© 2002 Bayu Nuswantara                                                                                   Posted:  8 June, 2002

Tugas Mata Kuliah Falsafah Sains (PPs 702)

Program Pasca Sarjana (S3)

Institut Pertanian Bogor

Juni 2002

 

Dosen: Prof. Dr. Ir. Rudy C. Tarumingkeng (Penanggung jawab)

 

 

 

Prospek Bank Pertanian di Indonesia

(Kajian Falsafah Sains Terhadap Skim Kredit Pertanian)

 

 

 

 

 

Oleh:

 

Bayu Nuswantara

A.546010081

e-mail: nuswantara@uksw.edu 

 

 

 

 

ABSTRACT

 

            Banking system in Indonesia haven't yet gave optimal to increase credit scheme and haven't make more easier loan for farming sector, specially for the farmer. To solve the problem by more on implementation of  farming bank.

            At this moment Indonesia don't have farming bank to serve farming activity with farming credit scheme that more flexsible for farmer need in some aspect like : interested rate, credit line, credit timing, kind of activity, credit mechanism, collateral. An alternative institution : BPR (rural credit bank) and unit bank,there for can satisfy farmer need like commodity type, activity timing also can range post harvest activity and farming product marketing. In the other side, there has to be more support, the unit bank of BPR institution with helping to supply more cost resources and also improve human resources quality that capable handle the farming bank.This paper analyzes the prospect of farming bank in Indonesia from Science Philosophy point of view.

 

Key words : farming bank, rural credit bank, rural unit bank, credit scheme

 

 

 

I.          PENDAHULUAN

 

1.1. Latar Belakang

            Pembangunan pertanian yang diarahkan untuk meningkatkan pendapatan petani melalui peningkatan produktivitas usahatani dan nilai tambah produk, serta distribusi hasil pertanian, sangatlah  membutuhkan dukungan modal. Keterbatasan modal yang dimiliki petani ini, masih ditambah dengan minimnya pemilikan asset berupa luas penguasaan lahan petani yang sempit  rata-rata kurang dari 0,5 ha. Bahkan untuk pulau Jawa, jumlah petani yang menguasai lahan kurang dari 0,5 ha mencapai lebih 60% (Taryoto, 1992). Serta beban tenaga kerja di sektor pertanian yang mencapai 38,5 juta atau sekitar 43 % dari total tenaga kerja di berbagai sektor perekonomian (Anonim, 1999). Oleh karena itu dukungan modal dari pihak luar kepada petani akan sangat bermanfaat sekali bagi perkembangan kegiatan usahatani yang dilakukannya. Dukungan modal dari luar yang diharapkan adalah dari pihak perbankan, melalui mekanisme penyaluran kredit.

Selama ini pihak perbankan lebih banyak memberikan kredit secara sektoral kepada sektor diluar pertanian, seperti: industri pengolahan, perdagangan, pertambangan, dan konstruksi, sedangkan untuk sektor pertanian jumlah kredit yang diberikan jauh lebih rendah dibandingkan sektor diatas. Data Bank Indonesia pada tahun 1999 secara nasional penyaluran kredit perbankan untuk sektor pertanian hanya 9,4 % dari total penyaluran kredit, sisanya lebih 90 % disalurkan ke sektor non-pertanian. Bahkan untuk perkembangan kredit usaha kecil pada tahun 1999 sektor pertanian hanya menyerap 20 % dari total kredit usaha kecil yang berjumlah sekitar 37,2 triliun rupiah, sedangkan sisanya 80 % diserap oleh sektor industri, perdagangan, jasa, dan lain-lain (Anonim, 1999). Pihak perbankan belum memberikan dukungan optimal  dalam meningkatkan jumlah penyaluran kredit dan kemudahan memperoleh pinjaman modal kepada sektor pertanian khususnya para petani kecil. Salah satu terobosan dalam rangka memberikan kemudahan memperoleh pinjaman modal dan sekaligus memacu peningkatan penyaluran kredit kepada sektor pertanian adalah pembentukan bank pertanian.

 

1.2. Kajian Falsafah Sains

            Pada tulisan ini akan diuraikan secara ringkas kajian falsafah sains, berkenaan dengan aspek Ontologi (mengenai apa dan bagaimana bank pertanian), Epistemologi (mengenai asal mula dan bagaimana metode mempelajari bank pertanian), dan Aksiologi (mengenai manfaat dari bank pertanian bagi masyarakat).

            Ontologi merupakan bagian dari filsafat yang mengkaji tentang apa dan bagaimana keberadaan suatu obyek. Dalam kaitan prospek bank pertanian di Indonesia, maka akan dikaji definisi bank pertanian sesuai dengan tujuan yang hendak dicapai dari keberadaan bank pertanian terhadap perkembangan sektor pertanian dan usaha kecil dan menengah lainnya.

            Epistemologi adalah bagian dari filsafat yang mempelajari asal mula dan metode untuk mempelajari pengetahuan tentang bank pertanian. Kajian ini dilakukan dengan mempelajari data empirik tentang bank pertanian, dengan melihat perkembangan bank pertanian di negara-negara lain khususnya di Asia.

            Aksiologi adalah bagian dari filsafat yang mempertanyakan manfaat dari suatu obyek, dalam hal ini manfaat bank pertanian bagi masyarakat luas. Dalam kajian aksiologi ini akan ditekankan aspek skim kredit pertanian yang merupakan produk dari bank pertanian, agar dapat memberikan manfaat bagi masyarakat terutama dalam pemenuhan kebutuhan kredit sehingga diharapkan mampu meningkatkan kinerja sektor pertanian di Indonesia.

 

MODEL KAJIAN FALSAFAH SAINS TERHADAP BANK PERTANIAN

 


 


II. KAJIAN ONTOLOGI:    BANK PERTANIAN

 

            Dalam sejarah perkembangannya perbankan di Indonesia mula-mula melaksanakan kegiatan usahanya dalam ruang lingkup utama di kegiatan pertanian, khususnya perkebunan. Ini terlihat dari berdirinya bank-bank di masa kolonial Belanda, di mana perbankan memberikan pinjaman kepada usaha-usaha yang berkaitan dengan kegiatan di perkebunan-perkebunan yang pada masa itu hampir seluruhnya berorientasi ekspor. Pada awal abad ke-19 berdiri javasche bank bersamaan dengan munculnya perusahaan-perusahaan kolonial lain pada masa itu, bahkan pada masa awal kemerdekaan  bank-bank pemerintah sebagian besar berasal dari nasionalisasi bank-bank milik Belanda, seperti BBD, BDN, Bapindo. Namun demikian bank yang khusus menangani pertanian tidak ada, karena dalam perkembangannya bank melayani usaha-usaha yang berkembang terutama pada perdagangan dan industri. Sehingga kita perlu merumuskan lebih dahulu definisi tentang bank pertanian.

Sampai saat ini definisi bank pertanian di Indonesia secara formal belum ada. Berdasarkan Undang-undang No: 10 Th. 1998 tentang perubahan atas UU No: 7 Th 1992 tentang Perbankan, definisi bank adalah badan usaha yang menghimpun dana dari masyarakat dalam bentuk simpanan dan menyalurkanya kepada masyarakat dalam bentuk kredit dan atau bentuk-bentuk lainnya dalam rangka meningkatkan taraf hidup rakyat banyak. Sementara itu berdasarkan undang-undang tersebut, bank dibedakan menjadi Bank Umum dan Bank Prekreditan Rakyat (BPR). Sedangkan bank pertanian tidak tidak termasuk dalam jenis bank tersendiri, namun demikian dalam pembagian lain yaitu jenis bank berdasarkan fungsinya dapat digunakan untuk menjelaskan kehadiran bank pertanian di Indonesia.

Sehingga untuk mendifinisikan bank pertanian tentu tidak terlepas dari tujuan bank pertanian dalam upaya mendorong pertumbuhan sektor pertanian khususnya petani dalam pemenuhan kebutuhan modal usahanya. Oleh karena itu dalam mendefinisikan bank pertanian tetap mencakup bank umum dan bank perkreditan rakyat (BPR). Karena itu yang dimaksudkan dengan bank pertanian adalah bank umum & BPR yang secara operasional mempunyai fungsi utama dalam melayani kegiatan-kegiatan sektor riil (investasi, produksi dan distribusi) di bidang pertanian, terutama dalam hal pemberian kredit. Untuk melihat kehadiran bank pertanian, ada beberapa aspek yang bisa digunakan sebagai indikator seberapa besar bank tersebut melayani bidang pertanian, yaitu:

  1. Portofolio kredit yang diberikan
  2. Jumlah nasabah (debitor) yang dilayani
  3. Letak dan jumlah kantor bank yang dimiliki
  4. Skim kredit yang dimiliki

Selama ini untuk melihat jenis bank didasarkan pada 3 aspek pertama, sebagai indikator bank tersebut secara operasianal melayani sektor-sektor perekonomian. Bank pertanian selayaknya memiliki karateristik sbb: Pertama, jumlah kredit yang disalurkan secara sektoral sebagian besar disalurkan untuk melayani kegiatan di bidang pertanian. Mengenai batas minimal porsi yang harus disalurkan ke bidang pertanian memang sulit ditentukan karena hal ini berkaitan dengan resiko dalam portofolio kredit yang dihadapi bank. Kedua, jumlah nasabah (debitor) yang dilayani haruslah sebagian besar adalah petani terutama yang terlibat langsung pada kegiatan produksi pertanian. Hal ini juga sulit untuk ditentukan batas minimal porsi jumlah petani dari total debitor, karena jatuh tempo kredit pertanian umumnya pendek sehingga jumlah  petani debitor dapat berubah-ubah dengan cepat.

Ketiga, letak dan jumlah kantor bank yang dimiliki bank pertanian haruslah sebagian besar terletak dan menjangkau, serta jumlahnya cukup banyak di daerah-daerah sentra produksi pertanian, terutama di pedesaan dan kota-kota kecil. Sehingga bank mengetahui dengan baik daerah operasionalnya dan petani lebih mengenal lembaga bank tsb, dengan demikian maka bank akan sekaligus berfungsi sebagai agent of development  bagi bidang pertanian. Indikator ini agak sulit digunakan  karena memerlukan waktu yang lama dan biaya besar berkaitan dengan investasi sarana fisik, selain itu bank masih dapat menjangkau nasabah (debitor) di pedesaan dan kota-kota kecil dengan menggunakan jaringan cabang yang bergerak. 

Tampaknya masih sulit untuk melihat keberadaan bank pertanian dalam perannya untuk mendukung kegiatan di bidang pertanian terutama peningkatan produksi dan nilai tambah produk dalam rangka peningkatan pendapatan petani, dengan melihat tiga (3) aspek diatas.

            Karena itulah aspek keempat, yaitu: skim kredit yang dimiliki oleh bank dapat dijadikan indikator untuk mendorong bank dalam mendukung perkembangan di bidang pertanian melalui berbagai macam skim kredit pertanian. Hal ini didasarkan kenyataan bahwa apabila skim kredit pertanian yang tersedia jumlahnya  banyak dan dapat berjalan dengan baik untuk menyalurkan kredit pertanian ke petani, maka dengan sendirinya portofolio kredit pertanian di bank tsb akan meningkat, kemudiaan juga jumlah nasabah (debitor) petani yang dilayani bank tsb akan bertambah pula, serta jumlah dan letak kantor bank yang dimilikinya yang terletak di daerah sentra produksi pertanian diharapkan akan semakin meningkat pula, terutama bila bank tsb melakukan ekspansi cabang bank baru.  Dengan demikian efek berganda yang didapat dari aspek skim kredit pertanian yang dimiliki oleh bank, diharapkan akan menjadi pemacu kehadiran dan perkembangan bank pertanian.

 

 

III. KAJIAN EPISTEMOLOGI:      SKIM KREDIT PERTANIAN

 

            Dalam kita mempelajari asal mula bank pertanian dan bagaimana sebenarnya bank pertanian tersebut, maka perlu melihat perkembangan bank pertanian di negara lain serta melihat indikator yang tepat dari keberadaan bank pertanian, yaitu skim kredit pertanian. 

            Skim kredit merupakan rincian sistematis dari aspek yang ada dalam suatu fasilitas kredit yang disediakan oleh pihak bank kepada pihak nasabah (debitor), yang meliputi aspek a/l: tingkat bunga, pagu kredit, jenis usaha yang dibiayai, penilaian proposal, penerima kredit, penyalur kredit, jangka waktu kredit, agunan. Skim kredit yang disediakan oleh pihak perbankan di Indonesia jumlahnya cukup banyak dan dapat digolongkan dalam jenis kredit, seperti: Kredit Modal Kerja, Kredit Investasi, Kredit Kelolaan, Personal loan, KIK/KMKP, Kredit Ekspor, Kredit Kelayakan. Klasifikasi kredit ini dilihat dari obyek yang dibiayai dengan kredit tersebut. Jenis kredit tersebut umumnya diikuti dengan skim kredit yang diarahkan lebih banyak pada sektor non-pertanian, seperti: industri, perdagangan, konstruksi, serta industri kecil-menengah dan proyek swasta/pemerintah (Anonim,1999). Sementara untuk skim kredit pertanian yang benar-benar sesuai dengan kebutuhan petani dalam menjalankan kegiatan produksi dan distribusi pertanian, belum ada yang dapat berkembang dengan baik menjadi sebuah skim kredit andalan bagi bank.

            Kegiatan produksi di bidang pertanian mempunyai sistem produksi yang berbeda dibanding dengan sistem produksi di bidang manufaktur atau distribusi misalnya, sehingga diperlukan skim kredit yang bisa mengakomodasi kebutuhan dan tingkat resiko yang ada pada kegiatan produksi pertanian. Ciri-ciri sistem produksi di bidang pertanian a/l: dipengaruhi secara dominan oleh alam, ada periode waktu produksi yang panjang, ada aspek kelembagaan yang mempengaruhi petani. Hal ini akan memberikan tingkat resiko yang besar dalam resiko pemberian kredit meliputi a/l: produksi, harga, alam, teknologi, informan kunci, kebijakan pemerintah ( Shanmugam, 1990 ).

            Bertitik tolak pada pengalaman dalam menjalankan program kredit pertanian yang telah dilaksanakan pada masa lalu serta dikaitkan dengan arah pembangunan pertanian, maka yang diperlukan adalah skim kredit pertanian yang berorientasi pada pendekatan agribisnis sehingga dapat mencakup resiko yang muncul dalam sistem produksi di bidang pertanian (Syukur, M. dkk, 1998). Untuk melihat karakteristik skim kredit pertanian yang dapat dikembangkan melalui bank pertanian, berikut ini disajikan perbandingan skim kredit di beberapa negara Asia, yaitu Indonesia, Malaysia, Korea dan Taiwan.

 

Tabel.1: Perbandingan Aspek-aspek dalam Skim Kredit Pertanian

 

No

 

Aspek

Negara

Indonesia

Malaysia

Korea

Taiwan

1

Bank Pertanian

Tidak ada

Bank Pertanian Malaysia, Federal Land Dev. Authority, The Agro Based Corperative Society

National Agricultu-ral Cooperative Fe-deration, National Agricultural Live-stock Federation

Farmer’s Bank of China, Land Bank of Taiwan, Cooperative Bank of Taiwan

2

Tingkat Bunga

KUT 12 %,

KKPA 14 %

Komersial 19-20%

Pertanian 4-6 %

Komersial 10-12%

Pertanian:  panjang & menengah 3-8%, j. pendek 5% & kre  dit komersial 12%

Pertanian 4-5%

Komersial 14-16%

3

Pagu Kredit

Program (KUT) Terbatas

Berdasarkan Proposal

Berdasarkan Proposal

Berdasarkan Proposal

4

Jenis Usaha / Kegiatan

Produksi Pertanian

Semua Subsistensi Agribisnis

Semua Subsistensi Agribisnis

Semua Subsis-tensi Agribisnis

5

Evaluasi Proposal

KUD

Bank

Bank

Bank

6

Penerima Kredit

Petani dalam Kelompok

Petani individual atau kelompok / koperasi

Petani individual atau kelompok / koperasi

Petani individual atau kelompok / koperasi

7

Penyalur Kredit

KUT lewat KUD / LSM

KUT Pola Khusus Langsung

Langsung ke petani atau melalui agen pembangunan

Langsung atau melalui Koperasi Pertanian

Langsung ke pe-tani lewat Town-ship Farmer’s and Fishment’s Asc.

8

Pengembalian Kredit

KUT lewat KUD

KUT Pola Khusus langsung

Langsung ke Bank

Langsung atau melalui Koperasi Pertanian

Langsung ke Bank atau asosiasi petani

9

Waktu Pengem-balian Kredit

Pada saat Panen

Disesuaikan menurut keinginan petani

Disesuaikan menurut keinginan petani

Disesuaikan menurut keinginan petani

10

Agunan

Tida ada

Penjamin Kredit

Penjamin Kredit

Penjamin Kredit

Sumber: Departemen Pertanian (diolah dari: Bisnis Indonesia    21/8/1997)

 

            Dari tabel diatas terlihat bahwa Indonesia masih tertinggal dibandingkan dengan ketiga negara lain, yaitu: Malaysia, Korea, dan Taiwan,  dalam hal pengembangan skim kredit pertanian yang dilakukan oleh bank, khususnya bank pertanian. Hal ini meliputi:

  1. Indonesia belum memiliki lembaga bank pertanian, sementara Malaysia, Korea dan Taiwan sudah memiliki bank pertanian, bakan bank pertanian malaysia (BPM) telah ada sejak tahun 1969.
  2. Bila diukur dari aspek evaluasi proposal, penyalur kredit dan penerima kredit, maka bank pertanian bertindak sebagai executing agent dalam penyaluran kredit. Di Indonesia, bank umumnya dalam menyalurkan kredit pertanian bertindak sebagai  chanelling agent.
  3. Waktu pengembalian kredit di bank pertanian disesuaikan menurut keinginan petani.
  4. Agunan di bank pertanian diberikan oleh lembaga penjamin kredit. Di Indonesia tidak ada penjamin kredit tetapi bila terjadi puso dibebaskan dari pengembalian kredit.

Dari perbandingan skim kredit pertanian yang diberikan oleh bank pertanian terlihat adanya fleksibilitas yang tinggi dalam berbagai aspek. Karena itu bank pertanian sebenarnya dapat memunculkan banyak skim kredit pertanian yang disesuaikan dengan kebutuhan petani berdasarkan jenis: komoditi, waktu pencairan kredit, serta skala dan kegiatan usahataninya.

 

 

IV. KAJIAN AKSIOLOGI:     PROSPEK BANK PERTANIAN DI INDONESIA

 

            Selama ini petani umumnya hanya mengandalkan kredit pertanian yang disalurkan oleh bank umum melalui lembaga penyalur yang bertindak sebagai chanelling agent. Kredit pertanian tersebut dananya berasal dari pemerintah dan merupakan krediti program dengan bentuk skim kredit a/l: Kredit Usaha Tani (KUT), Kredit Usaha Kecil (KUK), Kredit Kepada Koperasi (KKop),  Kredit Koperasi Primer untuk Anggota (KKPA) yang diperuntukan: Umum, Tebu Rakyat, PIR Trans, Nelayan, Unggas. Kredit Program ini adalah kredit perbankan yang sumber pendanaannya sebagian atau seluruhnya berasal dari kredit likuiditas Bank Indonesia (Anonim, 1999). Hanya saja penyaluran kredit ini belum menunjukkan perkembangan yang baik, sehingga indikasi pertumbuhan bidang pertanian oleh adanya kredit pertanian ini belum terlihat. Hal ini disebabkan skim kredit tersebut menghadapi banyak hambatan di lapangan karena tidak fleksibel terhadap kebutuhan yang sebenarnya dari petani dalam melakukan kegiatan usahatani, yang sangat beragam dalam hal: komoditi, waktu penanaman, serta skala usahtaninya.

            Bidang pertanian di Indonesia yang dilakukan oleh sebagian besar petani dengan luas penguasaan lahan yang sempit mempunyai beberapa karakterik:

1.      Periode Waktu Menunggu Sampai Saat Panen: periode ini sering dikenal sebagai gestation periode , waktu tang diperlukan mulai saat petani menanam sampai dengan saat panen tiba, waktu cukup lama dan bervariasi sesuai jenis tanaman (semusim atau keras). Pada periode ini akan terjadi resiko produksi, yaitu perubahan tingkat hasil karena hama & penyakit, serta cuaca. Resiko produksi akan diikuti adanya resiko harga karena kekuatan demand dan supply, serta harapan dan persepsi konsumen terhadap demand dan supply (Shanmugam, 1990).

2.     

58

 
Variasi Usahatani: antara petani satu dengan lainnya mempunyai perbedaan dalam melakukan usahataninya. Walaupun faktor produksinya sama tetapi tingkat penggunaan input produksi (benih, pupuk, obatobatan pertanian) sangat beragam. Dalam hal penerapan teknologi yang digunakan juga beragam, ini sering berkaitan dengan tingkat perubahan dan kecepatan petani dalam mengadopsi teknologi baru dalam kegiatan usahataninya. Keadaan ini membuat adanya ketidakseragaman hasil pertanian dalam hal kuantitas, dan kualitas mutu, bentuk, serta ukuran produk.

3.      Keterbatasan Modal: jumlah modal untuk pembiayaan kegiatan usahatani sangat terbatas, ini akan membuat petani terhambat dalam memilih dan mencoba komoditas pertanian yang baru, serta dalam mengdopsi teknologi baru yang tersedia. Selain itu sikap bisnis dan pengetahuan petani masih kurang. Dalam hal menanam komoditas yang memerlukan kemampuan likuiditas yang besar untuk menyediakan biaya benih, pupuk, dan obat-obatan pertanian, serta membayar upah tenaga kerja, seperti tanaman hortikultura, petani harus berpikir ulang dan perlu waktu cukup lama sebelum akhirnya berani mencoba.

 

Semua karakteristik  tadi memerlukan dukungan dari pihak luar untuk menghadapinya. Pihak perbankan dapat membantu menyediakan pembiayaan yang lengkap.  Dalam membangun dan mengembangkan pertanian di tingkat petani, bank pertanian diharapkan dapat menyediakan dan mengembangkan pembiayaan melalui skim kredit pertanian, yang juga menyentuh aspek non-ekonomis yaitu meningkatkan sikap bisnis dan pengetahuan petani, serta membantu petani dalam merancang dan mengurus proyek-proyek pertanian dalam usahatani.

 

1.      Potensi Pengembangan Bank Pertanian

Potensi untuk mengembangkan bank pertanian di Indonesia secara kelembagaan telah ada. Untuk bank umum telah ada Bank BRI, yang telah memiliki banyak kantor bank yang letaknya menjangkau daerah-daerah sentra produksi pertanian dan jumlahnya sangat banyak untuk melayani petani dan pengusaha kecil, terutama melalui kantor unit desa yang ada di kecamatan. Secara operasional kantor unit ini menjangkau desa-desa, dengan nasabah atau customer base  para petani dan pengusaha kecil, sehingga mempunyai kelebihan dalam pengalaman dalam melayani nasabah pedesaan dan pengetahuan terhadap potensi ekonomi di sektor riil (investasi, produksi, dan distribusi)di wilayah pedesaan.  Selain skim kredit pertanian yang merupakan kredit program, selama ini ada juga skim kredit usaha kecil / pertanian , yaitu: Kredit Umum Pedesaan (Kupedes). Kredit ini meliputi Kupedes untuk Modal Kerja (Eksploitasi) dan Kupedes untuk Investasi, masing-masing melayani bidang usaha pertanian, perindustrian, perdagangan, jasa. Kupedes Modal Kerja bidang pertanian membiayai semua usaha produksi pertanian, mengolah / memperdagangkan hasil pertanian, serta memproduksi / memperdagangkan saprodi untuk tujuan pertanian, perkebunan, perikanan, peternakan. Sedangkan Kupedes Investasi bidang pertanian membiayai pembelian alat-alat pertanian, pembuatan gudang dan lantai jemur, pembelian bibit tanaman keras dan ternak. Kredit ini diberikan kepada nasabah yang usahanya dinilai layak (eligible), dengan ekspansi kredit untuk nasabah baru dengan pendekatan sistematis melalui jaringan bisnis dan personal, serta untuk nasabah lama dengan peningkatan plafond kredit (Anonim, 1991). Saat ini kupedes menjadi produk kredit andalan dalam mendukung penyaluran kredit bank.

60

 
Kelembagaan lain yang berpotensi adalah Bank Perkreditan Rakyat (BPR), berbeda dengan bank umum yang merupakan branch banking ,  maka BPR merupakan unit banking yang secara operasional merupakan retail banking yang melayani usaha kecil dan berdasarkan kehadiran geografisnya merupakan community banks yang beroperasi dalam pasar lokal. Unit banking atau bank tanpa kantor cabang ini mempunyai keunggulan dalam mengenal perkembangan dan potensi ekonomi daerah dan pedesaan dengan baik, serta mempunyai customer base di kalangan petani dan pengusaha kecil yang kuat. Pada tahun 1988/1999 akibat krisis moneter dan likuidasi bank di Indonesia, jumlah bank umum merosot dari 222 bank menjadi 170 bank atau turun 23,4%, sementara jumlah BPR Non-BKD meningkat dari 1.769 bank menjadi 1.891 bank atau naik 6,9% (Anonim, 1988). Bahkan di Jawa Tengah per September th 2000 lalu, tercatat 440 BPR angka ini naik 10% lebih dibanding saat sebelum krisis moneter (Anonim, 2000). Selama ini BPR telah melayani kebutuhan modal dalam bentuk kredit modal kerja kepada pengusaha kecil melalui skim kredit yang fleksibel dan mudah sesuai dengan jumlah kredit, waktu pencairan kredit, dan jangka waktu pinjaman yang diinginkan nasabah. Hanya saja pada aspek tingkat bunga umumnya mengenakan bunga kredit komersial yang ditetapkan dengan dasar pertimbangan seluruh pembiayaan meliputi: biaya dana, biaya operasional, biaya resiko kredit, dan margin keuntungan yang diinginkan bank). Namun demikian penyerapan kredit oleh nasabah pedesaan dan pengusaha kecil di dasarkan pada aspek kemudahan dalam prosedur pengajuan kredit dan mekanisme penyaluran.

 

2.      Masalah Dalam Pembentukan Bank Pertanian

60

 
            Kehadiran bank pertanian di Indonesia selama ini terhambat oleh beberapa hal. Secara kelembagaan perlu di dukung adanya kebijakan pemerintah, sehingga kehadirannya juga mewakili komitmen pemerintah terhadap pembangunan pertanian, bahkan langkah ini perlu di dukung parlemen dengan memasukkannya dalam undang-undang misalnya. Namun demikian secara teknis dan ekonomis bank pertanian menghadapi 2 (dua) masalah yang juga berkaitan dengan persaingan bank umum lainya (Riyanto, 1997):

a.       Sumber Pembiayaan dan Modal Operasional : saat ini sumber pembiayaan skim kredit pertanian yang merupakan kredit program tidak lagi bisa mengadalkan Kredit Likuiditas Bank Indonesia (KLBI) ini sesuai dengan UU Bank Sentral, karena itu pemerintah menunjuk tiga lembaga (BUMN) mulai Oktober 1999 untuk menyalurkan kredit likuiditas (Anonim, 1999). Keadaan ini membuat adanya kevakuman sumber dana yang murah karena lembaga ini perlu waktu untuk melaksanakanya. Selain itu perlu dipikirkan juga sumber pembiayaan bagi skim kredit pertanian yang diperluas (agribisnis) yang tidak memungkinkan menggunakan kredit likuiditas dari pemerintah. Dalam kaitan ini sekaligus dipikirkan modal operasional bank, apakah ada penyertaan modal dari pemerintah atau menjadikannya sebagai joint stock banks.

b.      Sumber Daya Manusia (SDM) : terutama perbankan swasta ahli perbankan yang menangani bank pertanian jumlahnya masih sangat kurang. Untuk itu perlu ditingkatkan kemampuan SDM perbankan, sehingga nantinya mampu mencari dan menilai nasabah (petani dan pengusaha kecil) yang layak (eligible) memperoleh kredit, sekaligus menjaga kesinambungannya sebagai nasabah dengan membantu membangun sikap bisnis dan pengetahuan, serta membantu merancang dan mengurus proyek-proyek pertanian.

Karena itu secara aksilogi, skim kredit yang dikucurkan oleh bank pertanian akan memberikan manfaat langsung kepada masyarakat khususnya petani karena dapat membantu pembiayaan kegiatan produksi pertanian (usahatani) dan pemasarannya, karena semua karakteristik usaha (jenis usaha, komoditi, waktu, skala usaha, dan lokasi) dapat diakomodir oleh skim kredit yang ada.

 

62

 
V.        KESIMPULAN

 

            Dari tulisan diatas dapat disimpulkan beberapa pikiran yang dapat dijadikan pertimbangan dalam mendorong kehadiran dan pengembangan bank pertanian di Indonesia.

1.      Perlu dipersiapkan upaya pembentukan bank pertanian dengan mempelajari perkembangan bank pertanian di negara-negara lain, seperti Malaysia, Korea, Taiwan.

2.      Perlu mengembangkan skim kredit pertanian yang jumlahnya beragam sehingga dapat mengantisipasi kebutuhan petani sesuai dengan jenis komoditas, dan waktu kegiatan usahatani, serta memperluas skim kredit pertanian untuk kegiatan pasca panen dan pemasaran produk pertanian sehingga sistem agribisnis  dibangun dengan kokoh.

3.      Membangun dan mendorong pengembangan kelembagaan BPR dan bank unit, dalam penyediaan sumber pembiayaan dan keberadaan operasionalnya, serta meningkatkan kualitas SDM dengan mencetak tenaga ahli perbankan yang mampu menangani bank pertanian, sehingga skim kredit pertanian dapat berjalan dan berkembang dengan baik.

 

 

 

DAFTAR PUSTAKA

 

1. Anonim, 1991. Pedoman Kerja BRI Unit Bidang Kredit Umum Pedesaan (Kupedes). BRI Kantor Pusat, Jakarta.           

 

2. Anonim, 1998. Laporan Tahunan Bank Indonesia. BI, Jakarta.

 

3. Anonim, 1999. Laporan Tahunan Bank Indonesia. BI, Jakarta.

 

4. Anonim, 2000.  Statistik  Ekonomi - Keuangan  Daerah  Propinsi Jawa Tengah, September   2000.  Bank Indonesia, Semarang.

 

5. Riyanto,  1997. Harian Bisnis  Indonesia   :   Rencana Bank Pertanian Sulit Diwujudkan. Edisi: 21-8-1997 hal.19. Jakarta.

 

6. Shanmugam, & Bourke,  1990.  An   Introduction  To  Bank  Lending,  section D:Risk   Mana-gement    and Agricultural    Finance ;   part.8 :  Lending   To  the Agricultural Sector. Addison-Wesley Publishing Co.

 

7. Suriasumantri, Jujun S. Filsafat Ilmu, sebuah pengantar popular. Pustaka Sinar Harapan, Jakarta

 

8. Syukur, M, dkk, 1999. Laporan Hasil Penelitian: Kajian Skim Kredit Usahatani Menunjang  Pengembangan  IP-Padi  300  di   Jawa Barat..   Pusat  PSE        Pertanian, Bogor.

 

9. Taryoto, A, dkk, 1992. Perkembangan Perkreditan Pertanian Di Indonesia.  Pusat PSE Pertanian, Bogor.

 

10. The Liang Gie, 1996. Pengantar Filsafat Ilmu. Liberty, Yogyakarta.