ã 2003 Edison
Harteman Posted 11 May, 2003
Makalah Falsafah Sains (PPs 702)
Program
Pasca Sarjana /S3
Institut Pertanian Bogor
Mei 2003
Dosen:
Prof Dr Ir Rudy C Tarumingkeng
(Penanggung Jawab)
Dr Bambang Purwantara
Perairan Indonesia mempunyai kekayaan dan keanekaragaman ekosistem, spesies dan genetik yang tinggi di dunia. Dari sejumlah besar spesies-spesies ikan dan binatang air yang ditemukan di sungai-sungai, danau, rawa, estuaria, lingkungan terumbu karang dan laut membentuk komunitas yang beranekaragam dan tingkat persaingan yang tinggi, karena terbatasnya sumberdaya makanan dan lingkungan lainnya. Oleh karena itu komunitas ikan memanfaatkan sumberdaya secara efesies dan mampu menyesuaikan diri dengan kondisi habitatnya. Untuk memungkinkan hal tersebut spesies-spesies ikan yang berbeda mengembangkan spesiealisasi makanan tertentu pada masing-masing habitat sehingga mereka sangat peka terhadap perubahan lingkungan habitatnya.
Keanekaragaman ekosistem berhubungan dengan keanekaragaman habitat dan kesehatan komplek-komplek habitat spesies yang berbeda-beda. Ekosistem perairan mengadakan suatu siklus-siklus nutrien (rantai makanan) dan siklus air, oksigen, karbondioksida (mempengaruhi iklim) dan siklus biogeokimia. Proses-proses ekologis sangat menentukan besarnya produksi primer dan sekunder (arus energi), mineralisasi, bahan-bahan organik dalam sedimen dan penyimpanan dan transport mineral serta biomassa. Upaya-upaya untuk melestarikan spesies spesies ikan dan binatang air lainnya adalah menjaga kelestarian ekosistem habitat mereka yang menjadi bagian kehidupan spesies (McNeely, 1992).
Keanekaragaman spesies adalah konsep variabelitas ikan-ikan yang hidup diper-airan tawar, payau dan laut, dan diukur dengan jumlah seluruh spesies. Diperkirakan sekitar 40.000 spesies ikan yang hidup diseluruh dunia dan sekitar 19.000 spesies lebih yang sudah teridentifikasi dan diberi nama secara ilmiah. Di Indonesia telah ditemukan > 8.500 dari 19.000 spesies ikan (45 % spesies) ( Barber et al., 1997). Spesies ikan air tawar dari seluruh perairan Indonesia bagian barat telah teridentifikasi dan diberi nama ilmiah : Kalimantan berjumlah > 394 spesies / 149 endemik (38 %), Sumatera ber-jumlah 272 spesies / 30 spesies endemik (11 %), Jawa berjumlah 132 spesies / 12 spesies endemik (9%) dan Sulawesi berjumlah 68 spesies / 52 spesies endemik (76 %) (Kottelat et al, 1993).
Keanekaragaman genetik merupakan konsep variabelitas di dalam suatu spesies yang diukur oleh variasi genetik atau unit-unit biokimia dan informasi keturunan yang dapat diwariskan dari satu generasi ke generasi yang lain, di dalam spesies, varietas, subspecies atau keturunan tertentu (McNeely, 1992). Pada prinsipnya semakin besar ukuran populasi spesies ikan, semakin besar keanekaragaman genetik didalamnya. Akan tetapi peningkatan spesies tertentu dapat menjurus kepenurunan populasi ikan lain, bahkan sampai kepengurangan keanekaragaman spesies ikan tertentu. Hal ini tidak mungkin mendapat keduannya, baik keanekaragaman spesies maksimum maupun keanekaragaman genetik maksimum. Kalimantan terutama dengan perairan tawar yang cukup luas dan memiliki jumlah kekayaan spesies air tawar yang tinggi, tentu memiliki variasi genetik yang tinggi dan hal ini perlu untuk dipertahankan tingkat kelestariannya. Keanekaragaman hayati yang kita temukan di alam hanya dapat berupa keanekaragaman optimum. Hal-hal yang penting di alam adalah menjaga dan menjamin bahwa tidak ada spesies dibawah ukuran populasi kritis, sehingga mengancam keanekaragaman genetik hilang dengan cepat. Di Indonesia saat ini, banyak spesies ikan air tawar yang terancam dan bahkan mungkin punah karena kerusakan dan perubahan lingkungan habitat aslinya oleh kegiatan manusia.
Dimana Kenekeragaman Hayati berada dan Bagaimana Melestarikannya ?
Keanekaragaman hayati menyebar tidak merata diseluruh perairan planet
bumi ini. Pada umumnya ekosistem-ekosistem perairan
tropik Indonesia mempunyai keanekaragaman hayati terbesar. Hal ini disebabkan oleh letak geografisnya
yang berada diantara dua benua Asia dan Australia serta banyak ditemukan
relung-relung ekologi diberbagai habitat air tawar, payau dan laut.
Ikan air tawar tersebut hidup di dalam air dalam gua-gua, rawa dan di
bawah hutan rawa gambut, danau dan sungai-sungai dengan karakter-istik habitat
dan spesies yang berbeda-beda dari dataran tinggi sampai kedataran rendah. Di daerah air payau banyak terdapat
spesies-spesies ikan yang dapat beradaptasi dengan lingkungan estuarin yang
menempati relung-relung ekologi dengan karakteristik habitat dan spesies yang
berbeda-beda. Sedangkan spesies-spesies
ikan laut mempunyai jumlah terbesar yang hidup dilaut bebas dan hidup
diantara atau disekitar pulau pulau besar dan kecil yang dikelilingi
oleh terumbu karang dengan karakteristik habitat yang berbeda. Keanekaragaman
ikan air tawar semakin rendah seiring dengan menurunnya curah hujan di suatu
wilayah tertentu dan semakin jaut dari garis katulistiwa (ketinggian tempat), pulau-pulau kecil (habitat kecil) cenderung
mempunyai lebih sedikit jumlah spesies dibanding wilayah-wilayah yang luas pada
tipe habitat yang sama (McNeely, 1992).
Pulau-pulau yang besar dan pulau-pulau yang terpencil dengan jumlah
penduduk yang kecil cenderung mempunyai kekayaan dan keanekaragaman spesies
tinggi serta spesies endemik.
Pengaruh aktivitas
manusia cenderung mengurangi keanekaragaman hayati, ter-utama diwilayah yang
berpenduduk padat. kegiatan eksploitasi sumberdaya alam dan industri ramah
lingkungan, sangat sulit ditemukan di Indonesia, karena setiap pengusaha dan penguasa ingin mengeksploitasinya
sumberdaya alam dengan cepat untuk mencapai
tingkat pendapatan nasional yang setinggi-tingginya, sehingga faktor
kelestarian keanekaragaman hayati kurang menjadi perhatian. Hal
ini diikuti pula oleh masyarakat
nelayan yang dimodali oleh pengusaha-pengusaha perikanan dengan modal besar,
sehingga mengancam keanekaragaman hayati.
Danau-danau dan sungai sungai yang besar di
wilayah tropik seperti Indonesia mempunyai keanekaragaman spesies yang tinggi
dibanding danau-danau dan sungai-sungai beriklim sedang. Jadi jelaslah bahwa keanekaragaman
cenderung ditemukan dihabitat-habitat tropik yang luas dan tidak begitu banyak
dipengaruhi oleh kegiatan manusia. Kawasan-kawasan
konservasi yang relatif luas di wilayah tropis merupakan cara yang paling
efektif dalam konservasi keanekaragaman hayati yang maksimum. Oleh karena itu,
diperlukan sistem zonasi, pencegaran wilayah, pentatagunaan lahan dan
peraturan-peraturan tentang kegiatan yang diijinkan dan sistem pengelolaan dan
penggunaan habitat yang ketat (Giles, 1971; McKinnon et al, 1986 dalam McNeely, 1992). Di Indonesia untuk
wilayah konservasi ikan air tawar hampir tidak ditemukan, walaupun ada tetapi
tidak dikelola dengan baik dan sering terjadi penjarahan oleh masyarakat dan
biasanya oleh orang-orang yang propesinya bukan nelayan.
Bagaimana dengan
keanekaragaman spesies yang hidup di perairan tawar Kalimantan Tengah yang
menjadi milik umum, hal ini menunjukkan bahwa keaneka-ragaman spesies rendah
dan banyak spesies ikan air tawar yang sudah atau terancam punah karena
kegiatan eksploitasi sumberdaya alam yang berlebihan (Harteman, 2001, 2002).
Spesies-spesies ikan yang hidup di perairan tawar dan laut di wilayah
tropis seperti Indonesia banyak ditemukan spesies-spesies ikan pelagis dan ikan
demersal. Cyprinidae termasuk yang
paling dominan hidup di wilayah permukaan perairan dan tengah, dan aktif pada siang hari (diurnal),
sadangkan ikan demersal aktif pada malam hari (nocturnal) ( Lowe dan McConnel,
1987; Choat, 1991; Jones et al, 1991; Hobson, 1991). Kelompok-kelompok spesies-spesies ikan tersebut berkaitan erat perilaku dan
habitat, baik dengan sistem penglihatan dan penciuman, pemangsa dan mangsa, spesiealisasi makanan
serta intensitas cahaya.
II.
ANCAMAN TERHADAP KEANEKARAGAMAN HAYATI
Perubahan habitat dapat
terjadi akbitat dari ekosistem alami yang beragama menjadi monokultur. Hal ini
merupakan anacaman yang paling penting dan sering berkaitan dengan perubahan
tataguna lahan perairan pada skala regional yang menyebabkan perubahan fungsi
perairan pada suatu kawasan seperti
daerah pemijahan, asuhan dan perlindungan bagi anak-anak ikan.
Kebakaran hutan rawa gambut di Kalimantan, Sumatera dan pulau-pulau lainnya di Indonesia merupakan ancaman yang sangat serius terhadap spesies-spesies ikan, tumbuhan hutan dan binatang lainnya dan habitatnya, akibatnya terjadi perubahan ekosistem pada suatu kawasan hutan rawa sampai keekosistem perairan lainnya. Hal-hal ini menyebabkan spesies-spesies ikan tertentu dan binatang lainnya tertekan (stress), karena harus beradaptasi dengan keadaan habitat dan ketersediaan makanan alami yang berubah. Bila ikan dan binatang air lainnya tidak dapat beradaptasi dengan perubahan lingkungan, maka ikan dan binatang lainnya akan punah. Sebaliknya terdapat spesies-spesies ikan tertentu yang perkembangan populasinya meningkat cepat. Keadaan demikian dapat dipastikan pada setiap tahun bila kebakaran hutan terjadi, banyak spesies-spesies tumbuhan hutan, ikan dan binatang lainnya punah. Karena kebakaran hutan-hutan tersebut meliputi kawasan yang cukup luas, misalnnya kawasan hutan lahan gambut 1 juta hektar yang masih belum dimanfaatkan dapat dikatakan sudah terbakar secara keseluruhannya dan hal ini belum ditambah dengan hutan yang terbakar diluar kawasan tersebut. Artinya perubahan habitat dan keanekaragaman spesies-spesies ikan air tawar, tumbuhan hutan rawa dan binatang lainnya terus terancaman, sedangkan tindakan pencegahan baik oleh pihak masyarakat, perusahaan dan pemerintah belum terlihat dengan nyata. Hal-hal ini mempelihatkan bahwa keanekaragaman ekosistem, spesies dan genetik terus terancam, padahal sumbangan keanekaragaman hayati sangat besar terhadap perekonomian nasional. Masalah seperti diatas kurang mendapat perhatian dari masyarakat tradisional, karena berdasarkan pengalaman mereka yang melindungi keanekaragaman hayati, baik yang bernilai ekonomis penting atau tidak, eksistensi mereka tidak diakui oleh pemerintah maupun pengusaha. Hal seperti ini sangat membahayakan bagi kelangsungan ekosistem regional dan global.
Perubahan habitat hutan rawa gambut menjadi lahan pertanian dalam arti luas, sering terjadi karena terdorong untuk meningkatkan pendapatan atau perluasan lahan pertanian untuk mengimbangi pertambahan penduduk yang tanpa memperhitungkan nilai-nilai ekologis. Perubahan habitat, kasawan hutan rawa gambut 1 juta hektar di Kalimantan Tengah tersebut sebagian besar tidak digunakan, tetapi kebakaran hutan dikawasan tersebut hampir memusnahkan seluruh keanekaragaman tumbuhan hutan rawa gambut dan mengancam punahnya spesies-spesies ikan dan binatang lainnya dihabitat tersebut. Hilangnya habitat untuk daerah pemijahan, perlindungan dan asuhan bagi anak-anak ikan dan binatang air lainnya, maka pertambahan individu populasi suatu komunitas ikan dan binatang lainnya tidak dapat terjadi dengan baik. Perubahan habitat ikan dan binatang air lainnya sering dihubungkan dengan dalih meningkatkan produk pertanian dan tingkat pendapatan masyarakat, hal ini sudah umum terjadi dimasa orde baru, sehingga sekarang ini meninggalkan dampak yang dapat dirasakan oleh setiap nelayan tradisonal dan masyarakat lokal. Perubahan habitat akan merubahan ekosistem secara keseluruhan pada suatu kawasan, karena ia merupakan satu jaringan yang saling berkaitan antara satu komponen ekosistem dengan komponen ekosistem lainnyanya.
Penggundulan hutan dan pengeringan rawa gambut serta hutan mangrov juga merupakan ancaman bagi kehidupan ikan, tumbuhan hutan dan binatang liar lainnya dan habitatnya. Menurut Kottelat et al, (1993) ada empat alasan yang mendukung hal ini :
1. Banyak spesies ikan yang hidup dari tumbuhan dan binatang lainnya yang jatuh ke dalam air dari vegetasi yang hidup di rawa dan tumbuhan yang menggantung di atas air, dan sebagian besar dari hidupnya tergantung baik secara langsung maupun tidak lansung kepada daun tumbuhan, biji-bijian dan buah-buahan yang jatuh dan hanyut di dalam air. Bahan-bahan organik tersebut yang membentuk detritus yang merupakan bahan dasar rantai makanan bagi banyak invertebrata air dan ikan. Di samping itu banyak insekta air dan darat yang bertelur dalam air, darat dan larvanya yang jatuh ke permukaan perairan yang mejadi makanan alami ikan.
2. Akibat dari penggundulan hutan rawa dan kebakaran hutan terjadi kenaikan suhu yang sangat ekstrim (>310C), sehingga konsentrasi oksigen terlarut menurun, hal ini terjadi karena naungan atau vegetasi pelindung permukaan perairan rawa punah. Intensitas cahaya yang sangat tinggi di daerah tropis sangat besar pengaruhnya terhadap suhu perairan dan metabolisme tubuh ikan dan organisme lainnya. Suhu yang melebihi optimum sangat berpengaruh terhadap metabolisme pada ikan, karena semakin meningkat suhu air, maka metabolisme tubuh ikan juga meningkat dan hal ini dapat menyebabkan kematian ikan dan binatang air lainnya. Kebutuhan oksigen juga meningkat seiring dengan meningkatnnya suhu dan di samping itu terjadi penurunan kemampuan pemukaan perairan menyerap oksigen dari udara. Keadaan yang seperti tersebut menyebabkan kemampuan haemoglobin untuk mengikat oksigen semakin berkurang. Di samping itu mengganggu proses pembusukan bahan-bahan organik yang mati tenggelam di dasar perairan, karena diperlukan oksigen terlarut dengan konsentrasi lebih tinggi. Hal ini sering terjadi di daerah rawa gambut, dimana oksigen terlarut sangat rendah, sehingga proses pembusukan bahan organik sangat lambat. Pada malam hari phytoplankton dan tumbuhan air tidak melakukan proses fotosintesis dan konsentrasi oksigen dapat menurun sangat drastis sampai batas minimum yang diperlukan oleh ikan dan organisme perairan lainnya. Permasalah demikian dapat mematikan ikan secara massal, terutama terhadap spesies-spesies ikan yang tidak memiliki alat pernapasan tambahan (Labirint). Biasanya untuk daerah tropis, bila oksigen terlarut mendekati batas akhir optimum biasanya ikan terlihat sering muncul kepermukaan perairan dan terlibat sulit bernapas. Namun spesies-spesies ikan yang hidup di daerah rawa gambut mempunyai strategi dalam pengambilan oksigen, mereka dapat mengambil/menyaring oksigen terlarut dari lapisan tipis dibagian permukaan air dari hasil proses diffusi dengan udara.
3. Karena terbukanya permukaan tanah, air hujan langsung jatuh dipermukaan tanah
sehingga mempercepat proses erosi pada lapisan permukaan tanah dibandingkan dengan daerah yang bervegetasi. Partikel-partikel tanah yang terbawa aliran air tersebut terbawa ke danau, sungai sampai ke pantai laut dan mengendap berupa sedimentasi. Lumpur ini sangat berpengaruh terhadap kehidupan ikan tertentu karena dapat menempel pada insang dan mengakibatkan kematian. Ketika air mengalir lambat, maka lumpur berhenti dan mengendap di dasar sungai, danau, cekungan rawa dan di wilayah estuarine serta menyebabkan pendangkalan dan penyempitan sungai. Di samping itu, dapat menyebabkan pertumbuhan algae dan pertumbuhan tanaman air cepat dan menetap serta menutup seluruh permukaan perairan sungai dan danau (Udoidiong, 1988 dalam Kottelat et al., 1993).
4. Hutan rawa yang tergenang dapat menciptakan relung ekologi yang beragam dan bersifat heterogen yang dapat tercerminkan dari keanekaragaman hayati. Perairan rawa yang tergenang ini merupakan daerah pemijahan, perlindungan spesies-spesies ikan sungai. Jika hutan rawa gundul karena penebangan dan kebakaran hutan dan dikeringkan untuk lokasi perkebunan dan lahan pertanian, maka ancaman dan kepunahan terhadap keanekaragaman ekosistem, spesies dan genetik sudah pasti terjadi. Penebangan hutan mangrov di wilayah pesisir pantai untuk kegiatan usaha budidaya udang dan bandeng juga salah satu faktor yang merubah keanekaragaman ekosistem pesisir pantai, sehingga akhirnya mengancam keutuhan keanekaragaman spesies dan genetik ikan dan binatang air lainnya. Jika pengelolaan keanekaragaman ekosistem, spesies dan genetik dilakukan dengan berbagai pertimbangan, diperkirakan keanekaragaman spesies dan genetik serta produksi perikanan tetap lestari.
Bentuk pencemaran utama di sungai, danau adalah berupa bahan organic dan anorganik yang berasal dari rumah tangga, pasar dan industri yang limbahnya masuk melalui saluran-saluran primer, sekunder dan tersier ke ekosistem sungai dan danau sampai ke laut. Dari buangan limbah industri logam, kimia, pengolahan hasil produk pertanian dalam arti luas serta pertambangan dapat menyebabkan perubahan tingkat keasaman air dan mengandung bahan bahan beracun yang dapat mematikan spesies ikan dan binatang air lainnya pada setiap saat. Dalam proses pembusukan bahan-bahan organik limbah rumah tangga dan industri pengolahan hasil pertanian membutuhkan oksigen terlarut dalam jumlah yang tinggi. Jika jumlah limbah organik sangat banyak, maka konsentrasi oksigen terlarut menurun secara drastis dan mematikan ikan dan binatang air lainnya, karena kekurangan oksigen terlarut yang terlalu rendah. Ikan yang dapat bertahan hidup terutama spesies-spesies ikan yang mempunyai alat pengambil oksigen dari udara. Proses pembusukan bahan organik dan proses oksidasi-reduksi garam-garam besi di parairan tawar seperti di lahan rawa pasang surut juga banyak memanfaatkan oksigen terlarut sehingga konsentrasi oksigen dapat menurun drastis. Dari hasil proses pembusukan banyak menghasilkan senyawa-senyawa ammonia, nitrat,dan pospor. Senyawa-senyawa dalam bentuk anorganik sacara alami di perairan diperlukan oleh tumbuhan air dan phytoplankton. Akan tetapi jika dalam jumlah yang besar dapat memperkaya perairan secara berlebihan, akibatnya tumbuhan air dan algae melimpah (blooming). Sepanjang hari tumbuhan air dan algae akan menghasilkan oksigen fotosintesis, tetapi pada malam hari membutuhkan oksigen untuk bernapas dan konsentrasi oksigen terlarut turun sampai batas minimum yang dibutuhkan oleh ikan dan binatang air lainnya. Keadaan perairan yang demikian disebut eutropikasi. Pada saat tertentu ketika hara yang dibutukan tumbuhan dan phytoplankton kurang. Tumbuhan dan phytoplankton yang melimpah akan mati dan tenggelam didasar perairan serta membusuk, sehinggga mengurangi ketersediaan oksigen terlarut untuk kehidupan ikan.
Bahan organik dan anorganik yang berasal dari kegiatan darat maupun laut, seperti dari pasar, perkotaan, rumah tangga, indutri logam, kimia, pengolahan hasil pertanian, buangan air panas dari indutri baja, perusahaan listrik, pertambangan minyak lepas pantai, buang minyak dari kapal / kapal tenggelam dan lain-lainnya sering merupakan penyebab kematian ikan dan binatang air lainnya (Connell dan Miller, 1995).
Penutupan minyak yang terapung dipermukaan air juga menghambat diffusi oksigen ke dalam air, sedangkan bila tenggelam dapat mengganggu saluran pernapasan ikan dan binatang lainnya. Buang dari industri kimia dan logam yang dibuang ke perairan dapat mematikan ikan, baik langsung maupun tidak langsung karena bahan-bahan berbahaya dan beracun dapat terakumulasi di dalam jaringan tubuh ikan dan binatang air lainnya. Jika ikan dan binatang air tersebut dimakan oleh manusia, maka dapat meracuni manusia, bahkan dapat mematikan. Misalnya Hg, Pb, Cu dan lain-lainnya.
Pestisida dan herbisida semakin banyak ditemukan diperairan, karena peranannya yang penting dalam meningkatkan produktivitas tanaman pertanian. Jika jumlah dosis yang digunakan sesuai dengan yang dianjurkan maka tidak berbahaya bagi kehidupan ikan. Namun yang sering terjadi adalah penggunaan dosis yang melebihi yang dianjurkan. Hal ini karena insekta atau tumbuhan yang menjadi target lebih resisten terhadap dosis yang sudah dianjurkan tersebut. Selanjutnya bahan-bahan beracun tersebut terbawa ke perairan sungai sampai ke pantai laut oleh aliran air sungai dan terakumulasi didasar perairan bercampur detritus serta termakan oleh invertebrata melalui jaringan makanan tersebut, racun terakumulasi secara terus menerus di dalam tubuh organisme hidup hingga sampai batas konsentrasi yang mematikan.
Pengaruh jangka panjang dari bahan-bahan beracun terhadap perkembangbiakan ikan masih belum diketahui banyak, karena sulit dalam pemantauannnya. Peningkatan Pollutan ke dalam ekosistem perairan sampai batas tertentu menyebabkan penurunan kemampuan perairan untuk membersihkan diri. Hal ini karena bahan pollutan yang masuk keperairan melebihan batas maksimum. Dengan masuknya bahan-bahan pollutan tertentu menyebabkan ikan dan binatang air lainnya tertekan dan tidak mampu berkembangbiak dengan baik dan lebih mudah terserang penyakit karena menurunnya daya tahan tubuhnya. Di kalimantan Tengah pada tahun 1997 pernah terjadi kematian massa ikan air tawar pada waktu musim kemarau panjang di Sungai Rungan (anak sungai Kahayan), penyebabnya adalah pengambilan ikan oleh masyarakat yang tidak bertangggung jawab dengan menggunakan pestisida. Demikian pula hannya dengan di laut, sering kita mendengar atau melihat orang menggunakan pestisida dan potassium cianida untuk mengambil ikan hias atau ikan konsumsi. Pengambilan ikan hias yang hidup dilingkungan terumbu karang, hampir seluruhnya menggunakan bahan beracun seperti yang dikemukakan di atas untuk membius atau melumpuhkan ikan. Jika dosis racun yang digunakan berlebihan akan langsung mematikan ikan dan binatang karang atau binatang lainnya. Bila dosisnya rendah ikan hias atau binatang lainnya akan hilang tingkat keseimbangannya dan mudah ditangkap dengan serok (Scoopnet). Dari hasil penelitian menunjukkan bahwa ikan-ikan yang terkontaminasi oleh bahan-bahan beracun menyebabkan ikan tidak dapat berkembangbiak dengan baik. Hal-hal semacam ini akan mengancam keanekaragaman spesies, ekosistem dan genetik. Khsusus-khasus seperti tersebut sering kita dengar, baik dari media massa, dari nelayan dan pelaku itu sendiri, namun tindakan terhadap pelagar hukum ini jarang terjadi, sehingga dari tahun ketahun penggunaan bahan beracun, bahan peledak, listrik terus berlangsung. Mungkin hal ini akan berhenti apabila sumberdaya ikan dan organisme perairan lainnya sudah punah atau terjadi penurunan populasi manusia karena bencana kelaparan, penyakit yang tidak ada obatnya akibat hilangnya sumberdaya yang menjadi bahan obat. Tapi yang pasti hal ini terjadi karena pertambahan penduduk yang melebihi ketersedian lapangan pekerjaan, Oleh karena tidak adanya alternatif lain yang dapat dilakukan adalah dengan cara menangkap ikan dan penjarahan hutan, walaupun hal itu bukan merupakan propesinya. Keadaan perekonomian masyarakat yang demikian banyak dimanfaatkan oleh pemilik modal untuk menjarah hutan dikawasan taman nasional dan ikan di kawasan konservasi laut. Oleh karena itu hampir seluruh tanam nasional laut dan darat mengalami kerusakan berat. Hal ini terjadi karena lemahnya penegakan hukum dan pengawasan serta perlindungan bagi keanekaragaman hayati.
Penggunaan arus listrik dan bom ikan sudah sering kita dengar dan bahkan kita lihat sendiri dilakukan oleh nelayan maupun orang-orang yang propesinya bukan nelayan,
12
baik di perairan tawar maupun laut. Di laut menyababkan kerusakan terumbu karang yang sangat besar dan secara langsung merusak habitat ikan-ikan karang dan udang
karang serta binatang laut lainnya. Jadi kelihatannya penggunaan alat dan bahan berbahaya tersebut sudah bukan menjadi masalah bagi pejabat di Indonesia, tetapi merupakan masalah bagi masyarakat tradisonal dengan tingkat pendapatan yang paling rendah. Padahal sekarang ini pendapatan nelayan sudah jauh menurun dibandingkan dengan beberapa tahun yang lalu.
Pengambilan ikan/penangkapan dengan bahan peledak, listrik dan bahan beracun dengan penggunaan yang berulang-ulang di perairan karang banyak mematikan ikan bersama binatang laut lainnya. Kerusakan terumbu karang di Indonesia umumnya banyak disebabkan oleh pengunaan bahan peledak (bom), listrik dan bahan beracun yang dilakukan oleh orang-orang yang tidak bertanggungjawab secara berulang-ulang, sehingga banyak terumbu karang yang hancur karena bom, mati karena arus listrik dan bahan beracun. Hal tersebut mengancam keutuhan ekosistem terumbu karang dan habitat ikan. Penggunaan bahan peledak, listrik dan bahan beracun tersebut digunakan untuk mengambil ikan yang bernilai ekonomis penting ( Yuni Ikawati, et al., 2001).
Introduksi ikan bila dilakukan dengan hati-hati ke dalam perairan tawar tidak begitu membahayakan dan pengaruhnya kecil terhadap ikan asli. Hal ini jika dilakukan melalui penelitian lebih dulu, tetapi berdasarkan pengalaman yang telah dilakukan diseluruh dunia, introduksi sering merugikan dan menurunkan sifat-sifat serta kualitas genetik ikan asli. Di samping itu sering merupakan sumber penyakit, perasit dan bahkan sebagai kompetitor bagi ikan-ikan lokal, sehingga menyulikan secara sosial ekonomi bagi nelayan tradisonal di daerah sekitarnya. Resiko yang paling berat, karena spesies ikan introduksi dapat berkembang cepat dan bersaing yang sangat agresif dengan spesies ikan lokal yang ada. Hal ini juga dapat mengancam keanekaragaman hayati. Pengaruh penangkapan ikan terhadap keanekaragaman hayati belum begitu banyak diketahui di Indonesia. Penurunan spesies-spesies ikan air tawar asli dan endemik seperti di Kalimantan dan Sumatera diperkirakan banyak disebabkan oleh penangkapan yang berlebihan dengan menggunakan trapnet, jaring insang dalam jumlah yang banyak untuk ditebarkan di danau dan sungai serta rawa. Alat-alat tangkap tersebut, biasanya di tebarkan/dipasang pada awal musim kemarau dan hujan di anak-anak sungai yang menuju ke daerah rawa tempat pemijahan. Akibatnya induk yang ingin memijah tertangkap oleh jaring atau trapnet, sedangkan pada awal musim kemarau dimana permukaan air rawa turun yang disertai dengan migrasinya ikan ke sungai dan danau. Ikan-ikan yang mengikuti air pola musim tersebut ikut tertangkap lagi oleh trapnet dan jaring,. Masalah perikanan air tawar seperti tersebut sudah umum terjadi di perairan umum Kalimantan. Dari hasil penelitian Harteman, (2001; 2002) dan Buchar (2000), banyak spesies ikan air tawar yang sudah langka dan keanekaragaman spesies ikan yang rendah. Demikian pula halnya dari pemantauan hasil tangkapan nelayan menunjukkan bahwa spesies-spesies ikan dan jumlah individu populasi yang sedikit serta ukuran ikan yang keceil-kecil, bahkan banyak spesies ikan yang tidak ditemukan lagi.
Penangkapan ikan di laut menggunakan pukat harimau di daerah-daerah yang terisolir masih dilakukan secara sembunyi-sembunyi dan menguras seluruh sumberdaya perikanan. Demikian pula halnya dengan penggunaan jaring dengan ukuran mata jaring yang beragam dan cenderung menggunakan ukuran mata jaring yang kecil sehingga semua ukuran ikan dari yang berukuran besar sampai berukuran kecil habis tertangkap. Penangkapan ikan yang berlebihan berpengaruh terhadap pupulasi suatu komunitas ikan dan ekosistem (Hall, 1999). Di samping itu, terjadi penangkapan yang intensif oleh perusahaan perikanan dan nelayan pada lokasi-lokasi tertentu baik pada waktu pemeijahan atau tidak. Jika hal ini terus dilakukan secara terus menerus dan ditambah lagi dengan jumlah kapal nelayan yang terus bertambah, maka ancaman terhadap keanekaragaman hayati ikan tidak dapat dihindari lagi.
Salah satu cara yang paling efektif untuk melestarikan keanekaragaman hayati adalah melindungi habitat, penegakan hukum dan peraturan perundang-undangan yang berkeadilan dan tanpa pandang status sosial masyarakat di depan hukum serta menjamin
perlindungan terhadap habitat dan keanekaragaman hayati yang terkandung di dalam habitatnya, baik diluar kawasan konservasi maupun di dalam kawasan konservasi.
Hampir semua negara di dunia mempunyai kawasan konservasi yang dilindungi untuk mempertahankan keanekaragaman hayatinya. Namun di Indonesia kawasan konservasi hayati ikan lebih banyak terdapat ditaman nasional laut yang berkaitan dengan terumbu karang, sedangkan untuk hayati ikan air tawar hampir-hampir tidak ditemukan dan walaupun ada, itupun dalam kawasan danau, rawa dan sungai yang relatif sangat sempit sekali dan tidak mewakili seluruh spesies ikan. Hal-hal itu mengakibatkan banyak spesies-spesies ikan air tawar yang menunjukkan awal tingkat kepunahan. Padahal banyak spesies ikan air tawar yang hidup di sungai dan danau yang dapat dikembangkan untuk ikan budidaya dan dari segi genetik tidak kalah dari spesies ikan introduksi. Padahal pakar-pakar budidaya ikan di Indonesia sudah banyak dan bekerja di berbagai Departemen dan sebagai peneliti maupun pendidik di perguruan tinggi di- Indonesia. Namun kemajuan dalam melestarikan keanekaragaman hayati dan pengermbangan usaha budidaya belum begitu nyata hasilnya,
Padahal spesies-spesies ikan air tawar seperti di daerah Kalimantan sangat potensial sekali untuk dikembangkan menjadi ikan budidaya setempat dan tidak akan mengganngu kenekaragaman hayati yang ada di daerah masing-masing habitat. Hal itu sangat disayangkan, karena manyarakat Indonesia cenderung aktif mengintroduksi spesies-spesies ikan dari luas negeri untuk dibudidayakan. Sebenarnya hal ini dapat mengganggu kelestarian keanekaragaman spesies dan genetik ikan yang hidup di perairan tawar di seluruh Indonesia. Indonesia sendiri sudah mampu mengembangkan sendiri spesies-spesies ikan yang dapat dijadikan ikan budidaya pada masing-masing daerah perairannya. Pengembangan spesies ikan budidaya tentu punya beberapa alasan terutama untuk mengurangi penangkapan di perairan tawar dan laut. Indonesia mempunyai keanekaragaman ekosistem yang relatif kaya dan setiap wilayah memeiliki
karakteristik perairan yang berbeda-beda antar kawasan serta memiliki kekhasan spesies maupun habitat. Upaya-upaya pengembangan teknologi seperti tersebut di atas sangat diperlukan di Indonesia dan kita tidak perlu tergantung dengan negara-negara lain.
Kegiatan manusia yang mengancam kelestarian keragaman hayati perairan sebagai berikut : Kebakaran hutan rawa dan penngundulan hutan rawa serta perubahan lahan hutan mangrov menjadi lokasi budidaya udang dan bandeng; buangan limbah industri logam dan kimia; industri pengolahan hasil pertanian dan perikanan; limbah rumah tangga dan perkotaan; Pestisida, herbisida, listrik dan bom ikan; Penangkapan ikan yang berlebihan dengan alat yang tidak selektif.
Upaya perlindungan terhadap keanekaragaman hayati dapat dilakukan dengan penegakan hukum, pengawasan yang ketat terhadap kegiatan masyarakat baik di kawasan taman nasional maupun di luar kawasan taman nasional darat dan laut.
Barber, C.C., Afiff, S., dsan Purnomo, A. 1997. Meluruskan Arah Pelestarian Keanekaragaman Hayati dan Pembangunan di Indonesia. Yayasan Obor Indonesia, Jakarta. 131 hal.
Buchar, T.,
Harteman, E., dan Yulintine. 2000. Iktiofauna di Danau Tundai, Kalimantan Tengah. Jurnal
Central Kalimantan Fisheries. Vol.1. No. 1. Hal :22-27.
Choat, J.H. 1991.
The Biology of Herbivorous Fishes on Coral Reefs. The Ecology of Fishes on Coral Reefs.
Academic Press, Inc. Sandiego. Pp 120-155.
Giles, R.H. 1971. Wilflife Management Techniques. Third Ed. The Wildlife Society, Washington, D.C. 633 p.
Connell, D.W., dan Miller, G.J. 1995. Kimia dan Ekotoksikologi Pencemaran. U.I. Press, Jakarta. 520 hal.
Hall, S.J. 1999. The Effects of Fishing on Marine Ecosystems and Communities. Black-Well Science Ltd. London. 274 p.
Harteman, E. 2001.
Dampak Aktivitas Penambangan
Emas di Sungai Kahayan
dan Penangkapan Ikan yang Berlebihan Terhadap Struktur Komunitas Ikan,
Suksesi dan Pola penyebarannya di Danau Teluk kameloh Kalimantan tengah. Jurnal Central Kalimantan Fisheries. Vol. 2. No. 1. Hal :16-22.
---------------- 2002.
Keanekaragaman Spesies Ikan dan Ekosistem Danau Hanjulutung,
Kotamadya Palangka Raya Kalimantan Tengah.
Jurnal Central Kalimantan Fisheries.
Vol.3. No. 1. Hal :34-40.
Hobson, E.S. 1991. Trophical Ecology. Trophic Relationship of Spesies Specializad to Feed on Zooplankton a bove Coral Reefs. The Ecology of Fishes on Coral Reefs. Academic Press, Inc. Sandiego. Pp. 69-95.
Jones, G.P., Perell, D.J., dan Sale, P.F. 1991. Fishes Predation and Its Impact on the Invertebrate of Coral Reefs and Adjacent Sediments. The Ecology of Fishes on Coral Reefs. Academic Press, Inc. Sandiego. Pp.156-230.
Kottelat, M., Whitten, A.J., Sri Nurani Kartikasari, dan Wirjoatmodjo, S. 1993. Freswaters Fishes of Wertern Indonesia and Sulawesi (Ikan Air Tawar Indonesia bagian Barat dan Sulawesi). Periplus Edition Ltd, Singapore. 377 p.
Lowe, R.H., dan McConnell. 1987. Ecological Studies in Trophical Fishes Communities. Cambrige University Press. London.
McNeely, J.A. 1992. Ekonomi dan Keanekaragaman hayati. Mengembangkan dan Memanfaatkan Perangsang Ekonomi Untuk Melestarikan Sumberdaya hayati. Diterjemah Oleh yayasan Obor Indonesia, Yayasan Obor Indonesia, Jakarta. 363 hal.
Yuni Ikawati., P.S. Hanggarawati., Parlan, H., Handini, H., Siswadihardjo, R. 2001. Terumbu Karang di Indonesia. Masyarakat Penulis Ilmu Pengetahuan dan Teknologi Bekerjasama dengan Kantor Menristek, Jakarta.