© 2003 Program Pasca Sarjana IPB                                           Posted   30 October 2003

Makalah Kelompok 15  (Materi diskusi kelas)

Pengantar Ke Falsafah Sains (PPS702)

Program Pasca Sarjana / S3

Institut Pertanian Bogor

Oktober 2003

Dosen:

Prof. Dr. Ir. Rudy C. Tarumingkeng (penanggung jawab)

Prof. Dr. Ir. Zahrial Coto

 

 

 

 

 

FAUNA ENDEMIK SULAWESI: 

PERMASALAHAN DAN USAHA KONSERVASINYA

 

 

 

 

 

Oleh :

 

Marthen T. Lasut  (G361030061),

Shahabuddin  (A461030051),

Juliet M. E Mamahit  (A461030021),

Tri Atmowidi  (A461030011),

Ni Made Laksmi Ernawati  (A461030041),

Tati Barus  (A461030031),

Nesti F. Sianipar  (A361020201)

 

 

PENDAHULUAN

 

     Indonesia adalah negara yang memiliki keanekaragaman hayati tertinggi kedua di dunia setelah Brasil.  Walaupun luas total daratan hanya 1,3 % dari seluruh permukaan bumi, Indonesia memiliki 10 % tumbuhan berbunga (27.000 jenis), 12 % Mamalia (515 jenis), 16 % satwa Amphibia (270 jenis), dan 17 % Aves (1539 jenis) (KLH dan Kophalindo, 1994). Indonesia tidak hanya kaya dengan jenis flora dan fauna, tetapi juga memiliki banyak jenis endemik.  Hal ini terjadi karena banyaknya pulau-pulau yang terisolasi satu sama lain untuk jangka waktu yang lama, sehingga terjadi evolusi jenis lokal yang khas untuk pulau-pulau tersebut. Tingginya endemisitas fauna Sulawesi disebabkan oleh posisi geografisnya yang terletak di kawasan Wallacea. Tingkat endemisitas jenis yang tinggi juga ditemukan Irian dan di kepulauan Mentawai (KLH dan Kophalindo, 1994).

     Kekayaan jenis fauna endemik Sulawesi, disatu sisi merupakan kebanggaan tersendiri, tetapi disisi lain merupakan tanggung jawab besar untuk dikelola dengan baik sehingga masih dapat dinikmati oleh generasi yang akan datang.  Aktivitas manusia yang tidak bertanggung jawab menyebabkan laju kepunahan jenis flora dan fauna di Sulawesi dan pulau lain di Indonesia cenderung meningkat.  Dick (1991) melaporkan bahwa kebanyakan propinsi di Indonesia telah kehilangan 80 % atau lebih kawasan hutan dataran rendahnya, dan 11 propinsi diantaranya telah mengalami penggundulan lahan curam yang cukup besar, yang mengakibatkan ratusan jenis (mungkin lebih dari 1 jenis) per hari, hilang setiap tahunnya. Diduga kebanyakan jenis yang punah adalah hewan invertebrata yang belum teridentifikasi.  Perkiraan tingkat kepunahan tersebut merupakan hal memprihatinkan, karena angka tersebut diduga sedang bergerak cepat bersamaan dengan hilangnya fragmen-fragmen habitat yang unik (KLH dan Kophalindo, 1994).  Reid  and Miller (1989) melaporkan bahwa laju kepunahan burung dan mamalia saat ini mencapai 100-1000 kali dibandingkan dengan laju kepunahan yang terjadi di ekosistem yang tidak terganggu.

     Ancaman utama keanekaragaman hayati karena faktor manusia adalah kerusakan habitat, gangguan pada habitat (termasuk polusi), eksploitasi jenis yang berlebihan, introduksi jenis eksotik, dan penyebaran penyakit.  Kebanyakan jenis yang terancam punah disebabkan oleh dua atau lebih masalah yang mempercepat kepunahannya dan menyulitkan usaha pelestariannya.  Pada beberapa kasus, penyebab kerusakan habitat adalah industri berskala besar dan kegiatan komersial yang berhubungan dengan ekonomi global, seperti pertambangan, pengusahaan hutan,  perikanan, perkebunan, dan industri lainnya (KLH dan Kophalindo, 1994). Bappenas (1993, dalam Sujatnika dkk. 1995) mengidentifikasikan bahwa meningkatnya tekanan terhadap hidupan liar dan ekosistem alami, antara lain disebabkan oleh meningkatnya jumlah penduduk, ketidakpastian tataguna dan pengelolaan lahan, dan kebijakan ekonomi dan pembangunan.  Timbulnya tekanan terhadap lingkungan alami ini, erat kaitannya dengan kemiskinan, tekanan penduduk, pemanfaatan sumberdaya dan lahan hutan, serta pengembangan pertanian.

     Berdasarkan hal-hal di atas, maka makalah ini mencoba untuk memperkenalkan keunikan posisi geografis Sulawesi dengan beberapa jenis fauna endemiknya, faktor-faktor yang mengancam kelestarian dan beberapa usaha pelestariannya.

 

 

GAMBARAN UMUM SULAWESI

 

Tahun 1858, Wallace menulis bahwa di Kepulauan Indonesia terdapat perbedaan besar antara fauna yang hidup dibagian timur dan di barat.  Selanjutnya Wallace membagi kedua kawasan ini berdasarkan pada sebaran burung yang diamatinya, dengan menempatkan garis imajiner antara Lombok dan Bali  dan antara Kalimantan dan Sulawesi.  Wallace yakin bahwa Kalimantan, Jawa, dan Sumatera dulunya merupakan bagian dari Asia, sedangkan Timor, Maluku, Irian, dan Sulawesi pernah menjadi bagian dari benua Pasifik-Australia (Whitten  et al., 1987). Garis tersebut kemudian dikenal sebagai Garis Wallace.

Dalam perkembangan selanjutnya, kawasan Wallacea dipisahkan oleh tiga garis imajiner, yaitu:

 

1.      Garis Wallace, yaitu garis imajiner yang dibuat oleh Alfred Wallace berdasarkan data sebaran burung.  Garis tersebut ditarik mulai dari sebelah timur Philipina melewati Selat Makassar, dan antara Bali dan Lombok.

2.      Garis Weber, yaitu garis imajiner yang berusaha menentukan batas imbangan fauna (hewan Asia dan Australia) sama besar. Weber menggunakan data burung dan mamalia dalam analisisnya.

  1. Garis Lydekker, yaitu  garis imajiner yang menentukan batas barat fauna Australia (Whitten, et al., 1987).

 

Kawasan Wallacea terdiri dari ribuan pulau yang terletak dikawasan Oriental dan Australia.  Pulau-pulau ini dikelompokkan menjadi 3  bagian , yaitu: 1) Sulawesi dan pulau-pulau sekitarnya, termasuk kepulauan Banggai dan Sula, 2) Kepulauan Maluku, dan 3) Kepulauan Nusa Tenggara.  Sebelah Barat wilayah ini dibatasi oleh garis Wallace mulai dari Timur Laut ke Barat Daya, mengikuti dangkalan Sunda di sepanjang bagian Timur pulau Kalimantan dan Bali. Garis ini menandai peralihan antara fauna Oriental di bagian barat dengan kawasan Wallacea di sebelah timurnya. Batas Timur kawasan Wallacea adalah garis imajiner kedua, yaitu garis Lydekker.  Garis ini mengikuti kontur sisi barat dataran Sahul, sehingga memisahkan fauna kawasan Australo-Papua di  sebelah timur dengan kawasan Wallacea di sebelah barat.  Sebelah Utara kawasan Wallacea adalah Philipina dan Samudera Indonesia (Coates, dkk. 2000).

Pulau Sulawesi adalah pulau terbesar di kawasan Wallacea  dan secara geologis paling rumit karena menjadi tempat hidup bagi fauna campuran oriental  dan Australia serta menjadi arena evolusi berbagai jenis fauna endemik (Coates, dkk.2000).  Sejarah Sulawesi dimulai kira-kira 200 juta tahun yang lalu, ketika Dinosaurus berkeliaran di bumi dan Gondwana land mulai terpecah-pecah.  Pecahannya yang besar-besar terpecah lagi dan didorong kesana kemari oleh lempeng dibawahnya dan terjadi pertemuan sementara antara Asia dan Australia yang memungkinkan berpindahnya flora dan fauna.  Salah satu pecahan ini mencakup daratan yang kelak membentuk Sulawesi Barat, Sumatera dan lempeng bagian Kalimantan.  Hampir 100 juta tahun kemudian, Australia, bersama dengan bagian yang sekarang membentuk Irian dan Sulawesi Timur, memisahkan diri dari Antartika dan bergerak lambat ke utara dengan membawa serta Mamalia kuno, burung purba dan tumbuhan berbunga.  Masa 60-70 juta tahun berlalu, sebelum Sulawesi barat berpisah dengan Kalimantan, lempeng Australia yang mengapung ke utara mulai meluncur dengan kecepatan 10 cm setahun untuk bertabrakan dengan lempeng yang berisi Sulawesi barat.  Pada 15 juta tahun yang lalu, Sulawesi timur terpisah dari Irian dan mengenai Sulawesi barat tepat ditengahnya.  Peristiwa ini menyebabkan membeloknya bagian Sulawesi dan semenanjung utara berputar hampir 90 derajat ke posisinya yang sekarang (Kinnaird, 1997). Sementara itu, semenanjung barat daya berputar berlawanan dengan arah jarum jam sebesar 35 derajat, yang secara bersamaan membuka teluk Bone (Whitten, et al., !987).      

 

BEBERAPA JENIS FAUNA ENDEMIK SULAWESI.

Dengan sejarah alam yang kompleks tersebut, Sulawesi memiliki keanekaragaman jenis fauna endemik yang sangat tinggi. Tingkat endemisitas yang tinggi, terjadi pada kelompok ikan air tawar, dengan 52 jenis endemik (77 %) dan kelompok mamalia, dimana dari 114 jenis, 60 % atau 53 jenis adalah endemik (Whitten, et al., 1987).  Dari kelompok Aves, Sulawesi memiliki  sekitar 380 jenis,  25 % (96 jenis) diantaranya jenis endemik (Holmes dan Phillips, 1989).  Dari kelompok Amphibia , Sulawesi memiliki 14 jenis endemik.  Dari kelompok serangga , khususnya kupu-kupu, Sulawesi memiliki 560 jenis,  dengan 235 jenis (42%) adalah endemik (Whitten et al., 1987).  Dari kelompok Reptilia berdasarkan Kinnaird (1997), tercatat 46 jenis kadal Sulawesi dan 18 jenis diantaranya endemic. Di Sulawesi, dilaporkan terdapat 64 jenis ular, dan 23 jenis diantaranya endemik. Beberapa jenis fauna endemik dan status populasinya, dideskripsikan dalam makalah ini.

 

  1. Babirusa (Babyrousa babyrussa).  Hewan ini dicirikan oleh gigi taringnya yang mencuat ke atas, membengkok kebelakang sampai di depan matanya.  Fungsi taring ini sampai sekarang tidak diketahui dengan pasti.  Hewan ini makan buah-buahan yang jatuh dilantai hutan, sering mendatangi tempat bergaram, untuk mendapatkan mineral sebagai pelengkap makanannya.  Walaupun dianggap sebagai hewan malam, babirusa terkadang dapat ditemukan pada siang hari.  Dewasa ini, babirusa termasuk hewan paling terancam di Sulawesi.  Kondisi yang sangat membahayakan ini disebabkan antara lain oleh perkembangbiakan yang lambat, perburuan yang tidak terkendali, dan perusakkan habitatnya.  Wallace pada tahun 1857 pernah melakukan perburuan babirusa ke Gunung Tangkoko Bitung, Sulawesi Utara dan banyak mendapatkan hewan tersebut. Pada saat ini, daerah tersebut sangat jarang ditemukan babirusa (Kinnaird, 1997; Whitten, et al. 1987).  Status babirusa sekarang adalah “vulnerableVU (rentan) (IUCN, 2002).  Hewan ini menghadapi resiko yang tinggi untuk punah di alam, disebabkan oleh penurunan populasi lebih besar dari 50 % selama 10 tahun terakhir.  Penurunan ini terjadi karena penurunan kuantitas dan kualitas habitat serta tingkat eksploitasi yang tinggi.

 

  1. Anoa (Bubalus spp.).  Anoa disebut juga sapi hutan atau kerbau kerdil. Anoa merupakan satwa terbesar daratan Sulawesi.  Tubuh Anoa berukuran sekitar 1 meter, warna bervariasi dari abu-abu hingga coklat tua, dan kaki keputih-putihan.  Terdapat dua jenis anoa di Sulawesi, yaitu Bubalus depressicornis (Anoa dataran rendah) dan Bubalus quarlesi (Anoa dataran tinggi). Makanan anoa berupa buah-buahan, tunas daun, rumput, pakis, dan lumut. Anoa bersifat soliter, walaupun pernah ditemui dalam kelompok.  Seperti umumnya sapi liar, Anoa dikenal agresif dan perilakunya sulit diramalkan.  Karena hanya makan tunas pohon dan buah-buahan yang tidak banyak mengandung natrium, maka anoa harus melengkapi makanannya dengan mencari natrium ditempat bergaram.    Pada saat ini, populasi Anoa merosot tajam. Di cagar alam Tangkoko Dua Saudara Bitung Sulawesi utara, jumlah Anoa menurun 90 % selama 15 tahun dan jenis ini sudah mengalami kepunahan setempat (Whitten, et al. 1987; Kinnaird, 1997).  Status Bubalus spp. Adalah “endangered” (genting) - EN C1+2a (IUCN, 2002).  Kedua jenis anoa ini menghadapi resiko yang sangat tinggi untuk punah di alam, sebab populasinya diduga tinggal kurang dari 2500 individu dewasa dan populasi hewan ini terus menurun.

 

  1. Musang Sulawesi (Macrogalidia musschenbroeckii).  Jenis musang ini adalah karnivora kurang dikenal dan jarang ditemukan. Di alam, umumnya  hanya menemukan jejak kaki dan kotorannya (Kinnaird, 1997).   Status hewan ini adalah  vulnerable” (rentan) – VU A2c (IUCN, 2002).  Kelompok hewan ini beresiko tinggi untuk punah di alam, karena terjadi penurunan populasi lebih dari 30 % dalam 10 tahun terakhir. Penurunan ini terjadi karena daerah okupansinya berkurang.

 

4.      Kuskus beruang (Ailurops ursinus) dan  Kuskus kerdil  (Strigocuscus celebensis).  Kedua Kuskus tersebut  hidup di habitat hutan dataran rendah. Kuskus tergolong marsupilia, yaitu mamalia berkantung.  Seperti kerabat dekatnya, Kanguru, kuskus melahirkan anak yang kecil dan belum sepenuhnya berkembang. Karena itu sejak kelahirannya, anak ini  berada di kantung yang berlapis rambut halus di bagian perut induknya.  Setelah agak besar, anak Kuskus kadang terlihat naik dipunggung induknya dengan ekor saling berjalinan.  Sulawesi merupakan batas barat jangkauan persebaran Kuskus.  Kuskus beruang, memiliki panjang tubuh lebih dari satu meter, termasuk mamalia terbesar yang hidup ditajuk atas hutan Sulawesi, aktifitas siang hari, walaupun kuskus beruang juga beraktifitas pada  malam hari.  Kuskus kerdil sebagai pemakan buah (frugivora) dan  biologinya masih sedikit diketahui (Whitten, et al., 1987; Kinnaird, 1997).  Kedua jenis kus-kus ini menurut IUCN (2002), termasuk dalam katagori ‘data deficient’ – DD , yang berarti tidak cukup data untuk menghitung resiko kepunahan berdasarkan data distribusi dan status populasinya. 

 

 

5.      Primata (monyet dan tangkasi). Sulawesi merupakan habitat yang unik untuk kehidupan primata. Yaki, monyet hitam berjambul (Macaca nigra), merupakan satu jenis yang bertubuh besar, yang ditemukan di Sulawesi. Berat badan betina primata tersebut  mencapai 11 kg.  Hewan ini dicirikan dengan moncong yang tampak mencolok karena tulang pipi menonjol, rambut hitam mengkilap, dan terdapat bantalan kulit berwarna merah muda pada pantatnya. Pada bagian kepala memiliki rambut panjang.  Yaki hidup berkelompok dengan jumlah 30–100 ekor.  Dalam populasinya, jumlah betina umumnya lebih banyak (empat kali jumlah jantan).  Kawanan ini menghabiskan hampir seluruh waktunya untuk berkeliaran mencari buah-buahan, yang merupakan 70 % menu makanannya.  Untuk memenuhi kebutuhan protein, yaki makan serangga.  Yaki menyimpan makannya dalam kantung khusus di pipinya. Pada saat berjalan, hewan ini kadang mengeluarkan simpanan makanan dari kantungnya, mengunyah, menelan daging buah, dan membuang bijinya (Kinnaird, 1997).  Status hewan ini adalah  endangered” (genting) – EN A1acd (IUCN, 2002).  Yaki menghadapi resiko punah di alam yang sangat tinggi, karena terjadi penurunan populasi lebih dari 70 % dalam sepuluh tahun terakhir.  Hal ini terjadi karena penurunan jumlah dan kualitas habitatnya serta perburuan liar.

Tangkasi (Tarsius spektrum), tergolong mamalia paling kecil didunia, dengan bobot tubuh sekitar 100 g pada usia dewasa, mata besar dibanding ukuran tubuhnya, telinga sensitive dan terus bergerak, gigi tajam, dan  kemampuan memutar kepala hampir 180 derajat.  Hewan ini nocturnal, dengan memiliki batas territorial, yang ditandai dengan urin. Kekuasaan teritorial diumumkan setiap pagi dan sore oleh pejantan dan betina dengan suara yang khas.  Memiliki pohon tidur yang merupakan pusat kehidupan.  Rumpun bambu, jalinan tumbuhan merambat dan pohon yang berlobang digunakan sebagai tempat tidur.  Tangkasi adalah hewan pemakan serangga, dan setengah waktu malamnya habis untuk mencari makan.  Mereka menangkap mangsa dengan meloncatinya dan menindihnya atau menggenggamnya dengan jari-jarinya yang ramping panjang (Kinnaird, 1997).  Status tangkasi saat ini adalah  low risk - LR/nt (IUCN, 2002). Pada saat ini, jenis ini masih banyak dijumpai di Sulawesi.

 

  1. Burung (Aves). Bagi para pengamat burung, Sulawesi merupakan tempat yang menarik terutama tingkat endemisitasnya.  Sulawesi dan pulau-pulau sekitarnya memiliki sekitar 380 jenis, dengan 96 jenis diantaranya adalah endemik (25 %). Sebanyak 115 jenis burung di Indonesia ditemukan di Sulawesi (Holmes and Phillipps, 1999).  Dua  jenis burung paling terkenal di Sulawesi, yaitu rangkong dan maleo. Rangkong Sulawesi–knobbed Hornbill-(Rhyticeros cassidix) adalah   burung hutan dengan warna menarik ini termasuk yang terbesar diantara 54 jenis rangkong yang lain di daerah tropis Asia dan Afrika. Burung ini memiliki bobot tubuh sekitar 2.5 kg dengan rentang sayap mencapai 1 m.  Tubuh dan sayapnya berwarna hitam, ekor putih, memiliki sebuah tanduk yang besar diatas paruh, warna merah pada jantan dan kuning pada betina. Paruh berwarna kuning, memiliki kantung biru pada tenggorokkan dengan sebuah garis gelap melintanginya.  Burung jantan memiliki topi berwarna kadru, leher dan dada bagian atas putih, sering bernoda kuning.  Burung ini terbang di sekeliling dan di atas tajuk pohon dalam kelompok kecil tetapi sesekali berkumpul sampai lima puluh ekor atau lebih dengan suara bernada ringkikan yang keras. Ketika terbang bunyi sayapnya dapat terdengar sampai 300 meter.  Beberapa burung mempunyai hiasan seperti tanda pangkat militer pada pangkal paruh jantan dan betina.  Menurut cerita rakyat Minahasa, jumlah tanda pangkat ini menyatakan umur burung; konon satu garis bertambah setiap tahun, itulah sebabnya mereka menamakannya “burung taong” (burung tahun).  Di cagar alam Tangkoko Dua Sudara, terdapat 30 jenis pohon ara sebagai sumber makanan burung ini, sehingga disini terdapat populasi tertinggi yaitu 51 ekor burung/km persegi (Kinnaird, 1997; Holmes dan Phillipps, 1999).

Maleo senkawor (Macrocepalon maleo) merupakan burung terkenal di Sulawesi Utara karena warna yang indah. Burung ini sangat pemalu, berbiak di pantai-pantai berpasir atau sungai-sungai di pedalaman, atau di tempat-tempat yang ada sumber air panasnya. Yang menarik dari jenis ini adalah telur yang berukuran 4 kali ukuran telur ayam kampung, dan dapat mencapai 250 g atau 16%  berat tubuhnya. Telur ini mengandung kuning telur besar sebagai persediaan makanan bagi anak burung setelah menetas. Terdapat sekitar 50 tempat berbiak yang diketahui, hampir semuanya di Sulawesi Utara dan Tengah, yang hampir semuanya terancam oleh berbagai aktivitas manusia (Holmes dan Phillipps, 1999; Kinnaird, 1997).  Status burung ini adalah ‘endangered’ (genting) – EN A4abcd (IUCN, 2002).  Kelompok hewan ini sangat tinggi resikonya untuk punah di alam karena mengalami penurunan populasi sebesar lebih dari 50 % dalam 10 tahun terakhir.

 

7. Kupu-kupu (Insecta : Lepidoptera). Dari kelompok seranggga, khususnya kupu dilaporkan bahwa Sulawesi memiliki 560 jenis dan 42 % (235 jenis) diantaranya adalah endemik.  Diantara jenis kupu adalah kupu raja (Troides helena dan T. oblongomaculatus).  Di pasar internasional, kupu persilangan antara genus Troides dan Ornithoptera dapat mencapai USD 1.150 (Soehartono dan Mardiastuti, 2002). Dari genus Troides, yang perlu mendapat perhatian khusus adalah T. doherty (talaud black birdwing) yang menurut katagori status IUCN 2002 sudah termasuk “vulnerable” (rentan) - VU B1+2c -.  Kupu yang warnanya paling gelap dari kelompok kupu bersayap burung ini hanya hidup di daerah koastal kepulauan Sangihe dan Talaud (Sulawesi Utara) dan terancam punah karena banyaknya aktifitas manusia. Masa depan kupu-kupu ini akan menurun  karena jenis ini sangat sulit beradaptasi dengan formasi vegetasi baru.

 

  1. Ikan (Pisces). Fauna air tawar Sulawesi dikenal memiliki banyak ikan-ikan endemik.  Danau Poso, Danau Matano, dan Danau Towuti dikenal sebagai jantungnya Sulawesi karena merupakan danau-danau terbesar di pulau ini dan menyimpan sejumlah jenis endemik (MacKinnon, 1994).  Sulawesi memiliki 69 jenis ikan air tawar dimana 52 jenis (77 %) adalah ikan endemik.  Terdapat 2 jenis yang sudah terancam punah atau sudah tidak ditemukan lagi yaitu Adrianichthys kruyty dan Xenopoecilus poptae (Whitten et al., 1987; Kotelat, 1990; Soeroto, 1995).  Beberapa jenis ikan yang telah masuk dalam  IUCN – Red List of Threatened Species tahun 2002, antara lain: A. kruyty, X. poptae, X. oophoirus, X. sarasinorum, Oryzias marmoratus, O. matanensis, O. nigrimas, O. ortognatus, O. profundicola, Dermogenys megarrhampus, D. weberi, Nomorphampus celebensis, Paratherina cyanea, P. labiosa, P. striata, P. wolterecki, Telmatherina abendanoni, T. celebensis, T. lagidesi, Glossogobius intermedius, G. matanensis, Mugilogobius latifrons, Stupidogobius flavipinnis, Tamanka  sarasinorum, dan Weberogobius amadi.

 

 

BEBERAPA PERMASALAHAN DAN USAHA-USAHA KONSERVASI

 

     Usaha-usaha untuk menjaga kelestarian jenis-jenis hayati diperlukan biaya yang besar. Oleh karena itu, perlu diprioritaskan jenis-jenis yang secara alami bersifat rawan punah serta jenis-jenis yang akibat kegiatan manusia menjadi rawan punah.  Sampai saat ini, telah diketahui beberapa kelompok hewan yang rawan punah. Kelompok tersebut adalah jenis yang populasinya rendah, jenis yang daerah sebarannya sempit (endemik), jenis pemangsa puncak, jenis megaherbivora, jenis yang berbiak dalam kelompok, jenis yang melakukan migrasi, dan jenis yang dimanfaatkan secara besar-besaran sampai melampaui daya reproduksinya. Jenis yang hanya dapat hidup di tengah rimba sehingga jika terjadi fragmentasi hutan akan mempersempit kawasan rimba sehingga pendukung kehidupan jenis yang bersangkutan akan berkurang, juga perlu mendapat prioritas konservasi.

 

     Secara umum, terdapat beberapa hal yang menyebabkan rawan punah atau punahnya jenis hayati yaitu:

 

1.      Kurangnya eksplorasi jenis baru, sehingga kepunahan jenis tersebut tidak diketahui.

2.      Penyediaaan habitat untuk jenis yang dilindungi masih sangat kurang.

3.      Habitat yang disediakan tidak sesuai bagi suatu jenis yang dilindungi.

4.      Pembangunan yang tidak memperhatikan kelestarian alam.

5.      Pemanfaatan yang memutus daur reproduksi.

6.      Adanya pemindahan suatu jenis baru kedalam suatu ekosistem.

7.      Kurang sadarnya akan pentingnya konservasi hewan langka bagi anggota masyarakat sekitar, termasuk pengelola kawasan

8.      Upaya kongkrit perlindungan belum nyata di lapangan. Masih banyak dijumpai penjualan jenis hayati yang dilindungi di tempat umum.

9.      Pengambilan dari alam secara besar-besaran dan terus-menerus (terutama kelompok burung). Hampir seluruh jenis burung piaraan masih merupakan tangkapan langsung dari alam (Noerdjito dan Maryanto, 2001).

 

     Berdasarkan uraian diatas, terlihat bagaimana sulit dan kompleksnya masalah yang dihadapi dalam upaya pelestarian keanekaragaman hayati. Berbagai usaha konservasi telah dilakukan, antara lain dengan menyusun peraturan-peraturan :

1.      Peraturan Pemerintah : Pemerintan penjajahan Belanda “Dierenbeshermings Ordonnantie” 1931, Surat Keputusan Menteri Pertanian No. 421/Kpts/Um/8/1970, Surat Keputusan Menteri Pertanian No.54/Kpts/ Um/2/1972, SK Menteri Pertanian No. 327/Kpts/Um/7/1972, SK Menteri Pertanian No. 66/Kpts/Um/2/1975, SK Menteri Pertanian No. 35/Kpts/Um/1/1975, SK Menteri Pertanian No. 90/Kpts/Um/2/1977, SK Menteri Pertanian No. 742/Kpts/Um/12/1978, SK Menteri Pertanian No. 716/Kpts/Um/10/1980, SK Menteri Pertanian No. 12/Kpts/II/1987, SK Menteri Kehutanan No. 301/Kpts-II/1991.

  1. Usaha lainnya berupa konservasi in- dan exsitu. 
  2. Upaya pengendalian jenis invasif telah mulai dikembangkan dengan menyusun pedoman untuk pengendalikan species asing invasif oleh KLH di tahun 2001. Selanjutnya pada tahun  2002 telah diterbitkan publikasi Keanekaragaman Hayati dan Pengendalian Jenis Asing Invasif dalam upaya untuk mengangkat permasalahan ini sebagai langkah mengantisipasi kemungkinan kepunahan jenis lokal akibat dari masuknya jenis asing yang tidak diinginkan.

 

     Segala upaya dilakukan untuk menjaga kelestarian hidupan liar dijamin oleh peraturan yang sangat banyak dan usaha-usaha tersebut sudah dimulai sejak jaman penjajahan Belanda, tetapi jenis yang punah atau terancam punah tetap bertambah.  Untuk itu  penerapan aturan-aturan/perundang-undangan tersebut diatas harus dilakukan dengan baik dan benar. Selain itu, diperlukan upaya yang terencana dan berkelanjutan, baik masyarakat maupun pemerintah demi menjaga kelestarian hidupan liar, karena keanekaragamannya adalah bagian dari sumber daya alam yang tidak ternilai harganya.

 

 

PENUTUP

1.      Tingkat endemisitas fauna di Sulawesi sangat tinggi : ikan air tawar dengan 52 jenis endemik (77 %), mamalia dengan 53 jenis endemik (60 %), serangga, khususnya kupu-kupu memiliki 235 jenis endemik (42 %), Reptil: kadal 18 jenis endemik (39 %) dan ular 23 jenis endemik (35 %),  Aves memiliki 96 jenis endemik (25 %), dan  Amphibi memiliki 14 jenis endemik.

2.      Beberapa jenis fauna endemik Sulawesi berada dalam kondisi yang terancam punah, diantaranya adalah Babirusa, Anoa, Musang, Tangkasi, Primata, Kuskus, kupu-kupu hitam Talaud dan burung maleo, serta beberapa jenis ikan air tawar, terutama  Weberogobius amadi,  Xenopoecilus oophorus, dan X. sarasinorum.

3.      Sejarah alam yang sangat unik menyebabkan para ilmuwan dari berbagai bidang sangat tertarik untuk mengadakan penelitian di Pulau ini.

4.      Diperlukan upaya pelestarian hidupan liar yang terencana dan berkelanjutan yang melibatkan semua unsur yang terlibat dalam pemanfaatannya.

 

 

 

DAFTAR PUSTAKA

 

Coates, B.J., K.D. Bishop, and D. Gardner.  2000.  Panduan Lapangan Burung-burung di Kawasan Wallacea.  Bird Life International – Indonesian Programme & Dove Publication Pty. Bogor.

Dick, J.  1991.  Forest Land Use, Forest Use Zonation, and Deforestation in Indonesia: A Summary and Interpretation of Existing Information.  KLH and Bapedal . Jakarta.

Holmes, D. and K. Phillipps.  1999. Burung-burung di Sulawesi.  Puslitbang Biologi LIPI. Bogor.

IUCN 2002.  2002 IUCN Red List of Threatened Species.  Downloaded on 22 October 2003.

Kinnaird, M. F.  1997.  Sulawesi Utara: Sebuah Panduan Sejarah Alam.  Yayasan Pengembangan Wallacea.

KLH and Kophalindo.  1994.  Keanekaragaman Hayati di Indonesia. Jakarta.

Kotellat, M.  1990.  The ricefishes (Oryziidae) of  Malili Lakes, Sulawesi, Indonesia, with description of a new species.  Ichtiol. Explor. Freshwater.

McKinnon, K.  1994.  Nature’s trerasurehouse.  The Wildlife of Indonesia.  PT. Gramedia. Jakarta.

Reid, W. V., and K. R. Miller.  1989.  Keeping Option Alive.  The Scientific Basis for Conserving Biodiversity. WRI.

Soehartono, T. and A. Mardiastuti.  2002.  CITES Implementation in Indonesia.  Nagao Victorial Environmental Foundation.

Soeroto, B.  1995.  Beberapa Catatan tentang Distribusi Ikan-ikan Air Tawar di Daerah Kolonedale, Sulawesi Tengah bagian Timur.  Jurnal fakultas Perikanan Vol III No. 1:1-6.

Sujatnika, P. Jepson, T. R. Soehartono, M. J. Crosby, and A. Mardiastuti.  1995.  Melestarikan Keanekaragaman Hayati Indonesia.  Pendekatan Daerah Burung Endemik.  PHPA – Birdlife International IP. Jakarta.

Whitten, A. J., M. Mustafa, and G. S. Hendersen.  1987.  The Ecology of Sulawesi.  Gadjah Mada University Press.

Noerdjito, M dan I. Maryanto.  2001.  Jenis-jenis Hayati yang dilindungi perundang-undangan di Indonesia.  Balitbang Zoologi-Puslitbang Biologi-LIPI dan The Nature Conservancy.  Cibinong.