© 2002 Rahmanta Ginting Posted 17 May 2002
Makalah
Falsafah Sains (PPs 702)
Program
Pasca Sarjana / S3
Institut
Pertanian Bogor
Mei 2002
Dosen:
Prof Dr Ir Rudy
C Tarumingkeng (Penanggung Jawab)
KEBIJAKAN PUBLIK DALAM
EKSTERNALITAS
Oleh :
Rahmanta Ginting
EPN - A.546010021
E-mail: rginting2002@yahoo.com
BAB I
PENDAHULUAN
Dalam suatu perekonomian modern, setiap aktivitas mempunyai keterkaitan dengan aktivitas lainnya. Apabila semua keterkaitan antara suatu kegiatan dengan kegiatan lainnya dilaksanakan melalui mekanisme pasar atau melalui suatu sistem, maka keterkaitan antar berbagai aktivitas tersebut tidak menimbulkan masalah. Akan tetapi banyak pula keterkaitan antar kegiatan yang tidak melalui mekanisme pasar sehingga timbul berbagai macam masalah. Keterkaitan suatu kegiatan dengan kegiatan lain yang tidak melalui mekanisme pasar adalah apa yang disebut dengan eksternalitas.
Secara umum dapat dikatakan bahwa eksternalitas adalah suatu efek samping dari suatu tindakan pihak tertentu terhadap pihak lain, baik dampak yang menguntungkan maupun yang merugikan.
Dalam literatur asing, efek samping mempunyai istilah seperti : external effects, externalities, neighboorhood effects, side effects, spillover effects (Mishan, 1990). Efek samping dari suatu kegiatan atau transaksi ekonomi bisa positif (positive external effects, external economic) maupun negatif (negative external effects, external diseconomic). Dalam kenyataannya, baik dampak negatif maupun efek positif bisa terjadi secara bersamaan dan simultan. Dampak yang menguntungkan misalnya seseorang yang membangun sesuatu pemandangan yang indah dan bagus pada lokasi tertentu mempunyai dampak positif bagi orang sekitar yang melewati lokasi tersebut. Sedangkan dampak negatif misalnya polusi udara, air dan suara. Ada juga ekternalitas yang dikenal sebagai eksternalitas yang berkaitan dengan uang (pecuniary externalities) yang muncul ketika dampak eksternalitas itu disebabkan oleh meningkatnya harga. Misalnya, suatu perusahaan didirikan pada lokasi tertentu atau kompleks perumahan baru dibangun, maka harga tanah tersebut akan melonjak tinggi. Meningkatnya harga tanah tersebut menimbulkan dampak external yang negatif terhadap konsumen lain yang ingin membeli tanah disekitar daerah tersebut.
Dalam contoh di atas efek tersebut dalam perubahan harga tanah, dimana kesejahteraan masyarakat berubah tetapi perubahan itu akan kembali ke keadaan keseimbangan karena setiap barang akan menyamakan rasio harga-harga barang dengan marginal rate of substitution (MRS). Jadi, suatu fakta bahwa tindakan seseorang dapat mempengaruhi orang lain tidaklah berarti adanya kegagalan pasar selama pengaruh tersebut tercermin dalam harga-harga sehingga tidak terjadi ketidak efisienan dalam perekonomian.
Jadi, yang dimaksud dengan eksternalitas hanyalah apabila tindakan seseorang mempunyai dampak terhadap orang lain atau segolongan orang lain tanpa adanya kompensasi apapun juga sehingga timbul inefisiensi dalam alokasi faktor produksi.
JENIS DAN FAKTOR PENYEBAB EKSTERNALITAS
Efisiensi alokasi sumberdaya dan
distribusi konsumsi dalam ekonomi pasar dengan kompetisi bebas dan sempurna
bisa terganggu, jika aktivitas dan tindakan invividu pelaku ekonomi baik
produsen maupun konsumen mempunyai dampak (externality) baik terhadap
mereka sendiri maupun terhadap pihak lain.
Eksternalitas itu dapat
terjadi dari empat interaksi ekonomi berikut ini :
a) Efek atau dampak satu produsen terhadap produsen lain (effects of producers on other producers).
b) Efek atau dampak samping kegiatan produsen terhadap konsumen (effects of producers on consumers)
c) Efek atau dampak dari suatu konsumen terhadap konsumen lain (effects of consumers on consumers)
d) Efek akan dampak dari suatu konsumen terhadap produsen (effects of consumers on producers)
1. Dampak Suatu Produsen Terhadap Produsen Lain
Suatu kegiatan produksi dikatakan mempunyai dampak eksternal terhadap produsen lain jika kegiatannya itu mengakibatkan terjadinya perubahan atau penggeseran fungsi produksi dari produsen lain. Dampak atau efek yang termasuk dalam kategori ini meliputi biaya pemurnian atau pembersihan air yang dipakai (eater intake clen-up cost) oleh produsen hilir (downstream producers) yang menghadapi pencemaran air (water polution) yang diakibatkan oleh produsen hulu (upstream producers). Hal ini terjadi ketika produsen hilir membutuhkan air bersih untuk proses produksinya. Dampak kategori ini bisa dipahami lebih jauh dengan contoh lain berikut ini. Suatu proses produksi (misalnya perusahaan pulp) menghasilkan limbah residu produk sisa yang beracun dan masuk ke aliran sungai, danau atau semacamnya, sehingga produksi ikan terganggu dan akhirnya merugikan produsen lain yakni para penangkap ikan (nelayan). Dalam hal ini, kegiatan produksi pulp tersebut mempunyai dampak negatif terhadap produksi lain (ikan) atau nelayan, dan inilah yang dimaksud dengan efek suatu kegiatan produksi terhadap produksi komoditi lain.
2. Dampak Produsen Terhadap Konsumen
Suatu produsen dikatakan mempunyai eksternal efek terhadap konsumen, jika aktivitasnya merubah atau menggeser fungsi utilitas rumah tangga (konsumen). Dampak atau efek samping yang sangat populer dari kategori kedua yang populer adalah pencemaran atau polusi. Kategori ini meliputi polusi suara (noise), berkurangnya fasilitas daya tarik alam (amenity) karena pertambangan, bahaya radiasi dari stasiun pembangkit (polusi udara) serta polusi air, yang semuanya mempengaruhi kenyaman konsumen atau masyarakat luas. Dalam hal ini, suatu agen ekonomi (perusahaan/produsen) yang menghasilkan limbah (waste products) ke udara atau ke aliran sungai mempengaruhi pihak dan agen lain yang memanfaatkan sumber daya alam tersebut dalam berbagai bentuk. Sebagai contoh, kepuasan konsumen terhadap pemanfaatan daerah-daerah rekreasi akan berkurang dengan adanya polusi udara.
3. Dampak
Konsumen Terhadap Konsumen Lain
Dampak konsumen terhadap konsumen yang lain terjadi jika aktivitas seseorang atau kelompok tertentu mempengaruhi atau mengganggu fungsi utilitas konsumen yang lain. Konsumen seorang individu bisa dipengaruhi tidak hanya oleh efek samping dari kegiatan produksi tetapi juga oleh konsumsi oleh individu yang lain. Dampak atau efek dari kegiatan suatu seorang konsumen yang lain dapat terjadi dalam berbagai bentuk. Misalnya, bisingnya suara alat pemotong rumput tetangga, kebisingan bunyi radio atau musik dari tetangga, asap rokok seseorang terhadap orang sekitarnya dan sebagainya.
4. Dampak
Konsumen Terhadap Produsen
Dampak konsumen terhadap produsen terjadi jika aktivitas konsumen mengganggu fungsi produksi suatu produsen atau kelompok produsen tertentu. Dampak jenis ini misalnya terjadi ketika limbah rumahtangga terbuang ke aliran sungai dan mencemarinya sehingga mengganggu perusahaan tertentu yang memanfaatkan air baik oleh ikan (nelayan) atau perusahaan yang memanfaatkan air bersih.
Lebih jauh Baumol dan Oates (1975) menjelaskan tentang konsep ekternalitas dalam dua pengertian yang berbeda :
a) Eksternalitas yang bisa habis (a deplatable externality) yaitu suatu dampak eksternal yang mempunyai ciri barang individu (private good or bad) yang mana jika barang itu dikonsumsi oleh seseorang individu, barang itu tidak bisa dikonsumsi oleh orang lain.
b) Eksternalitas yang tidak habis (an undeplate externality) adalah suatu efek eksternal yang mempunyai ciri barang publik (public goods) yang mana barang tersebut bisa dikonsumsi oleh seseorang, dan juga bagi orang lain. Dengan kata lain, besarnya konsumsi seseorang akan barang tersebut tidak akan mengurangi konsumsi bagi yang lainnya.
Dari dua konsep eketernalitas ini, eksternalitas jenis kedua merupakan masalah pelik/rumit dalam ekonomi lingkungan. Keberadaan eksternalitas yang merupakan barang publik seperti polusi udara, air, dan suara merupakan contoh eksternalitas jenis yang tidak habis, yang memerlukan instrumen ekonomi untuk menginternalisasikan dampak tersebut dalam aktivitas dan analisa ekonomi.
Eksternalitas timbul pada dasarnya karena aktivitas manusia yang tidak mengikuti prinsip-prinsip ekonomi yang berwawasan lingkungan. Dalam pandangan ekonomi, eksternalitas dan ketidakefisienan timbul karena salah satu atau lebih dari prinsip-prinsip alokasi sumber daya yang efisien tidak terpenuhi. Karakteristik barang atau sumberdaya publik, ketidaksempurnaan pasar, kegagalan pemerintah merupakan keadaan-keadaan dimana unsur hak pemikiran atau pengusahaan sumber daya (property rights) tidak terpenuhi. Sejauh semua faktor ini tidak ditangani dengan baik, maka eksternalitas dan ketidakefisienan ini tidak bisa dihindari. Kalau ini dibiarkan, maka ini akan memberikan dampak yang tidak menguntungkan terhadap ekonomi terutama dalam jangka panjang. Bagaimana mekanisme timbulnya eksternalitas dan ketidakefisienan dari alokasi sumber daya sebagai akibat dari adanya faktor di atas diuraikan satu persatu berikut ini.
1. Keberadaan Barang Publik
Barang publik (public goods) adalah barang yang apabila dikonsumsi oleh individu tertentu tidak akan mengurangi konsumsi orang lain akan barang tersebut. Selanjutnya, barang publik sempurna (pure public good) didefinisikan sebagai barang yang harus disediakan dalam jumlah dan kualitas yang sama terhadap seluruh anggota masyarakat.
Kajian ekonomi sumber daya dan lingkungan salah satunya menitikberatkan pada persoalan barang publik atau barang umum ini (common consumption, public goods, common property resource). Ada dua ciri utama dari barang publik ini. Pertama, barang ini merupakan konsumsi umum yang dicirikan oleh penawaran gabungan (joint supply) dan tidak bersaing dalam mengkonsumsinya (non-rivalry in consumption). Kedua adalah tidak ekslusif (non-exclusive) dalam pengertian bahwa penawaran tidak hanya diperuntukan untuk seseorang dan mengabaikan yang lainnya. Barang publik yang berkaitan dengan lingkungan meliputi udara segar, pemandangan yang indah, rekreasi, air bersih, hidup yang nyaman dan sejenisnya.
Satu-satunya mekanisme yang membedakannya adalah dengan menetapkan harga (nilai moneter) terhadap barang publik tersebut sehingga menjadi barang privat (dagang) sehingga benefit yang diperoleh dari harga itu bisa dipakai untuk mngendalikan atau memperbaiki kualitas lingkungan itu sendiri. Tetapi dalam menetapkan harga ini menjadi masalah tersendiri dalam analisa ekonomi lingkungan. Karena ciri-ciri di atas, barang publik tidak diperjual belikan sehingga tidak memiliki harga, barang publik dimanfaatkan berlebihan dan tidak mempunyai insentif untuk melestarikannya. Masyarakat atau konsumen cendrung acuh tak acuh untuk menentukan harga sesungguhnya dari barang publik ini. Dalam hal ini, mendorong sebagian masyarakat sebagai “free rider”. Sebagai contoh, jika si A mengetahui bahwa barang tersebut akan disediakan oleh si B, maka si A tidak mau membayar untuk penyediaan barang tersebut dengan harapan bahwa barang itu akan disediakan oleh si B, maka si A tidak mau membayar untuk penyediaan barang tersebut dengan harapan bahwa barang itu akan disediakan oleh si B. Jika akhirnya si B berkeputusan untuk menyediakan barang tersebut, maka si A bisa ikut menikmatinya karena tidak seorangpun yang bisa menghalanginya untuk mengkonsumsi barang tersebut, karena sifat barang publik yang tidak ekslusif dan merupakan konsumsi umum. Keadaan seperti akhirnya cendrung mengakibatkan berkurangnya insentif atau rangsangan untuk memberikan kontribusi terhadap penyediaan dan pengelolaan barang publik. Kalaupun ada kontribusi, maka sumbangan itu tidaklah cukup besar untuk membiayai penyediaan barang publik yang efisien, karena masyarakat cendrung memberikan nilai yang lebih rendah dari yang seharusnya (undervalued).
2. Sumberdaya Daya Bersama
Keberadaan sumber daya bersama (common resources) atau akses terbuka terhadap sumber daya tertentu ini tidak jauh berbeda dengan keberadaan barang publik di atas.
Sumber-sumber daya milik bersama, sama halnya dengan barang-barang publik, tidak ekskludabel. Sumber-sumber daya ini terbuka bagi siapa saja yang ingin memanfaatkannya, dan cuma-cuma. Namun tidak seperti barang publik, sumber daya milik bersama memiliki sifat bersaingan. Pemanfaatannya oleh seseorang, akan mengurangi peluang bagi orang lain untuk melakukan hal yang sama. Jadi, keberadaan sumber daya milik bersama ini, pemerintah juga perlu mempertimbangkan seberapa banyak pemanfaatannya yang efisien. Contoh klasik tentang bagaimana eksternalitas terjadi pada kasus sumberdaya bersama ini adalah seperti yang diperkenalkan oleh Hardin (1968) yang terkenal dengan istilah tragedi barang umum (the tragedy of the commons).
3. Ketidaksempurnaan Pasar
Masalah lingkungan bisa juga
terjadi ketika salah satu partisipan didalam suatu tukar manukar hak-hak
kepemilikan (property rights) mampu mempengaruhi hasil yang terjadi (outcome). Hal ini bisa terjadi pada pasar yang tidak sempurna (imperfect market) seperti pada kasus
monopoli (penjual tunggal).
Ketidaksempurnaan
pasar ini misalnya terjadi pada praktek monopoli dan kartel. Contoh konkrit dari praktek ini adalah
Organisasi negara-negara pengekspor minyak (OPEC) dengan memproduksi dalam
jumlah yang lebih sedikit sehingga mengakibatkan meningkatnya harga yang lebih
tinggi dari normal. Pada kondisi yang
demikian akan hanya berakibat terjadinya peningkatan surplus produsen yang
nilainya jauh lebih kecil dari kehilangan surplus konsumen, sehingga secara
keseluruhan praktek monopoli ini merugikan masyarakat (worse off).
4.
Kegagalan Pemerintah
Sumber ketidakefisienan dan atau eksternalitas tidak saja diakibatkan oleh kegagalan pasar tetapi juga karena kegagalan pemerintah (government failure). Kegagalan pemerintah banyak diakibatkan tarikan kepentingan pemerintah sendiri atau kelompok tertentu (interest groups) yang tidak mendorong efisiensi. Kelompok tertentu ini memanfaatkan pemerintah untuk mencari keuntungan (rent seeking) melalui proses politik, melalui kebijaksanaan dan sebagainya. Aksi pencarian keuntungan (rent seeking) bisa dalam berbagai bentuk :
a) Kelompok yang punya kepentingan tertentu (interest groups) melakukan loby dan usaha-usaha lain yang memungkinkan diberlakukannya aturan yang melindungi serta menguntungkan mereka.
b) Praktek mencari keuntungan bisa juga berasal dari pemerintah sendiri secara sah misalnya memberlakukan proteksi berlebihan untuk barang-barang tertentu seperti mengenakan pajak impor yang tinggi dengan alasan meningkatkan efisiensi perusahaan dalam negeri.
c) Praktek mencari keuntungan ini bisa juga dilakukan oleh aparat atau oknum tertentu yang mempunyai otoritas tertentu, sehingga pihak-pihak yang berkepentingan bisa memberikan uang jasa atau uang pelicin untuk keperluan tertentu, untuk menghindari resiko yang lebih besar kalau ketentuan atau aturan diberlakukan dengan sebenarnya. Praktek mencari keuntungan ini membuat alokasi sumber daya menjadi tidak efisien dan pelaksanaan aturan-aturan yang mendorong efisiensi tidak berjalan dengan semestinya. Praktek jenis ini bisa mendorong terjadinya eksternalitas. Sebagai contoh, perusahaan A yang mengeluarkan limbah yang merusak lingkungan. Berdasarkan perhitungan atau estimasi perusahaan A harus mengeluarkan biaya (denda) yang besar (misalnya Rp. 1 milyar) untuk menanggulangi efek dari limbah yang dihasilkan itu. Pencari keuntungan (rent seeker) bisa dari perusahaan itu sendiri atau dari pemerintah atau oknum memungkinkan membayar kurang dari 1 milyar agar peraturan sesungguhnya tidak diberlakukan, dan denda informasi ini belum tentu menjadi reveneu pemerintah. Sehingga akhirnya dampak lingkungan yang seharusnya diselidiki dan ditangani tidak dilaksanakan dengan semestinya sehingga masalahnya menjadi bertambah serius dari waktu ke waktu.
BAB III
SOLUSI PEMERINTAH DAN SWASTA TERHADAP EKSTERNALITAS
Kita telah
menyimak mengapa keberadaan eksternalitas itu dapat mengakibatkan alokasi
sumber daya yang dilakukan oleh pasar menjadi tidak efisien. Namun sejauh ini kita baru mengulas secara
sekilas tentang cara-cara mengatasi eksternalitas tersebut. Dalam prakteknya, bukan hanya pemerintah
saja yang perlu dan dapat mengatasi eksternalitas itu, melainkan juga
pihak-pihak non pemerintah, baik itu pribadi/kelompok maupun
perusahaan/organisasi kemasyarakatan. Untuk
mudahnya, kita sebut saja pihak-pihak non pemerintah tersebut sebagai pihak
“pribadi” atau “swasta”. Pada dasarnya,
tujuan yang hendak dicapai oleh pemerintah maupun pihak swasta (perorangan dan
kelompok), berkenaan dengan penanggulangan eksternalitas itu sama saja, yakni
untuk mendorong alokasi sumber daya agar mendekati kondisi yang optimum secara
sosial. Pada bagian pembahasan berikut
kita akan menelaah solusi-solusi atau upaya-upaya yang dilakukan oleh
pemerintah dan pribadi atau swasta (private solution) dalam mengatasi
persoalan eksternalitas.
A. REGULASI
Pemerintah
dapat mengatasi suatu eksternalitas dengan melarang atau mewajibkan perilaku
tertentu dari pihak-pihak tertentu. Sebagai contoh, untuk mengatasi kebiasaan
membuang limbah beracun ke sungai, yang biaya sosialnya jauh lebih besar
dari pada keuntungan
pihak-pihak yang melakukannya, pemerintah dapat
menyatakannya sebagai tindakan kriminal dan akan mengadili serta menghukum
pelakunya. Dalam kasus ini pemerintah menggunakan regulasi atau pendekatan
komando dan kontrol untuk melenyapkan eksternalitas tadi.
Namun kasus-kasus polusi umumnya tidak sesederhanana itu. Tuntutan para pecinta lingkungan untuk menghapuskan segala bentuk polusi, sesungguhnya tidak mungkin terpenuhi, karana polusi merupakan efek sampingan tak terelakkan dari kegiatan produksi industri. Contoh yang sederhana, semua kendaraan bemotor sesungguhnya mengeluarkan polusi. Jika polusi ini hendak dihapus sepenuhnya, maka segala bentuk kendaraan bermotor harus dilarang oleh pemerintah, dan hal ini tidak mungkin dilakukan. Jadi, yang harus diupayakan bukan penghapusan polusi secara total, melainkan pembatasan polusi hingga ambang tertentu, sehingga tidak terlalu merusak lingkungan namun tidak juga menghalangi kegiatan produksi. Untuk menentukan ambang aman tersebut, kita harus menghitung segala untung ruginya secara cermat. Di Amerika Serikat, Badan Perlindungan Lingkungan Hidup (EPA/Environmental Protection Agency) adalah lembaga yang diserahi wewenang dan tugas untuk merumuskan, melaksanakan, dan mengawasi berbagai regulasi yang dimaksudkan untuk melindungi lingkungan hidup.
Bentuk
regulasi dibidang lingkungan hidup itu sendiri bisa bermacam-macam. Adakalanya EPA langsung menetapakan batasan
polusi yang diperbolehkan untuk suatu
perusahaan. Terkadang EPA mewajibkan pemakaian teknologi atau peralalatan
tertentu untuk mengurangi polusi di pabrik-pabrik. Di semua kasus, demi
memperoleh suatu peraturan yang baik dan tepat guna, para pejabat pemerintah
harus mengetahui spesifikasi dari setiap jenis/sektor industri, dan berbagai
alternatif teknologi yang dapat diterapkan oleh industri yang bersangkutan,
dalam rangka mengurangi atau membatasi polusi. Masalahnya, informasi seperti
ini sulit di dapatkan.
B. PAJAK PIGOVIAN DAN SUBSIDI
Selain menerapkan regulasi, untuk mengatasi eksternalitas, pemerintah juga dapat menerapkan kebijakan-kebijakan yang didasarkan pada pendekatan pasar, yang dapat memadukan insentif pribadi/swasta dengan efisiensi sosial.
Sebagai contoh, seperti telah disinggung di atas pemerintah dapat menginternalisasikan eksternalitas dengan menggunakan pajak terhadap kegiatan-kegiatan yang menimbulkan eksternalitas negatif, dan sebaliknya memberi subsidi untuk kegiatan-kegiatan yang memunculkan eksternalitas positif. Pajak yang khusus diterapkan untuk mengoreksi dampak dan suatu ekstemalitas negatif lazim disebut sebagai Pajak Pigovian (Pigowan tax), mengambil nama ekonom pertama yang merumuskan dan menganjurkannya, yakni Arthur Pigou (1877-1959).
Para ekonom umumnya lebih menyukai pajak Pigovian dari pada regulasi sebagai cara untuk mengendalikan polusi, karena biaya penerapan pajak itu lebih murah bagi masyarakat secara keseluruhan. Andaikan ada dua pabrik-pabrik baja dan pabrik kertas-yang masing-masing membuang limbah sebanyak 500 ton per tahun ke sungai. EPA menilai limbah itu terlalu banyak, dan beniat menguranginya. Ada dua pilihan solusi baginya, yakni :
a) Regulasi : EPA mewajibkan semua pabrik untuk mengurangi limbahnya hingga 300 ton per tahun.
b) Pajak Pigovian : EPA mengenakan pajak sebesar Rp.5.000.000 untuk setiap ton limbah yang dibuang oleh setiap pabrik.
Regulasi itu langsung membatasi ambang polusi, sedangkan pajak Pigovian memberikan insentif kepada para pemilik pabrik untuk sebanyak mungkin mengurangi polusinya. Menurut pendapat Anda, solusi manakah yang lebih baik ?.
Para ekonom lebih meyukai penerapan pajak. Mereka yakin penerapan pajak itu sama sekali tidak kalah efektifnya dalam menurunkan polusi. Untuk mencapai ambang polusi tertentu, EPA tinggal menghitung tingkat pajak yang paling tepat untuk diterapkannya. Semakin tinggi tingkat pajaknya, akan semakin banyak penurunan polusi yang akan terjadi. Namun EPA juga harus hati-hati, karena pajaknya terlalu tinggi, polusi akan hilang, karena semua pabrik bangkrut atau memilih tidak beroperasi.
Alasan utama para ekonom itu memilih penerapan pajak, adalah karena cara
ini lebih efektif menurunkan polusi. Regulasi mewajibkan semua pabrik
mengurangi polusinya dalam jumlah yang sama, padahal penurunan sama rata, bukan
merupakan cara termurah menurunkan polusi. Ini dikarenakan
kapasitas dan keperluan setiap pabrik untuk berpolusi berbeda-beda. Besar
kemungkinan salah satu pabrik (misalkan pabrik kertas), lebih mampu (biayanya
lebih murah) untuk menurunkan polusi dibanding pabrik lain (pabrik baja). Jika
keduanya dipaksa menurunkan polusi sama rata, maka operasi pabrik baja akan
terganggu. Namun melalui penerapan pajak, maka pabrik kertas akan segera
mengurangi polusinya, karena hal itu lebih murah dan lebih mudah dilakukan dari
pada membayar pajak, sedangkan pabrik baja, yang biaya penurunan polusinya
lebih mahal, akan memilih membayar pajak saja.
Pada
dasarnya, pajak Pigovian secara langsung menetapkan harga atas hak berpolusi. Sama
halnya dengan kerja pasar yang mengalokasikan berbagai barang ke pembeli, yang
memberikan penilaian paling tinggi pajak Pigovian ini juga mengalokasikan hak
berpolusi kepada perusahaan
atau pabrik, yang
paling sulit menurunkan
polusinya atau yang dihadapkan pada biaya paling tinggi untuk menurunkan polusi (misalkan karena
biaya alat penyaring polusinya
sangat mahal). Berapapun target penurunan polusi yang diinginkan EPA akan dapat
mencapainya dengan biaya termurah melalui penerapan pajak ini.
Para ekonom
juga berkeyakinan bahwa penerapan pajak Pigovian, merupakan cara terbaik untuk
menurunkan polusi. Pendekatan komando dan kontrol tidak akan memberikan alasan
atau insentif bagi pabrik-pabrik pencipta polusi untuk berusaha mengatasi
polusi semaksimal mungkin. Seandainya saja polusinya sudah berada dibawah
ambang maksimal (misalkan 300 ton per tahun), maka perusahaan itu tidak akan
membuang biaya lebih banyak agar
polusinya dapat ditekan lebih
rendah lagi. Sebaliknya, pajak
akan memberikan insentif kepada pabrik-pabrik itu untuk terus mengembangkan
tekndogi yang ramah terhadap lingkungan. Mereka akan terus terdorong menurunkan
polusi, karena semakin sedikit polusi yang mereka ciptakan, akan semakin
sedikit pula pajak yang harus mereka bayar.
Pajak Pigovian tidaklah sama dengan pajak-pajak lain, dimana kita mengetahui bahwa pajak pada urnumnya akan mendistorsikan insentif dan mendorong alokasi sumber daya menjauhi titik optimum sosialnya. Pajak umumnya juga menimbulkan beban baku berupa penurunan kesejahteraan ekonomis (turunnya surplus produsen dan surplus konsumen), yang nilainya lebih besar dari pada pendapatan yang diperoleh pemerintah dan pajak tersebut. Pajak Pigovian tidak seperti itu karena pajak ini memang khusus diterapkan untuk mengatasi masalah ekstemalitas. Akibat adanya eksternalitas, masyarakat harus memperhitungkan kesejahteraan pihak lain. Pajak Pigovian diterapkan untuk mengoreksi insentif ditengah adanya eksternalitas, sehingga tidak seperti pajak-pajak lainnya, pajak Pigovian itu justru mendorong alokasi sumber daya mendekati titik optimum sosial. Jadi, selain memberi pendapatan tambahan pada pemerintah, pajak Pigovian ini juga meningkatkan efisiensi ekonomi.
C.
IZIN POLUSI YANG
DAPAT DIPERJUAL BELIKAN
Sekarang, mari kita andaikan EPA (Enviromental Protection Agency) mengesampingkan saran para ekonom, dan menerapkan pendekatan formal. EPA mengeluarkan peraturan yang mengharuskan setiap pabrik, untuk menurunkan limbahnya hingga 300 ton per tahun. Namun, hanya sehari setelah peraturan itu diumumkan, pimpinan dua perusahaan, yang satu dan pabrik baja dan yang lain dari pabrik kertas, datang ke kantor EPA untuk mengajukan suatu usulan.
Pabrik baja perlu menaikkan ambang polusinya, misalnya satu ton per tahun. Agar polusi total tidak bertambah, pengelola pabrik kertas bersedia menurunkan polusinya sebanyak itu, asalkan si pemilik pabrik baja memberikan kompensasi Rp. 5.000.000.- dan permintaan ini sudah disanggupi oleh pemilik pabrik baja. Haruskan EPA mengizinkan kedua pabrik itu melakukan jual-beli hak berpolusi sendiri ?.
Dari sudut pandang efisiensi ekonomi pemberian izin bagi kedua pabrik tersebut akan menjadi kebijakan yang baik. Kesepakatan antara kedua pabrik itu akan menguntungkan keduanya, karena mereka secara sukarela menyetujuinya. Di samping itu, kesepakatan itu tidak akan mengakibatkan dampak eksternal apa pun, karena batas posisi total tidak dilanggar. Jadi, kesejahteraan total akan meningkat kalau EPA mengizinkan kedua pabrik itu melakukan jual-beli hak berpolusi.
Logika yang sama yang berlaku untuk setiap transfer hak berpolusi secara sukarela, dan satu perusahaan ke perusahaan lain. Jika kemudian EPA memang mengizinkan hal itu, maka sesungguhnya EPA telah menciptakan sumber daya langka yang baru, yakni hak berpolusi. Pasar yang memperdagangkan hak berpolusi ini selanjutnya pasti akan tumbuh dan berkembang, dan pada gilirannya, pasar ini akan tunduk pada kekuatan-kekuatan penawaran dan permintaan. Perusahaan-perusahaan yang dihadapkan pada biaya yang sangat tinggi untuk berpolusi, pasti akan aktif dipasar itu, karena bagi mereka, membeli hak berpolusi lebih murah dibanding melakukan investasi baru untuk menurunkan polusi pabrik-pabrik mereka. Sebaliknya, perusahaan-perusahaan yang tidak dihadapkan pada kendala yang berat untuk menurunkan polusi, pasti akan senang hati menjual haknya berpolusi karena hal itu akan memberinya pendapatan cuma-cuma.
Satu keuntungan dari berkembangnya pasar hak berpolusi ini, adalah alokasi/pembagian awal izin berpolusi dikalangan perusahaan tidak akan menjadi masalah, jika ditinjau dari sudut pandang efisien ekonomi. Logika yang melatarbelakangi kesimpulan tersebut mirip dengan mendasari teorema Coase.
Perusahaan-perusahaan yang paling mampu menurunkan polusi akan menjual haknya berpolusi, sedangkan perusahaan yang harus mengeluarkan biaya besar untuk menurunkan polusi, akan menjadi pembelinya. Selama pasar hak berpolusi ini dibiarkan bekerja dengan bebas, maka alokasi akhirnya akan lebih efisien dibanding alokasi awalnya, terlepas dari sebaik apapun alokasi awal tersebut.
Meskipun penurunan polusi melalui pemberlakuan izin polusi nampak berbeda kasusnya dari penerapan pajak Pigovian, sesungguhnya dampak akhir dari kedua kebijakan ini akan sama saja. Dalam kedua kasus ini, perusahaan tetap harus membayar atas polusi yang ditimbulkannya. Dalam kasus pajak Pigovian, perusahaan pencipta polusi harus membayar pajak atau semacam denda kepada pemerintah, atas polusi yang ditimbulkannya itu, sedangkan pada kasus izin polusi, perusahaan harus membeli izin itu dari pemerintah. Bahkan perusahaan-perusahaan yang sudah memiliki izin polusi tetap harus membayar dalam bentuk lain, yakni biaya oportunitas berpolusi berupa pendapatan yang akan mereka peroleh seandainya mereka menjual izin polusi itu dalam sebuah pasar terbuka. Dengan demikian, penerapan pajak Pigovian maupun izin polusi, sama-sama dapat menginternalisasikan eksternalitas, dengan memaksa perusahaan menanggung ongkos tertentu untuk berpolusi.
Kemiripan antara kedua kebijakan itu dapat dilihat secara jelas di pasar
polusi. Kedua panel yang terdapat pada gambar dibawah ini sama-sama menunjukkan
kurva permintaan atas hak berpolusi. Kurva permintaan ini memperlihatkan bahwa
semakin rendah biaya atau harga polusi, akan semakin tinggi permintaan
polusi artinya perusahaan-perusahaan akan
lebih leluasa berpolusi, karena
biayanya relatif rendah. Selanjutnya pada gambar (a) dipertihatkan EPA, dalam
rangka mengurangi polusi, langsung menetapkan harga polusi dengan cara
memberlakukan pajak Pigovian. Dalam kasus ini, kurva penawaran hak berpolusi
bersifat elastis sempuma karena perusahaan-perusahaan dapat berpolusi sebanyak
pajak yang mereka bayarkan. Disini, kurva permintaan akan menentukan kuantitas
polusi. Sedangkan pada gambar (b) EPA secara
langsung membatasi kuantitas
polusi dengan cara menerbitkan sejumlah izin polusi
terbatas. Dalam kasus ini, kurva penawaran hak berpolusi bersifat inelastis
sempuma (Karena perusahaan-perusahaan langsung dijatah kuantitas polusinya,
sebanyak izin polusi yang ada). Di sini, posisi kurva permintaan akan
menentukan harga polusi.
O
Q Kuantitas Polusi 0 Q Kuantitas Polusi
Gambar
(a) Pajak Pigovian Gambar (b) Izin Polusi
Dalam kedua
kasus ini, terlepas dan posisi kurva permintaannya, EPA dapat mencapai
sembarang titik pada kurva itu, dengan menetapkan harga polusi melalui pajak
Pigovian, atau dengan secara langsung membatasi kuantitas polusi melalui
penerbitan izin polusi terbatas.
Namun dalam beberapa hal, penjualan izin polusi bisa lebih baik dan itu pada penerapan pajak Pigovian. Umpamakan saja EPA suatu ketika ingin membatasi limbah yang dibuang di sungai tidak lebih dari 600 ton. Tetapi karena EPA tidak mengetahui kurva permintaan polusi, maka ia tidak akan dapat memastikan berapa besar pajak yang harus diterapkan untuk mencapai target tersebut. Dalam kasus ini, pemecahan akan diperoleh dengan melelang izin polusi sebanyak 600 ton limbah. Hasil lelang ini akan memberi pendapatan seperti halnya pajak Pigovian.
Inefisiensi pasar akibat eksternalitas
tidak perlu selalu harus atau bisa di atasi dengan penegakan atau peningkatan
standar moral atau ancaman penerapan sanksi sosial. Coba renungkan,
mengapa orang-orang secara sadar tidak mau membuang sampah sembarangan ?. Peraturan resmi yang mengatur tentang sampah
memang ada, namun di banyak tempat, peraturan semacam itu tidak dijalankan
secara sungguh-sungguh. Kita tidak mau
membuang sampah disembarang tempat juga bukan karena takut dengan
peraturan-peraturan semacam itu, namun karena kita mengetahui atau menyadari
bahwa tidaklah baik dan tidak patut sejak kita masih kanak-kanak, bahwa kita
boleh melakukan sesuatu moral inilah yang kemudian membatasi perilaku dan
tindakan kita, agar sedapat mungkin tidak merugikan orang lain. Dalam bahasa ekonomi, ajaran agama itu
meminta kita untuk melakukan internalisasi eksternalitas.
Contoh
lain solusi swasta adalah derma atau amal yang seringkali sengaja
diorganisasikan untuk mengatasi suatu eksternalitas. Contohnya adalah Sierra Club, sebuah organisasi sosial swasta
yang sengaja dibentuk untuk turut melestarikan lingkungan hidup. Organisasi ini mengandalkan pemasukannya
dari donasi pihak-pihak yang bersimpati atau iuran anggota. Hal ini sebagai contoh untuk mengatasi
eksternalitas negatif. Sedangkan untuk
eksternalitas positif, kita mengetahui banyak perguruan tinggi yang membentuk
yayasan yang menghimpun sumbangan dari para alumni, perusahaan, atau
pihak-pihak lain, untuk kemudian disalurkan sebagai beasiswa.
Pasar
swasta terkadang juga mampu mengatasi masalah eksternalitas, dengan membiarkan
pihak-pihak yang berkepentingan untuk mengatasinya. Motif utama mereka memang untuk memenuhi kepentingannya sendiri,
namun dalam melakukan suatu tindakan, mereka juga sekaligus mengatasi
eksternalitas. Sebagai contoh, kita
lihat saja apa yang akan dilakukan oleh seorang petani apel dan seorang peternak
lebah yang hidup berdekatan. Pada saat
lebah-lebah itu mencari madu dari satu bunga apel ke bunga lainnya, mereka
membantu penyerbukan dan mempercepat pohon-pohon apel itu berubah. Ia menguntungkan si petani apel. Sedangkan sipeternak juga untung karena ia
tidak perlu memberi makan lebah-lebahnya.
Namun jika kerja sama terselubung yang saling menguntungkan itu tidak
diperhitungkan, maka kedua belah pihak bisa merugi. Jika pohon apel yang ditanam si petani terlalu sedikit, maka
lebah-lebah itu akan kekurangan makanan.
Sebaliknya, jika lebah yang
dipelihara si peternak terlalu sedikit, maka proses penyerbukan tidak lancar. Eksternalitas ini dapat diinternalisasikan dengan cara
penggabungan kedua usaha. Si petani
membeli seluruh atau sebagian usaha peternakan lebah, atau sebaliknya si
peternak membeli seluruh atau sebagian pohon apel. Jiak kedua usaha ini disatukan, maka pengelolanya akan lebih
mudah menentukan berapa banyak pohon apel yang harus ditanam, dan berapa ekor
lebah yang harus dipelihara, demi membuahkan hasil yang maksimal. Dalam kenyataannya, niat untuk mengupayakan
internalisasi eksternalisasi seperti itulah yang merupakan penyebab mengapa
banyak perusahaan yang menekuni lebih dari satu bidang/jenis usaha sekaligus.
Cara
lain di pasar swasta dalam mengatasi eksternalitas adalah penyusunan kontrak
atau perjanjian di antara pihak-pihak yang menaruh kepentingan. Dalam contoh di atas, si petani apel dan
sipeternak lebah dapat membuat perjanjian kerja sama, agar masing-masing dapat
memberikan eksternalitas positif yang optimal, sekaligus menghilangkan
eksternalitas negatifnya (jumlah pohon atau jumlah lebah yang terlalu
sedikit). Dalam perjanjian itu bisa di
atur, berapa banyak pohon yang ditanam si petani, dan berapa ekor lebah yang harus
dipelihara si peternak. Jika biaya yang
dipikul keduanya tidak sama, maka bisa juga diatur siapa perlu membayar siapa,
dan berapa banyak. Melalui kontrak
seperti ini, maka kemungkinan terjadinya inefisiensi yang bersumber dari
eksternalitas negatif bisa dihindari, dan kedua belah pihak akan sama-sama
lebih untung dibanding kalau keduanya menjalankan usahanya sendiri-sendiri,
tanpa memperhitungkan kepentingan pihak lain.
Sejauh mana solusi swata tersebut
mampu mengatasi masalah eksternalitas ?.
Ada sebuah pemikiran yang disebut teorema Coase (Coase therem) mengambil
nama perumusnya yakni ekonom Ronald Coase yang menyatakan bahwa solusi
swasta bisa sangat efektif seandainya memenuhi satu syarat. Syarat itu adalah pihak-pihak yang
berkepentingan dapat melakukan negosiasi atau merundingkan langkah-langkah
penanggulangan masalah ekternalitas yang ada diantara mereka, tanpa menimbulkan
biaya khusus yang memberatkan alokasi sumber daya yang sudah ada. Menurut teorema Coase, hanya jika syarat itu
terpenuhi, maka pihak swasta itu akan mampu mengatasi masalah eksternalitas dan
meningkatkan efisiensi alokasi sumber daya.
Untuk lebih memahami makna teorema Coase, simaklah contoh berikut :
Di sebuah kota tinggal seseorang bernama Dick, ditemani anjingnya yang bernama Spot. Spot ini terus-terusan menggonggong sehingga sangat mengganggu Jane, tetangga Dick. Dick memetik manfaat dengan memelihara Spot, berupa rasa aman dan nyaman. Namun pemeliharaannya atas Spot itu menimbulkan eksternalitas negatif terhadap Jane. Haruskah Dick dipaksa mengirim anjing ke lokasi khusus penitipan hewan, ataukah Jane yang harus dipaksa rela begadang sepanjang malam, karena tidak bisa tidur akibat gonggongan Spot ?.
Pertama-tama, kita perkirakan dahulu seperti apa pemecahan yang dalam
secara sosial (untuk semua pihak). Ada dua alternatif yang perlu dipertimbangkan,
dan untuk itu diperlukan perhitungan atas seberapa banyak nilai keuntungan bagi
Dick dengan memelihara Spot, dan berapa kerugian yang harus ditanggung Jane. Jika keuntungannya melebihi kerugiannya maka pemecahan yang
efisien secara sosial adalah Dick dibiarkan terus memelihara anjingnya, sedangkan Jane harus rela tidur diiringi
gonggongan anjing. Sebaliknya, jika
nilai kerugiannya melampaui nilai
keuntungannya, maka Dick harus menyingkirkan anjingnya. Menurut teorema Coase, pasar swasta dapat
menciptakan sendiri pemecahan yang efisien.
Bagaimana caranya ?. Sebagai
satu contoh, Jane dapat menawarkan sejumlah uang kepada Dick agar menyingkirkan
anjingnya. Dick akan terima tawaran
itu, jika uang yang ditawarkan melebihi nilai keuntungannya dalam memelihara
Spot. Melalui tawar menawar, Dick dan
Jane akhirnya akan dapat menyepakati jumlah imbalan yang dapat diterima kedua
belah pihak, dan seandainya kesepakatan tersebut benar-benar dapat dicapai,
maka itu berarti mereka dapat menciptakan sendiri pemecahan atas masalah
eksternalits yang mereka hadapi. Umpamakan
saja, nilai keuntungan bagi Dick dari memelihara Spot adalah Rp. 50.000,- sedangkan kerugian Jane
bernilai Rp. 80.000,- Dalam kasus ini, Jane dapat menawarkan
imbalan sebanyak Rp. 60.000,- dan Dick dengan senang hati akan menyingkirkan
anjingnya. Kedua belah pihak akan lebih
sejahtera dibanding sebelumnya dan pemecahan efisien pun tercipta.
Namun ada pula kemungkinan Jane tidak membayar imbalan itu, yakni jika ternyata nilai keuntungan Dick lebih besar dari pada nilai kerugiannya. Misalkan saja, nilai keuntungan Dick dari memelihara Spot ternyata Rp. 100.000,- sedangkan kerugian Jane akibat gonggongan Spot hanya Rp. 80.000,- Jika ini kasusnya, maka tentu saja Dick akan menolak tawaran imbalan yang lebih kecil dari Rp. 100.000,- padahal Jane tidak akan mau membayar lebih dari Rp. 80.000,-. Akibatnya, Dick akan tetap memelihara Spot. Ditinjau dari perhitungan untung ruginya, kondisi tersebut juga terhitung efisien.
Semua uraian dalam contoh di atas, tentu saja bertumpu pada asumsi bahwa Dick secara hukum memang dibenarkan memelihara anjingnya yang berisik itu, sehingga Jane tidak bisa mengganggu gugat. Artinya, kita berasumsi bahwa Dick dapat memelihara Spot dengan bebas, dan Jane harus memberinya imbalan agar Dick menyingkirkan anjingnya itu secara sukarela. Lantas bagaimana jika ternyata hukum berpihak pada Jane, atau jika Jane secara hukum berhak untuk menikmati ketenangan dan ketentraman di rumahnya sendiri.
Menurut teorema Coase, distribusi awal hak atau perlindungan hukum itu tidak menjadi persoalan, karena tidak ada pengaruhnya terhadap kemampuan pasar dalam mencapai hasil yang efisien. Misalkan saja, Jane secara hukum dapat menggugat Dick agar menyingkirkan anjingnya. Dalam kasus ini, hukum berpihak pada Jane, namun hasil akhirnya tidak akan berubah. Dalam kasus ini, Dick dapat menawarkan sejumlah imbalan kepada Jane agar ia dapat terus memelihara anjingnya. Andaikata nilai keuntungan Dick lebih besar daripada kerugian Jane, maka keduanya akan dapat mencapai suatu kesepakatan yang memungkinkan Dick terus memelihara Spot.
Jadi, terlepas dari distribusi hak pada awalnya, Dick dan Jane tetap berpeluang mencapai kesepakatan. Meskipun demikian, soal distribusi hak itu bukannya sama sekali tidak relevan, karena distribusi awal itulah yang menentukan distribusi kesejahteraan ekonomi. Jika Dick yang memiliki hak awal untuk memelihara Spot, maka Jane lah yang harus memberi imbalan dalam kesepakatan yang mereka buat. Sebaliknya, jika Jane yang mempunyai hak awal untuk hidup tenang, maka Dick yang harus memberi imbalan. Namun dalam kedua kasus ini, kesepakatan tetap dapat dibuat dalam rangka mengatasi masalah eksternalitas. Pada akhirnya, Dick hanya akan terus memelihara anjingnya jika nilai keuntungannya melebihi nilai kerugiannya.
Jadi, dapat disimpulkan bahwa : Teorema Coase menyatakan bahwa pelaku-pelaku ekonomi pribadi/swasta, dapat mengatasi sendiri masalah eksternalitas yang muncul diantara mereka. Terlepas dari distribusi hak pada awalnya, pihak-pihak yang berkepentingan selalu berpeluang mencapai kesepakatan yang menguntungkan semua pihak, dan merupakan pemecahan yang efisien.
BAB IV
Dalam
beberapa kasus, para anggota masyarakat dapat mengatasi sendiri
masalah eksternalitas,
tanpa keterlibatan pemerintah. Menurut
teorema Coase, seandainya mereka dapat melakukan tawar menawar secara bebas
(tanpa biaya), maka mereka akan dapat mencapai
kesepakatan bersama, dan
melaksanakannya bersama-sama pula sehingga tercapai suatu alokasi yang efisien.
Narnun dalam prakteknya, banyak kendala yang tidak memungkinkan berlangsungnya
tawar menawar itu. Salah satu diantaranya
adalah terlalu banyak
pihak yang berkepentingan.
Kalau
orang-orang tidak dapat menyelesaikan
sendiri masalah eksternalitas yang mereka hadapi, maka pemerintah perlu
turun tangan. Namun adanya eksternalitas itu tidaklah menjadi alasan untuk
sepenuhnya mencampakkan kekuatan pasar. Pemerintah dapat mengatasi persoalan
eksternalitas itu tanpa
meninggalkan pasar, yakni
dengan secara langsung mewajibkan para pembuat keputusan
(produsen atau konsumen) menanggung segenap biaya atau akibat yang ditimbulkan
oleh prilaku atau tindakan mereka. Contohnya adalah penerapan pajak Pigovian
terhadap polusi. Penanggulangan polusi juga dapat dilakukan melalui
penerbitan izin polusi
terbatas. Hanya perusahaan yang
memiliki izin yang boleh menciptakan polusi, itupun dalam kadar yang terbatas. Kedua
cara ini pada dasarnya merupakan
upaya internalisasi ekstemalitas polusi. Dalam prakteknya
peran kelompok-kelompok pecinta lingkungan terus meningkat, sehingga kini
mereka menjadi kekuatan utama dalam melindungi kelestarian lingkungan hidup. Kekuatan
pasar jika dapat diarahkan secara tepat dapat menjadi resep yang paling mujarab
untuk mengatasi kegagalan pasar.
Baumol, W.J. 1975. Macroeconomics of Unbalanced Growth. The Anatomy of Urban Crisis, in American Economic Review.
Boadway, R.W. 1979. Public Sector Economics. Winthrop Publisher, Inc. Cambridge.
Cullis, J.G. and P.R. Jones. 1992. Public Finance and Public Choice : Analytical Perspective, Mc Graw-Hill Book Company, New York.
Mangkoesoebroto, G. 1997. Ekonomi Publik. Edisi Ke Tiga. BPFE –
Yogyakarta, Yogyakarta.
Mishan. 1990. Public Goods and Natural Liberty. Oxford, Claredon Press, London.
Musgrave, R.A. and Peggy, B.M. 1989. Public Finance in Theory and Practice. Fifth Edition, Mc Graw-Hill Book Company, New York.
Myles, G.D. 1997. Public Economics. Cambridge University Press, Cambridge.
Nasoetion,
A.H. 1992. Pengantar Ke Filsafat Sains. P.T. Pustaka Litera Antarnusa. Bogor.
Pogue, T.F. and L.G. Sgontz. 1978. Government and Economic Choice : An Introduction to Publik Finance, Houghton Mifflin Company, Boston.
Simarmata, Dj.A. 1994. Ekonomi
Publik dan External, Ekonomi Tanpa Pasar. Fakultas Ekonomi Universitas
Indonesia, Jakarata.