ã 2003  Yuliana                                                                                      Posted    30 April, 2003

Term paper

Intoductory Science Philosophy (PPS702)                      

Graduate Program / S3

Institut Pertanian Bogor

April 2003

 

Instructors :

Prof Dr Ir Rudy C Tarumingkeng

Dr Bambang Purwantara

 

 

 

 

 

KAITAN PERTUMBUHAN EKONOMI, KEMISKINAN DAN STATUS GIZI

 

 

Oleh: 

YULIANA 

A 561024011

 

PENDAHULUAN

Krisis yang melanda perekonomian Indonesia pada pertengahan tahun 1997, bersamaan dengan kekeringan panjang, telah berpengaruh negatif terhadap kondisi makro ekonomi secara menyeluruh dan khususnya terhadap kesejahteraan penduduk.  Jumlah penduduk yang hidup di bawah garis kemiskinan dipercaya telah meningkat secara drastis karena dampak krisis tersebut.  Data dan hasil Sensus mini Desember 1998 mengindikasikan suatu kenaikan besar pada insiden kemiskinan dari periode sebelum krisis (1996) ke keadaan akhir 1998.

Besarnya dampak krisis terhadap kemiskinan pada awalnya diperdebatkan antara berbagai metodologi pengukuran, khususnya untuk estimasi tahun 1998, masalah penting yang perlu ditelaah adalah proses dari pengaruh krisis terhadap peningkatan jumlah penduduk miskin di Indonesia.  Krisis dipercaya telah memperburuk insiden kemiskinan terutama melalui kenaikan drastis harga-harga kebutuhan pokok dan komoditi-komoditi lainnya karena depresiasi nilai rupiah yang sangat cepat antara paruh kedua tahun 1998.  Kenaikan harga-harga ini khususnya terhadap barang-barang input produksi impor, telah menyebabkan kontraksi sektor-sektor riil (dan sektor formal secara umum).  Situasi ini kemudian diikuti oleh menjamurnya insiden kebangkrutan dan kegagalan bisnis, khususnya yang tergantung pada sumber-sumber dan komponen dari luar negeri.  Sebagai akibatnya, tekanan pada kesempatan kerja di sektor informal perkotaan menjadi semakin besar, permintaan atas barang-barang dan jasa-jasa melemah, dan tingkat produksi serta pendapatan dari pertanian di perdesaan cenderung menurun drastis (Irawan dan Romdiati, 2000).

Lebih lanjut Irawan dan Romdiati (2000) mengungkapkan bahwa semua faktor tersebut pada gilirannya mengakibatkan suatu penurunan yang drastis pada pendapatan dan daya beli dari mayoritas penduduk.  Memahami proses dampak krisis seperti ini, memburuknya angka kemiskinan adalah konsekuensi logis.  Proses “pemiskinan” ini melibatkan mereka yang sebelum krisis mempunyai tingkat kesejahteraan, seperti ditunjukkan oleh rata-rata pengeluaran per kapita, sedikit di atas garis kemiskinan.  Kelompok penduduk ini sering diistilahkan sebagai near poor yang mempunyai tingkat kesejahteraan sangat rawan terhadap perubahan sumber penghasilan dan tingkat pendapatan mereka serta terhadap gejolak harga-harga kebutuhan pokok.  Kondisi ini menyebabkan sebagian  masyarakat tidak mampu mengakses pangan dan pada akhirnya berpengaruh terhadap keadaan gizi masyarakat yang dapat digambarkan secara nyata pada kelompok rawan gizi terutama anak balita (termasuk bayi) serta ibu hamil dan menyusui.

KONDISI PERTUMBUHAN EKONOMI INDONESIA

Profesor Simon Kuznets, salah satu ekonom besar yang pernah memenangkan hadiah Nobel dibidang ekonomi pada tahun 1971 atas usahanya mempelopori pengukuran dan analisis atas sejarah pertumbuhan pendapatan nasional negara-negara maju, telah memberikan suatu definisi mengenai pertumbuhan ekonomi (economic growth) suatu negara.  Menurut Kuznets, pertumbuhan ekonomi adalah kenaikan kapasitas dalam jangka panjang dari negara yang bersangkutan untuk menyediakan berbagai barang ekonomi kepada penduduknya.  Kenaikan kapasitas itu sendiri ditentukan atau dimungkinkan oleh adanya kemajuan atau penyesuaian-penyesuaian teknologi, institusional (kelembagaan) dan ideologis terhadap berbagai tuntutan keadaan yang ada (Todaro, 2000).

Pertumbuhan ekonomi dalam pengertian ekonomi makro adalah penambahan produk domestik bruto (PDB), yang berarti peningkatan pendapatan nasional (Julianery, 2002). Petumbuhan ekonomi ada dua bentuk: extensively yaitu dengan penggunaan banyak sumberdaya (seperti fisik, manusia atau natural capital) atau intensively yaitu dengan penggunaan sejumlah sumberdaya yang lebih efisien (lebih produktif).  Ketika pertumbuhan ekonomi dicapai dengan menggunakan banyak tenaga kerja, hal tersebut tidak menghasilkan pertumbuhan pendapatan per kapita. Namun ketika pertumbuhan ekonomi dicapai melalui penggunaan sumberdaya yang lebih produktif, termasuk tenaga kerja, hal tersebut menghasilkan pendapatan per kapita yang lebih tinggi dan meningkatkan standar hidup rata-rata masyarakat.

Kondisi laju pertumbuhan ekonomi Indonesia sejak tahun 1986 sampai akhir tahun 1996 dalam kondisi cukup baik. Keadaan rupiah stabil dengan depresiasi antara tiga dan empat persen.  Kondisi nilai tukar yang relatif stabil ini membawa pertumbuhan ekonomi negeri ini berkisar antara tujuh dan delapan persen per tahun (Gambar 1).  Memasuki tahun 1997 para pengamat ekonomi optimis perekonomian Indonesia akan tumbuh pesat.  Bank Dunia meramalkan pertumbuhan ekonomi Indonesisa sekitar 8,2%.  Patokan angka ini lebih tinggi dibandingkan dengan pertumbuhan ekonomi tahun sebelumnya yang mencapai 7,82%.  Julianery (2002) mengungkapkan bahwa dari dalam negeri, Lembaga Penyelidikan Ekonomi dan Masyarakat Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia (LPEM-FEUI) memperkirakan laju pertumbuhan ekonomi turun menjadi 7,36%.  Kemudian lembaga ini melakukan proyeksi lain dan menghitung pertumbuhan ekonomi hanya akan mencapai 6,4%.

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 


Gambar 1.  Laju Pertumbuhan Ekonomi Indonesia (%) 1980 - 2003

 

Kebenaran ramalan angka pertumbuhan ekonomi yang dikemukakan tersebut tidak terbukti dan tidak satupun yang menghitung angka pertumbuhan ekonomi di tahun 1997 setepat 4,70%.  Semua asumsi tertolak sebab tidak ada yang mengira nilai tukar rupiah terhadap dollar Amerika akan jatuh.  Pada tanggal 11 Juli 1997 nilai rupiah menjadi Rp 2.430 setelah di tahun 1996 berada di tingkat Rp2.383.  Sampai akhir tahun 1997 keadaan rupiah tidak stabil, sebentar naik dan tak lama kemudian turun lagi,  akhirnya rupiah ditutup pada nilai Rp 4.650.  Nilai rupiah yang tidak bisa dikendalikan itu menyulitkan seluruh aktivitas ekonomi. 

Indonesia memasuki tahun 1998 dalam kondisi ekonomi yang sulit  dan inflasi yang melambung menjadi 11,05.  Pergantian kepala pemerintahan dari Suharto ke B.J. Habibie, pada tanggal 21 Mei 1998 tidak cukup kuat menahan jatuhnya rupiah.  Di tahun tersebut rupiah mengalami depresiasi hampir 80 % dan inflasi melonjak menjadi 77.63%.  Kondisi ini mengakibatkan hampir seluruh kegiatan ekonomi terhenti dan laju pertumbuhan ekonomi berada pada –13,13%.  Salah satu sektor produksi yang mengalami kemerosotan paling dalam adalah industri pengolahan, yang sebelumnya dijadikan andalan ekspor nonmigas  yang memiliki laju pertumbuhan per tahun sedikitnya 10%.  Penyebab merosotnya industri pengolahan adalah rendahnya kemampuan belanja masyarakat dan kegiatan ekonomi yang lesu yang akhirnya mengakibatkan permintaan terhadap hasil produk ini berkurang.  Disamping itu tingginya suku bunga pinjaman, dana kredit dari perbankan nasional yang terbatas dan harga bahan baku impor yang melonjak tinggi akibat dari rendahnya nilai rupiah serta penolakan bank-bank luar negeri terhadap surat pemberitahuan kredit dari bank nasional menghambat kegiatan industri. Pada akhirnya banyak perusahan yang harus tutup usaha dan mengakibatkan tingginya angka pemutusan hubungan kerja.  Kondisi ini mengakibatkan sebagian besar masyarakat kehilangan pekerjaan dan pendapatan serta secara langsung meningkatkan jumlah penduduk miskin yang tidak mampu menjangkau kebutuhan pokoknya.  

Meskipun belum lancar, kegiatan ekonomi mulai berjalan kembali di tahun 1999 dan hasilnya mulai menunjukkan pertumbuhan yang positif.  Pertumbuhan ekonomi Indonesia sebesar 0,79%.  Ditahun ini inflasi turun menjadi 2,01% dan kurs menguat pada nilai Rp 7.100.  Kegiatan perekonomian mulai bergerak lebih cepat di tahun 2000, sehingga meningkatkan laju pertumbuhan ekonomi menjadi 4,90%. Namun pada tahun 2001, angka pertumbuhan ekonomi tersebut turun menjadi 3,32% dan sekarang (tahun 2003) pertumbuhan ekonomi sekitar 3,4%.  Kurs rupiah yang turun menjadi Rp 10.400 turut berpengaruh terhadap turunnya pertumbuhan masing-masing lapangan usaha.

PERKEMBANGAN INSIDEN KEMISKINAN

Pengkajian berdasarkan data Susenas menunjukkan peningkatan jumlah penduduk miskin dari 22,5 juta jiwa tahun 1996 menjadi 49,5 juta tahun 1998.  Pada tahun 1999, jumlah penduduk miskin sebesar 37,5 juta jiwa.  Tingkat kemiskinan di perkotaan meningkat dari 12% tahun 1996 menjadi 26% tahun 1998.  Namun demikian jumlah penduduk miskin terbesar tetap berada di pedesaan, yaitu diperkirakan sebesar 32 juta jiwa pada tahun 1998 dan 25 juta jiwa pada tahun 1999 (Tabor, Soekirman dan Martianto, 2000).

Lebih jauh, kenaikan substansial pada kemiskinan absolut pada periode Februari 1996–Desember 1998 dalam kenyataannya juga berkaitan dengan perubahan drastis pada garis kemiskinan baik di perkotaan maupun di pedesaan.  Dibandingkan tahun 1996, garis kemiskinan pada tahun 1998 meningkat sekitar 153,5% (dari Rp38.246 menjadi Rp96.959/kapita/bulan) dan 165,5% (dari Rp27.413 menjadi Rp72.780/kapita/bulan) masing-masing di perkotaan dan di pedesaan.  Hal ini mengindikasikan bahwa nilai nominal dari pengeluaran yang dibayar oleh seseorang per bulan untuk memenuhi kebutuhan dasarnya pada Desember 1998 telah berlipat lebih dari dua kali dibandingkan nilai pada Februari 1996.  Besarnya kenaikan garis kemiskinan tersebut konsisten dengan meroketnya harga-harga, khususnya komoditi makanan pada periode yang sama, dan sebagian kenaikan karena pendefinisian kembali pada paket non-makanan dalam garis kemiskinan.  Dari Februari 1996 ke Desember 1998, tingkat inflasi dilaporkan sebesar 98,64% untuk indek umum, dan 148,6% untuk kelompok makanan (Irawan dan Romdiati, 2000).

Angka kemiskinan yang diukur dengan head-count ratio, di Jawa Barat cenderung lebih tinggi dari pada di Sumatera, tetapi angka tertinggi terdapat di wilayah lain khususnya Indonesia bagian timur.  Dengan menggunakan standar 1998, angka kemiskinan di Jawa-Bali meningkat 17,3 persen pada 1996 menjadi 24,2 persen pada Desember 1998, dibandingkan dengan angka di Sumatera yang meningkat 14,2 persen menjadi 17,4 persen, dan di pulau lainnya yang meningkat dari 22,6 persen menjadi 32,0 persen pada periode yang sama (BPS, 2000).  Dilihat dari perkembangan jumlah penduduk miskin secara absolut, daerah perkotaan di ketiga wilayah ini menunjukkan peningkatan yang lebih besar selama periode tersebut dibandingkan dengan yang terjadi di daerah pedesaan.  Di Jawa-Bali, jumlah penduduk miskin meningkat sebesar 80 persen di perkotaan, dibanding 27 persen di pedesaan, selama 1996-Desember 1998.  Peningkatan di Sumatera tercatat lebih kecil yaitu 64 persen dan 18 persen, sedangkan di pulau-pulau lainnya kenaikan adalah 116,7 persen dan 37,8 persen di masing-masing daerah perkotaan dan pedesaan selama periode yang sama.  Temuan ini mengindikasikan bahwa dampak krisis ekonomi terhadap peningkatan insiden kemiskinan terlihat lebih besar di perkotaan dari pada di pedesaan, terutama di wilayah perkotaan Indonesia bagian timur dan Jawa-Bali.  Hal ini diduga karena ketergantungan pada sektor formal dan tingkat kenaikan harga-harga lebih tinggi di perkotaan dari pada di pesedaan, sehingga penduduk kota lebih cepat merasakan dampak krisis.  Di samping itu daerah pedesaan terutama di Sumatera dan beberapa provinsi di Sulawesi yang banyak mengandalkan tanaman perkebunan untuk ekspor, diperkirakan justru menikmati dampak positif akibat kenaikan kurs dollar (Raharto dan Romdiati, 2000).

 

STATUS GIZI PENDUDUK INDONESIA

Status gizi merupakan salah satu determinan utama status kesehatan penduduk.  Salah satu indikator status gizi penduduk yang rendah adalah tingginya prevalensi gizi kurang dan gizi buruk pada anak bawah lima tahun (balita) yang didasarkan pada berat badan menurut umur (BB/U).  Menurut Jahari dkk (2000), prevalensi gizi kurang pada anak balita (usia 0 – 59 bulan) secara nasional menurun dari 36,2% di tahun 1989 menjadi 29,8% di tahun 1995 dengan kecepatan penurunan 1,0% per tahun, dan turun lagi dari 29,8% di tahun 1995 menjadi 28,3% di tahun 1998 dengan kecepatan penurunan 0,5% per tahun.  Selanjutnya dari tahun 1998 ke tahun 1999 prevalensi gizi kurang turun dari 28,3% menjadi 25,4% dengan kecepatan penurunan 2,9% per tahun (Gambar 2). Penurunan prevalensi gizi kurang dari tahun 1999-2000 kembali kecil yaitu dari 25,4% menjadi 24,7% atau penurunan sebesar 0,7% (Jahari dan Sumarno, 2002).  Penurunan prevalensi gizi kurang tersebut dijumpai baik di daerah kota maupun desa.  Penurunan prevalensi gizi kurang yang kecil dari tahun 1995 ke tahun 1998 tidak seperti yang diharapkan karena prevalensi gizi kurang di Indonesia masih tergolong tinggi. Bila kecepatan penurunan prevalensi dipertahankan 1,0% per tahun seperti yang terjadi antara tahun 1989 dan tahun 1995, maka prevalensi gizi kurang yang diharapkan tahun 1998 adalah sebesar 26,8%.  Perbedaan antara prevalensi yang ditemukan (28,3%) dan yang diharapkan (25,8%) pada tahun 1998 tersebut memberikan indikasi tentang adanya masalah gizi.

 

 


Sumber : Susenas 2000

Gambar 2.  Prevalensi gizi kurang ( < -2.0 SD z_BBU) pada anak umur 0-56 bulan menurut daerah dan tahun

 

Prevalensi gizi kurang di Indonesia pada tahun 1998 masih lebih tinggi dari prevalensi gizi kurang di negara-negara tetangga (Malaysia, Philippina, dan Thailand) yang besarnya sekitar 20% pada tahun yang sama.  Lebih lanjut, prevalensi gizi kurang pada tahun 2000 masih tergolong tinggi dari target penurunan menjadi 18% pada akhir 2000.

Menurut data Susenas (2001) prevalensi gizi kurang sedikit berbeda dari yang dikemukakan oleh Jahari dkk (2000).  Data gizi kurang menurun dari 31,2%; 28,3%; 20,0%; 19,0% dan 18,3% berturut-turut dari dari tahun 1989; 1992; 1995; 1998 dan 1999.  Tetapi untuk kasus gizi buruk terjadi peningkatan pada tahun 1989 dari 6,3% menjadi 11,4% tahun 1995 (Gambar 3).


 


Sumber :  Susenas 1989 - 1999

Gambar 3.  Prevalensi Gizi Kurang (BBR) dan Gizi Buruk (BBSR) pada Anak Balita

 

Masalah gizi memiliki etiologi yang sangat komplek, tidak saja dipengaruhi oleh intake zat gizi dan keadaan kesehatan individu tetapi juga berkaitan erat dengan dengan keadaan sosial ekonomi masyarakat.  Oleh karena itu meningkatnya prevalensi gizi buruk yang diikuti dengan menurunnya prevalensi gizi kurang tingkat ringan memberikan indikasi makin melebarnya kesenjangan keadaan ekonomi antara masyarakat miskin dan masyarakat kaya.

                

 

KAITAN PERTUMBUHAN EKONOMI, KEMISKINAN DAN  STATUS GIZI

 

 

Selama periode pertumbuhan ekonomi yang relatif tinggi, jumlah penduduk miskin di Indonesia menurun dengan pesat dari sekitar 54,2 juta orang (40,1% terhadap total penduduk) pada tahun 1976 menjadi 22,5 juta orang (11,3%) pada tahun 1996.  Akan tetapi, pencapaian atas penurunan kemiskinan ini terimbas oleh krisis ekonomi yang melanda Indonesia sejak pertengahan 1997.  Bersamaan dengan meningkatnya harga-harga dan penurunan rata-rata pendapatan karena dampak krisis,  laju pertumbuhan ekonomi menurun drastis menjadi –13,13% pada tahun 1998 dibandingkan 7,82% pada tahun 1996.  Jumlah penduduk miskin mencapai sekitar 49,5 juta orang (24,23%) pada Desember 1998, atau suatu kenaikan absolut sebesar 27 juta orang dibandingkan dengan kondisi tahun 1996 (22,5 juta orang).

Irawan dan Romdiati (2000) mengemukakan bahwa krisis ekonomi yang dilihat dari menurunnya laju pertumbuhan ekonomi di Indonesia telah menyebabkan bertambahnya jumlah penduduk miskin, melalui beberapa mekanisme yang kesemuanya menyebabkan penurunan drastis pada pendapatan dan daya beli dari mayoritas penduduk, khususnya golongan bawah.  Menurunnya pendapatan secara negatif berdampak pada kualitas dan pola konsumsi rumah tangga.  Dengan tingkat pendapatan yang sangat terbatas, banyak rumah tangga miskin terpaksa merubah pola makanan pokoknya ke barang paling kurang dengan jumlah yang berkurang.  Sementara di beberapa kasus, seperti yang ditemukan oleh Irawan (1998), penurunan tajam pada pendapatan telah menyebabkan banyak rumah tangga menjadi sangat nestapa karena mereka mengalami kesulitan untuk membeli makanan, penurunan ini umumnya mengakibatkan berubahnya pola pengeluaran konsumsi dengan proporsi lebih besar untuk kebutuhan makanan dibandingkan untuk kebutuhan bukan makanan, seperti untuk kebutuhan pendidikan dan kesehatan.  Pada studi lainnya, Irawan (1999) juga menemukan bahwa mayoritas penduduk pedesaan cenderung merubah pola konsumsi makanan, baik kualitas maupun kuantitas, seperti dari nasi ke jagung atau umbi-umbian, dan dari sebanyak 3 kali ke 1 atau 2 kali makan sehari.

Adanya keterkaitan status gizi dan pembangunan ekonomi juga dikemukakan oleh Sekretaris Jenderal PBB Kofi Annan dalam Soekirman, 2000.  Dalam salah satu pidatonya dikatakan bahwa, “Gizi yang baik dapat merubah kehidupan anak, meningkatkan pertumbuhan fisik dan perkembangan mental, melindungi kesehatannya dan meletakkan pondasi untuk masa depan produktivitas anak”.  Pernyataan ini memperkuat hasil riset para pakar gizi dan kesehatan mengenai adanya kaitan antara pangan, gizi, kesehatan dan pembangunan ekonomi.  Mekanisme hubungan tersebut digambarkan secara sederhana oleh Martorell (1998) yang terlihat pada Gambar 4.  Terjadinya perbaikan ekonomi maka akan mengurangi kemiskinan dan selanjutnya akan meningkatkan status gizi serta meningkatkan kualitas sumber daya manusia (SDM) dan produktivitas.

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 


Gambar 4.  Keterkaitan antara Pertumbuhan Ekonomi, Kemiskinan dan Status Gizi (Martorell, 1998)

 

PENUTUP

Sejalan dengan mulai terjadinya pertumbuhan ekonomi yang positif yang ditandai dengan stabilnya harga-harga komoditi dasar, jumlah penduduk miskin pada Februari 1999 diperkirakan sedikit menurun menjadi sekitar 48,4 juta orang (23,55% dari total penduduk), diikuti dengan suatu penurunan tajam yaitu sekitar 37,5 juta orang pada Agustus 1999.  Hal ini berarti bahwa terdapat suatu pengurangan sebesar 12 juta orang miskin selama periode Desember 1998 – Agustus 1999.  Baik di perkotan maupun di pedesaan, jumlah penduduk miskin juga menurun drastis pada Agustus 1999, yaitu masing-masing mencapai 12,4 juta orang (15,09%) dan 25,1 juta orang (20,22%).  Standar minimum untuk kebutuhan dasar makanan dan bukan makanan yang dipergunakan dalam pendefinisian garis kemiskinan untuk data Februati dan Agustus 1999 adalah sama dengan yang diaplikasikan pada data Desember 1998.  Oleh karena itu, penurunan sebesar 12 juta orang miskin selama periode Desember 1998 – Agustus 1999 hampir pasti dipengaruhi oleh deflasi harga-harga, khususnya komoditi makanan, yang mencapai –5,58 persen selama periode tersebut.  Angka inflasi untuk komoditi bukan makanan cenderung untuk menurun sejak Maret 1999, dan mencapai kurang dari 3 persen selama periode yang sama. Sementara angka inflasi/deflasi seperti yang diukur dengan perubahan indek harga konsumen (CPI) mewakili perubahan harga-harga di perkotaan, indek harga konsumen yang dibayar oleh petani untuk konsumsi rumah tangga dapat merefleksikan perubahan harga-harga di pedesaan.  Indek ini dari 14 provinsi yang dicakup secara rata-rata mengalami suatu penurunan sebesar 5,82 persen selama periode Februari – Juli 1999.

Satu hal perlu dicatat bahwa variasi regional pada angka kemiskinan cenderung merefleksikan adanya perbedaan pembanguan sosial, tingkat dan pola pertumbuhan ekonomi dan pertumbuhan jumlah penduduk antar wilayah.  Variasi juga mengindikasikan adanya perbedaan pada karakteristik kemiskinan, latar belakang sosial dan budaya, serta kemampuan wilayah untuk meningkatkan kesejahteraan penduduk dan untuk menghapuskan kemiskinan.  Bagaimanapun perbedaan-perbedaan pada pembangunan sosial-budaya dan ekonomi ini tidak tampak dengan kentara pada insiden kemiskinan, khususnya antara Jawa-Bali dan luar Jawa-Bali (BPS dan UNDP, 1999). Memasuki era tahun 1990-an, Bank Dunia memberikan prioritas pinjaman kepada negara berkembang untuk melakukan investasi di bidang gizi melalui pertumbuhan ekonomi dan penurunan kemiskinan. 

DAFTAR PUSTAKA

 

 

BPS and UNDP (1999).  Crisis, Poverty and Human Development in Indonesia 1998. BPS-UNDP, Jakarta.

BPS.  2000.  Peta dan Pekembangan Tingkat Kemiskinan di Indonesia.  Paper.

Irawan,  P.B. and A. Susanto.  1999.  Impact of the Economic Crisis on the Number of Poor People, paper dipresentasikan pada International Seminar on Agricultura Sector During the Turbulence of Economic Crisis: Lessons and Future Directions.  The Centre for agro-Socioeconomic Research, Agency for Agricultural Research and Development of Agriculture, Bogor, 17 – 18 February 1999.

Irawan, P,B & H, Romdiati.  2000.  Dampak Krisis Ekonomi terhadap Kemiskinan dan Beberapa Implikasinya untuk Strategi Pembangunan. Prosiding Widyakarya Nasional Pangan dan Gizi VII.  LIPI, Jakarta.

Irawan, P.B.  1998.  Analisis Studi Data Kualitatif: Hasil Survei Dampak Krisis Terhadap Ketahanan Ekonomi Rumahtangga di Pedesaan.  Jakarta: BPS-UNDP, mimeo.

Irawan, P.B.  1999.  Analisis Perkembangan dan Dimensi Kemiskinan.  Jakarta: BPS-UNDP, mimeo.

Jahari, A.B. dan Sumarno.  2002.  Status Gizi Penduduk Indonesia.  Artikel dalam Majalah Pangan, Media Komunikasi dan Informasi.  Puslitbang Bulog, Jakarta.  

Jahari, A.B. Sandjaja, S. Herman, Soekirman, I. Jusat, F. Jalal, D. Latief dan Atmarita.  2000. Status Gizi Balita di Indonesia Sebelum dan Selama Krisis.  Prosiding Widyakarya Nasional Pangan dan Gizi VII. LIPI, Jakarta.

Julianery, B.E.  2002.  Produk Domestik Bruto.  Makalah dalam Indonesia dalam Krisis 1997 – 2002.  Kompas, Jakarta.

Martorell, R.  1998.  Nutrition, Human Capital and National Economic Development. Prosiding Widyakarya Nasional Pangan dan Gizi VI.  LIPI, Jakarta.

Raharto, A & H, Romdiati.  2000.  Identifikasi Rumah Tangga Miskin. Prosiding Widyakarya Nasional Pangan dan Gizi VII.  LIPI, Jakarta.

Soekirman.  2000.  Ilmu Gizi dan Aplikasinya.  Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi.  Departemen Pendidikan Nasional, Jakarta.

Tabor, S.  Soekirman dan D. Martianto. 2000.  Keterkaitan antara Krisis Ekonomi, Ketahanan Pangan dan Perbaikan Gizi. Widya karya Nasional Pangan dan Gizi VII. LIPI, Jakarta.

Todaro, M.P. 2000.  Pembangunan Ekonomi di Dunia Ketiga.  (Alih bahasa: Haris Munandar).  Erlangga, Jakarta.