© 2002  Endang Hernawan                                                                                 Posted: 18 December, 2002

Makalah Falsafah Sains (PPs 702)

Program Pasca Sarjana / S3

Institut Pertanian Bogor

December 2002

 

Dosen:

Prof Dr Ir Rudy C Tarumingkeng (Penanggung Jawab)

Prof Dr Ir Zahrial Coto

Dr Bambang Purwantara

 

 

 

 

DAMPAK KONGLOMERASI DAN KARTEL TERHADAP

KELESTARIAN HUTAN DAN INDUSTRI HASIL HUTAN

(Impacts of Conglomeration and Cartel  on  Sustainable Forest and Forest Products Industry) 

 

Oleh:

 

Endang Hernawan

E 061020041

 

 

 

 

I. Pendahuluan

 

Sistem HPH pada dasarnya merupakan bentuk antisipasi pemerintah setelah dibukanya kran penanaman modal dengan telah dikeluarkannya Undang-Undang No.1 tahun 1967 tentang Penanaman Modal Asing dan Undang-Undang No. 6 tahun 1968 tentang Penanaman Modal Dalam Negeri, melalui pengaturan pemberian konsesi HPH. Pada awalnya Direktorat Jenderal Kehutanan, menginsyafi bahwa dengan adanya penanaman modal besar (asing dan nasional) untuk eksploitasi hutan, sebagian besar areal hutan yang tersedia akan dipungut hasilnya oleh perusahaan-perusahaan besar. Untuk menjaga pengusaha-pengusaha kecil dan menengah tidak dimatikan usahanya, Dirjen Kehutanan waktu itu menggariskan suatu kebijaksanaan dalam pemberian konsesi tersebut, bahwa luas areal hutan yang dieksploitasi di setiap propinsi, 70 – 80 % diberikan kepada pengusaha besar sebagai konsesi, dan 20 – 30% diberikan kepada pengusaha kecil, dengan ijin tebang dan persil tebangan (Departemen Kehutanan RI, 1988).

Namun dalam perkembangannya pengusaha-pengusaha kecil di daerah tidak dapat bertahan lama, dipihak lain perusahaan-perusahaan besar mulai mendominasi areal konsesi hutan produksi. Menurut APHI, sampai tahun 1998/1999 tercatat sebanyak 436 HPH yang menguasai areal hutan alam produksi seluas 53,550 juta ha. Dari 436 HPH tersebut, tercatat ada 9 group perusahaan besar yang masing-masing menguasai lebih dari 1 juta ha. 

Permasalahan penguasaan HPH tersebut tidak hanya terletak kepada arah konglomerasi pengusahaan hutan Indonesia, namun cara pemberian HPH dinilai banyak pihak kurang transparan karena tidak melalui sistem lelang (tender) terbuka. Akibatnya muncul konglomerasi bisnis hutan, sehingga menimbulkan kecemburuan sosial. 

Konglomerasi pada dasarnya akan mengarah kepada bentuk oligopoli pasar hasil hutan. Menurut Gisser (1981) oligopoli adalah suatu situasi pasar yang mana produksi didominasi sebagian atau seluruhnya oleh sejumlah kecil perusahaan. Karakteristik pasar oligopoli adalah perusahaan akan membatasi jumlah produksi dan akan menentukan harga yang setinggi-tingginya. Secara teori, sistem oligopoli ini akan mendukung kelestarian hutan dengan membatasi jumlah produksi kayu, dan jika konsumen kayu bersifat elastis, maka akan mengurangi jumlah konsumsinya. Namun kenyatannya, bahwa setelah dibukanya HPH dan dalam perkembangannya terjadi konglomerasi bisnis kehutanan, tingkat laju deforestrasi malah tidak terkendali.

FAO memperkirakan selama periode 1982-1991 tingkat penggundulan hutan mencapai 1,3 juta ha per tahun. Pada tahun-tahun terakhir ini, diperparah dengan maraknya kegiatan illegal logging, laju deforestrasi diperkirakan telah mencapai 1,6 juta ha per tahun. Akibatnya kemampuan penyediaan bahan baku industri jauh dari mencukupi. Pada tahun 2002 penyediaan bahan baku hanya mencapai 6,5 juta m3 per tahun, atau jauh di bawah realisasi produksi tahun 1990-an yang mencapai rata-rata 30 juta m3.

 

Berkaitan dengan itu, tulisan ini akan menganalisis pengaruh sistem konglomerasi dan kartel terhadap kelestarian sumberdaya hutan dan industri hasil hutan.

 

II. Sistem Konglomerasi HPH dan  Kelestarian Hutan dan Hasil Hutan

 

Sampai saat sekarang kepemilikan HPH di Indonesia didominasi oleh 9 group perusahaan (Tabel 1).  Berdasarkan Tabel 1, 9 group perusahaan tersebut telah menguasai 34,50 % dari total luas areal HPH yang ada di Indonesia (53.550.000 ha), dengan persentase tertinggi adalah Burhan Uray dengan dua Grup  HPH, yaitu Jayanti dan Budi Nusa (7,46 %), kemudian Barito Pasific Group milik Prajogo Pangestu (6,6%), disusul  Kayu Lapis Indonesia (KLI) yang dimiliki oleh oleh Andi Susanto (5,87%),  Alas Kusumah yang dimiliki oleh PO Suwandi (5,26 %), Korindo milik In Young Sun (2,79 %), Mohamad ‘Bob’ Hasan dengan Grup Kalimanis (2,52 %),  Surya Damai milik Martias (2,07 %), dan Satja Jaya Group milik Asbet Lyman (1,92 %), serta sisanya dimiliki oleh perusahaan lain.

 

Tabel 1. Konglomerasi HPH di Indonesia

Grup

Perusahaan

Jumlah

Perusahaan

Luas Areal

(ha)

Persentase

(%)

Pemilik

 

Barito Pasific

39

        3.536.800

                6,60

Prajogo Pangestu

Kayu Lapis Indonesia

17

        3.142.800

                5,87

Andi Susanto

Djayanti

20

        2.805.500

                5,24

Burhan Uray

Alas Kusuma

15

        2.819.000

                5,26

PO Suwandi

Korindo

8

        1.493.500

                2,79

In Yong Sun

Kalimas Group

6

        1.352.000

                2,52

Bob Hasan

Budhi Nusa

7

        1.190.700

                2,22

Burhan Uray

Satja Jaya Group

7

        1.026.000

                1,92

Asbet Lyman

Surya Damai

7

        1.108.000

                2,07

Martias

Sub Total

126

      18.474.300

              34,50

 

Yang Lain

310

      35.075.700

              65,50

 

Total

436

      53.550.000

            100,00

 

Sumber : APHI, 1998

Dilihat dari jumlah perusahaan, hutan produksi seluas 18.474.300 ha   hanya dikuasasi oleh 126 perusahaan atau rata-rata luas setiap unit HPH dari 9 grup tersebut adalah146.621 ha. Selain itu menurut Kartodiharjo (1999) bahwa dari 436 HPH yang ada 229 dikuasai oleh militer, baik TNI maupun Polri. Sejak sistem HPH ini digulirkan, tidak ada satu perusahaan kecil yang tercatat sebagai pemilik konsesi HPH atau sebagai pemegang ijin tebang dan persil tebangan, sebagaimana yang ditetapkan oleh Departemen Kehutanan yakni seluas 20-30 % dari luas hutan produksi setiap propinsi.

Hal yang menarik dari mekanisme pemberian ijin konsesi ini adalah tidak pernah dilakukan sistem lelang (tender) secara terbuka, sehingga memungkinkan terjadinya kolusi, korupsi dan nepotisme (KKN) cukup besar. Menurut Departemen Kehutanan (1988), prosedur  untuk mendapatkan Hak Pengusahaan Hutan (HPH) adalah dilakukan di tingkat pusat dengan urutan-urutan prosedur sebagai berikut: (1) persetujuan azas; (2) persetujuan survey (survey agrement); (3) orientasi (orientation); (4) persetujuan awal (preliminary agrement); (5)survai lapangan; (6) persetujuan final (Final Agrement); (7) usul ke Badan Pertimbangan Modal Asing/Tim Teknis Penanaman Modal Asing (jika PMA); dan (8) Surat Keputusan Menteri Kehutanan.

Sedangkan untuk mengakomodasi pengusaha-pengusaha kecil lokal, yang usahanya hanya terbatas pada penebangan, dilakukan atas dasar (Deparetemen Kehutanan, 1988):

  1. ijin tebang; yaitu pengusaha-pengusaha yang bermodal kecil dan bergerak di hutan yang berada di sekitar pemukiman marganya, dan di daerah-daerah yang setaraf dengan itu;
  2. persil tebangan; yaitu pengusaha-pengusaha yang bermodal menengah, yang bergerak dalam bidang produksi lokal, regional, dan ekspor kecil-kecilan, yang berwenang memberikan izinnya berada di tangan Gubernur/Kepala Daerah Propinsi yang bersangkutan.

Berdasarkan prosedur di atas, menunjukkan bahwa perolehan hak pengusahaan hutan maupun ijin tebang atau persil tebangan dilakukan secara tertutup oleh kalangan terbatas di dalam Departemen Kehutanan. Menurut Ramli dan Ahmad (1993) pemberian konsesi secara tertutup menyebabkan kerugian negara karena tidak berhasil mendapatkan penawaran tertinggi dan paling menguntungkan.  Selanjutnya sistem tersebut juga akan menjadi  tidak adil karena sangat menutup kemungkinan untuk pengusaha lain. Selain itu dari aspek penguasaan sentra-sentra produksi kayu, pengusaha-pengusaha tersebut hanya akan mengarahkan kepada propinsi-propinsi penghasil utama kayu di Indonesia, seperti Kalimantan Timur, Kalimantan Barat, Kalimantan Tengah, Aceh Riau, Jambi, Maluku dan Irian Jaya.

 Proses terjadinya konglomerasi, dimulai dengan proses  penjualan atau pemindah-tanganan  HPH yang sebelumnya dimiliki oleh purnawirawan/veteran  atau pengusaha pribumi. Meskipun dibatasi oleh PP. No 21/1970, namun pemindah tanganan adalah sah karena terdapat satu clausa yang membolehkan transfer HPH dengan Persetujuan Menteri dengan tanpa batas luas areal konsesi.Sehingga akhirnya terjadilah penguasaan oleh beberapa pengusaha, seperti terlihat apada Tabel 1 di atas.

Sistem ini kemudian dicoba diperbaiki  Departemen Kehutanan pada tahun 1998, melalui kebijakan restrukturisasi HPH. Pertama, Keputusan Menteri Kehutanan dan Perkebunan No. 728/KPTs-II/1998 tanggal 9 November 1998 tentang Luas Hutan Maksimum Pengusahaan Hutan dan Pelepasan Kawasan Hutan. Satu HPH memiliki konsesi tidak boleh lebih dari 100.000 ha dalam satu propinsi dan tidak lebih dari 400.000 hektar di seluruh Propinsi kecuali di Irian/Papua maksimal 200.000 hektar. Kemudian SK Menhutbun No. 732/KPTsII/1998 tentang Persyaratan dan Tata Cara Pembaharuan HPH, diantaranya mengatur  pemberian 20% dari stok untuk Koperasi. Kemudian PP No. 21/1970 tentang Pengusahaan hutan dan Pemungutan Hasil Hutan pada Hutan Produksi diubah dengan PP. No. 6 Tahun 1999, pembangunan mulai memasuki paradigma baru dengan nama demokrasi ekonomi dan ekonomi rakyat.    Pada dasarnya pengusahaan hutan dan pemungutan hasil hutan dapat dilakukan oleh BUMN, BUMD, Koperasi, BUMS Indonesia, Perorangan, Lembaga Pendidikan, Lembaga Penelitian dan Masyarakat hukum adat, dengan mempedomani ketentuan perundangan yang berlaku. 

Namun sistem HPH pada sebelum tahun 1998, dan sesudah tahun 1998, tetap menyebabkan terjadinya kehancuran hutan di Indonesia. Laju kerusakan hutan di Indonesia telah mencapai tingkat yang mengkhawatirkan yakni 1,6 juta ha per tahun. Menurut Laporan Baplan-Departemen Kehutanan (2001), hutan alam yang rusak meningkat dari 28,5 % menjai 45,6 %, hutan sekunder meningkat dari 27 % menjadi 43,9 %, dan hutan primer menurun dari 44,5 % menjadi 10,5 %. Data lain juga menunjukan bahwa saat ini terdapat 16,2 juta ha hutan produksi bebas karena HPH sudah tidak lagi mengusahakannya (Fakultas Kehutanan IPB, 2002).  Kehancuran hutan tersebut tercermin pula dari tingkat produksi kayu gelondongan hutan alam yang terus menurun sepuluh tahun terakhir, seperti terlihat pada Tabel 2 berikut:

 

Tabel 2.  Produksi Kayu Bulat Dari Hutan Alam Produksi HPH

No

Tahun

Produksi (m3)

Perubahan (%)

1

1989/90

24.409.000

 

2

1990/91

25.312.000

4

3

1991/92

23.892.001

-6

4

1992/93

28.267.000

18

5

1993/94

26.848.011

-5

6

1994/95

22.017.434

-18

7

1995/96

22.342.130

1

8

1996/97

      23.289.462

4

9

1997/98

      25.635.774

10

10

1998/99

      16.235.580

-37

11

1999/00

12.305.212

-24

12

2000/01

        6.500.000*

-47

Rata-Rata

 

 

-8

Sumber: Departemen Kehutanan, 2002; *) Suara Karya, 8 Mei 2002

Dari data pada Tebel 2, meskipun tidak diuji korelasi, menunjukkan bahwa, dengan sistem HPH selama ini yang mendukung terjadinya konglomerasi HPH, telah menyebabkan kelestarian hutan dan hasil hutan terancam.

III. Kartel dan keberlanjutan industri hasil hutan (kasus kayu lapis) 

 

Ekspor kayu lapis Indonesia meningkat dramatis dari hanya 161 juta dola AS pada tahun 1981 menjadi sekitar 2,35 milyar dollar AS pada tahun 1989. Ekspor tersebut lebih setengah industri Indonesia sehingga kayu lapis sering disebut primadona ekspor indonesia. Pangsanya dalam pasar kayu lapis (SITC 6342) meningkat dengan sangat berarti dari hanya 3,2 % pada tahun 1980 menjadi 70 % pada tahun 1988 (Ramli dan Ahmad, 1993), kemudian pada tahun 1993 telah menguasasi tidak kurang 90 % seluruh perdagangan kayu keras tropika (tropical hardwood plywood) dunia (Hasan, 1994).

Meningkatnya laju ekspor tersebut didorong oleh larangan ekspor kayu gelondongan dan adanya subsidi awal bagi pendirian pabrik kayu lapis. Selain itu, meningkatnya ekspor tersebut (termasuk  larangan ekspor kayu gelondongan) tidak lepas dari peran Asosiasi Panel Kayu Indonesia (APKINDO) yang berdiri pada tanggal 12 Pebruari 1976. Asosiasi ini didirikan sebagai wadah kerjasama industri kayu lapis Indonesia dalam rangka menghadapi perkembangan produksi dan makin kompleksnya pemasaran, terutama ekspor. Dalam perkembangannya APKINDO telah melakukan berbagai langkah-langkah untuk menempatkan posisi kayu lapis Indonesia terutama di pasar luar negeri, diantaranya sebagai berikut (Hasan, 1994):

 

Kedalam:

1.      menyuarakan pentingnya industri kayu lapis untuk mengefisienkan penggunaan sumberdaya hutan Indonesia,

  1. membina para anggota, supaya benar-benar menjaga kwalitas produksinya dan meningkatkan daya saing

Ke luar:

  1. mendorong terbentuknya kerjasama regional dalam bidang kayu lapis, yaitu dengan membentuk APPF (ASEAN Panel Product Federation).
  2. bekerjasama dengan asosiasi-asosiasi importir di negara-negara pengimpor, untuk memberikan penjelasan dan meyakinkan bahwa produk Indonesia tidak kalah kwalitasnya dengan negara-negara lain.

Langkah-langkah tersebut telah memberikan hasil diantaranya adalah larangan ekspor kayu bulat oleh Pemerintah seperti disebutkan  di atas dan kwalitas kayu lapis Indonesia makin diterima dan dengan keunggulan komparatif yang dimiliki, daya saing kayu lapis Indonesia menjadi sangat kuat. Selain itu pembangunan industri berkembang dengan pesat dan realisasi ekspor meningkat seperti terlihat pada Tabel 3 berikut.

Tabel 3. Perkembangan Ekspor Kayu Lapis Indonesia

Tahun

 

Volume

(juta m3)

Nilai

(Miliar US$)

Rata-rata

(Milliar US$)

1990

8,51

3,02

355,19

1991

8,97

3,17

352,86

1992

9,78

3,56

363,61

1993

9,71

4,59

472,48

1994

8,92

4,03

452,67

1995

8,75

3,89

444,19

1996

8,57

4,03

469,92

1997

8,35

3,89

465,41

1998

8,04

2,49

309,08

1999

7,77

2,7

348,19

2000

6,97

2,42

346,95

2001

6,01

1,5

250,02

Sumber: APKINDO, 2002

Namun dalam perkembangannya, terutama dalam mengahadapi ketidak-tentuan pasar dunia,  APKINDO mengambil langkah-langkah yang menjurus kepada sistem kartel dalam industri kayu lapis Indonesia. Adapun langkah-langkah ke arah sistem kartel tersebut diantaranya adalah:

  1. Pembentukan Badan Pemasaran Bersama (BPB) kayu lapis., yakni dari 108 eksportir terbentuk 7 (tujuh) kelompok eksportir yang disebut BPB. Dengan penetapan BPB dapat dipandang sebagai upaya memperkuat posisi produsen di pasar, sehingga akan menyebabkan kurang sehatnya persaingan bebas yang dijungjung tinggi di pasar internasional (laissez-faire).
  2. Pembentukan komisi pemasaran bersama (KOMPA) dan team stabilitas harga (TSH), dimaksudkan untuk menentukan kebijaksanaan pemasaran, baik secara pasar demi pasar maupun secara global untuk tiap kwartal, dibentuk TSH untuk tiap wilayah pasar dan KOMPA. Hal ini menunjukkan bahwa APKINDO tidak menetapkan harga melalui mekanisme pasar (prinsip suplly-demand).
  3. Penjatahan eksport dan pengembangan pasar baru, guna membagi pasar antar eksportir. Hal ini menunjukkan pula, bahwa APKINDO telah bertindak sebagai kartel yang mengatur pembagian pasar, tidak membiarkan para industri bersaing secara bebas di pasar.

Kartel didefinisikan sebagai sebuah kelompok dari perusahaan-perusahaan yang mengorganisasikan diri dengan tujuan untuk menurunkan laju produksi dan mengupayakan harga pada level yang lebih tinggi untuk mencapai keuntungan yang lebih besar. Tujuan dari kartel adalah untuk membatasi (menahan laju) out-put pada tingkat dimana kurva MR berpotongan dengan kurva MC guna memperoleh profit yang maksimum (Gisser, 1981). Secara teori, kartel terjadi apabila seluruh atau sebagian besar perusahaan-perusahaan yang bersaing dalam industri bersepakat untuk meningkatkan harga pada tingkat harga monopoli. Pada kurva agregat demand yang berslope negatif, peningkatan harga diatas level kompetitif dapat tercapai hanya jika kartel menetapkan kuota produksi pada anggotanya. 

            Situasi kartel diilustrasikan dalam Gambar 2. Pada panel (a), MCi adalah kurva MC dari perusahaan. Pada pada panel (b), å MCi adalah agregat dari kurva MC yang mana merupakan kurva supply dalam industri tersebut. Sumbu horizontal (sumbu x) dari kedua panel tersebut berbeda. Pada panel (a), x adalah satuan output dari perusahaan tunggal. Pada panel (b) adalah satuan output dari perusahaan-perusahaan dalam industri tersebut (kartel).

            Harga kompetitif Po ditentukan oleh perpotongan antara kurva å MCi dengan kurva demand (D), dimana industri memproduksi Xo unit. Pada panel (a) masing-masing perusahaan memproduksi Xo unit, dimana harga sama dengan marginal cost, sehingga Xo = å Xo. Areal yang berarsir silang dan areal berbayang adalah surplus produsen dari perusahaan tersebut. Pada panel (b), jika perusahaan membentuk kartel dengan tujuan untuk memperoleh keuntungan maksimal, maka produksi dikurangi dari X0 menjadi X1 pada saat kurva supply å MCi berpotongan dengan kurva MR dari demand tersebut. Implikasinya bahwa masing-masing perusahaan (anggota kartel) harus menurunkan output dari Xo ke X1 (menyesuaikan siatuasi kartel). Surplus produsen perusahaan tersebut menjadi areal berarsir silang ditambah segi empat berbayang. Surplus produsen yang baru (setelah kartel) menjadi lebih besar dibandingkan sebelumnya karena agregat profit dari industri telah meningkat sehingga seluruh perusahaan (anggota kartel) diasumsikan identik meningkat pula. Manajemen kartel menghendaki masing-masing anggota mengurangi laju produksi laju produksinya dengan persentase yang seimbang, yaitu (xo – x1)/xo x 100%, dengan harapan anggota kartel memperoleh distribusi profit setidaknya lebih tinggi dari sebelumnya.

            Keinginan untuk mendapatkan insentif lebih banyak bagi anggota kartel adalah sangat besar. Perusahaan seperti digambarkan pada panel (a), perusahaan tersebut bersiasat (melakukan cheating) mengembangkan produksi hingga x2, dimana harga kartel P1, berpotongan dengan kurva MCi. Tambahan keuntungan (surplus produsen) perusahaan itu adalah areal berbayang ditambah areal bergaris miring.  Hal inilah awal terjadinya kegagalan suatu kartel, karena terjadi kecurangan dari anggota kartel yakni dengan menaikan jumlah produksi dari  yang  telah disepakati.

Dengan APKINDO melakukan langkah-langkah di atas, banyak pihak memandang bahwa APKINDO telah menjalankan kartel dalam produksi kayu lapis. Hal yang menarik bahwa APKINDO sebagai sebuah kartel, pada tahun 2002, dari 115 perusahaan kayu lapis yang ada (anggota APKINDO) sebanyak 95 (82,61 %) perusahaan berada di bawah pengawasan Badan Penyehatan Perbankan Nasional (BPPN). Hal ini berarti bahwa para anggota APKINDO telah banyak yang mengalami kebangkrutan dan APKINDO gagal bertindak sebagai sebuah kartel kayu lapis Indonesia. Ada  beberapa faktor mengapa industri kayu lapis pada saat sekarang menjadi mundur, diantaranya adalah:

    1. terjadinya cheating beberapa anggota yakni menaikan jumlah produksi atau melanggar jatah ekspor, sehingga terjadi persaingan harga antar anggota APKINDO sendiri;
    2. karena adanya sistem proteksi industri berlebihan, termasuk perlindungan dari APKINDO, menjadikan banyak perusahaan industri kayu lapis yang prematur dan tidak efisien;
    3. berkurangnya pasokan bahan baku kayu log sebagai dampak berkurangnya produksi kayu bulat dari hutan alam, sedang dipihak lain kayu log dari hutan tanaman belum mampu menggantikan, sehingga kapasitas produksi jauh dibawah kapasistas produksi optimal
    4. dari aspek teknologi industri  kayu lapis kurang mampu mengantisipasi terjadinya perubahan bahan baku kayu akibat menurunnya kualitas maupun ukuran kayu, sehingga kualitas kayu lapis Indonesia kurang mampu bersaing.

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 


Gambar 2.   Kartel (Gisser, 1981)

Kurva MC perusahaan tunggal digambarkan oleh Mci pada panel (a). Jumlah dari MCi adalah å MCi yang merupakan kurva supply dalam industri tersbut, pada panel (b). Kurva permintaan pasar diberi notasi D yang berasosiasi dengan kurva MR. Dalam kompetisi sempurna kurva å MCi berpotongan dengan kurva D pada titik G yang menghsilkan harga pada Po. Pada saat total out-put adalah Xo, perusahaan tunggal memproduksi Xo dan memperoleh surplus produsen pada areal berasir silang ditambah areal segitiga berbayang. Setelah kartel terbentuk, keseimbangan bergeser dari titik G menuju titik H, dimana å Mci berpotongan dengan MR. Total output berkurang menjadi X1 dan menghasilkan harga pada P1. dengan kata lain masing-masing perusahaan (anggota kartel) harus mengurangi produksi dari X0 ke X1. perusahaan tersebut kehilangan surplus produsen yang ditunjukkan oleh segitiga berbayang, tetapi sebagai gantinya memperoleh surplus yang di tunjukkan segi empat berbayang. Akan tetapi perusahaan tidak puas. Pada level harga P1, perusahaan mempunyai kesempatan untuk meraih keuntungan lebih besar dengan menambah put-put pda X2 (cheating), sehingga surplusnya menjadi bertambah lagi, yang ditunjukkan oleh areal segitiga berbayang (yang tadi hilang) ditambah areal yang bergaris miring.

 

 

 

 

 

IV. Alternatif Pemecahan Masalah: Pembenahan Sistem HPH dan Restrukturisasi Industri Hasil Hutan

 

4.1. Perbaikan sistem Alokasi HPH

 

Dengan sistem HPH yang mendorong terjadinya konglomerasi HPH telah menjalankan pengusahaan hutan tidak berkelanjutan baik secara ekonomi atau ekologi dan menyebabkan dampak sosial yang berat. Akumulasi sistem tersebut adalah terjadinya kegiatan illegal logging di satu pihak dan banyaknya HPH yang tidak menjalankan aktivitasnya di pihak lain.

Dalam mengatasi dampak sistem pengusahaan masa lalu tersebut, Departemen Kehutanan telah menetapkan 5 (lima) kebijakan prioritas yaitu (1) pemberantasan penebang liar, (2) penanggulangan kebakaran hutan, (3) restrukturisasi sektor kehutan, (4) rehabilitasi dan konservasi sumberdaya hutan, dan (5) penguatan desentralisasi kehutanan.  Bila kelima program tersebut dapat dilaksanakan, bisa diharapkan keberhasilan berikut (1) pemantapan kawasan meningkat, (2) kesenjangan pasokan kayu dan kebutuhan bahan baku log menjadi berkurang, (3) tingkat degradasi kawasan hutan berkurang, (4) tingkat kesejahteraan masyarakat sekitar hutan meningkat, (5) struktur industri perkayuan yang optimal terbentuk, (6) pembangunan HTI, hutan rakyat, dan hutan kemasyarakatan berkembang, (7) kesadaran Pemda tentang pentingnya sumberdaya hutan lestari timbul dan berkembang, dan (8) industri non kayu dan jasa lingkungan semakin berkembang (Business News, 2002).

Kaitan dengan desentralisasi kehutanan, hal yang muncul menjadi tarik menarik pemerintah pusat, provinsi dan kabupaten adalah kewenangan pemberian ijin. Meskipun di dalam PP Nomor 34 Tahun 2002, menyangkut kewenangan pemberian ijin pemanfaatan hutan  secara tegas diatur alur koordinasi kewenangan antara Pemerintah Pusat, Provinsi dan kabupaten/kota (Pasal 37 s/d 42), namun masih menjadi polemik mengenai pembagian kewenangan tersebut.

Maraknya pemberian ijin pengelolaan hutan 100 ha pada izin HPHH (hak pengusahaan hasil hutan) oleh bebarapa Bupati di Luar Jawa merupakan bukti bahwa desentralisasi kehutanan perlu lebih diperkuat lagi. Kasus maraknya pemberian ijin pengelolaan hutan 100–an ha tersebut, bukan memperbaiki malah memperparah kondisi hutan tropis Indonesia karena pengusaha yang bersangkutan hanya melakukan penebangan,  tidak melakukan kegiatan rehabilitasi sama sekali. Persoalan tidak hanya sampai di situ, persoalan yang lebih serius adalah terjadinya tumpang-tindih dengan perusahaan-perusahaan HPH yang telah ada dan sedang beroperasi dengan perijinan HPH tingkat Pemerintah Pusat. Keadaan tersebut merupakan bentuk konflik kewenangan antar Pemerintah Pusat dan daerah (kabupaten/kota).

Dengan PP Nomor 34 Tahun 2002, apakah persoalan pemberian HPH tersebut  telah diperbaiki? Menurut Kartodiharjo (2002), PP Nomor 34 tahun 2002 tersebut yang merupakan penjabaran UU Kehutanan, sangat lemah untuk sekedar mampu memberikan aspirasi dalam memperbaiki  permasalahan HPH selama ini, yakni dalam memberikan landasan sebagai berikut:

  1. Istilah Hak Pengusahaan Hutan yang diubah menjadi Ijin Usaha Pemanfaatan Hasil Hutan kayu (IUPHHK) – menurut PP tersebut – sama sekali tidak memberikan landasan yang kuat untuk bisa melakukan perbaikan bentuk “kontrak” antara pemerintah dan usaha kehutanan, perbaikan tolok ukur kinerja usaha kehutanan, penataan logging busniss di lapangan, perbaikan struktur insentif dan penciptaan kepastian usaha, serta transisi untuk melakukan redistribusi manfaat usaha kehutanan.
  2. PP tersebut juga sangat berat untuk menjadi landasan terbentuknya pemerintahan kolaboratif (pusat-provinsi-kabupaten/ kota) yang solid yang saat ini sangat diperlukan untuk memulihkan kondisi kawasan hutan yang sebagian besar telah menjadi open access.
  3. PP tersebut tidak memiliki  landasan penguatan bagi Pemerintah Daerah sebagai pengelola hutan produksi,  sehingga self control oleh pemerintah daerah tidak terfasilitasi; dan
  4. PP tersebut mempersulit inovasi kebijakan kehutanan nasional – termasuk memperbaiki sistem HPH.

Dengan memperhatikan kelemahan PP 39 tahun 2002 di atas untuk dijadikan instrumen dalam memperbaiki sistem HPH (atau sekarang disebut IUPHHK), maka sistem tender terbuka dalam pemberian ijin IUPHHK dapat dijadikan salah satu alternatif, guna pemberian kesempatan yang sama bagi pengusaha-pengusaha kecil di daerah serta guna mendapatkan pemegang IUPHHK yang dapat memberikan keuntungan yang tertinggi baik secara ekonomis, ekologis, maupun sosial bagi pemerintah dan masyarakat. 

Lelang dilakukan pada tegakan hutan yang masih berdiri (Standing Stock). Guna memberikan keuntungan yang maksimal bagi Pemerintah, sistem ini perlu ditunjang oleh sistem inventarisasi hutan pada skala yang rinci dan dilakukan oleh pemerintah, sehingga tidak menghasilkan perkiraan yang lebih rendah (under estimate) yang selama ini terjadi. Para peserta lelang dapat melakukan penilaian ulang, guna memberikan keyakinan pada mereka untuk mengikuti tender.

 

4.2 Restrukturisasi Industri dan Pembatasan Jumlah Produksi

 

Salah satu faktor penyebab banyaknya perusahaan industri kayu lapis yang gulung tikar adalah karena daya saingnya lemah dibanding dengan pabrik yang ada di luar negeri yang umumnya memiliki mesin baru. Kita ketahui bahwa berdirinya industri kayu lapis di Indonesia dimulai tahun 1980-an, yang sampai saat sekarang sebagian besar pabrik  belum mengalami peremajaan. Di pihak lain bahwa kualitas dan ukuran bahan baku mengalami perubahan yang mana kurang sesuai dengan spesifik dari bahan baku yang disyaratkan industri tersebut. Akibatnya biaya produksi menjadi tidak efisien dan kualitas hasil menurun, yang menyebabkan sulit bersaing di pasaran internasional baik harga maupun kualitas.

 Restrukturisasi dilakukan tidak pada setiap industri, tetapi prioritas diberikan kepada perusahaan industri yang memiliki prospek seperti memiliki jaringan pemasaran yang luas, bahan baku yang cukup, serta tenaga yang terampil. Dana restrukturisasi tersebut perlu disediakan pemerintah melalui pembukaan kran kredit untuk penggantian mesin-mesin produksi kayu lapis. Sebagai bagian dari restrukturisasi, pemerintah hendaknya juga memberikan diinsentif berupa penutupan bagi industri perkayuan yang pasokan bahan bakunya tidak jelas, dan membatasi pembangunan industri kayu baru.

Pembatasan industri kayu baru dilakukan melalui pelarangan sesuai Keppres 96 tahun 1999. Larangan pembangunan industri pengolahan kayu atau hasil hutan tersebut sangat terkait dengan semakin terbatasnya pasokan bahan baku kayu dari hutan produksi alam. Karena itu Pemerintah dalam tahun 2002 ini membatasi produksi balak (log) nasional sebesar 12 juta m3, dan pada tahun 2003 jatah itu ditekan lagi menjadi 6,48 juta m3. Pengetatan penjatahan produksi log tersebut mengacu kepada upaya-upaya pemerintah dalam rehabilitas hutan yang setiap tahun mengalami degradasi seluas 1,6 juta ha.

Para pengusaha industri kayu lapis dan pemerintah hendaknya melakukan restrukturisasi di tubuh APKINDO terutama mengembalikan kepada fungsi semula yakni untuk efisiensi penggunaan sumberdaya hutan, menjaga kualitas produksi, dan penciptaan pasar terutama pasar internasional.

 

 

 

V. Kesimpulan

 

1.  Sistem pemberian HPH selama ini kepada pengusaha dilakukan secara tertutup yang merugikan negara dan menimbulkan ketidakadilan, dan sistem HPH tersebut telah mendorong terjadinya pula  konglomerasi HPH melalui  proses  penjualan atau pemindah-tanganan  HPH   yang dimungkinkan oleh peraturan yang ada.

2. Sistem konglomerasi dengan areal konsesi yang sangat luas dan diharapkan dapat melaksanakan pengelolaan hutan secara berkelanjutan, malah telah mendorong terjadinya deforestrasi yang besar dan memicu kecemburuan sosial dengan puncaknya terjadinya illegal loging yang tidak terkendali.

3. APKINDO sebagai wadah pengusaha industri kayu lapis Indonesia telah mengarah kepada bentuk kartel kayu lapis, yang menyebabkan kurang sehatnya persaingan pasar kayu lapis dan tidak efisiennya produksi kayu lapis.

4.  Alternatif mengatasi dampak akibat konglomerasi dan kartel terhadap kelestarian hutan dan industri hasil hutan adalah melalui perbaikan sistem alokasi IUPHHK, restrukturisasi industri hasil hutan dan pembatasan produksi.

 

DAFTAR PUSTAKA

Departemen Kehutanan RI. 1988. Sejarah Kehutanan Indonesia II – III Periode Tahun 1942 – 1983.

Fajari, Kristiyono. 1997. Strategi Pemanfaatan Konsep Hutan Lestari Dalam Menunjang pembangunan Berkelanjutan. Masyarakat Perhutanan Indonesia.

Gisser, M. 1981. Intermediate Price Theory: Analysis, Issues, And Aplication. McGraw-Hill Book Company.

Hasan, M. 1994. Profil Industri Kayu Nasional Dewasa Ini. Bahan Ceramah Pembekalan Mahasiswa Fakultas Kehutanan Universitas Winaya Mukti Bandung. Asosiasi Panel Kayu Indonesia

Kartodihardjo, Hariadi. 2002. Deforestrasi Dalam Logika Politik yang Cacad. Tidak dipublikasikan.

Rizal, Ramli dan Mubariq Ahmad. 1993. Rente Ekonomi Pengusahaan Hutan Indonesia. Wahana Lingkungan Hidup Indonesia.