© 2003 Program Pasca Sarjana IPB                                                       Posted: 19 April 2003

Makalah Pengantar Falsafah Sains (PPS702)

Program Pasca Sarjana / S3
Institut Pertanian Bogor
April 2003

 

Dosen: Prof. Dr. Ir. Rudy C. Tarumingkeng
 Dr Bambang Purwantara

 

 

 

 

Pemeliharaan Sungai Sebagai Salah Satu Upaya Mengatasi

Problema Banjir di DAS Ciliwung Hilir

 

Kelompok V

 

Yayat Hidayat                        A262020011/DAS

Hari Siswoyo                         A262020021/DAS

Agus Zaenal                          A262020031/DAS

Trihono Kadri                         A262020041/DAS

Rajulaini                                 A262020051/DAS

Andi Masnang                       A262020061/DAS

 

 

PENDAHULUAN

 

Sejalan dengan perkembangan masyarakat di wilayah daerah aliran sungai (DAS) Ciliwung, maka berbagai tatanan kehidupan berubah dengan cepat mengikuti berbagai kebutuhan masyarakat. Salah satu dampak dari perubahan tersebut  ialah pola pemanfaatan sumber daya alam yang berada disekitar masyarakat. Keinginan untuk memanfaatkan sumber daya alam semaksimal mungkin, umumnya kurang memperhatikan dampak yang akan muncul dikemudian hari. Selain itu perkembangan penduduk dan pemukiman akan mendesak pola penggunaan lahan di wilayah hulu berubah yang biasanya dikonversi dari penggunaan lahan pertanian ke non-pertanian.

Hariyadi (1988) mengemukakan tingkat pertambahan penduduk yang begitu pesat, sebaliknya luas DAS relatif tetap tidak mengalami perubahan, ditambah lagi dengan faktor kemiskinan penduduk yang mengakibatkan semakin meningkatnya perubahan penggunaan lahan yang pada umumnya kurang memperhatikan faktor konservasi tanah dan air dalam pengelolaannya. Pemanfaatan potensi DAS baik sumber daya lahan maupun sumberdaya air yang tidak mengindahkan kaidah-kaidah konservasi akan mengakibatkan degradasi terhadap kondisi DAS. 

Pesatnya pembangunan membutuhkan sumber daya alam yang sangat besar. Sering pula terlihat bahwa dalam pembangunan terjadi pengelolaan terhadap penggunaan sumber daya alam yang berlebihan, hal tersebut dapat mengakibatkan terganggunya keseimbangan tata air dan turunnya kemampuan tanah produksi lahan yang tergambar dengan menurunnya aliran rendah,  naiknya aliran maksimal, dan naiknya hasil air tahunan, selain itu juga akan meningkatkan tingkat erosi dan sedimentasi ( Ilyas dan Effendy, 1993).

Berbagai dampak akan terjadi sebagai akibat pemanfaatan sumber daya alam yang kurang seimbang, salah satu dampak yang terjadi di wilayah DAS Ciliwung ialah terjadinya banjir sebagai akibat air hujan yang melimpah memasuki wilayah Jakarta dari arah hulu sedangkan bagian utara adalah daerah pantai yang kemiringannya tidak cukup untuk mengalirkan air laut dengan lancar sehingga menimbulkan genangan.

DEGRADASI DAS,  PENCEGAHAN, & PENANGULANGAN DAMPAKNYA

            Secara hidrologis DAS didefinisikan sebagai daerah yang dibatasi oleh punggung topografi,  sehingga air yang jatuh akan mengalir melalui satu titik pengamatan. Dalam suatu sistem hidrologi  DAS berlaku sistem masukan dan keluaran. DAS berfungsi “processor” dimana masukannya adalah curah hujan dan energi, sedangkan keluarannya adalah debit aliran sungai, sedimen, dan lain-lain. DAS juga merupakan salah satu bentuk ekosistem yang terbagi ke dalam wilayah hulu, tengah dan hilir.   Wilayah hulu didominasi oleh kegiatan pertanian lahan kering dan hutan, sedangkan di wilayah hilir didominasi oleh lahan sawah dan pemukiman.

Sementara itu pengelolaan DAS merupakan suatu kegiatan yang menggunakan dan atau memanfaatkan semua sumber daya alam/ biofisik  untuk memberikan hasil yang optimal bagi kesejahteraan masyarakat yang tinggal dalam DAS tersebut ( stake holder ) dalam waktu yang tidak terbatas ( sustainable ) dengan menekan seminimal mungkin kemungkinan terjadi kerusakan atau degradasi fungsi hidrologi DAS tersebut.

            Suatu kegiatan pengelolaan DAS dipantau dan dievaluasi, untuk mengetahui sejauh mana dampak positif dari kegiatan tersebut. Secara hidrologis, suatu pengelolaan DAS dapat dikatakan telah memberikan dampak positif apabila parameter-parameter hidrologi yang diamati pada keluaran dari suatu DAS menunjukkan kecenderungan sebagai berikut ( Asdak, 2002, Hariyadi, 1988; Purwanto, 1992):

1.         Perbandingan antara debit maksimum bulan dan debit minimum bulan dalam satu tahun, menunjukkan kecenderungan menurun.

2.         Unsur utama hidrograf aliran sungai menunjukkan :

a.   Waktu mencapai puncak semakin lama,

b.   Waktu dasar semakin panjang,

c.   Debit puncak menurun.

3.         Volume aliran dasar dan koefisien resesi semakin meningkat .

4.         Koefisien limpasan sesaat dan tahunan menurun.

5.         Muatan sedimen yang merupakan jumlah seluruh muatan yang terdiri dari muatan dasar, muatan suspensi, dan padatan terlarut menunjukkan kecenderungan menurun.

6.         Kandungan unsur kimia dan hara di dalam perairan sungai yang merupakan hasil proses biogeokimia di dalam DAS menunjukkan kecendurungan menurun.

Dari beberapa laporan dan evaluasi di Indonesia banyak ditemui DAS yang dalam kondisi kritis atau mengalami degradasi. Beberapa indikator terjadi proses degradasi  DAS secara  menyeluruh dapat dijelaskan sebagai berikut :

1.      Penurunan produksi dari DAS yang sifatnya menurunkan kesejahteraan masyarakat yang mengantungkan hidupnya pada DAS tersebut, seperti petani, peternak, dan lain sebagainya;

2.      Perubahan terhadap fungsi hidrologi DAS seperti besarnya fluktuasi aliran sungai atau perbedaan antara debit maksimal dan minimal;

3.      Peningkatan laju erosi lapisan tanah yang diikuti dengan perubahan terhadap biofisik dan biokimia tanah;

4.      Perubahan terhadap keseimbangan ekosistem di dalam DAS dan juga di daerah keluaran yang dipergaruhi DAS tersebut.

Konsep dasar pengelolaan DAS yang baik bertujuan untuk mempertahan kan keberadaan sumber daya yang ada termasuk sumber daya air di DAS tersebut secara berkelanjutan. Tujuan tersebut pada umumnya di Indonesia belum dapat dicapai secara optimal mengingat berbagai masalah yang komplek dalam pengelolaan DAS antara lain :

2.      Pertambahan penduduk yang meningkat tajam sehingga menurunkan daya tampung DAS tersebut;

3.      Kemiskinan atau pendapatan rendah yang mengakibatkan tidak terkontrolnya aktivitas masyarakat pengelolaan DAS yang umumnya lebih berorientasi pada tujuan jangka pendek;

4.      Perencanaan dan pengaturan tata ruang DAS yang kurang mempertimbangkan fungsi hidrologis DAS;

5.      Pengelolaan DAS yang bersifat manajerial maupun implementasi oleh masyarakat pengguna belum mengikuti pola pengelolaan DAS yang berkesinambungan;

6.      Koordinasi antar kelembagaan yang ada belum optimal untuk pengelolaan DAS secara terpadu;

7.      Perangkat hukum belum sepenuhnya memadai untuk menjaga kelestarian DAS.

Degradasi DAS Ciliwung

DAS Ciliwung merupakan salah satu DAS erbesar yang berada dicakupan wilayah Jabodetabek. DAS tersebut yang secara langsung akan mempengaruhi kesetimbangan air di wilayah Jabodetabek. Secara keseluruhan bentuk DAS Ciliwung menyerupai bulu burung. Karakteristik bentuk tersebut menyebabkan DAS seperti ini mempunyai debit banjir relatif kecil karena waktu konsentrasi dari masing-masing anak sungai di kiri–kanannya berbeda-beda.   Akan tetapi apabila terjadi banjir, maka kejadian banjir tersebut akan berlangsung lama.   Keadaan ini akan diperburuk apabila kemampuan resapan daerah tangkapan airnya telah menurun drastis.

            Sebagai satu kesatuan sistem tata air, pembahasan DAS Ciliwung tidak dapat dipisahkan dengan DAS Cidasane dan beberapa DAS kecil lain yang mempengaruhi wilayah Jabodetabek. Akan tetapi untuk memfokuskan pembahasan, pada tulisan ini akan lebih banyak dibahas DAS Ciliwung.

 

 

Hulu sungai Ciliwung berasal dari Desa Tugu yang mengalir melalui kota Bogor dan Jakarta dan bermuara di teluk Jakarta.  Panjang sungai tersebut sampai ke pintu Manggarai adalah 117 km dengan rata-rata kemiringan dari daerah hulu (2908 mdpl) sampai ke Manggarai (6 mdpl) sebesar 24,8%.   Kemiringan sungai Ciliwung tergolong tinggi bila dibandingkan dengan kemiringan sungai lainnya seperti kali Pesanggarahan (0,26%), kali Krukut (0,29%), kali Sunter dan sungai Cipinang. Tingginya kemiringan sungai Ciliwung menyebabkan percepatan aliran permukaan dan aliran sungai yang tinggi dari daerah hulu ke hilir.

Secara garis besar penggunaan lahan DAS Ciliwung hulu dan tengah dibedakan menjadi 3 tipe penggunaan yaitu hutan, pertanian, dan non pertanian (pemukiman industri, perdagangan dan lain-lain).   Di wilayah hulu komposisi penggunaan lahan tersebut terdiri dari hutan (29%), pertanian (64%) dan non-pertanian (7%).   Sedangkan di wilayah tengah hanya terdiri dari penggunaan pertanian sebesar 73% dan non-pertanian sebesar 27%.   Dengan demikian di wilayah tengah sudah tidak dijumpai hutan.

 

DAS Ciliwung hulu dan tengah mempunyai curah hujan yang sangat tinggi  dengan rata-rata tahunan (1987-1996) masing-masing sebesar 4058 mm untuk wilayah hulu dan 3286 mm untuk wilayah tengah.   Curah hujan tersebut terdistribusi merata sepanjang tahun sehingga tidak ditemukan bulan kering (curah hujan bulanan < 100 mm).   Sebaliknya di wilayah hilir curah hujannya relatif rendah sebesar 1669 mm dan dijumpai 6 bulan kering dari Mei sampai September.   Mengacu pada indikator di atas, DAS Ciliwung Hulu tergolong DAS yang mendekati kritis dengan nisbah debit maksimum-minimum bulanan mendekati 30. Sedangkan DAS Ciliwung Tengah sejak tahun 1992 telah tergolong sangat kritis, karena fluktuasi debit alirannya sangat fluktuatif. 

Indikator lain ialah besarnya laju erosi yang terbawa ke hilir yang mengakibatkan terjadi sedimentasi di saluran drainase di hilir. Besarnya laju erosi ditunjukkan pada hasil beberapa penelitian yang mengatakan bahwa laju erosi di DAS ciliwung hulu telah mendekati ambang Toleransi erosi sebesar 1,12 – 13,45 ton/ha/tahun (Arsyad, 2000). Ambang toleransi ini ditentukan berdasarkan berbagai faktor pada sistem pengelolaan tanah. 

Permasalah sedimentasi di saluran drainase ini diperparah dengan adanya tambahan limbah padat ( sampah ) yang masuk di badan air yang menurut data Dinas Kebersihan DKI tahun 2002 diperkirakan 2 % limbah padat yang berada di DKI Jakarta terbuang ke badan air.

Menekan Degradasi DAS

Untuk mencegah terjadi degradasi DAS perlu dilakukan upaya terpadu di daerah hulu maupun hilir.  Penanganan konservasi lahan di daerah hulu merupakan prioritas utama agar dapat mencegah terjadi degradasi DAS lebih lanjut. Teknologi konservasi lahan yang dapat diterapkan menurut  WOCAT  (World Overview of Conservation Approach & Technology ) dibedakan menjadi empat jenis teknologi yaitu agronomi, vegetasi, struktur dan manajemen. Keempat metoda ini dapat dilaksanakan secara terpisah akan tetapi dapat di lakukan kombinasi.

Melihat indikator degradasi DAS Ciliwung di atas metoda konservasi haruslah mencakup berbagai metoda untuk masing-masing unit sub wilayah peruntukan dalam DAS seperti di daerah hutan, petanian, perkebunan, pemukiman, dan lain-lain.  Setiap unit sub wilayah peruntukan membutuhkan penanganan dengan teknologi khusus agar dapat  mereduksi terjadi erosi dan sekaligus meningkatkan fungsi hidrologi DAS.

Aspek lain yang perlu diperhatikan dalam pendekatan penanganan DAS ialah aspek sosial masyarakat dengan melibatkan masyarakat sebagai stake holder  mengunakan pendekatan partisipatif. Pendekatan ini dimaksudkan agar masyarakat dapat menerima, menerapkan, mengelola, dan mengembangkan sendiri teknologi tersebut atau dengan kata lain meningkatkan akseptibilitas masyarakat terhadap teknologi konservasi yang diterapkan.

Disisi lain aspek ekonomis juga perlu mendapat perhatian khusus seperti perlunya tidaknya “downstream-upstream sharing” untuk mendukung kesinambungan dari pelaksanaan konservasi sumber daya air.

Berbagai dampak yang terjadi sebagai akibat degradasi DAS Ciliwung telah diuraikan secara umum di atas, salah satu dampak yang dirasakan masyarakat  hilir secara langsung dan merupakan bencana akhir-akhir ini ialah banjir dan kekeringan. Degradasi DAS menjadi salah satu pemicu terjadi banjir karena secara langsung akan mempengaruhi, salah satu sebab ialah menurunnya kapasitas alir dan tampung saluran drainase di daerah hilir.

Salah satu indikasi awal makin menurunnya kemampuan sungai-sungai dan sistem drainase di wilayah Jabodetabek ialah jika membandingkan banjir yang terjadi pada tahun 1996 dan tahun 2002. Dengan mengabaikan sementara data hujan yang terjadi di DKI Jakarta, berdasarkan analisa hidrologi di bendung Katulampa pada tahun 1996 tercatat terjadi debit 614 m3/dt sementara itu pada tahun 2002 tercatat debit 525,5 m3/dt, akan tetapi dampak banjir yang terjadi pada tahun 2002 lebih besar dibandingkan tahun 1996. 

Pertimbangan tersebut di atas yang mendorong perlunya dilakukan pemeliharan sungai-sungai di wilayah DAS Ciliwung sejalan penanganan konservasi di daerah hulu. Pemeliharaan sungai-sungai dilaksanakan secara berkala  seiring dengan penanganan konservasi tanah dan air di hulu sungai. Secara rinci pemeliharaan sungai-sungai dijabarkan pada bagian berikutnya.

 

 

PEMELIHARAAN SUNGAI-SUNGAI DI JABODETABEK

 

Pentingnya Pemeliharan Sungai-Sungai

Pemeliharaan sungai-sungai pada dasarnya bertujuan untuk mempertahankan kapasitas alir dan kapasitas tampung dari semua sistem tata air  sungai yang berada di daerah pengaliran sungai seperti sungai, situ, waduk, saluran drainase beserta semua bangunan air yang terdapat pada sistem tersebut. Di wilayah Jabodetabek mengalir 13 sungai utama yang masing-masing mempunyai DAS masing-masing.

Perubahan terhadap pola pengaliran dari sungai alam menjadi bagian drainase ini dan berinterkoneksi antar sungai lain akan mengubah pola perilaku aliran dan sekaligus juga merubah pola transportasi sedimen dalam sungai tersebut. Mengingat sebagian besar saluran drainase berada di daerah cekungan, maka secara tidak langsung akan meningkatkan proses sedimentasi pada saluran-saluran drainase dan sungai-sungai yang telah berubah fungsi kedalam sistem drainase kota Jakarta.

Penurunan terhadap penampang basah sungai akibat proses sedimentasi di dasar sungai ditambah dengan permasalahan pemukiman liar yang berdiri di bantaran sungai yang secara langsung akan mengurangi kapasitas alir dari sungai. Besarnya sedimentasi yang terjadi di saluran dapat ditunjukkan hasil pengamat sementara Andreanov dan Trihono (2003) bahwa laju suspensi sedimen harian rata-rata pada bulan November, Desember 2002 dan Januari 2003 di pintu air Manggarai  sebesar 46.796 ton/ hari pada debit aliran rata 11,642 m3/dt. Hasil pengamatan menunjukkan laju sedimen layang mempunyai korelasi yang kuat dengan debit aliran. Penelitian lain yang didasarkan pada pengambilan sedimen layang sungai Batubeulah Cisadane  tahun 1986 (Joesron Lubis, 1993)  menunjukkan laju sedimen layang harian rata-rata sebesar 290.272 ton/hari pada debit aliran rata-rata 89,86 m3/dt. Walaupun belum dilakukan penelitian secara rinci berapa persen sedimen yang akan mengendap di badan air, namun dari data di atas mengambarkan betapa besar problema sedimentasi  yang akan terjadi dikemudian hari.

Seperti yang diuraikan di atas, sampah menjadi salah satu penyebab atau mempercepat terjadi pendangkalan sungai-sungai. Dari hasil pengamatan pengerukan di Sungai Sunter dan Banjir Kanal Barat di muka pintu air Manggarai ternyata komposisi sampah hampir mencapai 40-60 % dari hasil pengerukan, bahkan ditemui sejumlah puing yang sengaja dibuang oleh masyarakat kedalam sungai.  Hal ini menunjukkan selain dari sedimentasi akibat erosi tanah dihulu, masalah sampah perlu mendapat perhatian secara khusus, karena jumlah volumenya sangat besar.

 

 

Pemeliharaan Sungai-Sungai

            Pemeliharaan sungai dibagi dalam dua bagian besar, yang pertama ialah   pemeliharaan terhadap bangunan pengendali banjir yaitu bangunan  yang berfungsi untuk pengaturan aliran air. Pemeliharaan terhadap bangunan pengatur aliran seperti bendung, pintu air, pengarah arus, dan lain-lain dimaksudkan agar  bangunan tersebut dapat berfungsi dengan baik pada saat diperlukan. Sebagai contoh kasus terjadinya banjir akibat kerusakan pintu air dari pemukiman yang telah diproteksi dengan tanggul. Semula tanggul dimaksudkan untuk menghindari limpasan air sungai akan tetapi pada saat banjir justru pintu air tersebut menjadi jalan masuknya air dari sungai karena tidak dapat berfungsi dengan baik akibat kurangnya pemeliharaan. Pemeliharaan terhadap bangunan pengaturan air perlu dilaksanakan secara rutin agar dapat siap berfungsi pada saat diperlukan. Pemeliharaan bangunan pengendali banjir dapat dilakukan oleh Dinas yang terkait atau melibatkan partisipasi masyarakat yang berada di daerah permukiman.

            Kedua, pemeliharaan saluran pengendali banjir atau saluran drainase untuk mempertahankan kapasitas alir dan tampung sungai-sungai dan atau saluran drainase sebagai satu kesatuan sistem dengan bangunan pengendali banjir. Seperti yang diuraikan di atas berkurangnya kapasitas alur dan tampung disebabkan oleh tumbuhnya pemukiman liar di bantaran sungai,  pengendapan sampah, dan sedimen hasil erosi di hilir.

            Penyelesaian masalah pemukiman liar di bantaran merupakan problema khusus dan membutuhkan pendekatan sosial masyarakat, untuk itu diperlukan  waktu  serta anggaran biaya yang memadai. Masalah ini tidak dapat secara langsung dimasukan kedalam pemeliharaan rutin akan tetapi harus ditangani secara khusus dengan melibatkan berbagai instansi yang terkait.

            Penyempitan kapasitas sungai akibat adanya endapan sampah dan sedimen dapat dilakukan dengan dua hal yaitu pengelontoran secara rutin dan pengerukan. Pengelontoran dapat dilakukan apabila sistem drainase mempunyai kemiringan yang memadai sehingga air dapat mengalir secara grafitasi, sehingga endapan dapat terbawa aliran ke arah muara. Sebagian besar sistem drainase di Jakarta berada di daerah cekungan, sehingga prinsip pengelontoran kurang efektif secara efektif bekerja untuk membersihkan sungai-sungai dan sistem drainase di kota Jakarta. Selain itu perlu diperhatikan ekosistem daerah muara yang akan menerima berbagai limbah padat di sepanjang sungai.

            Pengerukan merupakan pekerjaan yang bertujuan mengeluarkan material padat dari sungai atau saluran drainase. Pengeluaran material ini dimaksudkan untuk mengembalikan penampang sungai sesuai dengan kapasitas rencana sungai atau bahkan memperbesar kapasitas alir apabila memungkinkan. Mempelajari jumlah sedimentasi yang terjadi setiap tahunnya di sungai-sungai sebagai akibat  erosi di daerah hulu dan juga sampah yang masuk ke badan air, maka pekerjaan pengerukan harus dilakukan secara berkala pada jangka waktu tertentu berdasarkan hasil  survey di lapangan.

            Pemeliharaan sungai akan lebih optimal jika didukung suatu sistem informasi sungai yang terpadu,  sistem ini berbasis GIS dan memberikan informasi  kondisi setiap segmen/ potongan sungai sebagai fungsi dari waktu. Melalui sistem informasi ini dapat secara rutin dipantau kondisi sungai dengan kapasitas alirnya, sehingga dapat diketahui waktu yang tepat melakukan pengerukan sungai. Untuk mendukung sistem ini perlu dilakukan inventarisi awal terhadap seluruh kondisi sungai yang ada.

            Beberapa hal lain yang perlu diperhatikan pada pekerjaan pengerukan  sungai dan saluran ialah hasil buangan/ kerukan diletakan atau dibuang di tempat (disposal area) tepat agar tidak merusak ekosistem dan tidak kembali ke  badan air akibat hujan atau aktivitas manusia lain. Selain itu juga pada pelaksanaannya pengerukan sebaiknya dilakukan secara menyeluruh dari hilir ke hulu atau tidak dilakukan dalam segmen-segmen sungai pendek-pendek untuk menghindari terjadinya perataan sedimen dan back water curve akibat belum tuntasnya keseluruhan sistem sungai tersebut. Pengaturan waktu dan urutan pengerukan setiap segmen dalam satu sungai perlu memperhatikan pola perilaku aliran dan sedimentasi sungai tersebut.

KESIMPULAN

 

Degradasi DAS akan mengakibatkan ketidakseimbangan fungsi hidrologi suatu DAS dan terjadi proses erosi yang cukup tinggi. Kedua dampak tersebut  akan memberikan permasalahan terhadap sistem pengendali banjir yang ada di daerah hilirnya yaitu dengan terjadinya proses sedimentasi di sungai-sungai dan saluran drainase yang akan menurunkan kapasitas alir dan tampung.

Untuk mengembalikan kapasitas alir sungai dapat dilakukan pengelontoran dan pengerukan secara rutin seiring dengan penangganan masalah sampah serta mengatasi sumber permasalahan sedimen di hulu dengan melakukan konservasi tanah dan air.

KEPERPUSTAKAAN

 

Andreanov dan Trihono. 2003. Pengamatan Debit Sedimen Suspensi pada Aliran di Pintu Air Manggarai Jakarta, Laporan penelitian Jurusan Teknik Sipil Universitas Trisakti.

Asdak, C.  2002.  Hidrologi dan Pengelolaan Daerah Aliran Sungai. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press.

Arsyad   S. 2000.  Konservasi Tanah dan Air.  Bogor, Intitut Pertanian Bogor.

Hariyadi, R. 1988.  Model Pengukuran Keberhasilan Pengelolaan DAS Ditinjau dari Pendekatan Hydro Ekologis. Makalah Simposium Model Hidrologi Rekayasa dan Lingkungan Untuk Perencanaan Regional dan Perancangan. Bandung, 17-18 Maret 1988.

Hariyadi, R. 1988.  Model Pengukuran Keberhasilan Pengelolaan DAS Ditinjau dari Pendekatan Hydro Ekologis. Makalah Simposium Model Hidrologi Rekayasa dan Lingkungan Untuk Perencanaan Regional dan Perancangan. Bandung, 17-18 Maret 1988.

Ilyas, M.A. dan R. Effendi. 1993. Banjir di Jambi dan Kaitannya Dengan Kerusakan DAS Batanghari. (Jurnal Penelitian dan Pengembangan Pengairan, No. 27 Th 8-Kw I 1993, ISSN 0215-1111). Bandung: Puslitbang Pengairan.

Purwanto, E. 1992.  Pemanfaatan dan Evaluasi Daerah Aliran Sungai Dengan Menggunakan Parameter Hidrologi. (Majalah Kehutanan Indonesia, Edisi No. 10 th 1991/1992, Diterbitkan oleh Departemen Kehutanan RI, STT. No. 1162/SK/DITJEN PPG/SST/1987). Jakarta: Departemen Kehutanan RI.

Lubis J., Soewarno, Suprihadi. 1987.  Hidrologi Sungai, Departemen Pekerjaan Umum, Jakarta.