© 2003  Ruhyat Partasasmita                                                                      Posted: 3 Januri. 2003   [rudyct]  

Makalah Falsafah Sains (PPs 702)   

Program Pasca Sarjana / S3

Institut Pertanian Bogor

Januari 2003

 

Dosen:

Prof. Dr. Ir. Rudy C. Tarumingkeng (Penanggung Jawab)

Prof. Dr. Ir Zahrial Coto

Dr. Bambang Purwantara

 

 

EKOLOGI BURUNG PEMAKAN BUAH DAN PERANANNYA

SEBAGAI PENYEBAR BIJI

 

 

Oleh:

 

Ruhyat Partasasmita

361020121 – BIO

E-mail: ruhyatp@bdg.centrin.net.id

 

 

 

Abstrak

 

Makalah ini membahas cara menganalisis komponen-komponen ekologi yang berhubungan dengan burung-burung pemakan buah ang berperan penyebaran biji-bijian dari tumbuhan berbuah di hutan dan sekitarnya. Rangkaian mekanisme perubahan habitat akibat gangguan oleh manusia dan terjadi secara alami, serta pengembalian oleh bantuan burung-burung pemakan buah. Kontribusi burung-burung pemakan buah terhadap suksesi tumbuhan hutan sangat dipengaruhi oleh karakter burung itu sendiri yaitu berat tubuh burung, kemampuan terbang, morfologi paruh, struktur alat pencernaan serta enzim pencernaannya. Strategi penanganan buah pada saat makan juga sangat berperan terhadap keberhasilan buah disebarkan apakah burung menangani di tempat pohon buah berada atau jauh dari tempat pohon buah tersebut, cara penanganan dengan cara ditelah seluruhnya atau dimuntahkan setelah diambil daging buahnya. Komponen tumbuhan yang dapat disebarkan lebih cenderung banyak yang mempunyai nilai menguntungkan untuk burungnya dengan bentuk, ukuran, warna dan kandungan nutrisi yang proporsional dengan kebutuhan burung. Kemampuan burung menyeleksi sesuai dengan kebutuhan berdasarkan penampakan karakteristik buah menghasilkan preferensi burung terhadap buah tertentu. Biji-biji buah yang disebarkan burung dapat tumbuh subur setelah secara tidak langsung diproses dalam saluran pencernaan dan dicampur dengan campuran feses yang lainnya.

 

 

I.          PENDAHULUAN

 

            Kawasan hutan tropika memiliki komunitas yang kompek dari hewan dan tumbuhannya. Sebagai contoh, macam-macam bentuk interaksi antara  hewan vertebrata pemakan buah dan spesies-spesies tumbuhan buah ditemukan pada kawasan tersebut (Levey et al. 1994, Herrera, 1989). Hewan-hewan pemakan buah dan penyebaran biji tumbuhan yang dimakannya telah banyak dikaji dan dipublikasikan khsususnya penyebaran oleh mamalia, yang secara khusus telah dikonsentrasikan pada hewan kelompok primata  dan kelelawar pemakan buah (Lambert 1998; 1999; 2000; 2001, Lambert & Garber 1998, Garber & Lambert 1998, Oliveira-Filho & Galetti 1996, Jordano, 2000), fruit-eating bat (Galetti & Morellato 1994) and sun bear (McConkey & Galetti, 1999), sedangkan kajian mengenai penyebaran biji oleh burung sangat sedikit sekali dan hanya terkonsentrasi pada satu familia, sebagai contoh familia Pycnonotidae (Fukui, 1995). Demikian pula dengan komponen aspek-aspek ekologi dari burung pemakan buah tersebut.

Penyebaran biji merupakan suatu proses kunci dalam dinamika populasi vegetasi alami dan pemulihan vegetasi setelah mengalami perubahan baik karena pengaruh alam itu sendiri maupun dampak kerusakan karena kegiatan manusia (Corlett, 2001), sebagai contoh karena penebangan hutan yang tidak terkendali yang mengakibatkan terbukanya lahan yang luas, dan tidak dikelola dengan baik pasca penebanganya. Peningkatan kerusakan hutan dan fragmentasi habitat menyebabkan banyak spesies hewan termasuk burung-burung pemakan buah harus bermigrasi temporal untuk menjaga kelulusan hidunya. Perubahan komposisi komponen habitat berupa jenis-jenis tumbuhan yang berimplikasi langsung perubahan ketersediaan sumberdaya buah, akan merubah pula komposisi burung-burung yang memanfaatkanya yang sekaligus akan merubah jenis burung yang mendiami habitat tersebut. Apabila banyak berpindah dari habitat yang mengalami perusakan tersebut adalah hewan pemakan buah, maka akan berdampak terhadap keterbatasan penyebaran biji buah yang dihasilkan oleh tumbuhan, hal ini pula yang menyebabkan masalah yang sangat serius untuk suksesi secara alami (Corlett, 1998). Suksesi hutan dengan campur tangan manusia melalui usaha reboisasi sangat membutuhkan biaya yang sangat besar, dan sampai sekarang belum ada usaha reboisasi yang berhasil untuk menghutankan kembali hutan yang telah ditebang habis.

Hubungan keberadaan burung pemakan buah pada habitat tropika merupakan topik khusus yang sangat menarik untuk dikaji sebab pada beberapa abad terakhir pengaruh manusia telah banyak menurunkan kekayaan avifauna, tetapi disisi lain kekayaan flora berlimpah, yang merupakan suatu model yang nyata di masa sekarang dan yang akan datang di sebagian besar daerah tropika. Kehilangan agen penyebar biji akan menjadi masalah yang penting yang mengancam keanekaragaman vegetasi sebagai akibat perusakan hutan dalam waktu yang sangat panjang. Kebanyakan burung hutan yang sangat tergantung pada ketersediaan buah yang merupakan bagian penting dai komponen makanannya. Ketersediaan buah di hutan sangat rentan sekali berubah dalam produkltivitasnya apabila terjadi deforestasi dan pembalakan (Leighton 1982), dan mempengaruhi perubahan phenologi tumbuhan.

Pemulihan kerusakan vegetasi secara nyata membutuhkan bantuan agen-agen penyebar biji, yang mana dapat dilakukan oleh burung-burung. Dengan kata lain, burung-burung telah diketahui sebagai agen penyebar biji untuk vegetasi hutan ( Karr et al., 1992). Untuk contoh, jenis-jenis tumbuhan di semak belukar dan hutan sekunder di Hongkong sebagian besar disebarkan oleh burung (Corlett, 1996). Oleh karena itu, preferensi buah pada burung-burung pemakan buah secara positif mempengaruhi regenerasi komunitas-komunitas tumbuh-tumbuhan di hutan (Herrera et al 1994). Sebagai tambahan, phenologi produksi buah juga dapat sangat mempengaruhi komposisi burung (Herrera, 1988). Penyebaran biji merupakan tahap terakhir dalam siklus reproduksi tumbuhan, tetapi juga merupakan tahap awal dalam proses pebaharuan dan “recruitment” populasi tumbuhan.

 

II.         IDENTIFIKASI MASALAH

 

Pada kajian paper ini dimaksudkan untuk menganalisis dan memahami pengertian yang mendasar tentang keanekaragaman burung pemakan buah dan kontribusinya dalam penyebaran biji sebagai salah satu fungsi dari komponen ekosistem, serta memahami beberapa komponen ekologi penyebar biji antara burung-tumbuhan. Ada beberapa komponen yang dapat dianalisis untuk menjawab permasalahan yaitu:

a.      Apakah jenis burung dan kelimpahannya berhubungan dengan fluktuasi ketersediaan buah (dalam tahap suksesi hutan)?

b.      Apakah burung melakukan pemilihan jenis makanan berdasarkan penampakannya?

c.      Apakah burung menyukai jenis tumbuhan tertentu untuk aktivitas hidupnya?

d.      Bagaimana nasib biji yang dimakan burung?

 

III.        ANALISIS

 

Permasalahan lingkungan hutan diberbagai daerah di Asia termasuk di Indonesia lebah banyak disebabkan oleh manusia. Sebagai contoh perubahan kawasan hutan menjadi tata guna lahan lain telah terjadi secara besar-besaran di Asia tenggara, khususnya pada di pulau Jawa dan Bali yang telah dimulai ada abab ke-16. Penebangan hutan di pulau Jawa dan Bali mencapai puncaknya pada akhir abab ke-19 setelah pengelolaan yang intensif berlangsung selama empat dasawarsa di bawah sistem tanaman paksa di zaman Belanda. Waktu itu penutupan vegetasi di Jawa yang terutama terdiri dari hutan hujan yang kaya, telah sangat berkurang, dan saat ini penutupan hutan primer diperkirakan tinggal 2,3% atau kurang (Van Balen, 1999). Sedangkan menurut perkiraan FAO (Food and Agriculture Organization), penyusutan luas hutan yang dinyatakan dalam persen (%) luas hutan yang semula ada adalah di Jawa 90,5 %, Sumatera 59 %, Nusa Tenggara 74,5 %, Kalimantan 38,8 %, Sulawesi 49,6 %, dan rata-rata untuk Indonesia 54,4 %, tidak termasuk Maluku dan Irian Jaya (Soemarwoto, 2001). Kebanyakan kerusakan hutan disebabkan banyak hutan di dibuka dengan beberapa alasan yaitu konversi hutan menjadi lahan pertanian dan perkebunan seperti kopi, tembakau, kayu manis, lada dan teh untuk diekspor ke negara-negara eropa yang dilaksanakan oleh pemerintah koloniah belada pada tahun 1830 – 1870. Demikian pula setelah pemerintah kolonial Belanda, konversi hutan menjadi tata guna lahan pertanian seperti sawah semakin banyak, seiring dengan peningkatan yang tinggi populasi manusia. Sebagai tambahan penyebab kerusakan hutan adalah terjadinya kebakaran hutan pada tahun 1997. Beberapa hutan di Indonesia hancur terbakar, sebagai hasil dari berbagai peristiwa tersebut di atas tampak banyak bukaan lahan yang tidak terkelola dan hanya berupa semak belukar.

            Perubahan lahan bukaan yang hanya ditumbuhi oleh beberapa jenis tumbuhan semak menjadi hutan kembali sangat membutuhkan hewan yang berperan dalam penyebar biji. Peranan agen penyebar biji sangat memegang peranan penting seperti kelompok burung pemakan buah. Untuk memahami mekanisme kontribusi burung-burung pemakan buah dalam penyebar biji dapat dianalisis seperti pada tabel 1.

 

Gambar 1. Diagram alir analisis mekanisme kontribusi burung-burung pemakan buah dalam suksesi tumbuhan hutan

 

IV  DISKUSI

 

            Berdasarkan analisis di atas beberapa komponen yang akan dibicarakan dalam bab ini mencakup habitat dan penggunaannya, keanekaan burung dan perilaku makannya, karakteristik buah yang dimanfaatkan burung pemakan buah preferensi makan dan penyebaran biji.

 

Habitat dan penggunaannya

            Hutan primer, hutan sekunder dan semak merupakan habitat bagi burung, karena di semua tempat tersebut ditemukan berbagai jenis burung. Pengertian habitat itu sendiri adalah kawasan yang terdiri dari berbagai komponen, merupakan kesatuan fisik dan biotik, dipergunakan sebagai tempat hidup serta berbiak satwa liar (Alikodra,1990), namun tidak semua satwa menggunakan satu tipe habitat untuk memenuhi semua kebutuhan hidupnya sebagai contohnya burung pipit, habitat untuk mencari makannya adalah di sawah dan habitat untuk bertelur adalah di pohon-pohon yang ada di pekarangan atau daerah ekoton.

Habitat terdiri dari kumpulan gugus-gugus sumberdaya yang didefinisikan sebagai tipe komunitas tumbuhan berbeda. Gugus-gugus habitat lebih besar dari satu daerah jelajah individu burung, dan individu-individu dalam satu kelompok menempati habitat yang sama. Sedangkan individu-individu kelompok lain menempati habitat yang berbeda, yang berpengaruh terhadap penyebaran gugus-gugus habitat (Hunter dkk, 1992). Beberapa tumbuhan dalam gugus sumberdaya dimanfaatkan oleh burung sebagai pakan atau perlindungan. Gugus-gugus sumberdaya (pakan), ketika terjadi pada skala kecil bahkan lebih kecil dari 200 m2, dapat berpengaruh langsung terhadap taktik perilaku secara individu (Hunter dkk, 1992).

            Bentuk tumbuh tumbuhan merupakan bagian dominan dari habitat hutan, dan juga lingkungan fisik yang menyediakan berbagai macam substrat pakan, tempat sarang serta tempat berlindung secara fisiologis. Beberapa burung hutan memakan langsung material tumbuhan, seperti buah-buahan dan bunga. Menurut Gentry (1990 dalam Hunter dkk, 1992), di daerah hutan tropik, 50-80% tumbuhan hutan tropik penyebaran dilakukan oleh burung-burung sebagai agen utamanya. Tumbuhan yang terdapat di habitat merupakan faktor penting, karena beberapa bagian dari tumbuhan seperti biji, buah, bunga dan jaringan vegetatif menjadi sumber pakan.

            Keberadaan burung di suatu habitat sangat kaitan yang erat dengan faktor -faktor fisik lingkungan seperti tanah, air, temperatur, cahaya matahari serta faktor–faktor biologis yang meliputi vegetasi dan satwa lainnya (Welty dan Baptista, 1988). Penggunaan habitat oleh burung berubah-ubah tergantung penampakan habitat yang menyediakan makanan. Pengubahan aktivitas makan pada struktur vertikal di bagian tanaman sangat dipengaruhi oleh penyebaran pakan di pohon tersebut. Nurwatha (1994) dari hasil penelitiannya burung cabe-cabe, cinenen kelabu dan sriganti menggunakan lapisan tajuk yang berbeda pada habitat taman kota yang berbeda, karena ketersediaan pakan pada ketinggian tumbuhan yang berbeda.

            Perubahan vegetasi dalam suatu habitat, dapat mempengaruhi burung-burung yang hidup didalamnya, baik mengenai komposisi komunitas maupun kebiasan hidunya. Lambert (1992) mempelihatkan perubahan komposisi akibat adanya perubahan komposisi dan tingkah laku mencari makan beberapa jenis burung akibat adanya perubahan habitat. Perubahan habitat ini terjadi di hutan dataran rendah yang telah diubah menjadi areal terbuka oleh adanya penebangan hutan. Ada areal terbuka, beberapa spesies burung mengalami perubahan strata tempat mencari makannya dan luas daerah jelajahnya bertambah. Hal serupa ditemukan pula oleh Hadiprayitno (1999) di Gunung Tangkuban Parahu Jawa Barat pada habitat pinus yang berbeda usia serta hutan campuran, yang menunjukkan perbedaan jumlah kekayaan jenis serta kelimpahan individu burungnya.

            Kehadiran suatu burung pada suatu habitat merupakan hasil pemilihan karena habitat tersebut sesuai untuk kehiduannya. Pemilihan habitat ini akan menentukan burung pada lingkungan tertentu. Hidup dalam lingkungan yang khusus itu akan memberikan berbagai penamalan yang dapat meningkatkan perbedaan perilaku pada berbagai jenis burung dalam menggunakan habitatnya. Tidak ditemukannya suatu jenis hewan termasuk burung di suatu habitat menurut Krebs dan Davis (1978) disebabkan oleh beberapa faktor diantaranya yaitu ketidakcocokan habitat, perilaku (seleksi habitat), kehadiran jenis hewan lain (predator, parasit dan pesaing) dan faktor kimia-fisika lingkungan yang berada di luar kisaran toleransi jenis burung yang bersangkutan.

Ketersediaan pakan dalam habitat yang ditempati merupakan salah satu faktor utama bagi kehadiran populasi burung. Burung tidak memanfaatkan seluruh habitatnya, melainkan ada seleksi terhadap beberapa bagian dari habitat tersebut yang digunakan sesuai dengan kebutuhannya (Wiens, 1992). Pengaruh keterbatasan pakan pada burung dapat terjadi secara tidak langsung, yaitu ketika kompetitor merampas seluruh daerah atau sebagian dari suplai makanan (Hunter dkk, 1992). Potensi sumberdaya, seperti ketersediaan pakan di habitat yang ditempati, merupakan salah satu faktor utama bagi kehadiran populasi burung (Wiens, 1992), sehingga lahan pertanian, dan bahkan kawasan kampus serta daerah pemukiman penduduk dapat menjadi habitat penting, apabila di daerah tersebut ketersediaan makanan berlimpah. Misalnya, sejenis burung betet jawa sering ditemukan di lingkungan kebun percobaan IPB darmaga (Partasasmita, 1998, 1999, 2000), kakatua kecil Nymphicus hollandricus (Kerr) di Australia sering ditemukan di daerah pertanian gandum karena daerah tersebut menyediakan jenis makanan yang disukainya (Jones, 1987). Hal ini juga berkaitan dengan adanya kemampuan burung untuk memilih habitat yang sesuai dengan ketersediaan sumberdaya untuk kebutuhan hidupnya (Wiens, 1992).

 

Keanekaan burung  dan perilaku makanannya

a. Keanekaan burung dalam berbagai tipe habitat

Kekayaan spesies dan struktur komunitas burung berbeda dari suatu wilayah dengan wilayah yang lainnya (Karr, 1976 dalam Johnsingh dan Joshua, 1994). Keanekaan spesies di suatu wilayah dietentukan oleh berbagai faktor. Keanekaan spesies mempunyai sejumlah komponen yang dapat memberi reksi secara berbeda-beda terhadap faktor geografi, perkembangan dan fisik (Odum, 1994). Keanekaan spesies kecil terdapat pada komunitas daerah dengan lingkungan yang ekstrim seperti daerah kering, tanah miskin apalagi bekas kebakaran atau letusan gunung merapi, sedangkan keanekaan yang tinggi biasanya terdapat pada lingkungan yang optimum.

             Keanekaan jenis burung di suatu wilayah dipengaruhi oleh faktor – faktor sebagai berikut :

1.      Ukuran luas habitat. Semakin luas habitatnya, cenderung semakin tinggi keanekaan jenis burungnya.

2.      Struktur dan keanekaan jenis vegetasi. Di daerah yang keanekaan jenis tumbuhannya tinggi maka keanekaan jenis hewannya termasuk burung , tinggi pula. Hal ini disebabkan karena setiap jenis hewan hidupnya bergantung pada sekelompok jenis tumbuhan tertentu (Ewusie,1990).

3.      Keanekaan dan tingkat kualitas habitat secara umum di suatu lokasi (Gonzales,1993). Semakin majemuk habitatnya cenderung semakin tinggi keanekaan jenis burungnya.

4.      Pengendali ekosistem yang dominan. Keanekaan jenis burung cenderung rendah dalam ekosistem yang terkendali secara fisik dan cenderung tinggi dalam ekosistem yang diatur secara biologi (Odum,1994)

Keanekaan spesies hewan termasuk burung dipengaruhi oleh tingkat  ketersediaan makanan. Keanekaan spesies yang lebih tinggi berarti rantai-rantai pakangan yang lebih panjang dan lebih banyak kasus dari simbiosis (mutualisme, parasitisme, dan komensalisme), sehingga mengurangi rantai makanan tersebut menjadi lebih mantap (Heddy, 1994; Odum, 1994). Pada umumnya habitat  dapat mengalami perubahan kondisi musiman dalam struktur dan ketersediaan makanan. Konsep suksesi dapat menjelaskan respons satwa terhadap perubahan habitat, yaitu setiap tingkatan suksesi berkaitan erat dengan komposisi satwa liar yang menempatinya (Alikodra,1990).

Glue (1971 dalam Welty dan Baptista, 1988) mendapatkan jenis-jenis burung dominan yang berbeda pada tiap tahapan suksesi proses reklamasi suatu lahan basah. Tiga tahun setelah selesai reklamasi, jenis burung yang dominan adalah Anthus pratensis. Duabelas tahun kemudian, ketika lahan tersebut telah berubah menjadi bentangan lumpur yang lembek, jenis burung yang dominan adalah Emberiza schoeniculus. Burung junggit kuning (Montacilla flava) mendominansi saat lahan telah menjadi bentangan lumpur yang keras, 19 tahun setelah reklamasi. Selanjutnya ketika lahan tersebut telah berubah menjadi padang rumput, jenis burung yang mendominansi adalah Alanda arvensis. Perbedaan keanekaragaman burung juga terjadi berdasarkan tingkat usia dari tumbuhan di kawasan hutan Gunung Tangkuban Parahu yaitu pada hutan pinus yang berusia < 5 tahun jenis yang ditemukan 6 spesies dengan lebih didominasi oleh spesies burung Megalurus palustris; hutan pinus berusia 6-10 tahun ditemukan 7 spesies dengan lebih didominasi oleh spesies burung Zosterops palpebrosus; hutan pinus berusia 11-15 tahun ditemukan 13 spesies dengan lebih didominasi oleh spesies burung Zosterops palpebrosus dan Lanius schach ; hutan pinus berusia >15 tahun ditemukan 21 spesies dengan lebih didominasi oleh spesies burung Zosterops palpebrosus dan Parus major (Hadiprayitno, 1999).

Perubahan struktur habitat terjadi secara alami (kebakaran) atau akibat aktivitas manusia (penebangan) yang telah banyak dilaporkan oleh banyak peneliti berdasarkan perhitungan populasi burung akibat kebakaran. Perubahan komposisi dan keanekaragaman burung tampak pada beberapa peristiwa kebakaran hutan yang dapat menurunkan jumlah keanekagaman burung yang menempatinya. Sebagai contoh pada bekas kebakaran dari hutan pinus berusia > 15 tahun di kawasan hutan Gunung Tangkuban Parahu mengalami penurunan jumlah spesies yang mendiaminya dari 21 spesies menjadi 12 spesies. Hal serupa juga ditemukan di kawasan hutan Acer saccharum di kaki Gunung Applachia menunjukkan penurunan kelimpahan burung-burung Empidonax minimus, Vireo olivaceus, dan Dendroica caeruscens yang mempunyai kepadatan 1,2 - 1,7 pasang/ha, ternyata setelah mengalami penebangan populasi burungnya menurun menjadi 0,4 pasang /ha. 

 

b. Hubungan karakteristi burung pemakan buah dengan buah

            Dari beranekaragam burung yang memanfaatkan habitat sebagai tempat hidup, berdasarkan feeding guild dapat dikategorikan ada kelompok burung sebagai pemakan buah yang sekaligus kadang-kadang berperan sebagai penyebar biji. Kelompok spesies burung tersebut mempunyai karakteristik yang berbeda dari kelompok spesies yang lainnya. Massa tubuh adalah merupakan sebuah faktor utama yang menentukan dari intensitas “frugivory”. Kepentingan yang relatip dari makanan buah berhubungan erat dengan massa tubuh (Herrera, 1984). Burung Acrocephalus, hanya sekali-kali mengkonsumsi buah yang berukuran sedang dengan komposisi antara 30-70% dari volume diet, ukuran tubuh yang kecil seperti Sylvia dan Erithacus memakan buah yang berukuran yang kecil pula. Ukuran tubuh mempengaruhi intensitas frugivory dengan membatasi jumlah maksimum dari buah-buahan dan jumlah maksimum dari massa bubur yang dapat diproses dalam usus, dimana kapasitas usus berhubungan erat dengan massa tubuh. Sebagai contoh buah Prunus mahaleb adalah 1,5 untuk Phoenicurus ochrusus (16,0 g), 9.0 untuk Turdus vircivorus (107,5 g), dan 21,0 untuk Columba palumbus (460,0 g) (Jordano dan Schupp, 2000). Jumlah dari buah yang dikonsumsi per kunjungan burung “frugivorous” telah ditemukan berhubungan erat dengan massa tubuh dalam sejumlah penggunaan. Karena itu ukuran tubuh tersendiri mempunyai batasan yang lebih tinggi pada jumlah maksimum yang potensial dari benih yang diberikan frugivores dapat disebarkan setelah dimakan.

Sasaran buah yang berbeda antara frugivorous menunjukkan ecomorfologi yang kuat khususnya pada morfologi sayap, ukuran bentuk atau karakteristik paruh dan morfologi sistem pencernaan (Jordano, 1994) Sekali buah direnggut, pada karakteristi paruh yang berbeda, ukuran mulut dan bentuk antara frugivores mempunyai konsekuensi yang sangat penting untuk benih bagian luar dan pemencaran benih. Dua penanganan yang mendasar, mengunyah dan melumatkan merupakan gambaran yang nyata oleh burung frugivorous dalam pengaruhnya terhadap nasib biji.

Struktur disgesti pada beberapa burung frugivorous terspesialisasi dan telah banyak didokumentasikan (Forbes, 1980; Wetmore, 1914; Wood, 1924; dalam Herrera, 1984); tipe pada burung , sebuah oesopagus, yang dapat atau tidak dapat melebar dalam sebuah kumpulan, menyambung dalam sebuah perut dengan glandular proventiculus dan muscular ventriculus.

 

c. Perlaku burung dalam merespons ketersediaan sumberdaya

Kebanyakan hasil penelitian perilaku burung terfokus dalam pemilihan habitat, dimana burung mempunyai kemampuan untuk memilih habitat yang sesuai dengan kebutuhannya dalam suatu situasi tanpa pesaing, perilaku penggunaan habitat olrh burung biasanya berbeda. Sebagai contoh, burung Parus caeruleus dapat sintas (“survived”) dalam hutan konifer pada saat burung Parus ater yang merupakan pesaing, tidak berada pada habitat yang sama.

Spesies-spesies hewan yang berbeda dalam suatu hutan umumnya berkaitan dengan tingkatan kanopi yang berbeda pula, yang menimbulkan suatu stratifikasi vertikal hewan sebagaimana yang terdapat pada tanaman. Hewan juga bergerak secara horizontal untuk menghasilkan pola tiga dimensi yang kompleks. Penggunaan habitat oleh burung berubah-ubah tergantung penampakan habitat yang menyediakan makanan. Berubahnya aktivitas makan pada struktur vertikal di suatu pohon sangat dipengaruhi oleh penyebaran pakan di pohon tersebut. Hasil penelitian Nurwatha (1994) terhadap burung cabe-cabe (Dicaeum trochileum (Sparrman)), cinenen kelabu (Orthotomus sepium Temminck) dan srigunting (Dicrurus leucophaeus Vieillot) menunjukkan bahwa burung-burung tersebut menggunakan lapisan tajuk yang berbeda pada habitat taman kota, tergantung di lapisan mana terdapatnya ketersediaan makanan di habitat tersebut dijumpai.

Ketersediaan pakan dalam habitat yang ditempati merupakan salah satu faktor utama bagi kehadiran populasi burung. Burung tidak memanfaatkan seluruh habitatnya, melainkan melakukan seleksi terhadap beberapa bagian dari habitat tersebut yang digunakan sesuai dengan kebutuhannya (Wiens, 1992). Pengaruh keterbatasan pakan pada burung dapat terjadi secara tidak langsung, yaitu apabila pesaing merampas sebagian atau seluruh gugus makanan atau suplai makanannya (Hunter dkk, 1992).             Hewan termasuk burung mempunyai kebebasan untuk memilih pakan sehingga lama waktu mencari makan di setiap gugus dapat bervariasi. Hewan akan tetap tinggal di dalam suatu gugus pakan sepanjang laju perolehan bersih belum maksimum. Hewan akan meninggalkan suatu gugus pakan dan mengunjungi gugus pakan berikutnya yang memberi perolehan bersih lebih baik (Huntingford, 1984) .

            Suatu pemangsa akan menghabiskan waktu mencari makan untuk menemukan atau menangani mangsa secara intuitif dengan “trade off”. Pengertian “trade off” adalah jika pemangsa tersebut hanya memilih jenis mangsa terbaik yang menghasilkan laju pemangsaan makanan (“rate of food intake”) yang tinggi per satuan waktu penanganan, tetapi membutuhkan waktu yang relatif lama untuk menemukan jenis mangsa tadi. Secara total predator yang tidak selektif dalam mendapatkan mangsa akan menghabiskan waktu pencarian yang sedikit, tetapi menghasilkan laju pemangsaan yang rendah (Krebs dan Davis, 1978). Proses penanganan makanan sangat ditentukan oleh ukuran, bentuk dan kematangan buah. Pada buah-buah yang berukuran lebih kecil dengan lebar mulut serta berdaging yang relaltif lunak secara keseluruhan ditelan untuk burung burung pemakan buah yang besar seperti rangkong dan kasuari. Tetapi buah-buah yang mempunyai lapisan jeli pada bagian daging buahnya dimuntahkan seperti ada burung kelompok Deceide.

Potensi sumberdaya, seperti ketersediaan pakan di habitat yang ditempati, merupakan salah satu faktor utama bagi kehadiran populasi burung (Wiens, 1992), sehingga lahan pertanian, dan bahkan kawasan kampus serta daerah pemukiman penduduk dapat menjadi habitat penting, apabila di daerah tersebut ketersediaan makanan berlimpah. Misalnya, sejenis burung kakatua kecil Nymphicus hollandricus (Kerr) di Australia sering ditemukan di daerah pertanian gandum karena daerah tersebut menyediakan jenis makanan yang disukainya (Jones, 1987). Hal ini juga berkaitan dengan adanya kemampuan burung untuk memilih habitat yang sesuai dengan ketersediaan sumberdaya untuk kebutuhan hidupnya (Wiens,1992; Krebs dan Davis, 1978).

Pencatatan atas jumlah waktu yang digunakan beberapa jenis burung untuk berada pada beberapa tempat di pohon, mengungkapkan adanya pola yang khas (MacArthur,1959). Burung – burung dari spesies yang berbeda akan bervariasi distribusi spasialnya sesuai dengan aktivitas makannya. Sebagai contoh, burung Dendroica tigrina menghasilkan 70 % waktunya di daerah pucuk luar. Sebaliknya, Dendroica coronata melewatkan 50 % waktunya di daerah antara lapisan bawah dan permukaan tanah dengan waktu selebihnya di bagian lain dari pohon tersebut. Sedangkan Dendroica castanea melewatkan sekitar 50 % waktunya di daerah pusat atau tengah pohon dari cabang ke bagian lapisan luar daun. Pembagian daerah makan dalam suatu habitat hutan yang strukturnya beragam, memungkinkan jenis – jenis burung mengeksploitasi macam – macam makanan yang berbeda. Jenis makanan yang berbeda ditemukan pada tempat yang berbeda dalam suatu pohon dan burung-burung mencarinya di tempat dimana dapat ditemui makanannya yang lazim

 

Karakteristik Tumbuhan buah yang dimanfaat burung pemakan buah

Menurut Karr (dalam Hunter dkk, 1992) bentuk tumbuh tumbuhan (“growth form”) yang merupakan unsur dominan suatu habitat hutan, mengubah lingkungan fisik dan menyediakan beraneka macam substrat yang dapat digunakan sebagai makanan, tempat bersarang serta tempat berlindung. Beberapa jenis burung hutan memakan langsung materi tumbuhan, yang umumnya berupa buah-buahan dan bunga. Ketersediaan sumberdaya makanan berupa buah-buahan sangat jarang terjadi secara terus menerus sepanjang tahun, karena proses sangat dipangaruhi oleh musim. Walaupun demikian, ketesediaannya sangat dibutuhkan oleh burung-burung pemakan buah.

Beberapa penelitian telah banyak dilakukan untuk mengenai phenologi pada produksi buah, perlindung external dari buah, warna buah, ukuran buah dan biji, dan karakteristik nutrisi dapa daging buah (Corlett, 1998).

 

a.      phenologi

Pola-pola phenologi tumbuhan buah di daerah tropik bervariasi dan kompleks. Ketersediaan buah maksimum di daerah temperate cenderung terjadi di musim dingin (bulan November-Januari), bertepatan dengan gelombang dari bagian burung pemakan buah migran dari Palaearctic (Corlett, 1998). Untuk kebanyakan Asia tropik, musiman turun hujan, merupakan faktor ecologi yang utama dari pada temperatur. Keteraturan siklus tahunan masih jelas pada tingkat komunitas, tetapi suatu keanekaragaman lebih besar pada pola-pola secara phenologi dan lebih bervariasi dalam tahunan daripada bagian utara lainnya. Ketersediaan buah secara maksimum tampak kurang mencolok (Borges, 1993 dalam Corlett, 1998). Tetapi untuk beberapa jenis tumbuhan tertentu tampak sangat mencolok ketersediaannya antara musim kemarau dengan musim hujan (Partasasmita, 1998)

Dalam hubungannya musiman bagian tengah tropika Asia (kebanyakan dari Sumatra, kalimantan dan semenanjung malaysia), tidak ada regulasi musim panas dan musim dingin yang menyingkronkan dengan phenologi tumbuhan, walaupun hampir seluruh studi-studi mendeteksi disiklus tahunan di tingkat komunitas. Sebagai akibatnya hewan-hewan frugivory apabila tidak tersedia makanan yang cukup makan mencari jenis tumbuhan yang lain. Burung frugivory dalam Asia tropik tidak menurut musim, harus mempunyai makanan yang sangat flesibel atau mencari makan dalam daerah yang sangat luas (Leighton dan Leighton, 1983). Bagaimanapun, tidak seluruh spesies buah mempunyai phenologi berbuah supra-annual. Berbuah dengan kontinyu pada tingkat individu adalah sangat jarang, terjadi diantara pioneer, tetapi kurang lebih siklus regulasi tahunan atau dua tahunan adalah tidak umum, seperti beberapa kali berbuah dalam satu tahun, dengan individu tumbuhan menyinkronkan atau tidak pada tingkat populasi.

 

b.     Warna

Beberapa burung mempunyai penglihatan tetrakromatik dan dapat membedakan permukaan warna dalam kisaran ultraviolet (300-400 nm) dari spektrumPenglihatan trikromatik tipe manusia tampak dibatas untuk primata, meliputi kemungkinan seluruh monyek dunia lama dan apes. Seluruh mamalia lainnya tampak dichromat atau jika nokturnal buta warna. Ini diduga bahwa trikromat dalam primata berevolusi sebagai suatu adaptasi untuk frugivory, membuat lebih mudah mendeteksi buah-buahan yang berlatar belakang daun-daunan (Osario dan Vorobyev, 1996 dalam Corlett, 1998, Schmidt, 2002).

Buah-buahan yang pada umumnya dikonsumsi oleh burung  adalah yang cenderung masih muda seperti biji gandum, jagung dan padi, sedangkan sebagaian besar burung pemakan buah mengkonsumsi buah yang hampir matang atau matang, dimakan ketika hitam kemudian sering dideskripsikan seperti merah atau oranye dalam literatur. Paling banyak buah matang, buah-buahan berdaging adalah hitam atau merah (Corlett, 1996). Bagaimanapun, proporsi coklat, kuning dan buah-buah hijau mungkin lebih rendah daripada pada kondisi matang. Hewan mamalia memakan buah-buah tersebut adalah khususnya warna yang lebih pucat daripada buah-buahan yang diambil kebanyakan oleh burung (Leighton dan Leighton, 1983). Hal senada ditemukan oleh Suryadi (1994) bahwa warna makanan burung rangkong lebih dominan merah dan ungu, demikian pula dengan kelompok burung colombidae (Partasasmita dkk, 2001; 2002). Demikian pula dengan Schmidt (2002) menemukan bahwa warna yang dipilih burung lebih banyak buah berwarna merah oleh pada burung isap madu hijau dan isap madu paruh pendek baik pada yang muda mauun yang dewasa .

 

c.      Ukuran buah dan Biji

Massa buah dan biji lebih bervariasi daripada lima urutan dari besarnya kedua belah garis katulistiwa Singapura (Corlett dan Lucas, 1990 dalam Corlett, 1998) dan tepian tropika di Hong Kong (Corlett, 1995). Buah-buahan terkeciil di daerah oriental mempunyai massa segar sekitar 5 mg sementara terbesar sekitar 1 kg (Corlett, 1998). Suryadi (1994) menemukan karakteristik, berat buah beringin yang dimakan rangkong berkisar 0,08 – 15,3 gr dengan ukuran 5,43 –30 mm, demikian pula dengan buah yang dimakan Ptinolopus (Partasasmita dkk, 2001; 2002).

Ukuran buah dan biji berinteraksi dengan karakteristik dari penyebar yang potensial, dengan ukuran buah paling kritis untuk banyak burung jika buah harus ditelan seluruhnya (Leighton dan Leighton, 1983). Buah yang sangat kecil (<8 mm diameter tengah) dapat tersedia untuk seluruh vertebrata pemakan buah, walaupun hewan-hewan besar dapat menemukan mereka tidak ekonomis untuk dipanen, kerapatan buah yang rendah atau kelompok mengijinkan pengambilan beberapa buah per gigitan (Welch et al.,1997 dalam Corlett, 1998). Buah-buah kecil (8-13 mm) secara potensial dapat tersedia untuk seluruh tetapi beberapa spesies burung kecil sekali, seperti burung kata mata dan “flower-peckers”. Buah-buahan yang lebih besar dapat ditelan seluruhnya oleh spesies burung yang lebih progresif. Diameter tengah dari 22 mm mungkin tidak termasuk seluruh tetapi rangkong, merpati buah (Ducula, Ptilinopus), dan beberapa ayam-ayaman terbesar, Cuckoos, jalak-jalakan, tulung tumpuk dan gagak. Diameter-diameter diatas 30 mm mungkin diluar seluruh burung tetapi rangkong-rangkongan dan merpati buah, buah-buah seperti it masih dapat dipanen oleh kebanyakan mamalia pemakan buah. Hanya buah-buahan paling besar tidak dapat diterima untuk frugivory mamalis kecil, seperti kelelawar buah, karena ukuran itu sendiri.

Buah-buahan dari yang sebuah dapat patuk adalah secara potensial dapat diterima untuk burung-burung yang terlalu kecil untuk menelan mereka seluruhnya, atau kelelawar sangat kecil untuk membawa mereka. Seandainya biji-bijian adalah kecil, ini mungkin berhasil dalam penyebaran biji. Buah ara adalah contoh paling penting dan walaupun lebih besar buah ara secara umum menarik frugivory yang lebih besar, kejadian buah-buah arah yang lebih besar dimakan oleh burungburung kecil (Leighton dan Leighton, 1983). Perilaku makan vertebrata paling umum terhadap diameter buah ara 20 mm (Ficus drupacea) di Thailand adalah Flowerpecker paruh tebal yang sangat kecil, Dicaeum agile, dan hanya rangkong terlihat menelan buah ara secara keseluruhan (Brockelman, 1982 dalam Corlett, 1998).

Ukuran biji sangat berpengaruh kuat terhadap kisaran yang luas dari vertebrata. Ukuran diatas ambang dimana biji-bijian secara teratur dijatuhkan, diludahkan atau dimutahkan tanpa melewati lambung adalah dalam kisaran 3-5 mm untuk hewan-hewan sebesar monyet (Corlett dan Lucas, 1990 dalam Corlett, 1998), dan rangkong (Leighton, 1982), betet jawa (Partasasmita, 1998), walaupun banyak hewan-hewan lebih kecil menelan dan membuah melalui feses lebih banyak biji-bijian. Secara umum, lebih sedikit spesies yang secara teratur membuang melalui fesesnya dan mungkin lebih dekat jaraknya untuk disebar. Biji-bijian kecil mungkin juga menghidari dari predator biji, seperti beberapa burung, yang mana kerusakan biji terjadi dalam mulut tetapi sebaliknya mungkin lebih rentan dihancurkan dalam lambung. Biji-bijian kecil juga mungking menerima penyebaran sekunder (atau menderita predasi) dari semut dan paling tidak beberapa spesies ara Asia, biji-bijian secara individu diselimuti eksocarp kaya lemak yang sintas melalui burung pemakan buah dan meningkat ketertarikan untuk semut (Kaufmann et al., 1991 dalam Corlett, 1998).

 

d.     Kimia buah

Menurut Corlett (1996), komponen utama dari karakteristik 153 spesies buah di Hong Kong (30% dari total tumbuhan buah berdaging) didominasi oleh suatu kecenderungan dari buah-buahan berbiji tunggal yang tipis, lapisan daging buah yang kaya lemak sampai buah-buahan berbiji banyak dengan banyak mengandung air, daging buah kaya gula. Burung-burung mengkonsumsi tipe buah dalam kisaran  yang luas, kecuali yang terlalu besar untuk ditelan dan terlalu keras untuk di patuk sedikit-sedikit. Analisis kandungan gula dalam 58 spesies buah menunjukkan bahwa burung-burung pemakan buah mengkonsumsi paling banyak buah mengandung banyak hexosa sementara mamalia memakan speseis yang kaya hexosa dan sukrosa (Ko et al., 1998 dalam Corlett, 1998).

Tidak ada bukti bahwa distribusi bimodal dari karakter-karakter yang dinyatakan secara tidak langsung  oleh pembagian dari tipe buah kedalam kaya gula dan kaya lemak di dalam literatur frugivory daerah oriental (Leighton dan Leighton, 1993), metabolit sekunder membantu lebih dari satu fungsi adaptasi dalam buah berdaging matang dukungan untuk beberapa hipotesis ekslusif  pemilihan buah berdaging oleh burung (Cipollini, 2001).

Buah ara (Ficus spp.) kadang-kadang diperlakukan sebagai tipe buah yang berbeda, dengan kandungan serat yang tinggi dan nilai nutrisi yang rendah (Raemaekers, 1984 dalam Corlett, 1998). Delapan daging buah tanpa biji, hasil analisis spesies ara di Hong Kong mempunyai kisaran yang sama dari kandungan nutrisi sampai buah-buah kaya gula yang lainnya: berdasarkan massa kering, 45-71 total larutan kabohidrat, 9-25% serat, 2-11% protein dan 1-6% lemak (Corlett, 1996). Kemampuan beberapa burung frugivory untuk hidup hampir sepenuhnya pada ara  seperti merpati hijau dan rangkong) diduga bahwa mereka tercukupi secara nutrisi (Kinnaird dkk, 1992) dan ada bukti bahwa mereka adalah suatu sumber yang baik khususnya dari kalsium.

 

Preferensi dan penyebaran biji

a. Preferensi

            Setiap organisme untuk melangsungkan kehidupannya memerlukan makanan, dan setiap makanan yang dimakan oleh hewan dapat ditinjau dari dua aspek yaitu aspek kualitatif dan kuantitatif. Aspek kuantitatif mencakup kelimpahannya di habitat dan aspek kualitatif meliputi ukuran, warna, palatabilitas, nilai gizi dan daya cernanya (Krebs dan Davis, 1978).

            Preferensi terhadap jenis makanan tertentu diduga dipengaruhi oleh warna, berat dan besar ukuran makanan, produktivitas jenis makanan, dan kandungan nutrisi makanan tersebut. Demikian pula bagi bangsa burung, berat dan ukuran tubuh serta bentuk paruh dan sistem pencernaannya merupakan faktor-faktor yang berperan menentukan pola hidup dan jenis makanannya (Wiens, 1992). Burung akan lebih memilih makanan yang bernilai gizi paling tinggi per satuan waktu penanganan. Kelimpahan yang tinggi dari jenis pakan yang kurang disukai tidak akan berpengaruh, kecuali apabila kelimpahan jenis pakan yang lebih disukai sangat rendah (Huntingford, 1984).

            Hubungan antara jenis-jenis makanan yang dikonsumsi berbagai jenis burung dengan ketersediaannya di lingkungan dapat memperlihatkan fenomena beralih preferensi (“switching of preference”). Misalnya, apabila ketersediaan suatu jenis makanan di lingkungan rendah, maka jenis makanan itu penggunaannya juga relatif rendah (tidak menampakkan preferensi), tetapi apabila ketersediaannya meningkat, maka hewan akan memperlihatkan preferensi yang tinggi terhadap jenis makanan tersebut (Smith, 1990).

b. Penyebaran biji

Banyak jenis tumbuhan di hutan tropis bergantung kepada jenis burung pemakan biji dalam penyebaran biji-bijinya. Hilangnyanya jenis burung ini karena pengaruh terfragmentasinya hutan, akan berpengaruh terhadap jangka waktu yang lama bagi banyak jenis-jenis pohon (Howe dan smallwood, 1982; Terbor, 1986 dalam Muchtar, 1997). Jenis-jenis yang membantu penyerbukan  dan penyebaran biji beberapa jenis tanaman tertentu, antara lain jenis-jenis burung madu (Nectarinidae), burung jantung (Nectarinidae), burung-burung dari suku Anatidae, Columbidae, Turdidae, Corvidae dan Sittidae (Welty dan Baptista, 1988).

Di hutan sekunder dan shrubland, hampir 200 spesies tumbuhan berbiji dan 80% mempunyai buah segar, dimana 85% dari tumbuhan tersebut didistribusikan oleh burung (Corlett, 1996), antara lain Lantana camara, Sapium discolor, Litsea sp, Ficus sp, Kelapa sawit (Partasasmita, 1998), benalu-benaluan, (Reid, 1990).  Dalam sebuah sumber disebutkan bahwa spesies burung yang menjadi agen antara lain Zoopterops, Lonchura, Streptopelia, Pycnonotus, Dicaeum, Megalaima, Ducula, Psittacula (Partasasmita, 1998; Partasasmita dkk, 2002),  dan rangkong (Partasasmita dan Adriantoro, 2000).

Kepadatan burung frugivora dan pergerakannya sering dihubungkan secara dekat dengan kelimpahan buah–buahan lokal (Levey,1988). Perubahan musiman dalam persediaan buah–buahan mempengaruhi aktivitas burung. Pada saat persediaaan buah menurun, burung pemakan buah  Redcapped Manakin (Pipra mentalis) berhenti berkembang biak, menghabiskan waktu untuk mengumpulkan makanan dan memakan lebih banyak serangga (Worthington,1982). Burung ini juga bergerak sepanjang hutan untuk mencari tempat dimana terdapat  buah yang melimpah (Martin dan Karr,1986; Levey, 1988). Akhirnya, migrasi altitudinal dari burung Manakin ini dan jenis burung pemakan buah lainnya bergantung pada perubahan musiman persediaan buah – buahan. Morfologi dan tingkah laku burung tergantung pada penampakan, persediaan dan distribusi buah–buahan di pohon dan semak dan kualitas nutrisinya.

Tujuh puluh persen spesies tanaman di Selandia Baru kemungkinan dibantu penyebarannya oleh burung. Kepunahan pada burung akhir–akhir ini mengancam masa depan tanaman yang penyebarannya bergantung pada burung, hal ini memperlihatkan hubungan yang dekat antara burung pemakan buah–buahan dan tanaman yang buahnya dimakan oleh burung - burung tadi.  Beberapa spesies burung dapat dibuktikan bahwa buah yang dimakan biji yang dibuang dapat tumbuh kembali, seperti jenis burung Kasuari, dan kelompok burung Zospterops, sedangkan kebanyakan jenis burung pemakan buah yang lainnya sengat sedikit informasi mengenai nasib biji yang dimakanannya.

 

 

V.   PENUTUP

 

Dari uraian diatas dapat ditarik beberapa kesimpulan berdasarkan analisis diagram dalam menjawab permasalahan yang ditemukan yaitu :

1.      Burung-burung pemakan buah sangat beranekaragam jenisnya dan kelimpahannya sangat berkaitan erat dengan phenologi dari tumbuhan buah. Demikian pula dengan kondisi tingkatan usia dari komunitas tumbuhan di habitat yang menyediakan tumbuhan tersebut.

2.      Terdapat hubungan antara pengunaan beberapa jenis tumbuhan tertentu karena mempunyai bentuk, ukuran dan warna buah yang sangat mencolok dan proporsional dengan ukuran paruh burung pemakannya.

3.      berdasarkan penampakan vertikal dan horizontal burung –burung memanfaatkan tempat sesuai dengan kebutuhannya, sehingga ditemukan burung yang lebih banyak mengunakan bagian tertentu dari tumbuhan lebih lama di banding jenis burung yang lainnya.

4.      Biji-bijian burung pemakan buah banyak yang dapat tumbuh apabila yang dimuntahkan oleh burung dalam keadaan utuh ataupun yang dibuang bersamaan dengan selamat dari proses pencernaan.

 

DAFTAR PUSATAKA

Alikondra, H.S. 1990. Pengelolaan satwa liar. Jilid I. Bogor: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi, Pusat Antar Universitas Ilmu Hayati, IPB, Bogor. 20-25.

Jones, D., 1987. Feeding ecology of the Cockatiel, Nymphicus hollandicus, in a Grain-Growing Area. Aust, Wildl. Res., 14, 105-115

Cipollini, M.L. 2000. Secondary metabolites of vertebrate-dispersed fruits: evidence for adaptive function. Revista Chilena de Historis Natural, 73: 421-440.

Corlett, R.T. 2001. Frugivory and seed dispersal in degraded tropical East Asian lanscapes. In: seed dispersal and frugivory: ecology, evolution and conservation (eds. Levey, D.J., Silva, R.W., and M. Galetti). CABI Publishing, Wallingford, Oxfordshire, UK.

Corlett, R.T. 1998. Frugivory and seed dispersal by vertebrates in the Oriental (Indomalaya) region. Bio. Rev.  73, pp 413-448

Corlett, R.T. 1996. Characteristics of vertebrate-dispersal fruit in Hong Kong. J. Ecol. 12:819-833

Ewusie, J.Y., 1990. Pengantar Ekologi Tropika. Diterjemahkan oleh U. Tanuwidjaja. Penerbit ITB, Bandung. Ewusie, J.Y., 1990. Pengantar Ekologi Tropika. Diterjemahkan oleh U. Tanuwidjaja. Penerbit ITB, Bandung.

Fukui, A.W. 1995. The role of the Brown-eared Bulbul Hypesypetes amourotis as a seed dispersal agent. Research on population Ecology 37, 211-218

Galetti, M. & Morellato, L.P.C. 1994. Diet of the large fruit-eating bat Artibeus lituratus in a forest fagment in Brazil. Mammalia,58(4):661-665

Garber, P.A. & Lambert, J.E. 1998. Introduction to primate seed dispersal: primates as seed dispersers, ecological processes and directions for future research. American journal of rimatology 45: 3-8

Gonzales, J.C.T. 1993. An avian survey of Puerto Galera, Oriental Mindoro, Philipne, Asian Life Science, 2(2): 163-176.

Hadiprayitno, G. 1999. Penggunaan Habitat oleh Berbagai Jenis Burung yang Berada di Kawasan Hutan Gunung Tangkuban Perahu, Jawa Barat. Program Pascasarjana ITB. Tesis Magister : tidak dipublikasikan.

Heddy, Suwarno dan Kurniati, M. 1994. Prinsip-prinsip dasar ekologi: suatu bahasan tentang kaidahj ekologi dan penerapannya. Jakarta. Raja Gafrindo. 90-99.

Herrera, C.M. 1992. Interspecific variation in fruit shape: Allometry, phylogeny, and adaptation to dispersal agents. Ecology vol 73, pp 1832-1841.

Herrera, C.M. 1994. Recruitment of a mast-fruiting, bird-dispersed tree: Bridging frugivore activity and seedling establisment. Ecological monograph 64(3), pp 315-344.

Herrera, C.M. 1989. Frugivory and seed dispersal by carnivorous mammalis, and associated fruit characteritics, in undisturbed Mediteranean habitats. Oikos 55: 250-262

Herrera, C. M. 1988. The fruiting ecology of Osyris Quadripartita: Individual variation and evolutionary potential. Ecology , vol 69, pp 233-249.

Herrera, C.M. 1984. A study of avian frugivory, bird-disersed plant, and their interaction in mediteranean scrublands. Ecology monographs, vol 54(1) 1-23

Hunter, D.M., Takayuki Ohgushi., and Peter W. Price. 1992. Effects of resource distribution on animal-plant interactions. Academic press, 44-385.

Huntingford, F., 1984. The study of animal behaviour. Chapman and Hall, London, 166-193.

Johnsing, A.J.T. dan J. Joshua, 1994. Avifauina in three vegetation types on Mundanthurai Plateau. South India. Journal of Tropical Ecology, 10:323.

Jordano, P., 2000. Fruits and frugivory. In Seeds: the ecology of regeneration in plant communities. Panner. 2nd edition. CABI Publishing, Wallingford, Oxfordshire, UK.

Jordano, P dan Schupp, E.W.  2000. Seed disperser effectiveness: the quantity component and patterns on seed rain for Frunus mahaleb. Ecological monographs, 70(4): 591-615.

Karr R.J., Isaac J.S., and Michele D. 1992. Bottom-Up versus top-down regulation of vertebrate population: lessons from birds and fish. In effects of resource distribution on animal-plant interaction (Hunter, M.D., Takayuki O., and Peter W.Price, eds.) pp.243-286. Academis press, Inc. New york.

Kinnard, M.F. 1992. Phenology of flowering and fluiting of an East African riverine forest ecosystem. Biotropica 24(2A) : 187-194.

Krebs, J.R. and Davies, N.B., Behavioural ecology: an evolutionary approach. 3rd ed. Blackwell Scientific Publications, London, 1978, 105-202.

Lamber, J.E. 2001. Red-tailed guenons (Cercopthecus ascanius) and Strychnos mitis: evidence for plant benefits beyond seed dispersal. International jounal of primatology, vol 22. No. 2: 189-201.

Lambert, J.E. 1999. Seed handling in chimpanzes (Pan troglodytes) and redtail monkeys (Cercopithecus ascanius): implications for understanding hominoid and cerpithecine fruit-processing strategies and seed dispersal. American journal of ohsical antrhopology 109:365-386.

Lambert, J.A. 1998a. Primate frugivory in Kibale National Park, Uganda, and its implications for human use of forest resoueces. J. ecol. Vol 36: 234-240

Lambert, J.E. & Garber, P.A. 1998. Evolutionary and ecological implications of primate seed dispersal. Amirican journal of primatology 45: 9-28

Leighton, M., 1982. Fruit resources and patterns of feeding spacing and grouping among sympatric Bornean hornbills (Buceronidae), Dissertation of Ecology, University of California.

Leighton, M., and D.R. Leighton, 1983. Vertebrate response to fruiting seasonality within a Bornean rainforest, In : S.L. Sutton, T.C. Whitmore, and A.C. Chadwick (eds.), Tropical rainforest: ecology and management, Backwell, Oxford: 181-196.

Levey, D.J., Moermond, T.C. & Denslow, J.S. 1994. Frugivory: an overview. Pp. 283-294 in mcDade, L.A., Bawa, K.S., Hespenheode, H.A. & Hartshorn, G.S. (eds). La Selva: ecology and natural history of a neotropical rain forest. University of Chicago Press, Chicago.

MacArthur, R.H. 1959. Patterns of communities in the tropics. Biol. J. Linn. Soc.

McConkey, K. and Galetti, M. 1999. Seed dispersal by the sun bear Helarrctos malayanus in central Borneo. Journal of tropical ecology 15:237-241.

Muchtar, M. 1997. Keanekaan jenis burung pada Beberapa Tipe Vegetasi di DAS Citarum Bagian Hulu, Kabupaten Bandung. Skripsi. Jurusan Biologi. UNPAD. Bandung.

Nurwatha, P.F., 1994. Penggunaan habitat secara vertikal dan temporal pada komunitas burung di taman kotamadya Bandung, Skripsi sarjana Biologi, Universitas Padjadjaran.

Odum, P.E., 1993. Dasar-dasar ekologi, Diterjemahkan oleh Samingan,T., dan B. Srigandono., Gadjah Mada University Press, 291-296.

Oliveira-Filho, A.T. & Galetti, M. 1996. Seed predation of Cariniana estrellensis (Lecythidaceae) by Black howler monkeys, Alouatta caraya. Primates, 37(1): 87-90.

Partasasmita, R. 1998. Ekologi makan burung betet, Psittacula alexandri (L.)  di kawasan kampus IPB Darmaga, Jawa Barat

Partasasmita. R. 1999. The Javanese Parakeet (Psittacula a. alexandri) population dynamics and the food availability at IPB campus Darmaga, Bogor, West Java. Papageienkunde Parrot Biologi. Breten, German. (3): s 171-180.

Partasasmita, R. Dan Adriantoro. 2000. Studi pergerakan harian dan perilaku makan burung kangkareng selatan (Anthracoceros convexus L.) di Kawasan Cagar Alam Pananjung Pangandaran, Ciamis. (laporan penelitian)

Partasasmita, R. 2001. The avifauna at the Tanah Merah, Babo, Bintuni Bay, New Papua. Research report of Intersys.

Partasasmita, R., Muti Y.R dan Rita P. 2002. Analisis Hubungan Burung Pemakan Buah Dengan Pohon Beringin (Ficus benjamina) di Kawasan Cagar Alam Leuweung Sancang.  (laporan penelitian)

Reid, N. 1990. Mutualistic interdepence between mistletoes (Amyema quandang), and spiny-cheeked honeyeaters and mistletoebirds in an arid woodland. Australian journal of ecology, 15, 175-190.

Van Balen, S. 1999. Birds on fragmented islands: persistence in the forests of Java and Bali. Tropical Resource Management Papers, No. 30. Wageningen University.

Schmidt, V. 2002. The role of fruit color in avian fruit selection – an  objective approach. Disertation. Angefertigt im institute fur Vogelforschung, German.

Smith, R.L., 1990. Ecology and field biology.  4th ed. Harper Collins publishers, inc. New York., 362-536.

Sumarwoto, O. 2001. Atur-Diri-Sendiri : Paradigma Baru Pengelolaan Lingkungan Hidup. Pembangunan ramah lingkungan : berpihak pada rakyat, ekonomis, berkelanjutan.  Yogyakarta : Gadjah Mada University Press.

Suryadi, 1994. Tingkah laku makan rangkong Sulawesi Rhyticeros cassidix Temminck pada masa tidak berbiak di Cagar Alam Tangkoko Batuangus Sulawesi, Skripsi sarjana Biologi, Universitas Indonesia.

Wiens, J.A., 1992. The ecology of bird communities. Vol. I. Foundantions and patterns., Cambridge University Press, 241-374.

Welty dan Baptista, 1988. Welty, J.C. and L. Baptista. 1988. The Life of Bird. New York: Sounders College Publishing.