ã
2002 Suseno Posted 30 November, 2002
Makalah Pengantar Falsafah Sains
(PPS702)
Program Pasca Sarjana / S3
Institut
Pertanian Bogor
November 2002
Dosen
:
Prof
Dr. Ir. Rudy C Tarumingkeng (Penanggung Jawab)
Prof Dr John Haluan
Membangun Sektor Kelautan dan Perikanan Tangguh
Indonesia :
A Prime Mover Sector
Oleh:
S u s
e n o
Nrp.
C5260140414
E-mail: ssn_id@yahoo.com
Pendahuluan
Memulihkan kembali perekonomian nasional melalui
revitalisasi sumber-sumber pertumbuhan ekonomi yang ada serta menciptakan
sumber-sumber pertumbuhan ekonomi baru merupakan fokus utama kabinet gotong
royong. Indonesia memiliki setidaknya empat
sektor yang selain saling melengkapi
satu dengan lainnya juga mendasarkan pada input lokal yang berlimpah,serta
mampu menyerap tenaga kerja banyak disamping mampu menyaring dan membendung
arus urbanisasi dengan keahlian relatif rendah. Membangun Indonesia baru ke
depan akan ditopang oleh 4 (empat) pilar utama (leading sector) tersebut yaitu
kelautan dan perikanan, kehutanan, pertanian dan pariwisata. Sektor
kelautan dan perikanan dibangun atas dasar keberadaan sumber daya alamnya (resource based) yang memang masih
tersedia dan belum dimanfaatkan secara optimal.
Sumber-sumber
pertumbuhan ekonomi yang sepatutnya dikembangkan adalah yang berbasis
keunggulan kompetitif bangsa. Keunggulan kompetitif sejati suatu bangsa adalah
yang dibangun atas keunggulan komparatif yang dimiliki bangsa tersebut
(Porter). Dengan kekayaan sumberdaya alam yang dimiliki, bangsa Indonesia sudah
sepatutnya mengedepankan resources based industries yang dibangun
melalui penerapan IPTEK dan manajemen profesional. Sektor kelautan dan perikanan beralaskan resources based
industries yang memiliki keunggulan kompetitif untuk menggerakkan
perekonomian nasional, menjadikannya sebagai prime mover, tulang punggung Indonesia, untuk bangkit dari krisis
multidimensional.
Pentingnya membangun sektor kelautan dan perikanan .
Ada 6 alasan utama mengapa sektor kelautan dan
perikanan perlu dibangun. Pertama, Indonesia memiliki sumber daya laut
yang besar baik ditinjau dari kuantitas maupun diversitas. Kedua, Indonesia
memiliki daya saing (competitive
advantage) yang tinggi di sektor kelautan dan perikanan sebagaimana
dicerminkan dari bahan baku yang dimilikinya serta produksi yang dihasilkannya.
Ketiga,
industri
di sektor kelautan dan perikanan memiliki keterkaitan (backward and forward linkage) yang kuat dengan
industri-industri lainnnya. Keempat, Sumber daya di sektor kelautan dan
perikanan merupakan sumber daya yang selalu dapat diperbaharui (renewable resources) sehingga bertahan
dalam jangka panjang asal diikuti dengan pengelolaan yang arif; Kelima,
investasi di sektor kelautan dan perikanan memiliki efisiensi yang relatif
tinggi sebagaimana dicerminkan dalam Incremental Capital Output Ratio (ICOR)
yang rendah (3,4) dan memiliki daya serap tenaga kerja yang tinggi pula seperti
digambarkan dengan Incremental Labor Output Ratio (ILOR) sebesar 7-9. Keenam,
pada umumnya industri perikanan berbasis sumberdaya lokal dengan input
rupiah namun dapat menghasilkan output dalam bentuk dolar. Sementara itu
prospek pasar produk kelautan dan perikanan dimasa akan datang menunjukkan
pangsa yang terus meningkat. Hal ini disebabkan oleh peningkatan jumlah
penduduk dunia yang akan terus memperbesar permintaan pangan. Manusia pun saat
ini semakin sadar bahwa kebutuhan gizi hanya akan terpenuhi dari produk pangan
yang menyediakan kandung protein yang
tinggi dan kolesterol rendah. Disamping kebutuhan pangan, manusia juga
membutuhkan kelengkapan hidup yang lain seperti kosmetika dan obat-obatan.
Kebutuhan-kebutuhan tersebut banyak terkandung di dalam sumberdaya hayati di
perairan Indonesia.
Pentingnya membangun sektor kelautan dan
perikanan semakin terasa apabila melihat suksesnya beberapa negara dalam
pembangunan sektor tersebut. Islandia merupakan salah satu contoh negara yang
maju dan makmur karena sektor kelautan dan perikanannya, yang saat ini memiliki
GNP/kapita mencapai US$ 26 ribu/tahun. Hal ini bisa dilihat dari besarnya
sumbangan sektor perikanan terhadap GDP yang mencapai 65%. Selain itu 70% ekspor barang dan jasa berasal dari sektor perikanan. Begitu
pula Norwegia, yang saat ini memiliki GNP/kapita sebesar US$ 30 ribu/tahun,
ternyata memiliki kinerja sektor kelautan dan perikanan yang baik. Saat ini
sumbangan sektor perikanan terhadap GDP mencapai 25% dan ekspor ikan Salmon mencapai
US$ 2 milyar/tahun.
Di Asia, terdapat Thailand yang dengan garis panjang
pantai 2600 km dan luas tambak 80 ribu hektar mampu memproduksi udang sebanyak
340 ribu ton dan memiliki nilai ekspor
perikanan sebesar US$ 4,2 milyar pada tahun 2000. Dengan garis pantai yang
lebih panjang dan potensi areal tambak yang lebih besar, Indonesia hanya mampu
memproduksi udang sebesar 80 ribu ton dan memiliki nilai ekspor perikanan US$
1,76 milyar. Begitu pula Filipina yang
hanya memiliki 7.200 pulau memiliki nilai ekspor rumput laut sebesar US$ 700
juta, sementara pada waktu yang sama Indonesia hanya mampu memperoleh devisa
US$ 45 juta. Padahal 60% raw material rumput laut Filipina diimpor dari
Indonesia. Sektor kelautan dan perikanan Cina, nilai produksi perikanannya
mencapai US$ 34 milyar.
Potensi bioteknologi kelautan juga masih sangat besar
untuk pengembangan industri bioteknologi kelautan seperti industri bahan baku
untuk makanan, industri bahan pakan alami, benih ikan dan udang, industri bahan
pangan. Nilai ekonomi dari potensi bioteknologi kelautan tersebut diperkirakan
mencapai US$ 4 miliar. Dengan demikian, total nilai ekonomi potensi perikanan
dan industri bioteknologi kelautan diperkirakan sebesar US$ 82,1 miliar.
Selain sumberdaya kelautan dapat pulih seperti
diuraikan di atas, potensi kelautan lainnya yang dapat dikembangkan secara
optimal adalah sumberdaya tidak dapat pulih. Menurut Deputi Bidang Pengembangan
Kekayaan Alam, BPPT dari 60 cekungan minyak yang terkandung dalam alam
Indonesia, sekitar 70 persen atau sekitar 40 cekungan terdapat di laut. Dari 40 cekungan itu 10 cekungan telah
diteliti secara intensif, 11 baru diteliti sebagian, sedangkan 29 belum
terjamah. Diperkirakan ke-40 cekungan itu berpotensi menghasilkan 106,2 milyar
barel setara minyak, namun baru 16,7 milyar barel yang diketahui dengan pasti,
7,5 milyar barel diantaranya sudah dieksploitasi. Sedangkan sisanya sebesar
89,5 milyar barel berupa kekayaan yang belum terjamah. Cadangan minyak yang
belum terjamah itu diperkirakan 57,3 milyar barel terkandung di lepas pantai,
yang lebih dari separuhnya atau sekitar 32,8 milyar barel terdapat di laut
dalam.
Energi Kelautan merupakan
energi non-konvensional dan termasuk
sumberdaya kelautan non hayati yang dapat diperbaharui yang memiliki
potensi untuk dikembangkan di kawasan pesisir dan lautan Indonesia. Keberadaan sumberdaya ini dimasa yang akan
datang semakin signifikan manakala energi yang bersumber dari BBM (bahan bakar
minyak) semakin menepis. Jenis energi kelautan yang berpeluang dikembangkan
adalah ocean thermal energy conversion
(OTEC), energi kinetik dari gelombang, pasang surut dan arus, konversi
energi dari perbedaan salinitas.
Perairan
Indonesia merupakan suatu wilayah perairan yang sangat ideal untuk
mengembangkan sumber energi OTEC. Hal ini dimungkinkan karena salah satu syarat
OTEC adalah adanya perbedaan suhu air
(permukaan dengan lapisan dalam) minimal 20°C dan intensitas
gelombang laut sangat kecil dibanding dengan wilayah perairan tropika lainnya.
Dari berbagai sumber pengamatan oseanografis, telah berhasil dipetakan bagian
perairan Indonesia yang potensial sebagai tempat pengembangan OTEC. Hal ini terlihat dari banyak laut, teluk
serta selat yang cukup dalam di Indonesia memiliki potensi yang sangat besar
bagi pengembangan OTEC. Salah satu pilot plant OTEC akan dikembangkan di
pantai utara Pulau Bali.
Sumber energi kelautan lainnya, antara lain energi yang
berasal dari perbedaan pasang surut, dan energi yang berasal dari gelombang. Kedua
macam energi tersebut juga memiliki potensi yang baik untuk dikembangkan di
Indonesia. Kajian terhadap sumber energi ini seperti yang dilakukan oleh BPPT
bekerjasama dengan Norwegia di Pantai Baron, D. I Yogyakarta. Hasil dari kegiatan ini merupakan masukan
yang penting dan pengalaman yang berguna dalam upaya Indonesia mempersiapkan
sumberdaya manusia dalam memanfaatkan energi non konvensional. Sementara itu, potensi pengembangan sumber
energi pasang surut di Indonesia paling tidak terdapat di dua lokasi, yaitu
Bagan Siapi-Api dan Merauke, karena di kedua lokasi ini kisaran pasang surutnya
mencapai 6 meter.Pemanfaatan sumberdaya kelautan secara berkelanjutan juga
dapat dilakukan terhadap jasa-jasa lingkungan, terutama untuk pengembangan pariwisata
dan pelayaran. Dewasa ini pariwisata
berbasis kelautan (wisata bahari) telah menjadi salah satu produk pariwisata
yang menarik dunia internasional. Pembangunan kepariwisataan bahari pada
hakekatnya adalah upaya untuk mengembangkan dan memanfaatkan objek dan daya
tarik wisata bahari yang terdapat di seluruh pesisir dan lautan Indonesia, yang
terwujud dalam bentuk kekayaan alam yang indah (pantai), keragaman flora dan
fauna seperti terumbu karang dan berbagai jenis ikan hias yang diperkirakan sekitar
263 jenis.
Potensi jasa lingkungan kelautan lainnya yang masih
memerlukan sentuhan pendayagunaan secara profesional agar potensi ini dapat
dimanfaatkan secara optimal adalah jasa transportasi laut (perhubungan
laut). Betapa
tidak, sebagai negara bahari ternyata pangsa pasar angkutan laut baik antar
pulau maupun antar negara masih dikuasai oleh armada niaga berbendera
asing. Menurut catatan Dewan Kelautan
Nasional, kemampuan daya angkut armada
niaga nasional untuk muatan dalam negeri baru mencapai 54,5 persen, sedangkan
untuk ekspor baru mencapai 4 persen, sisanya dikuasai oleh armada niaga asing.
Dengan melihat kinerja sektor kelautan dan perikanan
beberapa negara di atas, sudah sepatutnya bangsa Indonesia optimis akan peran
sektor tersebut dalam pembangunan ekonomi nasional di masa kini dan akan
datang.
Tantangan
Tantangan
yang diantisipasi pemerintah adalah perubahan lingkungan strategis. Tantangan globalisasi merupakan lingkungan strategis
baru yang mesti dihadapi bangsa Indonesia, yakni liberalisasi perdangangan
dunia, terutama menjelang pasar bebas Asia Tenggara (AFTA) dan WTO. Seperti
kita ketahui bersama, bahwa memasuki milenium baru, perdagangan produk
perikanan dan peternakan di pasar global
mengalami perubahan yang sangat mendasar, tidak saja karena akibat
perubahan permintaan dan penawaran tetapi juga disebabkan karena berbagai macam
perjanjian internasional, khususnya GATT/WTO, SPS/TBT, Code of Conduct for
Responsible Fisheries, CITES, dan lain sebagainya.
Dengan meningkatnya kesadaran konsumen untuk
mengkonsumsi makanan bermutu serta cepatnya pertumbuhan ekonomi dunia,
permintaan terhadap produk perikanan dan peternakan juga akan semakin
meningkat. Sehingga pola konsumsi pangan pun secara bertahap telah berubah
dari red meat ke white meat. Karena itu permintaan pasar
internasional terhadap produk pangan bermutu tinggi tersebut akan terus
meningkat, dan ini sekaligus merupakan tantangan tersendiri bagi negara-negara
di Asia Pasifik untuk secara dini melakukan langkah-langkah taktis untuk
merebut keuntungan dari peluang pasar tersebut.
Perdagangan
internasional khususnya untuk produk perikanan dan peternakan, saat ini masih
dihadapkan pada masalah hambatan tarif dan non tarif. Seperti diketahui bersama
bahwa diskriminasi tarif bea masuk di negara-negara maju terus berlangsung,
seperti Uni Eropa yang mengenakan tarif bea masuk untuk produk perikanan
Indonesia sebesar 7-24% yang tentu lebih tinggi dibandingkan untuk produk
perikanan dari negara-negara ACP (Africa, Carribea, and Pacific) yang hanya 0%. Perlakuan diskriminatif
seperti itu tidak hanya akan mengurangi keunggulan kompetitif dari produk
perikanan dan peternakan yang diekspor dari negara-negara Asia Pasifik, tetapi
juga akan mempengaruhi pertumbuhan ekonomi di kawasan tersebut. Dalam menyikapi
hal perdagangan internasional tersebut, negara-negara Asia Pasifik perlu
memantapkan common platform, khususnya bagi produk perikanan dan
peternakan.
Demikian
pula halnya dengan hambatan non tarif yang diterapkan oleh negara tujuan
ekspor, antara lain meliputi penerapan
standar/mutu dalam kaitannya dengan kesehatan, keamanan, keselamatan, serta
lingkungan. Penerapan Rapid Alert System for Food oleh Uni Eropa telah
mengakibatkan ditolaknya produk perikanan Indonesia seperti frozen
swordfish, frozen black tiger shrimps, chilled yellow tuna loins, tuna in oil,
tuna frpzen, dan shrimps raw headless karena mengandung
chloramphenicol, mercury, vibrio cholerae, histamine, enterobacteria, dan
salmonella. Begitu pula embargo udang kita karena dianggap melanggar ketentuan
penggunaan Turtle Excluder Device (TED)
Salah satu ancaman dalam menjamin keberlanjutan perikanan dunia saat ini adalah adanya praktek penangkapan ikan
secara illegal, unreported and
unregulated (IUU). Menurut Mr.
Ichiro Nomura, Assistant Director General
of the Fisheries Department, FAO,
keberlanjutan dunia perikanan dan ekosistemnya merupakan hal yang sangat
fundamental dari strategi pangan dunia dalam memasuki abad baru. Guna memenuhi
kebutuhan pangan dari manusia yang populasinya semakin meningkat, sektor
perikanan akan memainkan peran yang sangat penting dalam menyediakan lapangan
kerja, perdagangan nasional dan internasional serta menciptakan pluang bagi
meningkatnya pendapatan nasional.
Praktek IUU diperkirakan mencakup sampai 30 persen dari total
penangkapan ikan serta diindikasikan pula bahwa IUU mencapai 3 kali lebih
banyak dari tingkat penangkapan ikan yang diijinkan.
Dewasa ini di
Indonesia pemanfaatan sumberdaya ikan di ZEEI cukup tinggi, namun manfaat yang
diperoleh negara maupun bangsa Indonesia masih kecil. Kondisi tersebut terjadi
karena dari sekitar 7.000 (tujuh ribu) kapal
perikanan berbendera Indonesia yang memperoleh izin untuk beroperasi di
perairan ZEEI, ternyata + 70% masih dimiliki oleh pihak asing, terutama
Thailand, Filipina, Taiwan dan RRC. Ini merupakan ekses dari pelarangan impor
kapal ikan bekas dan Deregulasi Perikanan 1996, yang substansinya antara lain menutup
pemberlakuan sistem sewa (charter)
kapal perikanan asing hingga akhir tahun 1999.
Deregulasi Perikanan 1996 yang antara lain tertuang dalam
Keputusan Menteri Pertanian No. 508/Kpts/PL.810/96 Tentang Pengadaan Kapal
Perikanan dan Penghapusan Sistem Sewa Kapal Perikanan Berbendera Asing yang
telah diubah serta ditambah menjadi Keputusan Menteri Pertanian No.
391/Kpts/PL.810/4/99, awalnya bertujuan agar armada perikanan nasional dapat
berkembang, sehingga pemanfaatan sumberdaya ikan dapat dilakukan oleh bangsa
Indonesia sendiri.
Dalam perkembangannya tujuan deregulasi perikanan
tersebut nampaknya tidak dapat sepenuhnya tercapai, karena para pengusaha
perikanan nasional menghadapi kendala sumber pembiayaan untuk pengadaan kapal
baik yang berasal dari impor maupun produksi dalam negeri. Sebagian oknum
pengusaha perikanan menyiasati peraturan tersebut bersama mitra bisnis luar
negeri-nya, untuk memanfaatkan celah peraturan tersebut dengan merubah status
kapal ikan asing menjadi berbendera Indonesia.
Penyiasatan
tersebut antara lain dilakukan dengan modus
operandi sebagai berikut :
1.
Pihak asing seolah-olah memiliki hutang kepada mitra
bisnisnya di Indonesia. Melalui putusan pengadilan dengan delik perdata, pihak
asing tersebut diharuskan membayar hutangnya dengan menggunakan kapal ikan eks charter yang izinnya telah habis. Kapal
ikan tersebut seolah-olah menjadi miliki pengusaha dan berbendera Indonesia.
Berdasarkan data yang tersedia, kapal ikan asing yang berubah bendera dengan
cara seperti ini berjumlah kurang lebih 400 (empat ratus) unit.
2.
Kapal ikan eks charter atau kapal yang baru masuk dari
luar negeri, kemudian dikamuflase seolah-olah kapal produksi dalam negeri
melalui pembuatan dokumen kapal (Gross Akte, Surat Ukur, Sertifikat
Pembangunan, dll) di dalam negeri.
3.
Pengusaha Indonesia memasukkan kapal dari luar negeri
melalui prosedur impor sesuai ketentuan, namun transaksi impor tersebut tidak
benar-benar terjadi karena tidak dilakukan pembayaran.
4.
Pengusaha Indonesia melakukan impor kapal melalui prosedur
sesuai ketentuan, namun dengan harga yang dibuat semurah-murahnya.
Hal tersebut terjadi karena banyaknya instansi yang
mengeluarkan ijin sehingga menyebabkan berbagai kendala berupa, wewenang
tanggung jawab, birokrasi yang panjang, dan peluang-peluang manipulasi serta
saling lempar tanggung jawab. Berbagai surat ijin yang dikeluarkan beberapa
instansi dan diperlukan untuk penangkapan ikan adalah sebagai berikut :
1.
Surat tanda pendaftaran/kebangsaan (didasari oleh surat ukur dan
Gross Akte) dikeluarkan oleh Perhubungan Laut.
2.
Sertifikat kelaikan dan pengawakan kapal (Perhubungan Laut).
3.
Paspor/Seamen Book/DAHSUSKIM bagi
ABK WNA (Imigrasi).
4.
Ijin Kerja Tenaga Asing (IKTA) (Depnakertrans).
5.
Surat Ijin Operasional Perusahaan Non Pelayaran (SIOPNP)
(Perhubungan Laut).
6.
Surat Penangkapan Ikan (SPI) (Ditjen Perikanan Tangkap/DKP).
7.
Ijin Usaha Perikanan (IUP) (Ditjen Perikanan Tangkap/DKP).
8.
Surat Ijin Berlayar (SIB) (Ditjen Perhubungan Laut).
9.
Pemberitahuan Impor Barang
Tertentu (PIBT) bagi KII berasal dari
KIA (Ditjen Bea Cukai).
10.
Lain-lain surat ijin/Sertifikat.
Adanya
praktek penangkapan ikan oleh kapal ikan asing tersebut menyebabkan negara
mengalami kerugian, baik kerugian ekonomi maupun non ekonomi.
Akibat
mekanisme pengalihan status kapal ikan asing seperti itu, negara mengalami kerugian sebagai berikut :
1.
Penangkapan Ikan di ZEEI dan ekspornya tidak termonitor (diperkirakan 4.000 kapal) jumlah kerugian US$
1,200,000,000.
2.
Kapal-kapal eks impor dengan penetapan pengadilan negeri
(sengketa perdata) sebanyak 475 buah kapal. Jumlah kerugian US$ 142,500.000.
3.
Kapal-kapal illegal yang melanggar daerah penangkapan
diperkirakan 1.275 unit kapal, kerugian negara US$. 573,750,000.
4.
Kapal eks impor sebanyak 650 unit dengan ABK tenaga asing diperkirakan 6.500 orang x US$ 1.200, kerugian US$
7.800.000.
Dengan demikian total kerugian negara US$
1,924,050,000. Selain itu, berdasarkan laporan FAO (2001) jumlah ikan yang
ditangkap secara llegal mencapai kurang lebih 1,5 juta ton setiap tahunnya,
dengan nilai kerugian mencapai US$ 1 – 4 miliar .
Namun
demikian kerugian yang justru lebih besar adalah terancamnya kedaulatan bangsa
serta menurunnya harga diri bangsa di hadapan negara-negara lain. Bagaimana pun
praktek perikanan ilegal yang selama ini marak terjadi menunjukkan bahwa bangsa
lain telah memandang rendahnya martabat bangsa Indonesia karena bangsa
Indonesia dianggap tidak mampu menjaga kekayaan sumberdaya alamnya di
laut.Untuk mengatasi permasalahan praktek perikanan ilegal, ada beberapa
langkah yang perlu diambil pemerintah baik yang bersifat jangka panjang maupun
jangka pendek, yakni : (1) penguatan armada nasional, (2) penataan
perijinan, (3) peningkatan pengawasan
dan penegakan hukum.
(1) Penguatan
Armada Nasional
Dalam jangka
panjang, ada satu prinsip yang mesti dipegang, bahwa bagaimana pun juga nelayan
mesti menjadi tuan rumah di lautnya sendiri. Dalam perikanan tangkap salah satu
langkah yang perlu dilakukan adalah peningkatan kemampuan armada perikanan,
terutama yang dimiliki oleh nelayan skala kecil sehingga mampu beroperasi di
wilayah offshore, baik untuk kepentingan ekonomi maupun fungsi sabuk
pengamanan (security belt) untuk melengkapi upaya pengawasan dan
pengamanan yang dilakukan oleh aparat. Pada saat yang sama, secara bertahap
tetapi pasti perlu dilakukan optimalisasi intensitas penangkapan (jumlah
nelayan atau jumlah kapal ikan) pada setiap wilayah perairan sesuai potensi
lestarinya
(2) Penataan
Perijinan
Penataan perijinan
mencakup : (a) Penertiban IUP dan SPI, (b) Registrasi Ulang, (c) Penertiban Ijin
Kapal Asing, serta (d) Mengintegrasikan beberapa perijinan kapal ikan ke DKP.
Pertama, Penertiban IUP dan SPI. Sampai dengan Januari 2002 telah ditertibkan
Surat Ijin sebagai berikut :
1.
Izin Usaha Perikanan (IUP) dicabut karena pelanggaran
administrasi sebanyak 93 IUP
2.
Surat Izin Penangkapan Ikan (SPI) dicabut sebanyak 154 SPI
(pelanggaran dan keputusan pengadilan)
Kedua, Registrasi Ulang, yang diperlukan untuk memastikan jumlah kapal yang ada
dikaitkan dengan surat izin yang pernah dikeluarkan, serta sejauh mana pemanfaatan perikanan pada
masing-masing wilayah pengelolaan
setara dengan potensi ikan yang ada.
1.
IUP : sampai
dengan Januari 2002 dari sekitar 1.800 IUP yang telah dikeluarkan berhasil
didaftar ulang kembali sebanyak 566
IUP, diterbitkan IUP baru sebanyak 98.
2.
SPI : telah
didaftar ulang 3887 SPI, diterbitkan
baru 163 SPI
3.
Terhadap pendaftaran IUP dan penerbitan SPI baru dikenakan pungutan perikanan (PPP
dan PHP) sesuai dengan PP 142/2000 sampai dengan saat ini terkumpul pungutan
sebesar Rp. 43,2 milyar (29,4%) dari
total pungutan berdasarkan SPP terbit sebesar Rp.146,8 milyar
4.
SPI baru dilengkapi dengan sistem barcode, diharapkan
kecil kemungkinan untuk dipalsukan / disalahgunakan.
5.
Dalam melaksanakan registrasi dilakukan cek fisik kapal
walaupun tidak bisa dilaksanakan 100 % sehubungan dengan keterbatasan waktu,
tenaga manusia, dan dana yang ada.
6.
Untuk itu diberikan toleransi apabila dikemudian hari
masih terdapat ketidakcocokan atau ketidakabsahan dokumen-dokumen perijinan
kapal, diadakan peninjauan ulang terhadap SPI yang telah diterbitkan.
7.
Pengecekan fisik kapal dan dokumen-dokumen dilakukan
dengan verifikasi awal oleh Tim Terpadu Penanggulangan Penyalahgunaan Perijinan
Kapal Ikan yang anggotanya terdiri berbagai instansi terkait.
8.
Pendaftaran sistem perijinan dibantu oleh pihak-pihak
Sucofindo secara computerized dengan menggunakan kelembagaan yang ada
baik di Pusat maupun di daerah.
9.
Terhadap perusahaan yang tidak mendaftar ulang IUP dan SPI
atau yang terlambat dari batas waktu yang ditentukan akan dikenakan sanksi
(peringatan, denda, pencabutan).
Ketiga, Penertiban ijin kapal asing. Telah diterbitkan Keputusan Menteri
Nomor 60/Kepmen/2001 tentang Pembenahan terhadap status kapal asing atau eks
asing yang dibarengi dengan pemberian peluang kembali beroperasinya kapal ikan
asing melalui skema : usaha patungan (joint venture), beli angsur (purchase on
installment), atau lisensi (lisencing), sepanjang masih terdapat surplus JTB. Hingga
saat ini terdapat indikasi terjadinya surplus dalam pemanfaatan sumberdaya ikan
di perairan ZEEI dari JTB (jumlah tangkapan yang diperbolehkan) sebesar 1,545
juta ton pertahun. Berdasarkan ketentuan yang berlaku secara internasional
sebagaimana tertuang dalam Pasal 62 UNCLOS (United
Nations Convention on the Law of the Sea) tahun 1982, Pemerintah Indonesia
harus memberi kesempatan kepada negara lain untuk memanfaatkan surplus
sumberdaya ikan di ZEEI.
Keempat, Mengintegrasikan perijinan ke DKP. Untuk
meningkatkan efisiensi serta efektivitas pengawasan terhadap izin kapal
penangkapan ikan, perlu upaya mengintegrasikan seluruh proses peijinan ke satu
instansi, yaitu DKP. Hal ini juga selaras dengan pengalaman berbagai negara
yang hanya memiliki satu pintu yang bertanggungjawab terhadap perijinan kapal
penangkap ikan. Beberapa jenis ijin yang selama ini masih ditangani
instansi lain adalah :
1.
Surat tanda pendaftaran/kebangsaan (didasari oleh surat ukur dan
Gross Akte) ( Perhubungan Laut).
2.
Sertifikat kelaikan dan pengawakan kapal (Perhubungan Laut).
3.
Surat Ijin Operasional Perusahaan Non Pelayaran (SIOPNP)
(Perhubungan Laut).
4.
Surat Ijin Berlayar (SIB) (Perhubungan Laut).
5.
Paspor/Seamen Book/DAHSUSKIM bagi
ABK WNA (Imigrasi).
6.
Ijin Kerja Tenaga Asing (IKTA) (Depnakertrans).
7.
Pemberitahuan Impor Barang
Tertentu (PIBT) bagi KII berasal dari
KIA (Ditjen Bea Cukai).
8.
Lain-lain surat ijin/Sertifikat.
Dari ijin
yang dikeluarkan isntasi lain di atas, beberapa ijin yang perlu dialihkan ke
DKP adalah ijin-ijin yang dikeluarkan
Departemen Perhubungan.
(3)
Peningkatan Pengawasan dan Penegakan Hukum
Kegiatan
pengawasan di lapang sangat penting untuk menanggulangi praktek penangkapan
ikan secara ilegal. Saat ini pemerintah telah melakukan berbagai upaya pengawasan
serta penegakan hukum, sebagai berikut :
Pertama, Koordinasi pengawasan
dan penegakan hukum dengan TNI AL, POLRI, dan SISWASMAS. Selama kurun waktu TA
2000-2001 terdata sebanyak 186 buah kasus baik yang sudah dapat diselesaikan
maupun yang memerlukan tindak lanjut, sehingga mampu menyelamatkan kerugian
negara sebesar Rp 135.558.700.000,00.
Kedua,
Pengembangan
VMS/MCS (Vessel Monitoring
System/Monitoring Controlling and Surveillance) untuk meningkatkan pengawasan
dan pengendalian kapal ikan. Dalam kaitan ini DKP
telah melakukan pengkajian terhadap beberapa proposal pengembangan VMS di
Indonesia, antara lain dari USA, Australia, dan Perancis. Pada tanggal 2
Januari 2002 DKP telah menerima surat dari Pemerintah Perancis mengenai
persetujuan soft loan untuk VMS sebesar 9,38 million Euros.
Ketiga, Perlunya diciptakan mekanisme peradilan cepat di laut sehingga dapat
efektif dalam menanggulangi praktek perikanan ilegal.
Keempat, Perlunya sistem
insentif yang wajar yang diberikan kepada aparat penegak hukum yang berhasil
dalam tugasnya. Hal ini karena selama ini sistem insentif tersebut belum
diterapkan dalam bidang perikanan.
Agar pembenahan tersebut dapat dilakukan secara
efektif maka diperlukan dukungan dari instansi terkait, antara lain yaitu :
1.
Departemen Perhubungan dalam hal ini Ditjen. Perhubungan Laut
segera meneliti kembali dokumen-dokumen kapal perikanan yang proses
penerbitannya tidak sesuai dengan ketentuan termasuk ketidak sesuaian secara
fisik, kemudian mencabut dokumen-dokumen kapal perikanan yang terbukti
bermasalah. Selanjutnya wewenang penerbitan dokumen perikanan sebagai sarana
penangkapan ikan sebaiknya diterbitkan oleh Dep. Kelautan dan Perikanan
selaku Management Authority seperti halnya di negara Jepang, Malaysia
dan beberapa negara lainnya.
2.
Pihak Depnakertrans agar melaksanakan pengawasan ketat terhadap
tenaga kerja asing yang bekerja dengan tidak menggunakan izin (IKTA) dan tidak
membayar pungutan sesuai dengan ketentuan.
3.
Pihak Imigrasi ( Dep Kehakiman dan HAM) agar
menyelesaikan pengawasan terhadap penggunaan paspor yang digunakan oleh tenaga
kerja asing di kapal-kapal perikanan.
4.
TNI-AL dan POLRI agar melakukan pengawasan, penertiban dan
penegakan hukum di lapangan secara tegas sesuai perundangan-undangan yang
berlaku. Penyidik yang berwewenang agar menggiring perkara kegiatan perikanan
kearah tuntutan yang berat
5.
POLRI selaku Korwas PPNS Perikanan agar dapat memberikan bimbingan
dan petunjuk teknis penyidikan kepada PPNS Perikanan untuk dapat meningkatkan
kinerjanya dalam melaksanakan proses penyidikan secara proporsional dan lebih
mandiri.
6.
Pihak Kejaksaan Agung agar dapat mengarahkan Jaksa Penuntut Umum
untuk melakukan penuntutan secara maksimal terhadap pelaku-pelaku tindak pidana
perikanan dengan sangkaan pasal yang memberatkan, sehingga kapal-kapal
penangkap ikan ilegal yang digunakan untuk melakukan pelanggaran/kejahatan
perikanan dapat dirampas untuk negara.
7.
Mahkamah Agung agar dapat mencegah proses pengadilan yang
direkayasa untuk memutuskan delik perdata pembayaran utang oleh mitra pengusaha
asing dengan kapal, yang mengakibatkan berubahnya kapal asing tersebut menjadi
berbendera Indonesia padahal kenyataannya sebenarnya dalam kepemilikan orang
asing. Memonitor proses perkara pengadilan pidana perikanan agar kelahatan
perikanan selalu mendapat sangsi yang maksimal.
8.
Departemen Keuangan agar membantu dalam proses penggunaan
sebagian PNBP yang berasal dari pengelolaan bidang perikanan, sehingga dapat
sebagai dana untuk pengawasan, penegakan hukum dan insentif bagi aparat-aparat
di lapangan yang berhasil melaksanakan tugasnya dengan baik.
Dalam
menangani illegal fishing , negara
maju dan berkembang telah sepakat untuk mencegahnya dan menumpasnya . Bahkan
dalam mencegahnya akan dilakukan upaya memboikot produk perikanan yang
dicurigai berasal dari praktek Illegal
fishing. Paragraph 30 dari Draft Plan
of Implementation for the World Summit on Sustainable Development , Commission
on Sustainable Development acting as the preparatory committee for the World
Summit on Sustainable Development pada Sesi ke 4, 27 Mei – 7 Juni 2002 di
Bali, telah menyepakati bahwa dalam
rangka mendukung tercapainya sustainable
fisheries antara lain dilakukan upaya seksama untuk menghilangkan peluang
pemberian subsidi yang diperkirakan berkontribusi terhadap praktek illegal, unreported and unregulated fishing
serta terjadinya overcapacity.
Prospek
pasar produk kelautan dan perikanan dimasa akan datang menunjukkan pangsa yang
terus meningkat. Hal ini disebabkan oleh peningkatan jumlah penduduk dunia yang
akan terus memperbesar permintaan pangan. Manusia pun saat ini semakin sadar
bahwa kebutuhan gizi hanya akan terpenuhi dari produk pangan yang menyediakan
kandungan protein yang tinggi dan
kolesterol rendah. Disamping kebutuhan pangan, manusia juga membutuhkan
kelengkapan hidup yang lain seperti kosmetika dan obat-obatan. Kebutuhan-kebutuhan
tersebut banyak terkandung di dalam sumberdaya hayati di perairan Indonesia.
Upaya
menjadikan kelautan dan perikanan sebagai prime mover pembangunan
ekonomi sudah sepatutnya dilakukan. Karena, sektor ini memiliki keterkaitan ke
depan dan ke belakang (backward and forward linkage) yang kuat, dan
mampu menyerap banyak tenaga kerja. Untuk mewujudkannya, berdasarkan kisah
sukses negara lain, diperlukan pendekatan science based yang diimbangi dengan pendekatan community
based. Artinya, dibutuhkan banyak pendekatan scientific untuk mengelola kelautan dan perikanan ini serta secara
praktis mesti selalu melibatkan partisipasi masyarakat. Disinilah dibutuhkan
dukungan banyak dari lembaga riset dan perguruan tinggi serta organisasi
kemasyarakatan untuk mewujudkan ketangguhan sektor kelautan dan perikanan
secara riil.
Negara
maju dan berkembang telah sepakat untuk mencegah terjadinya praktek Illegal, Unreported and Unregulated Fishing
( IUU) dan menumpasnya . Bahkan dalam mencegahnya akan dilakukan upaya untuk
menghilangkan tersalurkannya subsidi bagi kegiatan perikanan yang dapat
mengarah terjadinya IUU serta dalam menumpasnya akan memboikot produk perikanan yang dicurigai berasal dari praktek Illegal fishing. Management cost akan
segera menjadi issue sentral dalam
pembangunan perikanan di Indonesia. Management cost di Newfoundland sekitar
15 -26 % dari total manfaat, di Norwegia sekitar 8 % dan di Islandia sekitar 3
%.
Hingga
saat ini belum diketahui dengan pasti berapa besar management cost dalam mengelola sumberdaya perikanan Indonesia agar
sustainable.Sepatutnyalah dalam
mensukseskan pembangunan kelautan dan perikanan perlu ditingkatkan jalinan
kerjasama yang erat antar sektor/instansi pemerintah, kerjasama dengan
pemerintah daerah, perguruan tinggi, dunia usaha, serta LSM dan organisasi
kemasyarakatan nasional dan Internasional guna mengatasi management cost. Dengan
demikian diharapkan kebijakan dan program yang dikembangkan mampu
mendayagunakan potensi sumberdaya kelautan dan perikanan daerah guna kemajuan
dan kesejahteraan rakyat tidak saja untuk generasi saat ini, tetapi juga
generasi – generasi yang akan datang.
Daftar Acuan
Commission
on Sustainable Development acting as the preparatory committee for the World
Summit on Sustainable Development pada Sesi ke 4, 27 Mei – 7 Juni 2002 , Bali, Draft Plan of Implementation for the World
Summit on Sustainable Development ,
Dahuri,Rokhmin,2002,
Kebijakan Pengelolaan Sumberdaya Pesisir dan Laut bagi Pembangunan
Berkelanjutan, Makalah disampaikan pada Seminar Nasional Perikanan 2002
Universitas Padjajaran bertema Paradigma Baru Pemberdayaan Masyarakat Pesisir,
12 Oktober 2002 di Bandung.
Dahuri,Rokhmin,2002,Kebijakan
Pembangunan Kelautan dan Perikanan serta Strategi Menanggulangi Praktek Illegal Fishing
FAO , 2001, Illegal Fishing tops the agenda as world
fisheries authorities meet in Rome,
http://eastfish.org
dikunjungi 26 November 2002