ã 2002 Feti
Fatimah Posted
6 June 2002
Makalah Pengantar Falsafah
Sains (PPS702)
Program Pasca Sarjana / S3 -
Program Studi DAS
Instutut Pertanian Bogor
Juni 2002
Dosen :
Prof Dr. Ir. Rudy C Tarumingkeng (Penanggung Jawab)
FILSAFAT ILMU SEBAGAI LANDASAN PENGEMBANGAN
ILMU PENGETAHUAN ALAM
Oleh:
Feti
Fatimah
F-226010041
Epmail: fety29768@yahoo.com
1.Pendahuluan
Ditinjau dari segi historis, hubungan antara filsafat
dan ilmu pengetahuan mengalami perkembangan yang sangat menyolok. Pada
permulaan sejarah filsafat di Yunani, “philosophia” meliputi hampir seluruh
pemikiran teoritis. Tetapi dalam perkembangan ilmu pengetahuan dikemudian hari,
ternyata juga kita lihat adanya kecenderungan yang lain. Filsafat Yunani Kuno
yang tadinya merupakan suatu kesatuan kemudian menjadi terpecah-pecah (Bertens,
1987, Nuchelmans, 1982).
Lebih
lanjut Nuchelmans (1982), mengemukakan bahwa dengan munculnya ilmu pengetahuan
alam pada abad ke 17, maka mulailah terjadi perpisahan antara filsafat dan ilmu
pengetahuan. Dengan demikian dapatlah dikemukakan bahwa sebelum abad ke 17
tersebut ilmu pengetahuan adalah identik dengan filsafat. Pendapat tersebut
sejalan dengan pemikiran Van Peursen (1985), yang mengemukakan bahwa dahulu
ilmu merupakan bagian dari filsafat, sehingga definisi tentang ilmu bergantung
pada sistem filsafat yang dianut.
Dalam
perkembangan lebih lanjut menurut Koento Wibisono (1999), filsafat itu sendiri
telah mengantarkan adanya suatu konfigurasi dengan menunjukkan bagaimana “pohon
ilmu pengetahuan” telah tumbuh mekar-bercabang secara subur. Masing-masing
cabang melepaskan diri dari batang filsafatnya, berkembang mandiri dan
masing-masing mengikuti metodologinya sendiri-sendiri.
Dengan
demikian, perkembangan ilmu pengetahuan semakin lama semakin maju dengan
munculnya ilmu-ilmu baru yang pada akhirnya memunculkan pula sub-sub ilmu
pengetahuan baru bahkan kearah ilmu pengetahuan yang lebih khusus lagi seperti
spesialisasi-spesialisasi. Oleh karena itu tepatlah apa yang dikemukakan oleh
Van Peursen (1985), bahwa ilmu pengetahuan dapat dilihat sebagai suatu sistem
yang jalin-menjalin dan taat asas (konsisten) dari ungkapan-ungkapan yang sifat
benar-tidaknya dapat ditentukan.
Terlepas dari berbagai macam pengelompokkan atau
pembagian dalam ilmu pengetahuan, sejak F.Bacon (1561-1626) mengembangkan semboyannya “Knowledge Is Power”, kita
dapat mensinyalir bahwa peranan ilmu pengetahuan terhadap kehidupan manusia,
baik individual maupun sosial menjadi sangat menentukan. Karena itu implikasi
yang timbul menurut Koento Wibisono (1984), adalah bahwa ilmu yang satu sangat
erat hubungannya dengan cabang ilmu yang lain serta semakin kaburnya garis
batas antara ilmu dasar-murni atau teoritis dengan ilmu terapan atau praktis.
Untuk
mengatasi gap antara ilmu yang satu dengan ilmu yang lainnya, dibutuhkan suatu
bidang ilmu yang dapat menjembatani serta mewadahi perbedaan yang muncul. Oleh
karena itu, maka bidang filsafatlah yang mampu mengatasi hal tersebut. Hal ini
senada dengan pendapat Immanuel kant (dalam kunto Wibisono dkk., 1997) yang
menyatakan bahwa filsafat merupakan disiplin ilmu yang mampu menunjukkan batas-batas
dan ruang lingkup pengetahuan manusia secara tepat. Oleh sebab itu Francis
bacon (dalam The Liang Gie, 1999) menyebut filsafat sebagai ibu agung dari
ilmu-ilmu (the great mother of the
sciences).
Lebih
lanjut Koento Wibisono dkk. (1997) menyatakan, karena pengetahuan ilmiah atau ilmu merupakan “a higher level of
knowledge”, maka lahirlah filsafat ilmu
sebagai penerusan pengembangan filsafat pengetahuan. Filsafat ilmu sebagai
cabang filsafat menempatkan objek sasarannya: Ilmu (Pengetahuan). Bidang garapan
filsafat ilmu terutama diarahkan pada komponen-komponen yang menjadi tiang
penyangga bagi eksistensi ilmu yaitu: ontologi, epistemologi dan aksiologi. Hal
ini didukung oleh Israel Scheffler (dalam The Liang Gie, 1999), yang
berpendapat bahwa filsafat ilmu mencari
pengetahuan umum tentang ilmu atau tentang dunia sebagaimana ditunjukkan oleh
ilmu.
Interaksi
antara ilmu dan filsafat mengandung arti bahwa filsafat dewasa ini tidak dapat
berkembang dengan baik jika terpisah dari ilmu. Ilmu tidak dapat tumbuh dengan
baik tanpa kritik dari filsafat. Dengan mengutip ungkapan dari Michael Whiteman
(dalam Koento Wibisono dkk.1997), bahwa ilmu kealaman persoalannya dianggap
bersifat ilmiah karena terlibat dengan persoalan-persoalan filsafati sehingga
memisahkan satu dari yang lain tidak mungkin. Sebaliknya, banyak persoalan
filsafati sekarang sangat memerlukan landasan pengetahuan ilmiah supaya
argumentasinya tidak salah.
Berdasarkan
beberapa pendapat di atas serta dikaitkan dengan permasalahan yang penulis akan
jelajahi, maka penulisan ini akan
difokuskan pada pembahasan tentang: “Filsafat Ilmu Sebagai Landasan Pengembangan
Ilmu Pengetahuan Alam”, dengan pertimbangan bahwa latar belakang
pendidikan penulis adalah ilmu pengetahuan alam (MIPA – Kimia).
2. Pengertian Filsafat
Perkataan Inggris philosophy
yang berarti filsafat berasal dari kata Yunani “philosophia” yang lazim diterjemahkan sebagai cinta kearifan. Akar
katanya ialah philos (philia, cinta)
dan sophia (kearifan). Menurut
pengertiannya yang semula dari zaman Yunani Kuno itu filsafat berarti cinta
kearifan. Namun, cakupan pengertian sophia
yang semula itu ternyata luas sekali. Dahulu sophia tidak hanya berarti kearifan saja, melainkan meliputi pula
kebenaran pertama, pengetahuan luas, kebajikan intelektual, pertimbangan sehat
sampai kepandaian pengrajin dan bahkan kecerdikkan dalam memutuskan soal-soal
praktis (The Liang Gie, 1999).
Banyak pengertian-pengertian atau definisi-definisi
tentang filsafat yang telah dikemukakan oleh para filsuf. Menurut Merriam-Webster
(dalam Soeparmo, 1984), secara harafiah filsafat berarti cinta kebijaksanaan. Maksud
sebenarnya adalah pengetahuan tentang
kenyataan-kenyataan yang paling umum dan kaidah-kaidah realitas serta hakekat
manusia dalam segala aspek perilakunya seperti: logika, etika, estetika dan
teori pengetahuan.
Kalau menurut
tradisi filsafati dari zaman Yunani Kuno, orang yang pertama memakai istilah philosophia dan philosophos ialah Pytagoras (592-497 S.M.), yakni seorang ahli
matematika yang kini lebih terkenal dengan dalilnya dalam geometri yang
menetapkan a2 + b2 = c2. Pytagoras menganggap
dirinya “philosophos” (pencinta
kearifan). Baginya kearifan yang sesungguhnya hanyalah dimiliki semata-mata
oleh Tuhan. Selanjutnya, orang yang oleh para penulis sejarah filsafat diakui
sebagai Bapak Filsafat ialah Thales (640-546 S.M.). Ia merupakan seorang Filsuf
yang mendirikan aliran filsafat alam semesta atau kosmos dalam perkataan
Yunani. Menurut aliran filsafat kosmos, filsafat adalah suatu penelaahan
terhadap alam semesta untuk mengetahui asal mulanya, unsur-unsurnya dan
kaidah-kaidahnya (The Liang Gie, 1999).
Menurut sejarah
kelahiran istilahnya, filsafat terwujud sebagai sikap yang ditauladankan oleh
Socrates. Yaitu sikap seorang yang cinta kebijaksanaan yang mendorong pikiran
seseorang untuk terus menerus maju dan mencari kepuasan pikiran, tidak merasa
dirinya ahli, tidak menyerah kepada kemalasan, terus menerus mengembangkan
penalarannya untuk mendapatkan kebenaran (Soeparmo, 1984).
Timbulnya filsafat
karena manusia merasa kagum dan merasa heran. Pada tahap awalnya kekaguman atau
keheranan itu terarah pada gejala-gejala alam. Dalam perkembangan lebih lanjut,
karena persoalan manusia makin kompleks, maka tidak semuanya dapat dijawab oleh
filsafat secara memuaskan. Jawaban yang
diperoleh menurut Koento Wibisono dkk. (1997), dengan melakukan refleksi yaitu
berpikir tentang pikirannya sendiri. Dengan demikian, tidak semua persoalan itu
harus persoalan filsafat.
3. Filsafat Ilmu
Pengertian-pengertian tentang filsafat ilmu, telah
banyak dijumpai dalam berbagai buku maupun karangan ilmiah lainnya. Menurut The
Liang Gie (1999), filsafat ilmu adalah segenap pemikiran reflektif terhadap
persoalan-persoalan mengenai segala hal yang menyangkut landasan ilmu maupun
hubungan ilmu dengan segala segi dari kehidupan manusia. Filsafat ilmu
merupakan suatu bidang pengetahuan campuran yang eksistensi dan pemekarannya
bergantung pada hubungan timbal-balik
dan saling-pengaruh antara filsafat dan ilmu.
Sehubungan dengan pendapat tersebut serta sebagaimana
pula yang telah digambarkan pada bagian pendahuluan dari tulisan ini bahwa filsafat ilmu merupakan penerusan
pengembangan filsafat pengetahuan. Objek dari filsafat ilmu adalah ilmu
pengetahuan. Oleh karena itu setiap saat ilmu itu berubah mengikuti
perkembangan zaman dan keadaan tanpa meninggalkan pengetahuan lama. Pengetahuan
lama tersebut akan menjadi pijakan untuk mencari pengetahuan baru. Hal ini
senada dengan ungkapan dari Archie J.Bahm (1980) bahwa ilmu pengetahuan (sebagai teori) adalah sesuatu yang selalu
berubah.
Dalam perkembangannya filsafat ilmu mengarahkan
pandangannya pada strategi pengembangan ilmu yang menyangkut etik dan
heuristik. Bahkan sampai pada dimensi kebudayaan untuk menangkap tidak saja
kegunaan atau kemanfaatan ilmu, tetapi juga arti maknanya bagi kehidupan
manusia (Koento Wibisono dkk., 1997).
Oleh karena itu, diperlukan perenungan kembali secara
mendasar tentang hakekat dari ilmu pengetahuan itu bahkan hingga implikasinya
ke bidang-bidang kajian lain seperti ilmu-ilmu kealaman. Dengan demikian setiap
perenungan yang mendasar, mau tidak mau mengantarkan kita untuk masuk ke dalam
kawasan filsafat. Menurut Koento Wibisono (1984), filsafat dari sesuatu segi
dapat didefinisikan sebagai ilmu yang berusaha untuk memahami hakekat dari
sesuatu “ada” yang dijadikan objek sasarannya, sehingga filsafat ilmu
pengetahuan yang merupakan salah satu cabang filsafat dengan sendirinya
merupakan ilmu yang berusaha untuk memahami apakah hakekat ilmu pengetahuan itu
sendiri.
Lebih lanjut Koento Wibisono (1984), mengemukakan
bahwa hakekat ilmu menyangkut masalah keyakinan ontologik, yaitu suatu
keyakinan yang harus dipilih oleh sang ilmuwan dalam menjawab pertanyaan
tentang apakah “ada” (being, sein, het zijn) itu. Inilah awal-mula sehingga
seseorang akan memilih pandangan yang idealistis-spiritualistis, materialistis,
agnostisistis dan lain sebagainya, yang implikasinya akan sangat menentukan
dalam pemilihan epistemologi, yaitu cara-cara, paradigma yang akan diambil
dalam upaya menuju sasaran yang hendak dijangkaunya, serta pemilihan aksiologi
yaitu nilai-nilai, ukuran-ukuran mana yang akan dipergunakan dalam seseorang
mengembangkan ilmu.
Dengan memahami hakekat ilmu itu, menurut
Poespoprodjo (dalam Koento Wibisono, 1984), dapatlah dipahami bahwa
perspektif-perspektif ilmu, kemungkinan-kemungkinan pengembangannya,
keterjalinannya antar ilmu, simplifikasi dan artifisialitas ilmu dan lain
sebagainya, yang vital bagi penggarapan ilmu itu sendiri. Lebih dari itu,
dikatakan bahwa dengan filsafat ilmu, kita akan didorong untuk memahami
kekuatan serta keterbatasan metodenya, prasuposisi ilmunya, logika validasinya,
struktur pemikiran ilmiah dalam konteks dengan realitas in conreto sedemikian
rupa sehingga seorang ilmuwan dapat terhindar dari kecongkakan serta kerabunan
intelektualnya.
4. Filsafat Ilmu sebagai Landasan Pengembangan Pengetahuan Alam
Frank (dalam Soeparmo, 1984), dengan mengambil sebuah
rantai sebagai perbandingan, menjelaskan bahwa fungsi filsafat ilmu pengetahuan
alam adalah mengembangkan pengertian tentang strategi dan taktik ilmu pengetahuan alam. Rantai tersebut sebelum tahun
1600, menghubungkan filsafat disatu pangkal dan ilmu pengetahuan alam di ujung
lain secara berkesinambungan. Sesudah tahun 1600, rantai itu putus. Ilmu pengetahuan
alam memisahkan diri dari filsafat. Ilmu pengetahuan alam menempuh jalan
praktis dalam menurunkan hukum-hukumnya. Menurut Frank, fungsi filsafat ilmu
pengetahuan alam adalah menjembatani putusnya rantai tersebut dan menunjukkan
bagaimana seseorang beranjak dari pandangan common
sense (pra-pengetahuan) ke prinsip-prinsip umum ilmu pengetahuan alam. Filsafat
ilmu pengetahuan alam bertanggung jawab untuk membentuk kesatuan pandangan
dunia yang di dalamnya ilmu pengetahuan
alam, filsafat dan kemanusian mempunyai hubungan erat.
Sastrapratedja
(1997), mengemukakan bahwa ilmu-ilmu alam secara fundamental dan struktural
diarahkan pada produksi pengetahuan teknis dan yang dapat digunakan. Ilmu
pengetahuan alam merupakan bentuk refleksif (relefxion form) dari proses belajar yang ada dalam struktur
tindakan instrumentasi, yaitu tindakan yang ditujukan untuk mengendalikan
kondisi eksternal manusia. Ilmu pengetahuan alam terkait dengan kepentingan
dalam meramal (memprediksi) dan mengendalikan proses alam. Positivisme
menyamakan rasionalitas dengan rasionalitas teknis dan ilmu pengetahuan dengan
ilmu pengetahuan alam.
Menurut Van Melsen
(1985), ciri khas pertama yang menandai ilmu alam ialah bahwa ilmu itu
melukiskan kenyataan menurut aspek-aspek yang mengizinkan registrasi inderawi yang langsung. Hal kedua yang penting mengenai
registrasi ini adalah bahwa dalam keadaan ilmu alam sekarang ini registrasi itu
tidak menyangkut pengamatan terhadap benda-benda dan gejala-gejala alamiah,
sebagaimana spontan disajikan kepada kita. Yang diregistrasi dalam eksperimen adalah cara benda-benda
bereaksi atas “campur tangan” eksperimental kita. Eksperimentasi yang aktif itu
memungkinkan suatu analisis jauh lebih teliti terhadap banyak faktor yang dalam
pengamatan konkrit selalu terdapat bersama-sama. Tanpa pengamatan eksperimental kita tidak akan tahu menahu tentang
elektron-elektron dan bagian-bagian elementer lainnya.
Ilmu pengetahuan
alam mulai berdiri sendiri sejak abad ke 17. Kemudian pada tahun 1853, Auguste
Comte mengadakan penggolongan ilmu pengetahuan. Pada dasarnya penggolongan ilmu
pengetahuan yang dilakukan oleh Auguste Comte (dalam Koento Wibisono, 1996),
sejalan dengan sejarah ilmu pengetahuan itu sendiri, yang menunjukkan bahwa
gejala-gejala dalam ilmu pengetahuan yang paling umum akan tampil terlebih
dahulu. Dengan mempelajari gejala-gejala
yang paling sederhana dan paling umum secara lebih tenang dan rasional, kita
akan memperoleh landasan baru bagi ilmu-ilmu pengetahuan yang saling berkaitan
untuk dapat berkembang secara lebih cepat. Dalam penggolongan ilmu
pengetahuan tersebut, dimulai dari Matematika, Astronomi, Fisika, Ilmu Kimia,
Biologi dan Sosilogi. Ilmu Kimia diurutkan dalam urutan keempat.
Penggolongan
tersebut didasarkan pada urutan tata jenjang, asas ketergantungan dan ukuran
kesederhanaan. Dalam urutan itu, setiap ilmu yang terdahulu adalah lebih tua
sejarahnya, secara logis lebih sederhana dan lebih luas penerapannya daripada
setiap ilmu yang dibelakangnya (The Liang Gie, 1999).
Pada
pengelompokkan tersebut, meskipun tidak dijelaskan induk dari setiap ilmu
tetapi dalam kenyataannya sekarang bahwa fisika, kimia dan biologi adalah
bagian dari kelompok ilmu pengetahuan alam.
Ilmu kimia adalah
suatu ilmu yang mempelajari perubahan materi serta energi yang menyertai
perubahan materi. Menurut ensiklopedi ilmu (dalam The Liang Gie, 1999), ilmu
kimia dapat digolongkan ke dalam beberapa sub-sub ilmu yakni: kimia an organik,
kimia organik, kimia analitis, kimia fisik serta kimia nuklir.
Selanjutnya Auguste Comte (dalam Koento Wibisono,
1996) memberi efinisi tentang ilmu kimia sebagai “… that it relates to the law of the phenomena of composition and
decomposition, which result from the molecular and specific mutual action of
different subtances, natural or artificial” ( arti harafiahnya kira-kira
adalah ilmu yang berhubungan dengan hukum gejala komposisi dan dekomposisi dari
zat-zat yang terjadi secara alami maupun sintetik). Untuk itu pendekatan yang
dipergunakan dalam ilmu kimia tidak saja melalui pengamatan (observasi) dan
percobaan (eksperimen), melainkan juga dengan perbandingan (komparasi).
Jika melihat dari sejarah perkembangan ilmu
pengetahuan alam, pada mulanya orang tetap mempertahankan penggunaan
nama/istilah filsafat alam bagi ilmu pengetahuan alam. Hal ini dapat dilihat
dari judul karya utama dari pelopor ahli kimia yaitu John Dalton: New Princiles of Chemical Philosophy.
Berdasarkan hal tersebut maka sangatlah beralasan
bahwa ilmu pengetahuan alam tidak terlepas dari hubungan dengan ilmu induknya
yaitu filsafat. Untuk itu diharapkan uraian ini dapat memberikan dasar bagi
para ilmuan IPA dalam merenungkan kembali sejarah perkembangan ilmu alam dan
dalam pengembangan ilmu IPA selanjutnya.
5. Kesimpulan
Berdasarkan uraian di atas,
maka disimpulkan bahwa filsafat ilmu sangatlah tepat dijadikan landasan
pengembangan ilmu khususnya ilmu pengetahuan alam karena kenyataanya, filsafat merupakan induk dari ilmu
pengetahuan alam.
DAFTAR PUSTAKA
Bahm,
Archie, J., 1980., “What Is Science”, Reprinted from my Axiology; The Science Of Values;
44-49, World Books, Albuquerqe, New Mexico, p.1,11.
Bertens, K., 1987., “Panorama Filsafat Modern”,
Gramedia Jakarta, p.14, 16, 20-21, 26.
Koento Wibisono S. dkk., 1997., “Filsafat
Ilmu Sebagai Dasar Pengembangan Ilmu Pengetahuan”, Intan Pariwara,
Klaten, p.6-7, 9, 16, 35, 79.
Koento Wibisono S., 1984., “Filsafat Ilmu Pengetahuan Dan
Aktualitasnya Dalam Upaya Pencapaian Perdamaian Dunia Yang Kita Cita-Citakan”,
Fakultas Pasca Sarjana UGM Yogyakarta p.3, 14-16.
____________________.,
1996., “Arti Perkembangan Menurut Filsafat Positivisme Auguste Comte”,
Cet.Ke-2, Gadjah Mada University Press Yogyakarta, p.8, 24-26, 40.
____________________.,
1999., “Ilmu Pengetahuan Sebuah Sketsa Umum Mengenai Kelahiran Dan
Perkembangannya Sebagai Pengantar Untuk Memahami Filsafat Ilmu”,
Makalah, Ditjen Dikti Depdikbud – Fakultas Filsafat UGM Yogyakarta, p.1.
Nuchelmans,
G., 1982., “Berfikir Secara Kefilsafatan: Bab X, Filsafat Ilmu Pengetahuan Alam,
Dialihbahasakan Oleh Soejono Soemargono”, Fakultas Filsafat – PPPT UGM
Yogyakarta p.6-7.
Sastrapratedja,
M., 1997., “Beberapa Aspek Perkembangan Ilmu Pengetahuan”, Makalah, Disampaikan Pada Internship Filsafat Ilmu Pengetahuan,
UGM Yogyakarta 2-8 Januari 1997, p.2-3.
Soeparmo,
A.H., 1984., “Struktur Keilmuwan Dan Teori Ilmu Pengetahuan Alam”, Penerbit
Airlangga University Press, Surabaya, p.2, 11.
The
Liang Gie., 1999., Pengantar Filsafat Ilmu”, Cet. Ke-4, Penerbit Liberty
Yogyakarta, p.29, 31, 37, 61, 68, 85, 93, 159, 161.
Van
Melsen, A.G.M., 1985., “Ilmu Pengetahuan Dan Tanggung Jawab,
Diterjemahkan Oleh K.Bartens”, Gramedia Jakarta, p.16-17, 25-26.
Van
Peursen, C.A., 1985., “Susunan Ilmu Pengetahuan Sebuah Pengantar
Filsafat Ilmu, Diterjemahkan Oleh J.Drost”, Gramedia Jakarta, p.1, 4, 12.