©
2003 Andi
Masnang Posted:
14 May 2003
Makalah
Pengantar Falsafah Sains (PPS702)
Dr Bambang Purwantara
KONVERSI PENGGUNAAN LAHAN
KAWASAN HULU DAN DAMPAKNYA TERHADAP KUALITAS SUMBERDAYA AIR DI KAWASAN HILIR
Oleh:
A262020061/DAS
E-mail: andi_masnang@yahoo.com
ABSTRAK
Kawasan hulu mempunyai peranan penting yaitu selain
sebagai tempat penyedia air untuk dialirkan ke daerah hilirnya bagi kepentingan
pertanian, industri dan pemukiman, juga perperan sebagai pemelihara
keseimbangan ekologis untuk sistem penunjang kehidupan. Kemampuan penggunaan atau pemanfaatan lahan
hulu sangat terbatas, sehingga kesalahan pemanfaatan akan berdampak negatif
pada daerah hilir. DAS merupakan penghubung antara kawasan hulu dengan kawasan
hilir, sehingga pencemaran di kawasan hulu akan berdampak pada kawasan hilir.
Total suspended solid (TSS) dapat meningkat secara tiba-tiba apabila DAS
mengalamipenurunan penutupan hutan dibawah 30% dan apabila terjadi pembukaan
lahan pertanian lebih dari 50%. Jenis aktivitas utama yang menyebabkan
degradasi kualitas air DAS adalah kegiatan domestik, industri dan kegiatan
pertanian.
Kata
Kunci: DAS, Hulu, hilir,Penggunaan lahan,sungai,kualitas air.
Pendahuluan
Semakin besar intensitas kegiatan pembangunan, maka
terjadi pula peningkatan eksploitasi sumberdaya alam yang bersifat multi-use
(pertanian, perikanan, pariwisata, industri, pertambangan, dll), sehingga
terjadi konflik kepentingan yang memicu kerusakan lingkungan.
Pemahaman dalam permasalahan DAS dilakukan melalui
suatu pengkajian komponen-komponen DAS dan penelusuran hubungan antar komponen
yang saling berkaitan, sehingga tindakan pengelolaan dan pengendalian yang
dilakukan tidak hanya bersifat parsial dan sektoral, tetapi sudah terarah pada
penyebab utama kerusakan dan akibat yang ditimbulkan.
Peningkatan jumlah penduduk, khususnya yang
berdomisili di sekitar DAS akan diikuti oleh peningkatan kebutuhan hidup yang
dipenuhi melalui pemanfaatan sumberdaya alam. Kedua hal tersebut akan
mempengaruhi perubahan perilaku manusia untuk memenuhi kebutuhan hidupnya.
Perubahan perilaku yang bersifat negatif akan menimbulkan tekanan terhadap
lingkungan fisik, yang memiliki keterbatasan dikenal sebagai daya dukung
lingkungan (DDL). Jika tekanan semakin besar maka daya dukung lingkungan pun
akan menurun.
Secara
nasional ketersediaan sumber daya air memang masih sangat besar, tetapi tidak
semuanya dapat dimanfaatkan. Akibat pengelolaan lahan dan hutan yang kurang
bijaksana, analisis neraca air dan water demand-supply wilayah
menunjukkan bahwa ada kecendrungan semakin tidak meratanya sebaran dan
ketersediaan air menurut waktu atau musim dan sepanjang antara lokasi sumber
dengan pusat-pusat kebutuhan air meningkat. Hal tersebut selain meningkatkan
frekuensi dan luas ancaman kekeringan dan banjir juga meningkatkan sengketa dan
persaingan dalam pemanfaatan sumber daya air (Pawitan, dkk 1996). Secara
fisik sengketa dan persaingan kebutuhan air akan meningkatkan intervensi
manusia terhadap tatanan hidrologi dan sumber daya air. Akibatnya adalah
meningkatnya kepekaan sumber daya air terhadap fluktuasi dan goncangan iklim,
serta turunnya kualitas air akibat pencemaran oleh berbagai kegiatan.
Dari uraian di atas menunjukkan
bahwa aktivitas penggunaan lahan dapat mempengaruhi kualitas lingkungan dalam
hal ini adalah kualitas sumber daya air.
Tulisan ini dibuat untuk memberikan
gambaran mengenai dampak perubahan penggunaan lahan pada kawasan hulu terhadap
kualitas sumberdaya air di kawasan hilir.
Peran DAS dalam
Keterkaitan Kawasan Hulu-Hilir.
Daerah
aliran sungai merupakan penghubung
antara kawasan hulu dengan kawasan hilir, sehingga pencemaran di kawasan
hulu akan berdampak pada kawasan hilir.
DAS meliputi semua komponen lahan, air
dan sumberdaya biotik yang merupakan suatu unit ekologi dan mempunyai
keterkaitan antar komponen. Dalam suatu
ekosistem DAS terjadi berbagai proses interaksi antar berbagai komponen yaitu
tanah, air, vegetasi dan manusia.
Sungai sebagai komponen utama DAS mempunyai potensi
seimbang yang ditunjukkan oleh daya guna sungai tersebut antara lain untuk
pertanian, energi, dan lain-lain. Sungai juga mampu mengakibatkan banjir,
pembawa sedimentasi, pemabawa limbah (polutan dari industri, pertanian,
pemukiman dan lain-lain). Oleh karena itu, pengelolan DAS ditujukan untuk
memperbesar pemanfaatannya dan sekaligus memperkecil dampak negatifnya.
Supriadi (2000) menyatakan bahwa kawasan hulu
mempunyai peran penting yaitu selain sebagai tempat penyedia air untuk
dialirkan ke daerah hilirnya bagi kepentingan pertanian, industri dan
pemukiman, juga berperan sebagai pemelihara keseimbangan ekologis untuk sistem
penunjuang kehidupan. Dalam terminologi ekonomi, daerah hulu merupakan faktor
produksi dominan yang sering mengalami konflik kepentingan penggunaan lahan
untuk kegiatan pertanian, pariwisata, pertambangan, pemikiman dan lain-lain.
Kemampuan pemanfaatan lahan hulu sangat terbatas, sehingga kesalahan
pemanfaatan akan berdampak negatif pada daerah hilir. Konservasi daerah hulu
perlu mencakup aspek-aspek yang berhubungan dengan produksi air dan konservasi
itu sendiri. Secara ekologis, hal
tersebut berkaitan dengan ekosistem tangkapan air yang merupakan rangkaian
proses alami suatu siklus hidrologi yang memproduksi air permukaan dalam bentuk
mata air, aliran air dan sungai. Menurut Sugandhy 1999, jika dihubungkan dengan
penataan ruang wilayah, maka alokasi ruang dalam rangka menjaga dan memenuhi
keberadaan air, kawasan resapan air, kawasan pengamanan sumber air permukaan,
kawasan pengamanan mata air, maka minimal 30 % dari luas wilayah harus
diupayakan adanya tutupan tegahan pohon yang dapat berupa hutan lindung, hutan
produksi atau tanaman keras, hutan wisata, dan lain-lain.
Hasil
penelitian Deutsch and Busby (2000) menunjukkan bahwa total suspended solid
(TSS) dapat meningkat secara tiba-tiba apabila suatu sub daerah aliran sungai
mengalami penurunan penutupan hutan dibawah 30% dan apabila terjadi pembukaan
lahan pertanian lebih dari 50%.
Kualitas
sungai merupakan indikator kondisi sungai apakah masih dalam keadaan baik atau
tercemar. Pencemaran sungai
didefinisikan sebagai perubahan
kualitas suatu perairan akibat kegiatan manusia, yang pada gilirannya akan
mengganggu kehidupan manusia itu sendiri ataupun makhluk hidup lainnya
(Kupchella dan Hyland, 1993 dalam Anna, 2001). Perubahan tersebut dapat disebabkan oleh senyawa yang masuk
kealiran sungai yang bergerak ke hilir bersama aliran air atau tersimpan di
dasar, berakumulasi (khususnya pada endapan) dan suatu saat dapat juga terjadi
pencucian atau pengenceran. Senyawa
tersebut utamanya yang beracun berakumulasi dan menjadi suatu konsentrasi
tertentu yang berbahaya bagi mata
rantai kehidupan.
Beberapa
jenis aktivitas utama yang menimbulkan pencemaran sungai antara lain (Haslam,
1992 dalam Anna, 2001) (1) kegiatan domestik, (2) kegiatan industri dan (3) kegiatan pertanian; terutama akibat
penambahan pupuk dan pembasmi hama, dimana senyawa-senyawa yang terdapat di
dalamnya tidak mudah terurai walaupun dalam jumlah yang sedikit, tetapi justru
aktif pada konsentrasi yang rendah.
Selain itu, sedimen termasuk pemncemaran yang cukup besar ketika terjadi
penebangan pohon-pohonan, pembuatan parit-parit, perambahan huatan, dan
lain-lain. Belum lagi, efluen organik
yang dihasilkan oleh peternakan dapat menyebabkan pencemaran yang cukup
serius. Zat hara tanaman (garam-garam
nitrat dan fosfat yang larut dalam air) , yang berasal dari penguraian limbah
organik seperti limbah cair atau pelepasan pupuk nitrat, yang jika berlebihan
dapat mengakibatkan eutrofikasi.
Penggunaan lahan
dapat berdampak terhadap kualitas air, yang dapat berpengaruh negatif, dan pada
beberapa kasus dapat berdampak positif terhadap penggunaan air di daerah
hilir. Pengaruh-pengaruh yang dapat
ditimbulkan termasuk perubahan dalam sedimen dan konsentrasi hara, garam-garam,
logam dan agrokimia, oleh patogen dan perubahan regime temperatur (Kiersch,
2000).
Gilliam et al.,( 1985 dalam
Logan, 1990) melaporkan bahwa perbedaan tipe penggunaan lahan dapat
mempengaruhi besarnya kehilangan nitrogen yang masuk dalam drainase permukaan,
misalnya, yang berasal dari kawasan hutan di Virginia Barat jauh lebih kecil
yaitu 0.8 kg/ha/th dibanding pada penggunaan lahan pertanian dengan vegetasi
jagung di Karolina Utara sebesar 25 kg/ha/th.
Deforestasi
dapat meningkatkan erosi, di Malaysia aliran permukaan yang disebabkan oleh
penebangan dapat membawa sedimen 8-17 kali lebih besar dibanding sebelum
penebangan (Falkenmark dan Chapman, 1989 dalam Kiersch, 2000).
Sedimen dapat mengakibatkan polusi dalam dua bentuk
yaitu secara fisik dan secara kimia.
Polusi secara fisik termasuk sifat turbuditas sedimen (pembatasan
penetrasi matahari) dan sedimentasi (pengurangan kapasitas waduk di
hilir). Polusi kimia oleh sedimen
misalnya pengikatan logam-logam dan phospor yang bersifat kimia organik
hidrophobik.
Menurut
Arsyad (2000) kualitas air menyatakan tingkat kesesuaian air untuk dipergunakan
bagi pemenuhan tertentu bagi kehidupan manusia, seperti untuk mengairi tanaman,
minuman ternak dan kebutuhan langsung untuk minum, mandi mencuci dan
sebagainya. Kualitas air
ditentukan oleh kandungan sedimen tersuspensi dan bahan kimia yang terlarut di
dalam air tersebut.
Pengaruh sedimen yang tersuspensi
ditentukan oleh sifat sedimen itu sendiri dan keadaan tanah tempat sedimen
terendapkan. Sedimen yang berasal dari
daerah yang subur akan mempersubur dan
memperbaiki tekstur tanah berpasir tempatnya mengendap. Akan tetapi sedimen yang berasal dari daerah
miskin dan mengalami erosi yang parah akan memiskinkan tanah yang diendapinya,
dan akan meninggikan permukaan tanah serta dapat mengurangi permeabilitas
tanah. Air yang berasal dari bawah
tanah tidak mengandung sedimen yang dapat memberikan dampak negatif seperti
yang dikemukakan di atas. Air yang
berasal dari reservoir biasanya juga kurang mengandung sedimen.
Bahan-bahan kimia yang terkandung di
dalam air mempengaruhi kesesuaian air bagi pemenuhan banyak keperluan
manusia. Sifat air irigasi yang
terpenting yang mempengaruhi
kesesuaiannya untuk irigasi adalah (1) konsentrasi total garam terlarut,
(2) perbandingan natrium terhadap kation lainnya, (3) konsentrasi unsur-unsur
secara potensia merupakan racun bagi tanaman, dan (4) konsentrasi bikarbonat
sehubungan dengan konsentrasi kalsium dan magnesium.
Sistem Pertanian dengan masukan pupuk
dan pestisida tinggi berakibat buruk terhadap kelestarian lingkungan. Sebaliknya sistem pertanian dengan
masukan eksternal rendah menekankan peningkatan efisisensi penggunaan
masukan (antara lain pupuk, pestisida), dengan mempertimbangkan
kondisi/ketersediaan sumber daya alam, memanfaatkan mekanisme penambatan N oleh
tanaman, daur ulang sisa-sisa tanaman sebagai sumber unsur hara, serta
pemanfaatan musuh-musuh alami hama dan penyakit tanaman.
Efisiensi penggunaan pupuk terutama
nitrogen telah berhasil menekan kehilangan pupuk yang berpotensi mencemari
lingkungan. Penempatan pupuk di lapisan
reduksi meningkatkan efisiensi penggunaan pupuk; pemberian pupuk N susulan
berdasarkan penggunaan skala warna daun padi dapat menghemat pemupukan N. Pengembalian jerami ke dalam tanah menghemat
penggunaan pupuk kalium.
Penggunaan pupuk hijau telah dikenal
petani sebelum diperkenalkan pupuk buatan pada tahun 1950-an, para petani telah
menggunakan pupuk hijau, Crotalaria, untuk memupuk padi sawah. Simbiosa Azolla dengan Anabaena
mampu menambat N sebanyak 1.4 kh/ha/hari di sawah (Watanabe et al.
1981 dalam Sumarno, dkk. 2000),
sehingga diperkirakan dapat memberikan sumbangan N rata-rata 60 kg
N/ha. Sumbangan N dari pupuk hijau
secara nyata dapat mengurangi masukan N eksternal dari pupuk buatan yang
relatif mahal. Penggunaan pupuk hijau meliputi
areal 6.5 juta ha di India, diantaranya menggunakan Crotalaria juncea, Sesbania
aculata, Vigna radiata, dan Vigna sinensis. Pupuk hijau menyumbang 40 kg N/ha, dan
setiap ton pupuk hijau dapat meningkatkan hasil padi rata-rata 40 kg/ha
(Sumarno, dkk. 2000).
Usaha
pertanian modern pada umumnya mengutamakan pemacuan produktivitas sumber daya lahan dengan menggunakan sarana
produksi anorganik yang berasal dari luar agroekosistem pertanian. Sebagai gambaran, dalam tahun 1994-1998
penyaluran pupuk urea, SP36, ZA, dan KCl mencapai 5.4 juta ton/tahun (PT Pusri
1999 dalam Sumarno,2000).
Penggunaan pestisida selama 20 tahun terakhir (1979-1998) meningkat
sepuluh kali atau 1000 % (Soejitno dan Ardiwinata 1999 dalam Sumarno,
2000).
Pupuk
anorganik sumber hara N, P, K dan hara lain sebaiknya hanya bersifat
suplementasi terhadap hara alamiah yang telah ada dalam tanah. Lahan pertanian perlu dipertahankan dan
ditingkatkan kekayaan hara yang terkandung di dalamnya dengan pencegahan erosi
permukaan, pengembalian bahan organik berasal dari residu tanaman, penambahan
pupuk kandang dan kompos, penanaman dan pembenaman tanaman leguminosa dan
pengkayaan populasi mikroba yang bermanfaat.
Tanah yang secara alamiah kurang mengandung mineral hara, perlu
dilakukan ameliorasi menggunakan bahan yang kaya mineral yang dapat bertahan
lama, seperti batuan fosfat alam, kapur pertanian, dolomit, dan lain-lain
Peningkatan
efisiensi hara dilakukan dengan berbagai teknik dan bentuk pupuk yang tepat,
cara dan waktu pemberian, serta jenis dan dosis pupuk sesuai yang diperlukan
(Partohardjono, 1999 dalam Sumarno dkk., 2000). Teknik pertanian preskriptif atau prescription
farming pada dasarnya bertujuan untuk efisiensi pemupukan dan sekaligus
mengurangi terjadinya cemaran yang berasal dari pupuk.
Cemaran Residu Agrokimia
Bahan
agrokimia yang masuk ke dalam lahan pertanian terutama adalah pupuk, pestisida,
fungisida, dan herbisida. Efisiensi
penggunaan pupuk nitrogen untuk tanaman sereal diperkirakan hanya 33% (Raun dan
Johnson, 1999 dalam Sumarno, 2000) atau pada padi sawah sebesar 40% (De Datta, 1981 dalam Sumarno,
2000). Sisa dan kehilangan nitrogen
yang diberikan dapat berupa emisi gas N2O,
denitrifikasi, hanyut oleh aliran air, volatilisasi, dan pelarutan ke lapisan
tanah yang lebih dalam atau dalam bentuk Nitrit berperan sebagai pencemar
air.
Perubahan
penggunaan lahan dapat mengubah kandungan hara pada permukaan dan air tanah,
khususnya level nitrogen (N) dan phospor (N).
Deforestasi dapat meningkatkan konsentrasi nitrat (NO3) dalam
air dan dekomposisi material tanaman dan menurunkan jumlah hara yang dibutuhkan
tanaman. Konsentrasi nitrat dalam
aliran permukaan catchmen yang terjadi deforestasi dapat 50 kali lebih tinggi
dari pada catchment pada hutan alami pada beberapa tahun (Falkenmark and
Chapman, 1989; Brooks et al. 1991 dalam Kiersch, 2000))
Aktivitas
pertanian dapat perperanan penting terhadap meningkatnya pemasukan nirogen
kedalam badan air yang dihasilkan oleh beberapa faktor, termasuk penggunaan
pupuk, pupuk kandang, endapan pembuangan kotoran dari tanaman, dan aerasi
tanah. Di Eropa, pertanian secara
substansial mengeluarkan emisi nitrogen
ke dalam aliran permukaan dan air bawah tanah.
Berkenaan dengan N inorganik, jumlah dari lahan pertanian sebesar 50% di
Denmark dan 71 % di Netherland (FAO, 1996 dalam Kierch, 2000). Tingginya kehilangan akibat pencucian hara
dapat terjadi pada saat penggunaan pupuk dalam jangka penanaman yang pendek
pada tanah-tanah yang permeabel. Di Sri
Lanka, kegiatan budidaya cabe dan bawang merah secara intensif dapat memperkaya
konsentrasi NO3-N di dalam air tanah sebesar 20-50 mg/L (BGS et
al., 1996 dalam Kiersch, 2000).
Penutupan tanah secara kontinue dapat mengurangi pencucian N. Pembajakan dapat meningkatkan konsentrasi NO3
pada permukaan dan air tanah, dan terjadinya oksigenasi pada tanah yang
menyebabkan nitrifikasi.
Pencucian
phospat (PO4) ke dalam air ditunjukkan oleh proses penyerapan pada
partikel liat (BGS et al., 1996 dalam Kiersch, 2000). Penggunaan
pupuk kalium klorida yang tinggi menyebabkan meningkatnya pencucian klorida
yang selanjutnya masuk ke dalam air tanah.
Di Sri Lanka, misalnya, estimasi dari beberapa areal pertanian intensif,
menyebabkan air tanah dapat mengandung klorida mencapai 400 mg/L, yang jauh
lebih tinggi dari konsentrasi yang diperbolehkan untuk air minum yang dibatasi
oleh WHO sebesar 250 mg/L (BGS et al., 1996 dalam Kiersch, 2000)
Produksi
peternakan, dapat merupakan sumber utama P dalam air. Secara langsung aliran
permukaan dari peternakan intesif berperanan penting terhadap degradasi sifat
air permukaan dan air tanah. Di EU,
Limbah peternakan sebesar 30% P dapat mengisi air permukaan, dan lainnya pada
penggunaan lahan pertanian sebesar 16 % (FAO, 1996 dalam Kiersch, 2000)
Hasil Penelitian Gilbertson et al.,
(1979 dalam Lagon 1990)melaporkan bahwa konsentrasi total nitrogen dan
total phospor meningkat yang terbawah dalam aliran permukaan dengan pemberian
pupuk kandang pada pertanaman legum masing-masing sebesar 16.0 mg/L untuk total
N, dan 4.0 mg/L untuk total P dibanding dengan tanpa pemberian pupuk kandang
masing-masing 3.2 mg/L untuk total N dan 0.40 mg/L untuk total P.
Aktivitas penggunaan lahan dapat mempengaruhi kualitas
air oleh bakteri yang bersifat patogen , yang menimbulkan perhatian khususnya
kesehatan pada pemakai air di daerah hilir. Konsentrasi bakteri patogen pada
air permukaan dapat meningkat akibat limbah dari peternakan. Dari hasil pengamatan Deutsch and Busby
(2000)di Philipina menunjukkan bahwa besarnya populasi penduduk pada sub DAS
Alanib dan Kulasihan, yang secara otomatis terjadi peningkatan fasilitas hidup
antara lain perumahan, jalanan dan pembangunan infrastruktur lain menyebabkan
timbulnya problem baru dalam hal ini
merupakan kontribusi yang jelas menyebabkan meningkatnya erosi dan sedimentasi,
yang menyebabkan total suspended solid (TSS) juga meningkat. Hasil yang sangat mengejutkan bahwa pada
kondisi yang demikian, konsentrasi bakteri E.Coli pada sungai Kulasihan
mencapai 100-200 E. Coli per mL jauh melebihi standar aman yang ditetapkan oleh
WHO yaitu 10-50 fold.
Aktivitas
penggunaan lahan di kawasan hulu dapat mempengaruhi kualitas air,
yang dapat berdampak negatif maupun positif terhadap penggunaan air di kawasan
hilir. Sedimentasi dapat mengakibatkan polusi dalam dua bentuk yaitu secara
fisik dan secara kimiawi. Pengaruh yang dapat ditimbulkan adalah perubahan
dalam sedimen dan konsentrasi hara, garam-garam, logam dan pathogen.
DAFTAR PUSTAKA
Anna S.
2001. Model Pengelolaan Daerah
Aliran Sungai dan Kawasan Pesisir Secara Terpadu. Makalah M.K. Falsafah Sains.
Program Pascasarjana IPB, Bogor.
Arsyad S. 2000.
Konservasi Tanah dan Air. Serial
Pustaka IPB. Press. Bogor
Dahuri,R. 2000. Permasalahan Pengelolaan Lingkungan
Kawasan Pesisir, Journal Ekologi dan
Pembangunan No. 4 Agustus 2000, PPSDAL-LP Unpad.
Deutsch,
G. W. and L. A. Busby. 2000.
Community-Basid Water Quality Monitoring: fraom Data Collection to Sustainable
Management of Water Resources. Land and
Water Development Division FAO Rome, Rome.
Kiersch B. 2000. Land Use Impact on Water
Resources: A Literature Review. Land
and Water Development Division FAO Rome, Rome.
Logan T. J. 1990.
Sustainable
Agriculture and Water Quality.
Sustainable Agricultural Systems.
Soil and Water Conservation Society. Ankeny, Iowa.
Pawitan,
H., J. S. Baharsjah, R. Boer, I. Amien dan B. D. Dasanto. 1996. Keseimbangan Air Hidrologi Wilayah Indonesia
Menurut Kabupaten. Laporan Penelitian
LP-IPB. ARMP Badan Litbang Pertanian.
Sugandhy,
A. 1999. Penataan Ruang dalam
Pengelolaan Lingkungan Hidup. PT Gramedia Pustaka Utama, Jakarta.
Sumarno, I. G. Ismail dan Ph. Soetjipto. 2000. Konsep Usahatani Ramah Lingkungan. Tonggak Kemajuan Teknologi Produksi
Tanaman Pangan. Prosiding Simposium
Penelitian Tanaman Pangan IV.
Puslitbangtan, Bogor. p. 55-74.
Supriadi,
D. 2000. Uplands Management: Cases of
Cimanuk and Cisanggarung River Basin, makalah pada Linggarjati Environmental
Meeting, 9-13 November 2000.