© 2003 Program Pasca Sarjana IPB Posted 30 October 2003
Makalah Kelompok 15 (Materi diskusi kelas)
Pengantar Ke Falsafah Sains
(PPS702)
Program Pasca Sarjana / S3
Institut Pertanian Bogor
Oktober 2003
Dosen:
Prof. Dr. Ir.
Rudy C. Tarumingkeng (penanggung jawab)
Prof. Dr. Ir. Zahrial Coto
FAUNA ENDEMIK SULAWESI:
PERMASALAHAN DAN USAHA KONSERVASINYA
Oleh :
Marthen
T. Lasut (G361030061),
Shahabuddin
(A461030051),
Juliet
M. E Mamahit (A461030021),
Tri Atmowidi (A461030011),
Ni Made Laksmi Ernawati (A461030041),
Tati Barus (A461030031),
Nesti F. Sianipar (A361020201)
PENDAHULUAN
Indonesia adalah negara yang memiliki keanekaragaman hayati tertinggi kedua di dunia setelah Brasil. Walaupun luas total daratan hanya 1,3 % dari seluruh permukaan bumi, Indonesia memiliki 10 % tumbuhan berbunga (27.000 jenis), 12 % Mamalia (515 jenis), 16 % satwa Amphibia (270 jenis), dan 17 % Aves (1539 jenis) (KLH dan Kophalindo, 1994). Indonesia tidak hanya kaya dengan jenis flora dan fauna, tetapi juga memiliki banyak jenis endemik. Hal ini terjadi karena banyaknya pulau-pulau yang terisolasi satu sama lain untuk jangka waktu yang lama, sehingga terjadi evolusi jenis lokal yang khas untuk pulau-pulau tersebut. Tingginya endemisitas fauna Sulawesi disebabkan oleh posisi geografisnya yang terletak di kawasan Wallacea. Tingkat endemisitas jenis yang tinggi juga ditemukan Irian dan di kepulauan Mentawai (KLH dan Kophalindo, 1994).
Kekayaan jenis fauna endemik Sulawesi, disatu sisi merupakan kebanggaan tersendiri, tetapi disisi lain merupakan tanggung jawab besar untuk dikelola dengan baik sehingga masih dapat dinikmati oleh generasi yang akan datang. Aktivitas manusia yang tidak bertanggung jawab menyebabkan laju kepunahan jenis flora dan fauna di Sulawesi dan pulau lain di Indonesia cenderung meningkat. Dick (1991) melaporkan bahwa kebanyakan propinsi di Indonesia telah kehilangan 80 % atau lebih kawasan hutan dataran rendahnya, dan 11 propinsi diantaranya telah mengalami penggundulan lahan curam yang cukup besar, yang mengakibatkan ratusan jenis (mungkin lebih dari 1 jenis) per hari, hilang setiap tahunnya. Diduga kebanyakan jenis yang punah adalah hewan invertebrata yang belum teridentifikasi. Perkiraan tingkat kepunahan tersebut merupakan hal memprihatinkan, karena angka tersebut diduga sedang bergerak cepat bersamaan dengan hilangnya fragmen-fragmen habitat yang unik (KLH dan Kophalindo, 1994). Reid and Miller (1989) melaporkan bahwa laju kepunahan burung dan mamalia saat ini mencapai 100-1000 kali dibandingkan dengan laju kepunahan yang terjadi di ekosistem yang tidak terganggu.
Ancaman utama keanekaragaman hayati karena faktor manusia adalah kerusakan habitat, gangguan pada habitat (termasuk polusi), eksploitasi jenis yang berlebihan, introduksi jenis eksotik, dan penyebaran penyakit. Kebanyakan jenis yang terancam punah disebabkan oleh dua atau lebih masalah yang mempercepat kepunahannya dan menyulitkan usaha pelestariannya. Pada beberapa kasus, penyebab kerusakan habitat adalah industri berskala besar dan kegiatan komersial yang berhubungan dengan ekonomi global, seperti pertambangan, pengusahaan hutan, perikanan, perkebunan, dan industri lainnya (KLH dan Kophalindo, 1994). Bappenas (1993, dalam Sujatnika dkk. 1995) mengidentifikasikan bahwa meningkatnya tekanan terhadap hidupan liar dan ekosistem alami, antara lain disebabkan oleh meningkatnya jumlah penduduk, ketidakpastian tataguna dan pengelolaan lahan, dan kebijakan ekonomi dan pembangunan. Timbulnya tekanan terhadap lingkungan alami ini, erat kaitannya dengan kemiskinan, tekanan penduduk, pemanfaatan sumberdaya dan lahan hutan, serta pengembangan pertanian.
Berdasarkan hal-hal di atas, maka makalah ini mencoba untuk memperkenalkan keunikan posisi geografis Sulawesi dengan beberapa jenis fauna endemiknya, faktor-faktor yang mengancam kelestarian dan beberapa usaha pelestariannya.
GAMBARAN UMUM SULAWESI
Tahun 1858, Wallace menulis bahwa di Kepulauan Indonesia terdapat perbedaan besar antara fauna yang hidup dibagian timur dan di barat. Selanjutnya Wallace membagi kedua kawasan ini berdasarkan pada sebaran burung yang diamatinya, dengan menempatkan garis imajiner antara Lombok dan Bali dan antara Kalimantan dan Sulawesi. Wallace yakin bahwa Kalimantan, Jawa, dan Sumatera dulunya merupakan bagian dari Asia, sedangkan Timor, Maluku, Irian, dan Sulawesi pernah menjadi bagian dari benua Pasifik-Australia (Whitten et al., 1987). Garis tersebut kemudian dikenal sebagai Garis Wallace.
Dalam perkembangan selanjutnya, kawasan Wallacea dipisahkan oleh tiga garis imajiner, yaitu:
1. Garis Wallace, yaitu garis imajiner yang dibuat oleh Alfred Wallace berdasarkan data sebaran burung. Garis tersebut ditarik mulai dari sebelah timur Philipina melewati Selat Makassar, dan antara Bali dan Lombok.
2. Garis Weber, yaitu garis imajiner yang berusaha menentukan batas imbangan fauna (hewan Asia dan Australia) sama besar. Weber menggunakan data burung dan mamalia dalam analisisnya.
Kawasan Wallacea terdiri dari ribuan pulau yang terletak dikawasan Oriental dan Australia. Pulau-pulau ini dikelompokkan menjadi 3 bagian , yaitu: 1) Sulawesi dan pulau-pulau sekitarnya, termasuk kepulauan Banggai dan Sula, 2) Kepulauan Maluku, dan 3) Kepulauan Nusa Tenggara. Sebelah Barat wilayah ini dibatasi oleh garis Wallace mulai dari Timur Laut ke Barat Daya, mengikuti dangkalan Sunda di sepanjang bagian Timur pulau Kalimantan dan Bali. Garis ini menandai peralihan antara fauna Oriental di bagian barat dengan kawasan Wallacea di sebelah timurnya. Batas Timur kawasan Wallacea adalah garis imajiner kedua, yaitu garis Lydekker. Garis ini mengikuti kontur sisi barat dataran Sahul, sehingga memisahkan fauna kawasan Australo-Papua di sebelah timur dengan kawasan Wallacea di sebelah barat. Sebelah Utara kawasan Wallacea adalah Philipina dan Samudera Indonesia (Coates, dkk. 2000).
Pulau Sulawesi adalah pulau terbesar di kawasan Wallacea dan secara geologis paling rumit karena menjadi tempat hidup bagi fauna campuran oriental dan Australia serta menjadi arena evolusi berbagai jenis fauna endemik (Coates, dkk.2000). Sejarah Sulawesi dimulai kira-kira 200 juta tahun yang lalu, ketika Dinosaurus berkeliaran di bumi dan Gondwana land mulai terpecah-pecah. Pecahannya yang besar-besar terpecah lagi dan didorong kesana kemari oleh lempeng dibawahnya dan terjadi pertemuan sementara antara Asia dan Australia yang memungkinkan berpindahnya flora dan fauna. Salah satu pecahan ini mencakup daratan yang kelak membentuk Sulawesi Barat, Sumatera dan lempeng bagian Kalimantan. Hampir 100 juta tahun kemudian, Australia, bersama dengan bagian yang sekarang membentuk Irian dan Sulawesi Timur, memisahkan diri dari Antartika dan bergerak lambat ke utara dengan membawa serta Mamalia kuno, burung purba dan tumbuhan berbunga. Masa 60-70 juta tahun berlalu, sebelum Sulawesi barat berpisah dengan Kalimantan, lempeng Australia yang mengapung ke utara mulai meluncur dengan kecepatan 10 cm setahun untuk bertabrakan dengan lempeng yang berisi Sulawesi barat. Pada 15 juta tahun yang lalu, Sulawesi timur terpisah dari Irian dan mengenai Sulawesi barat tepat ditengahnya. Peristiwa ini menyebabkan membeloknya bagian Sulawesi dan semenanjung utara berputar hampir 90 derajat ke posisinya yang sekarang (Kinnaird, 1997). Sementara itu, semenanjung barat daya berputar berlawanan dengan arah jarum jam sebesar 35 derajat, yang secara bersamaan membuka teluk Bone (Whitten, et al., !987).
BEBERAPA JENIS FAUNA
ENDEMIK SULAWESI.
Dengan sejarah alam
yang kompleks tersebut, Sulawesi memiliki keanekaragaman jenis fauna endemik
yang sangat tinggi. Tingkat endemisitas yang tinggi, terjadi pada kelompok ikan
air tawar, dengan 52 jenis endemik (77 %) dan kelompok mamalia, dimana dari 114
jenis, 60 % atau 53 jenis adalah endemik (Whitten, et al., 1987). Dari kelompok Aves, Sulawesi memiliki sekitar 380 jenis, 25 % (96 jenis) diantaranya jenis endemik (Holmes dan Phillips,
1989). Dari kelompok Amphibia ,
Sulawesi memiliki 14 jenis endemik. Dari
kelompok serangga , khususnya kupu-kupu, Sulawesi memiliki 560 jenis, dengan 235 jenis (42%) adalah endemik
(Whitten et al., 1987). Dari
kelompok Reptilia berdasarkan Kinnaird (1997), tercatat 46 jenis kadal Sulawesi
dan 18 jenis diantaranya endemic. Di Sulawesi, dilaporkan terdapat 64 jenis
ular, dan 23 jenis diantaranya endemik. Beberapa jenis fauna endemik dan status
populasinya, dideskripsikan dalam makalah ini.
4. Kuskus beruang (Ailurops ursinus) dan Kuskus kerdil (Strigocuscus celebensis). Kedua Kuskus tersebut hidup di habitat hutan dataran rendah. Kuskus tergolong marsupilia, yaitu mamalia berkantung. Seperti kerabat dekatnya, Kanguru, kuskus melahirkan anak yang kecil dan belum sepenuhnya berkembang. Karena itu sejak kelahirannya, anak ini berada di kantung yang berlapis rambut halus di bagian perut induknya. Setelah agak besar, anak Kuskus kadang terlihat naik dipunggung induknya dengan ekor saling berjalinan. Sulawesi merupakan batas barat jangkauan persebaran Kuskus. Kuskus beruang, memiliki panjang tubuh lebih dari satu meter, termasuk mamalia terbesar yang hidup ditajuk atas hutan Sulawesi, aktifitas siang hari, walaupun kuskus beruang juga beraktifitas pada malam hari. Kuskus kerdil sebagai pemakan buah (frugivora) dan biologinya masih sedikit diketahui (Whitten, et al., 1987; Kinnaird, 1997). Kedua jenis kus-kus ini menurut IUCN (2002), termasuk dalam katagori ‘data deficient’ – DD , yang berarti tidak cukup data untuk menghitung resiko kepunahan berdasarkan data distribusi dan status populasinya.
5.
Primata (monyet dan tangkasi). Sulawesi merupakan habitat yang unik
untuk kehidupan primata. Yaki, monyet hitam berjambul (Macaca nigra), merupakan satu jenis yang
bertubuh besar, yang ditemukan di Sulawesi. Berat badan betina primata tersebut
mencapai 11 kg. Hewan ini
dicirikan dengan moncong yang tampak mencolok karena tulang pipi menonjol,
rambut hitam mengkilap, dan terdapat bantalan kulit berwarna merah muda pada
pantatnya. Pada bagian kepala memiliki rambut panjang. Yaki hidup berkelompok dengan jumlah 30–100
ekor. Dalam populasinya, jumlah betina
umumnya lebih banyak (empat kali jumlah jantan). Kawanan ini menghabiskan hampir seluruh waktunya untuk berkeliaran
mencari buah-buahan, yang merupakan 70 % menu makanannya. Untuk memenuhi kebutuhan protein, yaki makan
serangga. Yaki menyimpan makannya dalam
kantung khusus di pipinya. Pada saat berjalan, hewan ini kadang mengeluarkan
simpanan makanan dari kantungnya, mengunyah, menelan daging buah, dan membuang
bijinya (Kinnaird, 1997). Status hewan
ini adalah “endangered” (genting) – EN
A1acd (IUCN, 2002). Yaki menghadapi
resiko punah di alam yang sangat tinggi, karena terjadi penurunan populasi
lebih dari 70 % dalam sepuluh tahun terakhir.
Hal ini terjadi karena
penurunan jumlah dan kualitas habitatnya serta perburuan liar.
Tangkasi (Tarsius spektrum), tergolong mamalia
paling kecil didunia, dengan bobot tubuh sekitar 100 g pada usia dewasa, mata
besar dibanding ukuran tubuhnya, telinga sensitive dan terus bergerak, gigi
tajam, dan kemampuan memutar kepala
hampir 180 derajat. Hewan ini nocturnal,
dengan memiliki batas territorial, yang ditandai dengan urin. Kekuasaan
teritorial diumumkan setiap pagi dan sore oleh pejantan dan betina dengan suara
yang khas. Memiliki pohon tidur
yang merupakan pusat kehidupan. Rumpun
bambu, jalinan tumbuhan merambat dan pohon yang berlobang digunakan sebagai
tempat tidur. Tangkasi adalah hewan
pemakan serangga, dan setengah waktu malamnya habis untuk mencari makan. Mereka menangkap mangsa dengan meloncatinya
dan menindihnya atau menggenggamnya dengan jari-jarinya yang ramping panjang
(Kinnaird, 1997). Status tangkasi saat
ini adalah low risk - LR/nt
(IUCN, 2002). Pada saat ini,
jenis ini masih banyak dijumpai di Sulawesi.
Maleo senkawor (Macrocepalon maleo) merupakan burung terkenal di Sulawesi Utara karena warna yang indah. Burung ini sangat pemalu, berbiak di pantai-pantai berpasir atau sungai-sungai di pedalaman, atau di tempat-tempat yang ada sumber air panasnya. Yang menarik dari jenis ini adalah telur yang berukuran 4 kali ukuran telur ayam kampung, dan dapat mencapai 250 g atau 16% berat tubuhnya. Telur ini mengandung kuning telur besar sebagai persediaan makanan bagi anak burung setelah menetas. Terdapat sekitar 50 tempat berbiak yang diketahui, hampir semuanya di Sulawesi Utara dan Tengah, yang hampir semuanya terancam oleh berbagai aktivitas manusia (Holmes dan Phillipps, 1999; Kinnaird, 1997). Status burung ini adalah ‘endangered’ (genting) – EN A4abcd (IUCN, 2002). Kelompok hewan ini sangat tinggi resikonya untuk punah di alam karena mengalami penurunan populasi sebesar lebih dari 50 % dalam 10 tahun terakhir.
7. Kupu-kupu (Insecta : Lepidoptera). Dari kelompok seranggga, khususnya
kupu dilaporkan bahwa Sulawesi memiliki 560 jenis dan 42 % (235 jenis)
diantaranya adalah endemik. Diantara
jenis kupu adalah kupu raja (Troides
helena dan T. oblongomaculatus). Di pasar internasional, kupu persilangan
antara genus Troides dan Ornithoptera dapat mencapai USD 1.150
(Soehartono dan Mardiastuti, 2002). Dari genus Troides, yang perlu mendapat
perhatian khusus adalah T. doherty (talaud black birdwing) yang
menurut katagori status IUCN 2002 sudah termasuk “vulnerable” (rentan) -
VU B1+2c -. Kupu yang warnanya paling gelap dari
kelompok kupu bersayap burung ini hanya hidup di daerah koastal kepulauan
Sangihe dan Talaud (Sulawesi Utara) dan terancam punah karena banyaknya
aktifitas manusia. Masa depan kupu-kupu ini akan menurun karena jenis ini sangat sulit beradaptasi
dengan formasi vegetasi baru.
Usaha-usaha untuk menjaga kelestarian jenis-jenis hayati diperlukan biaya yang besar. Oleh karena itu, perlu diprioritaskan jenis-jenis yang secara alami bersifat rawan punah serta jenis-jenis yang akibat kegiatan manusia menjadi rawan punah. Sampai saat ini, telah diketahui beberapa kelompok hewan yang rawan punah. Kelompok tersebut adalah jenis yang populasinya rendah, jenis yang daerah sebarannya sempit (endemik), jenis pemangsa puncak, jenis megaherbivora, jenis yang berbiak dalam kelompok, jenis yang melakukan migrasi, dan jenis yang dimanfaatkan secara besar-besaran sampai melampaui daya reproduksinya. Jenis yang hanya dapat hidup di tengah rimba sehingga jika terjadi fragmentasi hutan akan mempersempit kawasan rimba sehingga pendukung kehidupan jenis yang bersangkutan akan berkurang, juga perlu mendapat prioritas konservasi.
Secara umum, terdapat beberapa hal yang menyebabkan rawan punah atau punahnya jenis hayati yaitu:
1. Kurangnya eksplorasi jenis baru, sehingga kepunahan jenis tersebut tidak diketahui.
2. Penyediaaan habitat untuk jenis yang dilindungi masih sangat kurang.
3. Habitat yang disediakan tidak sesuai bagi suatu jenis yang dilindungi.
4. Pembangunan yang tidak memperhatikan kelestarian alam.
5. Pemanfaatan yang memutus daur reproduksi.
6.
Adanya pemindahan suatu
jenis baru kedalam suatu ekosistem.
7.
Kurang sadarnya akan
pentingnya konservasi hewan langka bagi anggota masyarakat sekitar, termasuk
pengelola kawasan
8. Upaya kongkrit perlindungan belum nyata di lapangan. Masih banyak dijumpai penjualan jenis hayati yang dilindungi di tempat umum.
9.
Pengambilan dari alam
secara besar-besaran dan terus-menerus (terutama kelompok burung). Hampir
seluruh jenis burung piaraan masih merupakan tangkapan langsung dari alam
(Noerdjito dan Maryanto, 2001).
Berdasarkan uraian diatas, terlihat bagaimana sulit dan kompleksnya masalah yang dihadapi dalam upaya pelestarian keanekaragaman hayati. Berbagai usaha konservasi telah dilakukan, antara lain dengan menyusun peraturan-peraturan :
1. Peraturan Pemerintah : Pemerintan penjajahan Belanda “Dierenbeshermings Ordonnantie” 1931, Surat Keputusan Menteri Pertanian No. 421/Kpts/Um/8/1970, Surat Keputusan Menteri Pertanian No.54/Kpts/ Um/2/1972, SK Menteri Pertanian No. 327/Kpts/Um/7/1972, SK Menteri Pertanian No. 66/Kpts/Um/2/1975, SK Menteri Pertanian No. 35/Kpts/Um/1/1975, SK Menteri Pertanian No. 90/Kpts/Um/2/1977, SK Menteri Pertanian No. 742/Kpts/Um/12/1978, SK Menteri Pertanian No. 716/Kpts/Um/10/1980, SK Menteri Pertanian No. 12/Kpts/II/1987, SK Menteri Kehutanan No. 301/Kpts-II/1991.
Segala upaya dilakukan untuk menjaga kelestarian hidupan liar dijamin oleh peraturan yang sangat banyak dan usaha-usaha tersebut sudah dimulai sejak jaman penjajahan Belanda, tetapi jenis yang punah atau terancam punah tetap bertambah. Untuk itu penerapan aturan-aturan/perundang-undangan tersebut diatas harus dilakukan dengan baik dan benar. Selain itu, diperlukan upaya yang terencana dan berkelanjutan, baik masyarakat maupun pemerintah demi menjaga kelestarian hidupan liar, karena keanekaragamannya adalah bagian dari sumber daya alam yang tidak ternilai harganya.
PENUTUP
1. Tingkat endemisitas fauna di Sulawesi sangat tinggi : ikan air tawar dengan 52 jenis endemik (77 %), mamalia dengan 53 jenis endemik (60 %), serangga, khususnya kupu-kupu memiliki 235 jenis endemik (42 %), Reptil: kadal 18 jenis endemik (39 %) dan ular 23 jenis endemik (35 %), Aves memiliki 96 jenis endemik (25 %), dan Amphibi memiliki 14 jenis endemik.
2. Beberapa jenis fauna endemik Sulawesi berada dalam kondisi yang terancam punah, diantaranya adalah Babirusa, Anoa, Musang, Tangkasi, Primata, Kuskus, kupu-kupu hitam Talaud dan burung maleo, serta beberapa jenis ikan air tawar, terutama Weberogobius amadi, Xenopoecilus oophorus, dan X. sarasinorum.
3. Sejarah alam yang sangat unik menyebabkan para ilmuwan dari berbagai bidang sangat tertarik untuk mengadakan penelitian di Pulau ini.
4. Diperlukan upaya pelestarian hidupan liar yang terencana dan berkelanjutan yang melibatkan semua unsur yang terlibat dalam pemanfaatannya.
DAFTAR PUSTAKA
Coates, B.J., K.D. Bishop, and D. Gardner. 2000. Panduan Lapangan Burung-burung di Kawasan Wallacea. Bird Life International – Indonesian Programme & Dove Publication Pty. Bogor.
Dick, J. 1991. Forest Land Use, Forest Use Zonation, and Deforestation in Indonesia: A Summary and Interpretation of Existing Information. KLH and Bapedal . Jakarta.
Holmes, D. and K. Phillipps. 1999. Burung-burung di Sulawesi. Puslitbang Biologi LIPI. Bogor.
IUCN 2002. 2002 IUCN Red List of Threatened Species. Downloaded on 22 October 2003.
Kinnaird, M. F. 1997. Sulawesi Utara: Sebuah Panduan Sejarah Alam. Yayasan Pengembangan Wallacea.
KLH
and Kophalindo. 1994.
Keanekaragaman Hayati di Indonesia. Jakarta.
Kotellat, M. 1990. The ricefishes (Oryziidae) of Malili Lakes, Sulawesi, Indonesia, with description of a new species. Ichtiol. Explor. Freshwater.
McKinnon,
K. 1994. Nature’s trerasurehouse.
The Wildlife of Indonesia. PT. Gramedia. Jakarta.
Reid, W. V., and K. R. Miller. 1989. Keeping Option Alive. The Scientific Basis for Conserving Biodiversity. WRI.
Soehartono, T. and A. Mardiastuti. 2002. CITES Implementation in Indonesia. Nagao Victorial Environmental Foundation.
Soeroto, B. 1995. Beberapa Catatan tentang Distribusi Ikan-ikan Air Tawar di Daerah Kolonedale, Sulawesi Tengah bagian Timur. Jurnal fakultas Perikanan Vol III No. 1:1-6.
Sujatnika, P. Jepson, T. R. Soehartono, M. J. Crosby, and A. Mardiastuti. 1995. Melestarikan Keanekaragaman Hayati Indonesia. Pendekatan Daerah Burung Endemik. PHPA – Birdlife International IP. Jakarta.
Whitten, A. J., M. Mustafa, and G. S. Hendersen. 1987. The Ecology of Sulawesi. Gadjah Mada University Press.
Noerdjito, M dan I. Maryanto. 2001. Jenis-jenis Hayati yang dilindungi perundang-undangan di Indonesia. Balitbang Zoologi-Puslitbang Biologi-LIPI dan The Nature Conservancy. Cibinong.