ã 2002 Sayu Putu Yuni Paryati                                                             Posted  31 December 2002                                  

Makalah Pengantar Falsafah Sains (PPS702)

Program Pasca Sarjana / S3

Institut Pertanian Bogor

Desember  2002

 

Dosen :

Prof Dr. Ir. Rudy C Tarumingkeng (Penanggung Jawab)

Prof Dr Ir Zahrial Coto

Dr Bambang Purwantara

 

 

 

PATOGENESIS MASTITIS SUBKLINIS PADA SAPI PERAH

YANG DISEBABKAN OLEH Staphylococcus aureus

 

Oleh

Sayu Putu Yuni Paryati

B161020061

 

E-mail : yunisayu@yahoo.com

 

PENDAHULUAN

 

Mastitis atau peradangan pada jaringan internal ambing umum terjadi pada peternakan sapi perah di seluruh dunia (Duval 1997). Secara ekonomi, mastitis banyak menimbulkan kerugian karena adanya penurunan produksi susu yang mencapai 70% dari seluruh kerugian akibat mastitis. Kerugian lain timbul akibat adanya residu antibiotika pada susu, biaya pengobatan dan  tenaga kerja,  pengafkiran,  meningkatnya biaya  penggantian  sapi perah, susu terbuang, dan kematian pada sapi serta adanya penurunan kualitas susu (Kirk et al. 1994; Hurley dan Morin 2000). Tingkat keparahan dan intensitas mastitis sangat dipengaruhi oleh organisme penyebabnya (Duval 1997).

Mastitis dapat disebabkan oleh berbagai macam mikroorganisme, di antaranya adalah bakteri. Salah satu bakteri penyebab mastitis subklinis yang sering terisolasi adalah Staphylococcus aureus. Dengan terapi antibiotika, S. aureus dapat dimusnahkan dari permukaan kulit ambing, namun akan tetap tumbuh pada jaringan ikat yang lebih dalam dan ini menyebabkan S. aureus cenderung menjadi resisten terhadap antibiotika (Hoblet dan Eastridge 1992 ; Arpin et al. 1996). Sifat resistensi ini juga ditentukan oleh gen resisten yang terbawa oleh plasmid (Woodford et al. 1998). Kegagalan pengobatan juga disebabkan karena kegagalan antibiotika mencapai jaringan yang terinfeksi atau bakteri penyebabnya (Godkin 1998). Bakteri umumnya bertahan pada jaringan dalam beberapa minggu atau bulan sebagai penyebab mastitis subklinis (Bramley 1991).

Penelitian mengenai patogenesis mastitis subklinis yang disebabkan oleh S. agalactiae telah dilakukan menggunakan mencit sebagai hewan model (Estuningsih 2001). Demikian juga patogenesis mastitis nekrotik akut (Shibahara dan Nakamura 1998) serta mastitis subklinis yang disebabkan oleh S. aureus telah diteliti secara in vitro menggunakan biakan jaringan (Purnami 1999), namun belum banyak diketahui mengenai patogenesis penyakit yang disebabkan oleh S. aureus pada kasus mastitis subklinis secara in vivo. Berbagai kendala mungkin dihadapi untuk mempelajari patogenesis mastitis subklinis pada jaringan kelenjar ambing sapi, sehingga perlu dilakukan penelitian pada hewan lain yang mungkin dapat dijadikan model untuk sapi. Dalam penelitian ini akan digunakan mencit sebagai hewan model.

 

Hipotesis

1.      Ada perubahan struktur dan sekresi susu pada jaringan ambing penderita mastitis subklinis akibat infeksi bakteri S. aureus.

2.      Terjadi variasi kerusakan jaringan ambing penderita mastitis subklinis yang disebabkan oleh S. aureus sesuai dengan lamanya waktu infeksi.

3.      Mencit dapat digunakan sebagai hewan model untuk menjelaskan patogenesis mastitis subklinis yang disebabkan oleh S. aureus pada sapi.

 

 

TINJAUAN ONTOLOGI MASTITIS PADA SAPI PERAH

 

Pengertian Mastitis

Mastitis didefinisikan sebagai peradangan pada jaringan internal kelenjar ambing. Penyakit ini umum terjadi pada peternakan sapi perah di seluruh dunia (Duval 1997). Peradangan dapat terjadi pada satu kelenjar atau lebih dan mudah dikenali apabila pada kelenjar susu menampakkan gejala peradangan yang jelas. Kelenjar ambing membengkak, edematus berisi cairan eksudat disertai tanda-tanda peradangan lainnya, seperti ; suhu meningkat, kemerahan, rasa sakit dan penurunan fungsi. Akan tetapi seringkali sulit  untuk mengetahui kapan terjadinya suatu peradangan, sehingga diagnosis terhadap mastitis sering dilakukan melalui pengujian pada produksi susunya, misalnya dengan melakukan penghitungan jumlah sel somatik (JSS) dalam susu (Bramley 1991).

Berdasarkan respon radang yang terjadi, mastitis dapat dibedakan menjadi : mastitis perakut, akut, sub akut, subklinis dan kronis (Hurley dan Morin 2000 ; Nelson dan Nickerson 1991). Mastitis subklinis merupakan mastitis yang paling umum terjadi, yaitu kira-kira 15 – 40 kali lebih banyak dibandingkan dengan mastitis klinis (Hurley dan Morin 2000). Sebagian besar kejadian mastitis di Indonesia merupakan mastitis subklinis (Wibawan et al. 1995). Pada mastitis subklinis terjadi peningkatan jumlah sel radang, adanya mikroorganisme patogen dan terjadi perubahan kimia susu (Sudarwanto 1993). Diagnosis mastitis subklinis dapat dilakukan dengan melakukan penghitungan jumlah sel somatik (JSS) dalam susu (Bramley 1991), tapi jumlah sel somatik pada susu dapat meningkat seiring dengan bertambahnya umur sapi (Duirs and Macmillan 1979).

 

 

Penyebab Mastitis Subklinis Staphylococcus aureus

S. aureus tersebar luas di dunia dan banyak menyebabkan kelainan-kelainan pada kulit dan membran mukosa hewan maupun manusia. Bakteri ini bersifat gram positif, fakultatif anaerob, katalase positif, koagulase positif dan menghasilkan asam laktat. Pada biakan agar padat membentuk koloni kuning keemasan (Todar 1998). S. aureus tidak membentuk spora, tidak ada flagela, tumbuh baik pada suhu 37° C dan mati apabila dipanaskan pada suhu 80° C selama setengah jam.

Berbagai komponen S. aureus yang berperan dalam mekanisme infeksi adalah : (1) Polisakarida dan protein yang merupakan substansi penting di dalam dinding sel, seperti protein adhesin hemaglutinin (Wahyuni 1998) dan glikoprotein fibronectin (Nelson et al. 1991). Protein permukaan ini berperan dalam proses kolonisasi bakteri pada jaringan inang; (2). Invasin yang berperan dalam penyebaran bakteri di dalam jaringan, misalnya leukocidin, kinase, hyaluronidase; (3). Kapsul dan protein A yang dapat menghambat fagositosis oleh leukosit polimorfonuklear ;  (4). Substansi biokimia, seperti : carotenoid dan produk katalase, dapat membuat bakteri bertahan hidup dalam fagosit ; (5). Protein A, coagulase dan clumping factor untuk menghindarkan diri dari respon imun inang. S. aureus dengan coagulase negatif terbukti kurang virulen dibandingkan dengan yang mempunyai faktor coagulase (Haraldsson dan Jonsson 1984) ; dan (6). Toksin yang dapat melisis membran sel dan jaringan inang (Todar 1998).

S. aureus mempunyai arti penting sebagai penyebab mastitis subklinis karena bakteri ini dapat menyebar ke mana-mana dan dapat membentuk koloni dengan baik pada kulit dan puting ambing. Keberadaannya pada kulit merupakan suatu keuntungan bagi bakteri ini untuk terhindar dari sel fagosit, sehingga bakteri menjadi persisten (Todar 1997). S. aureus dapat dimusnahkan dari permukaan kulit ambing dengan terapi antibiotika, namun bakteri akan tetap tumbuh pada jaringan ikat yang lebih dalam, menyebabkan S. aureus cenderung menjadi resisten terhadap antibiotika (Hoblet dan Eastridge 1992 ; Arpin et al. 1996). Sifat resistensi ini juga ditentukan oleh gen resisten yang terbawa oleh plasmid (Woodford et al. 1998). Kegagalan pengobatan juga disebabkan karena kegagalan antibiotika mencapai jaringan yang terinfeksi atau bakteri penyebabnya (Godkin 1998). Bakteri umumnya bertahan pada jaringan dalam beberapa minggu atau bulan sebagai penyebab mastitis subklinis (Bramley 1991).

Selain sebagai penyebab mastitis klinis maupun subklinis, S. aureus dikenal pula sebagai bakteri komensal, yang dapat diisolasi dari sebagian besar permukaan tubuh. Bakteri ini bersifat “strain-host specific”, artinya ada kaitan antara biotipe dengan spesies inang (Hajek dan Marsalek 1971). S. aureus merupakan flora normal pada manusia, terutama ditemukan pada saluran pernapasan bagian atas, kulit dan mukosa. Pada babi sehat, S. aureus banyak ditemukan pada cairan bronchoalveolar (Hensel et al. 1994).

Kemampuan S. aureus menginvasi dan hidup dalam sel-sel endotel diyakini dapat menyebabkan infeksi endovascular yang bersifat persisten dengan menimbulkan kerusakan pada sel-sel endotel. Kerusakan sel-sel endotel ini diduga sebagai bagian dari proses apoptosis yang disebabkan oleh infeksi S. aureus (Menzies dan Kourteva 1998).

 

Histopatologi Mastitis

Secara histopatologi, pada mastitis subklinis dapat ditemukan adanya peradangan dan degenerasi pada parenkim (epitel) saluran-saluran air susu. Selain itu juga ditemukan adanya reruntuhan sel-sel somatik yang meningkat (Ressang 1984; Duval 1997), deskuamasi dan regresi epitel. Sel-sel radang (leukosit-leukosit berinti polimorf) banyak ditemukan di dalam lumen saluran air susu (Ressang 1984).

Penelitian pada mastitis subklinis yang disebabkan oleh S. agalactiae menunjukkan bahwa patogenesis penyakit dimulai dengan menempelnya bakteri pada permukaan sel epitel, kemudian masuk ke dalam sel epitel alveol kelenjar susu menyebabkan degenerasi dan nekrosa. Nekrosa berlanjut dan menyebabkan atrofi alveol kelenjar susu disertai respon peradangan yang menyebabkan terjadi involusi kelenjar susu. Selanjutnya terjadi proses persembuhan berupa pembentukan jaringan ikat. Pada hari keempat setelah diinfeksi, sebagian jaringan ikat digantikan oleh jaringan lemak dan bakteri terperangkap di dalam kelenjar ambing (Estuningsih 2001).

 

 

TINJAUAN EPISTEMOLOGI MASTITIS SUBKLINIS

 

Tinjauan epistemologi mastitis subklinis pada sapi perah akan menjelaskan mengenai mekanisme kejadian penyakit serta patogenesis bakteri S. aureus sebagai penyebab mastitis subklinis yang umum dijumpai pada sapi perah. Patogenesis penyakit dijelaskan berdasarkan gambaran histopatologi dari kelenjar ambing mencit sebagai hewan model dalam penelitian ini.

 

Histologi Kelenjar Ambing

            Struktur kelenjar ambing tersusun dari jaringan parenkim dan stroma (connective tissue). Parenkim merupakan jaringan sekretori berbentuk kelenjar tubulo-alveolar yang mensekresikan susu ke dalam lumen alveol. Lumen alveol dibatasi oleh selapis sel epitel kuboid. Lapisan sel epitel ini dikelilingi oleh sel-sel myoepitel yang bersifat kontraktil sebagai responnya terhadap hormon oxytocin dan selanjutnya dikelilingi oleh stroma berupa jaringan ikat membrana basalis. Pembuluh darah dan kapiler terdapat pada jaringan ikat di antara alveol-alveol ini. Beberapa alveol bersatu membentuk suatu struktur lobulus dan beberapa lubulus bergabung dalam suatu lobus yang lebih besar. Penyaluran susu dari alveol sampai ke glandula sisterna melalui suatu sistem duktus yang disebut ductus lactiferus (Hurley 2000).

            Sel yang melapisi alveol bervariasi penampilannya, tergantung aktivitas fungsionalnya. Pada keadaan kelenjar tidak laktasi, sel berbentuk kuboid. Bila aktif menghasilkan sekret (susu), selnya berbentuk silindris. Dan bila susu dicurahkan ke dalam lumen, meregang, sel-sel kembali berbentuk kuboid dengan ukuran yang jauh lebih besar dan sel-sel penuh berisi sekret (Singh 1991). Sel-sel sekretoris alveol kaya akan ribosom, kompleks golgi dan droplet lemak serta banyak memiliki vakuol sekretoris (Russo dan Russo 1996).

            Pada mencit, masa laktasi berlangsung selama 3 – 4 minggu tergantung strain mencit dan sekresi susu maksimal terjadi antara 12-13 hari post partus. Setelah masa sapih, sel-sel epitel mulai berdegenerasi dan alveol mulai menurun aktifitasnya untuk memproduksi susu dan berubah bentuk menjadi kumpulan struktur massa sel tanpa lumen. Pada saat ini lobulus alveolar mulai diisi dengan jaringan lemak (fat pad).

 

Patogenesis Mastitis

Duval (1997) menjelaskan bahwa proses infeksi pada mastitis terjadi melalui beberapa tahap, yaitu adanya kontak dengan mikroorganisme dimana sejumlah mikroorganisme mengalami multiplikasi di sekitar lubang puting (sphincter), kemudian dilanjutkan dengan masuknya mikroorganisme akibat lubang puting yang terbuka ataupun karena adanya luka (Gambar 1). Tahap berikutnya, terjadi respon imun pada induk semang. Respon pertahanan pertama ditandai dengan berkumpulnya leukosit-leukosit untuk mengeliminasi mikroorganisme yang telah menempel pada sel-sel ambing. Apabila respon ini gagal, maka mikroorganisme akan mengalami multiplikasi dan sapi dapat memperlihatkan respon yang lain, misalnya demam.

 

 

Gambar 1. Jalan masuk bakteri melalui puting ambing menuju kelenjar susu  (Hurley dan Morin 2000).

 

Penelitian pada mencit yang diinfeksi dengan S. aureus, memperlihatkan bahwa tahap kritis patogenesis mastitis terjadi ketika terjadi interaksi antara neutrofil dan S. aureus pada 12 sampai 18 jam setelah diinokulasi S. aureus melalui kelenjar ambing. Fagositosis bakteri oleh neutrofil mulai terlihat pada 6 jam setelah infeksi. Setelah 12 jam pasca infeksi, neutrofil mengalami perubahan-perubahan yang bersifat degeneratif, mengakibatkan S. aureus dapat mencapai lumen alveol dan terjadi peningkatan jumlah bakteri ekstraseluler pada 18 jam setelah infeksi (Anderson dan Chandler 1975).

Hurley dan Morin (2000), menjelaskan bahwa peradangan pada ambing diawali dengan masuknya bakteri ke dalam ambing yang dilanjutkan dengan multiplikasi. Sebagai respon pertama, pembuluh darah ambing mengalami vasodilatasi dan terjadi peningkatan aliran darah pada ambing. Permeabilitas pembuluh darah meningkat disertai dengan pembentukan produk-produk inflamasi, seperti prostaglandin, leukotrine, protease dan metabolit oksigen toksik yang dapat meningkatkan permeabilitas kapiler ambing. Adanya filtrasi cairan ke jaringan menyebabkan kebengkakan pada ambing. Pada saat ini terjadi diapedesis, sel-sel fagosit (PMN dan makrofag) keluar dari pembuluh darah menuju jaringan yang terinfeksi dilanjutkan dengan fagositosis dan penghancuran bakteri. Tahap berikutnya, terjadi proses persembuhan jaringan.

Paryati (2002) menyatakan bahwa infeksi bakteri S. aureus dengan dosis infeksi pada mencit tidak menyebabkan adanya perubahan jaringan ambing secara klinis. Ambing dari semua kelompok mencit yang diinfeksi dengan S. aureus tidak menampakkan adanya tanda-tanda peradangan dan terlihat sama dengan kelompok kontrol. Puting tampak normal, tidak menampakkan adanya pembengkakan, eksudasi maupun keropeng. Keadaan ini tampak pada seluruh kelompok perlakuan. Puting pada semua mencit berwarna putih, tersembunyi di antara rambut abdomen. Mencit juga tidak memperlihatkan tanda-tanda gelisah, tidak menggaruk-garuk dan tidak menunjukkan tingkah laku yang berbeda dibandingkan dengan mencit kontrol. Aktivitas makan dan minum berjalan normal, menunjukkan bahwa infeksi S. aureus tidak menimbulkan perubahan secara klinis.

Ketika kulit bagian ventral mencit dibuka, tampak ada perubahan pada bagian subkutis. Subkutis tampak lebih basah pada mencit yang diinfeksi S. aureus. Hal ini terlihat pada kelompok mencit 12, 16, 20, 24 dan 36 jam pasca infeksi. Diperkirakan karena terjadinya edema radang ringan. Sedangkan pada kelompok mencit 2 jam sampai dengan 8 jam pasca infeksi tidak tampak adanya perubahan ini. Hiperemi pada pembuluh darah yang menuju ke kelenjar ambing tampak pada kelompok mencit 2 jam sampai dengan 36 jam pasca infeksi. Juga disertai adanya sedikit eksudat disekitarnya. Hal ini menunjukkan bahwa pada kelenjar ambing sedang terjadi peradangan. Dan pada kelompok mencit 48 jam pasca infeksi, keadaan subkutis sedikit kering sehingga kulit agak susah dipisahkan dari kelenjar ambing.

Pengamatan histopatologi menggunakan pewarnaan HE pada kelompok 2 jam pasca infeksi (p.i.) memperlihatkan edema jaringan interstitium dan pembendungan pembuluh darah inter-alveoler. Sel-sel epitel alveol mulai mengalami hiperplasia. Struktur kelenjar ambing dan sekresi susu tidak berbeda nyata (P>0,05) bila dibandingkan dengan kelenjar ambing mencit kontrol. Susunan kelenjar masih dalam batas normal.

Empat jam pasca infeksi, masih terlihat adanya edema jaringan interstitium dan pembendungan pembuluh darah. Pada saat ini, dilatasi pembuluh darah disertai dengan diapedesis mulai tampak sebagai respon inang terhadap infeksi. Juga tampak adanya infiltrasi sel-sel radang polimorfonuklear (PMN) pada jaringan interstitium. Arsitektur kelenjar dan sekresi susu masih dalam batas normal (P>0,05). Tampak adanya stagnasi sekresi susu pada lumen ductus lactiverus sebagai akibat dari adanya hambatan pengaliran susu.

Hasil uji statistik memperlihatkan struktur kelenjar ambing kelompok mencit 2 dan 4 jam pasca infeksi (p.i.) memperlihatkan struktur kelenjar yang berbeda nyata (P<0,05) bila dibandingkan dengan kelompok 72, 84 dan 96 jam p.i.; serta kelompok 6 jam p.i. berbeda nyata (P<0,05) dengan kelompok 72 dan 96 jam p.i. Penurunan jumlah alveol yang aktif terjadi pada kelompok mencit 60 sampai 96 jam p.i. (P<0.05) bila dibandingkan dengan kontrol menunjukkan adanya pengaruh infeksi oleh S. aureus akibat terjadinya atrofi kelenjar, menyebabkan penurunan sekresi susu. Isi lumen alveol dan keutuhan epitel menunjukkan kemampuan epitel alveol dalam mensekresikan susu. Namun demikian, keberadaan susu di dalam lumen alveol dapat pula dipandang sebagai keadaan retensi susu jika disertai dengan terjadinya degenerasi epitel alveol dan tubular. Hambatan pengaliran susu dapat terjadi jika terdapat kebengkakan atau hambatan akibat banyaknya reruntuhan sel pada sistem duktus penyalur. Stagnasi sekresi susu tampak pada tubulus ductus lactiverus pada 4 dan 6 jam p.i. (Paryati 2002).

Selanjutnya dijelaskan bahwa penurunan sekresi susu juga tampak nyata (P<0,05) pada kelompok mencit 60, 72 dan 96 jam p.i dibandingkan dengan kelompok 6 dan 20 jam p.i. Penurunan sekresi susu terjadi karena berkurangnya jumlah kelenjar yang aktif dan terjadi atrofi kelenjar alveol.

Hurley dan Morin (2000) lebih lanjut menjelaskan, bahwa terdapat berbagai faktor yang mempengaruhi kemampuan kelenjar ambing untuk bertahan dari infeksi, di antaranya adalah : jaringan yang menjadi kurang efektif pada umur tua; PMN yang terlalu muda pada kelenjar dan adanya PMN yang tidak memusnahkan bakteri tapi sebaliknya malah melindungi bakteri dari proses penghancuran berikutnya. Hal lain juga disebabkan karena adanya komponen lipid pada susu yang kemungkinan menghambat reseptor Fc pada leukosit, menyebabkan degranulasi yang berlebihan dan meningkatnya gejala peradangan. Lemak dan casein susu yang tertelan oleh PMN dapat menyebabkan kegagalan PMN dalam proses ingesti bakteri. Kemampuan PMN dalam fagositosis dan membunuh bakteri juga dapat menurun pada keadaan defisiensi vitamin E atau selenium.

Pemusnahan bakteri melalui sistem oxygen respiratory burst membutuhkan oksigen yang lebih banyak, namun kadar oksigen pada susu jauh lebih rendah daripada konsentrasi oksigen dalam darah. Demikian juga glukosa sebagai sumber energi pada susu sangat rendah konsentrasinya, padahal untuk fagositosis diperlukan energi yang lebih tinggi. Di samping itu, susu mengandung komponen opsonin (seperti : imunoglobulin dan komplemen) yang relatif sedikit dan dalam susu hampir tidak ada aktivitas lisosim (Hurley dan Morin 2000).

 

Pengujian hipotesis

Suriasumantri (1999) menjelaskan bahwa metode ilmiah adalah langkah-langkah dalam proses pengetahuan ilmiah dengan menggabungkan cara berpikir rasional dan empiris dengan penghubung berupa hipotesis. Hipotesis merupakan kesimpulan yang ditarik secara rasional dalam sebuah kerangka berpikir yang bersifat koheren dengan pengetahuan ilmiah sebelumnya dan hipotesis tersebut berfungsi sebagai jawaban sementara terhadap permasalahan yang ditelaah dalam kegiatan ilmiah. Selanjutnya dilakukan pengujian hipotesis untuk mengetahui apakah kenyataan empiris sesuai dengan hipotesis yang telah dibuat.

Dari hasil penelitian yang telah dilakukan, diperoleh kesimpulan bahwa hipotesis yang telah dibuat dapat diterima, artinya bahwa pernyataan yang terkandung dalam hipotesis tersebut dianggap benar, yaitu :

1        Ada perubahan struktur dan sekresi susu pada jaringan ambing penderita mastitis subklinis akibat infeksi bakteri S. aureus.

2        Terjadi variasi kerusakan jaringan ambing penderita mastitis subklinis yang disebabkan oleh S. aureus sesuai dengan lamanya waktu infeksi.

3        Mencit dapat digunakan sebagai hewan model untuk menjelaskan patogenesis mastitis subklinis yang disebabkan oleh S. aureus pada sapi.

 

 

TINJAUAN AKSIOLOGI PATOGENESIS MASTITIS SUBKLINIS PADA SAPI PERAH

 

            Selama ini, penanggulangan terhadap kasus mastitis hanya ditujukan untuk membasmi agen penyebabnya, misalnya dengan pemberian antibiotika dalam jangka waktu yang lama. Hal ini telah diketahui banyak menimbulkan efek samping, di antaranya akumulasi residu antibitika dalam produk hewan yang dapat merugikan masyarakat konsumen, disamping juga faktor biaya yang relatif mahal. Pengobatan biasanya hanya dilakukan pada hewan-hewan yang secara klinis menunjukkan gejala sakit.

Namun kenyataan yang diperoleh dari penelitian ini menunjukkan bahwa hewan yang secara klinis terlihat sehat bukan berarti bahwa dalam tubuhnya tidak terjadi perubahan yang secara ekonomi dapat merugikan. Sebagai contoh dalam penelitian ini, bahwa mastitis subklinis tidak memperlihatkan gejala pada inangnya, namun terjadi penurunan sekresi susu yang diakibatkan oleh adanya infeksi oleh S. aureus. Pada kasus mastitis, jalan infeksi bakteri S. aureus biasanya melewati puting ambing. Diduga infeksi diawali oleh keberhasilan bakteri menembus lapisan tanduk puting lalu dilanjutkan oleh proses adhesi dan kolonisasi (Jonsson dan Wadström 1993).

Dengan mengetahui patogenesis S. aureus sebagai penyebab mastitis subklinis, dapat dijelaskan bagaimana mekanisme bakteri dalam menimbulkan kerusakan pada jaringan inangnya. Dengan demikian dapat dilakukan penelitian lebih lanjut mengenai upaya pencegahan mastitis tanpa penggunaan antibiotika, misalnya pemanfaatan S. aureus sebagai kandidat vaksin yang dapat mencegah adhesi bakteri pada sel inang atau menggertak kekebalan spesifik dan non spesifik inang dalam upaya penanganan mastitis subklinis. Selanjutnya, penggunaan obat-obatan seperti antibiotika yang diketahui mempunyai berbagai macam efek samping pada ternak maupun pada masyarakat konsumen dapat dikurangi atau bahkan ditiadakan.

Penggunaan mencit sebagai model untuk penelitian penyakit pada sapi , khususnya penyakit yang menyerang ambing dapat dipertimbangkan mengingat bahwa mencit mempunyai struktur kelenjar yang sama dengan sapi. Hal ini berarti dapat menekan biaya penelitian karena harga mencit relatif murah dan mudah didapat.

 

 

PENUTUP

Gambaran histopatologi kelenjar ambing mencit yang secara klinis tidak menunjukkan adanya peradangan (mastitis) pada kenyataannya menunjukkan adanya perubahan struktur dari kelenjar berupa degenerasi, nekrosis dan atrofi. Perubahan ini berpengaruh terhadap sekresi susu, baik secara kuantitas maupun kualitas, ditunjukkan oleh adanya lumen kelenjar yang kosong dan berkurangnya kelenjar yang aktif.

Mencit memiliki struktur kelenjar yang sama dengan kelenjar ambing mencit, sehingga dapat disimpulkan bahwa mencit dapat digunakan sebagai hewan model untuk penelitian pada sapi perah. Namun demikian, perlu dilakukan penelitian pada jaringan kelenjar ambing sapi sebagai studi banding. Dan penggunaan metode lain dalam mempelajari infeksi S. aureus perlu dikembangkan, misalnya dengan menggunakan teknik imunositokimia, mikroskop elektron ataupun dengan pewarnaan khusus lainnya.

 

 

 

DAFTAR PUSTAKA

 

Anderson JC, Chandler RL. 1975. Experimental Staphylococcal Mastitis in The Mouse : Histological, Ultrastructural and Bacteriological Changes Caused by A Virulent Strain of Staphylococcus aureus. J. Comp. Path. 85:499-510.

 

Arpin C, Lagrange I, Gachie JP,  Bebear C, Quentin C. 1996. Epidemiologycal study of an outbreak of infection with Staphylococcus aureus resistant to lincosamides and streptogramin A in a French Hospital. J.Med.Microbiol. 44:303-310.

Bramley AJ. 1991. Mastitis : Physiology or Pathology? Flem.Vet.J. (62) : Suppl. 1,   3-11.

 

Duirs GF, Macmillan KL. 1979. Interrelationships between somatic cell counts, production, age and mastitis organisms in individual cows. Proceedings of the New Zealand Society of Animal Production. 39:175-179.

 

Duval J. 1997. Treating mastitis without antibiotics. Ecological Agriculture Projects. http://www.eap.mcgill.ca/Publications/EAP69.htm. [15-12-2000].

 

Estuningsih S. 2001. Patogenesis mastitis subklinis pada sapi perah : Pendekatan histopatologis mastitis subklinis akibat infeksi Streptococcus agalactiae hemaglutinin positif pada mencit. Disertasi Doktor Pascasarjana. IPB.

 

Godkin A. 1998. Staphylococcus aureus Mastitis : A contagious bacterial infection of the udder. Health Management, OMAFRA (519):846-965. agodkin@omafra.gov.on.ca. [22-10-1998].

 

Hajek V, Marsalek E. 1971. The Differentiation of Pathogenic Staphylococci and Sugestion for Their Taxonomic Classification. Zbl. Bacteriol. Parasit. (Abt I Orig.) 217a:176-182

 

Haraldsson I, Jonsson P. 1984. Histopathology and Pathogenesis of Mouse Mastitis Induced with Staphylooccus aureus Mutans. J. Comp. Path. 94:183196.

 

Hensel A, Ganter M, Kipper S, Krehon S, Wittenbrink MM, Petzoldt K. 1994. Prevalence of Aerobic Bacteria in Bronchoalveolar Lavage Fluids from Healthy Pigs. Am. J. Vet. Res. 55(12) : 1697-1702.

 

Hoblet KH, Eastridge ML. 1992. Control of Contagious Mastitis. Dairy Guide Leaflet. Ohio.

 

Hurley WL, Morin DE. 2000. Mastitis Lesson A.. Lactation Biology. ANSCI 308. http://classes aces.uiuc.edu/Ansci 308/. [13-12-2001].

 

Hurley WL. 2000. Mammary tissue organization. Lactation Biology. ANSCI 308. http://classes aces.uiuc.edu/Ansci 308/. [17-11-2001].

 

Jonsson P, Wadström T. 1993. Staphylococcus in : Pathogenesis of bacterial infections in animals. Second edition. Edited by Carlton LG. and Charles O.T. Iowa State University Press. Ames : 21 – 35.

 

Kirk JH, De Graves F, Tyler J. 1994. Recent progess in : Treatment and control of mastitis in cattle. JAVMA 204:1152-1158.

 

Menzies BE, Kourteva I. 1998. Internalization of Staphylococcus aureus by Endothelial Cells Induces Apoptosis. Infection and Immunity. 66(12):5994-5998.

 

Paryati SPY. 2002. Patogenesis Mastitis Subklinis yang Disebabkan oleh Staphylococcus aureus pada Mencit Berdasarkan Gambaran Histopatologi sebagai Hewan Model untuk Sapi Perah. Tesis. Program Magister. Program Pascasarjana IPB. Bogor.

 

Purnami NL. 1999. Perbandingan kemampuan adhesi Streptococcus agalactiae dan Staphylococcus aureus yang memiliki antigen permukaan hemaglutinin pada permukaan biakan sel epitel ambing sapi. Skripsi. FKH-IPB Bogor.

 

Nelson W, Nickerson S. 1991. Mastitis counter attack. Babson Bros.

 

Ressang AA. 1984. Patologi Khusus Veteriner. NV. Percetakan Bali. pp. 153-163.

 

Russo IH, Russo J. 1996. Mammary Gland Neoplasia in Long-term Rodent Studies. Eviron Health Perpect. 104:938-967.

 

Shibahara T, Nakamura K. 1998. Pathology of acute necrotizing mastitis caused by Staphylococcus aureus in a dairy cow. http://ss.jircas.affrc.go.jp/engpage/jarq/33-2/Shibahara/shibahara.htm.

 

Singh I. 1991. Teks dan atlas histologi manusia. Alih bahasa : Jan Tambayong. Edisi I. Binarupa Aksara. Jakarta. 300-301.

 

Sudarwanto M. 1993. Mastitis subklinis dan cara diagnosa. Makalah dalam Kursus Kesehatan Ambing dan Program Pengendalian Mastitis. IKA-IPB (tidak dipublikasikan).

 

Todar K. 1997. Bacteriology 330 Lecture Topics : Colonization and Invasion. http://www.bact.wisc.edu/bact330/lecturecoli

 

Todar K. 1998. Bacteriology 330 Lecture Topics : Staphylococcus. http://www.bact.wisc.edu/bact330/lecturestaph. [2-4-2001].

 

Wahyuni AETH. 1998. Peran hemaglutinin Streptococcus agalactiae dalam proses adhesi pada sel epitel sapi perah. Thesis Magister Sains. Program Pascasarjana – IPB.

 

Wibawan IWT, Pasaribu FH, Huminto H, Estuningsih S. 1995. Ciri biovar Streptococcus agalactiae sebagai petunjuk infeksi silang antara sapi dan manusia. Laporan Hasil Penelitian Hibah Bersaing Perguruan Tinggi IV Tahap-1.

 

Woodford N, Watson AP, Patel S, Jevon M, Waghorn DJ, Cookson BD. 1998. Heterogeneous location of the mupA high-level mupirocin sesistance gene in Staphylococcus aureus. J.Med.Microbiol. 47:829-835.