© 2000 Medikasari                                                                                 Posted: 21 December, 2002

Makalah Falsafah Sains (PPs 702)

Program Pasca Sarjana / S3

Institut Pertanian Bogor

December 2002

 

Dosen:

Prof Dr Ir Rudy C Tarumingkeng (Penanggung Jawab)

Prof Dr Ir Zahrial Coto

Dr Bambang Purwantara

 

 

 

 

Bahan Tambahan Makanan:

Fungsi dan Penggunaannya Dalam Makanan

 

 

 

Oleh:

 

Medikasari

IPN F26102061

 

E-mail: medikasari@yahoo.com

 

I.                  Pendahuluan

Tidak dapat dipungkiri lagi bahwa penggunaan bahan tambahan makanan dewasa ini sangat beragam, dari pengawet sampai ke pemberi aroma dan pewarna.  Penggunaan bahan tambahan itu sediri bagi produsen mempunyai latar belakang yang berbeda-beda,  namun bagi konsumen sendiri, penambahan bahan tersebut tidak semuanya diperlukan.  Bahkan ada bahan yang justru membahayakan konsumen.

            Masalah penggunaan bahan tambahan makanan dalam proses produksi pangan perlu diwaspadai bersama, baik oleh produsen maupun oleh konsumen, mengingat penggunaannya dapat berakibat positif maupun negatip bagi masyarakat

            Untuk tujuan di atas, perlu kiranya pengetahuan mengenai bahan tambahan makanan.  Selain itu,  pengetahuan teknis mengenai BTM juga diperlukan untuk mendapatkan manfaat yang optimal serta terjaminnya aspek keamanan produk yang dihasilkan.

Menurut FAO didalam Furia, (1980) bahan tambahan makanan (BTM) atau food additives didefinisikan sebagai senyawa yang sengaja ditambahkan ke dalam makanan dan terlibat dalam proses pengolahan, pengemasan dan atau penyimpanan dan bukan merupakan bahan (ingredient) utama.  Sementara itu pada Buku Undang-undang Republik Indonesia No. 7 Tahun 1996 tentang Pangan Khususnya pada Bab II (Keamanan Pangan) Bagian Kedua disebutkan bahwa yang dimaksud dengan bahan tambahan pangan adalah bahan yang ditambahkan ke dalam pangan untuk mempengaruhi sifat atau bentuk pangan

Tujuan penambahan BTM secara umum adalah untuk (1) meningkatkan nilai gizi makanan, (2) memperbaiki nilai sensori makanan dan (3) memperpanjang umur simpan (shelf life) makanan.  Selain tujuan-tujuan tersebut , BTM sering digunakan untuk memproduksi makanan untuk kelompok konsumen khusus, seperti penderita diabetes, pasien yang baru mengalami operasi, orang-orang yang menjalankan diet rendah kalori atau rendah lemak, dan sebagainya. 

Dalam pemilihan jenis BTM yang akan diaplikasikan suatu industri faktor pertama yang perlu diperhatikan adalah jenis produk apa yang akan dihasilkan dan bagaimana BTM mempengaruhi mutu produk tersebut.  BTM yang dipilih adalah BTM yang mempunyai fungsi yang diharapkan.  Untuk itu pengetahuan teknis mengenai BTM sangat diperlukan.  Tidak kalah pentingnya , juga harus dilihat peraturan pemerintah  dalam hal ini peraturan Menteri Kesehatan mengenai BTM, karena selain untuk menjamin keamanan pruduk, juga hal ini merupakan sesuatu prasyarat yang harus dipenuhi pada waktu mendaftarkan produk ke Departemen Kesehatan untuk mendapatkan nomer MD.

Faktor harga juga perlu menjadi perhatian, terutama karena harga  BTM ini bisa menentukan harga produk yang akan dihasilkan.  Dari beberapa pilihan BTMyang ada, ditunjang oleh pengetahuan teknis dan adanya peraturan pemerintah, maka dibuat beberapa formulasi produk.  Dari serangkaian eksperimen yang dilakukan di laboratorium yang meliputi uji organoleptik dan uji penyimpanan, akan didapat satu formula yang optimal yang selanjutnya bisa diproduksi.  Dengan demikian bisa ditetapkan jenis BTM yang akan dipakai di produk

Pemakaian BTM umumnya diatur oleh lembaga-lembaga seperti Direktorat Jenderal Pengawasan Obat dan Makanan (Ditjen POM) di Indonesia, Food and Drug Adminstration di USA.  Peraturan mengenai pemakaian BTM berbeda-beda di satu negara dengan lainnya.  Di Indonesia, peraturan tentang BTM dikeluarkan oleh Departemen Kesehatan dan pengawasannya dilakukan oleh Ditjen POM.

Didalam peraturan tersebut dinyatakan bahwa penggunaan BTM dapat dibenarkan apabila (1) dimaksudkan untuk mencapai masing-masing tujuan penggunaan dalam pengolahan, (2) tidak digunakan untuk menyembunyikan penggunaan bahan yang salah atau tidak memenuhi persyaratan, (3) tidak digunakan untuk menyembunyikan cara kerja yang bertentangan dengan cara produksi yang baik untuk makanan dan (4) tidak digunakan untuk menyembunyikan kerusakan makanan..

Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia No 235/MEN.KES/ PER/VI/1979 tanggal 19 Juni 1979 mengelompokkan BTM berdasarkan fungsinya yaitu (1) antioksidan, (2) anti kempal, (3) pengasam, penetral dan pendapar, (4) enzim, (5) pemanis buatan, (6) pemutih dan pematang, (7) penambah gizi, (8) pengawet, (9) pengemulsi, pemantap dan pengental, (10) pengeras, (110 pewarna alami dan sitetik, (12) penyedap rasa dan aroma, (13) seskuestran dan (14) bahan tambahan lain

Di dalam tulisan ini dibahas 6 kelompok BTM yaitu antioksidan, anti kempal, pemanis buatan, bahan pengawet, pewarna dan pengemulsi

II.               Antioksidan

Antioksidan adalah bahan tambahan yang  digunakan untuk melindungi komponen-komponen makanan yang bersifat tidak jenuh (mempunyai ikatan rangkap), terutama lemak dan minyak.  Meskipun demikian antioksidan dapat pula digunakan untuk melindungi komponen lain seperti vitamin dan pigmen, yang juga banyak mengandung ikatan rangkap di dalam strukturnya

Mekanisme kerja antioksidan secara umum adalah menghambat oksidasi lemak.  Untuk mempermudah pemahaman tentang mekanisme kerja antioksidan perlu dijelaskan lebih dahulu mekanisme oksidasi lemak.  Oksidasi lemak terdiri dari tiga tahap utama yaitu inisiasi, propagasi, dan terminasi.  Pada tahap inisiasi terjadi pembentukan radikal asam lemak, yaitu suatu senyawa turunan asam lemak yang bersifat tidak stabil dan sangat reaktif akibat dari hilangnya satu atom hidrogen (reaksi 1).  pada tahap selanjutnya, yaitu propagasi, radikal asam lemak akan bereaksi dengan oksigen membentuk radikal peroksi (reaksi 2).  Radikal peroksi lebih lanjut akan menyerang asam lemak menghasilkan hidroperoksida dan radikal asam lemak baru (reaksi 3).

Inisiasi              :   RH ---- R* + H*                  (1)

Propagasi         :   R* + O2 -----ROO*            (2)

                            ROO* + RH -----ROOH +R* (3)

Hidroperoksida yang terbentuk bersifat tidak stabil dan akan terdegradasi lebih lanjut menghasilkan senyawa-senyawa karbonil rantai pendek seperti aldehida dan keton yang bertanggungjawab atas flavor makanan berlemak.  Tanpa adanya antioksidan, reaksi oksidasi lemak akan mengalami terminasi melalui reaksi antar radikal bebas membentuk kompleks bukan radikal (reaksi 4)

Terminasi          :   ROO* +ROO* ---- non radikal       (reaksi 4)

                            R* + ROO* ---- non radikal

                            R* + R*  ----- non radikal

Antioksidan yang baik akan bereaksi dengan radikal asam lemak segera setelah senyawa tersebut terbentuk.  Dari berbagai antioksidan yang ada, mekanisme kerja serta kemampuannya sebagai antioksidan sangat bervariasi.  Seringkali, kombinasi beberapa jenis antioksidan memberikan perlindungan yang lebih baik (sinergisme) terhadap oksidasi dibanding dengan satu jenis antioksidan saja.  Sebagai contoh asam askorbat seringkali dicampur dengan antioksidan yang merupakan senyawa fenolik untuk mencegah reaksi oksidasi lemak.

Adanya ion logam, terutama besi dan tembaga, dapat mendorong terjadinya oksidasi lemak.  Ion-ion logam ini seringkali diinaktivasi dengan penambahan senyawa pengkelat dapat juga disebut bersifat sinergistik dengan antioksidan karena menaikan efektivitas antioksidan utamanya.

Suatu senyawa untuk dapat digunakan sebagai antioksidan harus mempunyai sifat-sifat : tidak toksik, efektif pada konsentrasi rendah (0,01-0,02%), dapat terkonsentrasi pada permukaan/lapisan lemak (bersifat lipofilik) dan harus dapat tahap pada kondisi pengolahan pangan umumnya. 

Berdasarkan sumbernya antioksidan dapat digolongkan ke dalam dua jenis yaitu jenis pertama, antioksidan yang  bersifat alami, seperti komponen fenolik/flavonoid, vitamin E, vitamin C dan beta-karoten dan jenis ke dua, adalah antioksidan sintetis seperti BHA (butylated hydroxyanisole), BHT (butylated hydroxytoluene, propil galat (PG), TBHQ (di-t-butyl hydroquinone).  Tabel 1.  Menunjukan komponen-komponen flavonoid yang memiliki aktivitas antioksidan beserta sumbernya

BHA (Butylated Hydroanisole).  BHA merupakan campuran dari 2 isomer yaitu 2- dan 3-tertbutilhidroksianisol .  Diantara ke dua isomer, isomer 3-tert memiliki aktifitas antioksidan yang lebih efektif dari isomer 2-tert.  Bentuk fisik dari BHA adalah padatan putih menyerupai lilin, bersifat larut dalam lemak dan tidak larut dalam air

BHT (Butylated Hydroxytoluene).  Sifat-sifat BHT sangat mirip dengan BHA dan bersinergis dengan BHA. 

Propil Galat.  Propil galat merupakan ester dari propanol dari asam trihidroksi benzoat.  Bentuk fisik dari propil galat adalah kristal putih.  Propil galat memiliki sifat-sifat : (1) dapat bersinergis dengan BHA dan BHT, (2) sensitif terhadap panas, (3) membentuk kompleks berwarna dengan ion logam, oleh karenanya jika dipakai dalam makanan kaleng dapat mempengaruhi penampakan produk.

TBHQ (Tertiary Butylhydroquinone).  TBHQ merupakan antioksidan yang paling efektif dalam minyak makan dibandingkan BHA, BHT, PG dan tokoferol.  TBHQ memiliki sifat-sifat (1) bersinergis dengan BHA (2) cukup larut dalam lemak (3) tidak membentuk komplek dengan ion logam tetapi dapat berubah menjadi merah muda, jika bereaksi dengan basa

Dosis pengunaan dari masing-masing antioksidan sintetik ini tidak sama untuk masing-masing negara.  Tabel 2 menunjukkan dosis pemakaian antioksid BHA, BHT, Galat dan TBHQ pada beberapa negara


Tabel 1.  Beberapa contoh komponen flavonoid yang memiliki aktivitas antioksidan

 

Komponen

Sumber

Vitamin

        Vitamin C

        Vitamin E

 

Buah-buahan & sayuran

Padi-padian, kacang-kacangan dan minyak

Anthosianidin

        Oenin

        Cyanidin

        Delphinidin

 

Anggur (wine)

Buah anggur, raspberri, strawberri

Kulit buah aubergine

Flavo-3-ols

        Quercertin

        Kaempferol

 

Bawang, kulit buah apel, buah berri, buah anggur, tea dan brokoli

Leek, brokoli, buah anggur dan teh

Flavonone

        Rutin

        Luteolin

        Chrysin

        Apigenin

 

Bawang, kulit buah apel, buah berri, buah anggur, tea dan brokoli

Lemon, olive, cabe merah

Kulit buah

Celery dan parsley

Flavan-3-ols

        (Epi)catecin

        Epigallocatecin

        Epigallocatecin gallate

        Epicatecin gallate

 

Red/black grape wine

Tea

Tea

Tea

Flavonone

        Taxifolin

         Narirutin

         Naringenin

         Hesperidin

         Hesperetin

 

Buah jeruk citrus

Buah jeruk citrus

Buah jeruk citrus

Jus Orange

Jus Orange

Theaflavin

         Theaflavin

         Theaflavin-3-gallate

         Theaflavin-3’-gallate

         Theaflavin digallate

 

Black tea

Black tea

Black tea

Black tea

Hydroxycinnamat

         Caffeic acid

         Chlorogenic acid

         Ferulic acid

         p-Coumaric acid

 

Buah anggur putih, olive, asparagus

Buah apel, pir, cherry, tomat dan peach

Padi-padian, tomat, asparagus

Buah anggur putih, tomat, asparagus

Sumber : Rice-Evans et al. (1997)


 

Tabel 2.   Dosis maksimum pemakaian antioksidan pada beberapa negara

Negara

Antioksidan (ppm)

BHA

BHT

Gallate

TBHQ

USA

200

200

150

200

UK

200

200

100

-

Eire

200

200

100

-

Belgium-Retail

100

100

100

-

            -Manufacturing

400

400

400

-

Belanda-Retail

100

100

100

-

            - Manufacturing

400

400

400

-

Italia

300

300

100

-

Perancis

100

100

100

-

Luxembourg

100

100

100

-

Denmark

100

100

50

-

Jerman Barat

Tidak diizinkan untuk lemak dan minyak, hanya untuk makanan tertentu

-

Sumber : Allen and Hamilton (1983)

III.           Anti Kempal

Anti kempal adalah senyawa anhidrat yang dapat mengikat air tanpa menjadi basah dan biasanya ditambahkan ke dalam bahan makanan yang bersifat bubuk/partikulat seperti garam meja.  Tujuan penambahan senyawa anti kempal adalah untuk mencegah terjadinya penggumpalan dan menjaga agar bahan tersebut dapat dituang (free flowing)

            Senyawa anti kempal biasanya merupakan garam-garam anhidrat yang bersifat cepat terhidrasi dengan mengikat air, atau senyawa-senyawa yang dapat mengikat air melalui pengikatan dipermukaan (surface adhesion) tanpa menjadi basah dan menggumpal.  Senyawa-senyawa tersebut biasanya adalah senyawa yang secara alami berbentuk hampir kristal (near crystalline).

            Senyawa anti kempal dapat digolongkan menjadi (1) garam (aluminium, amonium, kalsium, potasium dan sodium) dari asam lemak rantai panjang (miristat, palmitat, stearat) ; (2) kalsium fosfat; (3) potasium dan sodium ferisianida; (4) magnesium oksida dan (5) garam (aluminium, magnesium, kalsium dan campuran kalsium aluminium) dari asam-asam silikat.  Senyawa golongan 1, 2, dan 3 membentuk hidrat, sedangkan 4 dan 5 menyerap air.  Potasium dan sodium ferosinida tidak banyak lagi digunakan karena tokisitasnya yang relatif tinggi.  Jumlah yang ditambahkan biasanya berkisar pada 1% berat bahan pangan.  Senyawa anti kempal umumnya dapat dimetabolisme atau tidak toksik pada tingkat penggunaan yang diijinkan.

            Kalsium silikat banyak digunakan untuk menghindari penggumpalan baking powder dan mempunyai kemampuan untuk mengikat air 2,5 kali dari beratnya.  Selain mengikat air, kalsium silikat juga dapat mengikat minyak dan senyawa-senyawa non polar lainnya.  Sifat ini yang membuat kalsium silikat banyak digunakan di dalam campuran-campuran yang mengandung bumbu, terutama yang kandungan minyaknya tinggi.  Kalsium stearat sering digunakan sebagai prossesing aid dalam pembuatan permen keras (hard candy).  Senyawa anti kempal yang relatif baru dikembangkan adalah bubuk selulosa berkristal mikro (microcrystalline cellulose powder) dan banyak digunakan untuk produk keju parut agar tidak membentuk gumpalan

IV.            Pemanis Buatan

Pemanis merupakan komponen bahan pangan yang sangat umum, oleh karena itu agak aneh jika dimasukkan ke dalam daftar bahan tambahan makanan.  Oleh karena itu yang termasuk BTM adalah pemanis pengganti gula (sukrosa).  Pemanis, baik yang alami maupun sintetis, merupakan senyawa yang memberikan persepsi rasa manis tetapi tidak mempunyai nilai gizi (non-nutritive sweeteners)

Suatu senyawa untuk dapat digunakan sebagai pemanis, kecuali berasa manis  harus memenuhi beberapa kriteria tertentu, seperti (1) larut dan stabil pada kisaran pH yang luas, (2) stabil pada kisaran suhu yang luas, (3) mempunyai rasa manis dan tidak mempunyai side atau aftertaste dan (4) murah, setidaknya tidak melebihi harga gula (sukrosa).

Senyawa yang mempunyai rasa manis strukturnya sangat beragam.  Meskipun demikian, senyawa-senyawa tersebut mempunyai feature yang mirip, yaitu memiliki sistem donor/akseptor proton (sistem AH/B) yang cocok dengan sistem reseptor (AH/B) pada indera perasa manusia.

Sakarin, merupakan pemanis tertua, termasuk pemanis yang sangat penting peranannya dan biasanya dijual dalam bentuk garam Na atau Ca.  Tingkat kemanisan sakarin adalah 300 kali lebih manis daripada gula.  Karena tidak mempunyai nilai kalori, sakarin sangat populer digunakan sebagai pemanis  makanan diet.  Pada konsentrasi tinggi sakarin mempunyai aftertaste pahit.  Meskipun hasil pengujian pada hewan percobaan menunjukan kecendrungan bahwa sakarin menimbulkan efek karsinogenik tetapi hal ini belum dapat dibuktikan oleh manusia.

Siklamat  merupakan pemanis non-nutritif yang tidah kalah popularnya setelah sakarin.  Tingkat kemanisannya 30 kali lebih manis daripada gula dan tidak memberikan after taste.  Pada tahun 1970-an di Amerika, Canada dan Inggris siklamat dilarang penggunaannya karena  produk degradasinya yaitu sikloheksil amina bersifat karsinogenik

Aspartam  atau metil ester dari L-aspartil-L-fenilalanin merupakan pemanis baru yang penggunaannya mulai marak sekitar tahun 1980-an untuk produk-produk minuman ringan.  Aspartam merupakan pemanis yang mempunyai nilai kalori karena aspartam merupakan suatu dipeptida, namun karena tingkat kemanisannya yang tinggi (200 kali sukrosa) maka hanya ditambahkan dalam jumlah yang kecil sehingga nilai kalorinya dapat diabaikan.  Karena merupakan dipeptida, sapartam mudah terhidrolisis, mudah mengalami reaksi kimia yang biasa terjadi pada komponen pangan lainnya dan mungkin terdegradasi oleh mikroba.  Hal tersebut tentunya merupakan limitasi penggunaan aspartam pada produk-produk pangan berkadar air tinggi.  Jika mengalami hidrolisis aspartam akan kehilangan rasa manisnya.  Di dalam makanan aspartam dapat mengalami kondensasi intramolukuler menghasilkan diketo piperazin.

Asesulfam K.  Setelah aspartam, pemanis sintetik yang disetujui penggunaanya dalam bahan pangan adalah asesulfam K.  Asesulfam K adalah senyawa 6-metil-1,2,3-oksatizin-4(3H)-on-2,2-dioksida atau merupakan asam asetoasetat dan asam sulfamat.  Tingkat kemanisan asesulfam adalah 200 kali lebih manis daripada sukrosa.  Pengujian laboratorium telah membuktikan bahwa sesulfam K tidak berbahaya bagi manusia dan stabilitasnya selama pengolahan sangat baik. 

V.               Pengawet

Pengawet berfungsi untuk memperpanjang umur simpan suatu makanan dan dalam hal ini dengan jalan menghambat pertumbuhan mikroba.  Oleh karena itu sering pula disebut sebagai senyawa antimikroba.

Berbagai senyawa mempunyai sifat sebagai antimikroba, diantaranya sulfit dan sulfurdioksida, garam nitrit dan nitrat, asam sorbat, asam propionat, asam asetat, asam benzoat. sulfurdioksida telah lama digunakan dalam makanan sebagai pengawet dan penggunaanya berkembang menjadi berbagai bentuk seperti gas SO2, garam bisulfit dan sulfit.  Penelitian menunjukan bahwa sulfurdioksida paling efektif bekerja pada kondisi pH rendah dan diperkirakan hal  ini disebabkan oleh H2SO3 yang dalam larutan tidak berdisosiasi.  Dalam keadaan tidak terdisosiasi, asam tersebut lebih mudah menembus dinding sel mikroba.  Selain bertindak sebagai pengawet sulfurdioksida juga dapat mencegah terjadinya pencoklatan non enzimatis (reaksi Maillard) yaitu dengan cara bereaksi dengan gula pereduksi maupun senyawa antar aldehida.  Sulfurdioksida juga mempunyai efek memucatkan pigmen melanoidin yang terbentuk pada reaksi Maillard sehingga sangat efektif dalam mencegah reaksi pencoklatan tersebut.  Sulfurdioksida juga sering ditambahkan ke dalam tepung untuk memutus ikatan disulfida pada protein dan memperbaiki mutu adonan  yang dihasilkan.  Sulfurdioksida dan sulfit dapat dimetabolisme menjadi sulfat dan dieksresi ke dalam urin tanpa efek sampingan lainnya.  Sulfurdioksida atau sulfit biasanya ditambahkan pada konsentrasi sekitar 500 – 1000 ppm, tergantung dari tujuan penambahan dan jenis makanan.

Garam potasiium atau sodium dari nitrit dan nitrat ditambahkan pada proses curing daging, juga dapat menghambat pertumbuhan mikroba.  Senyawa yang berperan adalah nitrit dan pada konsentrasi 150-200 ppm dapat menghambat pertumbuhan Clostridia di dalam daging yang dikalengkan.  Meskipun demikian, penggunaan nitrit saat ini dihindari karena diduga menghasilkan nitrosamin yang bersifat karsinogenik. 

Asam sorbat yang merupakan asam mono karboksilat dan anolog-analognya memiliki ikatan rangkap a (a-unsaturated) mempunyai sifat antimikroba yang sangat kuat.  Asam ini biasanya digunakan dalam bentuk garam sodium dan potasiumnya dan diketahui efektif menghambat pertumbuhan kapang dan ragi di dalam berbagai makanan seperti keju, produk-produk bekeri, sari buah, anggur dan acar.  Asam sorbat sangat efektif menekan pertumbuhan kapang dan tidak mempengaruhi cita  rasa makanan pada tingkat penambahan yang diperbolehkan (sampai 0,3% berat bahan).  Aktivitas asam sorbat dan analog-analog asam lemaknya diperkirakan karena mikroba tidak dapat memetabolisme sistem dien dengan ikatan rangkap a.  Diperkirakan asam sorbat mengganggu   aktivitas enzime dehidrogenase asam lemak pada awal aktivitasnya.

Asam propionat dan asetat juga berperan sebagai anti mikroba terutama kapang dan beberapa bakteri.  Asam propionat biasanya digunakan dalam bentuk garam natrium dan kalsium.  Senyawa ini secara alami terdapat di dalam keju swiss (sampai 1% berat).  Asam propionat selain dapat menghambat kapang juga dapat menghambat pertumbuhan Bacillus mesentericus yang menyebabkan kerusakan ropy bread.  Seperti halnya antimikroba lain, asam propionat dalam bentuk tidak terdisosiasi bersifat lebih poten.  Toksisitas asam propionat bagi kapang dan sebagian bakteri diakibatkan oleh ketidakmampuan mikroba-mikroba tersebut dalam memetabolisme rangkain 3-karbon.

Penggunaan asam asetat dalam pengawetan pangan sudah sejak lama, seperti pada pengacaran (pickle), selain cuka (4 % asam asetat).  Selain sebagai antimikroba, asam asetat juga berkontribusi terhadap cita rasa makanan seperti pada mayones, acar, saos tomat dan lain-lain.  Aktivitas antimikroba asam asetat meningkat dengan menurunya pH

Asam benzoat seringkali digunakan sebagai antimikroba dalam makanan seperti sari buah, minuman ringan dan lain-lain.  Garam sodium dari asam benzoat lebih sering digunakan karena bersifat lebih larut air daripada bentuk asamnya.  Asam benzoat sangat poten terhadap ragi dan bakteri dan paling efektif dalam menghambat pertumbuhan kapang.  Asam benzoat sering dikombinasikan dengan asam sorbat dan ditambahkan dalam jumlah sekitar 0,05-0,1% berat bahan.

 

VI.            Pewarna Makanan

 

Penentuan mutu bahan makanan pada umumnya sangat tergantung pada beberapa faktor diantaranya citarasa, warna tekstur dan nilai gizi.  Tetapi sebelum faktor-faktor tersebut dipertimbangkan secara fisual faktor warna tampil lebih dahulu dan terkadang sangat menentukan.  Selain sebagai faktor yang ikut menentukan mutu, warna juga dapat digunakan sebagai indikator kesegaran atau kematangan buah.  Warna juga dapat menunjukkan apakah suatu pencampuran atau pengolahan sudah dilakukan dengna baik atau belum.

Di dalam Tranggono dkk. (1990) FDA mendefinisikan pewarna tambahan sebagai ‘pewarna, zat warna atau bahan lain yang dibuat dengan cara sintetik/kimiawi atau bahan alami dari tanaman, hewan atau sumber lain yang diekstrak, disiolasi, yang bila ditambahkan atau digunakan ke bahan makanan, obat atau kosmetik, bisa menjadi bagian dari warna bahan tersebut’.

Menurut Winarno (1997) ada lima sebab yang dapat menyebabkan suatu bahan berwarna yaitu :

1.Pigmen yang secara alami terdapat pada hewan maupun tanaman

2.Reaksi karamelisasi yang menghasilkan warna coklat

3.Reaksi Maillard yang dapat menghasilkan warna gelap

4.Reaksi oksidasi

5.Penambahan zat warna baik zat warna alami (pigmen) maupun sintetik

Pada pengolahan makanan moderen, bahan pewarna sering ditambahkan dengan tujuan untuk memperbaiki warna dari bahan makanan atau untuk memperkuat warna asli dari bahan bahan makanan tersebut.

Dalam Bab ini pembahasan mengenai zat warna dibatasi hanya untuk zat warna alami (pigmen) dan zat warna sintetik yang termasuk golongan bahan tambahan makanan.

Pewarna alami, sebagaimana kita telah ketahui, banyak jenis tanaman dan hewan yang mempunyai warna-warna yang indah dan cemerlang.  Pemakaian zat warna yang berasal dari tanaman dan hewan ini telah lama dilakukan oleh para pendahulu-pendahulu kita, misalnya daun pandan, daun suji, kunyit dan sebagainya.

Klorofil adalah zat warna alami hijau yang umumnya terdapat pada daun, sehingga sering disebut zat warna hijau  daun.  Zat warna ini sering diassosiasikan dengan kesegaran sayur-sayuran atau belum masak pada buah-buahan.  Terdapat 2 jenis klorofil yang telah berhasil diisolasi yaitu klorofil a dan klorofil b.  keduanya terdapat pada tanaman dengan perbandingan 3 :1. 

Klorofil a termasuk dalam pigmen yang disebut porfirin; hemoglobin juga termasuk di dalamnya.Klorofil a mengandung atom Mg yang diikat dengan N dari 2 cincin pirol dengan ikatan kovalen serta oleh dua atom N dari dua cincin pirol lainmelalui ikatan koordinat; yaitu N dari pirol yang menyumbangkan pasangan elektronnya pada Mg (pada gambar dinyatakan dengan garis putus-putus).

Dalam proses pengolahan pangan, perubahan yang paling umum terjdai ialah penggantian atom magnesium dengan atom hidrogen yang membetnuk feofitin ditandai dengan perubahan warna dari hijau menjadi coklat olive yang suram. 

Mioglobin dan hemoglobin ialah zat warna merah pada daging yang  tersusun oleh protein globin dan heme yang mempunyai inti berupa zat besi.  Heme merupakan senyawa yang terdiri dari dua bagian yaitu atom zat besi dan suatu cincin plana yang besar yaitu porfirin.  Porfirin tersusun oleh empat cincin pirol yang dihubungkan satu dengan lainnya dengan jembtan meten.  Heme juga disebut feroprotoporfirin.

Baik hemoglobin maupun mioglobin memiliki fungsi yang serupa yaitu berfungsi dalam transfor oksigen untuk keperluan metabolisme. 

Karotenoid merupakan kelompok pigmen yang berwarna kuning, oranye, merah oranye yang terlarut dalam lipida (minyak), berasal dari hewan maupun tanaman, misalnya fukoxanthin yang terdapat didalam lumut, lutein, violaxanthin, dan neoxanthin terdapat pada dedaunan, likopen pada tomat, kapsanthin pada cabe merah, biksin pada annatto, caroten pada wortel, dan astazanthin pada lobster. 

Anthosianin dan anthoxanthin tergolong pigmen yang disebut flavonoid yang pada umumnya larut dalam air. Anthosianin tersusun oleh sebuah aglikon  yang berupa anthosianidin yang teresterifikasi dengan molekul gula yang bisa satu atau lebih.  Gula yang sering ditemukan adalah glukosa, ramnosa, galaktosa, xilosa dan arabinosa.  Anthosianin yang mengandung satu molekul gula disebut monosida, dua gula disebut diosida dan tiga gula disebut triosida.

Terdapat enam jenis anthosianidin yang sering terdapat dialam, yang penting untuk makanan yaitu pelargonidin, sianidin, delfinidin, peonidin, petunidin dan malvinidin.  Semua anthosianidin merupakan derivatif dari struktur dasar kation flavilium.  Pada molekul flavilium terjadi subsitusi dengan molekul OH dan Ome untuk membentuk anthosianidin.

Warna pigmen anthosianin merah, biru, violet dan biasanya terdapat pada bunga- buah-buahan dan sayur-sayuran.  Warna pigmen dipengaruhi oleh konsentrasi pigmen, dan pH.  Pada konsentrasi yang encer anthosianin berwarna biru, sebaliknya pada konsentrasi pekat berwarna merah dan konsentrasi biasa berwarna ungu.  Pada pH rendah pigmen anthosianin berwarna merah dan pada pH tinggi berubah menjadi violet dan kemudian menjadi biru.

Pewarna sintetik, perkembangan zat pewarna sintetik cukup pesat  Di Amerika Serikat pada tahun 1906 dikeluarkan suatu peraturan yang disebut Food and Drug Act yang memuat tujuh macam zat pewarna yaitu orange no 1, erythrosin, ponceau 3R, amarant, indigotine, naphtol yellow dan ligth green.

Pada tahun 1938 di Amerika juga telah dikeluarkan peraturan baru yaitu yang disebut  Food, Drug and Cosmetic Act (FD&C). yang memperluas ruang lingkup peraturan tahun 1906 dan mengatur penggunaan zat pewarna.  Zat pewarna dapat digolongkan atas tiga kategori yaitu FD&C Color, D&C Color, dan Ext D&C.  FD&C Color adlah zat pewarna yang dizinkan untuk makanan, obat-obatan dan kosmetik.  D&C diijinkan penggunaanya dalam obat-obatan dan kosmetik, sedangkan untuk bahan makanan dilarang.  Ext D&C diijinkan dalam jumlah terbatas pada obat-obat luar dan kosmetik.  Berikut ini Tabel 3 adalah daftar bahan pewarna makanan yang terdaftar pada FAO/WHO dan UK

Di Indonesia, karena undang-undang penggunaan zat pewarna belum ada (hingga saat ini aturan penggunaan zat warna sintetik diatur dalam SK Menteri Kesehatan RI tanggal 22 Oktober 1973 No. 11332/A/SK/73), terdapat kecenderungan penyalahgunaan pemakaian zat pewarna untuk sembarang bahan makanan.  Dari hasil pemantauan dan penelitian YLKI mulai tahun 1979, pengunaan pewarna pada berbagai produk diperlihatkan pada Tabel 4.  Tabel tersebut menunjukkan bahwa masih banyak penggunaan bahan terlarang sebagai pewarna.  Pewarna terlarang yang masih sering dipakai adalah orange RN, auramine, rhodamine B dan methanil yellow. Timbulnya penyalahgunaan zat pewarna tersebut disebabkan oleh ketidaktahuan rakyat mengenai zat pewarna untuk makanan, atau disebabkan karena tidak adanya penjelasan dalam label yang melarang penggunaan senyawa tersebut untuk bahan pangan.  Disamping itu, harga zat pewarna untuk industri relatif lebih murah dibandingkan dengan harga zat pewarna untuk makanan

Tabel 3.  Pewarna makanan yang terdaftar pada FAO/WHO dan UK

FAO/WHO list :as at May 1977 (many whit conditional use)

UK list : 1960

UK list : added by 1975

Acid Fuchsine FB

Amaranth

Black 7984**

Allura Red AC

Azorubine

Briliant Blue FCF***

Amaranth

Brilliant Black BN

Fast Yelow AB**

Azorubine (Carmoisine)

Blue VRS*

Patent Blue V

Briliant Black BN

(t)Brown FK***

Indianthrene Blue RS**

Brulliant Blue FCF

Chocolate Brown FB***

 

Brown FK

(t) Chocolate Brown HT ***

 

Chocolate Brown HT

Erythrosine BS

 

Chrysone

Fast Red E*

 

Eosin

Green S

 

Erythrosine

Indigo Carmine

 

Fast Gree FCF

Naphthol Yellow S*

 

Fast Red E

Oil Yellow GG*

 

Fast Yellow AB

Oil Yellow XP*

 

Green S

Orange G ***

 

Indanthrene (Solanthrene)

Orange RN**

 

Blue RS

Ponceau MX*

 

Indigo Carmine (Indigotine)

Ponceau SX*

 

Patent Blue V

Ponceau3R*

 

Ponceau 4R

Ponceau 4R

 

Ponceau 6R

Qunoline Yellow

 

Qunoline Yellow

(1)Red 2G***

 

Red 2G

Red 6B*

 

Red 10B

Red 10B*

 

Scarlet GN

Red FB*

 

Sudan G

Sunset Yellow FCF

 

Sunset Yellow FCF

Tatrazine

 

Tatrazine

Violet BNP

 

 

 

Tabel 3.  (Lanjutan)

 

FAO/WHO list :as at May 1977 (many whit conditional use)

UK list : 1960

UK list : added by 1975

Violet 5BN

Yellow 2G***

 

Yellow 2G

Yellow RFS*

 

Yellow 27175N

Yellow RY*

 

Keterangan : * : Colours removed from UK list by 1975, ** : colours removed in 1976, *** : Colours not in EEC list, but with 3 years temporary permit ifmarket (t), *** : current volunrtary ban on use

Sumber : Puspitasari, N.L. (1977)

 

Tabel 4.  Hasil Penelitian YLKI atas bahan Pewarna Beberapa Produk

W.P.

Produk

Contoh

P.P.

L.S.

D.L.

May-79

Kembang gula

20

3

0

3

Aug-79

Saos tomat

37

16

1

15

Apr-80

Sirup Trop.Slim

3

2

0

1

Oct-81

Krupuk udag

32

32

0

5

Mar-83

Sirup

59

59

0

8

Nov-84

Pewarna makanan

63

63

9

14

Sep-86

Essence

36

36

4

1

Apr-87

Sirup

30

22

0

3

May-88

Saos tomat

35

8

0

2

Jun-88

Saos cabe

35

10

0

2

Mar-90

Tahu

20

2

0

2

Keterangan :

WP : Waktu Penelitian

PP  :  Jumlah Produk yang memakai pewarna

LS  :  Jumlah produk yang memakai pewarna melibihi standar

DL  :  Jumlah produk yang memakai pewarna terlarang

Sumber : Rustamaji, E.  (1997).

 

VII.        Pengemulsi

Emulsi didefinisikan sebagai suatu sistim yang terdiri dari dua fase cairan yang tidak saling melarut, dimana salah satu cairan terdispersi dalam bentuk globula-globula di dalam cairan lainnya.  Cairan yang terpecah menjadi globula-globula dinamakan fase terdispersi, sedangkan cairan yang mengelilingi globula-globula dinamakan fase kontinyu atau medium dispersi

Istilah pengemulsi (emulsifier) atau sulfaktan dalam beberapa hal kurang tepat, karena bahan ini dapat melakukan beberapa fungsi yang pada beberapa jenis produk tidak berkaitan langsung dengan pembentukan emulsi sama sekali.

Fungsi-fungsi pengemulsi pangan dapat dikelompokan menjadi tiga golongan utama yaitu :

1.  Untuk mengurangi tegangan permukaan pada permukaan minyak dan air, yang mendorong pembentukan emulsi dan pembentukan kesetimbangan fase antara minyak, air dan pengemulsi pada permukaan yang memantapkan antara emulsi.

2.  Untuk sedikit merubah sifat-sifat tekstur, awetan dan sifat-sifat reologi produk pangan, dengan pembentukan senyawa kompleks dengan komponen-komponen pati dan protein.

3.  Untuk memperbaiki tekstur produk pangan yang bahan utamanya lemak dengan mengendalikan keadaan polimorf lemak

Sistim kerja emulsifier berhubungan erat dengan tegangan permukaan antara kedua fase (tegangan interfasial).  Selama emulsifikasi, emulsifier berfungsi menurunkan tegangan interfasial sehingga mempermudah pembentukan permukaan interfasial yang sangat luas.  Bila tegangan interfasial turun sampai di bawah 10 dyne per cm, maka emulsi dapat dibentuk; sedangkan bila tegangan interfasial mendekati nilai nol, maka emulsi akan terbentuk dengan spontan.

Pada dasarnya emulsifier merupakan surfactan yang mempunyai dua gugus, yaitu gugus hidrofilik dan gugus lipofilik.  Gugus hidrofilik bersifat polar dan mudah bersenyawa dengan air, sedangkan gugus lipofilik bersifat non polar dan mudah bersenyawa dengan minyak.  Di dalam molekul emulsifir, salah satu gugus harus lebih dominan jumlahnya.  Bila gugus polarnya yang lebih dominan, maka molekul-molekul emulfisier tersebut akan diadsoprsi lebih kuat oleh air dibandingkan dengan minyak.  Akibatnya tegangan permukaan air menjadi lebih rendah sehingga mudah menyebar dan menjadi fase kontinyu.  Demikian pula sebaliknya, bila gugus nonpolarnya lebih dominan, maka molekul-molekul emulsifier tersebut akan diadsopsi lebih kuat oleh minyak dibandingkan dengan air.  Akibatnya tegangan permukaan minyak menjadi lebih rendah sehingga mudah menyebar dan menjadi fase kontinyu

Banyak cara-cara sudah dikembangkan untuk mendapatkan pengemulsi atau campuran-emulsi untuk mendapatkan sifat khusus suatu produk pangan yang tepat atau campuran emulsi yang tepat untuk mendapatkan sifat-sifat khusus produk pangan.  Teori pertama untuk menduga pembentukan emulsi, apakah O/W atau W/O adalah yang disebut hukum Bancrobt, yang dikemukakan pertama kali pada tahun 1913.   Teori tersebut menyatakan bahwa fase yang mana bahan pengemulsinya mudah larut, menjadi fase eksternal.  Teori selanjutnya adalah pemilihan dengan sistem keseimbangan sifat hidrofilik dan lipofilik (Hidrophilic-Lipophilic Balance/HLB) yang dikemukakan oleh Griffin.  Nilai-nilai HLB suatu pengemulsi yang rendah menunjukan pengemulsi bersifat bersifat hidrofilik yang lemah.  Kenaikan nilai HLB menunjukkan kenaikan polaritas molekul-molekul pengemulsi..

Griffin  mengajukan persamaan sebagai berikut untuk menghitung nilai HLB suatu bahan pengemulsi :

HLB  =  20 (1- S/A)

dimana, S = angka penyabunan esternya

                A = angka asam-asam lemaknya

Jika dua atau lebih pengemulsi harus dicampurkan (biasanya pencampuran memberikan efek yang lebih baik), nilai HLB kombinasi dapat dihitung dengan menggunakan rumus berikut :

% A = 100 (X - HLBB)/(HLBA - HLBB) dan

% B = 100 -% (A)

dimana X adalah HLB campuran dari pengemulsi A dan B yang dibutuhkan

Dibawah ini disajikan nilai HLB dari beberapa jenis bahan pengemulsi

 

Tabel 8.1  Daftar nilai HLB dari beberapa zat pengemulsi

No.

Nama zat pengemulsi

Nilai HLB

1.

Sodium stearoyl-2-lactylate

21,1

2.

Potasium Oleate

20,0

3.

Sodium Oleate

18,1

4.

Polyoxyethylene 20 sorbitan monooleate

15,8

5.

Polyoxyethylene 20 sorbitan monoolearate

14,9

6.

Polyoxyethylene 5 sorbitan monoolearate

10,9

7.

Gum acasia

11,9

8.

Gum Tragacant

11,9

9.

Methyl cellulose

10,5

10.

Polyoxyethylene sorbitan tristearate

10,5

11.

Gelatin

9,8

12

Tetraglycrol monostearate

9,1

13.

Diacetyl tartaric acid ester of monoglycerida

9,2

14.

Sorbitan monolaurate

8,5

15

Sorbitan monosolmitate

6,6

16.

Sorbitan Monoolearate

5,7

17

Succinic acid ester of monoglyceriates

5,3

18.

Diglycerol monostearate

5,5

19

Propylane glycol monolaurate

4,6

20.

Glycerol-lactic-palmitate

3,7

21.

Gycerol monostearate

3,7

22.

Propylene glycol monostearate

3,4

23.

Mono dan diglyserides

2,8

24

Sorbitan tristearate

2,1

25

Oleic acid

1,0

Sumber : Poerie and Tung (1976) di dalam Tien R.Muchtadi (1990)

Berikut ini adalah contoh-contoh emulsifier yang umum digunakan dalam bahan pangan :

1.         Mono dan Diglycerides, dikenal juga dengan istilah discrete substances.  Pertama kali dibuat oleh Berthelot pada tahun 1853 melalui reaksi esterifikasi asam lemak dan glycerol.  Mono dan diglycerides merupakan zat pengemulsi yang umum digunakan.  Komponen-komponen ini dapat diperoleh dengan memanaskan triglyceride dan glycerol dengan suatu  katalis yang bersifat basa.  Reaksi ini akan menghasilkan campuran yang terdiri dari ± 45% monogliserida dan ± 45 % digliserida, serta ± 10% trigliserida bersama-sama dengan sejumlah kecil gliserol dan asam-asam lemak bebas.  Mono dan digliserida yang terbentuk kemudian dipisahkan dengan cara destilasi molekuler.  Yang tergolong mono dan diglycerides diantaranya adalah

* Glycerol monolaurate, dibuat dari reaksi glycerol dan asam laurat

* Ethoxylated mono dan diglycerides (EMG), juga disebut dengan polyoxyethylene (20) mono dan diglycerides

* Diacetyl tartaric acid ester of monoglycerides (DATEM)

      * Lactic acid ester of monoglycerides, misalnya glyceril lactylpalmitate

* Succinylated monoglycerides

2.         Stearoyl Lactylates, merupakan hasil reaksi dari steric acid dan lactic acid, selanjutnya diubah ke dalam bentuk garam kalsium dan sodium.  Bahan pengemulsi ini sering digunakan dalam produk-produk bakery

3.         Propylene Glycol Ester, merupakan hasil reaksi dari propylene glycol dan asam-asam lemak.  Umumnya digunakan di dalam pembuatan kue, rati dan whipped topping. 

4.         Sorbitan Esters.  Asam sorbitan terbentuk dari reaksi antara sorbitan dengan asam lemak.  Sorbitan adalah produk dihidrasi dari gula alkohol yang dapat diperoleh secara alami yaitu sorbitol.  Sampai saat ini hanya sorbitan monostearat, satu-satunya ester sorbitan yang diizinkan digunakan dalam pangan dan umumnya digunakan dalam pembuatan kue, whipped topping, cake icing, coffe whiteners dan pelapis pelindung buah dan sayuran segar.

5.         Polysorbates.  Ester polioksietilen sorbitan umumnya disebut polisorbat.  Ester ini dibuat dari reaksi antara ester-ester sorbitan dengan ethylene oxide.  Tiga jenis polisorbat yang diijinkan untuk digunakan dalam pangan adalah polisorbat 60, Polisorbat 65, polisorbat 80.

6.         Polyglycerol Ester, dibuat dari reaksi antara asam-asam lemak dan glycerol yang sudah mengalami polimerisasi.  Tingkat polimerisasinya antara 2-10 molekul.  Ester-ester poliglycerol digunakan dalamp pangan yang diaerasi mengandung lemak, beverage, icing, dan margarine.

7.         Ester-ester sukrosa,  adalah mono, di dan triester sukrosa dengan asam-asam lemak. Ester ini dihasilkan dari reaksi sukrosa dan lemak sapi.  Penggunaanya dalam pangan umumnya pada pembuatan roti, produk tiruan olaha susu, whipped milk product.

8.         Lecitin,  adalah campuran fosfatida dan senyawa-senyawa lemak yang terdiri dari fosfatidil kolin, fosfatidil etanolamin, fosfatidil inositol.dan komponen-komponen lainnya.  Lesitin merupakan bahan penyusun alami pada hewan maupun tanaman.  Lecitin paling banyak diperoleh dari kedele dan kuning telur.  Biasanya digunakan untuk emulsifier pada margarine, roti, kue dan lain-lain.

 

DAFTAR PUSTAKA

 

Allen, J.C. and Hamilton, R.J.  1983.  Rancidity in Foods Applied Science Publisher London & New York.

 

Beck, K.M.  1980.  Non Nutritive Sweeteners: Saccarine dan Cyclamate.  Di dalam Furia, E.T. (ed.).  CRC Handbook of Food Addtives.  Vol II.  CRC Press. INC.  Florida. 

 

Belitz dan Goosch.  1987.  Food Chemistry.  Marcel Dekkeer, Inc. New York.

 

Crosby, G.A and Furia, T.E.  1980.  New Sweeteners. Di dalam Furia, E.T. (ed.).  CRC Handbook of Food Addtives.  Vol II.  CRC Press. INC.  Florida. 

 

Dziezak, J. D.  1988.  Emulsifiers : The Interfacial Key to Emulsion Stability.  J. Food Technology, October, 1988. 

 

Fennema, O.R.  1985. Food Chemistry.   Marcel Dekkeer, Inc. New York

 

Imeson, A.  1992.  Exudate Gums.  Di dalam Thickening and Gelling Agents For Food.  Imeson A (ed.).  Blackie Academic and Professional.  London

 

Kelly E. H., Anthony R. T., Dennis J. .  2002.  Flavonoid antioxidant : Chemistry, Metabolisme and Structure-activity Relationships.  J. of Nutritional Biochemistry, 13(2002):572-584

 

Muchtadi, D.  1997.  Radikal bebas dan Penyakit Kronis.  Modul Pelatihan.  Pelatihan Pengendalian Mutu dan keamanan Pangan Bagi Staf Pengajar, Bogor, 21 Juli- 2 Agustus 1997.  Kerjasama PAU Pangan an Gizi IPB dengan Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi Departemen Pendidikan dan Kebudayaan.

 

Noonan, J.E. and Harry M.  1980.  Syntetic Food Colors.  Di dalm Furia, E.T. (ed.).  CRC Handbook of Food Addtives.  Vol II.  CRC Press. INC.  Florida

 

Puspitasari N.L.  1997.  Bahan Tambahan Pangan, Manfaat dan Resiko Penggunaannya.  Modul Pelatihan.  Pelatihan Pengendalian Mutu dan keamanan Pangan Bagi Staf Pengajar, Bogor, 21 Juli- 2 Agustus 1997.  Kerjasama PAU Pangan an Gizi IPB dengan Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi Departemen Pendidikan dan Kebudayaan.

 

Rice-Evans, C.A., N.J. Miller, G. Paganga.  1997.  Antiosidant Properties of Phenolic Compounds.  J. Trends in Plant Science, April 1997, Vol 2 No. 4

 

Rustamji, E.  1997 (YLKI).  Penggunaan Bahan Terlarang pada Makanan dan Minuman.  Makalah.  Didalam Temu Karya Penggunaan Bahan Tambahan Makanan (BTM) Oleh Industri Pangan.  Kerjasama Kantor Menteri Negara Urusan Pangan dan Jurusan TPG, Fateta IPB, tanggal 22 Februari 1997.  Jakarta

 

Shahidi, F. and M. Naczk.  1991.  Food Phenolics: Sources, Chemistry, Effects, Applications.  Technomic Publishing Co. Inc.

 

Siebert, K.J.  1999.  Protein-Polyphenol Haze in Beverages.  J.  Food Technology, January 1999 Vol 53, No.1: 54-69

 

Sudarmaji, S.  1982.  Bahan-bahan Pemanis.  Penerbit Agritech.  Yogyakarta

 

Tien R. Muchtadi.  1990.  Emulsi Bahan Pangan.  Diktat Kuliah.  Jurusan Teknologi Pangan dan Gizi.  IPB.  Bogor. 

 

Timmermann.  2000.  Food Emulsifier-Basic Theory  to Practical Realities.  J.Asia Pacific Fodd Industry, August : 64-67.

 

Tranggono, Sutardi, Haryadi, Suparmo, Agnes Murdiati, Slamet Sudarmadji, Kapti Rahayu, Sri Naruki dan Mary Astuti.  1990.  Bahan Tambahan Makanan.  PAU Pangan dan Gizi Universitas Gadjah Mada.  Jogjakarta.

 

Winarno, F.G.  1997.  Kimia Pangan dan Gizi.  PT. Gramedia Pustaka Utama.  Jakarta.