©2003 Umar Hamzah                                                                            Posted June 26, 2003
Makalah Pengantar Falsafah Sains (PPS702)
Program Pasca Sarjana / S3
Institut Pertanian Bogor
Juni 2003

Dosen :
Prof. Dr. Ir. Rudy C Tarumingkeng

                                                                                                              

 

 

 

 

 

PROSPEK PEMANFAATAN LAHAN KERING DALAM RANGKA MENDUKUNG

KETAHANAN PANGAN NASIONAL

 

 

 

 

oleh :

 

UMAR HAMZAH

Nrp.  P062024154

E_mail : Umarhamzah2003@hotmail.com  

 

 

 

 

PENDAHULUAN

 

 

 

Latar Belakang

 

         Pada tahun 1984 Indonesia pernah dinyatakan oleh Organisasi Pangan dan Pertanian Dunia (Food and Agriculture Organization atau FAO) sebagai negara yang mampun memenuhi kebutuhan pangannya sendiri, khususnya beras atau lebih dikenal dengan Swa Sembada Beras.

 

         Keadaan seperti itu tidak bertahan lama karena tahun-tahun setelah itu Indonesia harus mengimport beras dan bahan pangan lainnya seperti jagung dan kedele dalam jumlah yang semakin bertambah. Sebagai ilustrasi, negara kita mengimport beras rata-rata 1.4 juta ton setiap tahun, terbesar nomor satu di dunia; import gula rata-rata 1.4 juta ton setiap tahun, terbesar nomor dua di dunia; import jagung rata-rata 1.5 juta ton setiap tahun, dan import kedele telah mencapai 1.35 juta ton pada tahun 2001; serta import sapi rata-rata 450.000 ekor setiap tahun (Yudohusodo, 2003).

 

         Penyebab utama terjadinya defisit penyediaan pangan di dalam negeri yang demikian besar adalah akibat laju pertambahan penduduk yang tidak dapat diimbangi oleh pasokan produksi pertanian tanaman pangan Nasional. Apabila keadaan seperti itu terus berlangsung, maka krisis ekonomi dan keterpurukan Negara kita akan terus berlangsung, bahkan tidak mustahil akan berdampak terhadap krisis politik dan keamanan sosial yang sangat serius.

 

         Langkah Pemerintah dengan membentuk Dewan dan Badan Ketahanan Pangan Nasional pada periode akhir tahun 90-an dapat dipandang sebagai langkah strategis dan antisipatif terhadapa masalah serius yang kita hadapi di bidang pangan akhir-akhir ini. Mesikpun Badan tersebut merupakan perluasan dari organisasi BIMAS pada periode sebelumnya, namun lingkup kewenangan organisasi ini semakin diperluas baik di tingkat Pusat maupun Daerah Propinsi dan Kabupaten.

 

         Tulisan ini bermaksud untuk melihat prospek pemanfaatan lahan kering sebagai salah satu peluang, baik hal itu dikaitkan dengan upaya perluasan areal (ekstensifikasi) maupun semi intensifikasi untuk mendukung kebijakan ketahanan pangan Nasional  saat ini dan di masa mendatang. Sehubungan dengan itu, makalah ini lebih menyoroti aspek-aspek potensi dan karakteristik lahan kering di Indonesia dikaitkan dengan ketersediaan teknologi pemanfaatan lahan kering yang ada sekaligus mengkaji peluang dan kendala pemanfaatannya.

 

 

 

 

Rumusan Masalah

 

 

         Salah satu peluang peningkatan produksi tanaman pangan mendukung ketahanan pangan Nasional adalah pemanfaatan lahan kering. Namun demikian terdapat berbagai kendala dalam pemanfaatan lahan kering di Indonesia untuk tanaman pangan baik ditinjau dari aspek teknis maupun sosial ekonomi.

 

 

 

POTENSI LAHAN KERING DI INDONESIA

 

Soepardi (1983) mengemukakan bahwa berdasarkan Peta Tanah Bagan tahun 1976, luas total daratan Indonesia diduga sekitar 190.9 juta ha, yakni sedikit di bawah angka yang dikemukakan oleh Biro Pusat Statistik (1982) yaitu 192 juta ha. Selanjutnya dikemukakan seluas lebih dari 27 juta ha merupakan tanah organik dan di antara itu pula terdapat seluas 4.6 juta lahan yang dipengaruhi pasang surut. Sementara itu Sitorus (1989) mengemukakan bahwa dengan menggunakan angka dugaan Harrop (1974) dimana dari seluruh luas daratan Indonesia terdapat 64.35 juta ha lahan yang dapat ditanami, berarti hanya sekitar sepertiga dari jumlah lahan di atas yang dapat digunakan untuk produksi bahan makanan.

 

Berdasarkan topografi atau kelas kemiringan lahan, Djaenuddin dan Sudjadi (1987) mengemukakan terdapat sekitar 133.7 juta ha lahan kering yang tersebar di pulau-pulau utama di luar Jawa yaitu Sumatera, Kalimantan, Sulawesi dan Irian Jaya seperti tertera pada tabel 1. Apabila diasumsikan hanya lahan dengan kemiringan <15% yang sesuai untuk pengembangan tanaman pangan, berarti sekitar 47.23 juta ha atau 35.3 % dari lahan kering yang tersedia untuk tanaman pangan. Sementara itu Lembaga Penelitian Tanah (1969) mengemukakan terdapat sekitar 72.2 juta ha lahan dari 5 jenis tanah utama di Indonesia (organosol, podsolik, aluvial, podsol dan latosol) dengan kemiringan kurang dari 15% pada 4 pulau utama di luar Jawa seperti terlihat pada tabel 2. Berdasarkan tabel 2 di luar organosol yang termasuk kategori lahan basah, maka terdapat sekitar 45.1 juta ha lahan dengan kemiringan kurang dari 15%, berada di bawah perkiraan pada tabel 1.

 

 

 

Tabel 1.  Luas dan Penyebaran Lahan Kering dengan Berbagai Kelas Kemiringan pada Empat Pulau Utama di Indonesia

 

Pulau

Luas (juta ha)

Total Daratan

Rawa

Lahan Kering

Lahan Kering Menurut Kelas Kemiringan

0-3%

3-8%

8-15%

>15%

Sumatera

47.3

8.5

38.8

10.9

5.2

2.6

20.1

Kalimantan

54.0

8.7

45.3

5.1

6.1

4.1

30.0

Sulawesi

19.2

0.2

19.0

1.9

1.3

1.1

14.7

Papua

42.2

11.5

30.7

4.9

3.0

1.0

2.18

TOTAL

162.7

28.9

133.8

22.8

15.6

8.8

86.6

Sumber : Diolah dari Djaenuddin dan Sudjadi (1987) dalam Pusat Penelitian Tanah dan Agroklimat (1997)

 

 

Tabel 2.  Luas dan Penyebaran Lima Jenis Tanah Utama dengan Kemiringan <15% pada Empat Pulau Utama di Indonesia

 

Pulau

Luas (juta ha)

Sumatera

Kalimantan

Sulawesi

Papua

TOTAL

Organosol

14.2

6.2

-*)

6.7

27.1

Podsolik

9.6

10.9

1.4

5.1

27.0

Aluvial

2.4

4.3

0.8

6.8

14.3

Podsol

0.8

2.5

-

-

3.3

Latosol

0.5

-

-

-

0.5

TOTAL

27.5

23.9

2.2

18.6

72.2

 

Sumber   : Lembaga Penelitian Tanah (1969)

Ket.        : *) tidak tercatat

 

         Mengikuti data atau perhitungan tersebut di atas dapat disimpulkan bahwa potensi lahan untuk pengembangan pertanian lahan kering di Indonesia masih cukup besar. Akan tetapi angka luas areal yang berpotensi untuk dikembangkan tersebut masih bersifat eksploratif dan sangat kasar sehingga hanya merupakan       indikasi yang masih memerlukan penelitian-penelitian lebih lanjut (Sitorus, 1989).

 

 

 

KARAKTERISTIK UMUM LAHAN KERING

UNTUK PERLUASAN AREAL

 

         Dari tabel 2 terlihat bahwa dari ketiga jenis tanah utama tipikal lahan kering yang kemiringannya <15% (podsolik, aluvial, podsol dan latosol), jenis tanah podsolik adalah yang terluas yaitu 27 juta hektar. Tanah podsol pada umumnya mempunyai tingkat produktifitas sangan rendah. Oleh karena itu sebaiknya tidak dijadikan areal pertanian, melainkan tetap dibiarkan sebagai hutan (Sitorus, 1989). Selanjutnya dikemukakan bahwa tanah podsol sering dijumpai di atas bahan induk pasir kuarsa yang miskin unsur hara (misalnya podsol di Kalimantan Tengah).

         Menurut Sitorus (1989), tanah latosol umumnya juga miskin unsur hara, bereaksi masam sampai agak masam, dan mengandung kadar bahan organik yang rendah. Akan tetapi tanah tersebut mempunyai keadaan fisik yang lebih baik dari podsolik, sehingga relatif lebih mudah untuk meningkatkan produktifitasnya, oleh karena itu tanah latosol bersama-sama dengan tanah aluvial yang relatif lebih subur pada umumnya telah diusahakan oleh petani, sehingga ketersediaannya untuk perluasan areal sangat terbatas.

 

         Berdasarkan uraian di atas tanah podsolik yang lebih besar potensinya untuk dikembangkan bagi perluasan areal pertanian lahan kering. Menurut Sitorus (1989) tanah podsolik mempunyai sifat fisik kimia seperti pH rendah (masam), miskin unsur hara, yang pada umumnya terdapat pada berbagai jenis bahan induk seperti tufa  masam, batuan pasir (sandstones) atau endapan kuarsa, dan peka terhadap erosi. Sudjadi dalam Mulyati (1994) mengemukakan bahwa tanah podsolik pada umumnya mempunyai tingkat kesuburan dan produktifitas rendah. Hal ini disebabkan oleh karena sifat fisik dan kimia dari tanah tersebut. Beberapa sifat kimia yang menjadi kendala kalam usaha pertanian, terutama tanaman pangan adalah kandungan hara fosfor, nitrogen, kalium, kalsium, magnesium, belerang, seng yang rendah, keracunan aluminium dan mangan untuk lahan kering dan keracunan besi pada persawasahan. Kekahatan P merupakan kendala utama kesuburan pada tanah Podsolik Merak Kuning (PMK). Beberapa kendala sifat fisik pada tanah podsolik adalah lapisan atas tanah (top soil) tipis, lereng >8%, struktur tanah kurang gembur, konsistensi padat dan aerasinya buruk (Suwardjo et al. 1984, dalam Mulyani, 1994). Keadaaan fisik tersebut ditunjang curah hujan yang cukup tinggi dengan rata-rata 1.900-3.200 mm/tahun sehingga tanah peka terhadap erosi. Untuk mencegah terjadinya degradasi yang diakibatkan oleh erosi dan untuk mempertahankan produktifitas lahan, maka perlu dilakukan pemilihan pola usaha tani/pola tanam yang tepat, serta tindakan konservasi tanah dan air yang sesuai sehingga erosi yang terjadi lebih kecil dari erosi yang dapat dibiarkan (Sinukaban et al. 1984 dalam Mulyani 1994). Selanjutnya dikemukakan oleh Mulyani (1994) bahwa dalam pengelolaan lahan kering marginal terutama pada lahan berlereng harus diiringi dengan tindakan konservasi tanah dan air. Penambahan bahan organik mutlak diperlukan.

 

 

 

TEKNOLOGI PEMANFAATAN LAHAN KERING (LK)

DI INDONESIA

 

         Berbagai hasil penelitian pemanfaatan LK di Indonesia telah banyak dipublikasikan oleh kalangan peneliti terutama dari Pusat Penelitian Tanah dan Agroklimat, Departemen Pertanian dan lembaga penelitian/pengabdian masyarakat di Perguruan Tinggi. Menurut Semaoen et al. (1991) dalam Guritno et al. (1997), ciri utama yang menonjol di lahan kering adalah terbatasnya air, makin menurunnya produktifitas lahan, tingginya variabilitas kesuburan tanah dan macam spesies tanaman yang ditanam serta aspek sosial, ekonomi dan budaya. Sedangkan Dudung (1991) dalam Guritno et al. (1997) berpendapat bahwa keadaan lahan kering umumnya adalah lahan tadah hujan yang lebih peka terhadap erosi, dimana adopsi teknologi maju masih rendah, ketersediaan modal sangat terbatas dan infrastruktur tidak sebaik di daerah sawah.

 

         Purata produktifitas jagung di Kawasan Timur Indonesia di tingkat petani non intensifikasi masih berkisar 1.5 ton/ha, di tingkat petani intesifikasi 3-4 ton/ha dan tingkat penelitian mencapai 4-5 ton/ha (Guritno et al. 1997)

 

         Berbagai hasil penelitian atau teknologi terapan yang berhubungan erat dengan teknologi pemanfaatan lahan kering seperti pengapuran dan pemupukan, teknologi konservasi tanah dan air, dan teknologi usaha tani terpadu dikemukakan di bawah ini.

 

 

Teknologi Pengapuran, Pupuk, Pemupukan dan Pemberian Bahan

Organik

 

         Nursyamsi (1996) mengemukakan bahwa teknologi utama dalam pengelolaan tanah masam adalah (1) pengapuran, (2) pemupukan, (3) pemberian bahan organik, dan (4) penggunaan tanaman yang toleran terhadap aluminium. Selanjutnya dikemukakan bahwa pengapuran dan pemupukan P dapat memperbaiki sifat-sifat tanah podsolik pada lahan alang-alang sekaligus meningkatkan produktifitasnya. Pemberian kapur 2 ton/ha pada tanah ultisol di Sitiung A nyata meningkatkan pH tanah, sangat nyata meningkatkan Ca, Mg, basa-basa dan kejenuhan basa tanah, nyata menurunkan C/N, K-HCl dan sangat nyata menurunkan Aluminium dapat ditukar (Al-dd), Hidrogen dapat ditukar (H-dd) dan tingkat kemasaman tanah.

 

         Pemberian kapur dan pupuk hijau meningkatkan pertumbuhan dan hasil kedele (Hartatik, 1987). Selanjutnya dikemukakan bahwa pengapuran setara 1-2 kali Al-dd dapat menurunkan kejenuhan Aluminium sampai bawah batas toleransi tanaman kedele dan pemberian pupuk hijau dapat mengurangi jumlah kebutuhan kapur.

 

         Pemberian kapur yang dalam, secara nyata berpengaruh positif terhadap produksi jagung di tanah-tanah Sitiung (Arya et al., 1992). Pengapuran dalam menghasilkan perakaran yang dalam, dan meningkatkan serapan hara serta volume air tanah tersedia sehingga tanaman yang diberi perlakuan pengapuran dalam tidak menunjukkan gejala kekurangan air.

 

         Peningkatan produktifitas tanah Ultisol Cipanas di Rangkasbitung dapat dicapai dengan kombinasi perlakuan pemupukan P, pengapuran dan bahan organik (Ardi, 1986). Menurut Rochyati (1986), pemupukan P dengan takaran 19.6 dan 39.3 kg P/ha nyata meningkatkan hasil biji kedele dan jagng pada tanah Ulitisol Rangkasbitung pada setiap musim tanam, sedangkan pemupukan 39.3 kg P/ha dan pengapuran 2 ton/ha CaCO3/ha serta pemberian Nitrogen dan Kalium yang cukup dapat menghasilkan biji kedele tertinggi yaitu sekitar 2 ton/ha pada musim hujan 1982/1983. Sementara itu, pemupukan 50 kg Urea/ha, 100 kg TSP/ha dan 100 kg KCl/ha pada tanah Inceptisols di Banjarharjo dan Hargomulyo meningkatkan hasil polong kacang tanah sekitar 20-30% lebih tinggi dari pada tanpa pemupukan (Abdurrachman, 1995).

 

         Pupuk sebagai bagian dari paket teknologi untuk pertanaman jagung varietas unggul Genjah hibrida Semar 2, C2 atau Rama di Kawasan Timur Indonesia yang direkomendasikan oleh Guritno et al. (1987) adalah 200-300 kg Urea, 50-100 kg TSP dan pupuk kandang (kalau ada), sedangkan untuk pertanama kedele varietas Wilis disarankan takaran pupuk Urea 50-100 kg/ha, TSP 50-100 kg/ha dan KCl 50 kg/ha.

 

         Menurut Purnomo (1996), residu TSP plus kapur dan fosfat alam sampai dengan musim tanam ke-10 (residu selama 3 tahun) masih meningkatkan kadar P-potensial, P-tersedia, pH, kadar Ca dan Mg serta menurunkan kejenuhan Aluminium. Residu fosfat alam dalam jangka panjang memberikan kadar P-tersedia dan P-potensial lebih baik dibandingkan TSP plus kapur. Antar perlakuan P, fosfat alam North Caroline menghasilkan kalori paling tinggi dibandingkan fosfat alam Maroko dan TSP plus kapur.

 

         Safuan (2002) menyimpulkan bahwa untuk meningkatkan peroduktifitas sistem pertanian lahan kering masam di daerah tropika secara berkelanjutan dapat dilakukan melalui : (1) pemulsaan dan pengolahan tanah, (2) penambahan bahan organik, kapur dan pupuk NPK, (3) optimalisasi pola tanam, dan (4) konservasi tanah.

 

Teknologi Konservasi Tanah dan Air

 

         Menurut Arsyad(1983), usaha-usaha pengawetan (konservasi) tanah ditujukan untuk : (1) mencegah  kerusakan tanah oleh erosi, (2) memperbaiki tanah yang rusak, (3) dan menetapkan kelas kemampuan tanah dan tindakan-tindakan atau perlakuan agar tanah tersebut dapat dipergunakan untuk waktu yang tidak terbatas (berkelanjutan). Selanjutnya dikemukakan bahwa pengawetan air pada prinsipnya adalah penggunaan air yang jatuh ke tanah seefisien mungkin, dan pengaturan waktu aliran sehingga tidak terjadi banjir yang merusak dan terdapat cukup air pada waktu musim kemarau.

 

         Tiap kelas penggunaan tanah memerlukan teknik pengawetan tanah tertentu. Adapun teknik pengawetan tanah dapat dibagi dalam tiga golongan utama, yaitu (1) metoda vegetatif, (2) metoda mekanik dan (3) metoda kimia (Arsyad, 1983). Metoda yang lazim dipraktekkan di Indonesia umumnya adalah metoda vegetatif yang seringkali dikombinasikan dengan metoda mekanik, misalnya penanaman penutup tanah sebagai penguat teras atau sebagai penutupan permukaan dari hantaman butir hujan, pengolahan tanah dan penanaman menurut kontur, sistem pertanaman lorong (Alley Cropping) sampai kepada sistem yang paling sederhana yaitu penggunaan mulsa.

         Thorne dan Thorne (1978) dalam Hafif (1992) mengemukakan terdapat lima praktek pengelolaan lahan yang dapat mengurangi erosi yaitu : (1) vegetasi (2) sisa tanaman, (3) pengelolaan tanah, (4) efek sisa dari rotasi tanaman, dan (5) praktek pendukung mekanik.

 

         Tanah Haplorthox yang lapisan atasnya telah hilang setebal 20 cm mempunyai sifat fisik (aerasi, permeabilitas, stabilitas agregat) yang buruk dan hasil kedele lebih rencah dibadingkan dengan tanah utuh. Oleh karena itu kehilangan lapisan atas tanah oleh erosi harus dicegah sekecil mungkin (Barus, 1986). Selanjutnya dikemukakan bahwa hasil kedele dengan kacang tunggak yang ditanam pada tanah terbuka lebih rendah dibandingkan dengan hasil yang dicapai pada tanah yang ditanami tanaman penutup, baik pada tanah utuh maupun pada tanah yang telah hilang lapisan atasnya. Oleh karena itu apabila tidak ditanami, lebih baik ditanami dengan tanaman penutup tanah Centrosema pubescens merupakan tanaman penutup tanah terbaik untuk memperbaiki sifat fisik tanah dan meningkatkan produktivitasnya. Sementara itu, menurut Purnomo (1992) tanaman Benguk dan Kacang tunggak dapat dimasukkan ke dalam pola tanam lahan kering untuk mencegah merosotnya produktivitas tanah dan merupakan sumber protein.

 

         Menurut Hafif (1992) sistem pertanaman lorong asal disertai dengan pemupukan cukup efektif dapat menekan erosi (0.6-1.1 ton/ha/2 kali musim tanam atau 8 bulan). Takaran pupuk dalam penelitian Hafif (1992) adalah : (1) tanpa pupuk, (2) pemupukan takaran rendah 45 kg /ha(padi) dan 22.5 kg N/ha (kacang tanah), dan 20 kg P/ha dan (3) pemupukan takaran tinggi 90 kg N/ha (padi), 45 kg N/ha (kacang tanah), 40 kg P/ha, 25 kg K/ha serta 2 ton CaCO3/ha.

 

         Pengolahan tanah konservasi (conservation tillage) adalah setiap cara pengolahan tanah yang bertujuan untuk mengurangi besarnya erosi, aliran permukaan dan, kalau mungkin, dapat mempertahankan atau meningkatkan produksi (Sinukaban, 1990). Selanjutnya dikemukakan bahwa untuk memenuhi kriteria tersebut pengolahan tanah harus dapat menghasilkan permukaan tanah yang kasar sehingga simpanan depresi dan infiltrasi meningkat, serta dapat meninggalkan sisa-sisa tanaman dan gulma pada permukaan tanah agar dapat menahan energi butir hujan yang jatuh. Hal ini menjadi penting pada masa pertanaman, karena pada saat tersebut intensitas hujan umumnya sudah besar dan tidak ada tajuk tanaman yang dapat menahan energi butir hujan yang jatuh.

 

         Menurut Sinukaban (1990), beberapa cara persiapan tanam yang baru diperkenalkan dan sudah memenuhi kriteria pengolahan tanah konservasi yaitu pengolahan tanah minimum (minimum tillage), tanpa pengolahan tanah (zero tillage) dan penanaman secara tugal. Pengolahan tanah minimum dapat meningkatkan produksi kacang tanah dan jagung, dan tidak berpengaruh terhadap konsentrasi hara dalam sedimen. Sementara itu, Utomo (1990) dalam Darwis (1992) mengemukakan bahwa budidaya pertanian tanpa olah tanah merupakan adopsi sistem tradisional tebas-bakar dengan memanfaatkan konsep pertanian modern. Tanah dibiarkan tidak terganggu kecuali alur kecil atau lubang tugalan untuk penempatan benih. Sebelum tanam, gulma dikendalikan terutama dengan herbisida, dan setelah kering direbahkan sebagai mulsa. Keefektifan pengolahan tanah konservasi menekan erosi pada dasarnya terletak pada pengaruhnya terhadap perubahan kondisi permukaan tanah, antara lain (1) persentase permukaan tanah yang tertutup, (2) kekasaran permukaan dan guludan-guludan kecil yang terbentuk, (3) sisa-sisa tanaman dan gulma yang terbentuk, dan (4) erodibilitas tanah (Sinukaban, 1986).

 

         Penggunaan mulsa tanaman dapat mengurangi frekuensi pengolahan tanah dari 2-3 kali dalam setahun (setiap kali tanam) menjadi hanya satu kali dalam waktu satu sampai dua tahun (Suwardjo et al., 1989). Tanah yang diberi mulsa, sifat fisiknya tetap terpelihara, meskipun pengolahan tanah sangat jarang dilakukan. Setelah dua tahun, tanah masih cukup gembur dan memiliki pori aerasi yang  cukup untuk menunjang pertumbuhan tanaman. Pemberian mulsa sisa tanaman meningikatkan kandungan bahan organik tanah, menekan erosi, dan dalam beberapa hal juga meningkatkan hasil tanaman. Kehilangan tanah rata-rata dari petak tanah bera pada Tropudult lebih dari 100 ton/ha/tahun, suatu nilai kehilangan  tanah yang tinggi pada lereng hanya 3%. Pada petak yang tidak diberi mulsa + OTB kehilangan tanah meningkat setiap tahun berkisar dari 2.4-40.0 ton/ha/tahun. Sementara itu, pada Haplorthox, kehilangan tanah rata-rata pada petak tanah bera mendekati 500 ton/ha/tahun. Pada petak yang tidak diberi mulsa + OTB, kehilangan tanah sekitar setengah dari petak bera, sedangkan kehilangan tanah pada petak yang diberi mulsa + OTM selama tiga tahun masa percobaan berturut-turut hanya sekitar 11,5 dan 1 persen dibandingkan petak bera.

 

         Menurut Suwardjo et al., (1989), secara umum hasil produksi tanaman pada petak yang diberi mulsa dan pengolahan tanah minimum (OTM) lebih besar dari pada peta yang tidak diberi mulsa dan dengan pengolahan tanah biasa (OTB). Peningkatan hasil berkisar dari 6-48% pada tanah Tropudult dan 3-139% pada tanah Haplorthox, tergantung pada jenis tanaman.

 

         Purnomo (1992) mengemukakan bahwa salah satu usaha untuk mempertahankan produktifitas tanah masam adalah dengan mempertahankan kadar bahan organik dalam tanah. Menurut Vidiyarti dan Misra (1982) dalam Subowo (1990), pada tanah tropika basah, bahan organik merupakan pendukung yang penting untuk produksi tanaman pangan. Bahan organik akan membantu mengurangi besarnya erosi, mempertahankan kelembaban, mengendalikan pH, memperbaiki drainase, mengurangi pengerasan dan retakan serta meningkatkan kapasitas pertukaran ion dan aktifitas biologi tanah. Sejalan dengan itu Kartono dan Fasolon (1997) mengemukakan bahwa bahan organik cukup menonjol peranannya dalam meningkatkan mutu lahan dan efisiensi pemanfaatan pupuk anorganik yang diberikan. Peran tersebut tidak hanya sebagai sumber hara dan mendorong aktifitas mikroba tanah, tetapi juga sebagai peredam ekses logam-logam berat seperti Fe.

 

Teknologi Usahatani Terpadu

 

         Menurut Abdurrachman et al., (1997), petani lahan kering tidak mungkin hidup jika ekonomi rumah tangganya hanya tergantung kepada hasil tanaman.  Oleh karena itu menurut Abdurrachman et al., (1997) pendekatan yang tepat untuk menjawab tantangan tersebut di atas adalah melalui pendekatan sistem usahatani yang memadukan komoditas tanaman pangan/semusim dengan tanaman tahunan dan ternak dalam suatu model usahatani yang serasi dengan mempertimbangkan ketersediaan sumberdaya yang dimiliki petani.

 

         Model usahatani terpadu yang dikemukakan oleh Abdurrachman et al., (1997) meliputi padi gogo dan palawija (tanaman pangan) yang diatur penanamannya dalam pola tanam setahun, disesuaikan dengan pola curah hujannya seluas 1 ha, tanaman karet seluas 1 ha dan saat penelitian dimulai sudah siap sadap serta ternak yang awalnya terdiri atas 1 ekor sapi, 3 ekor kambing dan 11 ekor ayam buras. Dengan menerapkan model usahatani tersebut pendapatan petani meningkat dari 1.4 juta/tahun pada tahun 1988\1989 menjadi 2.3 juta/tahun pada tahun 1990\1991, sedangkan pendapatan petani yang tidak menerapkan teknologi model usaha tani tersebut berkisar antara 1,1-1,2 juta/tahun.

 

         Dalam model usahatani ini juga terdapat interaksi komplementer antara pengusahaan tanaman dan ternak. Tanaman pangan semusim menghasilkan sisa tanaman (biomass) yang dapat dimanfaatkan sebagai pakan tambahan, di samping rumput atau tanaman pakan (glyricideae atau flemingia) yang sengaja ditanam juga untuk mencegah erosi, sementara ternak memberikan tenaga dan kotoran yang dapat dijadikan pupuk untuk menunjang produksi tanaman. Dengan demikian komoditas tanaman dan ternak ini dapat saling mendukung sistem produksi terlanjutkan (berkelanjutan) apabila dikelola dengan baik. Ditinjau dari kemampuannya dalam meningkatkan produksi dan pendapatan, menurut Abdurrachman et al., (1997), modal usahatani yang melibatkan tanaman dan ternak tersebut sangat tepat dikembangkan di lahan kering termasuk di wilayah Timur Indonesia. Namun demikian, pemilihan jenis taaman dan ternaknya disesuaikan dengan kondisi ekonsistem dan peluang pasar setempat.

 

         Dengan adanya sistem usaha pertanian terpadu, maka diharapkan akan diperoleh keuntungan, antara lain : meningkatkan populasi ternak, buah-buahan, membuka lapangan kerja di pedesaan, keberhasilan konservasi tanah dan air, peningkatan pendapatan/kesejahteraan petani lahan kering (Akhadiarto, 1997).

 

 

PENUTUP

 

         Pemanfaatan lahan kering untuk pertanian tanaman pangan melalui program ekstensifikasi maupun semi intensifikasi dalam rangka mendukung ketahanan pangan masih cukup prospektif di masa yang akan datang. Prospek tersebut dapat dilihat dari ketersediaan areal yang belum dimanfaatkan, terutama di empat pulau besar di luar Pulau Jawa, yaitu Sumatera, Kalimantan, Sulawesi dan Papua. Prospek lainnya adalah melakukan introduksi dan inovasi teknologi yang sudah ada untuk meningkatkan produktifitas lahan kering yang sudah digarap oleh petani.

 

         Teknologi pengembangan usahatani lahan kering yang berkelanjutan dan cukup produktif telah tersedia dan masih perlu terus dikembangkan. Teknologi tersebut perlu disosialisasikan kepada masyarakat petani, yang diikuti dengan percontohan-percontohan lapang, karena hanya teknologi yang diyakini, memberikan keuntungan bagi petani yang akan mengikuti.

 

         Dua kunci utama yang penting diperhatikan dalam praktek atau penerapan teknologi pertanian lahan kering yang berkelanjutan yaitu mempertahankan kecukupan bahan organik dan tindakan pengawetan tanah dan air, yang dapat dimulai dari yang paling sederhana yaitu berupa pengembalian bahan organik setempat melalui mulsa (mulching) sampai kepada pemberian pupuk kompos/pupuk hijau dan tindakan konservasi tanah secara mekanis dengan kombinasi vegetatif lainnya. Semua teknologi pengapuran dan pemupukan untuk peningkatan produksi memerlukan kombinasi dengan kedua hal tersebut di atas.

        

Agar program perluasan areal, peningkatan luas tanaman dan peningkatan produktifitas usahatani lahan kering yang berkelanjutan dapat terlaksana dengan baik, maka fasilitasi Pemerintah berupa dukungan perencanaan tata ruang, penyiapan lahan maupun penyediaan sarana produksi dan konservasi perlu dilakukan sebagai contoh melalui program transmigrasi. Hal ini dapat kita bandingkan dengan kesediaan Pemerintah untuk menyediakan areal dan prasarana irigasi bagi pengembangan persawahan. Analog dengan itu, dalam pengembangan lahan kering adalah tidak berlebihan Pemerintah memberikan subsidi untut paket konservasi ataupun produksi.

 

Meskipun teknologi produksi terus berkembang, namun daya dukung sumberdaya alam (dalam hal ini lahan) terbatas dan tidak bertambah, oleh karena itu pengendalian pertambahan penduduk melalui Keluarga Berencana perlu ditingkatkan terus agar indeks Kesejahteraan masyarakat Indonesia dapat ditingkatkan.


 

 

 

DAFTAR PUSTAKA

 

 

 

Abdurrachman A., et al, Ed, 1995, Laporan Tahunan hal 84-85. Penelitian Tanah dan Agroklimat 1994/1995. Pusat Penelitian Tanah dan Agroklimat. Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian. Departemen Pertanian.

 

Abdurrachman A,. I.G. Ismail dan Sutono, 1997. Dukungan Penelitian Terhadap Pertanian Lahan Kering. Prosiding Lokakarya Nasional Pertanian Lahan Kering Beberapa Kawasan Pengembangan Ekonomi Terpadu di Kawasan Timur Indonesia. Malang, 10 Oktober 1996

 

Akhadiarto S., A.B. Baharuddin dan M. Ichsan, 1997. Pola Penerapan Pertanian Terpadu Kepada Petani Lahan Kering di Lombok Barat, Nusa Tenggara Barat. Prosiding Lokakarya Nasional Pertanian Lahan Kering Beberapa Kawasan Pengembangan Ekonomi Terpadu di Kawasan Timur Indonesia. Malang, 10 Oktober 1996.

 

Ardi S. D., S. Rochyati dan J. Sri Adiningsih, 1986. Pengaruh Pupuk Fosfat dan Pengapuran Terhadap Hasil Kedele dan Jagun pada Ultisols Rangkasbitung. Pemberitaan Penelitian Tanah dan Pupuk, Nomor 5, 1986. Pusat Penelitian Tanah, Bogor.

 

Arsyad S., 1983. Pengawetan Tanah dan Air. Fakultas Pertanian Institut Pertanian Bogor.

 

Arya L.M., Rusman B.,I.P.G. Widjaya-Adhi, A. Sofyan dan T. Dierolf, 1992. Effects of Deep Placement of Lime on Soil Properties, Root Growth, Water Availability, and Crop Production in Acid Upland Soils of Sitiung, West Sumatera, Indonesia. Pemberitaan  Penelitian Tanah dan Pupuk, Nomor 10, 1992. Pusat Penelitian Tanah dan Agroklimat, Bogor.

 

Barus A. dan H. Suwardjo, 1986. Pengaruh Kehilangan Lapisan Atas Tanah dan Tanaman Penutup Terhadap Produktifitas Haplorthox di Citayam. Pemberitaan Penelitian Tanah dan Pupuk, Nomor 5, 1986. Pusat Penelitian Tanah dan Agroklimat, Bogor.

 

Biro Pusat Statistik, 1982. Statistik Indonesia 1980/1981. Biro Pusat Statistik. Jakarta, Indonesia.

 

Djaenuddin dan Sudjadi, 1987. Statistik Sumberdaya Lahan/Tanah Indonesia. Pusat Penelitian Tanah dan Agroklimat, Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian. Departemen Pertanian.

 

Guritno B., Nur Basuki, P. Sumarjo, Yogi Sugito dan Sri Kumalaningsih, 1996. Usaha Pengembangan Ubi Jalar, Ubi  Kayu di Wilayah Lahan Kering dan Upaya Pendayagunaannya bagi Petani Kecil. Seminar Hasil-hasil Penelitian Fakultas Pertanian Universitas Brawijaya. 18 Januari 1996

 

Hafif B., D.J. Santoso, S. Mulud dan P. Wigena, 1992. Beberapa Cara Pengelolaan Tanah untuk Pengendalian Erosi. Pemberitaan  Penelitian Tanah dan Pupuk, Nomor 10, 1992. Pusat Penelitian Tanah dan Agroklimat, Bogor.

 

Hartatik W. dan J. Sri Adiningsih, 1987. Pengaruh Pengapuran dan Pupuk Hijau terhadap Hasil Kedele pada Tanah Podsolik Sitiung di Rumah Kaca. Pemberitaan Penelitian Tanah dan Pupuk, Nomor 7, 1987. Pusat Penelitian Tanah dan Agroklimat, Bogor.

 

Ismunandar S., Y. Sugito dan B. Guritno, 1997. Penerapan Teknologi Perbaikan Lahan. Pengelolaan Kesuburan Tanah, dan Bina Usahatani Lahan Pekarangan di UPT Cempaka, Banjarbaru, Kalimantan Selatan. Prosiding Lokakarya Nasional Pertanian Lahan Kering Beberapa Kawasan Pengembangan Ekonomi Terpadu di Kawasan Timur Indonesia. Malang, 10 Oktober 1996

 

Kartono G. dan Y.B.Pasolon, 1997. Keragaan Beberapa Hasil Penelitian pada Lahan Kering PMK (Podsolik Merah Kuning) di Sulawesi Tenggara. Prosiding Lokakarya Nasional Pertanian Lahan Kering Beberapa Kawasan Pengembangan Ekonomi Terpadu di Kawasan Timur Indonesia. Malang, 10 Oktober 1996.

 

Lembaga Penelitian Tanah (1969). Kemungkinan Perluasan Areal Pertanian di Dataran Indonesia. Menara Perkebunan 38 (3-4), 6-15.

 

Mulyani A. dan H. Suhardjo, 1994. Karakteristik Tanah di Lahan Kering Marginal Propinsi Jambi. Prosiding Penanganan Lahan Kering Marginal melalui Pola Usahatani Terpadu di Jambi, Jambi 2 Juli 1994. Pusat Penelitian Tanah dan Agroklimat, Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian. Departemen Pertanian, 1994.

 

Purnomo J., Mulyadi dan I.G.P. Wigena, 1996. Pengaruh Residu Pupuk Sumber P dan Pengelolaan Bahan Organik terhadap Sifat Kimia Tanah serta Hasil Padi dan Jagung. Kumpulan Makalah  Seminar Forum Komunikasi Penelitian Tanah dan Agroklimat, Nomor 1/1996. Pusat Penelitian Tanah dan Agroklimat.

 

Safuan, L.O., 2002. Kendala Pertanian Lahan Kering Masam Daerah Tropika dan Cara Pengelolaannya. Http://rudy ct.tripod.com/seml-023/Laode-Safuan.Htm

 

Sinukaban N., 1990. Pengaruh Pengolahan Tanah Konservasi dan Pemberian Mulsa Jerami terhadap Produksi Tanaman Pangan dan Erosi Hara. Pemberitaan Penelitian Tanah dan Pupuk, Nomor 9, 1990. Pusat Penelitian Tanah dan Agroklimat, Bogor.

 

Sitorus S.R.P., 1989. Survai Tanah dan Penggunaan Lahan. Laboratorium Perencanaan Pengembangan Sumberdaya Lahan. Jurusan Tanah, Fakultas Pertanian, Institut Pertanian Bogor.

 

Subowo, J. Subagja dan M. Sudjadi, 1990. Pengaruh Bahan Organik terhadap Pencucian Hara Tanah Ultisol Rangkasbitung, Jawa Barat. Pemberitaan Penelitian Tanah dan Pupuk, Nomor 9, 1990. Pusat Penelitian Tanah dan Agroklimat, Bogor.

 

Suwardjo H., A. Abdurrachman dan S. Abujamin, 1989. The Use of Crop Residue Mulch to Minimize Tillage Frequency. Pemberitaan Penelitian Tanah dan Pupuk, Nomor 8, 1989. Pusat Penelitian Tanah dan Agroklimat, Bogor.

 

Utomo M., 1990. Budidaya Pertanian Tanpa Olah Tanah. Teknologi untuk Pertanian Berkelanjutan. Universitas Lampung. 22 hal.

 

Yudohusodo S., 2003. Harian Kompas, Maret 2003.

 

Yudohusodo S. 2003 - Kebijakan Pangan yang Menyejahterakan Petani. Harian Kompas 26 Mei 2003 hal. 15Yudohusodo S. 2003 - Kebijakan Pangan yang Menyejahterakan Petani. Harian Kompas 26 Mei 2003 hal. 15