© 2002  M. Arief Soendjoto                                                     Posted:  21 March 2002   [rudyct] 

Makalah Falsafah Sains (PPs 702)   

Program Pasca Sarjana / S3

Institut Pertanian Bogor

Maret  2002

 

Dosen:

Prof Dr Ir Rudy C Tarumingkeng (Penanggung Jawab)

 

 

PERSEBARAN  BEKANTAN (Nasalis larvatus) DI KALIMANTAN SELATAN

DAN MASALAH PELESTARIANNYA

 

 

 

Oleh:

 

MOCHAMAD ARIEF SOENDJOTO

IPK  E016010041

E-mail: asoendjoto@telkom.net

 

 

Pendahuluan

           Bekantan (Nasalis larvatus) merupakan spesies primata bukan-manusia yang unik dan dikategorikan dimorfisme seksual. Primata diurnal ini endemik Borneo (Kalimantan, Sabah, Serawak, Brunei Darussalam). Tubuhnya berwarna coklat kekuningan atau coklat kemerahan; kadang-kadang orang menyebut warna tubuhnya jingga atau oranye. Jantan tidak hanya memiliki tubuh yang ukurannya lebih besar daripada betina tetapi memiliki hidung berbentuk khas yang berbeda dari hidung betina. Hidung si jantan berbentuk seperti umbi menggantung dan berukuran panjang, sedangkan hidung si betina mancung saja, seperti layaknya hidung manusia. Karena warna tubuh dan bentuk hidung demikian, masyarakat sering menyebut bekantan ini kera belanda.

Primata ini termasuk satwa dilindungi. Di Indonesia, status lindung itu diberlakukan bahkan sejak jaman pemerintahan kolonial Hindia Belanda. Peraturan perundang-undangan yang menunjukkan status bekantan dan perlakuan terhadapnya adalah Peraturan Perlindungan Binatang Liar No. 266 Tahun 1931, UU No. 5 Tahun 1990, SK Menteri Kehutanan No. 301/Kpts-II/1991 (10 Juni 1991), SK Menteri Kehutanan No. 882/Kpts-II/1992 (08 Spetember 1992), dan PP No. 7 Tahun 1999. Secara internasional, primata ini dikategorikan rentan dalam IUCN (International Union for Conservation of Nature and Natural Resources) Red Data Book dan dimasukkan ke dalam Appendix I CITES (Convention on International Trade in Endangered Spesies of Wild Flora and Fauna).

Bekantan ditetapkan oleh Pemerintah Provinsi Kalimantan Selatan sebagai satwa maskot atau satwa identitas propinsi. Penetapannya berdasarkan SK Gubernur Kepala Daerah Tingkat I Kalimantan Selatan No. 29, tanggal 16 Januari 1990 tentang Penetapan Identitas Daerah Propinsi Tingkat I Kalimantan Selatan serta disetujui DPRD Tingkat I Kalimantan Selatan yang dituangkan di dalam Persetujuan DPRD No. 162/112/DPRD, tanggal 28 Maret 1990. Penetapan bekantan sebagai maskot provinsi pada waktu itu membanggakan dan cukup beralasan. Di Kalimantan Selatan terdapat Cagar Alam Pulau Kaget yang dikenal sebagai habitat bekantan dan dijadikan obyek jual industri wisata di pasar internasional. Cagar alam ini masuk ke dalam wilayah administrasi Kabupaten Barito Kuala, salah satu dari 11 kabupaten/kota di Provinsi Kalimantan Selatan. Letaknya di muara Sungai Barito, berjarak sekitar 17 km dan mudah dijangkau (walaupun dengan menyusuri Sungai Barito) dari Banjarmasin, ibukota provinsi.

Namun, penetapan itu terkesan sia-sia setelah peranggasan rambai (Sonneratia caseolaris) terjadi di cagar alam pada akhir tahun 1995. Peranggasan diawali dengan rontoknya hijauan (daun, buah, bunga) pada individu-individu pohon rambai, terutama yang tumbuh di bagian barat daya cagar alam. Proses ini berangsur-angsur dialami oleh individu-individu pohon rambai lainnya dan akhirnya mematikan semua pohon rambai di cagar alam. Karena daun muda dan buah rambai merupakan pakan utama bagi bekantan serta pepohonan rambai merupakan komponen habitat penting untuk pengekspresian perilaku primata arboreal ini, peranggasan rambai cenderung dianggap sebagai proses pemunahan bekantan.

Peranggasan rambai dan proses pemunahan bekantan diberitakan sangat gencar oleh media massa dan gaungnya sampai ke dunia internasional. Pemberitaan berdampak positif dan sekaligus negatif (Soendjoto et al. 2001). Dampak positifnya adalah bahwa 1) pemerintah dan masyarakat menyadari bahwa mereka harus segera bertindak merehabilitasi habitat demi kelestarian bekantan dan 2) semakin banyak masyarakat yang mengetahui bahwa bekantan merupakan salah satu satwa yang dilindungi. Dampak negatifnya adalah 1) munculnya pendapat pada sebagian masyarakat bahwa bekantan hanya dapat bertahan hidup di hutan yang ditumbuhi rambai; hal ini tampaknya merupakan konsekuensi dari interpretasi keliru tentang sumber pakan utama bagi bekantan dan 2) karena perhatian difokuskan pada bekantan di Cagar Alam Pulau Kaget, bekantan yang menghuni kawasan atau habitat di luar cagar alam tersebut cenderung diabaikan.

Dampak negatif tersebut tentu menyesatkan dan harus segera diluruskan. Kenyataan menunjukkan bahwa bekantan dapat ditemukan pada berbagai tipe hutan atau tipe habitat, tidak hanya hidup di hutan yang ditumbuhi rambai saja. Kedua, populasi bekantan di luar Cagar Alam Pulau Kaget juga harus diperhatikan serius dan tidak boleh diabaikan begitu saja, jika kita tidak ingin menyaksikan kepunahan primata endemik ini. 

Persebaran Bekantan

           Tipe hutan yang merupakan habitat persebaran bekantan secara umum telah diketahui, yaitu hutan mangrove, hutan tepi-sungai dan hutan rawa gambut ((lihat Bennett 1988, Alikodra 1997, Boonratana 2000). Hal ini didukung dengan laporan-laporan penelitian. Status bekantan, perilaku makan, perilaku menjelajah, dan penggunaan habitat diteliti oleh Salter et al. (1985) dan Bennet (1988) di hutan rawa gambut Sarawak, sedangkan ekologi dan organisasi sosialnya diteliti oleh Bennett & Sebastian (1988) di hutan pantai campuran Suaka Margasatwa Samunsam (Sarawak). Organisasi sosial, pola asosiasi antar-grup, perilaku seksual, perilaku antipredator, perilaku mencari pakan, kepadatan populasi, ukuran grup bekantan diteliti oleh Yeager (1989, 1990a, 1990b, 1991a, 1991b, 1992a, 1992b, 1993), dan Yeager & Blondal (1992) di hutan rawa gambut dan asosiasi mangrove/nipah Taman Nasional Tanjung Puting (Kalimantan Tengah). Perilaku-makan bekantan dipelajari oleh Woods (1995) di lahan basah Suaka Margasatwa Danau Sentarum (Kalimantan Barat). Kondisi populasi, sosioekologi, dan ekologi-makan bekantan diteliti oleh Bismark (1987, 1994, 1995) di hutan mangrove Taman Nasional Kutai (Kalimantan Timur). Bekantan di Cagar Alam Pulau Kaget (Kalimantan Selatan) yang merupakan hutan mangrove menjadi obyek penelitian mahasiswa Fakultas Kehutanan, Institut Pertanian Bogor dan terutama Fakultas Kehutanan, Universitas Lambung Mangkurat. Di cagar alam ini, Soendjoto et al. (1998a) membahas kondisi tiga jenis primata penghuni cagar alam (bekantan, monyet ekor-panjang Macaca fascisularis, lutung hitam Trachypithecus cristatus) dan keanekaragaman satwa lainnya, sedangkan Soendjoto et al. (1998b) menelaah vegetasi di cagar alam dan kemungkinan penyebab peranggasan rambai.

           Di Kalimantan Selatan, terdapat lima kawasan konservasi lainnya, selain Cagar Alam Pulau Kaget, yang dihuni oleh bekantan (lihat Tabel 1). Kelima kawasan itu adalah Cagar Alam Teluk-Kelumpang Selat-Laut Selat-Sebuku yang terletak di wilayah administrasi Kabupaten Kotabaru, Cagar Alam Gunung Kentawan di wilayah Kabupaten Hulu Sungai Selatan, Suaka Margasatwa Pleihari Tanah Laut di wilayah Kabupaten Tanah Laut, Taman Wisata Alam Pulau Kembang di wilayah Kabupaten Barito Kuala, serta Taman Hutan Raya Sultan Adam  di wilayah Kabupaten Banjar, Tapin dan Tanah Laut. Walaupun pada dasarnya kelima kawasan konservasi ini memiliki tipe hutan atau tipe habitat relatif berbeda, penelitian terhadap bekantan penghuninya sangat jarang atau bahkan belum pernah dilakukan intensif. Kegiatan yang pernah atau selama ini dilakukan di kawasan-kawasan konservasi tersebut hanya sebatas inventarisasi dan pemantauan saja; pelaksana kegiatan adalah Balai Konservasi Sumber Daya Alam (BKSDA) Kalimantan Selatan atau lembaga lain yang bekerja sama dengan BKSDA.

 

Tabel 1. Kawasan konservasi di Kalimantan Selatan dan keberadaan bekantan di dalamnya

 

No.

Jenis dan nama kawasan konservasi

SK Penetapan

Luas (ha)

Tipe hutan/habitat

Bekantan dijumpai

A

Kawasan Suaka Alam

 

 

 

 

1

CA Teluk-Kelumpang, Selat-Laut, Selat-Sebuku

SK Menteri Kehutanan No. 329/Kpts-II/1987, 14-10-1987

66.650

Mangrove

Ya

2

CA Pulau Kaget

SK Menteri Pertanian No. 701/Kpts/ Um/11/1976, 06-11-1976 jo. SK Menteri Kehutanan & Perkebunan No. 337/Kpts-II/ 1999, 24-05-1999

63,60

Mangrove

Ya

3

CA Gunung Kentawan

SK Menteri Kehutanan & Perkebunan No. 336/Kpts-II/ 1999, 24-05-1999

257,90

Pegunungan

Ya

4

SM Pleihari Tanah Laut

SK Menteri Kehutanan No. 695/Kpts/ II/1991, 11-10-1991

6.000

Pantai, rawa air tawar, mangrove,

Ya

B

Kawasan Pelestarian Alam

 

 

 

 

5

TWA Pulau Kembang

SK Menteri Pertanian No. 780/Kpts/ Um/12/11976, 27-12-1976

60

Mangrove

Ya

6

TWA Pleihari Tanah Laut

SK Menteri Kehutanan No. 695/Kpts/ II/1991, 11-10-1991

1.500

Pantai, mangrove, rawa air tawar

?

7

Tahura Sultan Adam

Keppres No. 52/1989, 18-10-1989

112.000

Pegunungan

Ya

Sumber: BKSDA V 1998/1999

Keterangan:

CA = Cagar Alam; SM = Suaka Margasatwa; TWA = Taman Wisata Alam; Tahura = Taman Hutan Raya; SK = Surat Keputusan

 

           Bekantan ternyata juga dapat dijumpai di hutan atau habitat yang tidak termasuk kawasan konservasi (Tabel 2). Yang menarik dari persebarannya di luar kawasan konservasi adalah bahwa bekantan tidak hanya menghuni hutan rawa gambut, hutan mangrove, dan hutan tepi-sungai saja. Soendjoto et al. (2000a) dan Soendjoto et al. (2000b) bahkan menjumpai populasi bekantan yang mampu beradaptasi dan hidup di hutan rawa galam yang alami dan di hutan karet yang berkembang dari kebun budidaya.

Hutan rawa galam merupakan hutan rawa air tawar yang didominasi oleh spesies tumbuhan galam (Melaleuca cajuputi syn. M. leucadendron). Spesies tumbuhan berkayu ini tumbuh alami dan mampu beradaptasi dengan kondisi lingkungan yang relatif ekstrim (air masam, tanah miskin hara, dan mudah terbakar terutama pada musim kemarau). Pendominasian spesies tumbuhan yang bisa mencapai tinggi 15 m dan diameter batang (setinggi dada) 30 cm ini menjadikannya dikenal sebagai tumbuhan khas di lahan rawa. Soendjoto et al. (2000a) mencatat bahwa pakan bekantan di habitat ini adalah pucuk daun galam, kelakai (Stenochlaena palustris), dan piai (Acrostichum aureum).

 

Tabel 2. Persebaran bekantan di hutan/habitat yang tidak termasuk kawasan konservasi di Kalimantan Selatan

 

No.

Tipe hutan/habitat

Kabupaten

Lokasi

1

Mangrove

Barito Kuala

Tatah Maiti/Paundangan

Banjar

Kec. Aluh-aluh: Desa Muara Puduk

Kotabaru

Pulau Anak Burung

2

Rawa air tawar

Barito Kuala

Kec. Kuripan: Sungai Tabatan

Tapin

 

Pulau Kadap, Hutan/lahan di sebelan kiri dan kanan jalan angkutan-batubara (sepanjang ± 30 km) yang menghubungkan ruas jalan Banjarbaru-Rantau dengan Sungai Negara

Hulu Sungai Selatan

Desa Balimau, Danau Bangkau

3

Tepi-sungai

Barito Kuala

Kec. Anjir Muara: Pulau Bakut; Kec. Belawang: Simpang Papan, Desa Bambangin; Kec. Kuripan: antara Sungai Tabatan dan Desa Jambu; Kec. Marabahan: antara Muara Pulau dan Desa Palingkau

Tabalong

Kec. Jaro: Hutan Lindung Batu Kumpai

Tanah Laut

Sungai Kintap, Sungai Asam-asam

Tapin

Sungai Tapin

Kotabaru

Sungai Satui, Sungai Kusan

4

Rawa galam

Barito Kuala

Kec. Tabunganen: hutan antara Desa Tanggul Rejo dan Desa Beringin Kencana; Kec. Tamban:  Desa Koanda; Kec. Marabahan: antara Desa Barambai Kolam Kiri dan Desa Antar Jaya

Tapin

Pulau Pinang, Sungai Puting, Margasari

5

Kebun karet

Tabalong

Kec. Muara Uya: Desa Simpang Layung, Desa Uwie, Desa Binjai, Desa Salikung, Desa Pasar Batu, Desa Mangkupum; Kec. Upau: Desa Kaong, Desa Bilas; Kec. Haruai: Desa Batu Pulut; Kec. Murung Pudak: Desa Jaing Hilir; Kec. Tanta: Desa Tanta

Keterangan:

Diolah dari Soendjoto et al. (2000a), Soendjoto et al. (2000b) dan amatan penulis. Diperkirakan masih banyak persebaran bekantan yang belum didata/didokumentasikan. Lokasi-lokasi lain di tujuh kabupaten yang disebutkan pada tabel dan di tiga kabupaten/kota lainnya (yaitu Banjarbaru, Hulu Sungai Utara, Hulu Sungai Tengah) belum pernah penulis kunjungi.

 

Hutan karet adalah hutan yang didominasi oleh tumbuhan karet (Hevea brasiliensis). Masyarakat setempat menggunakan istilah “kebun karet” untuk menyebut lahan yang ditanami karet. Penyebutan ini wajar, karena memang karet merupakan tanaman budidaya. Dalam perkembangan perladangan berpindah, tanaman karet merupakan tanda bahwa sebidang lahan sudah dikuasai dan dikelola oleh seseorang. Namun, agar kebun karet (istilah masyarakat) tidak dirancukan dengan kondisi kebun karet yang sebenarnya (dalam hal ini adalah lahan yang ditanami karet melulu dengan komposisi tanaman seumur, seperti yang diusahakan oleh perusahaan perkebunan karet), Soendjoto et al. (2000b) menyebut “kebun karet” (istilah masyarakat) itu hutan karet. Alasannya adalah bahwa

1)      tumbuhan yang tumbuh di “kebun” cenderung heterogen, walaupun karet masih mendominasi; tumbuhan lain yang tumbuh antara lain loa (Ficus glomerata), rambung (F. elastica), kujajing (F. fistulosa), langsat (Lansium domesticum), pampakin (Durio kutejensis), kluwek (Pangium edule), sungkai (Peronema canescens), singkuang (Dracontomelon costatum) dan rarawa (Buchanania arborescens).

2)      komposisi karet tidak seumur; dengan kata lain tingkat pertumbuhannya terdiri atas semai (tumbuhan yang tingginya lebih kecil atau sama dengan 2 m), pancang (tinggi lebih besar 2 m dan diameter batang lebih kecil 10 cm), tiang (diameter batang 10-20 cm) dan pohon (diameter batang lebih  besar 20 cm), 

3)      umur rerata “kebun” di atas 40 tahun, sehingga secara alami “kebun” membentuk suksesi hutan.

Pakan bekantan di hutan karet antara lain adalah pucuk daun karet, rambung dan bebuahan (seperti loa, kluwek, kujajing).

Pelestarian dan Masalahnya

           Walaupun kawasan konservasi telah ditetapkan dan bekantan dinyatakan sebagai primata dilindungi, kelestarian bekantan ternyata tetap memprihatinkan. Pelestarian primata ini dihadapkan pada masalah yang mengancam dan merusak keberadaan habitat serta masalah yang secara langsung mematikan individu bekantan. Masalah terjadi di dalam maupun di luar kawasan konservasi. Contoh-contoh kasusnya adalah sebagai berikut.

Pertama, beberapa bagian hutan mangrove Cagar Alam Teluk-Kelumpang Selat-Laut Selat-Sebuku dikonversi secara legal untuk kawasan industri (seperti pabrik semen di Tajun) dan dibuka secara tak-legal untuk pertambakan (misal di Pulau Suwangi, Pulau Burung) atau untuk prasarana pendukung usaha masyarakat (seperti pelabuhan untuk suplai logistik di Pulau Soren). Beberapa bagian hutan mangrove lain dipinjam-pakaikan oleh Departemen Kehutanan untuk kegiatan pelabuhan pengangkutan batubara kepada perusahaan penambangan batubara, seperti yang terjadi di bagian barat laut Pulau Sebuku dan Desa Air Tawar.

Kedua, pengkonversian hutan mangrove untuk pertambakan terjadi juga di hutan mangrove yang membentang antara Pedada Tua dan Kuala Lupak, Kabupaten Barito Kuala pada pertengahan tahun 2000. Hutan yang posisinya di sebelah barat muara Sungai Barito ini dihuni oleh bekantan, monyet ekor-panjang dan lutung hitam. Walaupun menurut Keppres No. 32 Tahun 1990 tentang Pengelolaan Kawasan Lindung, hutan mangrove ini termasuk kawasan lindung berhutan bakau atau sempadan pantai, pembukaan hutan ini tetap dilakukan dan sempat menimbulkan kericuhan. Pembukaan hutan dilakukan oleh sekelompok masyarakat pendatang serta atas ijin salah seorang Kepala Desa di Kecamatan Tabunganen dan salah satu dinas terkait di Pemerintah Kabupaten Barito Kuala. Namun, masyarakat Desa Kuala Lupak tidak menyetujuinya. Alasannya adalah bahwa 1) hutan mangrove yang dibuka masuk ke dalam wilayah Desa Kuala Lupak dan 2) pengkonversian hutan mangrove menjadi tambak sangat merugikan nelayan kecil yang tidak memiliki perahu bermotor dan yang mata pencahariannya semata-mata hanya sebagai penangkap ikan dan kepiting hutan mangrove.

Ketiga, pengkonversian dan pemanfaatan habitat untuk kepentingan lain terjadi pada hutan galam, padahal hutan galam itu merupakan habitat bekantan. Di Tabunganen dan Koanda, hutan galam yang menjadi habitatnya cenderung dikonversi untuk persawahan. Di Margasari, hutan galam dieksploitasi kayunya untuk bahan baku industri penggergajian (papan, balok, reng) dan cerucuk (fondasi bangunan dan rumah di lahan rawa). Bekantan pun akhirnya “terjepit” dan semakin terisolasi. Sebagian hutan galam memang merupakan hutan negara dan sebagian lainnya merupakan lahan yang telah dikuasai oleh masyarakat (melalui program transmigrasi atau hak adat). Selama batas yang mengelilingi hutan negara atau lahan yang dikuasai oleh masyarakat jelas tanda-tandanya, pengkonversian dan pemanfaatan hutan galam yang dikuasai oleh masyarakat masih bisa ditoleransi. Namun, selama tanda-tanda batas menjadi tidak jelas, tidak mustahil hutan negara berubah menjadi lahan adat atau lahan perorangan masyarakat. Apabila sudah demikian adanya, pengrusakan habitat bekantan oleh masyarakat semakin besar dan pemunahan bekantan tinggal menunggu waktu saja.

Keempat, letak lokasi pelestarian yang tidak menguntungkan, seperti yang terjadi di Cagar Alam Pulau Kaget dan Taman Wisata Alam Pulau Kembang. Kedua kawasan konservasi terletak di alur Sungai Barito dan cenderung untuk mengalami kerusakan dan terkena cemaran. Pulau Kembang dikelilingi oleh sejumlah pabrik (kayu lapis, penggergajian, lem, minyak kepala), pelabuhan muat batubara, pelabuhan Trisakti Banjarmasin dan permukiman. Aktivitas-aktivitas di sekitar Pulau Kembang ini menghasilkan cemaran yang berupa limbah cair (seperti bahan bakar minyak) dan limbah padat (seperti sampah domestik) serta meningkatkan derajad kebisingan yang mengganggu satwa. Banyak industri tidak memiliki instalasi pengolahan air limbah (IPAL) dan pengawasan pemerintah terhadap pengolahan limbah tidak dilakukan sebagaimana mestinya. Pepohonan di tepi pulau sering dipergunakan sebagai patok pengikat kapal dan tongkang. Sementara itu, Pulau Kaget dikelilingi permukiman dan persawahan. Intensitas lalu lintas sarana transportasi air di alur sungai sekitarnya cukup tinggi; sarana transportasi air yang melewati alur di sekitar cagar alam antara lain kapal penumpang Banjarmasin-Surabaya, kapal barang, tongkang pengangkut batu bara, perahu bermesin milik masyarakat. Letak cagar alam yang berada di muara Sungai Barito dan pengaruh pasang surut air laut menjadikan cagar alam sebagai lokasi penumpukan cemaran. Ketika surut, air yang membawa cemaran (limbah cair dan padat) mengalir ke hilir dan pasti melewati atau ke arah pulau. Namun, ketika pasang, air pun mengalir kembali ke arah hulu dan pasti melewati pulau. Akibatnya, cemaran menumpuk di pulau ini.

Kelima, hal yang sama terjadi pada bekantan yang menghuni hutan tepi-sungai dan hutan karet. Selama ini, hutan tepi-sungai dan hutan karet pada umumnya dikuasai oleh masyarakat. Sumber pakan bagi bekantan di hutan tepi-sungai antara lain waru (Hibiscus tiliaceus), panggang (Ficus microcarpa), dan jingah (Gluta renghas). Ancaman muncul apabila lahan hutan tepi-sungai dijual kepada pihak lain. Pihak pembeli tentunya akan dengan mudah mengubah pemanfaatan lahan sesuai dengan kehendaknya. Pada hutan karet, ancaman tetap muncul, walaupun hutan karet tetap diusahakan sebagai penghasil karet. Penggantian tanaman karet yang dilakukan dengan sistem tebang habis dan peregenerasian melalui sistem monokultur (murni) akan memperkecil kesempatan bekantan untuk tetap bertahan hidup.

Keenam, di Kabupaten Tapin, pada akhir tahun 2000 telah dibuka jalan tembus sejauh kurang lebih 30 km dan selebar 12 m yang menghubungkan ruas jalan Banjarbaru-Rantau dengan Sungai Negara. Jalan tembus dibangun di lahan hutan rawa dan pembangunannya mendapat ijin pemerintah provinsi/kabupaten. Jalan tembus dipergunakan sebagai jalur pengangkutan batubara lewat darat (dari lokasi tambang ke pelabuhan muat Sungai Puting yang terletak di tepi alur Sungai Negara), sebelum batubara diangkut dengan tongkang melewati sungai (dari pelabuhan muat Sungai Puting ke kapal besar di muara Sungai Barito). Dengan adanya jalan ini, batubara tidak lagi diangkut dengan truk melewati jalan umum (Banjarmasin-Tanjung).

Pembangunan jalan merupakan satu contoh fragmentasi habitat. Pada awalnya hutan rawa ini merupakan kesatuan habitat bagi bekantan. Kesatuan habitat yang relatif luas sangat menguntungkan bekantan. Populasi bekantan relatif melimpah dan perkawinan antar-kerabat dekat terhindarkan, sehingga keanekaragaman genetik bisa lebih tinggi atau minimal dipertahankan. Karena adanya jalan yang dibangun memotong habitat, habitat pun terbagi menjadi dua. Kelompok-kelompok bekantan yang tadinya berada pada satu hamparan dipisahkan oleh jalan, sehingga ada kelompok bekantan di kiri dan ada kelompok bekantan di kanan jalan tembus. Penulis memprediksi bahwa minimal lima tahun ke depan, intensitas fragmentasi akan semakin tinggi. Sudah menjadi kebiasaan bahwa apabila ada pembangunan jalan baru, masyarakat berbondong-bondong melakukan kegiatan di kiri dan kanan jalan; misalnya mendirikan permukiman dan warung serta membangun bengkel. Akibatnya tentu merugikan bekantan. Habitat semakin menciut dan populasi bekantan semakin mengecil. Indikatornya dapat dilihat. Primata ini akan sukar dijumpai di kiri dan kanan jalan; mereka akan beremigrasi ke pedalaman hutan rawa yang belum dijamah manusia. Pada gilirannya, Penciutan habitat dan pengecilan populasi ini memicu terjadinya perkawinan antar-kerabat dekat, sehingga keanekaragaman genetik pun menurun. 

Ketujuh, perburuan bekantan dilakukan oleh masyarakat. Di hutan-hutan karet Kecamatan Haruai dan Kecamatan Upau, Kabupaten Tabalong, perburuan dilakukan oleh sebagian masyarakat Dayak Dea dengan menggunakan senapan. Daging bekantan buruan dikonsumsi. Di Kecamatan Kuripan dan Kecamatan Muara Uya, perburuan juga dilakukan oleh sekelompok masyarakat. Namun, pada kasus ini daging bekantan dipergunakan sebagai umpan pada penjebakan ular sawa (Phyton spp.) atau biawak (Varanus spp.). Kulit kedua jenis reptilia ini laku dijual dan merupakan komoditas perdagangan. Harga per meter kulit ular sawa yang sebenarnya termasuk satwa dilindungi, sekitar Rp150.000.

Kedelapan, bekantan dianggap hama oleh sebagian masyarakat petani, walaupun tingkat pengrusakan yang ditimbulkannya tidak separah yang ditimbulkan oleh monyet ekor-panjang dan bangkui (Macaca nemestrina). Di Kabupaten Tabalong, bekantan memakan daun singkong, daun dan buah kacang panjang serta merusak bunga pampakin. Pampakin adalah buah sebangsa durian tetapi berwarna kuning. Buah yang dapat dimakan ini merupakan komoditas perdagangan. Kerusakan bunga tentunya merugikan petani, karena tidak ada buah yang jadi dan bisa dijual. Di Kabupaten Kotabaru, primata ini merusak pucuk daun kelapa, sedangkan di Kabupaten Barito Kuala menginjak-injak tanaman padi. Sebagai hama, bekantan pun sering dibunuh secara sengaja atau terbunuh secara tak-sengaja. Pembunuhan tak-sengaja terjadi, ketika petani membubuhi racun pada umpan makanan dengan target utama membunuh monyet ekor-panjang dan bangkui.

Terakhir, tanpa bermaksud menggeneralisasikan kondisi masyarakat, penulis berpendapat bahwa tingkat kesadaran masyarakat akan satwa dilindungi masih sangat kurang. Selain contoh kasus yang disebutkan terdahulu, berikut ini contoh kasus lainnya. Di Desa Tanggul Rejo, Kabupaten Barito Kuala, seekor bekantan yang menghuni hutan rawa galam pernah tertangkap. Bekantan ini disakiti oleh sekelompok anak-anak SD hingga akhirnya mati mengenaskan. Di Desa Koanda dan Desa Kuripan, Kabupaten Barito Kuala, bekantan pernah dipelihara. Menurut si pemelihara, bekantan diberi makanan, seperti makanan yang diberikan kepada monyet ekor-panjang. Beberapa jenis pakan ini adalah pisang, kangkung dan mi instan; jenis pakan ini tentunya mudah didapat oleh pemelihara. Namun, sekitar seminggu kemudian bekantan peliharaan tersebut mati. Si pemelihara berkesimpulan bahwa bekantan tidak mau memakan sembarangan jenis pakan.

Penutup

           Bekantan tersebar di dalam maupun di luar kawasan konservasi serta pada tipe habitat yang berupa hutan mangrove, hutan rawa gambut, hutan tepi-sungai, hutan rawa galam, dan hutan karet. Ancaman serius dalam pelestarian primata endemik ini adalah aktivitas manusia. Oleh sebab itu, kunci keberhasilan pelestarian bekantan ada di tangan masyarakat. Peranserta masyarakat perlu dibangun atau diarahkan dalam rangka pembentukan dan peningkatan kesadaran akan perlunya hidup bersama dengan makhluk lain, pemeliharaan habitat serta penginterpretasian paradigma bahwa bekantan dan habitatnya bernilai ekonomi. Nilai ekonomi yang dapat diangkat antara lain adalah ekoturisme. Dengan interpretasi demikian, kelestarian bekantan dan habitatnya sebenarnya adalah kelestarian ekonomi masyarakat. Keberhasilan pelestarian harus juga didukung oleh keinginan politik atau komitmen pemerintah untuk selalu menyeimbangkan kepentingan ekonomi dan ekologi. Pemerintah bijaksana tentunya tidak mendahulukan kepentingan ekonomi di atas kepentingan ekologi atau sebaliknya, mendahulukan kepentingan ekologi di atas kepentingan ekonomi. Mendahulukan salah satu kepentingan di atas kepentingan lainnya sama-sama berdampak negatif, yaitu menyengsarakan dan membodohkan masyarakat.

Daftar Pustaka

Alikodra HS. 1997. Populasi dan perilaku bekantan (Nasalis larvatus) di Samboja Koala, Kalimantan Timur. Media Konservasi 5(2):67-72.

 

Bennett EL. 1988. Proboscis monkeys and their swamp forets in Sarawak. Oryx 22(2):69-74.

 

Bennett EL, Sebastian AC. 1988. Social organization and ecology of proboscis monkeys (Nasalis larvatus) in mixed coastal forest in Sarawak. Int. J. Prim. 9(3):233-255.

 

Bismark M. 1987. Sosio ekologi bekantan (Nasalis larvatus) di Taman Nasional Kutai, Kalimantan Timur. Rimba Indonesia 21(2-4):24-34.

 

Bismark M. 1994. Ekologi makan dan perilaku bekantan (Nasalis larvatus Wurmb) di Hutan Bakau Taman Nasional Kutai, Kalimantan Timur (disertasi) Bogor: Institut Pertanian Bogor, Program Pascasasarjana.

 

Bismark M. 1995. Analisis populasi bekantan (Nasalis larvatus). Rimba Indonesia 30(3):14-23.

 

[BKSDA V] Balai Konservasi Sumber Daya Alam V. 1998/1999. Informasi Kawasan Konservasi di Propinsi Kalimantan Selatan. Banjarbaru: BKSDA V, Kantor Wilayah Departemen Kehutanan dan Perkebunan Kalimantan Selatan. 

 

Boonratana R. 2000. A short note on vigilance exhibited by proboscis monkey (Nasalis larvatus) in the Lower Kinabatangan, Sabah, Malaysia. Tigerpaper 27(4):21-22.

 

Salter RE, MacKenzie NA, Nightingale N, Aken KM, Chai P. 1985. Habitat use, rangting behaviour, and food habits of the proboscis monkey, Nasalis larvatus (van Wurmb), in Sarawak. Primates 26(4):436-451.

 

Soendjoto MA, Yamani A, Akhdiyat M, Kurdiansyah. 1998a. Populasi primata dan keanekaragaman jenis satwa di Pulau Kaget, Kalimantan Selatan. Kalimantan Scientiae 50:1-9.

 

Soendjoto MA, Yamani A, Akhdiyat M, Kurdiansyah. 1998b. Telaahan vegetasi dan keadaan rambai (Sonneratia caseolaris) di Cagar Alam Pulau Kaget Kalimantan Selatan.  Kalimantan Scientiae 16(49):51-62.

 

Soendjoto MA, Akhdiyat M, Haitami, Kusumajaya I. 2000a. Inventarisasi Bekantan (Nasalis larvatus) di Kabupaten Barito Kuala. Banjarbaru: Balai Konservasi Sumberdaya Alam Kalimantan Selatan.

 

Soendjoto MA, Djami’at, Johansyah, Hairani. 2000b. Inventarisasi Bekantan (Nasalis larvatus) di Kabupaten Tabalong. Banjarbaru: Balai Konservasi Sumberdaya Alam Kalimantan Selatan.

 

Soendjoto MA, Akhdiyat M, Haitami, Kusumajaya I. 2001. Bekantan di hutan galam: quo vadis? Warta Konservasi Lahan Basah 10(1):18-19.

 

Woods A. 1995. Observations on Dietary Habits of Proboscis Monkeys, Nasalis larvatus, at Danau Sentarum Wildlife Reserve, Kalimantan Barat, Republic of Indonesia. Professional Practice in Resource Science University of Canberra.

 

Yeager CP. 1989. Feeding ecology of the proboscis monkey (Nasalis larvatus. Int. J. Prim. 10(6):497-530.

 

Yeager CP. 1990a. Proboscis monkey (Nasalis larvatus) social organization: Group structure. Am. J. Prim. 20:95-106.

 

Yeager CP. 1990b. Notes on the sexual behavior of the proboscis monkey (Nasalis larvatus). Am. J. Prim. 21:223-227.

 

Yeager CP. 1991a. Proboscis monkey (Nasalis larvatus) social organization: Intergroup patterns of association. Am. J. Prim. 23:73-86.

 

Yeager CP. 1991b. Possible antipredator behavior associated with the river cdossings by proboscis monkey (Nasalis larvatus). Am. J. Prim. 24:61-66.

 

Yeager CP. 1992a. Changes in proboscis monkey (Nasalis larvatus) group size and density at Tanjung Puting National Park, Kalimantan Tengah, Indonesia. Trop. Biodiv. 1(1):49-55.

 

Yeager CP. 1992b. Proboscis monkey (Nasalis larvatus) social organization: Nature and possible functions of intergroup patterns of association. Am. J. Prim. 26:133-137.

 

Yeager CP. 1993. Ecological constraints on intergroup associations in the the proboscis monkeys (Nasalis larvatus). Trop. Biodiv. 1(2):89-100.

 

Yeager CP, Blondal TK. 1992. Conservation status of the proboscis monkeys (Nasalis larvatus) at Tanjung Puting National Park, Kalimantan Tengah, Indonesia. Di dalam: Ismail G, Mohamed M, Omar S, editor. Forest Biology and Conservation in Borneo. Center for Borneo Studies Publication No. 2. hlm. 220-228.