ã 2002  I Nyoman Soeyasa                                                                                Posted  11 January 2003

Makalah Falsafah Sains (PPs-702)

Program Pascasarjana/S3

Institut Pertanian Bogor

January 2003

 

Dosen:

Prof.Dr.Ir. Rudy C Tarumingkeng (Penanggung Jawab)

Prof.Dr. John Haluan

 

 

 

 

PENGELOLAAN SUMBERDAYA IKAN INDONESIA

 (Pendekatan Normatif)

 

 

Oleh:

 

I NYOMAN SUYASA

C 561020024

 

E-mail : soeyasa_stp@hotmail.com

 

 

 

 

 

1.      PENDAHULUAN

1.1.          Latar belakang

Pertumbuhan penduduk dan pertumbuhan ekonomi yang terjadi dibeberapa Negara, telah mendorong meningkatnya permintaan komoditas perikanan dari waktu ke waktu.   Meningkatnya permintaan ikan ini mengarah pada jumlah yang tidak terbatas, mengingat kegiatan pembangunan yang merupakan factor pendorong dari permintaan ikan berlangsung secara terus menerus.    Sementara disisi lain, permintaan ikan tersebut dipenuhi dari sumberdaya ikan yang jumlahnya di alam memang terbatas.

Kecendrungan meningkatnya permintaan ikan telah membuka peluang berkembang pesatnya industri perikanan, baik perikanan tangkap maupun perikanan budidaya.    Hanya sayangnya, perkembangan industri perikanan ini lebih banyak dilandasi oleh pertimbangan teknologi dan ekonomi, dan sekaligus mengabaikan pertimbangan lainnya seperti lingkungan, social budaya serta kelestarian sumberdaya perikanan.   Akibatnya, jaminan usaha perikanan yang berkelanjutan menjadi tanda tanya, disamping upaya meningkatkan kesejahteraan nelayan menjadi semakin jauh.

Bagi Indonesia, perikanan mempunyai peranan yang cukup penting dalam pembangunan nasional.    Hal ini disebabkan karena adanya beberapa factor, diantaranya adalah :

Ø             Sekitar 2.274.629 orang nelayan dan 1.063.140 rumah tangga budidaya, menggantungkan hidupnya dari kegiatan usaha perikanan.

Ø             Adanya sumbangan devisa yang jumlahnya cukup signifikan dan cendrung meningkat dari tahun ketahun.

Ø             Mulai terpenuhinya kebutuhan sumber protein hewani bagi sebagian masyarakat.

Ø             Terbukanya lapangan kerja bagi angkatan kerja baru, sehingga diharapkan mampu mengurangi angka pengangguran dan

Ø             Adanya potensi perikanan yang dimiliki Indonesia

Dalam kerangka pembangunan nasional, maka peningkatan kontribusi perikanan harus diupayakan secara berhati-hati, agar tidak menimbulkan dampak negative dimasa yang akan datang.   Disinilah peranan pengelolaan potensi perikanan menjadi sangat strategis.   Disisi lain, disadari juga bahwa pertumbuhan penduduk dunia dan pertumbuhan ekonomi beberapa negara di dunia, telah mendorong meningkatnya permintaan bahan makanan termasuk didalamnya ikan.   Disamping itu, timbulnya kesadaran masyarakat akan kesehatan telah menggeser pola makan masyarakat, khususnya sumber protein hewani dari yang bersifat “red meal” (sapi, babi dan sebagainya) ke “white meal” (ikan).   Kondisi tersebut diatas telah berimplikasi pada meningkatnya permintaan ikan dunia  

 

1.2.     Maksud dan Tujuan

Paper ini ditulis dengan maksud untuk melihat bagaimana kebijakan pengelolaan sumberdaya perikanan Indonesia seharusnya dilakukan dan bagaimana posisi kebijakan tersebut apabila dipandang dari sisi normatif.   Sedangkan tujuan dari penulisan paper ini adalah untuk melihat hal-hal sebagai berikut :

1).         Memberikan gambaran beberapa model normative yang dapat dipergunakan dalam pengelolaan sumberdaya ikan.

2).         Melihat peranan yang dapat diambil oleh pemerintah dalam pengelolaan sumberdaya ikan

 

2.      SUMBERDAYA IKAN SEBAGAI SUMBERDAYA ALAM

Sumberdaya alam (natural resources) pada dasarnya mempunyai pengertian segala sesuatu yang berada dibawah atau diatas bumi, termasuk tanah itu sendiri (Suparmoko, 1997).   Dengan kata lain, sumberdaya alam adalah sesuatu yang masih terdapat didalam maupun diluar bumi yang sifatnya masih potensial dan belum dilibatkan dalam proses produksi.   Pengertian ini berbeda dengan barang sumberdaya (resources commodity), karena merupakan sumberdaya alam yang sudah diambil dari dalam atau atas bumi dan siap dipergunakan atau dikombinasikan dengan factor produksi lainnya untuk menghasilkan produk baru yang dapat dimanfaatkan baik oleh konsumen maupun produsen.

Sumberdaya alam mempunyai hubungan yang sangat erat dengan pertumbuhan ekonomi yang terjadi di suatu Negara (khususnya Negara sedang berkembang), dimana semakin tinggi pertumbuhan ekonominya, akan mengakibatkan persediaan sumberdaya alam yang tersedia akan semakin berkurang.   Hal ini karena pertumbuhan ekonomi yang tinggi akan selalu menuntut adanya barang sumberdaya dalam jumlah yang tinggi pula, dan barang sumberdaya ini diambil dari persediaan sumberdaya alam yang ada.   Dengan demikian, terdapat hubungan yang “positif” antara jumlah barang sumberdaya dengan pertumbuhan ekonomi, disamping juga hubungan yang “negative” antara persediaan sumberdaya alam dengan pertumbuhan ekonomi.

Uraian diatas memberikan peringatan kepada kita bahwa pembangunan dan pertumbuhan ekonomi, apabila dilakukan tidak secara berhati-hati akan dapat mengguras persediaan sumberdaya alam yang ada.   Kondisi ini pada gilirannya nanti akan dapat menghambat pertumbuhan ekonomi lebih lanjut.   Oleh karena itu, pemanfaatan sumberdaya alam dalam rangka pembangunan harus dilakukan secara bijaksana, dengan selalu mempertimbangkan sisi positif dan negatifnya.

Ikan adalah salah satu bentuk sumberdaya alam yang bersifat renewable atau mempunyai sifat dapat pulih/dapat memperbaharui diri.   Disamping sifat renewable, menurut Widodo dan Nurhakim (2002), sumberdaya ikan pada umumnya mempunyai sifat “open access” dan “common property” yang artinya pemanfaatan bersifat terbuka oleh siapa saja dan kepemilikannya bersifat umum.   Sifat sumberdaya seperti ini menimbulkan beberapa konsekuensi, antara lain :

1)     Tanpa adanya pengelolaan akan menimbulkan gejala eksploitasi berlebihan (over exploitation), investasi berlebihan (over investment) dan tenaga kerja berlebihan (over employment).

2)     Perlu adanya hak kepemilikan (property rights), misalnya oleh Negara (state property rights), oleh masyarakat (community property rights) atau oleh swasta/perorangan (private property rights).

Dengan sifat-sifat sumberdaya seperti diatas, menjadikan sumberdaya ikan bersifat unik, dan setiap orang mempunyai hak untuk memanfaatkan sumberdaya tersebut dalam batas-batas kewenangan hukum suatu Negara.

Pada hakekatnya masalah sumberdaya milik bersama, berkaitan erat dengan persoalan-persoalan eksploitasi atau pemanfaatan yang berlebihan.   Hal ini disebabkan oleh karena adanya pendapat masyarakat yang mengatakan bahwa sumberdaya milik bersama adalah sumberdaya milik setiap orang.    Oleh karena itu, dapatkan sumberdaya tersebut selagi masih baik dan mengapa kita harus menghematnya, sementara orang lain menghabiskannya.

Kondisi diatas mengakibatkan sumberdaya milik bersama seperti halnya sumberdaya ikan adalah memungkinkan bagi setiap orang atau perusahaan dapat dengan bebas masuk untuk mengambil manfaat.    Selanjutnya, dengan adanya orang atau perusahaan yang berdesakan karena mereka bebas masuk, maka akan terjadi interaksi yang tidak menguntungkan dan secara kuantitatif berupa biaya tambahan yang harus diderita oleh masing-masing orang atau perusahaan, sebagai akibat keadaan yang berdesakan tersebut.    Dengan demikian, secara prinsip sumberdaya milik bersama yang dicirikan dengan pengambilan secara bebas maupun akibat-akibat lain yang ditimbulkan seperti biaya eksternalitas (disekonomis) dan lain sebagainya, akan menimbulkan kecendrungan pengelolaan secara deplesi.

Pengertian deplesi disini adalah suatu cara pengambilan sumberdaya alam secara besar-besaran, yang biasanya dilakukan untuk memenuhi kebutuhan akan bahan mentah.   Dalam kaitannya dengan sumberdaya perikanan yang sifatnya dapat diperbaharui, tindakan deplesi walaupun dapat diimbangi dengan kegiatan konservasi akan tetap melekat dampaknya terhadap lingkungan dan membutuhkan waktu yang cukup lama untuk memulihkannya. 

Lebih lanjut, Nikijuluw (2002) mengemukakan adanya 3 (tiga) sifat khusus yang dimiliki oleh sumberdaya yang bersifat milik bersama tersebut.   Ketiga sifat khusus tersebut adalah :

1)     Ekskludabilitas

Sifat ini berkaitan dengan upaya pengendalian dan pengawasan terhadap akses ke sumberdaya.   Upaya pengendalian dan pengawasan ini menjadi sulit dan sangat mahal oleh karena  sifat phisik sumberdaya ikan yang dapat bergerak, disamping lautan yang cukup luas.   Dalam kaitan ini, orang akan dengan mudah memasuki area perairan untuk memanfaatkan sumberdaya ikan yang ada didalamnya, sementara disisi lain otoritas menejemen sangat sulit untuk mengetahui serta memaksa mereka untuk keluar.

2)     Substraktabilitas

Substraktabilitas adalah suatu situasi dimana seseorang mampu dan dapat menarik sebagian atau seluruh manfaat dan keuntungan yang dimiliki oleh orang lain.   Dalam kaitan ini, meskipun para pengguna sumberdaya melakukan kerjasama dalam pengelolaan, akan tetapi kegiatan seseorang didalam memanfaatkan sumberdaya yang tersedia akan selalu berpengaruh secara negatif pada kemampuan orang lain didalam memanfaatkan sumberdaya yang sama.   Dengan demikian, sifat ini pada dasarnya akan menimbulkan persaingan yang dapat mengarah pada munculnya konflik antara rasionalitas individu dan kolektif.

3)     Indivisibilitas

Sifat ini pada hakekatnya menunjukkan fakta bahwa sumberdaya milik bersama adalah sangat sulit untuk dibagi atau dipisahkan, walaupun secara adminstratif pembagian maupun pemisahan ini dapat dilakukan oleh otoritas menejemen.

 

3.      PENGELOLAAN SUMBERDAYA IKAN

Pengelolaan sumberdaya ikan adalah suatu proses yang terintegrasi mulai dari pengumpulan informasi, analisis, perencanaan, konsultasi, pengambilan keputusan, alokasi sumber dan implementasinya, dalam rangka menjamin kelangsungan produktivitas serta pencapaian tujuan pengelolaan (FAO, 1997).  Sementara Widodo dan Nurhakim (2002) mengemukakan bahwa secara umum, tujuan utama pengelolaan sumberdaya ikan adalah untuk :

1).   Menjaga kelestarian produksi, terutama melalui berbagai regulasi serta tindakan perbaikan (enhancement).

2).   Meningkatkan kesejahteraan ekonomi dan social para nelayan serta

3).   Memenuhi keperluan industri yang memanfaatkan produksi tersebut.

 

3.1.     MODEL PENGELOLAAN

Pengelolaan sumberdaya perikanan umumnya didasarkan pada konsep “hasil maksimum yang lestari” (Maximum Sustainable Yield) atau juga disebut dengan “MSY”.   Konsep MSY berangkat dari model pertumbuhan biologis yang dikembangkan oleh seorang ahli Biologi bernama Schaefer pada tahun 1957.   Inti dari konsep ini adalah menjaga keseimbangan biologi dari sumberdaya ikan, agar dapat dimanfaatkan secara maksimum dalam waktu yang panjang.   Pendekatan konsep ini berangkat dari dinamika suatu stok ikan yang dipengaruhi oleh 4 (empat) factor utama, yaitu rekrutment, pertumbuhan, mortalitas dan hasil tangkapan. 

Pengelolaan sumberdaya ikan seperti ini lebih berorientasi pada sumberdaya (resource oriented) yang lebih ditujukan untuk melestarikan sumberdaya dan memperoleh hasil tangkapan maksimum yang dapat dihasilkan dari sumberdaya tersebut.   Dengan kata lain, pengelolaan seperti ini belum berorientasi pada perikanan secara keseluruhan (fisheries oriented), apalagi berorientasi pada manusia (social oriented).

Pengelolaan sumberdaya ikan dengan menggunakan pendekatan “Maximum Sustainable Yield” telah mendapat tantangan cukup keras, terutama dari para ahli ekonomi yang berpendapat bahwa pencapaian “yield”  yang maksimum pada dasarnya tidak mempunyai arti secara ekonomi.   Hal ini berangkat dari adanya masalah “diminishing return” yang menunjukkan bahwa kenaikan “yield” akan berlangsung semakin lambat dengan adanya penambahan “effort” (Lawson, 1984).   Pemikiran dengan memasukan unsur ekonomi didalam pengelolaan sumberdaya ikan, telah menghasilkan pendekatan baru yang dikenal dengan “Maximum Economic Yield” atau lebih popular dengan “MEY”.   Pendekatan ini pada intinya adalah mencari titik yield dan effort yang mampu menghasilkan selisih maksimum antara total revenue dan total cost.

Selanjutnya, hasil kompromi dari kedua pendekatan diatas kemudian melahirkan konsep “Optimum Sustainable Yield” (OSY), sebagaimana dikemukakan oleh Cunningham, Dunn dan Whitmarsh (1985).   Secara umum konsep ini dimodifikasi dari konsep “MSY”, sehingga menjadi relevan baik dilihat dari sisi ekonomi, social, lingkungan dan factor lainnya.   Dengan demikian, besaran dari “OSY” adalah lebih kecil dari “MSY” dan besaran dari konsep inilah yang kemudian dikenal dengan “Total Allowable Catch” (TAC).   Konsep pendekatan ini mempunyai beberapa kelebihan dibandingkan dengan “MSY”, diantaranya adalah :

1).   Berkurangnya resiko terjadinya deplesi dari stok ikan

2).   Jumlah tangkapan per unit effort akan menjadi semakin besar

3).   Fluktuasi TAC juga akan menjadi semakin kecil dari waktu ke waktu

Hasil pengkajian terakhir yang telah dilakukan terhadap sumberdaya ikan Indonesia, menunjukan bahwa jumlah potensi lestari adalah sebesar 6,409 juta ton ikan/tahun, dengan tingkat eksploitasi pada tahun terakhir mencapai angka 4,069 juta ton ikan/tahun (63,49%).   Dengan demikian, masih ada cukup peluang untuk meningkatkan produksi perikanan nasional.   Namun demikian, yang perlu diperhatikan adalah adanya beberapa zone penangkapan yang kondisi sumberdaya ikannya cukup memprihatinkan dan sudah melampaui potensi lestarinya (over fishing), yaitu di perairan Selat Malaka dan perairan Laut Jawa.   Akan tetapi di kedua perairan tersebut, terdapat beberapa kelompok ikan (ikan pelagis besar dan ikan pelagis kecil di Selat Malaka serta ikan demersal di Laut Jawa) yang masih mungkin untuk dikembangkan eksploitasinya.

Sementara di 7 (tujuh) zone penangkapan lainnya, sekalipun tingkat pemanfaatan sumberdaya ikannya secara keseluruhan masih berada dibawah potensi lestari, akan tetapi untuk beberapa kelompok ikan sudah berada pada posisi “over fishing”.   Sebagai contoh, udang dan lobster di perairan Laut Cina Selatan, ikan demersal; udang dan cumi-cumi di perairan Selat Makasar dan Laut Flores.   Oleh karena itu, pada beberapa perairan yang kondisi pemanfaatan sumberdaya ikannya telah mendekati dan atau melampaui potensi lestarinya, maka perlu kiranya mendapatkan perlakuan khusus agar sumberdaya ikan yang ada tidak “collapse”.

Informasi yang berkaitan dengan potensi dan penyebaran sumberdaya ikan laut di perairan Indonesia, telah dipublikasikan oleh “Komisi Nasional Pengkajian Stok Sumberdaya Ikan Laut” pada tahun 1998.     Dalam publikasi tersebut, wilayah perairan Indonesia dibagi   menjadi 9 (sembilan) zone, yaitu :

1)     Selat Malaka

2)     Laut Cina Selatan

3)     Laut Jawa

4)     Selatan Makasar dan Laut Flores

5)     Laut Banda

6)     Laut Seram dan Teluk Tomini

7)     Laut Sulawesi dan Samudra Pasifik

8)     Laut Arafura

9)     Samudra Hindia   

Sementara dalam menentukan stok sumberdaya ikan di perairan Indonesia, dipergunakan beberapa metoda sesuai dengan jenis dan sifat sumberdaya ikan.   Metoda tersebut dapat dilihat melalui table  berikut :

 

Tabel 1.   Metoda Pengkajian Stok Sumberdaya Ikan

 

Jenis SD. Ikan

Metoda

Sensus/

Transek

Swept

Area

Akustik

Surplus

Produksi

Tagging

Ekstra/

Intra-

polasi

1.  Ikan Pelagis Besar

 

 

 

X

 

x

2.  Ikan Pelagis Kecil

 

 

X

 

 

x

3.  Ikan Demersal

 

X

 

 

 

x

4.  Ikan Karang

X

 

 

X

 

 

5.  Ikan Hias

X

 

 

 

 

 

6.  Udang dan krustasea

 

 

 

X

 

x

7.  Muluska & teripang

X

 

 

X

 

 

8.  Mammalia & reptilian

X

 

 

 

X

 

9.  Rumput Laut

X

 

 

 

 

 

10. Benih Alam

X

X

 

 

 

 

11. Karang

X

 

 

 

 

 

Sumber : Komnas. Pengkajian Stok Sumberdaya Ikan Laut (1998).

 

Dalam kaitan ini terdapat beberapa pendekatan yang dapat dilakukan didalam mengelola sumberdaya perikanan, agar tujuan pengelolaan dapat tercapai.   Pendekatan dimaksud sebagaimana dikemukakan oleh Gulland dalam Widodo dan Nurhudah (1985) adalah sebagai berikut :

1).         Pembatasan alat tangkap

2).         Penutupan daerah penangkapan ikan

3).         Penutupan musim penangkapan ikan

4).         Pemberlakuan kuota penangkapan ikan

5).         Pembatasan ukuran ikan yang menjadi sasaran

6).         Penetapan jumlah hasil tangkapan setiap kapal

 

3.2.     PERANAN PEMERINTAH DALAM PENGELOLAAN

Dalam pelaksanaanya di Indonesia, pemerintah mempunyai peranan yang sangat penting untuk mengelola sumberdaya ikan, sebagaimana diamanatkan oleh Undang-Undang Dasar 1945 (pasal 33) maupun Undang-Undang Perikanan No. 9 tahun 1985, yang intinya memberikan mandat kepada pemerintah didalam mengelola sumberdaya alam untuk kesejahteraan rakyat.   Keterlibatan pemerintah didalam pengelolaan sumberdaya ikan ini, menurut (Nikijuluw, 2002) diwujudkan dalam 3 (tiga fungsi), yaitu :

1).         Fungsi Alokasi, yang dijalankan melalui regulasi untuk membagi sumberdaya sesuai dengan tujuan yang telah ditetapkan

2).         Fungsi Distribusi, dijalankan oleh pemerintah agar terwujud keadilan dan kewajaran sesuai pengorbanan dan biaya yang dipikul oleh setiap orang,  disamping adanya keberpihakan pemerintah kepada mereka yang tersisih atau lebih lemah.

3).         Fungsi Stabilisasi, ditujukan agar kegiatan pemanfaatan sumberdaya ikan tidak berpotensi menimbulkan instabilitas yang dapat merusak dan menghancurkan tatanan social ekonomi masyarakat.

Didalam menjalankan fungsi-fungsi diatas, maka kiranya pemerintah perlu mempertimbangkan cara pandang teleologik sebagaimana diungkapkan oleh Hull dalam Nasoetion (1999), yaitu dengan selalu melihat tujuan atau akibat dari suatu tindakan.   Dengan demikian, dalam etika teleologi suatu tindakan dinilai baik apabila tindakan tersebut mempunyai tujuan baik dan mendatangkan akibat yang baik pula (Keraf, 2002).

Etika teleology sendiri dikelompokkan menjadi 2 (dua), dimana salah satunya adalah utilitarianisme yang banyak dipergunakan sebagai pegangan didalam menilai sebuah kebijakan yang bersifat public. Selanjutnya (Keraf, 2002) juga mengemukakan terdapat 3 (tiga) kriteria yang dipergunakan dalam teori utilitarianisme sebagai dasar tujuannya, yaitu :

1).         Manfaat, yaitu kebijakan atau tindakan itu mendatangkan manfaat tertentu.

2).         Manfaat terbesar, yaitu kebijakan atau tindakan tersebut mendatangkan manfaat lebih besar atau terbesar bila dibandingkan dengan kebijakan atau tindakan alternatif lain.   Dalam kaitan ini, apabila semua alternatif yang ada ternyata sama-sama mendatangkan kerugian, maka tindakan atau kebijakan yang baik adalah yang mendatangkan kerugian terkecil.

3).         Manfaat terbesar bagi sebanyak mungkin orang, artinya suatu kebijakan atau tindakan dinilai baik apabila manfaat terbesar yang dihasilkan berguna bagi banyak orang.   Semakin banyak orang yang menikmati akibat baik tadi, maka semakin baik kebijakan atau tindakan tersebut.

Di Indonesia pada dasarnya pengelolaan perikanan lebih berkaitan dengan masalah manusia (people problem) dari pada masalah sumberdaya (resources problem).    Hal ini didasarkan pada pertimbangan bahwa lebih dari 60% produksi perikanan Indonesia dihasilkan oleh perikanan skala kecil, yang banyak menyerap tenaga kerja yang dikenal dengan nelayan.   Kaiser dan Forsberg (2001) memberikan beberapa hal yang harus diperhatikan didalam pengelolaan perikanan, yaitu :

1).         Jumlah stakeholder perikanan adalah banyak

2).         Kebijakan pengelolaan harus dapat diterima oleh semua stakeholder

3).         Hormati sebanyak mungkin nilai-nilai yang berkembang di masyarakat

4).         Kebijakan harus mempertimbangkan aspek social, politik dan ekonomi

Cara pandang pengelolaan sumberdaya perikanan seperti ini pada hakekatnya telah dipahami oleh sebagian besar masyarakat perikanan Indonesia.   Hanya saja, pada saat ini sebagian besar daerah di Indonesia pengelolaan sumberdaya perikanan lautnya masih berbasis pada pemerintah pusat (Government Based Management).   Dalam pengelolaan seperti ini, pemerintah bertindak sebagai pelaksana mulai dari perencanaan, pelaksanaan sampai pada pengawasan.   Sedangkan kelompok masyarakat pengguna hanya menerima informasi tentang produk-produk kebijakan dari pemerintah.   Menurut Satria dkk, (2002), pengelolaan perikanan seperti ini mempunyai beberapa kelemahan diantaranya adalah :

1).         Aturan-aturan yang dibuat menjadi kurang terinternalisasi didalam masyarakat, sehingga menjadi sulit untuk ditegakan.

2).         Biaya transaksi yang harus dikeluarkan untuk pelaksanaan dan pengawasan adalah sangat besar, sehingga menyebabkan lemahnya penegakan hukum.

 

4.           KESIMPULAN

Dari uraian yang telah dikemukakan diatas, dapat disimpulkan beberapa hal sebagai berikut :

1).         Sumberdaya ikan pada dasarnya adalah sumberdaya alam, yang sifatnya mempunyai hubungan negative terhadap pertumbuhan ekonomi.   Artinya, semakin tumbuh ekonomi suatu Negara, maka cadangan sumberdaya alamnya akan semakin menipis.

2).         Ikan adalah sumberdaya alam yang bersifat renewable, dan pengelolaannya harus mempertimbangkan aspek biologi, ekonomi dan lain sebagainya.   Dalam kaitan ini, “Optimum Sustainable Yield” adalah pendekatan yang paling memadai.

3).         Terdapat beberapa metoda yang dipergunakan didalam menentukan stok ikan, dan ini sangat tergantung pada jenis dan sifat ikan.

4).         Pemerintah mempunyai peranan yang penting dalam pengelolaan sumberdaya ikan, dengan tiga bentuk fungsinya yaitu fungsi alokasi; fungsi distribusi dan fungsi stabilisasi.

5).         Didalam menjalankan fungsinya, pemerintah harus mengembangkan kerangka pendekatan teologik

6).         Pengelolaan sumberdaya ikan yang dijalankan oleh pemerintah di Indonesia, mempunyai beberapa kelemahan.

 

Daftar Pustaka

Food and Agricultural Organization, 1997.  Fisheries Management.   FAO Technical Guidelines for Responsible Fisheries, No. 4 82p.  Rome.

Cunningham. S, M.R. Dunn and D. Whitmarsh, Fisheries Economics.  An Introduction.  Mansell Publishing Limited.  London.

Dahuri, R, 2002.  Membangun Kembali Perekonomian Indonesia Melalui Sektor Perikanan dan Kelautan.  Lembaga Informasi dan Studi Pembangunan Indonesia.  Jakarta.

Keraf, A.S, 2002.  Etika Lingkungan.  Penerbit Buku Kompas.  Jakarta.

Komisi Nasional Pengkajian Stok Sumberdaya Ikan Laut, 1998.  Potensi dan Penyebaran Sumberdaya Ikan Laut di Perairan Indonesia.   LIPI.   Jakarta.

Lawson. R.M, 1984.  Economics of Fisheries Development.  Fraces Pinter (Publisher).   London.

Nasoetion, A.H, 1999.  Pengantar Ke Filsafat Sains.  PT. Pusaka Litera Antar Nusa.  Bogor.

Nikijuluw, V.P.H, 2002.  Rezim Pengelolaan Sumberdaya Perikanan.  PT. Pustaka Cidesindo.   Jakarta.

Satria, A, A. Umbari, A. Fauzi, A. Purbayanto, E. Sutarto, I. Muchsin, I. Muflikhati, M. Karim, S. Saad, W. Oktariza dan Z. Imran,  2002.  Menuju Desentralisasi Kelautan.  PT. Pustaka Cidesindo.  Jakarta. 

Suparmoko, M, 1997.  Ekonomi Sumberdaya Alam dan Lingkungan.  (Suatu Pendekatan Teoritis).   Ed.2.  BPFE.  Yogyakarta.

Widodo, J dan M. Nurhudah, 1995.   Pengelolaan Sumberdaya Ikan.   Sekolah Tinggi Perikanan.   Jakarta.

Widodo, J dan S. Nurhakim, 2002.   Konsep Pengelolaan Sumberdaya Perikanan.   Disampaikan dalam Training of Trainers on Fisheries Resource Management.   28 Oktober s/d 2 November 2002.   Hotel Golden Clarion.   Jakarta.