Posted:  November 2, 2002

 

Ó 2002 Intje Picauly

Falsafah Sains (PPs 702) /S3
Program Pasca Sarjana IPB

Nopember 2002

 

Dosen :

Prof. Dr.Ir. Rudy. C. Tarumingkeng (Penanggung  jawab)

Prof Dr Ir Zahrial Coto

Dr Bambang Purwantara

 

 

 

IODIUM  DAN  GANGGUAN  AKIBAT  KEKURANGAN  IODIUM (GAKI)

(Suatu tinjauan Ontologi dan Aksiologi Iodium dalam Tubuh serta

 Gambaran  GAKI  dari Masyarakat di Wilayah Endemik GAKI Pesisir Pantai

 Kabupaten Maluku Tengah, Propinsi Maluku)

 

Oleh :

Intje  Picauly

GMK / A561020071

E-Mail : intje_picauly@yahoo.com

 

PENDAHULUAN

Iodium adalah jenis elemen mineral mikro kedua sesudah Besi yang dianggap penting bagi kesehatan manusia walaupun sesungguhnya jumlah kebutuhan tidak sebanyak zat-zat gizi lainnya.  Djokomoeldjanto (1993) mengatakan bahwa manusia tidak dapat membuat unsur/elemen iodium dalam tubuhnya seperti  membuat protein atau gula, tetapi harus mendapatkannya dari luar tubuh (secara alamiah) melalui serapan iodium yang terkandung dalam makanan serta minuman.

            Pentingnya iodium dalam tubuh manusia untuk metabolisme sudah dikenal sejak  abad lalu walaupun pengaruh positif seaweed atau burntsponges (kaya iodium) terhadap penyakit gondok sudah diketahui sejak zaman purba di seluruh dunia (Cavalieri, 1980).  Gondok merupakan suatu gejala pembesaran pada kelenjar tiroid yang terjadi akibat respons terhadap defisiensi/kekurangan iodium.

            Kekurangan iodium berhubungan erat dengan jumlah iodium yang terkandung di dalam tanah yang digunakan dalam bidang  pertanian di daerah yang berpengaruh.  Walaupun program suplemen tambahan iodium telah mengurangi kekurangan jumlah iodium di berbagai daerah daerah di dunia, masih terlihat masalah kekurangan iodium yang serius di berbagai daerah (Brody, 1999).

            Daerah Maluku, khususnya Kabupaten Maluku Tengah, merupakan salah satu daerah pesisir pantai  yang belakangan ini termasuk dalam kelompok yang memiliki angka prevalinsi yang cukup tinggi (Thaha, 1996). Sementara itu, Djokomoeldjanto (1993) mengatakan bahwa  daerah pegunungan mempunyai nilai prevalensi yang lebih tinggi.  Dengan demikian perlu dipertanyakan bahwa latarbelakang apa dan mengapa sampai harus timbul kenyataan yang terbalik dari yang seharusnya.  Lewat penulisan makalah ini, diupayakan untuk memberikan sedikit gambaran terhadap kenyataan dimaksud.  Dengan sudut pandang  Ontologi dan Aksiologi Iodium dan Penyebab Masalah GAKI.

 

Tinjauan Ontologi  Iodium

 

            Iodium ditemukan pada tahun 1811 oleh Courtois. Iodium merupakan sebuah anion monovalen.  Keadaannya dalam tubuh mamalia hanya sebagai hormon tiroid.  Hormon-hormon ini sangat penting selama pembentukan embrio dan untuk mengatur kecepatan metabolis dan produksi kalori atau energi  disemua kehidupan. Jumlah iodium yang terdapat dalam makanan  sebanyak jumlah ioda dan untuk sebagian kecil secara kovalen mengikat asam amino.  Iodium diserap sangat cepat oleh usus dan oleh kelenjar tiroid di gunakan untuk memproduksi hormon thyroid.  Saluran ekskresi utama iodium adalah melalui saluran kencing (urin) dan cara ini merupakan indikator utama pengukuran jumlah pemasukan dan status iodium.  Tingkat ekskresi (status iodium) yang rendah (25 – 20  mg I/g  creatin) menunjukan risiko kekurangan iodium dan bahkan tingkatan yang lebih rendah menunjukan risiko yang lebih berbahaya (Brody, 1999).

            Dalam saluran pencernaan, iodium dalam bahan makanan dikonversikan menjadi Iodida yang mudah diserap dan ikut bergabung dengan pool-iodida intra/ekstraseluler.  Iodium tersebut kemudian memasuki kelenjar tiroid untuk disimpan.  Setelah mengalami peroksidasi akan melekat dengan residu tirosin dari tiroglobulin.   Struktur cincin hidrofenil dari residu tirosin adalah iodinate ortho pada grup hidroksil dan berbentuk hormon dari kelenjar tiroid yang dapat dibebaskan (T3 dan T4) (Linder, 1992).   Iodium adalah suatu bagian integral dari hormon tridothyronine tiroid (T3) dan thyroxin (T4).  Hormon tiroid kebanyakan menggunakan, jika tidak semua, efeknya melalui pengendalian sintesis protein.  Efek-efek tersebut adalah efek kalorigenik, kardiovaskular, metabolisme dan efek inhibitor pada pengeluaran thyrotropin oleh pituitary (Sauberlich, 1999).

            Kebanyakan Thyroxine (T4) dan Triidothyronine (T3) diangkut dalam bentuk terikat-plasma dengan protein pembawa.  Thyroxine-terikat protein merupakan pembawa hormon tiroid utama yang beberapa di antaranya juga terikat dengan thyroxin-terikat prealbumin (Sauberlich, 1999).

            Tingkat bebasnya hormon-hormon tersebut dalam plasma dimonitor oleh hipotalamus yang kemudian mengontrol tingkat pemecahan proteolitis T3 dan T4 dari tiroglobulin dan membebaskannya ke dalam plasma darah, melalui tiroid stimulating hormon (TSH).  Kadar T4 plasma jauh lebih besar dari pada T3,  tetapi T3 lebih potensial dan “turn overnya” lebih cepat.  Beberapa T3 plasma dibuat  dari T4 dengan jalan deiodinasi dalam jaringan non-tiroid.  Sebagian besar  dari kedua bentuk terikat pada protein plasma, terutama thyroid-binding-globulin (TBG), tetapi hormon yang bebas aktivitasnya pada sel-sel target.  Dalam sel-sel target dalam hati, banyak dari hormon tersebut didegradasi dan iodidat dikonversikan untuk digunakan kembali kalau memang dibutuhkan (Linder, 1992).      

            Menurut Ganong (1989) apabila mengkonsumsi iodium 500 mg/hari, hanya sebagian iodium (120 mg) yang masuk ke dalam kelenjar tiroid, dan dari kelenjar tiroid disekresikan sekitar  80 mg yang terdapat dalam T3 dan T4, yang merupakan hormon tiroid.  Selanjutya T3 dan T4  mengalami metabolisme dalam hepar dan dalam jaringan lainnya.  Sehingga dari hepar dikeluarkan sekitar 60 mg ke dalam cairan empedu, kemudian dikeluarkan ke dalam lumen usus dan sebagian mengalami sirkulasi yang lepas dari reabsorbsi akan diekskresikan bersama feses dan urin.   

 

Pangan Sumber Iodium

Iodium dapat diperoleh dari berbagai jenis pangan dan kandungannya berbeda-beda tergantung asal jenis pangan tersebut dihasilkan.  Kandungan iodium   pada buah dan sayur tergantung pada jenis tanah. Kandungan iodium pada jaringan hewan serta produk susu tergantung pada kandungan iodium pada pakan ternaknya. Pangan asal laut merupakan sumber iodium alamiah.  Sumber lain iodium adalah garam dan air yang difortifikasi  (Muchtadi. dkk, 1992).  Hal yang sama juga dikemukakan oleh Sauberlich, (1999) bahwa makanan laut dan ganggang laut adalah sumber iodium yang paling baik.  Penggunaan garam beriodium di Amerika Serikat diberikan sebagai sumber iodium penting.  Di  USA konsumsi garam beriodium per hari per orang mendekati 10 – 12 gram dimana garam tersebut mengandung 76  mg iodium per gram.

Soehardjo (1990) mengatakan bahwa dengan mengkonsumsi pangan yang kaya iodium dapat menekan atau bahkan mengurangi besarnya prevalensi gondok.  Berikut Gibson (1990) menyebutkan rata-rata kandungan iodium dalam bahan makanan  antara lain : Ikan Tawar  30  mg; Ikan Laut   832 mg; Kerang 798 mg; Daging 50 mg; Susu 47 mg; Telur 93 mg; Gandum 47 mg; Buah-buahan 18 mg; Kacang-kacangan  30 mg dan Sayuran 29 mg. 

 

Konsumsi  Pangan  Sumber  Iodium

          Konsumsi pangan merupakan faktor utama  untuk memenuhi kebutuhan gizi   seseorang (Harper, Deaton and Driskel, 1985).  Dengan demikian diharapkan  untuk mengkonsumsi pangan yang beraneka ragam sehingga dapat memenuhi kebutuhan gizi yang dibutuhkan oleh kerja tubuh.  

            Di negara-negara berkembang  konsumsi  iodium paling banyak diperoleh  dari makanan yang berasal dari laut  mengingat air laut mengandung iodium  cukup tinggi.  Menurut Nurlaila, dkk (1997) rumput laut dapat digunakan sebagai bahan subtitusi dalam pengembangan produk sumber iodium antara lain barupa 1) kelompok produk makanan selingan / makanan jajanan ; 2) kelompok produk lauk-pauk ; 3) kelompok produk sayur-sayuran. 

            Tingkat konsumsi pangan hasil laut terus meningkat dari tahun 1968, 1978, 1988 dan 1993 berturut-turut 9.9 ; 11.6 ; 15.4 ; dan 17 kg sedangkan target nasional  yang harus dicapai sebesar 18.6 kg per kapita per tahun.  Hal ini menandakan bahwa tingkat konsumsi ikan di Indonesia masih rendah atau di bawah tingkat konsumsi ikan tersebut.  Tetapi masih terdapat beberapa wilayah di Indonesia seperti Sumatera Barat, Sulawesi Tenggara,  Maluku, Kalimantan Tengah dan Timur mempunyai tingkat konsumsi pangan hasil laut tinggi melebihi dua kali jumlah konsumsi target nasional (Muhammad dan Guntur, 1996).

            Di  USA dan Kanada peningkatan konsumsi iodium adalah dengan suplementasi, misalnya dengan garam dapur (garam beriodium) dan juga dalam medikasi dan zat-zat pendiagnosis.  Di Indonesia garam termasuk dalam sembilan bahan pangan pokok yang diperlukan oleh masyarakat dan oleh karena itu merupakan bahan makanan penting.  Secara normal jumlah garam yang dikonsumsi per orang per hari adalah sekitar 5 – 15 gram sedangkan yang dianjurkan yaitu tidak melebihi 6 gram atau satu sendok teh setiap hari.  Hal ini disebabkan karena apa bila konsumsi garam berlebihan dapat memicu timbulnya berbagai penyakit lain seperti tekanan darah tinggi atau hipertensi (DitJen Pembinaan Kesehatan  Masyarakat, 1995).

 

Kebutuhan Iodium

            Menurut Hetzel (1989) dalam keadaan normal intake harian untuk orang dewasa berkisar 100 – 150 mg perhari.  Iodium diekskresikan melalui urin dan dinyatakan dalam mg I/g kreatinin.  Pada tingkat ekskresi lebih kecil daro 50 mg/g kreatinin sudah menjadi indikator kekurangan intake.  Konsumsi iodium sangat bervariasi antar berbagai wilayah di dunia, diperkirakan sekitar 500 mg per hari di USA (sekitar 5 kali RDA).  Adapun kecukupan iodium yang dianjurkan untuk orang Indonesia antara lain :  1) umur 0 sampai 9 tahun kebutuhannya sebesar  50 – 120 mg ; 2) umur  10 – 59 dan > 60 tahun sebesar 150 mg (Pria) ; 3) umur 10 – 59 dan > 60 tahun sebesar 150 mg ; 4) Wanita Hamil  mendapat tambahan + 25 mg ; wanita  laktasi 0 – 12 bulan sebesar + 50 mg (Muhilal, dkk. 1998).

            Khusus bagi kelompok ibu hamil tambahan tersebut sebagian dapat dipergunakan untuk keperluan aktivitas kelenjar tiroid dan sebagiannya lagi untuk pertumbuhan dan perkembangan janin khususnya perkembangan otak.  Bagi ibu hamil yang mengkonsumsi iodium tidak mencukupi  kebutuhan maka bayi atau janin yang dikandung akan mengalami gangguan perkembangan otak (berat otak berkurang), gangguan perkembangan fetus dan pasca lahir, kematian perinatal (abortus) meningkat, kemudian setelah bayi dilahirkan mempunyai berat lahir rendah (BBLR) dan terdapat gangguan pertumbuhan tengkorak serta perkembangan skelet, sedangkan bagi tubuh ibu hamil akan mengalami gangguan aktivitas kelenjar tiroid.  Pada kondisi ini tubuh akan mengalami penyesuaian yang pada akhirnya akan mengalami pembesaran kelenjar tiroid yang dikenal dengan sebutan gondok (Djokomoeldjanto, 1993 dan WHO, 1994).

 

Tinjauan Aksiology  Iodium

Masalah  GAKI

            Gangguan Akibat Kekurangan Iodium (GAKI) adalah sekumpulan  gejala atau kelainan yang ditimbulkan karena tubuh menderita kekurangan iodium secara terus – menerus dalam waktu yang lama yang berdampak pada pertumbuhan dan perkembangan makhluk hidup (manusia dan hewan) (DepKes RI, 1996).  Makin banyak tingkat kekurangan iodium yang dialami makin banyak komplikasi atau kelainan yang ditimbilkannya, meliputi pembesaran kelenjar tiroid dan berbagai stadium  sampai timbul bisu-tuli dan gangguan mental akibat kretinisme (Chan et al, 1988).

            Kodyat (1996) mengatakan bahwa pada umumnya masalah ini lebih banyak  terjadi di daerah pegunungan dimana makanan yang dikonsumsinya sangat tergantung dari produksi makanan yang berasal dari tanaman setempat yang tumbuh pada kondisi tanah dengan kadar iodium rendah.  

            Masalah Gangguan Akibat Kekurangan Iodium  (GAKI) merupakan masalah yang serius mengingat dampaknya secara langsung  mempengaruhi kelangsungan hidup dan kulitas manusia.  Kelompok masyarakat yang sangat rawan terhadap masalah dampak defisiensi iodium adalah wanita usia subur (WUS) ; ibu hamil ; anak balita dan anak usia sekolah (Jalal, 1998).

Faktor – Faktor yang berhubungan dengan masalah GAKI antara lain :

·        Faktor Defisiensi Iodium dan  Iodium Excess

Defisiensi iodium merupakan sebab pokok terjadinya masalah GAKI.  Hal ini disebabkan karena kelenjar tiroid melakukan proses adaptasi fisiologis terhadap kekurangan unsur iodium dalam makanan dan minuman yang dikonsumsinya (Djokomoeldjanto, 1994).

Hal ini dibuktikan oleh  Marine dan Kimbell (1921) dengan pemberian iodium pada anak usia sekolah di Akron (Ohio) dapat menurunkan gradasi pembesaran kelenjar tiroid.  Temuan lain oleh Dunn dan Van der Haal (1990) di Desa Jixian, Propinsi Heilongjian (Cina) dimana pemberian iodium  antara  tahun 1978 dan 1986 dapat menurunkan prevalensi gondok secara drastic dari 80 % (1978) menjadi 4,5 % (1986).

Iodium Excess terjadi apabila iodium yang dikonsumsi cukup besar secara terus menerus, seperti yang dialami oleh masyarakat di Hokaido (Jepang) yang mengkonsumsi ganggang laut dalam jumlah yang besar.  Bila iodium dikonsumsi dalam dosis tinggi akan terjadi hambatan hormogenesis, khususnya iodinisasi tirosin dan proses coupling (Djokomoeldjanto, 1994).

·        Faktor  Geografis dan Non Geografis

Menurut Djokomoeldjanto (1994) bahwa GAKI sangat erat hubungannya dengan letak geografis  suatu daerah, karena pada umumnya masalah ini sering dijumpai di daerah pegunungan seperti pegunungan Himalaya, Alpen, Andres dan di Indonesia gondok sering dijumpai di pegunungan seperti Bukit Barisan Di Sumatera dan pegunungan Kapur Selatan. 

Daerah yang biasanya mendapat suplai  makanannya dari daerah lain sebagai  penghasil pangan, seperti daerah pegunungan yang notabenenya merupakan daerah yang miskin kadar iodium dalam air dan tanahnya.  Dalam jangka waktu yang lama namun pasti  daerah tersebut akan mengalami defisiensi iodium atau daerah endemik iodium (Soegianto, 1996 dalam Koeswo, 1997).

·        Faktor Bahan Pangan Goiterogenik

Kekurangan iodium merupakan penyebab utama terjadinya gondok, namun tidak dapat dipungkiri bahwa faktor lain juga ikut berperan.  Salah satunya  adalah bahan pangan yang bersifat goiterogenik (Djokomoeldjanto, 1974).   Williams (1974) dari hasil risetnya mengatakan bahwa zat goiterogenik dalam bahan makanan yang dimakan setiap hari  akan menyebabkan zat iodium dalam tubuh tidak berguna, karena zat goiterogenik tersebut merintangi absorbsi dan metabolisme mineral iodium yang telah masuk ke dalam tubuh.

Giterogenik adalah zat yang dapat menghambat pengambilan zat iodium oleh kelenjar gondok, sehingga konsentrasi iodium dalam kelenjar menjadi rendah. Selain itu, zat goiterogenik dapat menghambat perubahan iodium dari bentuk anorganik ke bentuk organik sehingga pembentukan hormon tiroksin terhambat (Linder, 1992).

Menurut Chapman (1982) goitrogen alami ada dalam jenis pangan seperti kelompok Sianida (daun + umbi singkong , gaplek, gadung, rebung, daun ketela, kecipir, dan terung) ; kelompok Mimosin (pete cina dan lamtoro) ; kelompok Isothiosianat (daun pepaya) dan  kelompok Asam (jeruk nipis, belimbing wuluh dan cuka).

·        Faktor Zat Gizi Lain

Defisiensi protein dapat berpengaruh terhadap berbagai tahap pembentukan hormon dari kelenjar thyroid terutama tahap transportasi hormon.  Baik T3 maupun T4 terikat oleh protein dalam serum, hanya 0,3 % T4 dan 0,25 % T3 dalam keadaan bebas.  Sehingga defisiensi protein akan menyebabkan tingginya T3 dan T4 bebas,  dengan adanya mekanisme umpan balik pada TSH maka hormon dari kelenjar thyroid akhirnya menurun.

 

Gambaran Masalah GAKI di Kabupaten Maluku Tengah

            Berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan oleh Picauly (1999) ditemukan bahwa pola konsumsi masyarakat pesisir pantai di  Kabupaten Maluku Tengah  (Propinsi Maluku) lebih banyak di dominasi oleh jenis pangan sumber goiterogenik dan frekuensi makannya dua sampai tiga kali sehari.  Jenis pangan tersebut meliputi  singkong dan daun singkong, daun melinjo, daun pepaya, terung, brambang, cabe rawit, asam cuka dan asam jeruk nipis.   Sesuai dengan kajian ontology di atas, maka dapatlah ditarik kesimpulan bahwa salah satu pemicu timbulnya permasalahan GAKI adalah terbentuknya pola konsumsi yang keliru.

Hal ini sesuai dengan pendapat  Williams (1974) dari hasil risetnya mengatakan bahwa zat goiterogenik dalam bahan makanan yang dimakan setiap hari  akan menyebabkan zat iodium dalam tubuh tidak berguna, karena zat goiterogenik tersebut merintangi absorbsi dan metabolisme mineral iodium yang telah masuk ke dalam tubuh. 

Sementara sumber utama kontribusi iodium hanya dapat diperoleh dari bahan pangan yang berasal dari laut seperti ikan dan rumput laut, disisi lain yang selalu dikonsumsi hanya jenis pangan ikan (Jenis ikan pelagis dan demersal) dengan frekuensi makan  dua kali dalam sehari (makan siang dan malam) sebanyak 50 – 75 gram atau setara dengan satu atau dua potong ikan,  sedangkan kebiasaan menggunakan jenis garam beriodium masih sangat jarang dan masyarakat lebih cenderung menggunakan jenis garam kristal yang  kadar iodiumnya hanya sebesar 0,4 mg.

            Disamping itu faktor kebiasaan lain yang cukup penting yaitu  cara pengolahan pangan dan cara pencampuran bumbu sebelum pangan tersebut diolah.  Berdasarkan hasil kajian peneliti dan pustaka yang berhubungan, diperoleh bahwa sebagian besar masyarakat memiliki kebiasaan pengolahan pangan yang dapat menghilangkan kandungan iodium sebesar  20 – 50 % yaitu dengan cara tumis dan rebus terbuka.

            Hal ini disebabkan karena adanya pengaruh kebiasaan mengolah makanan dengan menggunakan asam jeruk dan asam cuka yang berlebihan dibarengi dengan waktu pengolahan yang terlalu lama dan suhu yang tinggi (> 100 oC), dimana dapat membantu mempercepat proses kehilangan iodium dalam bahan makanan.

           

PENUTUP

            Iodium merupakan salah satu unsur mineral mikro yang sangat dibutuhkan oleh tubuh walaupun dalam jumlah yang relative kecil.  Namun apabila diabaikan dapat menimbulkan efek atau dampak yang cukup berpengaruh dalam kehidupan  semua orang.  Dan korban penderita GAKI akan menjadi beban semua orang yang ada disekitar kehidupannya.

 

DAFTAR  PUSTAKA

 

Brody, T.  1999.  Nutritional Biochemistry. Second Edition. Academic Press. University of California at Berkeley, California.

 

Chan, M., Javalera, and A. Rayes.  1988.  A Discriptive Study abouth The General Preceptions  and Behavior Related to Goiter of Females Fifteen Years  old and above in Three Barangays of Ternate, Govite, Philipina.  College of Public Health, University oh Philipina. Manila.

 

DepKes RI. 1996.  Gangguan Akibat Kekurangan Iodium dan Garam Beriodium . Pusat Penyuluhan Kesehatan Masyarakat. Jakarta.

 

DitJen Pembinaan Kesehatan  Masyarakat. 1995.  Petunjuk Pelaksanaan Pemberian Kapsul Minyak Beriodium.  DirJen Pembinaan Gizi Masyarakat. DepKes Jakarta.

 

Djokomoeldjanto, R.  1993. Hipotiroidi di Daerah Defisiensi Iodium. Kumpulan Naskah Simposium GAKI. Hal. 35-46. Badan Penerbit Universitas Diponegoro, Semarang.

 

Ganong, W.F.  1989.  Review of medical Physiology, 14th Ed.  A Lange Medical Book. Prentice Hall International Inc. 

Gibson, R.S. 1990.  Principles  of Nutritional Assessment.  Oxford University Press. Oxford. 

 

Harper, L.J.,  Deaton and J.A. Driskel. 1985.  Pangan, Gizi dan Pertanian (Penerjemah : Soehardjo). UI Press, Jakarta.

 

Hetzel, B.S.  1989.  An Overview of the Prevention and Control of Iodine Deficiency Disorder ; in Hetzel, J.T. Dunn and J.B. Stanbury (ed) Hal. 7-29. Elvsevier Science Plubbisher. New York.

 

Jalal, F.  1998.  Agenda Perumusan  Program Gizi Repelita VII untuk Mendukung Manusia yang Pengembangan Sumberdaya  Berkualitas.  Widyakarya Nasional Pangan dan Gizi VI. Jakarta. 

 

Kodyat, B.  1996.  Nutritional in Indonesia : Problems, Trends, Strategy and Program Directorate of community Nutrition, Departemen Health, Jakarta. 

 

Muchtadi. dkk.1992.  Masalah-Masalah Fortifikasi Iodium dalam Penanggulangan GAKI. PAU. IPB. Bogor.

Muhilal, Jalal dan Hardinsyah.  1998.  Angka Kecukupan Gizi Rata – Rata yang Dianjurkan.  Widyakarya Pangan dan Gizi Nasional VI. LIPI. Jakarta.

 

Nurlaila,A., R. Syukur, J. Genisa dan L. Mathius. 1997. Studi Pengembangan Menu Makanan Rakyat Kaya Iodium dengan Subtitusi Rumput Laut dan Analisa Daya Terima. Laporan Akhir Penelitian Hibah Bersaing Bidang Kesehatan dan Gizi Masyarakat.

 

Sauberlich, H.E.  1999.  Assessment of Nutritional Status.  Second Edition.  CRC Press. Boca Raton London New York Washington, DC.

 

Soehardjo. 1990. Petunjuk Laboratorium Penilaian Keadaan Gizi Masyarakat.  PAU Pangan dan Gizi. IPB. Bogor.

 

Thaha, A.R.  1996.  Pemetaan GAKI di Propinsi Maluku. Kerjasama FKM Unhas dengan Kanwil DepKes Propinsi Maluku.

 

WHO. 1994.  Indicator for Assesing  Iodine Deficiency Disorder and Their Control Through Salt Iodization. Geneva. 

 

Williams, S.R.  1974.  Nutrition and Diet Therapy. The CV Mosby Company. Sant Louis.