©2003 Deddy Effendi Rivai Posted
June 26, 2003
Makalah Pengantar Falsafah Sains (PPS702)
Program Pasca Sarjana / S3
Institut Pertanian Bogor
Juni 2003
Dosen :
Prof. Dr. Ir. Rudy C Tarumingkeng
PENGEMBANGAN KAWASAN AGROPOLITAN SEBAGAI PENDEKATAN WILAYAH DAN
PEMBERDAYAAN MASYARAKAT PERTANIAN
Oleh :
Deddy Effendi Rivai
P062024224
email: deddy@bima.ipb.ac.id
I. PENDAHULUAN
A. Latar Belakang.
Millenium ketiga mengantarkan kita memasuki sebuah
jaman baru dimana mesin-mesin penggerak peradaban dunia akan mencapai kecepatan
full force.
Faktor eksternal penggerak perubahan, yakni globalisasi, liberalisasi
perdagangan dan terobosan-terobosan baru ilmu pengetahuan dan teknologi seperti
informasi, bioteknologi dan teknologi industri akan merubah dinamika setiap
dimensi kehidupan dan peradaban kita. Perubahan-perubahan tersebut secara
positif dapat dipandang antara lain sebagai peluang kerja dan peluang usaha
yang ditawarkan dengan sangat kompetetif. Pada sisi lain, faktor internal
penggerak perubahan yakni pemberlakuan otonomi daerah, membawa perubahan
tatanan penyelenggaraan pemerintahan dari sentralistik menjadi desentralistik
yang menuntut perubahan beberapa paradigma dalam pembangunan. Apabila esensi
dari pelaksanaan otonomi daerah adalah pelayanan, kemandirian, pemberdayaan dan
partisipasi masyarakat, maka komponen yang paling menentukan keberhasilan
otonomi daerah adalah kualitas sumberdaya
manusia.
Didalam arena persaingan global yang semakin ketat dan
seiring bergulirnya otonomi daerah maka eksistensi individu, masyarakat maupun
organisasi akan ditentukan oleh kepemilikan keunggulan daya saing yang
berkelanjutan (suistained competitive advantage). Hanya dengan sumberdaya
manusia yang unggul dan mempunyai daya saing yang tinggi, suatu masyarakat
ataupun organisasi dapat mempredeksikan, mengantisipasi dan mengendalikan
setiap perubahan kearah sebagaimana yang diharapkan. (Munandar, S. 2001)
menyatakan bahwa sumberdaya manusia pertanian terdiri dari empat pilar yaitu
petani, petugas/pejabat struktural, pejabat fungsional dan stakeholders.
Berkaitan dengan hal tersebut, permasalahan sumberdaya manusia (SDM) pertanian
dicirikan oleh tingkat pendidikan dan produktivitas yang rendah.
Berdasarkan tingkat pendidikan, secara komposisi tenaga kerja disektor
pertanian yaitu SD (83%), SLTP (12%), SLTA (5%) dan peguruan tinggi kurang dari
1 %. Berdasarkan latar belakang pendidikan, aparatur pertanian didominasi
oleh lulusan SLTA (65%), sedangkan dilihat dari sebaran lokasi administrasi,
aparatur pertanian di pusat berjumlah 62%, di propinsi 20% dan di kabupaten
18%. Tingkat pendidikan petani di Indonesia sekitar 87% berlatar belakang
SD. Secara umum, perfomansi sumberdaya manusia Indonesia dapat dilihat
dari peringkat Human Development Index (HDI). Data UNDP 2000, dimana Indonesia berada pada
peringkat ke 109 dari 124 negara, dibawah Vietnam (108), Cina (99), Srilangka
(84), Malasia (61) dan Singapura (24). Variabel HDI ini antara lain
tingkat pendidikan dan produktivitas tenaga
kerja.
Pada sisi lain berkaitan dengan pengembangan wilayah,
(Soenarno, 2003) menyatakan bahwa pendekatan pembangunan yang lebih menonjolkan
pertumbuhan
ekonomi secara cepat tidak bisa dipungkiri telah mengakibatkan pertumbuhan di
perkotaan melalui kawasan lainnya atau dengan kata lain telah mendorong
percepatan urbanisasi (punctuated urbanization). Percepatan urbanisasi
ini akan menyebabkan terserapnya sumberdaya yang dimiliki di pedesaan oleh
kawasan perkotaan, baik itu sumberdaya daya alam maupun sumberdaya manusia.
Proses urbanisasi yang tidak terkendali, juga semakin mendesak produktivitas
pertanian. Data Survey Penduduk Antar Sensus (SUPAS) menunjukkan bahwa
terjadi peningkatan tingkat urbanisasi di Indonesia dari 37,5% (tahun 1995)
menjadi 40,5% (tahun 1998). Secara lebih mikro, tingginya urbanisasi
ditunjukkan dengan terjadinya konversi lahan kawasan pertanian menjadi kawasan
perkotaan, dimana di pantai utara jawa mencapai kurang lebih 20%.
Konsekwensi logis dari kondisi ini adalah terjadinya migrasi penduduk pedesaan
ke perkotaan akibat semakin menyempitnya lapangan kerja di bidang
pertanian. Kondisi ini mengakibatkan Indonesia harus mengimpor
produk-produk pertanian untuk memenuhi kebutuhan dalam negerinya.
Tercatat, Indonesia harus mengimpor kedelai sebanyak 1.277.685 ton pada tahun
2000 dengan nilai nominal sebesar US$ 275 juta. Pada tahun yang
sama, Indonesia mengimpor sayur-sayuran senilai US$ 62 juta dan buah-buahan
senilai US$ 65 juta.
Berdasarkan kondisi tersebut diatas, perubahan paradigma
pendekatan pembangunan harus dilakukan. Pembangunan nasional yang
cenderung memfavoritkan pembanguan perkotaan sebagai satu-satunya mesin pertumbuhan
(engine of development) yang handal harus direvisi kembali. Pembangunan
pedesaan harus didorong guna mengatasi permasalahan pembangunan yang
terjadi. Sejalan dengan itu, pembangunan sumberdaya manusia harus selaras
dan seimbang dengan pembangunan fisik atau wilayah. Karena itu, mengacu
pada uraian-uraian tersebut diatas maka "Pengembangan Kawasan Agropolitan
Sebagai Pendekatan Wilayah dan Pemberdayaan Masyarakat Pertanian"
merupakan satu alternatif solusi yang perlu mendapatkan perhatian secara serius
di masa yang akan datang.
B. Pengertian Kawasan Agropolitan.
Agropolitan
terdiri dari dua kata Agro dan politan (polis). Agro berarti pertanian dan
politan berarti kota, sehingga agropolitan dapat diartikan sebagai kota
pertanian atau kota di daerah lahan pertanian atau pertanian di daerah kota.
Dalam paper ini, yang dimaksud dengan Agropolitan adalah kota pertanian yang
tumbuh dan berkembang karena berjalannya sistem dan usaha agribisnis serta
mampu melayani, mendorong, menarik, menghela kegiatan pembangunan pertanian
(agribisnis) di wilayah sekitarnya.
Kota pertanian (agropolitan) berada dalam kawasan
pemasok hasil pertanian (sentra produksi pertanian) yang mana kawasan tersebut
memberikan kontribusi yang besar terhadap mata pencaharian dan kesejahteraan
masyarakatnya. Selanjutnya kawasan pertanian tersebut (termasuk kotanya)
disebut dengan kawasan agropolitan. Kota pertanian dapat merupakan kota
menengah atau kota kecil atau kota kecamatan atau kota pedesaan atau kota
nagari yang berfungsi sebagai pusat pertumbuhan ekonomi yang mendorong
pertumbuhan pembangunan perdesaan dan desa-desa hinterland atau wilayah
sekitarnya melalui pengembangan ekonomi, yang tidak terbatas sebagai pusat
pelayanan sektor pertanian, tetapi juga pembangunan sektor secara luas seperti
usaha pertanian (on farm dan off farm), industri kecil, pariwisata, jasa
pelayanan, dan lain-lain.
Batasan suatu kawasan agropolitan tidak ditentukan
oleh batasan administratif pemerintah (desa/kelurahan, kecamatan, kabupaten) tetapi
lebih ditentukan dengan memperhatikan economic of scale dan economic of
scope. Karena itu, penetapan kawasan agropolitan hendaknya di rancang secara
lokal dengan memperhatikan realitas perkembangan agribisnis yang ada di setiap
daerah. Dengan demikian bentuk dan luasan kawasan agropolitan, dapat meliputi
satu wilayah Desa/kelurahan atau kecamatan atau beberapa kecamatan dalam
kabupaten/kota atau dapat juga meliputi wilayah yang dapat menembus wilayah
kabupaten/kota lain yang berbatasan. Kotanya dapat berupa kota desa atau kota nagari atau kota kecamatan atau
kota kecil atau kota menengah.
Suatu kawasan agropolitan yang sudah berkembang
memiliki ciri-ciri sebagai berikut :
a. Sebagian besar masyarakat dikawasan tersebut memperoleh pendapatan dari
kegiatan pertanian (agribisnis).
b. Kegiatan di kawasan tersebut sebagian besar di dominasi oleh kegiatan
pertanian atau agribisnis, termasuk di dalamnya usaha industri
(pengolahan) pertanian, perdagangan hasil-hasil pertanian (termasuk perdagangan
untuk kegiatan ekspor), perdagangan agribisnis hulu (sarana pertanian dan
permodalan), agrowisata dan jasa pelayanan.
c. Hubungan antara kota dan daerah-daerah hinterland / daerah-daerah sekitarnya
di kawasan agropolitan bersifat interdepedensi/timbal balik yang harmonis, dan
saling membutuhkan, dimana kawasan pertanian mengembangkan usaha budidaya (on
farm) dan produk olahan skala rumah tangga (off farm), sebaliknya kota
menyediakan fasilitas untuk berkembangnya usaha budidaya dan agribisnis seperti
penyediaan sarana pertanian, modal, teknologi, informasi pengolahan hasil dan
penampungan (pemasaran) hasil produksi/produk pertanian.d. Kehidupan masyarakat
di kawasan agropolitas mirip dengan suasana kota karena keadaan sarana yang ada
dikawasan agropolitan tidak jauh berbeda dengan di kota.
C. Tujuan dan Sasaran Pengembangan.
Tujuan pengembangan kawasan agropolitan adalah untuk
meningkatkan pendapatan dan kesejahteraan masyarakat melalui percepatan
pengembangan
wilayah dan peningkatan keterkaitan desa dan kota dengan mendorong
berkembangnya sistem dan usaha agribisnis yang berdaya saing berbasis
kerakyatan, berkelanjutan (tidak merusak lingkungan) dan terdesentralisasi
(wewenang berada di Pemerintah Daerah dan Masyarakat) di kawasan agropolitan.
Dengan berkembangnya sistem dan usaha agribisnis maka di kawasan agropolitan
tersebut tidak saja membangun usaha budidaya (on farm) saja tetapi juga
"off farm"nya, yaitu usaha agribisnis hulu (pengadaan sarana
pertanian), agribisnis hilir (pengolahan hasil pertanian dan pemasaran) dan
jasa penunjangnya, sehingga akan mengurangi kesenjangan pendapatan antar
masyarakat, mengurangi kemiskinan dan mencegah terjadinya urbanisasi tenaga
produktif, serta akan meningkatkan Pendapatan Asli Daerah (PAD).
Sasaran pengembangan kawasan agropolitan adalah untuk
mengembangkan kawasan pertanian yang berpotensi menjadi kawasan agropolitan,
melalui :
a) Pemberdayaan masyarakat pelaku agribisnis agar mampu meningkatkan produksi, produktifitas komoditi pertanian serta produk-produk olahan pertanian, yang dilakukan dengan pengembangan sistem dan usaha agribisnis yang efisien dan menguntungkan serta berwawasan lingkungan,
b) Penguatan kelembagaan petani,
c) Pengembangan kelembagaan sistem agribisnis (penyedia agroinput, pengolahan hasil, pemasaran dan penyediaan jasa),
d) Pengembangan Kelembagaan Penyuluhan Pembangunan Terpadu,
e)
Pengembangan iklim yang kondusif bagi usaha dan investasi.
D. Permasalahan Pengembangan Kawasan Agropolitan.
Issue dan permasalahan pokok sekaligus tantangan
yang harus diatasi dalam kaitannya dengan pengembangan kawasan agropolitan di
Indonesia
diantaranya adalah :
1. Pertanian Indonesia masih tetap dicirikan oleh usaha skala kecil (luasan
sempit), dilaksanakan berjuta-juta petani, dikelola oleh sumberdaya dengan
kualitas yang relatif rendah, dan alih fungsi lahan pertanian yang relatif
tinggi setiap tahunnya. Disamping dari segi luas, kesuburan lahan juga
mengalami penurunan akibat degradasi kualitas lingkungan. Ketersediaan
sumberdaya air secara kuantitatif dan kualitatif juga mengalami penurunan yang
diakibatkan belum efisien karena lemahnya manajemen pemanfaatan air.
2. Sebagian besar sumberdaya manusia yang mendukung sektor pertanian masih
rendah kualitasnya. Sebagian besar mempunyai tingkat pendidikan formal
yang
rendah, yaitu tidak menyelesaikan pendidikan dasar, sehingga kemampuannya
menyerap informasi dan mengadopsi teknologi relatif terbatas.
3. Ruang
gerak pembangunan pertanian selama ini terbatas pada aspek produksi
(budidaya). Sementara itu, permasalahan yang muncul justru sebagaian
berada di luar aspek produksi seperti pengadaan sarana, pengolahan hasil, jalur
distribusi dan pemasaran hasil.
4. Pembangunan agribisnis yang terfokus pada usahatani juga membatasi ruang
gerak perkembangan organisasi ekonomi petani. Organisasi petani seperti
koperasi petani umumnya hanya bergerak pada usaha tani dan sangat kurang
berkembang menangani industri hulu dan hilir agribisnis. Kondisi ini
menyebabkan petani hanya menguasai mata rantai yang bernilai tambah kecil dan
berresiko tinggi usahatani (on-farm) sehingga pendapatan petani tetap
rendah. Disamping itu, kelembagaan tani dan kelembagaan lainnya belum
optimal dapat meningkatkan posisi petani sebagai subyek pembangunan pertanian.
5. Dalam kaitannya dengan pengembangan wilayah, menurut UU N0.24/1992 tentang
Penataan Ruang, diperlukan adanya penegasan terhadap
"Kedudukan"
kawasan pedesaan yang berarti penegasan terhadap fungsi dan peran kawasan
pedesaan. Selanjutnya, fungsi dan peran kawasan pedesaan ini seharusnya
dijabarkan dalam rencana tata ruang wilayah yang akan menjadi acuan
pengembangan kawasan pedesaan.
6. Selama
ini ukuran keberhasilan pembangunan hanya dilihat dari terciptanya laju
pertumbuhan perekonomian yang tinggi dimana alat yang dipergunakan adalah
mendorong industrialisasi di kawasan-kawasan perkotaan. Kondisi ini bila
ditinjau dari pemerataan pembangunan telah memunculkan kesenjangan antara
kawasan pedesaan dan perkotaan karena sektor strategis hanya dimiliki oleh
sebagian masyarakat.
7. Seiring dengan semakin meningkatnya jumlah penduduk di Indonesia yang
diperkirakan pada tahun 2035 akan bertambah menjadi dua kali lipat dari jumlah
saat ini atau menjadi 400 juta jiwa, telah memunculkan keseriusan akan
terjadinya keadaan "rawan pangan" di masa yang akan datang.
Selain itu, dengan semakin meningkatnya tingkat pendidikan dan kesejahteraan
masyarakat terjadi pula peningkatan komsumsi perkapita untuk berbagai jenis
pangan, akibatnya dalam waktu 35 tahun yang akan datang Indonesia membutuhkan
tambahan ketersediaan pangan yang lebih dari dua kali lipat jumlah kebutuhan
saat ini.
8. Perlu adanya perhatian khusus dalam pengembangan kawasan pertanian terutama
untuk menjawab produktivitas yang masih rendah, sistem pemasaran yang masih
rendah, kelembagaan yang kurang kondusif dan lingkungan permukiman yang masih
rendah.
II. KONSEP PENGEMBANGAN KAWASAN AGROPOLITAN.
Berdasarkan issue dan permasalahan pembangunan pedesaan yang terjadi,
pengembangan kawasan agropolitan merupakan alternatif solusi untuk pengembangan
wilayah pedesaan. Konsep pengembangan kawasan agropolitan, tidak
semata-mata ditujukan kepada pembangunan fisik material tetapi juga sekaligus
harus dikaitkan dengan pembangunan masyarakat/sumberdaya manusia secara
langsung. Titik berat pembangunan masyarakat, khususnya masyarakat
setempat memerlukan pendekatan yang bersifat integral dan terpadu, artinya
pembangunan yang akan dilaksanakan tidak hanya menyangkut pembangunan struktur
fisik, tetapi sekaligus pembangunan manusia dengan pendekatan yang
berimbang.Pengembangan kawasan agropolitan harus mempunyai keterkaitan yang
harmonis
antara pendekatan yang top down dengan pendekatan bottom up yang bertujuan
untuk mencapai efek ganda. Prakarsa-prakarsa dari bawah tidak dapat
diabaikan, karena merupakan invisible hand dalam menggerakkan sumberdaya
sebagai kekuatan utama untuk mewujudkan pengembangan kawasan agropolitan
yang berkelanjutan dan berwawasan lingkungan.
A. Konsep Pendekatan Wilayah.
Agropolitan dapat diartikan sebagai kota pertanian yang tumbuh dan
berkembang karena berjalannya sistem dan usaha agribisnis serta mampu melayani,
mendorong, menarik, menghela, kegiatan pembangunan pertanian (agribisnis) di
wilayah sekitarnya. Sementara itu, kawasan agropolitan diartikan sebagai
sistem fungsional desa-desa yang ditunjukkan dari adanya hiraki keruangan desa
yakni dengan adanya pusat agropolitan dan desa-desa di sekitarnya membentuk
kawasan agropolitan. Kawasan tersebut terkait dengan sistem pusat-pusat
permukiman nasional dan sistem permukiman pada tingkat Propinsi (RTRW Propinsi)
dan Kabupaten (RTRW kabupaten). Kawasan agropolitan ini juga dicirikan
dengan kawasan pertanian yang tumbuh dan berkembang karena berjalannya sistem
dan usaha agribisnis di pusat pembangunan pertanian (agribisnis) di wilayah
sekitarnya ( lihat diagram 1 dan 2).
Kawasan agropolitan terdiri
dari kota pertanian dan desa-desa sentra produksi pertanian yang ada
disekitarnya. Kawasan pertanian tersebut memiliki fasilitas
seperti layaknya perkotaan. Disini nantinya diharapkan akan terbentang
sebuah panorama kota yang asri, sejuk dan damai. Namun dengan fasilitas
yang tidak kalah dengan sebuah kota modern, dimana berbagai sarana seperti
jaringan jalan, lembaga keuangan, pasar, perkantoran, lembaga penyuluhan dan alih
teknologi, lembaga pendidikan serta penelitian yang berdiri anggun di sela-sela
hamparan lahan pertanian yang menghijau. Disini nantinya juga tersedia
sarana air bersih, kantor kelembagaan milik petani dan lembaga kesehatan.
Pengembangan kawasan agropolitan bukanlah konsep baru tetapi merupakan
kelanjutan untuk mengoptimalkan hasil-hasil pembangunan pada Kawasan Andalan
baik pada daerah-daerah kawasan Sentra Produksi (KSP), Kawasan Pengembangan
Ekonomi Terpadu (KAPET), maupun pada Kawasan Tertinggal. Disamping itu,
pengembangan kawasan agropolitan juga perlu mengoptimalkan hasil-hasil program
sebelumnya seperti Program Bimas, Program kawasan Industri Masyarakat
Perkebunan (KIMBUN), Program kawasan Usaha Peternakan (KUNAK), Program
Penyediaan Prasarana dan Sarana Pedesaan (PPSD) dan Program Pengemngan
Kecamatan (PPK). Dengan demikian, program kawasan yang akan dikembangkan
adalah untuk mensinergikan berbagai program baik yang berasal
dari pusat, propinsi dan kabupaten/kota pada kawasan andalan yang ditetapkan
daerah.Dalam rangka pengembangan kawasan agropolitan secara terintegrasi, perlu
disusun master plan pengembangan kawasan agropolitan yang akan menjadi acuan
penyusunan program pengembangan. Adapun muatan-muatan yang terkandung
didalamnya diantaranya :
1) Penetapan pusat agropolitan yang berfungsi sebagai pusat perdagangan dan tranportasi pertanian (agricultural trade/transport center), penyedia jasa pendukung pertanian ( agriculture support services), pasar konsumen produk non pertanian (non agriculture consumers market), pusat industri pertanian ( agro based industry), Penyedia pekerjaan non pertanian (non agricultural employment) dan pusat agropolitan serta hinterlannya terkait dengan sistem permukiman nasional, propinsi dan kabupaten.
2) Penetapan unit-unit kawasan pengembangan yang berfungsi sebagai pusat produksi pertanian (agricultural production), intensifikasi pertanian (agricultural intensification), pusat pendapatan pedesaan dan permintaan untuk barang-barang dan jasa non pertanian (rural income and demand fo agricultural goods and services) dan produksi tanaman siap jual dan diversifikasi pertanian (cash crop production and agricultural diversivication).
3) Penetapan sektor unggulan, yaitu merupakansektor unggulan yang sudah berkembang dan didukung oleh sektor hilirnya, kegiatan agibisnis yang banyakmelibatkan pelaku dan masyarakat yang paling besar dan mempunyai skala ekonomi yang memungkinkan untuk dikembangakan dengan orientasi ekspor.
4) dukungan infrastruktur yang membentuk struktur ruang yang mendukung pengembangan kawasan agropolitan diantaranya jaringan jalan, irigasi, sumber-sumber air dan jaringan utilitas (listrik dan telekomunikasi)
5)
Dukungan sistem kelembagaan, yaitu dukungan kelembagaan
pengelola pengembangan kawasan agropolitan yang merupakan bagian dari
pemerintah daerah dengan fasilitasi pemerintah pusat dan pengembangan sistem
kelembagaan insentif dan disinsentif pengembangan kawasan agropolitan.Melalui
keterkaitan tersebut, pusat agropolitan dan kawasan pedesaan berinteraksi satu
sama lainnya secara menguntungkan. Dengan adanya pola interaksi ini
diharapkan dapat meningkatkan nilai tambah (value added) produksi kawasan
agropolitan sehingga pembanguinan pedesaan dapat dipacu dan migrasi desa kota
yang terjadi dapat dikendalikan.
B. Konsep Pendekatan Pemberdayaan SDM.
Sementara itu, sejalan dengan pengembangan kawasan agropolitan melalui konsep
pendekatan wilayah maka konsep pendekatan pemberdayaan sumberdaya
manusia/masyarakat juga harus seiring dan sejalan. Pemberdayaan sumberdaya
manusia merupakan hal yang sangat penting, karena tanpa didukung oleh
sumberdaya manusia yang berkualitas maka pengembangan kawasan agropolitan
dengan pendekatan wilayah akan kurang bisa mencapai hasil yang optimal.
Pengembangan sumberdaya manusia dapat terlaksana dan sesuai dengan harapan,
jika setiap komponen dan fungsi organisasi baik di pusat maupun di daerah
memandang upaya pengembangan sumberdaya manusia bukan sebagai unsur penunjang,
melainkan merupakan bagian integral dari masing-masing fungsi organisasi
(integrative linkages). Sumberdaya manusia pertanian manyangkut sekitar 39,5
juta tenaga kerja pertanian terdiri dari petani, petugas serta jutaan
stakeholders pembangunan pertanian dengan segenap kompleksitas permasalahan
pada setiap segmen sumberdaya manusia pertanian. Masalah utama sumberdaya
manusia pertanian yaitu tingkat pendidikan rendah, produktivitas rendah dan
sebaran yang tidak merata. Untuk itu, diperlukan acuan yang menjadi
kebijakanaan makro
pengembangan sumberdaya manusia pertanian baik di pusat maupun di daerah, salah
satunya melalui program pemberdayaan masyarakat atau pemberdayaan
sumberdaya manusia. Menurut Bryant dan White (1982) pemberdayaan adalah
pemberian kesempatan untuk secara bebas memilih berbagai alternatif dan mengambil
keputusan sesuai dengan tingkat kesadaran, kemampuan dan keinginan mereka
serta memberi kesempatan kepada mereka belajar dari keberhasilan serta
kegagalan dalam merespon terhadap perubahan sehingga mampu mengendalikan masa
depannya. Sebagai pembanding Scott dan Jaffe (1994) mencirikan
pemberdayaan sebagai upaya: 1)
meningkatkan kepuasan kerja, 2) memperluas pengetahuan dan ketrampilan
meningkatkan kualitas kerja, 3) memberikan kebebasan berkreasi serta mengembangkan
hal-hal baru, 4) pengawasan dilakukan melalui keputusan bersama 5) pemberian
tugas lengkap tidak parsial, 6) berorientasi pada kepuasan orang yang dilayani
dan 7) memenuhi kebutuhan pasar.Mengacu pada konsep-konsep tersebut,
pemberdayaan masyarakat atau sumberdaya manusia ke arah kemandirian dalam
berusahatani merupakan kondisi yang dapat ditumbuhkan melalui pendidikan,
pelatihan dan penyuluhan dalam bentuk perubahan perilaku, yakni
meningkatkan kemampuan masyarakat untuk dapat menentukan sndiri pilihannya, dan
memberikan respon yang tepat terhadap
berbagai perubahansehingga mampu mengendalikan masa depannya dan dorongan untuk
lebih mandiri. Pemberdayaan ini penting karena sumberdaya manusia
berperan sebagai pelaku utama dalam keberhasilan pengembangan kawasan
agropolitan.
III. STRATEGI
PENGEMBANGAN KAWASAN AGROPOLITAN.
Dari gambaran issue dan permasalahan serta konsep pengembangan kawasan
agrpololitan maka ada dua strategi yang bisa dilakukan untuk mencapai tujuan
yang diinginkan yaitu 1) strategi pemberdayaan masyarakat/sumberdaya manusia
dan 2) strategi pengembangan wilayah. Kedua strategi tersebut
diantaranya
akan diuraikan pada penjelasan berikut :
A. Strategi pemberdayaan masyarakat/SDM.
1. Meningkatkan peran serta aktif masyarakat di kawasan agropolitan mulai dari perencanaan,
pelaksanaan sampai dengan evaluasi. Perencanaan disusun secara
partisipatif dan hasilnya digunakan untuk bahan master plan atau program
pengembangan kawasan agropolitan. Dengan melibatkan masyarakat, mereka
akan merasa memiliki program-program yang akan dikembangkan pada kawasan
agropolitan. Peran pemerintah disini hanya sebatas menfasilitasi apa yang
sebenarnya diperlukan masyarakat.
2. Meningkatkan kemampuan masyarakat pada kawasan agropolitan dalam
pengelolaan usaha pertanian yang tidak hanya terbatas pada aspek produksi
(budidaya) tetapi juga pada aspek agribisnis secara keseluruhan.
Peningkatan kemampuan masyarakat ini dilakukan salah satunya melalui pendidikan
dan pelatihan (diklat) secara berjenjang dari pusat , propinsi, kabupaten/kota
dan kawasan agropolitan. Tujuan dari diklat tersebut adalah untuk
menciptakan : a) Manajer profesional skala usaha kecil dan menengah yang
mempunyai wawasan global, b) Tenaga terampil di bidang teknis untuk
mengoperasionalkan alat dan mesin pertanian, finansial, pembukuan, pengolahan
hasil, pemasaran dan promosi dan c) Tenaga ahli hukum (corporate lawyer)
sebagai konsultan dalam mengembangkan mitra antara perusahaan nasional dengan
perusahaan asing.
3. Mengembangkan kelembagaan agribisnis dalam upaya meningkatkan posisi tawar
pelaku agribisnis, menunjang pengembangan dan keberlanjutan usaha, dan
meningkatkan daya saing produk. Kelembagaan yang perlu ditingkatkan
keberadaannya diantaranya kelembagaan petani seperti kelompok tani, kelembagaan
kemitraan antara petani dengan pengusaha penyedia sarana produksi, pemasaran
dan pengolahan, kelembagaan pendanaan pedesaaan seperti lembaga keuangan
pedesaan/mikro seperti bank dan lembaga perkreditan desa .4. Meningkatkan
kemampuan analisis pasar dan pemasaran sumberdaya manusia di kawasan
agropolitan dengan mengembangkan sarana dan prasarana pemasaran terutama 1)
Penataan struktur pasar dalam negeri untuk meningkatkan efisiensi pasar,
menjamin perdagangan yang transparan dan distribusi nilai tambah yang lebih proporsional,
2) Prasarana angkutan dan jalan pedesaan untuk menjamin akses produk pertanian
ke pusat konsumen dan perdagangan, c) Fasilitas pergydangan (storage) yang
memadai terutama bagi komoditas yang mudah rusak seperti produk hortikultura
dan peternakan, 4) Rasionalisasi biaya angkutan udara bagi komoditas ekspor,
mengingat biaya kargo udara perusahaan penerbangan nasional masih dirasakan
terlalu tinggi untuk produk-produk pertanian.
B. Strategi Pengembangan Wilayah.
1. Mengembangkan sarana dan prasarana ekonomi mendukung pengembangan usaha
pertanian skala kecil dan menengah berupa jalan desa, jalan usahatani, sarana
penagairan, pelabuhan, transportasi dan telekomunikasi.2. Menciptakan iklim
berusaha yang kondusif bagi petani dan pelaku agribisnis lainnya dalam hal : a)
Pemberian intensif dalam keringan pajak, kemudahan dalam pengadaan barang
modal, kepastian hukum, keamanan berusaha dan dukungan kebijaksanaan pemerintah
daerah dalam tata ruang dan tata guna lahan dan b) Penyederhanaan prosedur,
pelayanan yang cepat dan sederhana dalam perijinan usaha.
3. Mengembangkan teknologi di bidang agribisnis yang sangat diperlukan untuk
meningkatkan produktivitas, peningkatan mutu dan diversifikasi produk olahan
baik untuk usaha kecil, menengah dan besar berupa : a) Teknologi biologis
(benih, varietas) yang sesuai permintaan pasar, b) Teknologi pengolahan produk
pertanian untuk berbabagai skala usaha, c) Teknologi pengepakan/pengemasan dan
distribusi untuk menjamin produk tetap dalam kondisi segar sampai ke konsumen
akhir dan d) Teknologi budidaya untuk memberikan hasil keuntungan yang tinggi
seperti mekanisasi pertanian.4. Penyusunan master plan pengembangan kawasan
agropolitan yang akan menjadi acuan masing-masing wilayah. Master
plan ini disusun berdasarkan hasil perencanaan partisipatif masyarakat bersama
dengan pemerintah daerah sehingga program yang disusun lebih akomodatif.
5. Penetapan lokasi agropolitan dimana kegiatan ini dimulai dari
usulan penetapan kabupaten oleh pemerintah propinsi. Untuk selanjutnya
oleh pemerintah kabupaten mengusulkan kawasan agropolitan dengan terlebih
dahulu melakukan identifikasi potensi dan masalah untuk mengetahui kondisi dan
potensi lokasi (komoditas unggulan) antara lain ; potensi SDA, SDM,
kelembagaan, iklim usaha dan sebagainya, serta terkait dengan sistem permukiman
nasional, propinsi dan kabupaten/kota. Sebagain langkah awal pada tahun
2002 telah ditetapkan 6 propinsi sebagai lokasi rintisan pengembangan kawasan
agripolitan yaitu meliputu Propinsi Sumatera Barat (Kab. Agam dengan komiditi
unggulan peternakan), Propinsi Bengkulu (Kab. Rejang Lebong dengan komoditi
unggulan Hortikultura), Propinsi Jawa Barat (Kab. Cianjur dengan komoditi
unggulan perkebunan), Propinsi D.I Yogyakarta (Kab. Kulonprogo dengan komoditi
unggulan perkebunan), Propinsi Bali (Kab. Bangli dengan komoditi unggulan
perkebunan), Propinsi Sulawesi Selatan (Kab. Barru dengan komoditi unggulan
peternakan) dan Propinsi Gorontalo dengan komoditi unggulan tanaman pangan).
6. Melakukan gerakan dan sosialisasi program pengembangan kawasan agropolitan
kepada seluruh stakeholders yang terkait dengan pengembangan program
agropolitan baik pusat maupun daerah, sehingga pengembangan program agropolitan
dapat lebih terpadu, terkordinasi dan terintegrasi dengan baik.
IV. PENUTUP
A. Kesimpulan.
Pembangunan kawasan agropolitan (pedesaan) merupakan
hal yang mutlak diperlukan. Hal ini bukan hanya karena terdapatnya
ketimpangan antara kawasan pedesaan dengan perkotaan akan tetapi juga mengingat
tingginya potensi di kawasan pedesaan yang sangat potensial untuk dimanfaatkan
sebagai alat untuk mendorong keberhasilan pembangunan.
Pengembangan kawasan agropolitan menjadi sangat
penting dalam konteks pengembangan wilayah mengingat 1) kawasan dan sektor yang
dikembangkan
sesuai dengan spesifik lokal, 2) Pengembangan kawasan agropolitan dapat
meningkatkan pemerataan sektor yang dipilih merupakan basis aktifitas
masyarakat, 3) Keberlanjutan dari pengembangan kawasan dan sektor menjadi lebih
pasti mengingat sektor yang dipilih mempunyai keunggulan kompetetif dan
komparatif dibandingkan dengan sektor lainnya dan 4) Dalam penetapan pusat
agropolitan terkait dengan sistem pusat-pusat nasional, propinsi dan kabupaten
(RTRW Propinsi/Kabupaten) sehingga dapat menciptakan pengembangan wilayah yang
serasi dan seimbang.
B. Saran.
Keberhasilan pelaksanaan pengembangan kawasan
agropolitan, pada hakekatnya sangat ditentukan oleh tersedianya sumberdaya
manusia yang berkemapuan, berkarakter, profesional dan berkinerja tinggi.
Penyiapan sumberdaya manusia dengan kualifikasi tersebut, perlu dirancang
secara terencana, terarah, terpadu dan berkesinambungan serta dengan visi jauh
kedepan. Karena itu, kebijakan pengembangan kawasan agropolitan hendaknya
berorientasi pada kekuatan pasar (market driven), melalui pemberdayaan
masyarakat/ sumberdaya manusia yang tidak saja diarahkan pada upaya
pengembangan usaha budidaya (on farm) tetapi juga meliputi pengembangan
agribisnis hulu (penyediaan sarana pertanian) dan agribisnis hilir (processing
dan pemasaran) dan jasa-jasa pendukungnya.
Kebijakan lain yang perlu dipertimbangkan adalah
memberikan kemudaan melalui penyediaan prasarana dan sarana yang dapat
mendukung pengembangan
agribisnis dalam suatu kesisteman yang utuh dan menyeluruh, mulai dari
subsistem budidaya (on farm) , subsistem agribisnis hulu, hilir dan jasa
penunjang (off farm).
Agar terjadi sinergi daya pengembangan tenaga kerja,
komoditi yang akan dikembangkan hendaknya yang bersifat export base bukan row
base, dengan demikian hendaknya konsep pengembangan kawasan agropolitan
mencakup agrobisnis,agroprocessing dan agroindustri. Selain itu juga
diarahkan pada consumer oriented melalui sistem keterkaitan desa dan kota
(urban-rural linkage).
DAFTAR PUSTAKA
Anonymous, 2003. Hortikultura. Direktorat Pengembangan Usaha
Hortikultura. Direktorat Jenderal Bina Produksi Hortikultura. Departemen
Pertanian R.I.
Jakarta.
Anonymous, 2002. Pedoman Umum Pengembangan Kawasan Agropolitan dan Pedoman
Program Rintisan Pengembangan Kawasan agropolitan. Badan Pengembangan
Sumberdaya Manusia Pertanian. Departemen Pertanian R.I. Jakarta.
Bryant, C and Louise G. White, 1982. Managing Development in the Third
World.Westview Press, Boulder Colorado.
Gumbira E.S dan Burhadunuddin. 1996 Strategi Pengembangan
Agribisnis. Magister managemen Agribisnis. IPB. Bogor.
Munandar, S. 2001. Pengembangan SDM Pertanian Masa Depan. Makalah
Lokakarya Nasional Pengembangan SDM Pertanian. Jakarta.
Scott, Cynthia D. and Dennis T Jaffe. 1994. Empowerment.
Building a Commited Workforce. Kogan Page Ltd. Pentonville Road,.
London.
Soenarno. 2003. Pengembangan Kawsan Agropolitan Dalam Rangka
PengembanganWilayah. Makalah Seminar Nasional Agroindustri dan
Pengembangan Wilayah.Departemen Permukiman dan Prasarana Wilayah R.I. Jakarta.
Suprapto, A. 2001. Pemberdayaan Masyarakat Dalam
Pengembangan Agribisnis.Departemen Pertanian R.I. Jakarta.