© 2003 Program Pasca Sarjana IPB                                   Posted   25 October 2003

Makalah Kelompok 11  (Materi diskusi kelas)

Pengantar Ke Falsafah Sains (PPS702)

Program Pasca Sarjana / S3

Institut Pertanian Bogor

Oktober 2003

Dosen:

Prof. Dr. Ir. Rudy C. Tarumingkeng (penanggung jawab)

Prof. Dr. Ir. Zahrial Coto

 

RASIONALISASI JUMLAH NELAYAN SEBAGAI LANGKAH REVITALISASI SUMBERDAYA PERIKANAN DI LAUT JAWA

 

 

Oleh Kelompok 11:

 

Khusnul Yaqin P062030151

Sunarto C66103011

Rahmadi Tambaru C161030031

OTS Ongkers C161030041

Ivon Iskandar Mahi C561030101

Saharia P062030081

Zulkifli C661030021

Taufan D061030151

Henny Pagoray P062030081

 

 

 

ABSTRAK

Pada sektor produksi bidang kelautan dan perikanan, perikanan tangkap masih mendominasi produksi dan perolehan devisa. Berdasarkan hasil pengkajian Pusat Riset Perikanan Tangkap, Badan Riset Kelautan dan Perikanan Departemen Kelautan dan Perikanan, pada tahun 2001 produksi ikan hasil penangkapan di laut mencapai 4,069 juta ton. Tingkat pemanfaatan ini mencapai 63,49 % dari potensi lestari sebesar 6,409 ton pertahun atau 79,37% dari JTB sebesar 5,127 juta ton pertahun. Jumlah ini masih relatif rendah bila dibandingkan dengan potensi yang tersedia. Akan tetapi jumlah produksi tersebut tidak proporsional dibandingkan dengan potensi masing-masing kawasan penangkapan.

Rendahnya nilai produksi ini sangat terkait dengan produktivitas usaha yang masih rendah. Hal ini disebabkan oleh beberapa faktor antara lain terkonsentrasinya jumlah nelayan pada suatu kawasan tertentu, kurangnya kesadaran akan kelestarian sumberdaya ikan, dan rendahnya tingkat ekonomi masyarakat pesisir.

Sekitar 35% nelayan Indonesia terkonsentrasi pada areal penangkapan (fishing ground) di Laut Jawa dengan hanya sekitar 15% dari seluruh luas laut Indonesia. Hal ini menjadikan kawasan tersebut padat dengan kegiatan penangkapan. Kondisi ini didorong oleh keberadaan sarana dan prasarana penangkapan yang terkonsentrasi di Pulau Jawa. Keadaan ini memunculkan sejumlah permasalahan. Untuk itu perlu diupayakan beberapa langkah rasionalisasi untuk menanggulangi permasalahan antara lain dengan : transmigrasi nelayan, ‘pendaratan’ nelayan, pemberdayaan sektor budidaya pesisir dan industrialisasi.

 


Kata Kunci : rasionalisasi, revitalisasi, nelayan

 

PENDAHULUAN

Wilayah Republik Indonesia sebagian besar berupa laut, oleh karena itu wilayah Indonesia sering disebut sebagai benua maritim. Sebagai archipelagic state (negara kepulauan) dengan luas laut 5.8 juta km2 Indonesia memiliki keunggulan komparatif dalam potensi sumberdaya perikanan dan kelautan. Laut Indonesia terbagi dalam wilayah Zona Ekonomi Ekslusif (ZEE) seluas 2.7 juta km2 dan Laut Teritorial sebesar 3.1 juta km2.

Keunggulan komparatif di atas tidak serta merta menunjukkan kemajuan dalam sektor perikanan. Tanpa melakukan pengelolaan sumberdaya secara baik maka keunggulan tersebut kurang berarti. Perairan laut yang luas tersebut memiliki karakteristik sumberdaya baik fisik maupun nonfisik yang berbeda. Oleh karena itu dalam pengelolaannya mempertimbangkan karakteristik sumberdaya baik sumberdaya hayati laut maupun SDM kelautan.

Dalam mengelola sumberdaya perikanan tangkap, pemerintah telah membagi wilayah perairan menjadi sembilan wilayah pengelolaan yaitu (1) Selat Malaka, (2) L. Cina Selatan, (3) L. Jawa dan Selat Sunda,(4) Selat Makasar dan L.Flores, (5) L.Banda, (6) L.Arafuru dan L.Timor,(7) L.Tomini dan L.Maluku, (8) L. Sulawesi dan Samudera Pasifik, serta (9) Samudera Hindia. Setiap wilayah memiliki potensi dan permasalahan yang berbeda. Di antara wilayah tersebut yang memiliki masalah yang cukup berat adalah Laut Jawa.

Dalam memanfaatkan sumberdaya kelautan masih menganut paradigma lama. Laut dianggap milik bersama (common property) dan karena itu siapapun boleh memanfaatkannya (open access). Melekatnya paradigma ini dalam masyarakat mengakibatkan banyak fihak melakukan eksploitasi sumberdaya secara tidak terkendali. Meningkatnya jumlah nelayan merupakan akibat dari mudahnya orang memasuki dan melakukan penangkapan ikan atau mengalihkan pekerjaan menjadi pencari ikan di laut. Hal ini ditunjang pula oleh budaya masyarakat nelayan yang ingin serba"instans" dalam mendapatkan penghasilan tanpa berlama-lama menunggu hasil.

Penyadaran dan pembelajaran bagi nelayan akan pentingnya berpartisipasi melakukan pengelolaan sumberdaya perlu dilakukan. Hal ini dimaksudkan agar tidak terjadi kehilangan sumberdaya (resources lost) yang dapat menghambat kelangsungan hidupnya. Akan tetapi tidak mudah meningkatkan kesadaran bila kebutuhan hidup mereka tetap tidak terpenuhi. Oleh karena itu perlu upaya-upaya revitalisasi sumberdaya perikanan melalui rasionalisasi jumlah nelayan yang diimbangi dengan beberapa upaya yang dapat menunjang kearah itu. Rasionalisasi dalam konteks ini adalah pengimbangan jumlah nelayan dengan potensi sumberdaya perikanan. Diantara upaya itu adalah ‘mendaratkan’ nelayan dengan menyediakan lapangan kerja di darat yang berbasis perikanan yang lebih menguntungkan, transmigrasi/translokasi nelayan, pemberdayaan sektor budidaya pesisir dan laut serta industrialisasi perikanan. Langkah-langkah ini merupakan langkah pendukung dilakukannya rasionalisasi jumlah nelayan.

 

KONDISI POTENSI SUMBERDAYA PERIKANAN LAUT JAWA

Secara nasional potensi perikanan Indonesia sebesar 6.4 juta ton/tahun dan baru termanfaatkan sebesar 63.5% atau sebesar 4.1 juta ton/th (Dahuri, 2003 dan Salim, 2002). Terlihat tingkat pemanfaatan (ekploitation rate) masih rendah. Potensi tersebut tersebar di seluruh perairan Indonesia dengan potensi dan tingkat pemanfaatan yang berbeda.

Pada beberapa perairan, tingkat pemanfaatannya telah mendekati optimal bahkan ada yang telah melampaui batas maksimal. Dengan kondisi seperti itu diharapkan pengembangannya tidak lagi menekankan pada jumlah atau volume produksi. Upaya produksi harus dilakukan secara selektif dengan memperhitungkan prinsip-prinsip kelestarian sumberdaya ikan (sustainable resources) dengan melakukan penangkapan yang bertanggungjawab (responsible fisheries) sesuai kode etik perikanan yang bertanggungjawab (code of conduct for responsible fisheries).

Di antara perairan yang telah mengalami eksploitasi yang berlebih adalah Laut Jawa. Dari segi potensi wilayah relatif kecil dibandingkan wilayah lain, namun armada penangkapan pada daerah ini sangat banyak. Akibatnya eksploitasi sumberdaya perikanan sangat intens dilakukan nelayan yang menyebabkan berkurangnya stok sebagai akibat rendahnya tingkat rekruitmen sumberdaya perikanan. Hal ini diperparah oleh terpusatnya sarana dan prasarana pelabuhan perikanan dan fasilitas penunjang lain yang berada di Pulau Jawa.

Kontribusi perikanan Laut Jawa terhadap ekonomi nasional sangat penting. Pada tahun 1997 perikanan Laut Jawa memberikan kontribusi sekitar 31% dari produksi perikanan laut nasional (Purwanto, 2002). Produksi perikanan di Laut Jawa di didukung oleh dua sumber perikanan utama yaitu sumberdaya perikanan pelagik kecil dan perikanan demersal. Kondisi sumberdaya ini telah dieksploitasi secara berlebih (Tabel.1).

Karakteristik nelayan di Laut Jawa umumnya merupakan nelayan berskala kecil (small scale fishery) dengan alat tangkap tradisional. Di bawah regime open acces terjadi kompetisi bebas antara nelayan berskala kecil dengan nelayan berskala besar (large scale fishery). Nelayan kecil yang menggunakan alat yang kurang efisien dirugikan dalam kompetisi ini, akibatnya adalah menyebar kemiskinan pada nelayan kecil.

 

Tabel 1. Potensi, Produksi dan Tingkat Pemanfaatan Sumberdaya Perikanan di Laut Jawa

Sumberdaya

Luas Area (1000 km2)

Potensi Lestari (ton)

Produksi (ton)

Tingkat Pemanfaatan (%)

Tongkol

400

29.400

33.470

113,8

Tenggiri

400

25.600

11.888

46,4

Pelagik Kecil

400

336

442.9

130

Udang Penaeid

114

10.800

11.100

102

Udang Karang

870

500

125.0

25

Rajungan

392

-

4482

-

Ikan Demersal

392

451

214.7

-

Cumi-cumi

-

5.042

5.099

101

Sumber : Komnas Pengkajian Stok (1998)

 

KERAGAMAN NELAYAN DI LAUT JAWA

Armada penangkapan nasional umumnya adalah nelayan tradisional yang dicirikan dengan tingkat penggunaan mesin/motor dan perahu. Menurut Soepanto (2000), tahun 1997 armada perikanan berjumlah sekitar 437 090 buah yang didominasi perahu tanpa motor sekitar 60,52%, kemudian disusul Perahu Motor Temple dan Kapal Motor Dalam kurang dari 10 GT sekitar 37,45%. Kapal Motor Dalam 10-100 GT sebanyak 1,93% dan diatas 100 GT hanya 0.11% (BPS,1997). Berdasarkan data statistik menunjukkan bahwa jumlah nelayan di pantai utara Jawa berjumlah 475 691 atau 23 % dari keseluruhan jumlah nelayan di Indonesia. Apabila dilihat dari jumlah nelayan yang mungkin melakukan penangkapan pada fishing ground di Laut Jawa seperti nelayan dari fishing base Timur Sumatera, Selatan/Barat Kalimantan dan Selatan Sulawesi maka prosentase jumlah nelayan yang melakukan penangkapan di Laut Jawa menjadi 35% dari keseluruhan jumlah nelayan di Indonesia (Tabel 2).

 

Tabel 2. Persentase Penyebaran Jumlah Nelayan Nasional

Wilayah Perairan

Jumlah Nelayan

Persentase (%)

Fishing Ground

Barat Sumatera

133 923

6.4

 

Timur Sumatera

126 209

6.1

L.Jawa,St. Malaka

Selat Malaka

256 902

12.3

Selat Malaka

Selatan Jawa

143 147

6.8

Samudera Hindia

Utara Jawa

475 691

23

Laut Jawa

Bali/Nusa Tenggara

171 939

8.24

 

Selatan/Barat Kalimantan

55 775

2.6

Laut Jawa

Timur Kalimantan

129 721

6.2

 

Selatan Sulawesi

197 819

9.5

Laut Jawa

Utara Sulawesi

186 021

8.9

 

Papua/Maluku

210 656

10

 

Total

2 087 802

100

 

Sumber: Biro Pusat Statistik (1997)

 

 

 

RASIONALISASI JUMLAH NELAYAN

Menurut Dahuri (2002) ada tiga tujuan utama pengelolaan sumberdaya perikanan yaitu peningkatan efisiensi dan produktivitas (economic efficency objective), pemerataan hasil dan kesejahteraan secara proporsional (social equity objectives) dan pencapaian keberlanjutan sumberdaya (ecological sustainability objective).

Pada sektor produksi di bidang kelautan dan perikanan, perikanan tangkap masih mendominasi hasil produksi dan perolehan devisa di sektor perikanan. Berdasarkan hasil pengkajian Pusat Riset Perikanan Tangkap, Badan Riset Kelautan dan Perikanan Departemen Kelautan dan Perikanan, pada tahun 2001 produksi ikan dari hasil penangkapan di laut mencapai 4,069 juta ton. Tingkat pemanfaatan ini mencapai 63,49 % dari potensi lestari sebesar 6,409 ton pertahun atau 79,37% dari JTB sebesar 5,127 juta ton pertahun. Jumlah ini masih relatif rendah bila dibandingkan dengan potensi yang tersedia.

Rendahnya nilai produksi ini sangat terkait dengan produktivitas usaha yang masih rendah yang disebabkan oleh beberapa faktor berikut:

  1. Sebagian besar armada perikanan adalah armada perikanan rakyat yang dilakukan oleh nelayan-nelayan kecil dengan kemampuan Iptek yang rendah. Hanya sekitar 17% dari total armada perikanan nasional yang berkatagori nelayan modern dan sisanya adalah nelayan kecil/tradisional.
  2. Sebagian besar nelayan masih merupakan nelayan tradisional dengan karakteristik sosial budaya yang belum kondusif untuk dilakukannya akselerasi kemajuan teknologi
  3. Terkonsentrasinya jumlah nelayan pada suatu kawasan tertentu mengakibatkan ketimpangan tingkat pemanfaatan stok ikan antara satu kawasan dengan kawasan lainnya. Di satu fihak terdapat kawasan dengan tingkat pemanfaatan yang berlebih (over fishing) seperti di perairan pantai Utara Jawa, Selat Malaka, Selat Bali dan selatan Sulawesi, sementara pada kawasan lain tingkat pemanfaatannya belum optrimal atau bahkan belum digarap samasekali.
  4. Kurangnya kesadaran akan kelestarian sumberdaya ikan yang ditandai oleh rusaknya ekosistem laut sebagai akibat pola dan metode penangkapan yang tidak tepat cara, waktu dan sasaran. Kerusakan itu juga diakibatkan oleh rendahnya pengetahuan tentang pentingnya lingkungan bagi pemulihan stok (restocking) sumberdaya perikanan, sehingga terjadi kerusakan mangrove, padang lamun (seagrass beds) dan terumbu karang yang merupakan habitat dan daerah asuhan (nursery ground) bagi ikan dan organisme laut lainnya.
  5. Masih rendahnya kemampuan penanganan dan pengolahan hasil perkanan.
  6. Masih lemahnya tingkat pengusaan pasar serta daya tangkap terhadap preferensi konsumen tentang jenis dan mutu komoditas perikanan.

 

Di antara faktor-faktor yang berpengaruh di atas, kualitas sumberdaya manusia adalah faktor utama yang mempengaruhi rendahnya produktivitas nelayan Indonesia. Kualitas sumberdaya manusia yang bekerja di sektor ini sangat rendah. Karakteristik tradisional dan struktur armada yang timpang antara nelayan tradisional dan nelayan kecil disebabkan oleh struktur tenaga kerja sektor kelautan dan perikanan yang mayoritas tidak tamat SD (79,5%). Tenaga berpendidikan lulus SD sebanyak 19,6%, berpendidikan SLTP sebanyak 1,9% dan SLTA sebanyak 1,4% dan hanya 0,03% berpendidikan D3 atau S1 (Dahuri, 2002). Melihat struktur tenaga kerja yang demikian sangat susah untuk melakukan pengembangan sektor kelautan dan perikanan dalam waktu relatif singkat. Kondisi demikian harus terus diupayakan untuk dirubah agar terjadi struktur yang berimbang, sehingga memudahkan melakukan akselerasi kemajuan di sektor perikanan. Faktor internal lain yang dapat menghambat pembangunan sektor kelautan dan perikanan adalah keefektifan regulasi. Regulasi di sektor perikanan kadang tumpang tindih dan tidak integral dengan sektor-sektor lain.

Lebih dari 35 % nelayan terkonsentrasi pada areal penangkapan (fishing ground) di Laut Jawa dengan areal penangkapan hanya sekitar 15% dari seluruh luas perairan laut Indonesia. Hal ini menunjukkan bahwa terjadi ketimpangan dalam pemanfatan sumberdaya perikanan. Tidak rasionalnya jumlah nelayan mengakibatkan produktivitasnya rendah.

Rendahnya produktivitas (low productivity) nelayan mengakibatkan tingkat pendapatan mereka rendah pula. Hal ini memicu untuk melakukan penangkapan secara lebih intensif dan berakibat pada menipisnya sumberdaya perikanan. Kondisi ini merupakan rantai siklik yang harus diputuskan sehingga produktivitas meningkat, tingkat pendapatan dapat ditingkatkan, sumberdaya dapat direvitalisasi, dan masyarakat pesisir menjadi lebih berdaya (empowered) (Gambar 1).

 

 


 

 


Gambar 1. Diagram alir siklus ketakberdayaan nelayan akibat tidak rasionalnya jumlah nelayan

 

Untuk memutuskan rantai low productivity yang bersifat siklik tersebut perlu beberapa langkah yang harus dilakukan terutama berkaitan dengan rasionalisasi jumlah nelayan. Upaya-upaya yang dilakukan antara lain:

  1. Transmigrasi/translokasi Nelayan

Sekilas, langkah seperti ini tampak kurang realistis, terlebih bila kita melihat beberapa kegagalan program transmigrasi di masa lalu yang dikomandoi oleh Departemen Transmigrasi. Perlu beberapa langkah evaluasi terhadap kebijakan transmigrasi di masa lalu yang seolah-olah hanya sekedar memindahkan sekelompok orang dari daerah miskin atau padat penduduk ke daerah lain yang ‘lebih baik’. Kebijakan ini bersifat sentralisasi dan bersifat top down tidak mempertimbangkan kebijakan daerah masing-masing sehingga daerah lokasi transmigrasi terkesan angkat tangan apabila ada permasalahan di kemudian hari terhadap nasib transmigran.

Untuk transmigrasi nelayan, meskipun langkah ini merupakan kebijakan yang tidak popular di era otonomi daerah saat ini, tetapi apabila dilakukan dengan pendekatan antar sektor dan antar daerah serta dengan pola kemitraan saling menguntungkan maka tidak mustahil hal ini dapat dilakukan. Penanaman kesadaran akan pentingnya program ini harus disosialisasikan dan ditingkatkan.

  1. ‘Pendaratan Nelayan’

Langkah ini dimaksudkan untuk memindahkan kegiatan sebagian masyarakat pesisir dari hanya mengadalkan penangkapan ikan menjadi pelaku bisnis berbasis perikanan (akua bisnis). Selama ini ada ketidakefektifan kegiatan para nelayan dalam melakukan kegiatan penangkapan sehingga tingkat produktivitas dan pendapatannya rendah. Bila hal ini dibiarkan terus menerus maka yang terjadi adalah perpanjangan masa kemiskinan dari generasi ke generasi berikutnya.

Untuk memutuskan rantai kemiskinan tersebut maka langkah pendaratan nelayan dengan menyediakan banyak kegiatan di darat yang lebih menguntungkan menjadi alternatif yang sangat mungkin dilakukan. Pola pemberdayaan ekonomi masyarakat pesisir (PEMP) dapat menjadi acuan dalam kerangka mendaratkan dan memberdayakan masyarakat nelayan.

  1. Pemberdayaan sektor budidaya pesisir dan laut

Melalui kegiatan ini maka pendaratan nelayan menjadi sangat efektif untuk mencegah berlimpah dan tidak efektifnya kegiatan penangkapan ikan. Peningkatan intensitas budidaya pesisir dapat mendorong masyarakat pesisir untuk bertahan di darat dengan pendapatan lebih baik dibandingkan bila mereka melakukan penangkapan di laut. Aktivitas ini dalam skala besar akan mampu memberi daya tarik sekaligus meningkatkan produktivitas kerja masyarakat pesisir. Beberapa sektor budidaya pesisir yang dapat dibangkitkan dan dikembangkan antara lain budidaya tambak dengan berbagai komoditas yang dapat dikembangkan seperti udang, bandeng, kepiting, kerapu, kakap, kerang-kerangan dan sebagainya. Untuk budidaya laut dapat dikembangkan beberapa komoditas unggulan dengan menggunakan keramba jaring apung seperti kakap, kerapu, beronang, kerang-kerangan maupun rumput laut.

  1. Menciptakan industri pengolahan

Industri pengolahan ikan maupun industri lain yang berbasis perikanan merupakan alternatif yang sangat baik dalam rangka ikut mengurangi jumlah nelayan. Industri ini dapat dikembangkan dengan skala rumah tangga (home industry). Jumlah industri dalam suatu kawasan pesisir harus dibatasi sehingga tidak memicu terjadinya pengurasan sumberdaya ikan yang ada di laut. Melalui kegiatan ini diharapkan dapat terserap banyak tenaga kerja sehingga dapat mengalihkan kegiatan nelayan dari penangkap ikan menjadi pengolah. Dapat dikembangkan pula industri-industri yang mampu menampung dan mengolah limbah perikanan menjadi bahan baku produk seperti pakan ikan. Beberapa kegiatan home industry yang dapat dikembangkan dikawasan pesisir antara lain pengolahan rajungan, pengeringan, pembuatan terasi, kecap, baso/sosis ikan, dodol rumput laut, kerupuk ikan/udang, abon ikan, pembuatan cinderamata/kerajianan dari bahan kerang-kerangan, dan sebagainya.

 

 

KESIMPULAN

Tidak berimbangnya potensi dan tingkat pemanfaatan mengakibatkan penurunan potensi sumberdaya perikanan di perairan laut Jawa. Untuk mengurangi tekanan terhadap sumberdaya maka diperlukan revitalisasi melalui rasionalisasi jumlah nelayan.

 

 

DAFTAR PUSTAKA

Biro Pusat Statistik., 1997. Statistik Perikanan Nasional 1997. Jakarta.

Dahuri,R. 2002. Kebijakan dan program pengembangan sumberdaya manusia kelautan dan perikanan di era globalisasi. Makalah. UMM Malang.

Dahuri, R. 2002. Kebijakan dan program pengembangan sumberdaya manusia kelautan dan perikanan. Departemen Kelautan dan Perikanan Republik Indonesia. Jakarta.

Dahuri, R. 2003. Keanekaragaman Hayati Laut Aset Pembangunan Berkelanjutanm Indonesia. PT Gramedia Pustaka Utama. Jakarta.

Komnas Pengkajian Stok Sumberdaya Ikan Laut. 1988. Potensi dan penyebaran sumberdaya ikan laut di perairan Indonesia. LIPI. Jakarta.

Lubis, E., 2000.  Pengelolaan Aktivitas dan system pelabuhan  Perikanan dan Pangkalan Pendaratan Ikan yang terletak diwilayah perairan Laut Jawa. Makalah Seminar Kepelabuhanan. IPB –Universite de Nantes. Prancis.

Salim., S. 2002. Kebijakan opresional pengelolaan sumberdaya ikan di Indonesia. Direktorat Jenderal Perikanan Tangkap. Departemen Kelautan dan Perikanan. Jakarta.

Soepanto. 2000.  Strategi dan teknologi pilihan akuakultur dalam peningkatan eksport konsumsi ikan.  Makalah Nasional Kelautan. Departemen Eksplorasi Laut, Jakarta.

Purwanto, 2002.  Exploitation status and a strategy for the management of the Java Sea fisheries.  Workshop International Pengelolaan Sumberdaya Perikanan. Ditjen Perikanan Tangkap DKP, Jakarta.