© 2002  Rahmanta Ginting                                                                    Posted 17 May 2002

Makalah Falsafah Sains (PPs 702)

Program Pasca Sarjana / S3

Institut Pertanian Bogor

Mei  2002

 

Dosen:

Prof Dr Ir Rudy C Tarumingkeng (Penanggung Jawab)

 

 

KEBIJAKAN PUBLIK DALAM EKSTERNALITAS 

 

Oleh :

 

Rahmanta Ginting

EPN - A.546010021

E-mail: rginting2002@yahoo.com

 

 

BAB  I

 PENDAHULUAN

          Dalam suatu perekonomian modern, setiap aktivitas mempunyai keterkaitan dengan aktivitas lainnya.  Apabila semua keterkaitan antara suatu kegiatan dengan kegiatan lainnya dilaksanakan melalui mekanisme pasar atau melalui suatu sistem, maka keterkaitan antar berbagai aktivitas tersebut tidak menimbulkan masalah.  Akan tetapi banyak pula keterkaitan antar kegiatan yang tidak melalui mekanisme pasar sehingga timbul berbagai macam masalah.  Keterkaitan suatu kegiatan dengan kegiatan lain yang tidak melalui mekanisme pasar adalah apa yang disebut dengan eksternalitas.

          Secara umum dapat dikatakan bahwa eksternalitas adalah suatu efek samping dari suatu tindakan pihak tertentu terhadap pihak lain, baik dampak yang menguntungkan maupun yang merugikan.

          Dalam literatur asing, efek samping mempunyai istilah seperti : external effects, externalities, neighboorhood effects, side effects, spillover effects (Mishan, 1990).  Efek samping dari suatu kegiatan atau transaksi ekonomi bisa positif (positive external effects, external economic) maupun negatif (negative external effects, external diseconomic).  Dalam kenyataannya, baik dampak negatif maupun efek positif bisa terjadi secara bersamaan dan simultan.  Dampak yang menguntungkan misalnya seseorang yang membangun sesuatu pemandangan yang indah dan bagus pada lokasi tertentu mempunyai dampak positif bagi orang sekitar yang melewati lokasi tersebut.  Sedangkan dampak negatif misalnya polusi udara, air dan suara.  Ada juga ekternalitas yang dikenal sebagai eksternalitas yang berkaitan dengan uang (pecuniary externalities) yang muncul ketika dampak eksternalitas itu disebabkan oleh meningkatnya harga.  Misalnya, suatu perusahaan didirikan pada lokasi tertentu atau kompleks perumahan baru dibangun, maka harga tanah tersebut akan melonjak tinggi.  Meningkatnya harga tanah tersebut menimbulkan dampak external yang negatif terhadap konsumen lain yang ingin membeli tanah disekitar daerah tersebut.

          Dalam contoh di atas efek tersebut dalam perubahan harga tanah, dimana kesejahteraan masyarakat berubah tetapi perubahan itu akan kembali ke keadaan keseimbangan karena setiap barang akan menyamakan rasio harga-harga barang dengan marginal rate of substitution (MRS).  Jadi, suatu fakta bahwa tindakan seseorang dapat mempengaruhi orang lain tidaklah berarti adanya kegagalan pasar selama pengaruh tersebut tercermin dalam harga-harga sehingga tidak terjadi ketidak efisienan dalam perekonomian.

          Jadi, yang dimaksud dengan eksternalitas hanyalah apabila tindakan seseorang mempunyai dampak terhadap orang lain atau segolongan orang lain  tanpa adanya kompensasi apapun juga sehingga timbul inefisiensi dalam alokasi faktor produksi.

 

 

BAB II

JENIS DAN FAKTOR PENYEBAB EKSTERNALITAS

A.  JENIS-JENIS EKSTERNALITAS

Efisiensi alokasi sumberdaya dan distribusi konsumsi dalam ekonomi pasar dengan kompetisi bebas dan sempurna bisa terganggu, jika aktivitas dan tindakan invividu pelaku ekonomi baik produsen maupun konsumen mempunyai dampak (externality) baik terhadap mereka sendiri maupun terhadap pihak lain.  Eksternalitas itu dapat terjadi dari empat interaksi ekonomi berikut ini :

a)                              Efek atau dampak satu produsen terhadap produsen lain (effects of producers on other producers).

b)                              Efek atau dampak samping kegiatan produsen terhadap konsumen (effects of producers on consumers)

c)                              Efek atau dampak dari suatu konsumen terhadap konsumen lain (effects of consumers on consumers)

d)                              Efek akan dampak dari suatu konsumen terhadap produsen (effects of consumers on producers)

 

1.  Dampak Suatu Produsen Terhadap Produsen Lain

          Suatu kegiatan produksi dikatakan mempunyai dampak eksternal terhadap produsen lain jika kegiatannya itu mengakibatkan terjadinya perubahan atau penggeseran fungsi produksi dari produsen lain.  Dampak atau efek yang termasuk dalam kategori ini meliputi biaya pemurnian atau pembersihan air yang dipakai (eater intake clen-up cost) oleh produsen hilir (downstream producers) yang menghadapi pencemaran air (water polution) yang diakibatkan oleh produsen hulu (upstream producers).  Hal ini terjadi ketika produsen hilir membutuhkan air bersih untuk proses produksinya.  Dampak kategori ini bisa dipahami lebih jauh dengan contoh lain berikut ini.  Suatu proses produksi (misalnya perusahaan pulp) menghasilkan limbah residu produk sisa yang beracun dan masuk ke aliran sungai, danau atau semacamnya, sehingga produksi ikan terganggu dan akhirnya merugikan produsen lain yakni para penangkap ikan (nelayan).  Dalam hal ini, kegiatan produksi pulp tersebut mempunyai dampak negatif terhadap produksi lain (ikan) atau nelayan, dan inilah yang dimaksud dengan efek suatu kegiatan produksi terhadap produksi komoditi lain.

 

2.  Dampak Produsen Terhadap Konsumen

          Suatu produsen dikatakan mempunyai eksternal efek terhadap konsumen, jika aktivitasnya merubah atau menggeser fungsi utilitas rumah tangga (konsumen).  Dampak atau efek samping yang sangat populer dari kategori kedua yang populer adalah pencemaran atau polusi.  Kategori ini meliputi polusi suara (noise), berkurangnya fasilitas daya tarik alam (amenity) karena pertambangan, bahaya radiasi dari stasiun pembangkit (polusi udara) serta polusi air, yang semuanya mempengaruhi kenyaman konsumen atau masyarakat luas.  Dalam hal ini, suatu agen ekonomi (perusahaan/produsen) yang menghasilkan limbah (waste products) ke udara atau ke aliran sungai mempengaruhi pihak dan agen lain yang memanfaatkan sumber daya alam tersebut dalam berbagai bentuk.  Sebagai contoh, kepuasan konsumen terhadap pemanfaatan daerah-daerah rekreasi akan berkurang dengan adanya polusi udara.

 

3.      Dampak Konsumen Terhadap Konsumen Lain

          Dampak konsumen terhadap konsumen yang lain terjadi jika aktivitas seseorang  atau kelompok tertentu mempengaruhi atau mengganggu fungsi utilitas konsumen yang lain.  Konsumen seorang individu bisa dipengaruhi tidak hanya oleh efek samping  dari kegiatan produksi tetapi juga oleh konsumsi oleh individu yang lain.  Dampak atau efek dari kegiatan suatu seorang konsumen yang lain dapat terjadi dalam berbagai bentuk.  Misalnya, bisingnya suara alat pemotong rumput tetangga, kebisingan bunyi radio atau musik dari tetangga, asap rokok seseorang terhadap orang sekitarnya dan sebagainya.

 

4.      Dampak Konsumen Terhadap Produsen

          Dampak konsumen terhadap produsen terjadi jika aktivitas konsumen mengganggu fungsi produksi suatu produsen atau kelompok produsen tertentu.  Dampak jenis ini misalnya terjadi ketika limbah rumahtangga terbuang ke aliran sungai dan mencemarinya sehingga mengganggu perusahaan tertentu yang memanfaatkan air baik oleh ikan (nelayan) atau perusahaan yang memanfaatkan air bersih.

          Lebih jauh Baumol dan Oates (1975) menjelaskan tentang konsep ekternalitas dalam dua pengertian yang berbeda :

a)                              Eksternalitas yang bisa habis (a deplatable externality) yaitu suatu dampak eksternal yang mempunyai ciri barang individu (private good or bad) yang mana jika barang itu dikonsumsi oleh seseorang individu, barang itu tidak bisa dikonsumsi oleh orang lain.

b)                              Eksternalitas yang tidak habis (an undeplate externality) adalah suatu efek eksternal yang mempunyai ciri barang publik (public goods) yang mana barang tersebut bisa dikonsumsi oleh seseorang, dan juga bagi orang lain.  Dengan kata lain, besarnya konsumsi seseorang akan barang tersebut tidak akan mengurangi konsumsi bagi yang lainnya.

Dari dua konsep eketernalitas ini, eksternalitas jenis kedua merupakan masalah pelik/rumit dalam ekonomi lingkungan.  Keberadaan eksternalitas yang merupakan barang publik seperti polusi udara, air, dan suara merupakan contoh eksternalitas jenis yang tidak habis, yang memerlukan instrumen ekonomi untuk menginternalisasikan dampak tersebut dalam aktivitas dan analisa ekonomi.

 

B.  FAKTOR-FAKTOR PENYEBAB EKSTERNALITAS

Eksternalitas timbul pada dasarnya karena aktivitas manusia yang tidak mengikuti prinsip-prinsip ekonomi yang berwawasan lingkungan.  Dalam pandangan ekonomi, eksternalitas dan ketidakefisienan timbul karena salah satu atau lebih dari prinsip-prinsip alokasi sumber daya yang efisien tidak terpenuhi.   Karakteristik barang atau sumberdaya publik, ketidaksempurnaan pasar, kegagalan pemerintah merupakan keadaan-keadaan dimana unsur hak pemikiran atau pengusahaan sumber daya (property rights) tidak terpenuhi.  Sejauh semua faktor ini tidak ditangani dengan baik, maka eksternalitas dan ketidakefisienan ini tidak bisa dihindari.  Kalau ini dibiarkan, maka ini akan memberikan dampak yang tidak menguntungkan terhadap ekonomi terutama dalam jangka panjang.  Bagaimana mekanisme timbulnya eksternalitas dan ketidakefisienan dari alokasi sumber daya sebagai akibat dari adanya faktor di atas diuraikan satu persatu berikut ini.

 

 

1.  Keberadaan Barang Publik

Barang publik (public goods) adalah barang yang apabila  dikonsumsi oleh individu tertentu tidak akan mengurangi konsumsi orang lain akan barang tersebut.  Selanjutnya, barang publik sempurna (pure public good) didefinisikan sebagai barang yang harus disediakan dalam jumlah dan kualitas yang sama terhadap seluruh anggota masyarakat.

          Kajian ekonomi sumber daya dan lingkungan salah satunya menitikberatkan pada persoalan barang publik atau  barang umum ini (common consumption, public goods, common property resource).  Ada dua ciri utama dari barang publik ini.  Pertama, barang ini merupakan konsumsi umum yang dicirikan oleh penawaran gabungan (joint supply) dan tidak bersaing dalam mengkonsumsinya (non-rivalry in consumption).  Kedua adalah tidak ekslusif (non-exclusive) dalam pengertian bahwa penawaran tidak hanya diperuntukan untuk seseorang dan mengabaikan yang lainnya.  Barang publik yang berkaitan dengan lingkungan meliputi udara segar, pemandangan yang indah, rekreasi, air bersih, hidup yang nyaman dan sejenisnya.

          Satu-satunya mekanisme yang membedakannya adalah dengan menetapkan harga (nilai moneter) terhadap barang publik tersebut sehingga menjadi barang privat (dagang) sehingga benefit yang diperoleh dari harga itu bisa dipakai untuk  mngendalikan atau memperbaiki kualitas lingkungan itu sendiri.   Tetapi dalam menetapkan harga ini menjadi masalah tersendiri dalam analisa ekonomi lingkungan.   Karena ciri-ciri di atas, barang publik tidak diperjual belikan sehingga tidak memiliki harga, barang publik dimanfaatkan berlebihan dan tidak mempunyai insentif untuk melestarikannya.  Masyarakat atau konsumen cendrung acuh tak acuh untuk menentukan harga sesungguhnya dari barang publik ini.  Dalam hal ini, mendorong sebagian masyarakat sebagai “free rider”.  Sebagai contoh, jika  si A mengetahui bahwa barang tersebut akan disediakan oleh si B, maka si A tidak mau membayar untuk penyediaan barang tersebut dengan harapan bahwa barang itu akan disediakan oleh si B, maka si A tidak mau membayar untuk penyediaan barang tersebut dengan harapan bahwa barang itu akan disediakan oleh si B.  Jika akhirnya si B berkeputusan untuk menyediakan barang tersebut, maka si A bisa ikut menikmatinya karena tidak  seorangpun yang bisa menghalanginya untuk mengkonsumsi barang tersebut, karena sifat barang publik yang tidak ekslusif dan merupakan konsumsi umum.  Keadaan seperti akhirnya cendrung mengakibatkan berkurangnya insentif atau rangsangan untuk memberikan kontribusi terhadap penyediaan dan pengelolaan barang publik.  Kalaupun ada kontribusi, maka sumbangan itu tidaklah cukup besar untuk membiayai penyediaan barang publik yang efisien, karena masyarakat cendrung  memberikan nilai yang lebih rendah dari yang seharusnya (undervalued).

 

2.  Sumberdaya Daya Bersama

          Keberadaan sumber daya bersama (common resources) atau akses terbuka terhadap sumber daya tertentu  ini tidak jauh berbeda dengan keberadaan barang publik di atas. 

          Sumber-sumber daya milik  bersama, sama halnya dengan barang-barang publik, tidak ekskludabel.  Sumber-sumber daya ini terbuka bagi siapa saja yang ingin memanfaatkannya, dan cuma-cuma.  Namun tidak seperti barang publik, sumber daya milik  bersama memiliki sifat bersaingan.  Pemanfaatannya oleh  seseorang, akan mengurangi peluang bagi orang lain untuk melakukan hal yang sama.  Jadi, keberadaan sumber daya milik bersama ini, pemerintah juga perlu mempertimbangkan seberapa banyak pemanfaatannya yang efisien.  Contoh klasik tentang bagaimana eksternalitas terjadi pada kasus sumberdaya bersama ini adalah seperti yang diperkenalkan oleh Hardin (1968) yang terkenal dengan  istilah tragedi barang umum (the tragedy of the commons).

 

3.  Ketidaksempurnaan Pasar

          Masalah lingkungan bisa juga terjadi ketika salah satu partisipan didalam suatu tukar manukar hak-hak kepemilikan (property rights) mampu mempengaruhi hasil yang terjadi (outcome).  Hal ini bisa terjadi pada pasar yang tidak sempurna  (imperfect market) seperti pada kasus monopoli (penjual tunggal).

          Ketidaksempurnaan pasar ini misalnya terjadi pada praktek monopoli dan kartel.  Contoh konkrit dari praktek ini adalah Organisasi negara-negara pengekspor minyak (OPEC) dengan memproduksi dalam jumlah yang lebih sedikit sehingga mengakibatkan meningkatnya harga yang lebih tinggi dari normal.  Pada kondisi yang demikian akan hanya berakibat terjadinya peningkatan surplus produsen yang nilainya jauh lebih kecil dari kehilangan surplus konsumen, sehingga secara keseluruhan praktek monopoli ini merugikan masyarakat (worse off).

 

4.  Kegagalan Pemerintah

          Sumber ketidakefisienan dan atau eksternalitas tidak saja diakibatkan oleh kegagalan pasar tetapi juga karena kegagalan pemerintah (government failure).  Kegagalan pemerintah banyak diakibatkan tarikan kepentingan pemerintah sendiri atau kelompok  tertentu (interest groups) yang tidak mendorong efisiensi.  Kelompok tertentu ini memanfaatkan pemerintah untuk mencari keuntungan (rent seeking) melalui proses politik, melalui kebijaksanaan dan sebagainya.  Aksi pencarian keuntungan (rent seeking) bisa dalam berbagai bentuk :

a)                              Kelompok yang punya kepentingan tertentu (interest groups) melakukan loby dan usaha-usaha lain yang memungkinkan diberlakukannya aturan yang melindungi serta menguntungkan mereka.

b)                              Praktek mencari keuntungan bisa juga berasal dari pemerintah sendiri secara sah misalnya memberlakukan proteksi berlebihan untuk barang-barang tertentu seperti mengenakan pajak impor yang tinggi dengan alasan meningkatkan efisiensi perusahaan dalam negeri.

c)                              Praktek mencari keuntungan ini bisa juga dilakukan oleh aparat atau oknum tertentu yang mempunyai otoritas tertentu, sehingga pihak-pihak yang berkepentingan bisa  memberikan uang jasa atau uang pelicin untuk keperluan tertentu, untuk menghindari resiko yang lebih besar kalau ketentuan atau aturan diberlakukan dengan sebenarnya.  Praktek mencari keuntungan ini membuat alokasi sumber daya menjadi tidak efisien dan pelaksanaan aturan-aturan yang mendorong efisiensi tidak berjalan dengan semestinya.  Praktek jenis ini bisa mendorong terjadinya eksternalitas.  Sebagai contoh, perusahaan A yang mengeluarkan limbah yang merusak lingkungan.  Berdasarkan perhitungan atau estimasi perusahaan  A harus mengeluarkan biaya (denda) yang besar (misalnya  Rp. 1 milyar) untuk menanggulangi efek dari limbah yang  dihasilkan itu.  Pencari keuntungan (rent seeker) bisa dari perusahaan itu sendiri atau dari pemerintah atau oknum memungkinkan membayar kurang dari 1 milyar agar peraturan sesungguhnya tidak diberlakukan, dan denda informasi ini belum tentu menjadi reveneu pemerintah.  Sehingga akhirnya dampak lingkungan yang seharusnya diselidiki dan ditangani tidak dilaksanakan dengan semestinya sehingga masalahnya menjadi bertambah serius dari waktu ke waktu.

 

 

BAB III 

SOLUSI PEMERINTAH DAN SWASTA TERHADAP EKSTERNALITAS

Kita telah menyimak mengapa keberadaan eksternalitas itu dapat mengakibatkan alokasi sumber daya yang dilakukan oleh pasar menjadi tidak efisien.  Namun sejauh ini kita baru mengulas secara sekilas tentang cara-cara mengatasi eksternalitas tersebut.  Dalam prakteknya, bukan hanya pemerintah saja yang perlu dan dapat mengatasi eksternalitas itu, melainkan juga pihak-pihak non pemerintah, baik itu pribadi/kelompok maupun perusahaan/organisasi kemasyarakatan.  Untuk mudahnya, kita sebut saja pihak-pihak non pemerintah tersebut sebagai pihak “pribadi” atau “swasta”.  Pada dasarnya, tujuan yang hendak dicapai oleh pemerintah maupun pihak swasta (perorangan dan kelompok), berkenaan dengan penanggulangan eksternalitas itu sama saja, yakni untuk mendorong alokasi sumber daya agar mendekati kondisi yang optimum secara sosial.  Pada bagian pembahasan berikut kita akan menelaah solusi-solusi atau upaya-upaya yang dilakukan oleh pemerintah dan pribadi atau swasta (private solution) dalam mengatasi persoalan eksternalitas.

 

 

A.  REGULASI

Pemerintah dapat mengatasi suatu eksternalitas dengan melarang atau mewajibkan perilaku tertentu dari pihak-pihak tertentu. Sebagai contoh, untuk mengatasi kebiasaan membuang limbah beracun ke sungai, yang biaya sosialnya jauh lebih besar dari   pada   keuntungan   pihak-pihak   yang   melakukannya, pemerintah dapat menyatakannya sebagai tindakan kriminal dan akan mengadili serta menghukum pelakunya. Dalam kasus ini pemerintah menggunakan regulasi atau pendekatan komando dan kontrol untuk melenyapkan eksternalitas tadi.

Namun kasus-kasus polusi umumnya tidak sesederhanana itu. Tuntutan para pecinta lingkungan untuk menghapuskan segala  bentuk polusi, sesungguhnya tidak mungkin terpenuhi, karana polusi merupakan efek sampingan tak terelakkan dari kegiatan produksi industri. Contoh yang sederhana, semua kendaraan bemotor sesungguhnya mengeluarkan polusi. Jika polusi ini hendak dihapus sepenuhnya, maka segala bentuk kendaraan bermotor harus dilarang oleh pemerintah, dan hal ini tidak mungkin  dilakukan.  Jadi,  yang  harus  diupayakan  bukan penghapusan polusi secara total, melainkan pembatasan polusi hingga  ambang  tertentu,  sehingga  tidak  terlalu  merusak lingkungan namun tidak juga menghalangi kegiatan produksi. Untuk  menentukan  ambang  aman  tersebut,  kita  harus menghitung segala untung ruginya secara cermat.  Di Amerika Serikat,   Badan   Perlindungan   Lingkungan   Hidup   (EPA/Environmental Protection Agency) adalah lembaga yang diserahi wewenang dan tugas untuk merumuskan, melaksanakan, dan mengawasi berbagai regulasi yang dimaksudkan untuk melindungi lingkungan hidup.

Bentuk regulasi dibidang lingkungan hidup itu sendiri bisa bermacam-macam.  Adakalanya EPA langsung menetapakan batasan polusi yang diperbolehkan  untuk suatu perusahaan. Terkadang EPA mewajibkan pemakaian teknologi atau peralalatan tertentu untuk mengurangi polusi di pabrik-pabrik. Di semua kasus, demi memperoleh suatu peraturan yang baik dan tepat guna, para pejabat pemerintah harus mengetahui spesifikasi dari setiap jenis/sektor industri, dan berbagai alternatif teknologi yang dapat diterapkan oleh industri yang bersangkutan, dalam rangka mengurangi atau membatasi polusi. Masalahnya, informasi seperti ini sulit di dapatkan.

 

B.  PAJAK PIGOVIAN DAN SUBSIDI

Selain menerapkan regulasi, untuk mengatasi eksternalitas,  pemerintah  juga  dapat  menerapkan  kebijakan-kebijakan yang didasarkan pada pendekatan pasar, yang dapat memadukan insentif pribadi/swasta dengan efisiensi sosial.

Sebagai contoh, seperti telah disinggung di atas pemerintah dapat menginternalisasikan eksternalitas dengan menggunakan pajak terhadap  kegiatan-kegiatan  yang  menimbulkan  eksternalitas negatif, dan sebaliknya memberi subsidi untuk kegiatan-kegiatan yang memunculkan eksternalitas positif. Pajak yang khusus diterapkan untuk mengoreksi dampak dan suatu ekstemalitas negatif lazim disebut sebagai Pajak Pigovian (Pigowan tax), mengambil  nama  ekonom  pertama  yang  merumuskan  dan menganjurkannya, yakni Arthur Pigou (1877-1959).

Para ekonom umumnya lebih menyukai pajak Pigovian dari pada regulasi sebagai cara untuk mengendalikan polusi, karena biaya penerapan pajak itu lebih murah bagi masyarakat secara keseluruhan. Andaikan ada dua pabrik-pabrik baja dan pabrik kertas-yang masing-masing membuang limbah sebanyak 500 ton per tahun ke sungai. EPA menilai limbah itu terlalu banyak, dan beniat menguranginya. Ada dua pilihan solusi baginya, yakni :

a)                              Regulasi    : EPA mewajibkan semua pabrik untuk mengurangi  limbahnya  hingga 300 ton per tahun.

b)                              Pajak Pigovian :  EPA mengenakan pajak sebesar Rp.5.000.000 untuk setiap ton limbah yang dibuang oleh setiap pabrik.

Regulasi itu langsung membatasi ambang polusi, sedangkan pajak Pigovian memberikan insentif kepada para pemilik pabrik untuk sebanyak mungkin mengurangi polusinya.  Menurut pendapat Anda, solusi manakah yang lebih baik ?.

 Para ekonom lebih meyukai penerapan pajak. Mereka yakin penerapan pajak itu sama sekali tidak kalah efektifnya dalam menurunkan polusi. Untuk mencapai ambang polusi  tertentu, EPA tinggal menghitung tingkat pajak yang paling tepat untuk diterapkannya. Semakin tinggi tingkat pajaknya, akan semakin banyak penurunan polusi yang akan terjadi.  Namun EPA juga harus hati-hati, karena pajaknya terlalu tinggi, polusi akan hilang,  karena  semua  pabrik  bangkrut atau  memilih  tidak beroperasi.

Alasan utama para ekonom itu memilih penerapan pajak, adalah karena cara ini lebih efektif menurunkan polusi. Regulasi mewajibkan semua pabrik mengurangi polusinya dalam jumlah yang sama, padahal penurunan sama rata, bukan merupakan  cara  termurah menurunkan polusi. Ini dikarenakan kapasitas dan keperluan setiap pabrik untuk berpolusi berbeda-beda. Besar kemungkinan salah satu pabrik (misalkan pabrik kertas), lebih mampu (biayanya lebih murah) untuk menurunkan polusi dibanding pabrik lain (pabrik baja). Jika keduanya dipaksa menurunkan polusi sama rata, maka operasi pabrik baja akan terganggu. Namun melalui penerapan pajak, maka pabrik kertas akan segera mengurangi polusinya, karena hal itu lebih murah dan lebih mudah dilakukan dari pada membayar pajak, sedangkan pabrik baja, yang biaya penurunan polusinya lebih mahal, akan memilih membayar pajak saja.

Pada dasarnya, pajak Pigovian secara langsung menetapkan harga atas hak berpolusi. Sama halnya dengan kerja pasar yang mengalokasikan berbagai barang ke pembeli, yang memberikan penilaian paling tinggi pajak Pigovian ini juga mengalokasikan hak berpolusi  kepada  perusahaan  atau  pabrik,  yang  paling  sulit menurunkan polusinya atau yang dihadapkan pada biaya paling tinggi  untuk menurunkan  polusi  (misalkan  karena  biaya  alat penyaring polusinya sangat mahal). Berapapun target penurunan polusi yang diinginkan EPA akan dapat mencapainya dengan biaya termurah melalui penerapan pajak ini.

Para ekonom juga berkeyakinan bahwa penerapan pajak Pigovian, merupakan cara terbaik untuk menurunkan polusi. Pendekatan komando dan kontrol tidak akan memberikan alasan atau insentif bagi pabrik-pabrik pencipta polusi untuk berusaha mengatasi polusi semaksimal mungkin. Seandainya saja polusinya sudah berada dibawah ambang maksimal (misalkan 300 ton per tahun), maka perusahaan itu tidak akan membuang biaya lebih banyak  agar polusinya  dapat ditekan  lebih  rendah  lagi. Sebaliknya, pajak akan memberikan insentif kepada pabrik-pabrik itu untuk terus mengembangkan tekndogi yang ramah terhadap lingkungan. Mereka akan terus terdorong menurunkan polusi, karena semakin sedikit polusi yang mereka ciptakan, akan semakin sedikit pula pajak yang harus mereka bayar.

Pajak Pigovian tidaklah sama dengan pajak-pajak lain, dimana kita mengetahui bahwa pajak pada urnumnya akan mendistorsikan insentif dan mendorong alokasi sumber daya menjauhi  titik  optimum  sosialnya.  Pajak  umumnya  juga menimbulkan beban baku berupa penurunan kesejahteraan ekonomis (turunnya surplus produsen dan surplus konsumen), yang nilainya lebih besar dari pada pendapatan yang diperoleh pemerintah dan pajak tersebut. Pajak Pigovian tidak seperti  itu karena pajak ini memang khusus diterapkan untuk mengatasi masalah ekstemalitas. Akibat adanya eksternalitas, masyarakat harus memperhitungkan kesejahteraan pihak lain. Pajak Pigovian diterapkan   untuk   mengoreksi   insentif  ditengah   adanya eksternalitas, sehingga tidak seperti pajak-pajak lainnya, pajak Pigovian itu justru mendorong alokasi sumber daya mendekati titik optimum sosial. Jadi, selain memberi pendapatan tambahan pada pemerintah, pajak Pigovian ini juga meningkatkan efisiensi ekonomi.

 

C.  IZIN POLUSI YANG DAPAT DIPERJUAL BELIKAN

Sekarang, mari kita andaikan  EPA (Enviromental Protection Agency) mengesampingkan saran para ekonom, dan menerapkan pendekatan formal. EPA mengeluarkan peraturan yang mengharuskan setiap pabrik, untuk menurunkan limbahnya hingga 300 ton per tahun. Namun, hanya sehari  setelah  peraturan  itu  diumumkan,  pimpinan  dua perusahaan, yang satu dan pabrik baja dan yang lain dari pabrik kertas, datang ke kantor EPA untuk mengajukan suatu usulan.

Pabrik baja perlu menaikkan ambang polusinya, misalnya satu ton per tahun. Agar polusi total tidak bertambah, pengelola pabrik kertas bersedia menurunkan polusinya sebanyak itu, asalkan si pemilik pabrik baja memberikan kompensasi Rp. 5.000.000.- dan permintaan ini sudah disanggupi oleh pemilik pabrik baja. Haruskan EPA mengizinkan kedua pabrik itu melakukan jual-beli hak berpolusi sendiri ?.

Dari sudut pandang efisiensi ekonomi pemberian izin bagi kedua pabrik tersebut akan menjadi kebijakan yang baik. Kesepakatan antara kedua pabrik itu akan menguntungkan keduanya, karena mereka secara sukarela menyetujuinya. Di samping itu, kesepakatan itu tidak akan mengakibatkan dampak eksternal apa pun, karena batas posisi total tidak dilanggar. Jadi, kesejahteraan total akan meningkat kalau EPA mengizinkan kedua pabrik itu melakukan jual-beli hak berpolusi.

Logika yang sama yang berlaku untuk setiap transfer hak berpolusi secara sukarela, dan satu perusahaan ke perusahaan lain.  Jika  kemudian  EPA  memang mengizinkan  hal  itu,  maka sesungguhnya EPA telah menciptakan sumber daya langka yang baru, yakni hak berpolusi. Pasar yang memperdagangkan hak berpolusi ini selanjutnya pasti akan tumbuh dan berkembang, dan pada gilirannya, pasar ini akan tunduk pada kekuatan-kekuatan penawaran  dan  permintaan.  Perusahaan-perusahaan  yang dihadapkan pada biaya yang sangat tinggi untuk berpolusi, pasti akan aktif dipasar itu, karena bagi mereka, membeli hak berpolusi lebih   murah   dibanding   melakukan   investasi   baru   untuk menurunkan   polusi   pabrik-pabrik   mereka.   Sebaliknya, perusahaan-perusahaan yang tidak dihadapkan pada kendala yang berat untuk menurunkan polusi, pasti akan senang hati menjual  haknya  berpolusi  karena  hal  itu  akan  memberinya pendapatan cuma-cuma.

Satu keuntungan dari berkembangnya pasar hak berpolusi ini,  adalah  alokasi/pembagian  awal  izin  berpolusi  dikalangan perusahaan tidak akan menjadi masalah, jika ditinjau dari sudut pandang  efisien  ekonomi.  Logika  yang  melatarbelakangi kesimpulan tersebut mirip dengan mendasari teorema Coase.

Perusahaan-perusahaan yang paling mampu menurunkan polusi akan menjual haknya berpolusi, sedangkan perusahaan yang harus mengeluarkan biaya besar untuk menurunkan polusi, akan menjadi pembelinya. Selama pasar hak berpolusi ini dibiarkan bekerja dengan bebas, maka alokasi akhirnya akan lebih efisien dibanding alokasi awalnya, terlepas dari sebaik apapun alokasi awal tersebut.

Meskipun penurunan polusi melalui pemberlakuan izin polusi nampak berbeda kasusnya dari penerapan pajak Pigovian, sesungguhnya dampak akhir dari kedua kebijakan ini akan sama saja. Dalam kedua kasus ini, perusahaan tetap harus membayar atas polusi yang ditimbulkannya. Dalam kasus pajak Pigovian, perusahaan pencipta polusi harus membayar pajak atau semacam denda kepada pemerintah, atas polusi yang ditimbulkannya itu, sedangkan pada kasus izin polusi, perusahaan harus membeli izin itu dari pemerintah. Bahkan perusahaan-perusahaan yang sudah memiliki izin polusi tetap harus membayar dalam bentuk lain, yakni biaya oportunitas berpolusi berupa pendapatan yang akan mereka peroleh seandainya mereka menjual izin polusi itu dalam sebuah pasar terbuka. Dengan demikian, penerapan pajak Pigovian maupun izin polusi, sama-sama dapat menginternalisasikan eksternalitas, dengan memaksa perusahaan menanggung ongkos tertentu untuk berpolusi.

Kemiripan antara kedua kebijakan itu dapat dilihat secara jelas di pasar polusi. Kedua panel yang terdapat pada gambar dibawah ini sama-sama menunjukkan kurva permintaan atas hak berpolusi. Kurva permintaan ini memperlihatkan bahwa semakin rendah biaya atau harga polusi, akan semakin tinggi permintaan polusi  artinya  perusahaan-perusahaan  akan  lebih  leluasa berpolusi, karena biayanya relatif rendah. Selanjutnya pada gambar (a) dipertihatkan EPA, dalam rangka mengurangi polusi, langsung menetapkan harga polusi dengan cara memberlakukan pajak Pigovian. Dalam kasus ini, kurva penawaran hak berpolusi bersifat elastis sempuma karena perusahaan-perusahaan dapat berpolusi sebanyak pajak yang mereka bayarkan. Disini, kurva permintaan akan menentukan kuantitas polusi. Sedangkan pada gambar (b) EPA secara  langsung  membatasi  kuantitas  polusi  dengan  cara menerbitkan sejumlah izin polusi terbatas. Dalam kasus ini, kurva penawaran hak berpolusi bersifat inelastis sempuma (Karena perusahaan-perusahaan langsung dijatah kuantitas polusinya, sebanyak izin polusi yang ada). Di sini, posisi kurva permintaan akan menentukan harga polusi.

 

 

 

 


                                        

 

 

           O            Q    Kuantitas Polusi                        0             Q       Kuantitas Polusi   

 

Gambar (a)  Pajak Pigovian                           Gambar (b)  Izin Polusi

 

Dalam kedua kasus ini, terlepas dan posisi kurva permintaannya, EPA dapat mencapai sembarang titik pada kurva itu, dengan menetapkan harga polusi melalui pajak Pigovian, atau dengan secara langsung membatasi kuantitas polusi melalui penerbitan izin polusi terbatas.

 Namun dalam beberapa hal, penjualan izin polusi bisa lebih baik dan itu pada penerapan pajak Pigovian. Umpamakan saja EPA suatu ketika ingin membatasi limbah yang dibuang di sungai tidak lebih dari 600 ton. Tetapi karena EPA tidak mengetahui kurva permintaan polusi, maka ia tidak akan dapat memastikan berapa besar pajak yang harus diterapkan untuk mencapai target tersebut. Dalam kasus ini, pemecahan akan diperoleh dengan melelang izin polusi sebanyak 600 ton limbah. Hasil lelang ini akan memberi pendapatan seperti halnya pajak Pigovian.

 

D.  JENIS-JENIS SOLUSI SWASTA

          Inefisiensi pasar akibat eksternalitas tidak perlu selalu harus atau bisa di atasi dengan penegakan atau peningkatan standar moral atau ancaman penerapan sanksi sosial.  Coba renungkan, mengapa orang-orang secara sadar tidak mau membuang sampah sembarangan ?.  Peraturan resmi yang mengatur tentang sampah memang ada, namun di banyak tempat, peraturan semacam itu tidak dijalankan secara sungguh-sungguh.  Kita tidak mau membuang sampah disembarang tempat juga bukan karena takut dengan peraturan-peraturan semacam itu, namun karena kita mengetahui atau menyadari bahwa tidaklah baik dan tidak patut sejak kita masih kanak-kanak, bahwa kita boleh melakukan sesuatu moral inilah yang kemudian membatasi perilaku dan tindakan kita, agar sedapat mungkin tidak merugikan orang lain.  Dalam bahasa ekonomi, ajaran agama itu meminta kita untuk melakukan internalisasi eksternalitas.

          Contoh lain solusi swasta adalah derma atau amal yang seringkali sengaja diorganisasikan untuk mengatasi suatu eksternalitas.  Contohnya adalah Sierra Club, sebuah organisasi sosial swasta yang sengaja dibentuk untuk turut melestarikan lingkungan hidup.  Organisasi ini mengandalkan pemasukannya dari donasi pihak-pihak yang bersimpati atau iuran anggota.  Hal ini sebagai contoh untuk mengatasi eksternalitas negatif.  Sedangkan untuk eksternalitas positif, kita mengetahui banyak perguruan tinggi yang membentuk yayasan yang menghimpun sumbangan dari para alumni, perusahaan, atau pihak-pihak lain, untuk kemudian disalurkan sebagai beasiswa.

          Pasar swasta terkadang juga mampu mengatasi masalah eksternalitas, dengan membiarkan pihak-pihak yang berkepentingan untuk mengatasinya.  Motif utama mereka memang untuk memenuhi kepentingannya sendiri, namun dalam melakukan suatu tindakan, mereka juga sekaligus mengatasi eksternalitas.  Sebagai contoh, kita lihat saja apa yang akan dilakukan oleh seorang petani apel dan seorang peternak lebah yang hidup berdekatan.  Pada saat lebah-lebah itu mencari madu dari satu bunga apel ke bunga lainnya, mereka membantu penyerbukan dan mempercepat pohon-pohon apel itu berubah.  Ia menguntungkan si petani apel.  Sedangkan sipeternak juga untung karena ia tidak perlu memberi makan lebah-lebahnya.  Namun jika kerja sama terselubung yang saling menguntungkan itu tidak diperhitungkan, maka kedua belah pihak bisa merugi.  Jika pohon apel yang ditanam si petani terlalu sedikit, maka lebah-lebah itu akan kekurangan makanan.  Sebaliknya, jika lebah yang  dipelihara si peternak terlalu sedikit, maka proses penyerbukan  tidak lancar.  Eksternalitas ini dapat diinternalisasikan dengan cara penggabungan kedua usaha.  Si petani membeli seluruh atau sebagian usaha peternakan lebah, atau sebaliknya si peternak membeli seluruh atau sebagian pohon apel.  Jiak kedua usaha ini disatukan, maka pengelolanya akan lebih mudah menentukan berapa banyak pohon apel yang harus ditanam, dan berapa ekor lebah yang harus dipelihara, demi membuahkan hasil yang maksimal.  Dalam kenyataannya, niat untuk mengupayakan internalisasi eksternalisasi seperti itulah yang merupakan penyebab mengapa banyak perusahaan yang menekuni lebih dari satu bidang/jenis usaha sekaligus.

          Cara lain di pasar swasta dalam mengatasi eksternalitas adalah penyusunan kontrak atau perjanjian di antara pihak-pihak yang menaruh kepentingan.  Dalam contoh di atas, si petani apel dan sipeternak lebah dapat membuat perjanjian kerja sama, agar masing-masing dapat memberikan eksternalitas positif yang optimal, sekaligus menghilangkan eksternalitas negatifnya (jumlah pohon atau jumlah lebah yang terlalu sedikit).  Dalam perjanjian itu bisa di atur, berapa banyak pohon yang ditanam si petani, dan berapa ekor lebah yang harus dipelihara si peternak.  Jika biaya yang dipikul keduanya tidak sama, maka bisa juga diatur siapa perlu membayar siapa, dan berapa banyak.  Melalui kontrak seperti ini, maka kemungkinan terjadinya inefisiensi yang bersumber dari eksternalitas negatif bisa dihindari, dan kedua belah pihak akan sama-sama lebih untung dibanding kalau keduanya menjalankan usahanya sendiri-sendiri, tanpa memperhitungkan kepentingan pihak lain.

 

E.  TEORAMA  COASE

          Sejauh mana solusi swata tersebut mampu mengatasi masalah eksternalitas ?.  Ada sebuah pemikiran yang disebut teorema Coase (Coase therem) mengambil nama perumusnya yakni ekonom Ronald Coase yang menyatakan bahwa solusi swasta bisa sangat efektif seandainya memenuhi satu syarat.  Syarat itu adalah pihak-pihak yang berkepentingan dapat melakukan negosiasi atau merundingkan langkah-langkah penanggulangan masalah ekternalitas yang ada diantara mereka, tanpa menimbulkan biaya khusus yang memberatkan alokasi sumber daya yang sudah ada.  Menurut teorema Coase, hanya jika syarat itu terpenuhi, maka pihak swasta itu akan mampu mengatasi masalah eksternalitas dan meningkatkan efisiensi alokasi sumber daya.  Untuk lebih memahami makna teorema Coase, simaklah contoh berikut :

          Di sebuah kota tinggal seseorang bernama Dick, ditemani anjingnya yang bernama Spot.  Spot ini terus-terusan menggonggong sehingga sangat mengganggu Jane, tetangga  Dick.  Dick memetik manfaat dengan memelihara Spot, berupa rasa aman dan nyaman.  Namun pemeliharaannya atas Spot itu menimbulkan eksternalitas negatif terhadap Jane.   Haruskah  Dick dipaksa mengirim anjing ke lokasi khusus penitipan hewan, ataukah Jane yang harus dipaksa rela begadang sepanjang malam, karena tidak bisa tidur akibat gonggongan Spot ?.

          Pertama-tama, kita perkirakan dahulu seperti apa pemecahan yang dalam secara sosial (untuk semua pihak).   Ada  dua alternatif yang perlu dipertimbangkan, dan untuk itu diperlukan perhitungan atas seberapa banyak nilai keuntungan bagi Dick dengan memelihara Spot, dan berapa kerugian yang harus  ditanggung Jane.  Jika keuntungannya melebihi kerugiannya maka pemecahan yang efisien secara sosial adalah Dick dibiarkan terus  memelihara anjingnya, sedangkan Jane harus rela tidur diiringi gonggongan anjing.   Sebaliknya, jika nilai kerugiannya melampaui nilai  keuntungannya, maka Dick harus menyingkirkan anjingnya.  Menurut teorema Coase, pasar swasta dapat menciptakan sendiri pemecahan yang efisien.   Bagaimana caranya ?.  Sebagai satu contoh, Jane dapat menawarkan sejumlah uang kepada Dick agar menyingkirkan anjingnya.  Dick akan terima tawaran itu, jika uang yang ditawarkan melebihi nilai keuntungannya dalam memelihara Spot.  Melalui tawar menawar, Dick dan Jane akhirnya akan dapat menyepakati jumlah imbalan yang dapat diterima kedua belah pihak, dan seandainya kesepakatan tersebut benar-benar dapat dicapai, maka itu berarti mereka dapat menciptakan sendiri pemecahan atas masalah eksternalits yang mereka hadapi.   Umpamakan saja, nilai keuntungan bagi Dick dari memelihara Spot adalah  Rp. 50.000,- sedangkan kerugian Jane bernilai  Rp. 80.000,-  Dalam kasus ini, Jane dapat menawarkan imbalan sebanyak  Rp. 60.000,- dan  Dick dengan senang hati akan menyingkirkan anjingnya.  Kedua belah pihak akan lebih sejahtera dibanding sebelumnya dan pemecahan efisien pun tercipta.

          Namun ada pula kemungkinan Jane tidak membayar imbalan itu, yakni jika ternyata nilai keuntungan Dick lebih besar dari pada nilai kerugiannya.  Misalkan saja, nilai keuntungan Dick dari memelihara Spot ternyata Rp. 100.000,- sedangkan kerugian Jane akibat gonggongan Spot hanya Rp. 80.000,-  Jika ini kasusnya, maka tentu saja Dick akan menolak tawaran imbalan yang lebih kecil dari Rp. 100.000,- padahal Jane tidak akan mau membayar lebih dari Rp. 80.000,-.  Akibatnya, Dick akan tetap memelihara Spot.  Ditinjau dari perhitungan untung ruginya, kondisi tersebut juga terhitung efisien.

          Semua uraian dalam contoh di atas, tentu saja bertumpu pada asumsi bahwa Dick secara hukum memang dibenarkan memelihara anjingnya yang berisik itu, sehingga Jane tidak bisa mengganggu gugat. Artinya, kita berasumsi bahwa Dick dapat memelihara Spot dengan bebas, dan Jane harus memberinya imbalan agar Dick menyingkirkan anjingnya itu secara sukarela.  Lantas bagaimana jika ternyata hukum berpihak pada Jane, atau jika Jane secara hukum berhak untuk menikmati ketenangan dan ketentraman di rumahnya sendiri.

          Menurut teorema Coase, distribusi awal hak atau perlindungan hukum itu tidak menjadi persoalan, karena tidak ada pengaruhnya terhadap kemampuan pasar dalam mencapai hasil yang efisien.  Misalkan saja, Jane secara hukum dapat menggugat  Dick agar menyingkirkan anjingnya.  Dalam kasus ini, hukum berpihak pada Jane, namun hasil akhirnya tidak akan berubah.  Dalam kasus ini, Dick dapat menawarkan sejumlah imbalan kepada Jane agar ia dapat terus memelihara anjingnya.  Andaikata nilai keuntungan Dick lebih besar daripada kerugian Jane, maka keduanya akan dapat mencapai suatu kesepakatan yang memungkinkan Dick terus memelihara Spot.

          Jadi, terlepas dari distribusi hak pada awalnya, Dick dan Jane tetap berpeluang mencapai kesepakatan.  Meskipun demikian, soal distribusi hak itu bukannya sama sekali tidak relevan, karena distribusi awal itulah yang menentukan distribusi kesejahteraan ekonomi.  Jika Dick yang memiliki hak awal untuk memelihara Spot, maka Jane lah yang harus memberi imbalan dalam kesepakatan yang mereka buat.   Sebaliknya, jika Jane yang mempunyai hak awal untuk hidup tenang, maka Dick yang harus memberi imbalan.  Namun dalam kedua kasus ini, kesepakatan tetap dapat dibuat dalam rangka mengatasi masalah eksternalitas.  Pada akhirnya, Dick hanya akan terus memelihara anjingnya jika nilai keuntungannya melebihi nilai kerugiannya.

          Jadi, dapat disimpulkan bahwa : Teorema Coase menyatakan bahwa pelaku-pelaku ekonomi pribadi/swasta, dapat mengatasi sendiri masalah eksternalitas yang muncul diantara mereka.  Terlepas dari distribusi hak pada awalnya, pihak-pihak yang berkepentingan selalu berpeluang mencapai kesepakatan yang menguntungkan semua pihak, dan merupakan pemecahan yang efisien.

 

 

BAB IV

KESIMPULAN

Dalam beberapa kasus, para anggota masyarakat dapat mengatasi  sendiri  masalah eksternalitas,  tanpa  keterlibatan pemerintah. Menurut teorema Coase, seandainya mereka dapat melakukan tawar menawar secara bebas (tanpa biaya), maka mereka akan dapat mencapai  kesepakatan  bersama, dan melaksanakannya bersama-sama pula sehingga tercapai suatu alokasi yang efisien. Narnun dalam prakteknya, banyak kendala yang tidak memungkinkan berlangsungnya tawar menawar itu. Salah  satu  diantaranya  adalah  terlalu  banyak  pihak  yang berkepentingan.

Kalau orang-orang tidak dapat menyelesaikan  sendiri masalah eksternalitas yang mereka hadapi, maka pemerintah perlu turun tangan. Namun adanya eksternalitas itu tidaklah menjadi alasan untuk sepenuhnya mencampakkan kekuatan pasar. Pemerintah dapat mengatasi persoalan eksternalitas itu tanpa  meninggalkan  pasar,  yakni  dengan  secara  langsung mewajibkan para pembuat keputusan (produsen atau konsumen) menanggung segenap biaya atau akibat yang ditimbulkan oleh prilaku atau tindakan mereka. Contohnya adalah penerapan pajak Pigovian terhadap polusi. Penanggulangan polusi juga dapat dilakukan  melalui  penerbitan  izin  polusi  terbatas.  Hanya perusahaan yang memiliki izin yang boleh menciptakan polusi, itupun dalam kadar yang terbatas. Kedua cara ini pada dasarnya merupakan  upaya  internalisasi  ekstemalitas  polusi.  Dalam prakteknya peran kelompok-kelompok pecinta lingkungan terus meningkat, sehingga kini mereka menjadi kekuatan utama dalam melindungi kelestarian lingkungan hidup. Kekuatan pasar jika dapat diarahkan secara tepat dapat menjadi resep yang paling mujarab untuk mengatasi kegagalan pasar.

 

 

DAFTAR  PUSTAKA

 

Baumol, W.J. 1975. Macroeconomics of Unbalanced Growth.   The Anatomy of Urban Crisis, in American Economic Review.

 

Boadway, R.W. 1979. Public Sector Economics.  Winthrop Publisher, Inc. Cambridge.

 

Cullis, J.G. and P.R. Jones. 1992. Public Finance and Public Choice : Analytical Perspective, Mc Graw-Hill Book Company, New York.

 

Mangkoesoebroto, G. 1997.  Ekonomi Publik. Edisi Ke Tiga. BPFE – Yogyakarta, Yogyakarta.

 

Mishan. 1990. Public Goods and Natural Liberty. Oxford, Claredon Press, London.

 

Musgrave, R.A. and Peggy, B.M. 1989. Public Finance in Theory and Practice. Fifth Edition, Mc Graw-Hill Book Company, New York.

 

Myles, G.D. 1997. Public Economics.  Cambridge University Press, Cambridge.

 

Nasoetion, A.H. 1992. Pengantar Ke Filsafat Sains. P.T. Pustaka Litera Antarnusa. Bogor.

 

Pogue, T.F. and L.G. Sgontz. 1978. Government and Economic Choice : An Introduction to Publik Finance, Houghton Mifflin Company, Boston.

 

Simarmata, Dj.A. 1994. Ekonomi Publik dan External, Ekonomi Tanpa Pasar. Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia, Jakarata.