© 2002 Edi Rudi                                                                                  Posted:  28 April 2002
Makalah Falsafah Sains (PPs 702)   
Program Pasca Sarjana / S3
Institut Pertanian Bogor

April  2002
Dosen:
Prof Dr Ir Rudy C Tarumingkeng (Penanggung Jawab)

 

BUDIDAYA Meretrix meretrix (BIVALVIA : VENERIDAE)  DI INDONESIA; STATUS DAN PROSPEK MASA DEPAN

 

 

 

Oleh:

Edi Rudi

IKL C. 626014011

E-mail : edirudi@yahoo.com 

 

 

 

PENDAHULUAN

Beragam ekosistem yang terdapat di sepanjang perairan pesisir Indonesia seperti estuaria, mangrove, terumbu karang, padang lamun, pantai berpasir dan pantai berbatu menjadikan Indonesia sebagai tempat yang cocok bagi beragam moluska laut seperti kerang-kerangan (bivalvia). Keberadaan kerang ini telah memberikan peranan yang penting bagi perekonomian masyarakat pesisir  tidak hanya untuk dimakan atau dijual di pasar lokal, tapi juga dapat diekspor ke beberapa negara Asia, Eropah dan Amerika Serikat.

Salah satu jenis kerang yang berpotensi dan bernilai ekonomis adalah Meretrix meretrix Linnaeus, 1758.  Dalam bahasa Inggris dikenal dengan nama oriental hard clam, sedangkan di Indonesia secara umum disebut dengan kerang tahu.   Menurut Carpenter dan Neim (1998) M. meretrix khas mendiami perairan dengan substrat pasir berlumpur di zona intertidal dan sublitoral, penyebarannya terbatas di wilayah Indofasifik Barat.  Biasanya banyak ditemukan di muara sungai dengan topografi pantai yang landai sampai kedalaman 20 m.  Selain dimakan oleh penduduk lokal, jenis ini sangat berpotensi sebagai komoditas ekspor dari negara Asia Tenggara terutama Thailand, Philippina dan Indonesia. Karakteristiknya adalah cangkang tebal dengan bermacam-macam warna dan pola di permukaan luar cangkang yang licin, mulai dari putih, kecoklatan sampai coklat kehitaman, cangkang bagian dalam berwarna putih, sinus palial dalam dan di dekat umbo terdapat bentuk seperti terpotong berwarna oranye kecoklatan.

Kerang M. meretrix biasanya dapat dengan mudah dipanen petani, hanya menggunakan tangan pada saat air surut.  Di Thailand kerang ini dapat dipanen satu ton per hari dari suatu kawasan saja (Nugranad dkk., 2000), sedangkan di Vietnam hasil tangkapan di satu area mencapai 30.000 ton per tahun (Nguyen, 2000).  Hal yang sama juga terjadi di Indonesia, seperti di kawasan Panimbang, Propinsi Banten, pemanenan dapat berlangsung sepanjang tahun dan diambil semua ukuran.  Di wilayah ini diperkirakan telah terjadi pengambilan yang berlebihan (overexploitation) sehingga menimbulkan penurunan yang drastis terhadap populasinya dari tahun ke tahun.  Berbagai langkah ke depan diperlukan untuk melindungi jenis ini sehingga dapat dimanfaatkan secara berkesinambungan.  Salah satu usaha yang mungkin dilakukan adalah pembudidayaan di alam dengan pengadaan benih di hatchery. 

Beberapa pertimbangan-pertimbangan ekonomi kenapa sektor budidaya kerang mesti dikembangkan di Indonesia adalah, pertama, tingginya potensi sektor ini bila dilihat dari sudut penawaran (supply) dan sudut permintaan (demand). Dari sudut penawaran, Indonesia dengan garis pantai 81.000 km menyediakan bermacam-macam ekosistem yang menyimpan sumber kekayaan laut yang besar dan belum dimanfaatkan dengan optimal untuk pembudidayaan. Sementara itu dari sudut permintaan, semakin tingginya kebutuhan terhadap produk-produk perikanan dan kelautan seiring dengan meningkatnya kesadaran manusia akan pentingnya kesehatan  dan kecerdasan. Kedua, sumberdaya yang dimanfaatkan untuk kegiatan ini adalah yang dapat diperbaharui (renewable resources) sehingga akan mampu bertahan dalam waktu yang lama asal dikelola dengan baik. Ketiga, kegiatan ini diyakini akan mampu menyerap tenaga kerja dan dapat terkait dengan kegiatan (industri) lainnya.  Keempat, kegiatan budidaya kerang ini juga mempunyai andil dalam peningkatan devisa negara, walaupun selama ini yang lebih menonjol baru budidaya kerang mutiara (pearl oyster).

Menurut Dahuri (2002),  pada masa mendatang upaya peningkatan kontribusi perikanan terhadap ekonomi nasional akan banyak bertumpu pada usaha budidaya.  Untuk itu diperlukan pengembangan, penyempurnaan dan diversifikasi usaha budidaya melalui peningkatan kemampuan teknologi budidaya yang antara lain mencakup pemilihan induk, pemijahan, pemeliharaan larva, pembesaran, manajemen kualitas air, nutrisi dan pakan, genetika (breeding) dan manajemen kesehatan.  Masih rendahnya produktivitas budidaya perikanan di Indonesia sangat dipengaruhi oleh rendahnya kemampuan teknologi budidaya ini. 

Tulisan ini khusus untuk memberikan informasi mengenai status pembudidayaan kerang M. meretrix di Indonesia dan kemungkinan pengembangannya di masa yang akan datang. Berbagai tinjauan diberikan antara lain informasi tempat pembudidayaan yang potensial,  faktor lingkungan yang diperlukan,  penyediaan benih,  makanan,  hama dan penyakit,  serta manajemen dan perlindungan. Tulisan ini diharapkan dapat memberikan masukan untuk perikanan Indonesia, terutama kerang-kerangan sehingga di masa yang akan datang mempunyai prospek lebih baik dan dapat meningkatkan taraf hidup nelayan.

 

BUDIDAYA KERANG M. meretrix

Tempat Pembudidayaan

Potensi budidaya laut khususnya ikan dan moluska di Indonesia masih sangat besar. Luas total perairan laut yang potensial untuk budidaya moluska (kerang-kerangan) dan teripang sekitar 720.500 ha (Dahuri, 2002). Khusus untuk kerang M. meretrix, cukup banyak tempat pembudidayaan yang potensial walaupun belum dimiliki data pastinya.  Daerah-daerah yang potensial antara lain pesisir utara Jawa Tengah seperti Brebes, pesisir timur Sumatera Utara dan Nangroe Aceh Darussalam, Panimbang (Banten) dan Kalimantan. Salah satu dari daerah tersebut yaitu perairan Teluk Miskam, Kecamatan Panimbang, Propinsi Banten akan dideskripsikan berikut ini. 

Pantai sepanjang 6.000 m yang terbentang dari Barat Daya sampai dengan Timur Laut perairan Teluk Miskam merupakan areal yang cukup potensial untuk pembudidayaan M. meretrix.  Secara administratif,  daerah ini termasuk dalam Kecamatan Panimbang, Kabupaten Pandeglang, Propinsi Banten, terletak sekitar 10 km bagian selatan kota Labuan.  Keberadaan kerang M. meretrix di daerah ini cukup berlimpah (Gambar 1), namun akhir-akhir ini terjadi penurunan yang drastis akibat overexploitation dan degradasi lingkungan.  Kelimpahan M. meretrix pada tahun 1999 mencapai 9 ind./m2 dengan pola  penyebaran mengelompok, kelimpahan ini menurun dibandingkan tahun-tahun sebelumnya.

Perairan di Teluk Miskam, Panimbang merupakan areal yang potensial untuk dikembangkan sebagai tempat pembudidayaan M. meretrix.  Beberapa kondisi fisik perairan yang mendukung pembudidayaan kerang M. meretrix di sini antara lain adalah topografi pantai yang landai, yaitu kedalaman perairan pada saat surut berkisar antara 0-75 cm sampai jarak 500 m dari pinggir pantai, terdapatnya sejumlah sungai yang bermuara ke teluk ini antara lain Ciliman, Solodenger dan Ciseukeut yang berperan penting dalam membawa nutrien (Gambar 2), dan tidak terdapatnya industri/pabrik besar baik di daerah hulu maupun sepanjang daerah aliran sungai yang bermuara ke teluk ini.  Menurut  Bengen (2001), daerah dengan kondisi seperti ini termasuk ekosistem estuaria dan salah satu fungsinya adalah sebagai tempat budidaya.

 

Faktor-faktor Lingkungan

Beberapa faktor fisika-kimia lingkungan seperti suhu, kedalaman, kecepatan arus, oksigen terlarut, salinitas, pH dan tekstur substrat perairan terlihat mempengaruhi kelimpahan M. meretrix.  Hasil pengukuran terhadap faktor fisika-kimia perairan di Teluk Miskam Panimbang dicantumkan dalam Tabel 1. Analisis komponen utama terhadap faktor fisika-kimia perairan menunjukkan bahwa suhu, pH, kecepatan arus dan salinitas mempengaruhi tingginya kelimpahan M. meretrix pada tempat-tempat tertentu, tertinggi di muara Ciseukeut.  Selain itu, M. meretrix juga menyenangi tekstur substrat yang halus (kandungan debu dan liat yang tinggi).  Hal ini diperkirakan karena kerang ini bersifat infauna, yaitu hidup dengan cara membenamkan diri di bawah permukaan lumpur di perairan dangkal, sedangkan sifon yang panjang dapat dijulurkan ke permukaan substrat untuk mengalirkan makanan.

 

 Tabel 1.  Faktor Fisika-Kimia Perairan di Teluk Miskam Panimbang pada Tahun 1999

No.

Parameter

Kisaran Nilai

1

suhu (oC)

28-30

2

kedalaman (m)

0,1-0,8

3

kecepatan arus (ms-1)

0,1-0,25

4

DO (mg/l)

4,76-5,95

5

salinitas ()

10-32

6

pH

6-7

7

tekstur substrat

pasir berlempung, lempung liat berpasir, lempung liat dan liat

                                                              Sumber: (Rudi, 2000)

 

Substrat yang kurang cocok serta arus dapat menjadi sumber kegagalan pembudidayaan kerang.  Tandanavanij (1996) melaporkan bahwa kegagalan budidaya Anadara spp. di Thailand pernah terjadi akibat masalah ini.  Setelah dilakukan pelepasan benih ke tempat pembudidayaan yaitu di perairan pesisir barat Thailand Selatan,  ternyata hanya sebagian kecil saja yang hidup dan berkembang menjadi dewasa di tempat yang sama.  Kelihatannya larva-larva tersebut tidak dapat menempel pada habitat yang cocok, atau terbawa oleh arus ke tengah laut dan menempel di bagian selatan yaitu di perairan pesisir barat pantai Malaysia.

 

Makanan

 Meretrix meretrix dewasa merupakan organisme penyaring, filter feeder, sebagaimana halnya bivalvia pada umumnya.  Berhubungan dengan sifat makan kerang ini, Dahuri (2002) mengingatkan pentingnya sanitasi kerang-kerangan karena organisme filter feeder tersebut akan mengakumulasikan makanan, kotoran dan bahan cemaran lainnya dalam dagingnya.  Pada umumnya negara-negara maju memberlakukan persyaratan sanitasi yang lebih ketat terhadap kerang-kerang impor.  Akibatnya, sejak awal 1999 lalu izin ekspor kerang-kerangan Indonesia telah dicabut oleh Komisi Eropah karena Indonesia dianggap belum mempunyai program sanitasi kerang-kerangan yang diakui oleh Uni Eropah. Ini tentunya menjadi tantangan yang berat karena potensi ekspor kerang-kerangan dari Sumatera Utara saja diperkirakan menyumbangkan devisa tidak kurang dari 1 juta dolar AS per tahun

Makanan M. meretrix pada umumnya adalah detritus dan fitoplankton.  Hasil pengamatan lambungnya menunjukkan ditemukan fitoplankton kelas Bacillariophyceae dan Cyanophyceae, sedangkan zooplankton tidak ditemukan.  Kelas Bacillariophyceae ditemukan sangat dominan dengan proporsi antara 97-99% sedangkan Cyanophyceae antara 1-3%.  Berdasarkan indeks pilihannya terhadap plankton sebagai makanan M. meretrix yaitu dengan cara membandingkan persentase plankton di perairan dengan yang ditemukan di lambung, maka Bacillariophyceae adalah disukai, sedangkan Cyanophyceae tidak disukai.  Selain itu, juga terdapat keeratan hubungan antara makanan di perairan dengan di dalam lambung dengan koefisien korelasi 0,99.  Ini menunjukkan bahwa tingginya proporsi plankton di perairan juga diikuti dengan tingginya proporsinya di dalam lambung kerang (Rudi, 2000).

Pengamatan secara keseluruhan isi lambung Meretrix lyrata menunjukkan bahwa 90% isinya adalah detritus (Vo, 2000).  Detritus ini dapat berasal dari mangrove yang ada di sekitarnya atau terbawa melalui air sungai.  Kandungan nutrien akan tinggi terutama selama musim hujan.  Adanya kegiatan penebangan mangrove dapat mengurangi kuantitas dan kualitas makanan kerang dan meningkatkan sedimentasi di muara sungai. Dengan demikian perlindungan terhadap ekosistem mangrove mutlak diperlukan untuk mempertahankan stabilitas perairan di daerah pembudidayaan.

Untuk pemeliharaan M. meretrix pada hatchery, makanan yang biasa diberikan adalah fitoplankton uniseluler yaitu alga jenis Isochrysis galbana, Chaetoceros calcitrans dan Tetraselmis sp.  Jenis I. galbana dan C. calcitrans diberikan mulai dari masa larva, sedangkan penambahan Tetraselmis sp.  dapat dilakukan sejak munculnya larva pediveliger sampai kerang dewasa (Nugranad dkk., 2000).  Selain jenis-jenis di atas, alga Chaetoceros muelleri, Platymonas sp., Nannochloropsis oculata dan Chlorella sp. juga dapat diberikan (Ngunyen, 2000). Dengan demikian, kultur terhadap jenis-jenis fitoplankton ini mutlak diperlukan bila melakukan pembenihan dan pembesaran M. meretrix di hatchery.

Sifat makan dan kehidupan kerang yang relatif menetap (sessil) juga mempengaruhi akumulasi bahan-bahan percemar dalam daging kerang seperti logam berat (heavy metal).  Rudi (2000) melaporkan analisis terhadap kandungan logam berat merkuri (Hg) dalam daging kerang M. meretrix belum menunjukkan nilai yang melewati ambang batas, namun logam berat kadmium (Cd) dan timbal (Pb) sudah melewati ambang batas.  Kandungan logam berat Hg berkisar antara 0,42x10-4-1,32x10-3, Cd antara 2,64-7,37  dan Pb antara 15,14-15,19 ppm.  Menurut Dahuri (2002) ekspor hasil perikanan Indonesia seperti tuna pernah ditolak karena terkontaminasi logam berat Hg, Cd dan Pb. Hal yang sama bisa terjadi pada ekspor kerang-kerangan Indonesia bila standar mutu dan sanitasi ini tidak diperhatikan.

 

Hama dan Penyakit

Genus Ostrincola merupakan anggota famili Mycoidae (Crustacea: Copepoda) yang tinggal secara eksklusif di dalam rongga mantel bivalvia laut.  Hingga kini telah ditemukan sembilan jenis dari genus Ostrincola yang didapatkan dari 27 jenis bivalvia.  Jenis Ostrincola koe dilaporkan menjadi penyebab kematian massal budidaya kerang Meretrix meretrix di Asia Timur Jauh seperti Jepang, Korea, China dan Taiwan, sedangkan Ostrincola portonoviensis adalah hama yang ditemukan di India dan Asia Tenggara.

Dari hasil analisis kladistik O. portonoviensis yang terdapat di Portonovo dan Quilon (India) dan Phuket (Thailand) terlihat jelas bahwa jenis tersebut sangat dekat dengan O. koe yang ditemukan di Jepang, Korea dan China.  Hal ini menggambarkan bahwa secara genetik mereka juga sangat dekat.  Jadi, karena O. koe telah diketahui sebagai penyebab kematian massal budidaya kerang M. meretrix di Asia Timur Jauh (Jepang, Korea, China dan Taiwan) maka sangat memungkinkan bahwa O. portonoviensis juga akan menyebabkan efek yang sama pada budidaya M. meretrix di India dan Asia Tenggara (Ho,  1998).

Kematian massal budidaya M. meretrix dilaporkan sudah terjadi sejak tahun 1960-an, namun penelitian-penelitian yang dilakukan pada saat itu memperkirakan bahwa penyebabnya adalah bakteri patogen Vibrio spp.  Kasus kematian kerang ini belum dipublikasikan dan juga tidak mendapatkan perhatian yang serius. Di tahun 1988 dan 1989, kematian massal kembali terjadi di China dengan akibat yang cukup serius, total kerugian sekitar 6 juta dolar AS.  Kematian ini dilaporkan sebagai akibat penyakit epidemis oleh bakteri Vibrio alginolyticus.  Selain itu, dilaporkan juga bahwa pada area budidaya terdapat kopepoda parasit jenis Ergasilus sp. yang keberadaannya berhubungan erat dengan blooming populasi bakteri Vibrio alginolyticus.

Beberapa penelitian yang intensif kemudian dikembangkan untuk mencari apa sebenarnya yang menyebabkan kematian massal dari M. meretrix. Ho (1996) berhasil membuktikan bahwa kopepoda yang diberi nama genus  Ergasilus itu sebenarnya adalah kopepoda jenis Ostrincola koe Tanaka dari famili Mycolidae.  Hal ini berarti telah terjadi sinonim yaitu pemberian nama yang berbeda untuk jenis yang sebenarnya sama (satu jenis).   Kehadiran sejumlah individu O. koe (biasanya 30 individu) di rongga mantel kerang ternyata menyebabkan stress berat pada host.  Hal ini tidak hanya karena kehilangan sejumlah cairan tubuh, tapi juga luka akibat pelekatan kopepoda parasit tersebut secara kuat dengan menggunakan kait. Dengan kondisi ini kerang dengan mudah akan diserang oleh bakteri-bakteri patogen yang ada di perairan.  Hasil penelitian Wardianto  dkk. (2000) membuktikan bahwa di perairan laut akan selalu ditemukan bakteri-bakteri patogen seperti Vibrio, Salmonella dan Shigella.  Dari uraian di atas menjadi jelas bahwa kerang yang diparasiti oleh kopepoda akan mudah terkena infeksi berat bakteri patogen sehingga menimbulkan kematian massal pada area budidaya.

Pengetahuan mengenai hama dan penyakit pada kerang harus mendapat perhatian yang serius bila ingin melakukan pembudidayaan, terutama dengan memperhatikan kualitas perairan.  Menurut Dahuri (2002) masalah sanitasi yang paling banyak dikeluhkan konsumen adalah kontaminasi Salmonella sp., Vibrio parahaemolyticus dan Vibrio chorelae. Uni Eropah telah mensyaratkan bahwa semua kerang-kerangan yang diekspor ke negara-negara Uni Eropah harus bebas dari Escerichia coli dan bakteri-bakteri patogen.

Dengan adanya kualitas perairan yang baik maka keberadaan dan serangan dari hama dan penyakit akan dapat diminimalisasi. Khusus untuk Indonesia, penelitian mengenai hama dan penyakit pada kerang, khususnya pada M. meretrix merupakan suatu subjek yang perlu dikaji dan diteliti karena belum adanya laporan mengenai hal ini.

 

Penyediaan Benih

Penyediaan benih merupakan hal yang mutlak dilakukan untuk usaha pembudidayaan terutama karena terbatasnya benih dari alam.  Terkadang penyediaan benih dapat menjadi masalah yang besar untuk pembudidayaan.  Bila benih tersedia tidak cukup maka akan menimbulkan penurunan hasil panen.  Beberapa solusi untuk memecahkan masalah ini adalah dengan melakukan fertilisasi buatan  di hatchery, mengoleksi spat dari alam dan perlindungan habitat kerang.  Selain itu, lingkungan yang cocok merupakan hal yang penting, tidak hanya penting bagi penempelan/penempatan spat tapi juga sebagai sumber makanan bagi kerang dewasa.  Pengendapan lumpur selama musim hujan juga menjadi masalah yang perlu dimonitor supaya tidak terjadi kegagalan pembudidayaan (Vo dan Nguyen, 1998). 

Solusi pertama untuk menanggulangi masalah benih adalah melakukan perkawinan buatan (artificial breeding) di hatchery. Nugranad dkk. (2000) memberikan kemajuan yang berarti dalam hal ini karena telah berhasil memijahkan M. meretrix di hatchery.  Pemijahan (spawning) dirangsang dengan menginjeksikan senyawa serotonin ke dalam gonad induk betina,  pemijahan terjadi dalam waktu 1-30 menit setelah penginjeksian.  Dari tujuh wadah yang masing-masing berisi 19-49 induk kerang yang telah diinjeksi serotonin, 31-95 % diantaranya dapat memijah, 35-85% jantan dan 16-64% betina. Jumlah telur yang dipijahkan masing-masing induk berkisar antara 10 ribu sampai 2,8 juta butir.  Larva veliger muncul 16 jam setelah fertilisasi dan akan menghabiskan waktu 5-7 hari sebagai organisme planktonik, kemudian berkembang menjadi spat yang bersifat benthik dengan tingkat kelulushidupan antara 30-80%. Juvenil atau anakan akan memperlihatkan bentuk seperti individu dewasa setelah berumur 1,5 bulan dengan panjang cangkang 2-3 mm. Khusus untuk di Indonesia, usaha pengadaan benih M. meretrix pada skala hatchery belum pernah dilaporkan.

Solusi kedua dalam pengambilan larva dari alam dan memeliharanya dalam hatchery untuk selang waktu tertentu supaya tingkat kelulushidupannya meningkat sebelum larva menempati substrat.  Keuntungan dari metode ini adalah biaya yang rendah dan resiko yang lebih kecil dibanding dengan melakukan perkawinan buatan.  Namun hambatannya adalah bila kosenterasi sedimen (material tersuspensi) yang tinggi di perairan, maka akan menimbulkan kesulitan dalam pemisahan larva kerang.  Selain itu,  biasanya benih dari alam dapat ditemukan pada lokasi yang berubah-ubah sepanjang tahun.  Spat dapat dikoleksi dengan menggunakan jala dengan diameter kecil pada saat air pasang, lalu dipisahkan sesuai dengan ukurannya. Ukuran ini kemudian akan menentukan kepadatan stok, harga dan kualitas.  Dengan kepadatan 1000 ind./kg, kerang akan tumbuh menjadi 40 ind./ kg setelah 18 bulan dibudidayakan.

Masalah transportasi sebaiknya juga menjadi perhatian serius terutama bila jarak antara hatchery dengan lokasi pembudidayaan cukup jauh.  Poomtong dkk. (2000) menyarankan agar transportasi dari hatchery ke lokasi pembudidayaan tidak lebih dari 12 jam dengan suhu media diatur antara 25o-29oC.  Bila waktunya lebih lama dari 12 jam maka akan menyebabkan kematian pada kerang.

Solusi ketiga adalah dengan mengoleksi spat dari alam. Hanya saja jumlah spat yang terdapat di alam selalu berubah-ubah sepanjang tahun yang disebabkan oleh banyak hal antara lain dinamika populasi, perubahan kondisi  fisika-kimia air serta degradasi lingkungan.  Namun yang perlu dicatat adalah bahwa pembudidayaan tradisional sering terhalangi oleh tidak cukupnya suplai spat bila hanya mengandalkan dari alam dan harganyapun menjadi sangat tinggi.  Ini tentu akan menurunkan pendapatan para petani.  Vo dan Nguyen (1998) melaporkan bahwa harga spat dari Meretrix lyrata di Vietnam mencapat 0,8-0,9 dolar AS per kg.  Padahal dalam pertumbuhan lanjutnya spat ini masih menghadapi berbagai kendala antara lain adanya pengaruh air tawar yang menurunkan kadar garam selama musim hujan sehingga tingkat kelulushidupan menjadi rendah.

 

Manajemen dan Perlindungan

Menajemen yang baik mutlak diperlukan bagi pembudidayaan yang berkelanjutan.  Informasi yang diperlukan untuk membuat seperangkat aturan (undang-undang) oleh pihak-pihak terkait semestinya diberikan oleh institusi keilmuan sehingga kebijakan yang dikeluarkan menjadi tepat sasaran.  Beberapa aturan yang perlu untuk pembudidayaan M. meretrix antara lain adalah larangan penangkapan kerang selama musim memijah (spawning season) dan penetapan ukuran minimum yang dapat dipasarkan. Walaupun Kastoro (1995) melaporkan bahwa kebanyakan jenis bivalvia di daerah tropis seperti Anadara spp. dapat memijah sepanjang tahun, namun Vo (2000) menyarankan agar penangkapan kerang ini sebaiknya dilakukan pada bulan Juni sampai Oktober (musim hujan) yaitu di saat berlimpahnya makanan sehingga tercapainya kondisi optimum.  Selain itu, saat tersebut merupakan kondisi setelah terjadinya puncak masa perkawinan.

Berdasarkan karakter biologi yaitu tingkat kematangan gonad, maka ukuran minimum kerang Meretrix yang boleh ditangkap adalah 34-35 mm yaitu pada saat kerang telah menyelesaikan reproduksi pertamanya (Vo, 2000). Ukuran ini sebenarnya masih lebih kecil dari ukuran optimum yang dapat diperoleh karena ukuran tersebut masih dalam periode pertumbuhan cepat.  Selain itu ukuran panen ini juga dipengaruhi oleh petani sendiri dengan melihat kondisi fisika lingkungan, waktu pembudidayaan, pendapatan dan permintaan pasar. FAO (1995) mengeluarkan sejumlah peraturan untuk manajemen dan perlindungan terhadap Abalone, Haliotis tuberculata, yaitu dengan membatasi total penangkapan, perlindungan dan penutupan area, membatasi masa penangkapan, pembatasan metode penangkapan dan menetapkan ukuran minimum yang dapat dipasarkan. Sementara itu, pengamatan yang dilakukan terhadap ukuran kerang M. meretrix hasil  tangkapan petani di daerah Panimbang, Banten menunjukkan bahwa kerang yang dipanen adalah dari semua ukuran sehingga kerang berukuran >35 mm sangat jarang ditemukan dan waktu panen berlangsung sepanjang tahun. 

Beberapa aturan (undang-undang) yang yang diperlukan untuk melindungi keberadaan kerang M. meretrix agar tidak terjadi overexploitation dan pembatasan dalam ukuran kerang yang diambil belum tersedia di Indonesia.  Padahal untuk dapat menerapkan kebijakan pembangunan perikanan diperlukan instrumen hukum dan kelembagaan yang memadai.  Sampai saat ini semua pakar dan pengamat pembangunan perikanan dari dalam dan luar negeri berpendapat bahwa implementasi dan penegakan hukum (law enforcement) bidang perikanan di Indonesia masih lemah.  Hal ini tentu perlu diatasi dan dicarikan jalan keluarnya, sehingga tercipta kondisi yang menguntungkan semua pihak.

Kelahiran UU Nomor 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah (Otonomi Daerah) memberikan peluang dan wewenang kepada daerah untuk mengelola sumber daya kelautan dan perikanan. Jenis kewenangan mencakup pengaturan kegiatan eksplorasi, eksploitasi, konservasi dan pengelolaan sumber daya laut.  Kewenangan tersebut terwujud dalam bentuk pengaturan kepentingan administratif, pengaturan tata ruang, serta penegakan hukum.

Dari uraian di atas terlihat bahwa keefektifan dari peraturan yang dibuat sangat terbatas.  Ukuran panen dan musim penangkapan selama ini lebih ditentukan oleh petani sendiri dan pemintaan pasar.  Selain itu, manajemen yang efektif juga terhalang oleh kekurangan data sehingga beberapa peraturan yang dibuat tidak berhubungan dengan kenyataan. Hal ini dapat dilihat bahwa data dasar untuk jenis-jenis kerang komersil di Indonesia masih terbatas. Akan menjadi suatu kekeliruan yang besar bila aturan yang dipakai hanya mengacu pada literatur dari luar negeri. Sumbangan pemikiran dari para stakeholders sangat diperlukan untuk proses pembudidayaan yang ekonomis dan ekologis.

 

PENUTUP

Dari uraian di atas, berpedoman pada potensi dan tantangan yang ada, diyakini bahwa pembudidayaan M. meretrix di Indonesia mempunyai peluang yang besar dan prospek yang baik untuk dikembangkan, terutama karena kondisi alam yang mendukung dan tersedianya informasi-informasi yang dibutuhkan untuk hal tersebut.  Untuk itu kerjasama dari semua pihak (stakeholders) seperti peneliti/ilmuan, pengambil kebijakan (pemerintah), petani/nelayan dan pengusaha (swasta) dan Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) sangat diperlukan untuk memanfaatkan potensi yang ada tersebut.  Walaupun tulisan ini secara khusus membahas  budidaya kerang M. meretrix, namun  diharapkan dapat memberikan masukan bagi budidaya  kerang-kerangan pada umumnya.

 

DAFTAR PUSTAKA

 

Bengen, D. G.  2001.  Sinopsis Ekosistem dan Sumberdaya Alam Pesisir dan Laut.  Pusat Kajian Sumberdaya Pesisir dan Lautan. IPB, Bogor. 62p.

 

Carpenter, K.E. and V. H. Neim (eds). 1998.  FAO Species Identification Guide for Fisheries Purposes: The Living Marine Resources of The Western Central Pacific, Volume 1. Seaweeds, Coral, Bivalves and Gastropods. Rome, FAO. 689p.

 

Dahuri, R. 2002.  Membangun Kembali Perekonomian Indonesia Melalui Sektor Perikanan dan Kelautan.  Penerbit LISPI. Jakarta. 157p.

 

FAO.  1995.  Synopsis of Biological Data on The European Abalone, Haliotis tuberculata Linnaeus, 1758 (Gastropoda: Haliotidae).  FAO Fisheries Synopsis, no. 156. Roma.

 

Ho, J. S. 1996.  Myicolid Copepods and Mass Mortality of Culture Hard Clam Meretrix meretrix. Phuket Marine Biological Center Special Publication no 16 : 61-70

 

Ho,  J. S. 1998.  Cladistics  of Ostrincola (Copepoda), A Genus of Pest in Clam Culture. Phuket Marine Biological Center Special Publication 18 (2) : 237-242

 

Kastoro, W.W. 1995.  Reproductive Cycle of Cockle Anadara indica  (Gmelin) in Jakarta Bay.  Phuket Marine Biological Center Special Publication no. 15 : 75-78

 

Nguyen, H. P. 2000. Distribution and Yield of Commercial Gastropods and Bivalves (Mollusca) in Coastal Waters of Vietnam.  Phuket Marine Biological Center Special Publication 21 (1) : 175-178

 

Nguyen, T. B. N.  2000.  Culture and Maintenance of Microalgae for Mollusc Larviculture. Phuket Marine Biological Center Special Publication 21 (1) : 213-216

 

Nugranad, J., S. Noodang, W. Ratanachurdchai, K. Promjinda, S. Phonna and S. Chantara. 2000.  Breeding of The Orintal Hard Clam Meretrix meretrix. Phuket Marine Biological Center Special Publication 21 (1) : 203-210

 

Poomtong, T., J. Hugranad and Ratanachurdchai. 2000.  Mass Transportation of Live Marine Molluscs: Case Stories on Success and Failure. Phuket Marine Biological Center Special Publication 21 (1) : 247-252

 

Rudi, E.  2000.  Ekologi dan Makanan Kerang M. meretrix Linnaeus 1758. Makalah disampaikan dalam Seminar Hasil Penelitian Dosen  FMIPA Unsyiah.  Banda Aceh, Juni 2000.

 

Tandanavanij, S.  1996.  Culture of Cockle Anadara spp. on the West Coast of Southern Thailand. Phuket Marine Biological Center Special Publication no. 16 : 97-100

 

Vo, S.T.  2000. Status and Solutions for Farming and Management of the Hard Clam Meretrix lyrata at Go Cong Dong, Tien Giang Province, Vietnam. Phuket Marine Biological Center Special Publication 21 (1) : 167-170

 

Vo, S.T. and H. P. Nguyen.  1998.  Status of Bivalve Exploitation and Farming in The Coastal Waters of South Vietnam. Phuket Marine Biological Center Special Publication 18 (1) : 171-174

 

Wardianto, Y., M. Krisanti and P.L. Wahjuhardini. 2000. Occurrence of Bacteria in Cockles Anadara granosa Linnaeus in Jakarta Bay Indonesia. Phuket Marine Biological Center Special Publication 21 (1) : 151-158

 

 

 

Gambar-gambar

 

(1)

 

(2)

 

keterangan : (1) kerang Meretrix meretrix, (2) muara sungai Ciseukeut