menuai asap tebal.

Kejadian kekeringan yang panjang dan kebakaran umumnya meningkat pada tahun-tahun El-Nino.  Pada El-Nino 1997, total kerugian yang ditimbulkan oleh kebakaran hutan di sektor kehutanan diperkirakan mencapai 2.4 trilliun rupiah (meliputi kerusakan hutan produksi, hutan tanaman industri, sumberdaya genetik, hutan rekreasi, fungsi ekologi, keanekaragaman hayati dan hutan lindung).  Di sektor pertanian kerugian mencapai 797 milliar rupiah dan di sektor perhubungan mencapai 91.4 miliar rupiah yaitu akibat terganggunya jalur penerbangan oleh tebalnya asap dari kebakaran hutan.

Kejadian banjir lebih banyak dipicu oleh ulah manusia dalam mengeksploitasi lahan untuk berbagai kegunaan berlandaskan pada kebijakkan dan perencanaan tata ruang yang kurang matang.  Banjir menjadi lebih parah bila La-Nina (kembaran El-Nino) melanda.  Kerugian yang diakibat banjir seperti gagal panen, hanyutnya berbagai benda bernilai ekonomis, rusaknya tanggul, dam, jembatan, bendungan,  bernilai milliaran rupiah,  meskipun jarang sekali di data secara akurat karena kejadiannya yang begitu cepat juga hilang dalam bilangan hari.

 

2.   Penyebab  Cuaca/Iklim Abnormal di Indonesia

Indonesia merupakan negara yang dilewati oleh garis katulistiwa diapit oleh dua benua dan dua samudera.  Posisi unik ini menjadikan Indonesia sebagai daerah pertemuan sirkulasi meridional (Utara-Selatan) dikenal sebagai Sirkulasi Hadley dan sirkulasi zonal (Timur-Barat) dikenal sebagai Sirkulasi Walker, dua sirkulasi yang sangat mempengaruhi keragaman iklim Indonesia.  Hal lain yang ikut berperan adalah posisi semu matahari perpindah dari 23.5o Lintang Utara ke 23.5 o Lintang Selatan sepanjang tahun berakibat timbulnya aktivitas moonson (musim) juga ikut berperanan dalam mempengaruhi keragaman iklim.  Karena Indonesia merupakan negara kepulauan dengan bentuk topografi sangat beragam menyebabkan sistem golakan lokal cukup dominan dan pengaruhnya terhadap keragaman iklim di Indonesia tidak dapat diabaikan.  Faktor lain yang diperkirakan ikut berpengaruh terhadap keragaman iklim Indonesia ialah gangguan siklon tropis.  Semua aktivitas dan sistem ini berlangsung secara bersamaan sepanjang tahun.  Permasalahannya ialah bagaimana menentukan akitivitas yang dominan atau  berpengaruh dalam pembentukan cuaca di Indonesia ?

           Secara klimatologis pola iklim di Indonesia dapat dibagi menjadi tiga yaitu pola moonson, pola ekuatorial dan pola lokal.  Pola Moonson dicirikan oleh bentuk pola hujan yang bersifat unimodal (satu puncak musim hujan).  Selama tiga bulan curah hujan relatif tinggi biasa disebut musim hujan, yakni Desember, Januari dan Februari (DJF) dan tiga bulan curah hujan rendah bisa disebut musim kemarau , periode Juni, Juli dan Agustus (JJA), sementara enam bulan sisanya merupakan periode peralihan (tiga bulan peralihan kemarau ke hujan, dan tiga bulan peralihan hujan ke kemarau). Pola ekuatorial dicirikan oleh pola hujan dengan bentuk bimodal (dua puncak hujan) yang biasanya terjadi sekitar bulan Maret dan Oktober yaitu pada saat matahari berada dekat ekuator.  Pola lokal dicirikan oleh bentuk pola hujan unimodal (satu puncak hujan) tapi bentuknya berlawanan dengan pola hujan pada tipe moonson (Gambar 1).

Salah satu penyebab terjadinya gangguan pada sirkulasi Walker adalah fenomena ENSO (El-Nino-Southern Oscillation).  Indikator yang umum digunakan untuk menunjukkan akan terjadinya gelaja alam El-Nino (salah satu penyebab terjadinya kondisi iklim tidak normal) ialah terjadinya meningkatnya suhu muka laut di Kawasan Pasifik atau menurunnya perbedaan tekanan antara Tahiti dan Darwin di bawah normal (nilai rata-rata jangka panjang).  Gejala El-Nino dimulai dengan menurunnya tekanan udara di Tahiti di bawah tekanan udara di Darwin (Indeks Osilasi Selatan bernilai negatif) sehingga angin barat tertiup lebih kuat memperlemah angin pasat (Gambar 2) sehingga massa air panas di Kawasan Pasifik bagian Barat mengalir ke arah Timur dengan bantuan arus ekuatorial.  Akibatnya terjadi akumulasi massa air panas di Kawasan Pasifik bagian Timur dan permukaan air lautnya naik lebih besar dibanding dengan yang di kawasan Barat.  Kondisi ini mengakibatkan konveksi terjadi di pasifik bagian Timur dan subsidensi di atas kontinen maritim Indonesia.  Subsidensi ini akan menghambat pertumbuhan awan konveksi sehinga pada beberapa daerah di Indonesia terjadi penurunan jumlah hujan yang jauh dari normal.  Kondisi sebaliknya terjadi pada saat La-Nina berlangsung.  Menurut Tjasyono (1997) pengaruh El-nino kuat pada daerah yang dipengaruhi oleh sistim moonson, lemah pada daerah dengan sistem ekuatorial dan tidak jelas pada daerah dengan sistim lokal.

Berdasarkan pengalaman kejadian kekeringan dari tahun 1960, ditemukan bahwa kejadian kekeringan tidak selalu bersamaan dengan El-Nino.  Sebagai contoh tahun 1961, 1967 dan 1977 hampir sekitar 75% wilayah Indonesia mengalami curah hujan di bawah normal namun tahun-tahun tersebut tidak tercatat sebagai tahun El-Nino.  Hal ini menunjukkan bahwa pengaruh lokal pada kondisi tertentu dapat mengalahkan pengaruh El-Nino (Gambar 3a).  Namun demikian secara umum terjadinya El-Nino selalu diikuti oleh kejadian kekeringan di Indonesia.  Pengamatan El-Nino periode 1896-1987 (Boer, 1999)  diperoleh bahwa untuk setiap peningkatan anomali suhu muka laut di daerah Nino-3, curah hujan regional di Indonesia turun sekitar 60 mm (Gambar 3b).   Curah hujan regional berkurang hingga 80 mm dari kondisi normal apabila suhu muka laut di Nino-3 naik hingga mencapai  1.8 oC di atas normal (Gambar 3b). 

Kejadian El-Nino tidak terjadi secara tunggal tetapi berlangsung secara berurutan pasca atau pra La-Nina (Gambar 4). Hasil kajian 1900 - 1998 terlihat El-Nino telah terjadi sebanyak 23 kali (rata-rata sekali 4 tahun).  La-Nina hanya 15 kali  (rata-rata sekali 6 tahun).  Dari 15 kali kejadian La-Nina, sekitar 12 kali (80%) terjadi berurutan dengan tahun El-Nino.  La-Nina  mengikuti El-Nino hanya terjadi 4 kali dari 15 kali kejadian sedangkan yang mendahului El-Nino 8 kali dari 15 kali kejadian.  Hal ini menunjukkan bahwa secara umum peluang terjadinya La-Nina setelah El-Nino tidak begitu besar.  Kejadian El-Nino 1982/83 yang dikategorikan sebagai tahun kejadian El-Nino yang kuat tidak diikuti oleh La-Nina.

 

 

 

 

Gambar 1.  Pola hujan di Indonesia  (Boer, 1999)

 

 

 

 

 

 

Gambar 2.    Angin timuran di permukaan Equator Pasifik pada kondisi normal (atas) Indonesia banyak hujan dan kondisi El Nino (bawah) angin timuran melemah hujan beralih ke Pasifik Timur

                     (sumber : http://www.atmos.washington.edu)

 

 

 

 

(a)                                                                    (b)

          Gambar 3. (a) Persen daerah yang curah hujan di bawah normal (panah hitam   menunjukkan tahun bukan El-Nino), (b) Hubungan curah hujan

                      regional Indonesia dan anomali suhu muka laut di Nino-3  (Boer, 1999).

 

 

              

 

 

Gambar 4.  Frekuensi Kejadian Anomali Iklim La Nina dan El Nino 1990-1998

 

                                   

3.                Cuaca/Iklim Indonesia Saat Fenomena ENSO dan La Nina

Di Indonesia yang berpola iklim monsoon pada periode Desember-Januari-Februari (DJF) mengalami puncak musim hujan, tetapi bila El Nino datang maka yang terjadi adalah sebagian besar Indonesia menjadi hangat dan kering kecuali Papua mengalami kekeringan.  Pada periode Juni-Juli-Agustus (JJA) seluruh Indonesia kering kecuali Pulau Sumatera (Gambar 5).  Pada El Nino yang sangat kuat pada 1997 lalu kekeringan dapat berlanjut hingga Desember bahkan melampaui Februari 1998.  Namun dampak El Nino pada keadaan cuaca/iklim secara gobal berlainan antara suatu wilayah dengan wilayah yang lain.  Keragaman antar wilayah ditinjau dari segi penurunan atau kenaikan hujan akibat berlangsungnya fenomena ENSO disajikan pada Lampiran 2.  Pada saat berlangsungnya El-Nino yang sangat kuat curah hujan di Indonesia, Filipina, India, dan Thailand pada musim kemarau akan menurun sampai 80 mm dari normal dan di wilayah Afrika bagian Selatan menurun sampai 40 mm dari normal.

 

 

 

Gambar 5.  Dampak potensial EL-Nino di beberapa negara  (Sumber : http://www.carleton.ca)

 

 

           Pada fenomena La Nina kondisi cuaca/iklim Indonesia DJF dan JJA disajikan pada Gambar 6.  Berbeda dengan fenomena El Nino, pada saat La Nina terjadi periode musim hujan DJF seluruh wilayah Indonesia mengalami periode basah bahkan di beberapa wilayah jumlah hujan yang terjadi meningkat secara nyata, hal ini berlanjut hingga JJA, pada periode  yang seharusnya musim kemarau, di Indonesia masih basah.  Peningkatan curah hujan tahunan pada kondisi La Nina kuat dapat menjapai 50 mm di atas normal (Lampiran 2).

 

 

 

 

Gambar 6.  Dampak Potensial La Nina di Beberapa Negara  (Sumber : http://www.cpc.ncep.noaa.gov)

 

 

4.                Prediksi Cuaca/Iklim Musim Mendatang

Untuk memprediksi kecenderungan yang akan terjadi pada periode mendatang adalah melihat tiga kemungkinan kejadian yaitu kondisi normal, ada El Nino ataukan muncul La Nina.  Ada tiga cara yang dapat dilakukan, pertama melihat prediksi curah hujan beberapa bulan mendatang (Gambar 7), kedua melihat prediksi anomali suhu muka laut (Sea Surface Temperatur Anomaly (SSTA)) (Gambar 8 dan Gambar 9) cara ketiga melihat Indeks Osilasi Selatan (Southern Ocilation Indeks (SOI)) lewat Tabel 2 yakni melihat nilai beda tekanan atmosfer antara Tahiti dan Darwin.    

Dari Gambar 7,  Indonesia akan mengalami curah hujan mulai November 2001-April 2002 antara 25-50 % di bawah normal dan sebagian besar mendekati hujan normal.  Artinya kemungkinan peluang El Nino maupun La Nina untuk 2001-2002 sangatlah kecil.

 

Gambar 7.  Prediksi Kondisi Curah Hujan Global November 2001-April 2002  (sumber : http://www.pmel.noaa.gov)

 

 

      

     Gambar 8.  Prediksi Anomali Suhu Muka Laut di Tropika Pasifik (180o BT) dari Juni 2001-Juni 2002 (sumber : http://www.cdc.noaa.gov)

 

 

Gambar 8 terlihat ada kecenderungan pada Oktober-Desember 2001 nilai anomali di Pasifik (wilayah Nino 3 sekitar 150-180o BT, 5 o LU -5 o LS) berkisar 0 hingga 0.6 lebih tinggi dari normal kemudian menurun pada periode selanjutnya bahkan pada periode Juli-September 2002 mendatang antara -0.3 - 0.3 artinya kondisi ini menunjukkan bahwa El Nino tidak akan terjadi pada tahun 2001- September 2002.  Panduan untuk melihat El Nino terjadi dengan intensitas lemah-kuat cermati Tabel 1 berikut :

 

Tabel 1.  Indikator Kekuatan El Nino (Diolah dari Quinn, 1978)

 

 

Kondisi

 Anomali Suhu Muka Laut (o C)

³ 3

2 - 3

1 - 2

0 - 1.0

-1  -   -2

-2  -  - 3

- 3

El Nino

kuat

Sedang

lemah

normal

-

-

-

La Nina

-

-

-

normal

lemah

sedang

Kuat

 

 

Dugaan di atas diperkuat oleh Gambar 9.  Pada Gambar 9 terlihat bahwa untuk ramalan 3 bulan ke depan jauh lebih mendekati kebenaran dibanding yang lainnya, sehingga perhatian difokuskan pada gambar kiri atas,  untuk periode Jan 2001-Jan 2002  anomali suhu muka laut di bawah antara -1o C hingga 0, bandingkan dengan Jan 97 - Jan 98 hampir mencapai angka +3oC saat tersebut terjadi El Nino terkuat abad ini.   Semakin menyakinkan bahwa El Nino yang diduga dan telah menjadi isu nasional untuk diantisipasi dampaknya ternyata tidak akan terwujud di tahun 2001-2002.

 

 

Gambar 9.  Prediksi Anomali SST di Nino 3 (biru) dan Verifikasinya  (merah) untuk lead 3,6,9 dan 12 bulan dari data Oktober 2001

                               (Sumber : http://www.cdc.noaa.gov)

 

Cara terakhir untuk membuktikan kebenaran prediksi di atas adalah melihat SOI yakni tekanan atmosfer Tahiti dan Darwin, dengan ketentuan pada Tabel 2 berikut :

 

Tabel 2.  Panduan Prediksi El Nino, La Nina atau Normal terhadap Nilai SOI  (Sumber : MMS (Malaysian Meteorological Service, 2001))

 

NILAI  SOI  (P TAHITI-P DARWIN)

FENOMENA YANG AKAN TERJADI

Di bawah - 10 selama 6 bulan

El Nino  kuat

- 5 s/d - 10 selama 6 bulan

El Nino  lemah-sedang

- 5 s/d  + 5 selama 6 bulan

Normal

+ 5 s/d + 10 selama 6 bulan

La Nina lemah-sedang

Di atas + 10 selama 6 bulan

La Nina kuat

 

 

Amati Tabel 3, periode 2001 dari Januari-September nilai SOI bandingkan dengan tahun 1997 saat E Nino (sejak Mar 97-Mar 98 bernilai negatif di bawah -5 hal ini ciri utama bahwa akan terjadi El Nino yang kuat).  Nilai SOI tahun 2001 mulai negatif (9) pada Mei 2001 hal ini menimbulkan praduga akan muncul El Nino kembali, ternyata positif di bulan Juni, negatif kembali di Juli dan Agustus lalu positif pada Sep 2001 melihat data observasi ini kecendrungan untuk El Nino 2001-2002 berpeluang kecil untuk terjadi, normal atau justru La Nina, fakta di Oktober 2001 banjir sudah melanda sebagian Jawa.

 

Tabel 3.  Nilai SOI (Beda Tekanan Udara Tahiti - Darwin) Periode 1990-2001 (Sumber : http://www.bom.gov.au)

 

Year

Jan

Feb

Mar

Apr

May

Jun

Jul

Aug

Sep

Oct

Nov

Dec

1990

-1.1

-17.3

-8.5

-0.5

13.1

1.0

5.5

-5.0

-7.6

1.8

-5.3

-2.4

1991

5.1

0.6

-10.6

-12.9

-19.3

-5.5

-1.7

-7.6

-16.6

-12.9

-7.3

-16.7

1992

-25.4

-9.3

-24.2

-18.7

0.5

-12.8

-6.9

1.4

0.8

-17.2

-7.3

-5.5

1993

-8.2

-7.9

-8.5

-21.1

-8.2

-16.0

-10.8

-14.0

-7.6

-13.5

0.6

1.6

1994

-1.6

0.6

-10.6

-22.8

-13.0

-10.4

-18.0

-17.2

-17.2

-14.1

-7.3

-11.6

1995

-4.0

-2.7

3.5

-16.2

-9.0

-1.5

4.2

0.8

3.2

-1.3

1.3

-5.5

1996

8.4

1.1

6.2

7.8

1.3

13.9

6.8

4.6

6.9

4.2

-0.1

7.2

1997

4.1

13.3

-8.5

-16.2

-22.4

-24.1

-9.5

-19.8

-14.8

-17.8

-15.2

-9.1

1998

-23.5

-19.2

-28.5

-24.4

0.5

9.9

14.6

9.8

11.1

10.9

12.5

13.3

1999

15.6

8.6

8.9

18.5

1.3

1.0

4.8

2.1

-0.4

9.1

13.1

12.8

2000

5.1

12.9

9.4

16.8

3.6

-5.5

-3.7

5.3

9.9

9.7

22.4

7.7

2001

8.9

11.9

6.7

0.3

-9.0

1.8

-3.0

-8.9

1.4

 

 

 

 


 

5.      Mencari Informasi Cuaca dan Iklim Terkini

Informasi tentang perkiraan kondisi cuaca dan iklim dapat diperoleh dari Badan Meteorologi dan Geofisika (BMG).  Beberapa lembaga penelitian seperti LAPAN dan BPPT juga telah melakukan penelitian peramalan cuaca/iklim.  Cara yang lebih praktis ialah melalui internet.  Beberapa address web-site yang menyediakan informasi tentang iklim dan cuaca baik lokal, regional maupun global (Lampiran 1).  Addres web-site yang  banyak memuat informasi tentang cuaca dan iklim ialah NOAA dan IRI.  Kedua institusi ini juga mengeluarkan prediksi tentang anomali suhu muka laut yang dapat digunakan sebagai indikator untuk menilai apakah akan terjadi fenomena ENSO yang kuat atau lemah, peluang hujan di atas normal atau di bawah normal dan anomali hujan gobal dan regional.  Adapun alamat web-site kedua institusi tersebut ialah :

http://www.pmel.noaa.gov

http://iri.Ideo.columbia.edu/forecast 

Cara praktis lainnya untuk yang sulit mencari address web-site adalah cukup dengan membuka situs berikut, http://www.google.com lalu masukkan kata kunci yang dicari misal El Nino atau La Nina, maka akan keluar sederet address web-site dengan keterangan lengkap.  Setelah itu tinggal klik yang kita butuhkan.

 

6.      Pengaruh Cuaca/Iklim Abnormal pada Komoditas Pertanian

Fenomena El Nino dan La Nina ataupun kondisi normal di Indonesia selalu menyebabkan terjadinya banjir atau kekeringan di musim hujan atau kemarau.  Namun pada kondisi normal kejadian tersebut tidaklah separah banjir saat La Nina atau kekeringan saat El Nino.  Pada El Nino dan La Nina luasnya lahan padi di Indonesia yang terkena kekeringan dan banjir disajikan pada Gambar 10.

 

 

Gambar 10.  Luas Lahan (Ha) Tanaman Padi di Indonesia yang Terkena Dampak  dan Total Yang Rusak pada Setiap Musim

                   Tahun 1995, 1996 dan1997 (Sumber : Yusmin, 2000, data diolah dari tabel) .

 

Kejadian kekeringan akibat El-Nino telah menimbulkan dampak terhadap produksi pangan di Indonesia.  Namun demikian dampak yang terjadi tidak begitu konsisten.  Sebagai contoh produksi beras tidak mengalami penurunan yang drastis akibat kejadian ini kecuali tahun 1991, 1994 and 1997  (Gambar 11).  Untuk kedelai, produksi menurun cukup nyata pada tahun El Nino 1982, 1987, 1994, 1996, dan 1997.  Penjelasan terhadap kondisi ini ialah sebagai berikut (Malingreau, 1987; Bottema, 1997):

(1)      El-nino biasanya dimulai bulan April atau Mei dimana hal ini terlihat dari cepatnya laju penambahan areal kekeringan pada Mei hingga akhir tahun  (Gambar 12a), sementara produksi tahunan dihitung dari data bulanan.  Sehingga data dari bulan-bulan yang tidak dipengaruhi El Nino akan terikut dalam perhitungan.  Oleh karena itu dampak kekeringan akibat El-Nino terhadap produksi pangan harus dihitung mulai musim kemarau hingga akhir tahun.

(2)    Data tingkat nasional tidak dapat menggambarkan perbedaan produksi antar daerah seperti yang diperlihatkan pada Gambar 13.  Pengamatan tahun 1982, 1991, 1994 dan 1997 menunjukkan bahwa dampak El-Nino bervariasi antar daerah.  Tahun 1982, daerah yang sangat terpengaruh oleh kekeringan ialah Jawa dan Sulawesi, sementara tahun 1991 dan 1994 ialah Jawa dan tahun 1997 Jawa dan Sumatera.

 

 

 

Gambar 11.  Produksi Beras dan Kedelai Nasional

 

            Hasil pengamatan menunjukkan bahwa total luas areal yang terkena kekeringan  bervariasi menurut jenis tanaman.  Pada tahun El Nino tertentu, padi mengalami cekaman kekeringan yang kuat sedangkan tanaman palawija tidak.  Hal ini mungkin disebabkan minimal oleh dua alasan yaitu :

(1)     Terlambatnya awal musim hujan.  Misalnya tahun 1997, musim hujan yang biasanya dimulai bulan September mundur menjadi bulan November dan Desember.  Hal ini mungkin menyebabkan berubahnya pola tanam.  Di Jawa Tengah sebagai contoh, karena terlambatnya musim hujan, petani tidak menanam padi tetapi menanam palawija. 

(2)     Pada tahun El Nino, kemungkinan hasil per hektar pada lahan yang beririgasi meningkat akibat meningkatnya radiasi.  Hal ini diperkirakan dapat mengkompensasi kehilangan hasil akibat menurunnya luas panen.

 

 

(a)                                                        (b)

           Gambar 12.   Kumulatif Luas Terkena Kekeringan (a) dan Banjir (b) pada Tahun Normal (1996), La-Nina (1995) dan El-Nino (1994 & 1997)

 

 

Gambar 13.   Sebaran Luas Kekeringan pada Lahan Sawah pada Empat Tahun El-Nino

 

Uraian di atas menunjukkan bahwa bencana yang ditimbulkan kejadian El Nino lebih serius dibanding La Nina.  Bahkan meningkatnya hujan dari normal akibat terjadinya La-Nina pada musim kemarau berdampak positif yaitu dimanfaatkan untuk meningkatkan luas tanam.  Pada kondisi normal misalnya, pada musim kering II (Juli-September) sebagian besar daerah pertanaman dibiarkan bera karena ketersediaan air tidak mencukupi untuk penanaman, tetapi pada saat terjadinya La-Nina, lahan bera ini dapat ditanami lagi dengan padi atau palawija tergantung besarnya ketersediaan air.  Departemen Pertanian pada tahun La-Nina 1998 telah melakukan kegiatan peningkatan indeks penanaman dari 200% menjadi 300% di sekitar 150 ribu hektar sawah dan dinilai cukup berhasil.  Kondisi ini dapat dilihat dari kecilnya perbedaan antara indeks panen tahun La-Nina dan indeks panen rata-rata (Tabel 4).

       

 

Tabel 4.   Luas Lahan, Luas Panen dan Indeks Panen Rata-rata dan Indeks Panen Tahun El-Nino (1994) dan La-Nina (1995) untuk palawija.

 

Pulau

Luas Area

(Juta ha)

Luas Panen

(Juta ha)

IP rerata

IP94

IP95

Jawa

2.9

3.2

1.10

0.94

1.10

Sumatera

4.3

1.5

0.35

0.29

0.34

Nusa Tenggara

0.8

0.6

0.75

0.72

0.73

Kalimantan

1.6

0.4

0.25

0.26

0.27

Sulawesi

1.7

1.4

0.82

0.34

0.83

 

Berbeda dengan tanaman pangan, dampak terjadinya kekeringan pada tanaman tahunan baru terlihat setelah setahun atau dua tahun kemudian.  Penelitian Hasan et al. (1998) di Rejosari Lampung menunjukkan bahwa produksi kelapa sawit sangat dipengaruhi oleh kejadian kekeringan pada umur 9-27 bulan sebelum produksi.  Produksi kelapa sawit mengalami penurunan yang tajam pada umur semester ke 15, 17, 25, 33 dan 39 dimana setahun atau dua tahun sebelumnya tanaman mengalami kekeringan yang panjang akibat terjadinya El-Nino (Gambar 14).

 

Gambar 14.   Produksi tandan buah segar kelapa sawit di Rejosari-Lampung  (Hasan et al., 1998).

Tahun El-Nino : 1981, 1986, 1991 dan 1994.

 

            Terjadinya penurunan produksi mempengaruhi volume ekspor dan impor komoditas pertanian.  Pada tahun 1992 dan 1995, setahun setelah El-Nino terjadi, volume ekspor minyak sawit, teh dan kopi mengalami penurunan (Gambar 15).  Sebaliknya impor pangan mengalami peningkatan (Tabel 5).  Besarnya volume impor pangan oleh Indonesia dapat mempengaruhi harga beras dunia.

 

Tabel 5.  Impor pangan 1990-1997 (ribu ton)

Tahun

Beras

Jagung

Kedelai

Terigu

1990

29

-127

475

1.680

1991

178

292

526

2.071

1992

634

-81

558

2.270

1993

0

442

752

2.459

1994

876

1.064

697

3.188

1995

3.014

894

473

3.614

1996

1.090

595

593

3.820

1997

3.582

619

779

3.958

1998

4.600

NA

NA

NA

Sumber : (BULOG, 1998).

 

Gambar 15.  Volume ekspor komoditas pertanian utama

 

Fenomena ENSO juga sangat berkaitan erat dengan populasi ikan di laut, khususnya di Laut Pasifik (Serra, 1987).  Pada saat terjadi El-Nino, populasi ikan khususnya jenis pelagis seperti ikan sardine (Sardinops sagax), anchoveta (Engaulis ringens), ikan mackerel (Tranchurus murphyi dan Scomber  japonicuperuanus) berkurang karena sedikitnya makanan yang tersedia.  Diantara ke empat ikan ini, jenis ikan sardine dan jack mackerel (Tranchurus murphyi) yang paling terpengaruh oleh fenomena ENSO.  Pendapat ini didukung oleh Quinn (1978) yang menghubungkan indikator kekuatan El Nino dengan penangkapan ikan secara kualitatif tersaji pada Tabel 6 berikut.

 

Tabel 6.  Hubungan antara Indikator Kekuatan El Nino dengan Penangkapan Ikan secara Kualitatif

 

INDIKATOR EL NINO

ANOMALI SUHU MUKA LAUT

PENANGKAPAN IKAN

  Kuat

³ 3

 Sangat sedikit

  Sedang

2 - 3

 Sedikit

  Lemah

1 - 2

 Cukup

  Normal

0 - 1.0

 Banyak

 

 

Di perairan Indonesia, pengaruh ENSO tidak begitu kuat.  Hal ini ditunjukkan oleh lemahnya hubungan antara anomali suhu muka laut dengan anomali hasil tangkapan ikan (Gambar 16).  Namun informasi di lapang didapat informasi bahwa jenis ikan pelagis besar (tuna-tongkol) didapat dalam jumlah yang meningkat tajam pada kondisi El Nino 1997 lalu, namun lokasi penangkapan jauh dari garis pantai (tengah Samudera), terutama selatan Pulau Jawa.   Tetapi ada indikasi di Indonesia, jenis ikan pelagis yang terpengaruh oleh fenomena ini adalah jenis pelagis kecil seperti ikan teri (Pariwono, personal komunikasi) pendapat ini didukung oleh Dep. Kelautan dan Perikanan RI,  2001 pada saat El Nino terjadi sulit ditemukan ikan pelagis kecil (teri)  di areal sekitar pantai atau bahkan menghilang.

 

 

Gambar 16.    Hubungan antara anomali suhu muka laut Nino3.4 dengan anomali hasil tangkapan ikan di empat kawasan perairan Indonesia

 

7.      Kesimpulan

Kuatnya keterkaitan antara anomali iklim dengan anomali produksi pertanian menjadikan urgensi prediksi cuaca dan iklim lebih menonjol.  Pengabaian terhadap informasi ini berakibat pada kurang tepatnya keputusan yang diambil khususnya bagi para pialang yang bergelut dalam bidang komoditas pertanian.  Langkah-langkah yang perlu diperhatikan berkaitan dengan hal ini ialah :

1.        Cek hasil prediksi cuaca dan iklim via internet dan yang dikeluarkan oleh lembaga yang berwenang seperti BMG, adakah terjadi penyimpangan ?

2.        Apabila diperkirakan akan terjadi penyimpangan iklim misalnya oleh fenomena ENSO, tentukan daerah-daerah dan negara-negara yang terpengaruh kuat oleh fenomena ini dan kenali bagaimana sifat dampak fenomena ini terhadap produksi pertanian (positif atau negatif) di daerah dan negara yang bersangkutan dan perkirakan besar penyimpangan produksi komoditas dari normal pada negara-negara tersebut ?

3.        Apabila dapat diperkirakan kondisi produksi masing-masing komoditas di setiap negara yang jadi perhatian, lakukanlah analisis stok komoditas sesuai dengan keinginan anda sebelum membuat keputusan ?

 

Rujukan :

Boer, R.  1999.   Peranan   informasi   iklim  dan  cuaca  untuk  perdagangan  komoditas pertanian.  Paper  pada  Indofutop  Derivatives Training,   12-16 Juli 1999 di Bursa Efek Jakarta (BEJ),  Jakarta.

BULOG.  1998.  Laporan Kepala Badan Urusan Logistik pada Sidang Kabinet Terbatas Bidang Ekkuwasbang dan Prodis, Jakarta.

Departemen Kelautan dan Perikanan RI.  2001.  Rumusan Seminar Strategi Menghadapi Variabilitas Iklim di Bidang Kelautan dan Perikanan, Jakarta, 28-29 Maret 2001.

Hasan, H., Pawitan, H., Boer, R., dan Yahya, S.  1998.  Model simulasi produksi kelapa sawit berdasarkan karakteristik kekeringan.  Jurnal Agromet 13:41-54.

Legler, D.M., Bryant, K.J. and O’Brien J.J.  1997.  Impact of ENSO-Related Climate Anomalies on crop yields in the US.  Submitted to Climate Change July 18, 1997.

Malingreau, J.P.  1987.  The 1982-83 drought in Indonesia: Assessment and monitoring.  In M. Glantz, R. Katz and M. Krenz. Climate Crisis: The societal impacts associated with the 1982-83 worldwide climate anomalies.  United Nation Environmental Programme (UNEP) and Environmental and Societal Impacts Group National Center for Atmospheric Research.  Switzerland.  Pp:11-18. 

NOAA, 1994.  Report to the Nation. University of Columbia and National Oceanic and Atmospheric Adminsitration.  USA.

Serra, R.  1987.  Impact of the 1982-83 ENSO on the Southeastern Pasific Fisheries, with an emphasis on chilean fisheries. In M. Glantz, R. Katz and M. Krenz. Climate Crisis: The societal impacts associated with the 1982-83 worldwide climate anomalies.  United Nation Environmental Programme (UNEP) and Environmental and Societal Impacts Group National Center for Atmospheric Research.  Switzerland.  Pp:24-29

Tjasyono, B.  1997.  Mekanisme fisis pada, selama, dan pasca El-Nino.  Paper disajikan pada Workshop Kelompok Peneliti Dinamika Atmosfer, 13-14 Maret 1997.

Yusmin.  2000.  Integrated Management of Flood and Drought in Food Crop Agriculture.  Paper in Proceeding "Land Use Change and Forest Management.  PERHIMPI.  Bogor.

 

Lampiran 1.  Definisi Istilah

 

            El Niño istilah yang digunakan untuk mendeskripsikan munculnya arus air laut yang panas dari waktu ke waktu di kawasan Laut Pasifik bagian timur equator sampai kawasan pantai Peru dan Ekuador.   Diperkirakan bahwa fenomena El-Nino yang lemah terjadi setiap dua sampai tiga tahun sekali dan yang kuat setiap delapan sampai sebelas tahun sekali.  Para ahli mengatakan periode ulang kejadian El-Nino ialah antara empat sampai lima tahun sekali.  Lamanya fenomena ini berlangsung antara 12 sampai 18 bulan.

La Niña merujuk kepada munculnya arus laut dingin (lebih dingin dari kondisi rata-rata) di bagian tengah dan timur ekuator Laut Pasifik (kebalikan dari EL-Nino).  Banyak pakar kurang menyukai penggunaan istilah ini.  Mereka lebih sering menggunakan istilah kejadian dingin (cold event) seperti yang didefiniskan di bawah ini.

Kejadian panas (warm event) merujuk kepada anomali pemanasan suhu muka laut di bagian tengah dan timur ekuator Laut Pasifik.  Istilah ini digunakan untuk menghindari kerancuan dalam penggunaan istilah lain seperti ENSO dan El-Nino.   Pemanasan di kawasan ini biasanya diikuti oleh pendinginan di kawasan barat ekuator laut pasifik.

Kejadian dingin (cold event) ialah suatu kejadian dimana suhu muka laut di kawasan tengah dan timur ekuator Laut Pasifik menjadi lebih dingin dibanding dengan rata-rata jangka panjangnya (kebalikan dari kejadian panas).  Kejadian ini sebelumnya disebut sebagai anti-El Niño dan sekarang lebih sering disebut sebagai La Niña.  Kejadian La Niña lebih luas dibanding El Niño karena melingkupi fenomena arus dingin di kawasan Laut Pasifik yang lebih luas.

Osilasi Selatan (Southern Oscillation) ialah osilasi tekanan di atmosfer kawasan Laut Pasifik dan atmosfer laut Indonesia-Australia.  Misalnya, apabila sel tekanan di Laut Pasifik selatan rendah dan di Indonesia-Australia tinggi, angin pasat Pasifik (Pacific trade winds) melemah, maka proses pengangkatan massa air laut dingin di kawasan ekuator Pasifik dan di sepanjang Pantai Peru melemah atau berhenti, dan suhu muka laut di kawasan ini menjadi naik.

Indeks Osilasi Selatan (Southern Oscillation Index, SOI) dibuat untuk memonitor Osilasi Selatan dengan menggunakan nilai perbedaan antara tekanan atmosfer di atas permukaan laut di Tahiti (Pasifik Selatan) dengan tekanan atmosfer di Darwin (Australia). Semakin negatif nilai SOI berarti semakin kuat kejadian panas (warm event), sebaliknya semakin positif  nilai SOI semakin kuat kejadian dingin (cold event atau La Niña).

ENSO ialah istilah yang sekarang digunakan untuk mendeskripsikan secara keseluruhan Osilasi Selatan beserta peningkatan suhu muka laut (warming) dan juga penurunan suhu muka laut (cooling) bila dibandingkan dengan nilai rata-rata jangka panjang.  Namun seringkali istilah ini digunakan oleh banyak pakar untuk merujuk kepada kejadian El Niño saja (warm event), pemanasan suhu muka laut di kawasan tengah dan timur ekuator Laut Pasifik.  ENSO merupakan singkatan dari El Niño-Southern Oscillation, di mana El Niño merupakan fenomena lautan dan Southern Oscillation merupakan fenomena atmosfer.  Istilah ENSO tidak begitu dikenal dan populer dalam media-media massa sehingga seringkali istilah El Nino yang dipakai sebagai ganti dari istilah ENSO.

            Teleconnections bisa didefiniskan sebagai interaksi-interaksi atmosfer antara dua wilayah yang terpisah jauh.  Misalnya hubungan antara anomali iklim dan anomali lautan.  Teleconnections diidentifikasi melalui korelasi statistik (dalam waktu dan ruang).  Kekuatan teleconnection antara kejadian-kejadian ENSO dan iklim di luar wilayah ekuator Pasifik beragam baik menurut lokasi maupun musim.        

 

Lampiran  1  Lanjutan ( Address Web-Site Untuk Prediksi Cuaca dan Iklim)


http://www.weather.com

http://www.intelcast.com

http://www.wsicorp.com

http://www.ugems.psu.edu

http://ws321.uncc.edu

http://www.spectra.com

http://www.lapanrs.com

http://www.nhc.noaa.gov

http://goeshp.wwb.noaa.gov

http://www.csiro.au

http://www.pmel.noaa.gov

http://www.bom.gov.au

http://www.hq.nasa.gov

http://www.sel.bldrdoc.gov

http://www.ems.psu.edu

http://www.met.psu.edu

http://accuweather.com

http://www.cts.com

http://iri.ideo.columbia.edu

http://www.ssec.wise.edu

http://cirrus.sprl.umich.edu

http://wxp.atm.purdue.edu

http://www.epa.gov

http://ftp.met.fsu.edu

http://www.clp.berkeley.edu

http://server2.greatlakes.k12.mi.us

http://geosim.cs.vt.edu

http://www.cnn.com

http://www.globalchange.org

http://www.gov.sg

http://lumhari.soest.hawaii.edu

http://grads.iges.org

http://meteora.ucsd.edu

http://ogp.noaa.gov

http://www.wmo.ch

http://www.ipcc.ch

http://www.met-office.gov.uk

 

 

Lampiran 2.   Anomali Hujan Bulanan pada  Kondisi Normal dan Abnormal  (Sumber : Boer, 1999)