© 2003 Program Pasca Sarjana IPB                                                       Posted: 4 April 2003

Makalah Pengantar Falsafah Sains (PPS702)

Program Pasca Sarjana / S3
Institut Pertanian Bogor
April 2003

 

Dosen: Prof. Dr. Ir. Rudy C. Tarumingkeng
 Dr Bambang Purwantara

 

 

          

 

 

PEMBERDAYAAN INDUSTRI PERIKANAN NASIONAL MELALUI PENGEMBANGAN BUDIDAYA LAUT DAN PANTAI

 

Oleh :

 

Kelompok II

 

Dhani Dianthani (C661024011)

Haerudin (C661020061)

Nurbambang PU (B661020011)

Pujiono Wahyu Purnomo (C661020071)

Suradi Wijaya Saputra (C061020061)

Yulfiperius (B661020031)

 

 

I.  LATAR BELAKANG

Permintaan dan kebutuhan ikan dunia terus meningkat dari tahun ke tahun, sebagai akibat pertambahan penduduk dan perubahan konsumi masyarakat ke arah protein hewani yang lebih sehat.  Sementara itu pasokan ikan dari hasil penangkapan cenderung semakin berkurang, dengan adanya kecenderungan semakin meningkatnya gejala kelebihan tangkap dan menurunnya kualitas lingkungan, terutama wilayah perairan tempat ikan memijah, mengasuh dan membesarkan anak.  Di Indonesia gejala overfishing terjadi pada hampir seluruh perairan Barat Indonesia, kecuali bagian barat Sumatera dan selatan Jawa. 

Guna mengatasi keadaan ini, maka pengembangan budidaya laut merupakan alternatif yang cukup memberikan harapan.  Hal ini didukung oleh potensi alam Indonesia yang memiliki 81.000 km garis pantai dan penduduk yang telah terbiasa dengan budaya pantai dengan segala pernik-perniknya.  Kegiatan budidaya laut dan pantai berpeluang besar menjadi tumpuan bagi sumber pangan hewani di masa depan, karena peluang produksi perikanan tangkap yang terus menurun.  Di beberapa daerah, kegiatan budidaya laut berkembang dengan sistem Karamba Jaring Apung atau Karamba Sistem Jaring Tancap.  Pada Lampiran  1 disajikan potensi budidaya laut dan pantai yang ada di Indonesia.

Meskipun demikian pengembangan budidaya laut hingga saat ini belum menunjukkan kemajuan yang berarti oleh karena dihadapkan pada berbagai masalah seperti penurunan mutu lingkungan, sosial ekonomi, kelembagaan dan sumberdaya manusia.

Diantara berbagai jenis kultivan telah diteliti dan dibudidayakan dalam skala percobaan atau uji coba sejak tahun 70-an, hanya beberapa jenis saja yang berhasil dikembangkan secara komersial seperti rumput laut, udang windu, kekerangan, bandeng, kakap putih, kerapu lumpur dan beronang.  Beberapa jenis kultivan lainnya diantaranya : berbagai jenis kerapu, kakap merah, napoleon, kepiting, ikan hias, teripang dan lobster, masih dalam taraf penelitian dan pengembangan. 

Honma (1993) mengklassifikasikan budidaya laut dan pantai menjadi tiga bagian, yaitu : budidaya di tambak atau bak beton, budidaya dalam karamba jaring apung dan budidaya di dalam teluk atau perairan semi tertutup.  Budidaya ikan dalam karamba dibagi lagi atas budidaya ikan dengan pemberian pakan dan tanpa pemberian pakan.  Diantara ketiga jenis budidaya laut dan pantai tersebut, budidaya yang telah berkembang dengan baik adalah budidaya ikan di tambak dan jaring.  Budidaya ikan yang dilakukan di teluk atau perairan semi tertutup belum dapat dilakukan, dan masih dalam tahap penelitian dan pengembangan, antara lain karena terhambat oleh konflik kepemilikan lahan dan penguasaan teknologinya, disamping terkait dengan kebutuhan investasi yang sangat besar.

Tulisan ini bertujuan mengungkap berbagai permasalahan yang berkaitan dengan pengembangan budidaya laut di Indonesia selama ini serta berbagai upaya-upaya yang dapat dilaksanakan untuk mengatasi hambatan dan tantangan, sehingga dapat dilakukan percepatan pengembangan budidaya laut guna memberdayakan industri perikanan nasional.

II. PERMASALAHAN PENGEMBANGAN BUDIDAYA LAUT.

Sebagaimana diuraikan pada awal tulisan, pengembangan budidaya laut dan pantai di Indonesia berjalan sangat lamban dikarenakan adanya berbagai permasalahan yang dihadapi.  Jika disarikan permasalahan tersebut dapat dibagi atas 4 bagian yaitu masalah yang berkaitan dengan alam/lingkungan, sosial ekonomi, kelembagaan dan teknologi.  Lee (1997) menyatakan bahwa untuk pengembangan budidaya (termasuk perikanan), harus didukung oleh lingkungan, kondisi sosial ekonomi dan kelembagaan.  Clark dan Beveridge (1989) mengatakan bahwa tantangan pengembangan budidaya ikan terletak pada kurangnya teknologi.  Budidaya laut belum berkembang dengan baik di Indonesia, dikarenakan tingkat penguasaan teknologi budidaya masih lemah.  Teknologi budidaya laut yang telah dikuasai meliputi teknologi kakap putih, beronang dan kerapu.  Namun teknologi yang betul-betul telah mantap dikuasai adalah teknologi budidaya kakap putih dan kerapu.

2.1. Lingkungan/alam

Kendala lingkungan yang dimaksud disini meliputi : (1) sumberdaya lahan yang terbatas atau sulit dikembangkan untuk budidaya, (2) terbatasnya jumlah serta kualitas air yang tersedia dan (3) bencana alam seperti banjir dan tsunami. Tidak semua lahan yang terdapat di laut dan pantai dapat dimanfaatkan untuk budidaya laut dan pantai.  Hanya lahan-lahan tertentu yang sesuai yang dapat dimanfaatkan untuk budidaya.  Lokasi yang dapat digunakan/dipilih sebagai lokasi budidaya laut harus memenuhi beberapa persyaratan berikut :

o          Perairan tenang terlindung dari arus dan gelombang yang cukup kuat, karena dapat merusak konstruksi jaring apung. 

o          Kedalaman perairan 5 -15 meter.  Kedalaman perairan , 5 meter akan  menimbulkan masalah lingkungan (kualitas air dari sisa pakan dan kotoran ikan).  Kedalaman perairan > 15 meter akan membutuhkan tali jangkar yang panjang.

o          Dasar perairan sebaiknya sesuai dengan habitat asal ikan yang akan dibudidayakan.  Ikan kerapu menyukai dasar perairan berpasir.

o          Bebas dari bahan cemaran, sehingga lokasi budidaya harus jauh dari kawasan industri maupun pemukiman yang padat.

o          Tidak menimbulkan gangguan terhadap alur pelayaran

o          Mudah dicapai dari darat dan dari tempat pemasok sarana produksi budidaya

o          Lokasi budidaya aman dari tindak pencurian dan penjarahan

o          Memenuhi syarat dari segi fisik-kimia kualitas air yaitu ;

§                                                    Kecepatan arus 15 – 20 cm/detik

§                                                    Kecerahan > 1 meter dan untuk kerapu > 2 meter

§                                                    Salinitas : 30 – 33 ppt

§                                                    Suhu : 27 – 29 derajat Celcius

§                                                    Keasaman air > 7 (basa)

§                                                    Oksigen terlarut . > 5 ppm

Sementara itu untuk pengembangan budidaya pantai perlu memper-hatikan daya dukung lahan.  Pengembangan tambak yang melampaui daya dukung lingkungan akan menimbulkan berbagai dampak ikutan, yang mungkin semakin sulit diatasi.  Daya dukung lahan pantai untuk pertambakan ditentukan oleh :  mutu tanah, mutu air sumber (asin dan tawar), hidrooseanografi (arus dan pasang surut), topografi dan klimatologi daerah pesisir dan daerah aliran sungai di daerah hulu (Poernomo, 1992).  Pada tabel berikut disajikan tolok ukur dan kategori daya dukung lahan pantai untuk pertambakan.

Tabel 1.   Tolok ukur dan kategori daya dukung lahan pantai untuk pertambakan.

 

Tolok ukur

Kategori daya dukung

Tinggi

Sedang

Rendah

1.  Tipe dasar pantai

Terjal, karang ber-pasir, terbuka

Terjal, karang ber-pasir atau sedikit berlumpur

Sangat landai, berlumpur tebal berupa teluk/laguna

2.  Tipe garis pantai

Konsistensi tanah stabil

Sama dengan ka-tegori tinggi

Konsistensi tanah sangat labi

3.  Arus perairan

Kuat

Sedang

Lemah

4.  Amplitudo pasang surut rataan

11 – 21 dm

8 – 11 dm dan 21 – 29 dm

< 8 dan > 29 dm

5.  Elevasi

Dapat diairi cukup pada saat pasang tinggi rataan.  Da-pat dikeringkan to-tal pada saat surut rendah rataan

Sama dengan ka-tegori tinggi

Dibawah rataan surut rendah

6.  Mutu tanah

Tekstur : sandy clay, sandy clay – loam, tidak ber-gambut, tidak ber-pirit.

Tekstur : sandy clay - sandy clay – loam, tidak ber-gambut, kandungan pirit rendah

Tekstur Lumpur atau Lumpur ber-pasir.  Bergambut, kandungan pirit tinggi

7.  Air tawar

Dekat sungai de-ngan mutu air dan jumlah memadai

Sama dengan ka-tegori tinggi

Dekat sungai de-ngan tingkat siltasi tinggi atau air gambut

8.  Permukaan air tanah

Dibawah LLWL

Diantara MLWL dan LLWL

Diatas MLWL

9.  Jalur hijau

Memadai

Memadai

Tipis/tanpa jalur hijau

10.  Curah hujan

< 2000 mm

2.000 – 2.500 mm

> 2500 mm

Sumber :  Poernomo, 1992.

Terjadinya pencemaran merupakan salah satu kendala yang menyebabkan terjadinya penurunan kualitas air, sehingga air tidak dapat dimanfaatkan sebagai media budidaya.  Sering kali terjadi kematian massal hewan kultivan sebagai akibat keracunan bahan-bahan kimia, yang berasal dari kegiatan industri maupun pemukiman penduduk.  Kegagalan kegiatan budidaya dapat pula disebabkan oleh terjadinya bencana alam seperti kegagalan usaha budidaya rumput laut yang telah dirintis oleh nelayan di Kabupaten Sikka, NTT, sebagai akibat terjadinya tsunami di daerah itu. 

2.2.  Sosial Ekonomi dan Budaya

Kendala yang tergolong dalam masalah sosial ekonomi dan budaya meliputi (1) terbatasnya sarana dan prasarana produksi, (2) fluktuasi  harga produk perikanan yang dihasilkan, sehingga menyulitkan perencanaan bisnis, khususnya dalam membuat prediksi biaya hasil (out put) produksi serta (3)  masih rendahnya kualitas sumberdaya manusia perikanan.

Seringkali terjadi lahan yang sesuai untuk budidaya komoditas tertentu terdapat pada lokasi terpencil, yang belum memiliki sarana dan prasarana pendukung seperti penerangan, sarana telekomunikasi, air bersih dan perhubungan, sehingga investor harus berinvestsi pula untuk memenuhi kebutuhan sarana dan prasarana tersebut.  Dengan demikian biaya investasi menjadi sangat tinggi.

2.3.  Kelembagaan

Permasalahan kelembagaan meliputi (1) keterbatasan pelayanan penyuluhan oleh pemerintah, (2) organisasi petani ikan  belum berkembang dengan baik oleh karena kualitas SDM masih sangat rendah dan (3) masih lemahnya dukungan dari lembaga keuangan bank dan non-bank dalam hal dukungan permodalan dan pengeblaan usaha.

Dalam bidang pelayanan penyuluhan,  permasalahan terjadi sebagai akibat terjadinya kesenjangan antara jumlah petani yang membutuhkan penyuluhan dengan jumlah tenaga penyuluh dan sarana/prasarana penunjang penyuluhan seperti balai penyuluh dan kolam percobaan/demonstrasi.  Disamping itu kualifikasi penyuluh pada tingkat PPS maupun PPL terutama dalam bidang budidaya laut masih perlu ditingkatkan.  Kinerja penyuluhan perlu diperbaiki melalui peningkatan intensitas keterkaitan dengan unit-unit percobaan di tingkat propinsi sampai dengan tingkat kabupaten.  Kegiatan ini akan mendorong kinerja PPS dan PPL serta meningkat-kan fungsi penyuluhan yang ada di BIPP.

Di Jepang kebijakan pengembangan perikanan secara nasional diformulasikan oleh suatu badan (komisi) yang terdiri atas wakil-wakil pemerintah (Fisheries Agency), wakil-wakil dari kelompok petani yang diutus oleh Federasi Koperasi Perikanan Nasional dan tenaga ahli.  Sedangkan di Indonesia peranan kelompok tani masih sangat  kecil, sehingga kebijakan pengembangan perikanan masih sangat didominasi oleh pemerintah dan belum mencerminkan kebutuhan petani seutuhnya.

Pemupukan dan pengembangan modal usaha petani ikan kurang sejalan dengan sistem perbankan yang berlaku.  Dalam pengajuan kredit, seringkali petani ikan dihadapkan kepada kesulitan untuk menyediakan agunan dalam jumlah tertentu sebagai jaminan kepada pihak perbankan.  Disamping itu prosedur untuk mendapatkan kredit dari lembaga keuangan bank maupun non-bank, bagi kalangan petani ikan dianggap masih sangat berbelit-belit, dibanding dengan cara memperoleh pinjaman modal dari rentenir.

2.4.  Teknologi

Untuk memberdayakan ekonomi petani dan nelayan telah diperkenalkan teknologi pembenihan baik dalam bentuk hatcheri lengkap (HL) maupun hatcheri skala rumah tangga (HSRT) yang dapat digunakan untuk membenihkan sebagian besar jenis ikan laut seperti benih udang windu, udang putih dan bandeng.  Sementara pembenihan ikan kakap merah dan putih, kerapu tikus, macan dan lumpur telah dapat dipasok oleh hatcheri Loka Situbondo di Jawa Timur dan Loka Gondol di Bali.

Penyediaan teknologi pembenihan masih belum sepenuhnya memadai karena belum terpecahkannya masalah transportasi benih, penyediaan pakan buatan dan penguasaan teknik pembasmian penyakit di tingkat petani.  Selain itu pengembangan usaha budidaya laut dalam KJA masih mengalami berbagai kendala antara lain belum adanya tata ruang pengembangan budidaya, belum dikuasainya teknologi, belum tercukupinya pasok benih dan sarana produksi lain seperti pakan dan obat-obatan serta belum terkendalinya masalah lingkungan dan penyakit. 

Pakan yang digunakan untuk pembesaran ikan di KJA pada umumnya adalah ikan rucah yang tertangkap dengan bagan dari sekitar KJA tersebut.  Namun uji coba penggunaan pakan buatan berupa pellet produksi pabrik pakan memperlihatkan hasil yang menggembirakan terutama untuk ikan kakap. 

Beberapa paket teknologi maupun komponen teknologi telah dikuasai antara lain teknologi kultur pakan alami, teknologi probiotik, teknologi pembenihan kerapu tikus, kepiting bakau, teripang pasir serta teknologi penanggulangan penyakit parasiter, bakterial, jamur dan virus.

 

III.      STARATEGI DAN PENDEKATAN PENGEMBANGAN BUDIDAYA PERIKANAN LAUT DAN PANTAI

Pengembangan budidaya laut dan pantai dilakukan  dengan menggunakan strategi  yang tidak hanya sekedar memecahkan keempat permasalahan yang telah dikemukakan diatas, tetapi juga mampu  menimbulkan peluang dan insentif bagi pembangunan yang sedang dilakukan, terutama untuk mengatasi berbagai permasalahan nasional yang sedang dihadapi Bangsa Indonesia dewasa ini, seperti masalah devisa dan ketenagakerjaan.

Strategi yang dapat ditempuh untuk mencapai maksud diatas meliputi berbagai cara dan pendekatan, baik yang mencakup perubahan struktur budidaya laut dan pantai, pengelolaan pasar secara lebih baik, perbaikan kelembagaan dan pemanfaatan teknologi budidaya yang tepat guna sesuai dengan kebutuhan petani maupun yang terkait dengan strategi pemberdayaan potensi perikanan budidaya secara kesuluruhan dalam kerangka optimaslisasi pengembangan perikanan budidaya laut dan pantai.

3.1.  Perubahan Struktur Perikanan Budidaya

Perubahan ini dilakukan mengacu pada tujuan perubahan struktur.  Oleh karena pengembangan budidaya laut dan pantai ditujukan kepada usaha peningkatan produksi, maka kebijakan harus disusun sedemikian, sehingga dapat mendukung terjadinya peningkatan produksi melalui peningkatan produktivitas dan ekstensifikasi lahan budidaya.  Kebijakan perubahan struktur merupakan kesengajaan (affimative action) untuk kelompok sasaran tertentu.  Berbagai kebijakan yang dapat ditempuh untuk merubah struktur produksi adalah (1) pengadaan sarana dan prasarana penunjang budidaya laut dan pantai, seperti pembangunan saluran irigasi tambak, pembangunan jalan baru, fasilitas komunikasi, air dan penerangan. (2) pembangunan kawasan budidaya terpadu, yang terdiri dari unit pembenihan, pembesaran, pasca panen dan industri pendukung (terutama pakan),  pada suatu kawasan yang sama sekali tidak akan terganggu oleh aktifitas di sekitarnya, sehingga tidak akan terjadi lagi kematian massal ikan kultivan oleh limbah industri maupun rumah tangga, (3) pengembangan sistem pemantauan dini untuk mengantisipasi terjadinya bencana terhadap usaha budidaya yang dilakukan, baik yang disebabkan oleh aktifitas alam (banjir, tsunami, angin topan dan penyebaran penyakit) maupun oleh karena aktifitas manusia (penyebaran limbah sebagai akibat terjadinya kecelakaan di darat maupun di laut).

3.2. Penciptaan Pasar Yang Bersaing

Pada komoditas budidaya yang bersifat musiman, pengelolaan pasar sangat penting.  Pada saat panen dilakukan produksi biasanya melimpah, sehingga harga ikan yang dihasilkan turun drastis.  Bilamana penurunan harga itu terjadi hingga dibawah biaya produksi, maka dapat dipastikan bahwa petani ikan mengalami kerugian.  Keadaan ini dapat dicegah dan diperbaiki dengan melakukan pengelolaan pasar yang lebih baik, dengan tujuan meningkatkan pendapatan petani, sehingga petani tetap bergairah untuk melakukan usaha budidaya ikan.  Pengelolaan pasar antara lain dapat dilakukan dengan memperpendek rantai tata niaga dari produsen ke konsumen, sehingga petani memperoleh keuntungan yang lebih besar.

3.3. Rasionalisasi Iptek Budidaya Laut dan Pantai

Pengembangan penelitian harus diarahkan untuk mendapatkan teknologi yang utuh, efisien dan tepat guna khususnya teknologi pemuliaan, pembenihan, pembesaran dan manajemen kesehatan ikan.  IPTEK yang digunakan dalam perakitan teknologi diutamakan yang mengarah kepada teknologi bangsa sendiri dan berbasis sumberdaya lokal.

Pada era mendatang, peran pemerintah dalam pengembangan teknologi akan semakin berkurang, tetapi karena teknologi perikanan merupakan milik publik, maka teknologi harus dihasilkan oleh pemerintah.  Namun demikian teknologi yang dihasilkan oleh pemerintah ini perlu dikomersialkan dan ditingkatkan nilai jualnya sesuai dengan HAKI.  Dengan demikian diharapkan teknologi akan cepat berkembang karena terciptanya iklim persaingan dan tersedianya dana bagi penelitian.

Dalam hal diseminasi, pemerintah masih memegang peranan penting.  Untuk itu pemerintah harus proaktif dan peran utamanya bukan lagi untuk intervensi ekonomi, melainkan untuk pengaturan dan pelayanan publik termasuk pembinaan dan pengawasan.  Upaya diseminasi yang dapat dilakukan adalah dengan penyediaan informasi sebanyak-banyaknya dengan harga murah dan mudah dipahami, mendorong petani untuk proaktif mencari teknologi, menata pasar input dan out put, mendorong partisipasi LSM lokal, serta membangun sistem informasi teknologi yang berbasis daerah (spesifik lokal).

Penciptaan teknologi bukanlah satu-satunya tujuan dalam upaya pengembangan budidaya laut.  Pengelolaan merupakan hal yang lebih penting baik yang terkait dengan sumberdaya manusia, teknologi maupun lingkungan.  Budidaya laut dan pantai pada hakekatnya tidak terlepas dari upaya peneglolaan sumberdaya perikanan laut, pesisir dan pantai secara keseluruhan.

Kegiatan diseminasi hasil penelitian  dan pengkajian hendaknya dilakukan secara berkelanjutan dan merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari program penelitian dan pengembangan. Pengembangan IPTEK dan diseminasinya di daerah perlu didukung oleh peraturan yang memadai. Peraturan yang ada perlu dievaluasi dan kalau perlu membentuk peraturan baru yang disesuaikan dengan UU No. 22 tahun 1999.

Pengembangan kawasan terpadu (KAPET) untuk kegiatan utama budidaya laut, dengan dukungan teknologi yang tersedia dari lembaga penelitian dan pengembangan serta dukungan dana dari lembaga keuangan, hendaknya segera dilaksanakan. Proyek-proyek percontohan perlu lebih dikembangkan di kawasan industri budidaya laut, dengan inisiatif dari pihak pemerintah, bekerjasama dengan swasta ataupun dengan donor. Selain berfungsi dalam diseminasi, proyek-proyek percontohan dapat pula menarik investasi dan menambah keyakinan pengusaha dan petani nelayan. Diseminasi teknologi budidaya laut dan pantai yang selama ini dilakukan di lapangan melalui eksposes hasil penelitian, aplikasi teknologi, demplot, pelatihan, temu lapang, lokakarya dan lain-lain, sendaknya terus digalakkan sesuai dengan kebutuhan setempat.

3.4. Pemberdayaan Kelembagaan

Kelembagaan yang perlu direvitalisasi untuk menunjang pengembangan budidaya laut dan pantai meliputi kelembagaan penyuluhan, kelompok tani dan keuangan.  Revitalisasi lembaga penyuluhan dilakukan untuk meningkatkan kesempatan petani memperoleh layanan penyuluhan sesuai dengan kebutuhannya.  Revitalisasi kelompok tani dilakukan untuk mendorong petani membentuk kelompok dan meningkatkan kualitas kelompok melalui pemberdayaan anggota kelompok.  Tindakan ini dilakukan guna memperkuat posisi tawar menawar petani ikan.  Revitalisasi lembaga keuangan dilakukan guna mempermudah petani mengakses modal dari perbankan dalam rangka pengembangan usaha.

           Penataan kelembagaan dan koordinasi antar lembaga yang terkait dalam pengembangan IPTEK dan diseminasi teknologi budidaya laut dan pantai perlu dilakukan. Di tingkat petani dan nelayan, pembentukan koperasi dan kelompok tani terbukti banyak membantu proses diseminasi. Adanya suatu sistem informasi perikanan nasional akan sangat membantu percepatan diseminasi maupun penyampaian umpan balik.

Disamping itu perlu disusun kurikulum dan muatan budidaya laut secara proporsional di lembaga-lembaga pendidikan formal, DIKLAT dan lembaga penyuluhan perikanan dan pertanian seperti STP, APP, Akademi Perikanan, SPP Perikanan, BIPP, BPP dan lain sebagainya.

Lembaga-lembaga yang mempunyai tugas dan fungsi diseminasi seperti Balai-balai Pengembangan, BPTP, BIPP, BPP maupun penyuluh dan kelompok tani - nelayan perlu lebih diberdayakan karena selain menjadi pemegang peranan penting dalam percepatan transfer teknologi dan informasi, mereka juga mengidentifikasi kebutuhan serta merakit paket teknologi spesifik lokasi berdasar sumberdaya yang tersedia untuk mendukung pembangunan wilayah.

3.5. Pengembangan Sumberdaya Manusia

Sumberdaya manusia merupakan unsur utama pembangunan yang perlu diperhatikan dalam kegiatan diseminasi budidaya perikanan laut dan pantai, disamping dua unsur lainnya, yaitu teknologi dan sumberdaya alam. Termasuk kedalam sumberdaya manusia ini adalah sumberdaya manusia sebagai penghasil teknologi  maupun sumberdaya pengguna teknologi.

Peningkatan kemampuan sumberdaya manusia, baik kuantitas maupun kualitasnya, dilakukan terhadap sumberdaya manusia penghasil teknologi  (peneliti/perekayasa, pengajar, penyuluh) maupun sumberdaya manusia pengguna teknologi (petani nelayan, pengusaha). Dari sisi pengembangan sumberdaya manusia diseminasi teknologi budidaya laut dan pantai ini dapat dilihat sebagai suatu sistem alih informasi yang memiliki unsur sebagai berikut.

1.      SDM sebagai penghasil dan pengembang teknologi

2.      Proses diseminasi teknologi

3.      SDM sebagai penerima pengembangan teknologi.

 

 

 

 

 

 

 

 

 


Sumberdaya manusia yang diharapkan sebagai penghasil teknologi dapat ditafsirkan sebagai individu atau institusi yang melakukan kegiatan, penelitian, percobaan, pengembangan suatu teknologi agar bermanfaat secara nyata bagi kebutuhan manusia atau teknologi itu sendir (Zakaria, 1999). Teknologi budidaya laut dan pantai merupakan bidang yang memberikan harapan besar bagi pembangunan perikanan, namun masih banyak tantangan yang dihadapi.

Keanekaragaman biota tropis yang sangat tinggi dan kompleksnya faktor yang mempengaruhinya dapat menyebabkan tidak mudahnya teknologi ini diseminasikan. Ditambah lagi terbatasnya dana dan budaya penelitian pada masyarakat.  Beberapa hal yang  perlu mendapat perhatian terkait dengan sumberdaya manusia penghasil teknologi , antara lain :

a.              Pengusahaan teknologi terapan budidaya laut dan pantai

b.              Pemahaman secara mendalam kebutuhan masyarakat dan pasar bisnis komoditas yang dipilih untuk dikaji, dikembangkan dan didiseminasikan.

c.              Terwujusnya komunikasi yang akrap, terbuka dan dinamis, segenap unsur pelaku kegiatan budidaya laut dn pantai.

Sedangkan keberhasilan proses diseminasi teknologi budidaya laut dan pantai dipengaruhi oleh hal-hal sebagai berikut :

1.      Tidak terdapat kesenjangan lokasi yang luas antara penghasil teknologi dan penggunanya.

2.      Tidak terdapat kesenjangan kognitif yang tinggi antara penghasil teknologi dengan penggunanya.

3.      Terdapat sistem komunikasi yang baik untuk menghubungkan antara penghasil dan pengguna teknologi.

Di negara berkembang seperti Indonesia, pengguna teknologi (petani, nelayan) pendidikannya pada umumnya relatif rendah. Hal ini merupakan salah satu penghambat kelancaran diseminasi teknologi budidaya laut dan pantai.  Terlebih lagi jumlah lembaga penelitian masih sangat kecil disamping dengan penyebaran demografis petani-nelayan yang sangat luas. Beberapa lembaga    pemerintah yang menghasilkan sumberdaya manusia yang dapat berperan dan berfungsi  dalam desiminasi budidaya laut dan pantai, antara lain :

a)      Sekolah Tinggi Perikanan

b)      Akademi Perikanan

c)      Sekolah Pertanian Pembangua

d)      Balai Informasi dan Penyuluhan Pertanian

e)      Balai Penyuluhan Pertanian

f)        Penyuluh pertanian (37.288 orang)

Untuk memperlancar dan mengefektifkan kegiatan penyuluhan, para petani dan neayan dihimpun dalam wadah kelompok tani-nelayan, yang sekaligus merupakan media belajar-mengajar atau unit usaha. Sampai dengan tahun 1999 jumlah kelompok tani-nelayan adalah 354.881 kelompok.

Sumberdaya pengguna dan pelaksana teknologi budidaya laut dan pantai di Indonesia pada umumnya masih berpendidikan sangat rendah, yakni 79,05 %    tidak tamat SD, 17,59% tamatan SD dan hanya 0,03% yang berpendidikan sarjana. Gambaran tentang sumberdaya pengguna teknologi budidaya di Indonesia disajikan pada Tabel berikut.

 

Tabel 2. Tingkat Pendidikan SDM Perikanan

No

Tingkat Pendidikan

Persentase

01

Diploma dan Sarjana

0,03

02

Tamat SLA

1,37

03

Tamat SLTP

1,90

04

Tamat SD

17,59

05

Tidak tamat SD

79,05

Sumber : BPS, 1990

3.6.   Pendekatan Partisipatif, Kerjasama dan Kemitraan

Karena alasan modal, teknologi, akses terhadap sumberdaya alam, sebagian besar kegiatan budidaya perikanan laut dikuasai perusahaan berskala besar atau petani maju. Untuk merangsang pengembangan usaha kecil  dan menengah, sekaligus sebagai upaya diseminasi, perlu dikembangkan sistem kemitraan saling menguntungkan dalam budidaya perikanan laut, yaitu dengan menyerahkan sebagian kegiatan usaha kepada pengusaha kecil dan menengah. Pada kenyataannya praktek kemitraan dalam usaha budidaya pantai belum berjalan sebagaimana diharapkan.

Disamping pendekatan tersebut di atas, secara lebih spesifik Dahuri (2003) mengemukakan beberapa strategi pengembangan perikanan budidaya laut dan pantai sebagaimana diuraikan sebagai berikut.

3.7.   Pendekatan Pengembangan Budidaya Berbasis Masyarakat (PBBM)

Untuk mengantisipasi perubahan paradigma dari orientasi organisasi berjenjang kepada organisasi  tim kerja, sekaligus untuk menghindari tumpang tindih, kegiatan penelitian, pengembangan dan diseminasi juga harus dikoordinasikan secara mantap melalui pengembangan jaringan kerja yang operasional. Pendekatan partisipasi pengguna teknologi dalam perencanaan serta pelaksanaan pengembangan budidaya laut dan pantai perlu dikembangkan. Model yang dapat dikembangkan adalah pengembangan budidaya yang berbasis masyarakat. Pengembangan budidaya berbasis masyarakat (PBBM) dapat diartikan sebagai suatu proses pemberian wewenang, tanggung jawab, dan kesempatan kepada masyarakat untuk mengmbangkan kegiatan budidaya laut dan pantai dengan terlebih dahulu mendifinisikan kebutuhan dan keinginan, tujuan serta aspirasinya.  PBBM menyangkut pula pemberian tanggung jawab kepada masyarakat sehingga mereka dapat mengambil keputusan yang pada akhirnya menentukan dan berpengaruh pada kesejahteraan mereka.

3.8.   Pendekatan Pengembangan Budidaya Berbasis wilayah dan komoditas unggulan (PPBBWKU).

Di samping pendekatan PBBM, maka perlu kiranya mempertimbangkan pendekatan budidaya berbasis wilayah dan komoditas unggulan (PPBBWKU). Keragaman kondisi biofisik wilayah laut dan pesisir Indonesia yang begitu tinggi berimplikasi kepada kesesuaian untuk budidaya komoditas perikanan berbeda dari satu wilayah ke wilayah lainnya (Lampiran 1). Oleh karena itu pembangunan budidaya laut dan pantai di Indonesia tidak mungkin dilakukan seragam. Akan lebih tepat dan benar bila pembangunan perikanan budidaya ini berdasarkan kepda pendekatan wilayah sesuai dengan komoditas unggulan yang dapat dikembangkan di wilayah yang bersangkutan. Lebih dari itu, PPBBWKU juga memudahkan untuk diterapkannya pendekatan pembanguna wilayah secara terpadu dan total football oleh segenap sektor yang terkait.

Komoditas perikanan yang dihasilkan oleh usaha perikanan budidaya ini tidak hanya dimaksudkan untuk pasar global guna memperoleh devisa, tetapi juga di dalam rangka memenuhi kebutuhan ikan (ketahanan pangan) dalam negeri, sehingga rakyat menjadi cerdas dan kuat. Oleh karenanya, komoditas unggulan yang dimaksudkan di sini adalah komoditas perikanan yang permintaan pasarnya tinggi, baik pasar domestik maupun eksport, atau harga jualnya tinggi. Komoditas unggulan untuk budidaya tambak meliputi : udang windu, udang vaname, udang rostris, kerapu lumpur, bandeng, rajungan dan rumput laut (Gracillaria Sp). Sedangkan untuk budidaya laut mencakup berbagai macam jenis kerapu, beronang, kakap, kerang mutiara dan rumput laut (Eucheuma Sp).

Sesuai dengan tuntutan otonomi daerah dan desentralisasi, maka setiap propinsi dan kabupaten/kota perlu melakukan pemetaan wilayah komoditas unggulan dimaksud. Atas dasar peta ini disusun rencana pembangunan wilayah dengan salah satu sektor produktif unggulan (Leading sector) perikanan budidaya laut dan atau payau, yaitu meliputi tiga langkah sebagai berikut (Dahuri, 2003):

a)        Pertama, setiap PEMDA melakukan inventarisasi dan pemetaan mengenai karakteristik biofisik, potensi budidaya, aspek kelembagaan, karakteristik dan dinamika sosio kultural masyarakat.

b)        Kedua, atas dasar informasi dari langkah pertama selanjutnya disusun peta tata ruang berkelanjutan yang terdiri atas : kawasan preservasi, kawasan konservasi dan kawasan pengembangan budidaya.

c)        Ketiga, Menyusun rencana investasi dan pembangunan perikanan budidaya atas dasar peta tata ruang yang dihasilkan pada langkah kedua tadi.

 

3.9. Penerapan Teknologi Budidaya sesuai Daya Dukung Lingkungan dan Kesiapan Masyarakat Setempat dalam Adaptasi Teknologi

 

Salah satu faktor penyebab kegagalan budidaya di masa yang lalu tertutama di daerah sentra-sentra budidaya tambak udang seperti Pantai Utara Jawa dan Sulawesi Selatan, adalah intensitas budidaya (luas lahan dan tingkat teknologi yang dignakan) melampaui daya dukung lingkungan. Selain itu kesiapan masyarakat petambak khususnya yang terkait dengan disiplin, keahlian dan kerjasama kelompok pada saat itu belum memadai.  Oleh sebab itu penerapan teknologi budidaya pada wilayah-wilayah pengembangan yang telah ditetapkan pada butir 3.6 di atas harus disesuaikan dengan daya dukung lingkungan setempat dan kesiapan masyarakatnya di dalam mengadopsi dan menerapkan teknologi termaksud.

 

3.10. Revitalisasi Sentra Wilayan Produksi Pertambakan Udang.

 

Komoditas udang menempati urutan ke lima terbesar dalam deretan komoditas ekspor non migas, dan merupakan komoditas perikatan yang sangat penting  bagi perekonomian Indonesia, karena 50% dari total nilai ekspor perikanan Indonesia (sekitar 2 milyar US$ pada tahun 2002) berasal dari komoditas udang. Lebih dari itu, permintaan dunia terhadap komoditas ini sangat besar dan terus meningkat. Pada tahun 2005, diperkirakan akan terjadi penurunan produksi perikanan, karena beberapa negara produksen perikanan akan menghentikan kegiatan produksi (penangkapan)-nya, sehingga merupakan peluang yang besar bagi produksi perikanan nasional. Oleh karenanya program revitalisasi saha budidaya pantai di daerah – daerah yang pada awal tahun 1980-an sampai awal 1990-an pernah menjadi sentra produksi udang perlu segera dilakukan. Program ini meliputi kegiatan-kegiatan sebagai berikut (Dahuri, 2003).

Pertama, menentukan daerah-daerah tambak yang masih dapat direvitalisasi dan yang sudah tidak mungkin untuk direhabilitasi.

Kedua, bagi tambak yang masih dapat diselamatkan harus dapat diperbaiki tata letak dan desain perkolamannya serta diperbaiki kualitas dan daya dukung lingkungannya melalui penanaman kembali mangrove sesuai kebutuhan dan pengendalian pencemaran, terutama yang berasal dari sektor-sektor lain di sebelah hulu kawasan pertambakan.

Ketiga, setelah rehabilitasi lingkungan pertambakan pada butir 2 selesai, maka pembudidayaan jenis udang windu yang harga jualnya paling tinggi dapat kembali dilakukan dengan prinsip kehati-hatian sesuai daya dukung lingkungan.

Keempat, perlu perlindungan kawaan industri budidaya pantai melalui implementasi tata ruang wilayah berbasis Daerah Aliran Sungai yang harus ditetapkan dalam bentuk Peraturan Daerah. Hal ini sangat mendasar, karena kegagalan industri tambak udang pada masa yang lalu pada umumnya disebabkan oleh kualitas perairan yang buruk dan terus menurun akibat pencemaran dari berbagai kegiatan lain di hulu.

 

3.11.  Penguatan dan Pengembangan Teknologi Budidaya.

 

Saat sekarang teknologi yang digunakan untuk usaha budidaya laut masih sebatas pada jaring apung atau karamba laut, sistem rakit dan rakit dasar. Dengan banyaknya teluk-teluk dan daerah laut yang bersifat semi tertutup serta pulau-pulau kecil yang dikelilingi  mangrove dan terumbu karang, maka teknologi sea ranching dan sea farming seperti yang berhasil diterapkan di beberapa negara, seperti Jepang, Australia, dan beberapa negara Pasifik Selatan perlu diterapkan dengan beberapa penyesuaian.

 

3.12. Penguatan dan Pengembangan Kapasitas Pasca Usaha Budidaya Perikanan.

 

Secara bio-teknis keberhasilan usaha perikanan budidaya laut dan pantai ditentukan oleh penguasan dan penerapan secara tepat dan benar lima elemen dasar (panca usaha) budidaya perikanan, yaitu (Dahuri, 2003): (1) perbenihan, (2) pakan atau nutrisi (3) pengendalian hama dan penyakit (4) manajemen kualitas air dan tanah, (5) pon engineering dan layout perkolaman.  Kemampuan dalam mengusai dan menerapkan panca usaha budidaya perikanan ini harus senantiasa terus ditingkatkan, jika ingin potensi ekonomi yang sangat besar ini dapat mewujudkan kemakmuran yang dicita-citakan.

 

3.13.  Pembangunan Prasarana

 

Potensi ekonomi yang terdapat pada usaha perikanan budidaya laut dan pantai sangat besar,  tetapi realisasinya sangat kecil, disebabkan antara lain terbatasnya prasarana, seperti saluran irigasi dan drainase pertambakan, akses  jalan dan sebagainya. Selama ini, saluran irigasi tambak merupakan bagian terhilir dari sistem irigasi sawah (pertanian), sehingga air yang masuk ke tambak kebanyakan mengandung sisa-sisa pestisida, herbisida, atau pupuk dari lahan pertanian. Oleh karena itu perlu membangun prasarana ini khusus untuk kawasan pertambakan sebagaimana dipraktekkan secara berhasil di Thailand.

 

3.14.  Penerapan Sistem Bisnis Perikanan Budidaya Secara Terpadu

 

Pembangunan perikanan budidaya hendaknya dilakukan berdasarkan pendekatan sistem bisnis perikanan budidaya secara terpadu, sehingga arah dan kebijakan pembangunan merefleksikan kegiatan dari seluruh fungsi sub sistem perikanan yang meliputi pembangunan sub-sistem perbenihan, sub-sistem usaha budidaya, sub-sistem pasca panen dan pemasaran yang ditunjang oleh pembangunan sub-sistem  kesehatan ikan dan lingkungannya serta pembangunan sub-sistem prasarana budidaya perikanan.  Dalam pembangunan budidaya tambak yang menjadi sorotan adalah  berkaitan dengan pembangunan budidaya yang berkelanjutan sesuai dengan amanat FAO (1995) melalui  Code of Conduct for Responsible Fisheries, sehingga arah pembangunan perikanan budidaya, khususnya budidaya udang hendaknya dilakukan dengan prinsip-prinsip pembangunan yang bertanggungjawab dengan memadukan  elemen daya dukung dan pengendalian lingkungan.

 

IV. KESIMPULAN

 

Berdasarkan uraian di atas maka dapat disimpulkan beberapa hal sebagai berikut.

1.      Perikanan budidaya merupakan salah satu potensi ekonomi nasional yang saat sekarang belum dapat dimanfaatkan secara optimal

2.      Pengembangan perikanan budidaya laut dan pantai masih mengalami banyak kendala, baik yang bersifat internal seperti masalah SDM, penguasaan teknologi dan sebagainya maupun yang terkait dengan persoalan eksternal, seperti masalah lingkungan dan ketersediaan sarana dan prasarana.

3.      Guna mengatasi berbagai permasalahan yang timbul berkaitan dengan upaya pengembangan budidaya laut dan pantai, sekaligus memecahkan berbagai permasalahan Bangsa Indonesia, maka strategi pengembangan yang dapat ditempuh adalah :

a.      Perubahan struktur budidaya laut dan pantai yang berorientasi pada peningkatan produksi.  Strategi ini ditempuh melalui peningkatan produktivitas dan ekstensifikasi lahan budidaya

b.      Penciptaan struktur pasar yang lebih 

4.      Berbagai upaya sebagaimana diuraikan di atas akan mampu mempercepat pengembangan perikanan budidaya laut dan pantai jika dilaksanakan dengan sungguh-sungguh oleh semua pihak yang terkait, dari level Daerah Kabupaten/Kota sampai dengan level nasional.

 

DAFTAR PUSTAKA

 

Clarke, R. and M. Beveridge.  1989. Off shore fish farming.  Infofish International, 3 (89) : 12 – 15.

Dahuri, R. 2003. Paradigma baru pembangunan Indonesia berbasis kelautan. Orasi ilmiah : Guru besar tetap bidang pengelolaan sumber daya pesisir dan lautan Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan Institut Pertanian Bogor.

Honma, A.  1993.  Aquaculture in Japan.  Japan FAO Association.  Baji Chikusan-Kaikan, 1-2 Kanda Surugadai, CVhiyoda-Ku, Japan.

Jusuf, G.D.H. dan V.P.H. Nikijuluw.  1999. Arah kebijaksanaan dan strategi diseminasi teknologi dan penelitian budidaya laut dan pantai dalam A. Sudrajat, E. S.Heruwati, J. Widodo dan A. Poernomo (Penyunting).  Prosiding Seminar Nasional Penelitian dan Diseminasi Teknologi Budidaya laut dan Pantai di Jakarta Tanggal 2 Desember 1999.  Badan Litbang Pertanian, Puslitbang Perikanan bekerjasama dengan JICA

Lee, C.S.  1997. Constraints and government intervention for the development of aquaculture in developing countries.  Aquaculture Economics and Managements, 1(1) : 65 – 71.

Maan, M., Bachrein dan M. Rochiyat.  1999.  Diseminasi teknologi budidaya laut dan pantai dalam A. Sudrajat, E. S.Heruwati, J. Widodo dan A. Poernomo (Penyunting).  Prosiding Seminar Nasional Penelitian dan Diseminasi Teknologi Budidaya laut dan Pantai di Jakarta 2 Desember 1999.  Badan Litbang Pertanian, Puslitbang Perikanan bekerjasama dengan JICA.

Nikijuluw, Victor P.H., 2002. Rezim Pengelolaan Sumberdaya Perikanan. Pusat Pemberdayaan dan Pembangunan Daerah dan PT. Pustaka Cidesindo. Jakarta.

Sugama, K.  1999.  Inventarisasi dan identifikasi teknologi budidaya laut dan pantai yang telah dikuasai untuk diseminasi dalam A. Sudrajat, E. S.Heruwati, J. Widodo dan A. Poernomo (Penyunting).  Prosiding Seminar Nasional Penelitian dan Diseminasi Teknologi Budidaya laut dan Pantai di Jakarta Tanggal 2 Desember 1999.  Badan Litbang Pertanian, Puslitbang Perikanan bekerjasama dengan JICA


Lampiran 1.  Tabel  Potensi Pengembangan Budidaya Laut di Indonesia

 

No

Propinsi

Komoditas

Potensi Luas Areal (ha)

1

DI Aceh

Kerapu, Rumput laut, Kekerangan

203,35

2

Sumatera Utara

Kakap, Tiram, teripang, Rumput laut

734

3

Sumatera Barat

Kerapu bebek, Kerapu macan, Rumput laut dan mutiara

128

4

Bengkulu

Kakap, tiram dan rumput laut

203

5

Sumatera Selatan

Kakap dan tiram

2.785.300

6

Riau

Kakap putih dan rumput laut

1.595

7

Jambi

Kakap putih

30

8

Lampung

Kakap, tiram

596,8

9

DKI Jakarta

Rumput laut, kerang hijau, kerapu, kakap, beronang dan tiram mutiara

26,4

10

Jawa Barat

Kakap, kerapu, teripang, rumput laut

743,7

11

Jawa Tengah

Kakap, kerapu, teripang, rumput laut

677.700

12

DI. Yogyakarta

Kakap, kerapu, teripang

18,8

13

Jawa Timur

Kakap, kerapu, teripang, rumput laut dan mutiara

640,5

14

Bali

Kakap, kerapu, tiram, teripang, rumput laut dan mutiara

39,2

15

Nusa Tenggara Barat

Kerapu, teripang, rumput laut dan mutiara

152,8

16

Nusa Tenggara Timur

Kakap, kerapu, tiram, rumput laut dan mutiara

37,5

17

Sulawesi Utara

Kakap, kerapu, tiram, teripang, rumput laut dan mutiara

143,4

18

Sulawesi Selatan

Kakap, kerapu, tiram, teripang, rumput laut dan mutiara

600,5

19

Sulawesi Tengah

Rumput laut, kerang hijau, kerang mutiara dan teripang

18,4

20

Sulawesi Tenggara

Kakap, kerapu, tiram, teripang, rumput laut dan mutiara

230

21

Kalimantan Barat

Kerapu, kakap putih, lobster, teripang 

15,52

22

Kalimantan Timur

Kerapu, kakap, rumput laut, teripang dan lobster

6,35

23

Kalimantan Tengah

Kakap dan tiram

3.708.500

24

Kalimantan Selatan

Kerapu, tiram, kerang, teripang, abalone, rumput laut dan kerang putih

1.962.505

25

Maluku

Kakap, kerapu, tiram, teripang, rumput laut dan mutiara

1.044.100

26

Irian jaya

Kakap, kerapu, tiram, teripang, rumput laut dan mutiara

9.938.100

TOTAL

24.528.178

Sumber : Ditjen Perikanan Budidaya, 2002

 

 

 


Lampiran 2.  Potensi Pengembangan Budidaya pantai di Indonesia

 

No

Propinsi

Potensi

Tingkat Pemanfaatan

Luas (ha)

%

Luas (ha)

%

1

DI Aceh

34,8

4,02

42,847

123,12

2

Sumatera Utara

71,5

8,25

6,95

9,72

3

Riau

54

5,91

286

Dta

4

Jambi

3,3

0,36

100

Dta

5

Sumatera Selatan

13

1,88

100

0,61

6

Bangka Belitung

Dta

Dta

Dta

Dta

7

Sumatera Barat

7,7

0,89

3,613

46,92

8

Lampung

13,1

0,76

Dta

Dta

9

Banten

Dta

Dta

Dta

Dta

10

Bengkulu

6,8

0,79

143

2,09

11

Jawa Barat

47,2

7,23

54,308

86,68

12

Jawa Tengah

26

2,31

27,955

139,78

13

DI. Yogyakarta

1,9

0,22

Dta

Dta

14

Jawa Timur

35

3,90

Dta

Dta

15

Bali

4,6

0,54

678

14,58

16

Nusa Tenggara Barat

19,2

2,22

7,051

36,72

17

Nusa Tenggara Timur

2,5

0,29

346

13,84

18

Kalimantan Barat

91,6

10,59

557

0,61

19

Kalimantan Tengah

115

13,27

Dta

Dta

20

Kalimantan Selatan

28,6

3,30

2,363

8,26

21

Kalimantan Timur

82,9

9,26

15,428

18,50

22

Sulawesi Selatan

15,9

1,83

84,832

535,22

23

Sulawesi Tenggara

7

2,31

Dta

Dta

24

Sulawesi Tengah

5,5

9,63

5,85

107,34

25

Gorontalo

Dta

Dta

Dta

Dta

26

Sulawesi Utara

16,5

0,39

689

20,26

27

Maluku

188,4

22,06

45

0,02

28

Maluku

Dta

Dta

Dta

Dta

29

Irian jaya

21

2,42

213

1,01

TOTAL

913

100,00

344,759

40,00

Sumber : Ditjen Perikanan Budidaya, 2002